Eimeria Pada Sapi.docx

  • Uploaded by: Desi Puspita Sari
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Eimeria Pada Sapi.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,313
  • Pages: 9
Tugas Terstruktur

Hari/tanggal : Kamis, 13 Desember 2018

Endoparasit : Helmintologi

Kelompok

: 12 (dua belas)

PROTOZOA IV APICOMPLEXA SALURAN PENCERNAAN: EIMERIS SPP. PADA SAPI

Anggota kelompok:

1.

Siti Nur Khalisyah

B04160045

..............................

2.

Neka Putri Pratama

B04160046

..............................

3.

Harits Abdullah Munir

B04160047

..............................

4.

Desi Puspita Sari

B04160049

..............................

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT HEWAN DAN KESMAVET FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2018

PENDAHULUAN I.

LATAR BELAKANG Protozoa jenis Eimeria sp. merupakan parasit obligat atau hidupnya mutlak sebagai parasit sehingga kelangsungan hidupnya mutlak membutuhkan hospes untuk inangnya. Genus Eimeria merupakan anggota family Eimeriidae yang memiliki 1162 spesies Eimeria sp. yang telah ditemukan pada berbagai macam hewan. Eimeria sp. juga merupakan parasit di saluran pencernaan hewan berdarah panas maupun hewan berdarah dingin (Sayoga et al. 2017). Infeksi parasite internal atau endoparasit menjadi faktor yang sering menggangu kesehatan ternak dan berdampak kerugian ekonomi yang besar. Faktor tersebut tidak lepas dari segitiga epidemiologi yaitu host, agen, dan lingkungan. Infeksi parasit adalah protozoa gastrointestinal menginfeksi saluran pencernaan sehingga mengalami penurunan dalan penyerapan nutrisi dan perlambatan dalam pertumbuhan (Indraswari et al. 2017). Eimeria sp. merupakan penyebab dari penyakit koksidiosis, menginfeksi sel epitel saluran pencernaan, tetapi ada juga yang menginfeksi sel-sel epitel hati, saluran empedu dan organ lainnya. Lingkungan yang lembab menjadi penyebab infeksi oleh protozoa. Protozoa saluran pencernaan mempunyai kesamaan dalam hal gejala yang ditimbulkan pada induk semang berupa diare (Rahmi et al. 2010). II. TUJUAN Penulisan makalah ini bertujuan menjelaskan kejadian koksidiosis yang disebabkan Eimeria spp. pada sapi.

TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi dan Morfologi Eimeria spp. memiliki taksonomi sebagai berikut menurut Levine (1985) Filum : Apicomplexa Kelas : Sporozoa Ordo : Eucoccidiorida Subordo : Eimeriorina Genus : Eimeria Spesies : Eimeria sp Menurut Soulsby (1986) taksonomi Eimeia spp adalah sebagai berikut: Filum : Apicomplexa Kelas : Sporozoa Subkelas : Coccidia Ordo : Eucoccidiidae Subordo : Eimeriinai Famili : Eimeriidae Genus : Eimeria Spesies : Eimeria spp. Morfologi Eimeria dapat diidentifikasi berdasarkan bentuk dan ukuran ookista. Bentuk ookista yang paling umum adalah bulat, bulat telur (ovoid), subovoid dan elips. Ookista memiliki dinding transparan yang berfungsi melindungi kelangsungan hidup ookista di alam. Beberapa spesies memiliki pori kecil yang terbuka di salah satu ujung ookista yang disebut mikrofil (topi). Terdapat dua tipe ookista yaitu ookista belum bersporulasi dan ookista sudah bersporulasi. Ookista belum besporulasi yaitu ookista yang belum matang dan memiliki sel tunggal yang di sebut sporon. Ookista yang sudah bersporulasi berarti ookista yang sudah matang dan memiliki empat sporokista, masing-masing sporokista berisi dua sporozoit (Levine 1985). Spesies Eimeria sp merupakan spesies dari filum Apicomplexa yang menyerang saluran pencernaan (gastrointestinal) dari kelompok protozoa penyebab koksi.diosis. Eimeria sp menyebabkan penyakit koksidiosis pada berbagai ternak termasuk sapi. Hal ini menimbulkan permasalahan cukup kompleks di bidang kesehatan hewan dan ekonomi. Koksidiosis memiliki tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi dengan gejala klinis berupa penurunan nafsu makan, kelemahan, kehilangan berat badan, diare, depresi dan anemia (Juliet 2013). Pada sapi, spesies Eimeria yang bersifat patogen dan ada yang bersifat non patogen. Berdasarkan morfometri didapat spesies Eimeria auburnensis dan Eimeria bovis. Eimeria auburnensis merupakan spesies Coccidia yang termasuk kurang patogen sementara Eimeria bovis adalah satu dari dua Coccidia pada sapi yang paling patogen. Coccidia merupakan parasit bersel satu yang termasuk ke dalam filum apicomplexa yang menyerang saluran pencernaan (Osayomi 2010).

SIKLUS HIDUP Siklus hidup Eimeria spp. terdiri atas 2 stadium yaitu aseksual dan seksual. Stadium aseksual terdiri atas sporogoni dan skizogoni, sedangkan stadium seksual yaitu gametogoni. Ookista yang belum bersporulasi dikeluarkan bersama feses jika kondisi oksigen sesuai, kelembaban tinggi dan suhu optimal sekitar 27°C nukleus membelah diri berubah menjadi bulat untuk membentuk sporoblas. Sporoblas akan mensekresikan bahan pembentuk dinding menjadi sporokista. Ookista matang terdiri dari 4 sporokista dan masing-masing sporokista berisi 2 sporozoit, selanjutnya menjadi ookista bersporulasi yang merupakan stadium infektif dari Eimeria spp (Levine 1985; Cox 1993). Sapi terinfeksi Eimeria melalui ookista yang telah mengalami sporulasi termakan melalui air minum atau pakan. Makanan yang terkontaminasi ookista yang telah bersporulasi yang berasal dari feses yang bertumpuk. Ookista bersporulasi dapat bertahan dalam waktu lama di bawah kondisi lingkungan ekstrim dan infektif untuk host berikutnya (Siswanto et al 2013). Mula-mula sporozoit yang masuk akan menembus epithel kemudian menembus membran dasar menuju tunika propria, kemudian di dalam sel epithel sporozoit menjadi tropozoit dalam waktu 24 jam dan memperbanyak diri secara aseksual dan menghasilkan skizon generasi pertama (reproduksi aseksual) melalui proses skizogoni. Skizon yang telah matang akan pecah dan merozoit akan terlepas kemudian masuk ke dalam sel-sel epitel usus yang baru untuk membentuk generasi kedua dari skizon. Tahapan ini dapat berulang dua atau tiga kali. Merozoit yang dihasillkan akan berkembang menjadi salah satu gamet jantan dan gamet betina. Nukleus dari mikrogamet (gametosit jantan) membagi diri menjadi banyak dan memproduksi mikrogamet yang memiliki flagela. Mikrogamet yang memiliki flagela kemudian akan menuju ke makrogamet (gametosit betina) untuk menghasilkan zigot. Zigot mengelilingi dirinya sendiri dengan sebuah dinding, kesatuan zigot dan dinding yang mengelilinginya disebut ookista. Ookista kemudian dikeluarkan bersama feses dalam bentuk belum bersporulasi (Levine 1985; Cox 1993). Tingkat keparahan tergantung dari jumlah ookista yang termakan serta faktor umur dan kondisi kekebalan tubuh hewan. Mula-mula mukosa mengalami pembendungan bersifat oedem dan menebal, disertai petekhiae atau perdarahan-perdarahan difus. Kemudian mukosa rusak dan terkelupas. Pada sapi ditandai dengan gejala klinis yang khas yaitu diare. Faktor yang sangat mempengaruhi terjadinya infeksi protozoa gastrointestinal adalah kebersihan lingkungan kandang pada sapi tersebut (Purwanta et al. 2009).

PEMBAHASAN I. PREVALENSI Eimeria merupakan parasit saluran pencernaan uniseluler yang memiliki inang spesifik. Eimeria dapat menginfeksi hewan sapi, sehingga menyebabkan kerusakan pada sel epitel saluran pencernaan. Penelitian yang dilakukan Doviansyah (2015) meunjukkan tingkat prevalensi koksidiosis yang disebabkan oleh Eimeria spp di kawasan Kawasan Usaha Peternakan (Kunak) Cibungbulang, Kabupaten Bogor, sebagai berikut : Berdasarkan hasil penelitian didapatkan prevalensi total koksidiosis adalah 62.4% dengan Selang Kepercayaan (SK 95%; 63.6%–80.2%). Hasil tersebut didapatkan dari presentase rata-rata pada identifikasi sampel feses di wilayah Kunak 1 dan Kunak 2 (pembagian wilayah Kunak menjadi dua wilayah yang berdekatan). Prevalensi berdasarkan wilayah yakni Kunak 1 dan Kunak 2 masing-masing sebesar 71.9% (SK 95%; 64.7%–79.1%) dan 55.3% (SK 95%; 63.9%–79.9%). Presentase yang ditunjukkan dimana tingkat prevalensi di wilayah Kunak 1 lebih tinggi dibandingkan Kunak 2, hal ini disebabkan cara penyimpanan pakan masih diletakan di atas lantai. Penyimpanan pakan pada lantai ini menyebabkan ookista lebih mudah dalam mengkontaminasi pakan. Namun pakan yang disimpan pada tempat pakan khusus atau tidak langsung bersentuhan dengan lantai, menunjukkan tingkat prevalensi koksidiosis lebih rendah (Doviansyah 2015). Adapun perbedaan prevalensi dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah musim (kelembaban, temperatur), jenis kelamin hewan, sistim perairan, sistim pemberian pakan dan perkandangan (Warairu et al. 2000). Hal serupa juga dilaporkan Khan et al. (2013) bahwa prevalensi koksidiosis dipengaruhi oleh lima faktor utama yaitu sistem perkandangan, sistem pemberian pakan, sistem perairan, jenis lantai, serta ukuran kandang. Priti et al. (2013) menambahkam adanya variasi tingkat prevalensi ini umumnya dipengaruhi oleh keadaan fisiologis, stress, serta berhubungan dengan masa kebuntingan dan kelahiran. Penelitian lain yang dilakukan Doviansyah (2015) menunjukkan adanya variasi tingkat infeksi Eimeria berdasarkan umur sapi. Derajat infeksi (OTGT) tertinggi ditemukan pada kelompok umur kurang dari 6 bulan yaitu 1607.3 dengan Selang Kepercayaan 95% (SK) 1871.5%–1343.1%. Hasil tersebut diikuti kelompok sapi yang berumur 6 sampai 12 bulan dengan derajat infeksi sebesar 319.1 dengan Selang Kepercayaan 95% (SK) 266.7% - 371.5% dan kelompok umur 12 sampai 36 bulan sebesar 173.5 dengan Selang Kepercayaan 95% (SK) sebesar 145.8% - 202.1%. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara umur dengan derajat infeksi yang ditunjukkan dengan produksi ookista (OTGT). Priti et al. (2013) menuturkan bahwa semakin tua umur sapi maka semakin rendah prevalensi dan tingkat infeksinya. II. TRANSMISI Ookista Eimeria spp. penyebab koksidiosis yang terkandung dalam feses sapi dapat mengkontaminasi pakan dan minum kemudian tertelan oleh sapi, kontaminasi pakan dan minum tersebut dapat terjadi karena manajemen kandang peternakan yang kurang diperhatikan kebersihannnya (Khan et al. 2013). Tiga rantai yang saling mempengaruhi yang mana adanya ketidakseimbangan pada salah satu rantai tersebut dapat menyebabkan timbulnya penyakit, yaitu : agen, hospes, dan lingkungan. Tidak ada vektor biologis yang

membantu penyebaran koksidiosis, namun terdapat vektor mekanis berupa lalat yang membantu penyebaran ookista yang terkandung dalam feses sapi. Ookista yang bersporulasi yang tertelan akan berkembang biak di dalam sel epitel saluran pencernaan usus halus dan menghasilkan ookista yang belum bersporulasi. Ookista yang belum bersporulasi ini nantinya akan keluar ke lingkungan bersama feses sapi dan kembali mengkontaminasi (Doviansyah 2015). III. PATOGENESA Eimeria yang menginfeksi sapi, terakhir diketahui terdapat 15 spesies. Namun, E. bovis dan E zuernii yang mempunyai tingkat patogenisitas paling tinggi. Kedua spesies tersebut diketahui dapat menyebabkan kematian dan diare berdarah. Spesies lain juga dapat menimbulkan gejala klinis jika sapi tertelan ookista dalam jumlah yang banyak yaitu E. auburnensis, E. ellipsoidalis, dan E. alabamensis (Fraser 2006). Infeksi terjadi setelah hewan tertelan ookista infektif. Sejauh ini hanya ookista yang bersporulasi saja yang infektif. Satu ookista bersporulasi terdapat empat sporokista. Satu sporokista meghasilkan dua sporozoit yang mampu merusak dinding mukosa usus halus sehingga mengalami perlukaan dan menimbulkan gejala klinis. IV.

GEJALA KLINIS Gejala klinis yang muncul pada infeksi ringan ditandai oleh adanya diare ringan, berlangsung sekitar 5–7 hari. Ternak akan depresi, nafsu makan turun sampai hilang, berat badan turun, dan dehidrasi. Koksidiosis yang parah ditandai dengan diare yang hebat, tinja cair bercampur mukus dan darah yang berwarna merah sampai kehitaman beserta reruntuhan sel-sel epitel. Diare ini seringkali mengotori daerah sekitar perianal, kaki belakang dan pangkal ekor. Kondisi diare menyebabkan hewan terus merejan dan dapat mengakibatkan prolapsus rektum. Perjalanan klinis penyakit ini bervariasi antara 4–14 hari (Fraser 2006). Gejala klinis lainnya seperti anemia, anoreksia dan umumnya hewan terlihat kurus. Pengembangan gejala klinis itu tergantung dari beberapa faktor seperti jenis-jenis spesies Eimeria spp, umur, jumlah ookista yang tertelan dan adanya infeksi sekunder, serta sistem tata laksana peternakan (Daugschies dan Najdrowsk 2005). Menurut Radostits et al. (2006) kejadian koksidiosis sebagian besar terjadi pada pedet selama musim hujan dimana pedet sudah terinfeksi dari induk atau saat dipindahkan ke peternakan lain. V.

PENCEGAHAN, PENGENDALIAN DAN PENGOBATAN Pengendalian koksidiosis dapat dilakukan dengan memperhatikan sanitasi kandang, gejala klinis yang ditunjukkan, usaha pencegahan dan pengobatan. Apabila tingkat sanitasi lingkungan pertanian dan kontaminasi pakan serta air ternak dapat dijaga dengan baik maka resiko penularan dapat dikurangi. Menurut Pence (2011) oosit dari coccidia dapat bertahan selama 2 tahun pada berbagai kondisi lingkungan. Oosit tertinggi dapat ditemukan di tempat pemeliharaan, khususnya di lingkaran wilayah padang pengembalaan. Mengubah dan mengatur wilayah pengembalaan secara berkala dapat membantu sapi terhindar dari kontaminasi. Selain itu, mengisolasi hewan yang sakit merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mencegah penularan lebih lanjut serta mencegah invasi terhadap sel dan

perbaikan sel. Bila kontaminasi di minimumkan, maka reinfeksi akan berkurang sehingga dapat terjadi respon kekebalan yang baik. Pengobatan dapat dilakukan dengan anti koksidial seperti amprolium dengan dosis pencegahan 5mg/kgBB/hari selama 28 hari. Sedangkan dosis pengobatan 10mg/kgBB/hari selama 5 hari. Monensin dengan dosis pencegahan 1mg/kgBB/hari, untuk 10-30g/ton pakan (Corwin and Randle 1993) . SIMPULAN Koksidiosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh protozoa dari genus Eimeria yang menyerang sel epitel saluran pencernaan dan menyebabkan kerusakan jaringan. Transmisi penyakit koksidiosis melalui ookista bersporulasi yang mengkontaminasi pakan dan air minum sapi. Tingkat prevalensi dipengaruhi oleh faktor manajemen peternakan, area, iklim dan kelompok umur. Gejala klinis koksidiosis berupa depresi, nafsu makan turun sampai hilang, kurus, dehidrasi, diare ringan sampai diare berdarah.

DAFTAR PUSTAKA

Adejinmi JO, Osayomi JO. 2010. Prevalence of intestinal protozoan parasites of dogs in Ibadan, South Western Nigeria. Journal of Animal & Plant Sciences, 7(2): 783-788 Corwin RM dan Randle RF. 1993. Common Internal Parasites of cattle. University of Missouri. Extension. 1-3. Cox FEG. 1993. Modern Parasitology: A Textbook of Parasitology. Ed ke-2. London (GB): Blackwell Scientific Publication. Daugschies A, Najdrowsk M. 2005. Eimeriosis in cattle: current understanding. J Vet Med. 5(2): 417-427. Doviansyah Z. 2015. Prevalensi koksidiosis dan identifikasi ookista Eimeria spp. pada sapi perah di kawasan usaha peternakan (Kunak) Kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Fraser CM (2006). The Merck Veterinary Manual, A Hand Book of Diagnosis Therapy and Disease Prevention and Control for Veterinarians. 7th Ed., Merck and Co. Inc, Rahway, NIT, USA, pp. 714- 717. Indraswari AAS, Suwiti NK, Apsari IAP. 2017. Protozoa gastrointestinal: Eimeria auburnensis dan Eimeria bovis menginfeksi sapi bali betina di Nusa Penida. Buletin Veteriner Udayana. 9(1):112-116. Juliet NO, Oliver NO, Oliver OO, Cosmas UA. 2013. Comparative study of intestinal helminths and protozoa of cattle and goats in Abakaliki metropolis of Ebonyi State, Nigeria. Adv. Appl. Sci. Res. 4(2): 223-227. Khan MN, Rehman T, Sajid MS, Abbas RZ, Zaman MA, Sikandar A, Riaz M. 2013. Determinants influencing prevalence of coccidiosis in pakistan buffaloes. Pak Vet J. 33(3): 287-290. Levine ND. 1985. Protozoologi Veteriner. Soekardono S, penerjemah; Brotowidjojo MD, editor. Yogyakarta (ID): UGM Pr. Pence M. 2011. Coccidiosis in Cattle. Diplomat ABVP (Beef cattle) University of Georgia, College of Veterinary Medicine. Priti M, Mandal, Sharma, Sincha, Sucheta S, Verma. 2013. Prevalence of bovine coccidiosis at Patna. J Vet Parasitol. 2 (22): 73-76. Purwanta, Nuraeni,, Hutauruk JD, Setiawaty S. 2009. Identifikasi Cacing Saluran Pencernaan (Gastrointestinal) Pada Sapi Bali Melalui Pemeriksaan Tinja di Kabupaten Gowa. Jurnal Agrisistem. 5(1): 10-2 Radostits OM, Gay CC, Constable PD. 2006. Veterinary medicine a Text Book of the Disease of Cattle, Sheep, Pigs, Goat, and Hourses. Ed ke-8. Philadelphia (US): Bailliere Tindall. Rahmi E, Hanafiah M, Sutriana A, Hambal M, Wajidi F. 2010. Insidensi nematoda gastrointestinal dan Pprotozoa pada monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) liar di

Taman Wisata Alam (TWA) Pulau Weh Sabang. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan. 13(6): 286-291. Sayoga RDCGS, Harlia E, Kurnani TBA. 2017. Identifikasi protozoa pada digester tipe batch berbahan baku feses sapi potong dan batubara. Students e-Journal. 6(1):1-10. Siswanto M, Patmawati NW, Trinayani NN, Wandia IN, Puja IK. 2013. Penampilan Reproduksi Sapi Bali pada Peternakan Intensif di Instalasi Pembibitan Pulukan. Jurnal Ilmu dan Kesehatan Hewan. 1(1): 11-15. Soulsby, 1968. Helminth, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animal. 6th ed. London (UK): William and Wilkins Baltimore. Warairu RM, Kyvsgaard NC, Thamsborg SM, Nansen O, Bough HO, Munyua WK, Gathuma JM. 2000. The prevalence and intensity of helminth and coccidial infections in dairy cattle in central Kenya. Vet Res Commun. 24: 39-53.

Related Documents


More Documents from "Nadinnn"