Ega Cob.doc

  • Uploaded by: ristaseptiawatiningsih
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Ega Cob.doc as PDF for free.

More details

  • Words: 7,084
  • Pages: 34
LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN COB EDH+ICH DAN RESPIRATORY FAILURE DI RUANG ICU RSD. Dr. SOEBANDI JEMBER

DI SUSUN OLEH GAYUH WIDIA UTAMI (14901.05.18017)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS STIKES HASHAWATY PESANTREN ZAINUL HASAN GENGGONG - PROBOLINGGO 2019

LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN COB EDH+ICH DAN RESPIRATORY FAILURE DI RUANG ICU RSD. Dr. SOEBANDI JEMBER

Jember,

Maret 2019

Mahasiswa

Pembimbing Ruangan

Pembimbing Akademik

Kepala Ruangan

2

LAPORAN PENDAHULUAN COB (CIDERA OTAK BERAT) A. Anatomi dan Fisiologi Otak a. Sistem saraf pusat

Gambar 1. Bagian-bagian otak Otak terdiri dari neuron, glia, dan berbagai sel pendukung. Otak manusia mempunyai berat 2% dari berat badan orang dewasa (3 pon), menerima 20% curah jantung, memerlukan 20% pemakaian oksigen tubuh, dan sekitar 400 kilokalori energi setiap harinya. Otak merupakan jaringan yang paling banyak memakai energi dalam seluruh tubuh manusia dan terutama berasal dari proses metabolisme oksidasi glukosa (Price & Wilson, 2011). Otak dibagi menjadi empat bagian, yaitu cerebrum, cerebellum, brainstem (batang otak), dan limbic system (sistem limbik) (Muttaqin, 2009). 1) Cerebrum Cerebrum adalah bagian terbesar dari otak manusia yang juga disebut dengan nama cerebral cortex, forebrain, atau otak depan. Cerebrum membuat manusia memiliki kemampuan berpikir, analisa, logika, bahasa, kesadaran, perencanaan, memori dan kemampuan visual. Cerebrum terbagi menjadi 4 (empat) bagian yang disebut lobus yaitu lobus frontal, lobus parietal, lobus occipital dan lobus temporal. Lobus frontal merupakan bagian lobus yang terletak pada bagian depan cerebrum. Lobus ini berhubungan dengan kemampuan membuat alasan, kemampuan gerak, kognisi, perencanaan, penyelesaian masalah, memberi penilaian, kreativitas, kontrol perasaan, kontrol perilaku seksual dan kemampuan bahasa secara umum. Lobus parietal berhubungan dengan proses sensor perasaan seperti tekanan, sentuhan dan rasa sakit. Lobus temporal berhubungan dengan kemampuan pendengaran, pemaknaan informasi dan bahasa dalam bentuk suara. Lobus occipital ada di bagian paling belakang, berhubungan dengan rangsangan visual yang memungkinkan manusia mampu melakukan interpretasi terhadap objek yang ditangkap oleh retina mata. 2) Cerebellum

3

Cerebellum atau otak kecil adalah bagian dari sistem saraf pusat yang terletak di bagian belakang tengkorak (fossa posterior cranial). Semua aktivitas pada bagian ini di bawah kesadaran (involuntary). Fungsi utama cerebelum yaitu mengkoordinasi dan memperhalus gerakan otot serta mengubah tonus dan kekuatan kontraksi untuk mempertahankan keseimbangan dan sikap tubuh. Apabila terjadi cedera pada cerebelum, dapat mengakibatkan gangguan pada sikap dan koordinasi gerak otot sehingga gerakan menjadi tidak terkoordinasi. 3) Brainstem Batang otak (brainstem) berada di dalam tulang tengkorak atau rongga kepala bagian dasar dan memanjang sampai ke tulang punggung atau sumsum tulang belakang. Bagian otak ini mengatur fungsi dasar manusia termasuk pernapasan, denyut jantung, mengatur suhu tubuh, mengatur proses pencernaan, dan merupakan sumber insting dasar manusia yaitu fight or flight (lawan atau lari) saat datangnya bahaya. Batang otak terdiri dari tiga bagian, yaitu: a) Mesencephalon atau otak tengah (mid brain) adalah bagian teratas dari batang otak yang menghubungkan cerebrum dan cerebelum. Mesencephalon berfungsi untuk mengontrol respon penglihatan, gerakan mata, pembesaran pupil mata, mengatur gerakan tubuh, dan fungsi pendengaran. b) Medulla oblongata adalah titik awal saraf tulang belakang dari sebelah kiri badan menuju bagian kanan badan, begitu juga sebaliknya. Medulla oblongata mengontrol fungsi involunter otak (fungsi otak secara tidak sadar) seperti detak jantung, sirkulasi darah, pernafasan, dan pencernaan. c) Pons disebut juga sebagai jembatan atau bridge merupakan serabut yang menghubungkan kedua hemisfer serebelum serta menghubungkan midbrain disebelah atas dengan medula oblongata. Bagian bawah pons berperan dalam pengaturan pernapasan. Nukleus saraf kranial V (trigeminus), VI (abdusen), dan VII (fasialis) terdapat pada bagian ini. 4) Limbic system (sistem limbik) Sistem limbik merupakan suatu pengelompokan fungsional yang mencakup komponen serebrum, diensefalon, dan mesensefalon. Secara fungsional sistem limbik berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut. a) Suatu pendirian atau respons emosional yang mengarahkan pada tingkah laku individu b) Suatu respon sadar terhadap lingkungan c) Memberdayakan fungsi intelektual dari korteks serebri secara tidak sadar dan memfungsikan batang otak secara otomatis untuk merespon keadaan d) Memfasilitasi penyimpanan suatu memori dan menggali kembali simpanan memori yang diperlukan e) Merespon suatu pengalaman dan ekspresi suasana hati, terutama reaksi takut, marah, dan emosi yang berhubungan dengan perilaku seksual. 4

Otak merupakan bagian tubuh yang sangat penting yang dilindungi oleh tulang tengkorak yang keras, jaringan pelindung, dan cairan otak. Dua macam jaringan pelindung utama yaitu meninges dan sistem ventrikular. Meninges terdiri dari tiga lapisan yaitu: 1) Durameter Durameter merupakan lapisan paling luar yang tebal, keras, dan fleksibel tetapi tidak dapat diregangkan (unstrechable). 2) Arachnoid membran Arachnoid membran merupakan lapisan bagian tengah yang bentuknya seperti jaringan laba-laba. Sifat lapisan ini lembut, berongga-rongga, dan terletak dibawah lapisan durameter. 3) Piameter Piameter merupakan lapisan pelindung yang terletak pada lapisan paling bawah (paling dekat dengan otak, sumsum tulang belakang, dan melindungi jaringan-jaringan saraf lain). Lapisan ini mengandung pembuluh darah yang mengalir di otak dan sumsum tulang belakang. Antara piameter dan membran arachnoid terdapat bagian yang disebut dengan subarachnoid space (ruang sub-arachnoid) yang dipenuhi oleh cairan serebrospinal (CSS).

Gambar 2. Lapisan meninges Otak sangat lembut dan kenyal sehingga sangat mudah rusak. Selain lapisan meninges, otak juga dilindungi oleh cairan serebrospinal (CSS) di subarachnoid space. Cairan ini menyebabkan otak dapat mengapung sehingga mengurangi tekanan pada bagian bawah otak yang dipengaruhi oleh gravitasi dan juga meilndungi otak dari guncangan yang mungkin terjadi. CSS ini terletak dalarn ruang-ruang yang saling berhubungan satu dengan yang lain. Ruang-ruang ini disebut dengan ventrikel (ventricles). Ventrikel berhubungan dengan bagian subarachnoid dan juga berhubungan dengan bentuk tabung pada canal pusat (central canal) dari tulang belakang. Ruang terbesar yang berisi cairan terutama ada pada pasangan ventrikel lateral (lateral ventricle). Ventrikel lateral berhubungan dengan ventrikel ketiga (third ventricle) yang terletak di otak bagian tengah (midbrain). Ventrikel ketiga dihubungkan ke ventrikel keempat oleh cerebral aqueduct yang menghubungkan ujung caudal ventrikel

5

keempat dengan central canal. Ventrikel lateral juga membentuk ventrikel pertama dan ventrikel kedua.

Gambar 3. Sistem ventrikel otak Sumsum tulang belakang terletak memanjang didalam rongga tulang belakang, mulai dari ruas-ruas tulang leher sampai ruas-ruas tulang pinggang yang kedua. Sumsum tulang belakang terbagi menjadi dua lapis, yaitu lapisan luar berwana putih dan lapisan dalam berwarna kelabu. Lapisan luar mengandung serabut saraf dan lapisan dalam mengandung badan saraf. Pada sumsum tulang belakang terdapat saraf sensorik, saraf motorik, dan saraf penghubung. Fungsinya adalah sebagai penghantar impuls dari otak dan ke otak serta sebagai pusat pengatur gerak refleks. b. Sistem saraf tepi Sistem saraf tepi tersusun dari semua saraf yang membawa pesan dari dan ke sistem saraf pusat. Kerjasama antara sistem pusat dan sistem saraf tepi membentuk perubahan cepat dalam tubuh untuk merespon rangsangan dari lingkunganmu. Sistem saraf ini dibedakan menjadi sistem saraf somatis dan sistem saraf otonom. 1) Sistem saraf somatis (saraf sadar) Sistem saraf somatis terdiri dari 12 pasang saraf kranial dan 31 pasang saraf sumsum tulang belakang (spinal). Kedua belas pasang saraf otak akan menuju ke organ tertentu, misalnya mata, hidung, telinga, dan kulit. Saraf sumsum tulang belakangkeluar melalui sela-sela ruas tulang belakang dan berhubungan dengan bagian-bagian tubuh, antara lain kaki, tangan, dan otot lurik. Saraf-saraf dari sistem somatis menghantarkan informasi antara kulit, sistem saraf pusat, dan otot-otot rangka. Proses ini dipengaruhi saraf sadar sehingga dapat dikontrol untuk menggerakkan atau tidak menggerakkan bagian-bagian tubuh di bawah pengaruhsistem ini.

6

Gambar 4. Saraf kranial Tabel 1. Ringkasan fungsi saraf kranial SARAF KRANIAL I Olfaktorius II Optikus III Okulomotorius

KOMPONEN FUNGSI Sensorik Penciuman Sensorik Penglihatan Motorik Mengangkat kelopak mata atas, konstriksi pupil, sebagian besar gerakan ekstraokular IV Troklearis Motorik Gerakan mata ke bawah dan ke dalam V Trigeminus Motorik Otot temporalis dan maseter (menutup rahang dan mengunyah) gerakan rahang ke lateral Sensorik - Kulit wajah, 2/3 depan kulit kepala, mukosa mata, mukosa hidung dan rongga mulut, lidah dan gigi - Refleks kornea atau refleks mengedip, komponen sensorik dibawa oleh saraf kranial V, respons motorik melalui saraf kranial VI VI Abdusens Motorik Deviasi mata ke lateral VII Fasialis Motorik Otot-otot ekspresi wajah termasuk otot dahi, sekeliling mata serta mulut, lakrimasi dan salvias Sensorik Pengecapan 2/3 depan lidah (rasa, manis, asam, dan asin) VIII Cabang Sensorik Keseimbangan Vestibularis Vestibulokoklearis Cabang koklearis Sensorik Pendengaran 7

IX Glossofaringeus

Motorik Sensorik

X Vagus

Motorik Sensorik

XI Asesorius

Motorik

XII Hipoglosus

Motorik

Faring: menelan, refleks muntah Parotis: salvias Faring, lidah posterior, termasuk rasa pahit Faring: menelan, refleks muntah, fonasi; visera abdomen Faring, laring: refleks muntah, visera leher, thoraks dan abdomen Otot sternokleidomastoideus dan bagian atas dari otot trapezius: pergerakan kepala dan bahu Pergerakan lidah

2) Sistem saraf otonom Sistem saraf otonom mengontrol kegiatan yang tidak bergantung pada keputusan. Sistem ini mengatur kontraksi otot-otot yang tidak berada di bawah kontrol kesadaran seperti otot jantung, sekresi semua digestif atau kelenjar keringat, dan aktivitas organorgan endokrin. Sistem saraf ototnom mempunyai dua pembagian yaitu secara anatomi dan fungsional yaitu sistem saraf simpatis dan sistem saraf parasimpatis (Smeltzer & Bare, 2010). a) Sistem saraf simpatis Fungsi dari sistem saraf simpatik adalah mempercepat denyut jantung, memperlebar pembuluh darah, memperlebar bronkus, mempertinggi tekanan darah, memperlambat gerak peristaltik, memperlebar pupil, meningkatkan sekresi adrenalin, menghambat sekresi empedu, dan menurunkan sekresi ludah.

b) Sistem saraf parasimpatik Susunan saraf parasimpatik berupa jaring-jaring yang berhubung-hubungan dengan ganglion yang tersebar di seluruh tubuh.Urat sarafnya menuju ke organ tubuh yang dikuasai oleh susunan saraf simpatik. Sistem saraf parasimpatik memiliki fungsi yang berkebalikan dengan fungsi sistem saraf simpatik. B. Definisi Cedera Otak Berat Cidera kepala adalah cidera yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak, dan otak. Cidera kepala adalah gangguan neurologic yang paling sering terjadi dan gangguan neurologic yang serius diantara gangguan neurologic dan merupakan proporsi epidemic sebagai akibat kecelakaan di jalan raya (Smeltzer& Bare 2010). Cidera otak berat atau COB adalah kerusakan neurologis yang terjadi akibat adanya trauma pada otak secara langsung maupun efek sekunder dari trauma yang terjadi. Cedera otak berat merupakan keadaan dimana struktur lapisan otak mengalami cedera berkaitan dengan edema, 8

hyperemia, hipoksia, dimana pasien tidak dapat mengikuti perintah, dengan GCS <8 dan tidak dapat membuka mata. Cidera kepala adalah cidera yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak dan otak. Cidera kepala adalah gangguan neurologic yang paling sering terjadi dan gangguan neurologik yang serius di antara gangguan neurologik dan merupakan proporsi epidemik sebagai akibat kecelakaan di jalan raya. C. Etiologi Cidera kepala paling sering akibat dari trauma. Mekanisme terjadinya cidera kepala berdasarkan terjadinya benturan terbagi menjadi beberapa menurut Nurarif dan Kusuma (2013) yaitu sebagai berikut: a. Akselerasi Jika benda bergerak membentur kepala yang diam, misalnya pada orang yang diam kemudian dipukul atau dilempari batu. b. Deselerasi Jika kepala bergerak membentur kepala yang diam, misalnya pada kepala yang terbentur benda padat. c. Akselerasi-deselerasi Terjadi pada kcelakaan bermotor dengan kekerasan fisik antara tubuh dan kendaraan yang berjalan. d. Coup-counter coup Jika kepala terbentur dan menyebabkan otak bergerak dalam ruang intracranial dan menyebabkan cedera pada area yang berlawanan dengan yang terbentur dan area yang pertama terbentur e. Rotasional Benturan yang menyebabkan otak berputar dalam rongga tengkorak, yang mengakibatkan meregang dan robeknya pembuluh darah dan neuron yang memfiksasi otak dengan bagian dalam tengkorak D. Tanda dan gejala Menurut Mansjoer (2010) tanda dan gejala dan beratnya cidera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan skor GCS yang dikelompokkan menjadi tiga yaitu : a. Cidera kepala ringan dengan nilai GCS = 14-15 Klien sadar, menuruti perintah tetapi disorientasi, tidak kehilangan kesadaran, tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang, klien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing, klien dapat menderita laserasi, dan hematoma kulit kepala. 9

b. Cidera kepala sedang dengan nilai GCS = 9-13 klien dapat atau bisa juga tidak dapat menuruti perintah, namun tidak memberi respon yang sesuai dengan pernyataan yang diberikan, amnesia pasca trauma, muntah, tanda kemungkinan fraktur cranium (tanda Battle, mata rabun, hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan serebro spinal), dan kejang. c. Cidera kepala berat dengan nilai GCS ≤ 8. Penurunan kesadaran secara progresif, tanda neurologis fokal, cidera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi cranium, kehilangan kesadaran lebih dari 24 jam, disertai kontusio cerebral, laserasi, hematoma intrakrania dan edema serebral. Perdarahan intrakranial dapat terjadi karena adanya pecahnya pembuluh darah pada jaringan otak. Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi lainnya (countrecoup). E. Patofisiologi Cedera kepala dapat digolongkan menjadi 2 proses yaitu cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder. Cedera otak primer adalah cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian trauma dan merupakan suatu fenomena mekanik. Umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa dilakukan kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang sedang sakit bisa mengalami proses penyembuhan yang optimal. Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi karena terjatuh, dipukul, kecelakaan dan trauma saat lahir yang bisa mengakibatkan terjadinya gangguan pada seluruh sistem dalam tubuh. Cedera otak sekunder merupakan hasil dari proses yang berkelanjutan sesudah atau berkaitan dengan cedera primer dan lebih merupakan fenomena metabolik sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Cidera kepala terjadi karena beberapa hal diantanya, bila trauma ekstrakranial akan dapat menyebabkan adanya leserasi pada kulit kepala selanjutnya bisa perdarahan karena mengenai pembuluh darah. Karena perdarahan yang terjadi terusmenerus dapat menyebabkan hipoksia, hiperemi, peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK), namun bila trauma mengenai tulang kepala akan menyebabkan robekan dan terjadi perdarahan juga. Cidera kepala intrakranial dapat mengakibatkan laserasi, perdarahan dan kerusakan jaringan otak bahkan bisa terjadi kerusakan susunan syaraf kranial terutama motorik yang mengakibatkan terjadinya gangguan dalam mobilitas.

10

F.

Penatalaksanaan

a. Perawatan sebelum ke Rumah Sakit 1) Stabilisasi terhadap kondisi yang mengancam jiwa dan lakukan terapi suportif dengan mengontrol jalan nafas dan tekanan darah. 2) Berikan O2 dan monitor 3) Berikan cairan kristaloid untuk menjaga tekanan darah sistolik tidak kurang dari 90 mmHg. 4) Pakai intubasi, berikan sedasi dan blok neuromuskuler 5) Stop makanan dan minuman 6) Imobilisasi 7) Kirim kerumah sakit. b. Perawatan di bagian Emergensi 1) Pasang oksigen (O2), monitor dan berikan cairan kristaloid untuk mempertahankan tekanan sistolik diatas 90 mmHg. 2) Pakai intubasi, dengan menggunakan premedikasi lidokain dan obat-obatan sedative misalnya etomidate serta blok neuromuskuler. Intubasi digunakan sebagai fasilitas untuk oksigenasi, proteksi jalan nafas dan hiperventilasi bila diperlukan. 3) Elevasikan kepala sekitar 30O setelah spinal dinyatakan aman atau gunakan posis trendelenburg untuk mengurangi tekanan intra kranial dan untuk menambah drainase vena. 4) Berikan manitol 0,25-1 gr/ kg iv. Bila tekanan darah sistolik turun sampai 90 mmHg dengan gejala klinis yang berkelanjutan akibat adanya peningkatan tekanan intra kranial.

11

5) Hiperventilasi untuk tekanan parsial CO2 (PCO2) sekitar 30 mmHg apabila sudah ada herniasi atau adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial (ICP). 6) Berikan phenitoin untuk kejang-kejang pada awal post trauma, karena phenitoin tidak akan bermanfaat lagi apabila diberikan pada kejang dengan onset lama atau keadaan kejang yang berkembang dari kelainan kejang sebelumnya. c. Terapi obat-obatan: 1) Gunakan Etonamid sebagai sedasi untuk induksi cepat, untuk mempertahankan tekanan darah sistolik, dan menurunkan tekanan intrakranial dan metabolisme otak. Pemakaian tiophental tidak dianjurkan, karena dapat menurunkan tekanan darah sistolik. Manitol dapat digunakan untuk mengurangi tekanan intrakranial dan memperbaiki sirkulasi darah. Phenitoin digunakan sebagai obat propilaksis untuk kejang – kejang pada awal post trauma. Pada beberapa pasien diperlukan terapi cairan yang cukup adekuat yaitu pada keadaan tekanan vena sentral (CVP) > 6 cmH 2O, dapat digunakan norephinephrin untuk mempertahankan tekanan darah sistoliknya diatas 90 mmHg. 2) Diuretik Osmotik Misalnya Manitol : Dosis 0,25-1 gr/ kg BB iv. Kontraindikasi pada penderita yang hipersensitiv, anuria, kongesti paru, dehidrasi, perdarahan intrakranial yang progreasiv dan gagal jantung yang progresiv. Fungsi : Untuk mengurangi edema pada otak, peningkatan tekanan intrakranial, dan mengurangi viskositas darah, memperbaiki sirkulasi darah otak dan kebutuhan oksigen. 3) Antiepilepsi Misalnya Phenitoin : Dosis 17 mg/ kgBB iv, tetesan tidak boleh berlebihan dari 50 (Dilantin) mg/menit. Kontraindikasi; pada penderita hipersensitif, pada penyakit dengan blok sinoatrial, sinus bradikardi, dan sindrom Adam-Stokes.Fungsi : Untuk mencegah terjadinya kejang pada awal post trauma. d. Terapi yang perlu diperhatikan a. Airway dan Breathing Perhatikan adanya apneu. Penderita mendapat ventilasi dengan oksigen 100% sampai diperoleh AGD dan dapat dilakukan penyesuaian yang tepat terhadap FiO2.Tindakan hiperventilasi dilakukan hati-hati untuk mengoreksi asidosis dan menurunkan secara cepat TIK pada penderita dengan pupil yang telah berdilatasi. PCO2 harus dipertahankan antara 25-35 mmhg. b.

Circulation

12

Hipotensi dan hipoksia adalah merupakan penyebab utama terjadinya perburukan pada cedera otak sedang. Hipotensi merupakan petunjuk adanya kehilangan darah yang cukup berat, walaupun tidak tampak. Jika terjadi hipotensi maka tindakan yang dilakukan adalah menormalkan tekanan darah. Lakukan pemberian cairan untuk mengganti volume yang hilang sementara penyebab hipotensi dicari. c.

Disability (pemeriksaan neurologis) Pada penderita hipotensi pemeriksaan neurologis tidak dapat dinilai sebagai data akurat, karena penderita hipotensi yang tidak menunjukkan respon terhadap stimulus apapun, ternyata menjadi normal kembali segera tekanan darahnya normal. Pemeriksaan neurologis meliputi pemeriksaan GCS dan reflek cahaya pupil. GCS diukur untuk menilai respon pasien yang menunjukkan tingkat kesadaran pasien. GCS didapat dengan berinteraksi dengan pasien, secara verbal atau dengan rangsang nyeri pada pangkal kuku atau anterior ketiak. Pada pasien dengan cedera otak sedang perlu dilakukan pemeriksaan GCS setiap setengah jam sekali idealnya. Untuk mendapatkan keseragaman dari penilaian tingkat kesadaran secara kwantitatif (yang sebelumnya tingkat kesadaran diukur secara kwalitas seperti apatis, somnolen dimana pengukuran seperti ini didapatkan hasil yang tidak seragam antara satu pemeriksaan dengan pemeriksa yang lain) maka dilakukan pemeriksaan dengan skala kesadaran secara glasgow, ada 3 macam indikator yang diperiksa yaitu reaksi membuka mata, reaksi verbal, reaksi motorik. Glasgow Coma Scale Respon membuka mata (E)

Nilai

Buka mata spontan

4

Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara

3

Buka mata bila dirangsang nyeri

2

Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun Respon verbal (V)

1

Komunikasi verbal baik, jawaban tepat

5

Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang

4

Kata-kata tidak teratur

3

Suara tidak jelas

2

Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun Respon motorik (M)

1

Mengikuti perintah

6

Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan

5

Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan

4 13

Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal

3

Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal

2

Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi.

1

G. Pemeriksaan penunjang 1) Pemeriksaan Laboratorium Adapun pemeriksaan laboratorium darah yang berguna pada kasus cedera kepala yaitu: a)

Hemoglobin sebagai salah satu fungsi adanya perdarahan yang berat

b) Leukositosis untuk salah satu indikator berat ringannya cedera kepala yang terjadi. c)

Golongan Darah persiapan bila diperlukan transfusi darah pada kasus perdarahan yang berat.

d) GDS memonitor agar jangan sampai terjadi hipoglikemia maupun hiperglikemia. e)

Fungsi Ginjal memeriksa fungsi ginjal, pemberian manitol tidak boleh dilakukan pada fungsi ginjal yang tidak baik.

f)

Analisa Gas Darah PCO2 yang tinggi dan PO2 yang rendah akan memberikan prognosis yang kurang baik, oleh karenanya perlu dikontrol PO2 tetap > 90 mmHg, SaO2 > 95 % dan PCO2 30-50 mmHg. Atau mengetahui adanya masalah ventilasi perfusi atau oksigenisasi yang dapat meningkatkan TIK.

g) Elektrolit adanya gangguan elektrolit menyebabkan penurunan kesadaran. h) Toksikologi mendeteksi obat yang mungkin menimbulkan penurunan kesadaran. 2) Pemeriksaan Radiologi a) CT Scan adanya nyeri kepala, mual, muntah, kejang, penurunan kesadaran, mengidentifikasi adanya hemoragi, pergeseran jaringan otak. b) Angiografi Serebral menunjukkan kelainan sirkulasi cerebral seperti pergeseran cairan otak akibat oedema, perdarahan, trauma. c) EEG (Electro Encephalografi) memperlihatkan keberadaan/perkembangan gelombang patologis. d) MRI (Magnetic Resonance Imaging) mengidentifikasi perfusi jaringan otak, misalnya daerah infark, hemoragik. e) Sinar X mendeteksi adanya perubahan struktur tulang tengkorak. f) Test Orientasi dan Amnesia Galveston (TOAG) untuk menentukan apakah pasien trauma kepala sudah pulih daya ingatnya.

14

LAPORAN PENDAHULUAN EPIDURAL HEMATOM A. DEFINISI Beberapa pengertian mengenai epidural hematoma (EDH) sebagai berikut: Epidural hematom adalah salah satu akibat yang ditimbulkan dari sebuah trauma kepala (Greenberg et al, 2012). Epidural hematom adalah hematom/perdarahan yang terletak antara durameter dan tubula interna/lapisan bawah tengkorak, dan sering terjadi pada lobus temporal dan paretal (Smeltzer&Bare, 2009). Epidural hematom sebagai keadaan neurologist yang bersifat emergency dan Biasanya berhubungan dengan linear fraktur yang memutuskan arteri yang lebih besar, sehingga menimbulkan perdarahan (Anderson, 2005). B. ETIOLOGI Epidural hematom terjadi karena laserasi atau robekan pembuluh darah yang ada diantara durameter dan tulang tengkorak akibat benturan yang menyebabkan fraktur tengkorak seperti kecelakaan kendaraan dan trauma (Japardi, 2014). Perdarahan biasanya bersumber dari robeknya arteri meningica media (paling sering), vena diploica (karena fraktur kalvaria), vena emmisaria, dan sinus venosus duralis (Bajamal, 2009) C. PATOFISIOLOGI Epidural hematom secara khas timbul sebagai akibat dari sebuah luka atau trauma atau fraktur pada kepala yang menyebabkan laserasi pada pembuluh darah arteri, khususnya arteri meningea media dimana arteri ini berada diantara durameter dan tengkorak daerah temporal. Rusaknya arteri menyebabkan perdarahan yang memenuhi epidural. Apabila perdarahan terus mendesak durameter, maka darah memotong atau menjauhkan daerah durameter dengan tengkorak, hal ini memperluas hematoma. Perluasan hematom menekan hemisfer otak dibawahanya yaitu lobus temporal ke dalam dan ke bawah. Seiring terbentuknya hematom maka memberikan efek yang cukup berat yakni isi otak akan mengalami herniasi. Herniasi menyebabkan penekanan saraf yang ada dibawahnya seperti medulla oblongata yang menyebabkan terjadinya penurunan hingga hilangnya kesadaran. Pada bagian ini terdapat nervus okulomotor yang menekan saraf sehingga menyebabkan peningkatan TIK, akibatnya terjadi penekanan saraf yang ada diotak (Japardi, 2009 dan Mcphee et al, 2012) 15

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG Menurut Doengoes (2004), pemeriksaan penunjang yang biasa dilakukan pada kasus epidural hematom yaitu sebagai berikut: 1. CT-Scan: untuk mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler pergeseran otak. CT-Scan merupakan pilihan primer dalam hal mengevaluasi trauma kepala. Sebuah epidural hematom memiliki batas yang kasar dan penampakan yang bikonveks pada CT-Scan dan MRI. Tampakan biasanya merupakan lesi bikonveks dengan densitas tinggi yang homogen, tetapi mungkin juga tampok sebagai ndensitas yang heterogen akibat dari pencampuran antara darah yang menggumpal dan tidak menggumpal. 2. MRI: memberikan foto berbagai kelainan parenkim otak dengan lebih jelas karena mampu melakukan pencitraan dari berbagai posisi apalagi dalam pencitraan hematom dan cedera batang otak. 3.

Angiografi serebral: untuk menunjukan kelainan sirkulasi serebral seperti pergeseran jaringan otak karena edema dan trauma.

4. EEG: untuk memperlihatkan gelombang patologis. 5. Sinar X: untuk mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur dari garis tengah (karena perdarahan/edema), dan adanya fragmen tulang. 6. BAER (brain auditory evoked respons): untuk menentukan fungsi korteks dan batang otak. 7. PET (positron emmision topography): untuk menunjukan metabolism otak. 8. Pungsi lumbal: untuk menduga kemungkinan perdarahan subarachnoid. 9. AGD : untuk melihat masalah ventilasi/oksigenasi yang meningkatkan TIK E. PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan epidural hematom terdiri dari: 1. Terapi Operatif. Terapi operatif bisa menjadi penanganan darurat yaitu dengan melakukan kraniotomi. Terapi ini dilakukan jika hasil CT-Scan menunjukan volume perdarahan/hematom sudah lebih dari 20 CC atau tebal lebih dari 1 cm atau dengan pergeseran garis tengah (midline shift) lebih dari 5 mm. Operasi yang dilakukan adalah evakuasi hematom untuk menghentikan sumber perdarahan sedangkan tulang kepala dikembalikan. Jika 16

saat operasi tidak didapatkan adanya edema serebri sebaliknya tulang tidak dikembalikan (Bajamal, 2010) 2. Terapi Medikamentosa. Terapi medikamentosa dapat dilakukan dengan carasebagai berikut: a.

Mengevaluasi kepala pasien 30⁰ setelah memastikan tidak ada cedera spinal atau posisikan trendelenburg terbalik untuk mengurangi TIK.

b. Berikan dexametason (pemberian awal dengan dosis 10 mg kemudian dilanjutkan dengan dosis 4 mg setiap 6 jam). c.

Berikan manitol 20% untuk mengatasi edema serebri.

d. Berikan barbiturat untuk mengatasi TIK yang meninggi.

17

LAPORAN PENDAHULUAN ICH (INTRACEREBRAL HEMATOM) F. DEFINISI Perdarahan intracerebral adalah perdarahan yang terjadi pada jaringan otak biasanya akibat robekan pembuluh darah yang ada dalam jaringan otak. Secara klinis ditandai dengan adanya penurunan kesadaran yang kadang-kadang disertai lateralisasi (Paula, 2009). Intra Cerebral Hematom adalah perdarahan kedalam substansi otak. Hemorragi ini biasanya terjadi dimana tekanan mendesak kepala sampai daerah kecil dapat terjadi pada luka tembak ,cidera tumpul. (Suharyanto, 2009) Intra secerebral hematom adalah pendarahan dalam jaringan otak itu sendiri. Hal ini dapat timbul pada cidera kepala tertutup yang berat atau cidera kepala terbuka .intraserebral hematom dapat timbul pada penderita stroke hemorgik akibat melebarnya pembuluh nadi. (Corwin, 2009) G. ETIOLOGI Etiologi dari Intra Cerebral Hematom adalah : 1. Kecelakaan yang menyebabkan trauma kepala 2. Fraktur depresi tulang tengkorak 3. Gerak akselerasi dan deselerasi tiba-tiba 4. Cedera penetrasi peluru 5. Jatuh 6. Kecelakaan kendaraan bermotor 7. Hipertensi 8. Malformasi Arteri Venosa 9. Aneurisma 10. Distrasia darah H. TANDA DAN GEJALA Beberapa gejala, seperti lemah, lumpuh, kehilangan perasa, dan mati rasa, seringkali mempengaruhi hanya salah satu bagian tubuh. orang kemungkinan tidak bisa berbicara atau menjadi pusing. Penglihatan kemungkinan terganggu atau hilang. Mata bisa di ujung perintah yang berbeda atau menjadi lumpuh. Pupil bisa menjadi tidak normal besar atau 18

kecil. Mual, muntah, serangan, dan kehilangan kesadaran adalah biasa dan bisa terjadi di dalam hitungan detik sampai menit. Menurut Corwin (2009) manifestasi klinik dari dari Intra cerebral Hematom yaitu : 1. Kesadaran mungkin akan segera hilang, atau bertahap seiring dengan membesarnya hematom. 2. Pola pernapasaan dapat secara progresif menjadi abnormal. 3. Respon pupil mungkin lenyap atau menjadi abnormal. 4. Dapat timbul muntah-muntah akibat peningkatan tekanan intra cranium. 5. Perubahan perilaku kognitif dan perubahan fisik pada berbicara dan gerakan motorik dapat timbul segera atau secara lambat. 6. Nyeri kepala dapat muncul segera atau bertahap seiring dengan peningkatan tekanan intra cranium. I. PATOFISIOLOGI Perdarahan intraserebral ini dapat disebabkan oleh karena ruptur arteria serebri yang dapat dipermudah dengan adanya hipertensi. Keluarnya darah dari pembuluh darah didalam otak berakibat pada jaringan disekitarnya atau didekatnya, sehingga jaringan yang ada disekitarnya akan bergeser dan tertekan. Darah yang keluar dari pembuluh darah sangat mengiritasi otak, sehingga mengakibatkan vosospasme pada arteri disekitar perdarahan, spasme ini dapat menyebar keseluruh hemisfer otak dan lingkaran willisi, perdarahan aneorisma-aneorisma ini merupakan lekukan-lekukan berdinding tipis yang menonjol pada arteri pada tempat yang lemah. Makin lama aneorisme makin besar dan kadang-kadang pecah saat melakukan aktivitas. Dalam keadaan fisiologis pada orang dewasa jumlah darah yang mengalir ke otak 58 ml/menit per 100 gr jaringan otak. Bila aliran darah ke otak turun menjadi 18 ml/menit per 100 gr jaringan otak akan menjadi penghentian aktifitas listrik pada neuron tetapi struktur sel masih baik, sehingga gejala ini masih revesibel. Oksigen sangat dibutuhkan oleh otak sedangkan O2 diperoleh dari darah, otak sendiri hampir tidak ada cadangan O2 dengan demikian otak sangat tergantung pada keadaan aliran darah setiap saat. Bila suplay O2 terputus 8-10 detik akan terjadi gangguan fungsi otak, bila lebih lama dari 6-8 menit akan tejadi jelas/lesi yang tidak putih lagi (ireversibel) dan kemudian kematian. Perdarahan dapat meninggikan tekanan intrakranial dan menyebabkan ischemi didaerah lain yang tidak perdarahan, sehingga dapat berakibat mengurangnya aliran darah ke otak baik secara umum maupun lokal. Timbulnya penyakit ini sangat cepat dan konstan dapat berlangsung beberapa menit, jam bahkan beberapa hari. (Corwin, 2009) 19

J. PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Angiografi serebral Membantu menentukan penyebab dari stroke secara apesifik seperti perdarahan arteriovena atau adanya ruptur. 2. CT Scan Memperlihatkan secara spesifik letak oedema, posisi hematoma, adanya jaringan otak yang infark atau iskemia serta posisinya secara pasti. CT scan merupakan pemeriksaan paling sensitif untuk PIS dalam beberapa jam pertama setelah perdarahan. CT-scan dapat diulang dalam 24 jam untuk menilai stabilitas.

Gambar 1: hasil CT-scan pada ICH 3. Pungsi lumbal Tekanan yang meningkat dan di sertai dengan bercak darah pada cairan lumbal menunjukkan adanya haemoragia pada sub arachnoid atau perdarahan pada intrakranial. Peningkatan jumlah protein menunjukan adanya proses inflamasi. 4. MRI (Magnetic Imaging Resonance) Dengan menggunakan gelombang magnetic untuk menentukan posisi serta besar/ luas terjadinya perdarahan otak.

Gambar 2: MRI pada ICH

20

5. EEG Melihat masalah yang timbul dampak dari jaringan yang infark sehingga menurunnya impuls listrik dalam jaringan otak. 6. Pemeriksaan Laboratorium a) Pemeriksaan darah lengkap Untuk mengetahui adanya anemia, trombositopenia dan leukositosis yang dapat menjadi factor risiko stroke hemoragik. b) Pemeriksaan glukosa darah Untuk mengetahui kadar glukosa darah sebagai sumber bahan bakar untuk metabolism sel otak. Apabila kadar glukosa darah yang terlalu rendah maka akan dapat terjadi kerusakan pada jaringan otak c) Pemeriksaan analisa gas darah Untuk mengetahui gas darah yang disuplai ke jaringan otak sebagai sumber untuk metabolisme d) Pemeriksaan serum elektrolit K. PENATALAKSANAAN Pengobatan pada pendarahan intracerebral berbeda dari stroke ischemic. Anticoagulant (seperti heparin dan warfarin), obat-obatan trombolitik, dan obat-obatan antiplatelet (seperti aspirin) tidak diberikan karena membuat pendarahan makin buruk. Jika orang yang menggunakan antikoagulan mengalami stroke yang mengeluarkan darah, mereka bisa memerlukan pengobatan yang membantu penggumpalan darah seperti : e. Vitamin K, biasanya diberikan secara infuse. f. Transfusi atau platelet. Transfusi darah yang telah mempunyai sel darah dan pengangkatan platelet (plasma segar yang dibekukan). g. Pemberian infus pada produk sintetis yang serupa pada protein di dalam darah yang membantu darah untuk menggumpal (faktor penggumpalan). Operasi untuk mengangkat penumpukan darah dan menghilangkan tekanan di dalam tengkorak, bahkan jika hal itu bisa menyelamatkan hidup, jarang dilakukan karena operasi itu sendiri bisa merusak otak. Juga, pengangkatan penumpukan darah bisa memicu pendarahan lebih, lebih lanjut kerusakan otak menimbulkan kecacatan yang parah. Meskipun begitu, operasi ini kemungkinan efektif untuk pendarahan pada kelenjar pituitary atau pada cerebellum. Pada beberapa kasus, kesembuhan yang baik adalah mungkin. 21

Menurut Corwin (2009) menyebutkan penatalaksanaan untuk Intra Cerebral Hematom adalah sebagai berikut : a. Observasi dan tirah baring terlalu lama. b. Mungkin diperlukan ligasi pembuluh yang pecah dan evakuasi hematom secara bedah. c. Mungkin diperlukan ventilasi mekanis. d. Untuk cedera terbuka diperlukan antibiotiok. e. Metode-metode untuk menurunkan tekanan intra kranium termasuk pemberian diuretik dan obat anti inflamasi. f. Pemeriksaan Laboratorium seperti: CT-Scan, Thorax foto, dan laboratorium lainnya yang menunjang.

22

(Respiratory failure) A. Definisi Gagal nafas adalah ketidakmampuan sistem pernafasan untuk mempertahankan oksigenasi darah normal (PaO2), eliminasi karbon dioksida (PaCO2) dan pH yang adekuat disebabkanoleh masalah ventilasi difusi atau perfusi (Susan Martin T, 2009) Gagal nafas adalah kegagalan sistem pernafasan untuk mempertahankan pertukaran oksigen dankarbondioksida dalam jumlah yangdapat mengakibatkan gangguan pada kehidupan (RS Jantung “Harapan Kita”, 2010) Gagal nafas terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap karbondioksida dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju komsumsioksigen dan pembentukan karbon dioksida dalam sel-sel tubuh. Sehingga menyebabkan tegangan oksigen kurang dari 50 mmHg (Hipoksemia) dan peningkatan tekanan karbondioksida lebih besar dari 45 mmHg (hiperkapnia). (Brunner & Sudarth, 2010) Ventilator adalah suatu alat yang digunakan untuk membantu sebagian atau seluruh proses ventilasi untuk mempetahankan oksigenasi B. Etiologi / Penyebab 1. Depresi Sistem saraf pusat Mengakibatkan gagal nafas karena ventilasi tidak adekuat. Pusat pernafasan yang menngendalikan pernapasan, terletak dibawah batang otak (pons dan medulla) sehingga pernafasan lambat dan dangkal. 2. Kelainan neurologis primer Akan memperngaruhi fungsi pernapasan. Impuls yang timbul dalam pusat pernafasan menjalar melalui saraf yang membentang dari batang otak terus ke saraf spinal ke reseptor pada otot-otot pernafasan. Penyakit pada saraf seperti gangguan medulla spinalis, otot-otot pernapasan atau pertemuan neuromuslular yang terjadi pada pernapasan akan sangatmempengaruhiventilasi. 3. Efusi pleura, hemotoraks dan pneumothoraks Merupakan kondisi yang mengganggu ventilasi melalui penghambatan ekspansi paru. Kondisi ini biasanya diakibatkan penyakti paru yang mendasari, penyakit pleura atau trauma dan cedera dan dapat menyebabkan gagal nafa 4. Trauma Disebabkan oleh kendaraan bermotor dapat menjadi penyebab gagal nafas. Kecelakaan yang mengakibatkan cidera kepala, ketidaksadaran dan perdarahan dari hidung dan mulut dapat mnegarah pada obstruksi jalan nafas atas dan depresi 23

pernapasan. Hemothoraks, pnemothoraks dan fraktur tulang iga dapat terjadi dan mungkin meyebabkan gagal nafas. Flail chest dapat terjadi dan dapat mengarah pada gagal nafas. Pengobatannya adalah untuk memperbaiki patologi yang mendasar 5. Penyakit akut paru Pnemonia disebabkan oleh bakteri dan virus. Pnemonia kimiawi atau pnemonia diakibatkan oleh mengaspirasi uap yang mengritasi dan materi lambung yang bersifat asam. Asma bronkial, atelektasis, embolisme paru dan edema paru adalah beberapa kondisi lain yang menyababkan gagal nafas. C. Klasifikasi 1. Gagal nafas akut Gagal nafas yang timbul pada pasien yang paru-parunya normal secara structural maupun fungsional sebelum awitan penyakit timbul 2. Gagal ginjal kronis Terjadi pada pasien dengan penyakit paru kronik seperti bronchitis kronik empisema dan penyakit paru hitam D. Patofisiologi Gagal nafas ada dua macam yaitu gagal nafas akut dan gagal nafas kronik dimana masing masing mempunyai pengertian yang berbeda. Gagal nafas akut adalah gagal nafas yang timbul pada pasien yang parunyanormal secara struktural maupun fungsional sebelum awitan penyakit timbul. Sedangkan gagal nafas kronik adalah terjadi pada pasien dengan penyakit paru kronik seperti bronkitis kronik, emfisema dan penyakit paru hitam (penyakit penambang batubara).Pasien mengalalmi toleransi terhadap hipoksia dan hiperkapnia yang memburuk secara bertahap. Setelah gagal nafas akut biasanya paru-paru kembali kekeasaan asalnya. Pada gagal nafas kronik struktur paru alami kerusakan yang ireversibel. Indikator gagal nafas telah frekuensi pernafasan dan kapasitas vital, frekuensi penapasan normal ialah 16-20 x/mnt. Bila lebih dari20x/mnt tindakan yang dilakukan memberi bantuan ventilator karena “kerja pernafasan” menjadi tinggi sehingga timbul kelelahan. Kapasitas vital adalah ukuran ventilasi (normal 10-20 ml/kg). Gagal nafas penyebab terpenting adalah ventilasi yang tidak adekuatdimana terjadi obstruksi jalan nafas atas. Pusat pernafasan yang mengendalikan pernapasan terletak di bawah batang otak (pons dan medulla). Pada kasus pasien dengan anestesi, cidera kepala, stroke, tumor otak, ensefalitis, meningitis, hipoksia dan hiperkapnia 24

mempunyai kemampuan menekan pusat pernafasan. Sehingga pernafasan menjadi lambat dan dangkal. Pada periode postoperatif dengan anestesi bisa terjadi pernafasan tidak adekuat karena terdapat agen menekan pernafasan denganefek yang dikeluarkanatau dengan meningkatkan efek dari analgetik opioid. Pnemonia atau dengan penyakit paru-paru dapat mengarah ke gagal nafas akut.

Pathway gagal nafas

25

E. Tanda Dan Gejala 26

1. Gagal nafas total  Aliran udara di mulut, hidung tidak dapat didengar/dirasakan.  Pada gerakan nafas spontan terlihat retraksi supra klavikuladan sela iga serta tidak ada pengembangan dada pada inspirasi  Adanya kesulitasn inflasi parudalam usaha memberikan ventilasi buatan 2. Gagal nafas parsial  Terdenganr suara nafas tambahan gargling, snoring, Growing dan whizing.  Ada retraksi dada 3. Gejala Disertai  Hiperkapnia yaitu penurunan kesadaran (PCO2)  Hipoksemia yaitu takikardia, gelisah, berkeringat atau sianosis (PO2 menurun) F. Pemeriksaan Penunjang a) Laboratorium 1. Analisis gas darah (pH meningkat, HCO3 meningkat, PaCO2 meningkat, PaO2 menurun) dan kadar elektrolit (Kalium). 2. Pemeriksaan darah lengkap: anemia bisa meneyebabkan hipoksia jaringan polisitemia bisa terjadi bila hipoksia tidak diobati dengan cepat. 3. Fungsi ginjal dan hati: untuk mencari etiologi atau ientifikasi komplikasi yang berhubungan dengan gagal nafas. 4. Serum kreatinin kinase dan troponin : untuk menyingkirkan infark miocard akut b) Radiologi Rontgen toraks membantu mengidentifikasi kemungkinan penyebab gagal nafas seperti atelectasis dan pneumonia. c) EKG dan Echocardiografi : jika gagal nafas akut disebabkan oleh cardiac d) Uji faal paru : sangat berguna untuk evaluasi gagal nafas kronik (volume tidal < 500ml, FVC (kapasitas vital paksa) menurun, ventilasi semenit (Ve) menurun (Lewis, 2011)

G. Penatalaksanaan medis 1. Pemberian oksigen yang adekuat dengan meningkatkan fraksi o2 akan memperbaikai PaO2 sampai sekitar 60-80 mmHg cukup untuk oksigenasi jaringan dan pencegahan hipertensi pulmonal akibat hipoksemia yang terjadi. Pemberian FiO2 < 40% menggunakan kanul nasal atau masker. Pemberian oksigen yang berlebihan akan memperberat keadaan hiperanue. Menurunkan kebutuhan oksigen dengan memperbaiki dan mengobati febris, agitasi, infeksi, sepsis dll usahakan Hb sekitar 10-12 g/dl. 27

2. Dapat digunakan tekanan positif seperti CPAP, BiPAP dan PEEP. Perbaiki elektrolit, balance PH, barotrauma, infeksi dan komplikasi iatrogenic. Gangguan pH dikoreksi pada hiperapnue akut dengan asidosis, perbaiki ventilasi alveolar dengan memberikan bantuan ventilasi mekanis, memasang dan mempertahankan jalan nafas adekuat, mengatasi bronkospasmae dan mengontrol gagal jantung, demam dan sepsis. 3. Atasi atau cegah terjadinya atelectasis, overload cairan, bronkospasmae, secret trakeobronkial yang meningkat dan infeksi. 4. Kortikosteroid jangan digunakan secara rutin. Kortikosteroid methylprednisolone bisa digunakan bersama dengan bronkodilator ketika terjadi bronkospasmae dan inflamasi. Ketika penggunaan IV kortikosteroid mempunyai reaksi onset cepat. Kortikosteroid dengan inhalasi memerlukan 4-5 hari untuk efek optimal therapy dan tidak digunakan untuk gagal nafas akut. Hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan IV kortikosteroid, monitor tingkat kalium yang memperburuk hypokalemia yang disebabkan diuretic. Penggunaan jangka panjang menyebabkan insufisiensi adrenalin 5. Perubahan posisi dari posisi tiduran menjadi posisi tegak meningkatkan volume paru yang ekuivalen dengan 5-12 cm H2O PEEP. 6. Drainase secret trakeobronkial yang kental dilakukan dengan pemberian mukolitik, hidrasi cukup, humidifikasi udara yang dihirup perkusi vibrasi dada dan latihan batuk efektif. 7. Pemberian antibiotic apabila timbul bronkospasmae 8. Bronkodilator diberikan apabila timbul bronkospasmae 9. Penggunaan intubasi dan ventilator apabila terjjadi asidemia, hipoksemia dan disfungsi sirkulasi yang prospektif (Lewis, 2011)

ASUHAN KEPERAWATAN A. PENGKAJIAN Data yang perlu dikaji : a. Identitas Klien: untuk mengkaji status klien (nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, alamat, pekerjaan, status perkawinan) b. Riwayat kesehatan: diagnosa medis, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat kesehatan terdahulu terdiri dari penyakit yang pernah dialami, alergi,

28

imunisasi, kebiasaan/pola hidup, obat-obatan yang digunakan, riwayat penyakit keluarga c. Pemeriksaan fisik 1) Keadaan umum, tanda vital 2) Pengkajian Fisik (inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi): kepala, mata, telinga, hidung, mulut, leher, dada, abdomen, urogenital, ekstremitas, kulit dan kuku, dan keadaan lokal. Perlu dilakukan pengkajian yang lebih menyeluruh dan mendalam dari berbagai aspek untuk mengetahui permasalahan yang ada pada klien dengan cidera otak berat dan trauma pada abdomen, sehingga dapat ditemukan masalah-masalah yang ada pada klien. Prinsip umum yang dapat dilakukan untuk mengkaji permasalahan pada pasien yaitu dengan B6: a. Breathing: Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing (kemungkinan karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada jalan napas. Trauma

tumpul

pada

abdomen

dapat

menimbulkan

munculnya

pembengkakan organ intraabdomen sehingga terjadi kompresi diafragma yang dapat menimbulkan frekuensi pernapasan meningkat. b. Blood: Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia). Kerusakan jaringan vaskuler pada abdomen dapat menyebabkan terjadinya perdarahan masif sehingga terjadi potensial komplikasi perdarahan intraabdomen. c. Brain: Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, kelemahan pada ekstrimitas. Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada nervus cranialis, maka dapat terjadi :

29

1. Perubahan

status

mental

(orientasi,

kewaspadaan,

perhatian,

konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori) 2. Perubahan

dalam

penglihatan,

seperti

ketajamannya,

diplopia,

kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia 3. Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata. 4. Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh. 5. Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus vagusmenyebabkan kompresi spasmodik diafragma. 6. Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan. 7. Pemeriksaan GCS 8. Pengkajian saraf kranial d. Bladder : Pada cidera kepala dan abdomen sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia urin, ketidakmampuan menahan miksi. e. Bowel : Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah (mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera. Gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya proses eliminasi alvi. f. Bone : Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat pula terjadi spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi karena rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus otot. d. Terapi, pemeriksaan penunjang & laboratorium B. Diagnosa Keperawatan 1. Resiko perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penurunan aliran darah ke otak. 2. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan akumulasi sekret pada jalan napas 3. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan ekspansi paru tidak maksimal 4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan dan mual muntah yang terus menerus, terjadinya penurunan BB.

30

5. Nyeri akut berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan, penekanan reseptor nyeri. 6. Resiko infeksi berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan tulang, jaringan kulit, otot, dan laserasi pembuluh darah 7. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual muntah yang terus menerus 8. Resiko cedera berhubungan dengan penurunan kesadaran 9. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilisasi dalam waktu yang lama 10. Mual berhubungan dengan peningkatan asam lambung. C. INTERVENSI KEPERAWATAN 1. Resiko pefusi jaringan cerebral Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x 24 jam diharapkan perfusi jaringan serebral membaik dengan skala sbb: 1. Berat 2. Besar 3. Sedang 4. Ringan 5. Tidak ada No 1 2 3 4 5 6

Outcome Sakit kepala Kegelisahan Penurunan tingkat kesadaran Refles saraf terganggu Keadaan pingsan Demam

1

2

3

4

5

Intervensi : 1. Manajemen edema serebral b. Monitor adanya kebingungan, perubahan pikiran, keluhan pusing dan pingsan c. Monitor tanda-tanda vital d. Monitor status pernapasan: frekuensi, irama, kedalamanpernapasan, PaO2, PCO2, PH dan bikarbonat e. Posisikan tinggi kepala tidur 30⁰ atau lebih f. Lakukan latihan ROM Pasif g. Monitor intake dan otput 2. Monitor tekanan intra kranial a. Monitor status neurologis b. Monitor suhu c. Letakkan kepala dan leher dalam posisi netral d. Berikan antiobik Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam status pernafasan : kepatenan jalan nafas efektif yang ditunjukkan dengan skala, sbb : 1. Deviasi berat dari kisaran normal 2. Deviasi yang cukup berat dari kisaran normal 31

3. Deviasi sedang dari kisaran normal 4. Deviasi ringan dari kisaran normal 5. Tidak ada deviasi dari kisaran normal No 1. 2. 3. 4.

Indikator Frekuensi pernafasan Irama pernafasan Kedalaman inspirasi Kemmapuan untuk mengeluarkan

1

2

3

4

5

sekret Intervensi : 1. Manajemen jalan nafas a. Buka jalan nafas dengan teknik chin lift atau jaw thrust, sebagaimana b. c. 2. 3.

mestinya Posisikan pasein untuk memaksimalkan ventilasi Identifikasi kebutuhan aktual / potensial pasien untuk memasukkan alat

membuka jalan nafas Manajemen batuk Monitor pernafasan a. Monitor kecepatan, irama, kedalaman, dan kesulitan bernafas b. Catat pergerakan dada, catat ketidaksemetrisan, penggunaan otot – otot

bantu nafas, dan retraksi pada otot supraclaviculas dan interkosta c. Monitor suara nafas tambahan seperti ngorok atau mengi. 3. Ketidakefektifan pola pernafasan Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam status pernafasan baik yang ditunjukkan dengan skala, sebagai berikut: 1. Deviasi berat dari kisaran normal 2. Deviasi yang cukup besar dari kisaran normal 3. Deviasi sedang dari kisaran normal 4. Deviasi ringan dari kisaran normal 5. Tidak ada deviasi ringan dari kisaran normal No. 1. 2. 3. 4. 5.

Indikator Frekuensi pernafasan Irama pernafasan Kepatenan jalan nafas Saturasi oksigen Suara auskultasi nafas

1

2

3

4

5

32

Intervensi : 1. Penghisapan lendir pada jalan nafas a. Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah tindakan b. Masukkan nasopharyngeal airway untuk melakukan suction nasotracheal sesuai kebutuhan c. Instruksikan kepada pasien untuk menarik nafas sebelum tindakan 2. Menejemen jalan nafas buatan a. Memberikan OPA b. Memberikan kelembaban 100% pada udara, oksigen atau gas yang dihisap c. Lakukan fisioterapi dada jika diperlukan 3. Terapi oksigen a. Bersihkan mulut, hidung dan sekresi trakea dengan tepat b. Pertahankan kepatenan jalan nafas c. Konsultasi dengan tenaga kesehatan lain mengenai penggunaan oksigen.

33

DAFTAR PUSTAKA Bulechek, Gloria M., et al. 2013. Nursing Interventions Classification (NIC). Fifth Edition. Mosby Elsevier. Corwin, Elizabeth J. 2009.Buku Saku PATOFISIOLOGI.Jakarta : EGC Herdman H. 2012. NANDA International Nursing Diagnoses: Definitions and Classifications 2012-2014. Oxford: Wiley Blacwell. Mansjoer, Arif. 2010. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid I. Edisi III. Jakarta: Media Aesculapius FK UI. Meagher, J Richard. 2013. Subdural hematoma. Medscape. Mitchell, et al. 2010. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit ed.7. Jakarta: EGC. Moorhead, Sue., et al. Tanpa tahun. Nursing Outcomes Classification (NOC). Mosby Elsevier. Muttaqin, A. 2009. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika. Nursalam. 2011. Manajemen Asuhan Keperawatan. Salemba medika jakarta Paula, J. Christensen dan Janet W Kenney. 2009. Proses Keperawatan Aplikasi Model Konseptual. Jakarta: EGC Price, Sylvia Anderson, dan Wilson, Lorraine M. 2011. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume II. Edisi VI. Jakarta: EGC. Smeltzer, S., and Barre, B. 2010. Medical Surgical Nursing. Philadelphia: Davis Comp. Suharyanto,Toto , Abdul Madjid. 2009. Asuhan Keperwatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika. Tom, S., dkk, 2011. Subdural Hematoma in Emergency Medicine, Medscape Reference

34

Related Documents

Ega
April 2020 7
Ega Lusiana.docx
December 2019 10
Ega Egutegia07
August 2019 9
Ega Cob.doc
November 2019 7
Pemogokan & Unjuk Rasa-ega
November 2019 8
Ega Esamoldeak 2001
June 2020 9

More Documents from ""

Tik.pdf
November 2019 4
Infodatin-asi.pdf
November 2019 6
Ega Cob.doc
November 2019 7