Ed-dadang Fin.doc

  • Uploaded by: Khairunnisa Manurung
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Ed-dadang Fin.doc as PDF for free.

More details

  • Words: 3,862
  • Pages: 15
TANTANGAN PERAN PENDIDIKAN TINGGI DI MASA DEPAN Dadang Ahmad Suriamihardja Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Hasanuddin Makassar, Sulawesi Selatan, Indonesia 90245 e-mail: [email protected]

ABSTRAK Harapan target Milenium Development Goals (MDGs) bagi kualitas manusia Indonesia kelak adalah harus menjadi insan pembelajar yang mandiri. Sejalan dengan berlangsungnya proses tersebut, tugas lembaga pendidikan bergeser dari teaching university ke knowledge server bahkan menjadi mitra jasa dalam bidang research & innovation. Dalam kondisi seperti itu kelak lembaga pendidikan tidak hanya menampung real students tetapi menjaring virtual students untuk melahirkan berbagai inovasi. Tantangan inovasi mendatang akan berupa survivability kehidupan manusia di muka bumi untuk mengelola jumlah penduduk bumi, perubahan iklim, dan ketersediaan pangan secara terpadu. Pendidikan menuju kondisi seperti itu perlu dipikirkan dan dikembangkan dengan berbasis pada konsep humanosphere. Konsep ini tidak menjadikan dunia harus terpisah-pisah, sehingga terkadang kemajuan satu komponen mempengaruhi secara negatif perubahan komponen lainnya. Namun, inovasi yang terbangun diharapkan dapat menciptakan dunia beragam yang harmonis (harmonious worldly worlds), agar kemajuan satu komponen memacu komponen lainnya untuk maju pula.

PENDAHULUAN

“Pendidikan adalah proses harmonisasi antara alam wiraga (dunia tindakan) dan alam wirama (dunia pengendalian)” (Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, 2 Mei 1889 26 April 1959). Latar Belakang Amanat Mukadimah Undang-undang Dasar 1945 kepada Pemerintah Negara adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa; dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Mengambil makna dari amanat itu, terutama dalam melaksanakan amanat kedua, maka ditetapkan Undang-Undang (UU) No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (sisdiknas) sebagai pengganti terhadap UU serupa sebelumnya. UU tersebut mendefinisikan pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, ahlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Dengan definisi ini, secara tersirat diakui dan dipercayai bahwa sesungguhnya peserta didik sebagai insan akademis secara kodrati telah memiliki potensi untuk pengembangan dirinya sendiri. Kemudian, dalam pertumbuhan dan perkembangannya itu, perlu disiapkan suasana dan proses pembelajaran yang memadai menuju kualitas diri sebagai pembelajar sejati dan mandiri. Selanjutnya, Pasal 3 UU No. 20 tahun 2003 menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Fuad Hassan berpendapat bahwa kita sebagai manusia, baik yang mendidik maupun yang dididik, secara bersama-sama melakukan pembelajaran untuk kemajuan bersama. Dalam proses pendidikan itu, berlangsung proses-proses pembiasaan,

pembelajaran dan peneladanan, yang satu sama lain saling mengisi. Sehingga, manusia adalah makhluk yang senantiasa terlibat dalam proses pendidikan, baik yang dilakukan terhadap orang lain maupun terhadap dirinya sendiri. Pembiasaan dan peneladanan sangat besar pengaruhnya dalam pendidikan sejak masa prasekolah, upaya pembiasaan akan memantapkan pola perilaku pada peserta didik dalam berbagai situasi dan interaksi. Upaya pendidikan melalui peneladanan terhadap seseorang yang dijadikan sebagai citra anutan merupakan proses yang biasa disebut sebagai pembelajaran sosial (social learning). Dalam pembelajaran sosial dapat saja terjadi dampak positif maupun negatif, baik terhadap peserta didik maupun pendidik. Pembelajaran sosial secara interaksional, bagi pendidik maupun peserta didik, dapat menjadi sarana atau model yang berperan sebagai penemu jatidiri masing-masing. Satu sama lain saling menyadari kelemahan untuk upaya perbaikan dan saling mengenal kekuatan untuk upaya pemupukan agar menghasilkan kekuatan baru. Ketidak-mulusan dalam proses ini dapat berakibat pada munculnya konflik kepentingan eksistensial masing-masing. Konsekuensi berlangsungnya ketiga proses pendidikan tersebut, Fuad Hasan memberikan

penyimpulan

bahwa

pendidikan

dapat

dipahami

sebagai

ikhtiar

pembudayaan, demi peradaban manusia. Dengan demikian, maka pendidikan tidak hanya merupakan prakarsa bagi terjadinya pengalihan pengetahuan dan keterampilan (transfer of knowledge and skills), tetapi juga meliputi pengalihan nilai-nilai budaya dan normanorma sosial (transmission of cultural values and social norms). Tiap masyarakat, sebagai pengemban budaya (culture bearer), berkepentingan untuk memelihara keterjalinan

antara

berbagai

upaya

pendidikan

dengan

usaha

pengembangan

kebudayaannya. Menurut Ikeda (1994), pandangan pendidikan seperti itu di Jepang sejalan dengan anjuran Makiguchi (1871-1944) yang bersahabat dan bersesuaian pemikiran dalam pandangan ini dengan Dewey (1859-1952) di Amerika. Sehubungan dengan ini, keduanya mengakui bahwa diperlukan sistem pendidikan yang mampu menciptakan nilai-nilai (value-creating education), sehingga pergeseran pandangan tentang pendidikan ini menjadi penting dan seyogyanya berlangsung dari sekadar pengalihan pengetahuan menuju proses pembelajaran untuk belajar: Education as the transmission of knowledge,

a view that continues to predominate in Japan to this day, to education as the process of learning to learn. Dalam pergeseran ini, lebih lanjut Makiguchi menyarankan agar pembelajaran tidak dipandang sebagai ‘learning as a preparation for living’, tetapi diciptakan suasana (milieu) agar ‘enable people to learn in the process of living.’ Dalam pandangan ini, hidup itu sendiri adalah peluang untuk belajar tentang masa lalu, masa kini dan masa datang di antara sesama dan antara sesama dengan alam.

Pendekatan, Pertanyaan, dan Metode Untuk mencegah agar jangan sampai kondisi persaingan hebat yang saling memusnahkan benar-benar terjadi ketika penduduk bumi semakin besar dibandingkan dengan kemampuan bumi untuk menyediakan pangan dalam pola iklim yang berubah, Makiguchi menawarkan suatu persaingan yang manusiawi (humanitarian competition) yang menghargai keberagaman. Perilaku ini harus dimulai dari situasi dini, yaitu dalam pembelajaran yang bersifat kolaboratif dan mengakui keberadaan yang saling terhubung dan tergantung dari sesama yang menekankan pada aspek kerjasama dalam berkehidupan. Pertanyaan yang muncul dari prospek mendatang seperti itu adalah bagaimana pendidikan dapat memiliki peranan sejauh mungkin untuk mempersiapkan ikhtiar pembudayaan nilai-nilai baru dalam suatu peradaban yang harmonis? Pertanyaan ini dicoba untuk dijawab melalui teropong peran pendidikan tinggi masa kini ke masa mendatang.

PEMBAHASAN Pembelajaran Mandiri: Proyeksi Nilai-Nilai Baru di Masa Depan Fokus model pembelajaran akhir-akhir ini telah banyak bergeser dari ‘teaching’ menuju ‘learning’, walaupun tetap masih dalam kerangka sebuah kontinum dari kedua kutub tersebut. Walaupun banyak kritik, tetapi secara umum, O’Neill dan McMahon

(2005) dari University College of Dublin menyatakan bahwa pembelajaran mandiri yang berpusat pada pembelajar telah terlihat sebagai suatu pengalaman positif, yang sepanjang pengalamannya itu bersandar pada pengertian pembelajaran mandiri menurut Edward (2001): Placing learners at the heart of the learning process and meeting their needs, is taken to a progressive step in which learner–centered approaches mean that persons are able to learn what is relevant for them in ways that are appropriate. Waste in human and educational resources is reduced as it suggested learners no longer have to learn what they already know or can do, nor what they are uninterested in. (Edwards 2001:37). Pergeseran ini, selain telah mulai berlangsung di berbagai Negara, juga telah berlangsung lama. Misalnya, sampai sekarang Jepang masih berupaya menggeser fokus ini, yaitu sejak perang dunia pertama usai. Dewey secara sungguh-sungguh menekankan dan menakar ‘pengalaman’ menjadi sesuatu yang fundamental dan berfungsi holistik dalam kegiatan hidup peserta didik. Sehingga, diharapkan tidak boleh terjadi bahwa suatu lembaga pendidikan terasing dan terisolasi dari realitas dan motif kehidupan peserta didiknya, karena pengalaman itu adalah ibu dari semua jenis disiplin ilmu, sekaligus sebagai sumber pemikiran untuk melahirkan nilai-nilai kehidupan. Dengan begitu, kata kembar ‘living and learning’ menjadi tidak lagi terpisah, tetapi berpadu menjadi suatu frase ‘pembelajaran sepanjang hayat’ yang dapat dimulai secara dini dari pembelajaran melalui pengalaman (experiential learning). Pemikiran Makiguchi banyak terinspirasi oleh pengertian Bhudisme tentang keberadaan yang memiliki ketergantungan (interdependence) dan memiliki keterhubungan (interconnectedness). Pada gilirannya, akan benar-benar tampak dan memberi pengaruh terhadap pendidikan bagi penghuni global dewasa ini yang minimal memiliki tiga buah pencapaian, yaitu:  The wisdom to perceive the interconnectedness of all life and living;  The courage not to fear or deny difference; but to respect and strive to understand people of different cultures, and to grow from encounters with them;

 The compassion to maintain an imaginative empathy that reaches beyond one's immediate surroundings and extends to those suffering in distant places. Tiga pencapaian itu diupayakan untuk mencegah jangan sampai kondisi persaingan hebat yang saling memusnahkan benar-benar terjadi (zero sum game). Upaya ini dibangun melalui tawaran pembelajaran mandiri secara kolaboratif. Bagi Dillenbourg (1999) dari University of Geneva, suatu teori pembelajaran berkolaborasi (collaborative learning) paling tidak berkaitan dengan empat kriteria, yaitu: situasi, interaksi, proses, dan faedah. Sehingga, hasilnya akan berdasar pada situasi dan tempat pembelajaran, melalui model interaksi khas yang dibangun oleh partisipan dengan proses sesuai dengan kemampuan dan kompetensi partisipan yang terlibat, dan tentu dengan berorientasi pada faedah besama. Sedangkan definisi kolaborasi yang digunakannya adalah: Colaborative learning is a coordinated, synchronous activity that is the result of a continued attempt to construct and maintain a shared conception of a problem" (Roschelle's & Teasley's (1995) (p. 70)). Konsep pembelajaran secara kolaboratif adalah suatu metode pembelajaran yang berpotensi untuk memenuhi tantangan itu, dan dapat menawarkan sebuah cara penyelesaian tentang bagaimana berbagai masalah tersebut dapat dipecahkan dengan melibatkan keikutsertaan partisipan terkait secara kolektif dalam suatu kelompok. Kelompok pembelajar seperti ini melakukan pembelajaran secara berkolaborasi sesuai dengan masing-masing kompetensinya. Melalui pola komunikasi dan pertukaran pemikiran, cara pandang, dan hasil telaah, kelompok seperti ini dapat mengurangi solusi parsial dan meningkatkan kualitas keutuhan. Solusi parsial tidak tepat untuk sejumlah waktu dan banyak tempat, tetapi dibutuhkan bentangan spektrum solusi holistik yang bergantung pada kesesuaian waktu dan tempat. Pembelajaran berkolaborasi tidak hanya dapat menemukan metoda penyelesaian masalah yang menyeluruh, tetapi juga akan dapat mengungkapkan pengetahuan baru tentang peta permasalahan dan peta solusi baru yang meruang dan mewaktu. Pembelajaran berkolaborasi tidak hanya berlangsung di antara teman sekelas, tetapi dapat saja dibangun di antara partisipan dari beragam universitas, bahkan dari beragam negara. Lebih dari itu, pembelajaran ini dapat mereduksi dominasi suatu pemikiran yang parsial

dalam cara pandang dan tawaran solusinya, diganti dengan pemikiran holistik yang menawarkan solusi yang menyeluruh. Sehingga pengetahuan baru yang dihasilkannya dapat mengurangi kompleksitas dan menawarkan peta keterkaitan dan penelusuran baik dalam ranah masalah maupun ranah solusi. Sejumlah pengetahuan baru yang dihasilkan didesiminasikan oleh, dan dikembangkan dalam suatu unit laboratorium, program studi, atau fakultas, untuk kemudian diaplikasikan di tengah-tengah kehidupan masyarakat, dan secara kumulatif dikelola oleh sebuah lembaga pendidikan seperti universitas. Sejauh ini, kelemahan kita adalah dalam sistem informasi tentang apa yang sedang dipelajari, apa yang dihasilkan, dan apa yang dinikmati oleh masyarakat. Kalau pertanyaan ini dapat dijawab, maka tidak akan muncul pertanyaan dari masyarakat apa gerangan yang sedang dilakukan oleh para dosen dan mahasiswa di universitas? Oleh karena itu, akhir-akhir ini sangat disarankan kepada para dosen dan mahasiswa untuk berlomba memasukkan hasil telaahnya ke jurnal internasional atau nasional terakreditasi agar hasil karyanya masuk dalam barisan makalah yang termuat dalam, misalnya, SCOPUS, yaitu suatu situs yang membuat peringkat kualitas para peneliti sekaligus peringkat sebuah universitas. Terasa sekali persaingan yang ketat telah melanda kita, dapat dibayangkan sementara kita masih berkutat pada pengumpulan produk makalah hasil karya dosen dan mahasiswa setelah meneliti, sekarang penilaian tidak berada di situ lagi, tetapi menghitung berapa banyak makalah kita yang disitasi dan dijadikan referensi oleh para peneliti lain. Ini menunjukkan bahwa topik penelitian juga harus menyentuh area yang berada di depan, aktual, dan dibutuhkan. Tentu saja, topik yang usang dapat saja termuat dalam jurnal, tetapi tidak ada yang mensitasi atau menjadikannya sebagai referensi. Di sinilah apabila pendidikan tinggi ingin menjadi sebuah lembaga sebagai knowledge server, maka terlebih dahulu pendidikan tinggi harus mampu mengelola serapan dan produk pengetahuannya (managing knowledge), yang akhir-akhir ini dapat dibantu oleh kemajuan ICT (Information and Communication Technology). Terminologi knowledge management tidak hanya fokus pada bagaimana menangkap, mengolah dan mendistribusi pengetahuan, tetapi juga harus mampu melakukan sharing, menggelar diskusi, dan melahirkan pengetahuan baru. Lembaga pendidikan tinggi ditantang untuk dapat merespon gelagat perubahan ini. Dengan

memanfaatkan sejumlah kerjasama yang sudah terjalin, pendidikan tinggi diharapkan agar dapat mengantisipasi perubahan pada lingkungan kerja yang semakin banyak tuntutannya. Tentu saja, setiap pendidikan tinggi yang sedang bertransformasi menuju organisasi pembelajar (learning organization), menginginkan semua warganya, seluruh sivitas akademika, harus menjadi pembelajar sejati dan mandiri (lifelong learners) sesuai dengan target Milenium Development Goals (MDGs) agar mampu melakukan knowledge management, yaitu merawat, menumbuhkan, dan mengelola pengetahuan melalui pembelajaran kolaboratif di antara para pembelajar sejati dan mandiri. Kita percaya bahwa insan akademik sebagai pembelajar sejati dan mandiri dapat melakukan

pembelajaran

berkolaborasi

dalam

rangka

menyelesaikan

masalah

kependudukan, perubahan iklim, dan ketersediaan pangan dengan solusi yang menyeluruh dan berkeadilan, sehingga terbangun konsep humanosphere yang harmonis. Fuad Hassan telah mengemukakan bahwa ikhtiar pendidikan perlu menjadi bekal demi kesiapan manusia untuk memahami keberagaman manifestasi nilai-nilai dalam prikehidupan sebagai anggota masyarakat. Sepatutnyalah harus sudah dimulai dibentuk melalui sistem pendidikan nasional sejak jenjang pendidikan dasar dan berlanjut pada jenjang-jenjang berikutnya. Keseimbangan rasa-rasio pun perlu dijaga dengan mengikuti anjuran pendidikan menurut penganut paham Athena di masa Yunani kuno, yaitu bahwa pendidikan tidak hanya terpusat pada usaha pencerdasan logika, tetapi juga pada terbentuknya kepedulian etika dan kepekaan estetika. Fuad Hassan menekankan bahwa dengan pengenalan sejak dini dalam pendidikan berjenjang, maka pernyataan yang menegaskan “pendidikan adalah pembudayaan” niscaya akan terdukung oleh kenyataan dan pengalaman. Pendidikan tidak dirancang hanya sekadar sebagai usaha untuk menghasilkan tenaga kerja, ibarat suku cadang yang dapat diganti dan dipertukarkan, tetapi pendidikan juga harus tetap mengunggulkan derajat dan martabat manusiawi. Apabila pendidik tidak bijak dalam penanaman nilainilai budaya dan norma-norma kehidupan sosial kepada peserta didik, maka akibat yang lebih buruk akan menanti di ujung sana kelak, sementara kita tidak berdaya dan hanya dapat menonton dengan rasa prihatin seperti pepatah ‘Guru kencing berdiri, murid kencing berlari’.

Pewarisan Kearifan Lokal: Membangun Humanosphere yang Harmonis Terminologi humanosphere dicetuskan oleh sebuah lembaga penelitian yang bernama Research Institute on Humanity and Nature, di Kyoto, Jepang yang dipimpin oleh Prof. Tachimoto pada awal abad 21. Gagasan ini muncul karena kekhawatiran tentang masa depan planet bumi dengan penduduk yang semakin banyak, ketersediaan pangan yang tidak mencukupi, dan perubahan iklim yang tengah berlangsung. Lembaga ini berupaya menepis kekhawatiran dengan memandang kemesraan manusia dengan alam yang tetap harus dipelihara dalam keberagaman dunia yang harmonis (harmonious worldly worlds). Sehingga, dari pemikirannya itu muncul terma-terma lain seperti futurability dan survivability mendampingi terma sustainability. Kemesraan alam dan manusia lahir dari nilai-nilai kearifan lokal yang dapat diformulasi ulang ke arah bahasa dan cara agar dipahami dan diterima oleh masyarakat di masa depan dan di mana saja. Melalui pendidikanlah formulasi ulang ini dapat ditempuh dan dirajut dalam rangka memproyeksikan nilai-nilai lama ke masa depan. Pada kisah kelahirannya, sebuah kearifan lokal

bukan sesuatu yang muncul

begitu saja, tetapi berevolusi melalui pematuhan secara parsial, tantangan dan pergolakan, dan pada akhirnya berlangsung upaya penerapan yang meruang dan mewaktu secara menyeluruh pada suatu hamparan peradaban, sebagai suatu point of departure. Keberlanjutan dari kearifan lokal tersebut sepanjang masa merupakan suatu point of arrival di masa depan. Di antara kedua poin itulah pasang surut keberlakuannya berlangsung seiring dengan pengaruh eksternal sebagai suatu dinamika sistem sosioekologi. Dalam ruang-waktu antara point of departure dan point of arrival inilah proses pendidikan berperan untuk mewariskan, memperkaya, dan menumbuhkan nilai-nilai lama menjadi tetap aktual, dengan menempuh jalan yang paling hemat, seperti saran principles of least action dalam mekanika. Sebuah kearifan lokal biasanya mencakup perawatan ketertiban dalam kehidupan di antara manusia dengan penguasa tunggal, di antara manusia dengan para arwah leluhurnya, di antara sesama, di antara manusia dengan alam bumi dengan segala isinya, dan di antara manusia dengan cakrawala yang melingkupi bumi. Sehingga sebuah kearifan lokal merupakan rumusan jatidiri (identity) masyarakatnya. Jatidiri ini mencakup

visi, misi, dan nilai-nilai dalam kehidupannya, nilai-nilai itu pulalah yang dapat dipetik untuk upaya kelanjutan berkehidupan dan berpenghidupan dengan sesama dan sekaligus sebagai upaya pemeliharaan lingkungan hidup berbasis kearifan lokal yang memiliki makna universal. Ketertiban (cosmos) pada suatu sistem akan memancarkan nilai keindahan yang didukung dan dibentuk oleh suatu keteraturan. Keindahan itu menyimpan banyak informasi, sehingga pola-pola interaksi di antara beragam subsistem dengan berbagai ukuran dapat berlangsung secara proporsional, seimbang, serasi, dan harmonis. Pada pengertian sebaliknya, perusakan merupakan proses pemusnahan informasi, atau pembesaran entropi. Apabila ukuran entropi membesar, maka ketakteraturan akan meningkat, sehingga mutu alam semesta cenderung terdegradasi. Secara termodinamik, dipahami bahwa entropi alam semesta terus membesar, menurut hukum kedua termodinamika, yaitu energi memang kekal adanya, tetapi proporsi energi yang dapat diperbaharui terus mengecil, sementara proporsi energi yang tidak dapat diperbaharui terus membesar. Kerusakan yang telah terjadi di dalam suatu subsistem

sosial-ekonomi-budaya

dan

subsistem

biologi-geografi-fisika-kimia

merupakan akibat dari pola-pola interaksi yang memusnahkan entitas-entitas informasi. Subsistem-subsistem tersebut diperdaya sedemikian rupa sehingga perangkat memori (penyimpan, penata, pengirim, dan penerima informasi) yang ada sebelumnya menjadi terganggu bahkan terusak, hal ini berakibat pada punahnya kemampuan untuk memulihkan diri (self-recovery). Untuk menekan kecenderungan degradasi mutu suatu sistem sosio-ekologi, maka penyadaran anggota komunitas terhadap pentingnya pemulihan harus menjadi pilihan utama dan sekaligus mengawal kegiatan pembangunan. Paradigma pembangunan masa lalu perlu diubah dengan cara menyandingkan dua pemikiran antara ekonomi dan ekologi, dan dengan mengelola aspirasi dari bawah, bukan hanya mengadopsi sesuatu yang dianugerahkan dari atas. Sehingga pembangunan bukan merupakan suatu gerakan yang semena-mena yang datang dari luar, tetapi sebaiknya merupakan aktualisasi dari potensi diri dan lingkungan. Diakui pula bahwa pada tahap pemikiran selanjutnya, secara serempak pembangunan seyogyanya merupakan bentuk partisipasi pada perwujudan

realitas di tingkat lokal. Sebagai suatu partisipasi aktif dalam mewujudkan realitas global, maka pembangunan tidak dipandang sebagai sesuatu yang berbasis pada sumber daya alam lokal saja, tetapi juga secara selektif dapat beranjak ke arah sesuatu yang berbasis pada pengetahuan dan interkoneksitas global. Perbaikan cara-cara pemanfaatan sumber daya alam lokal yang berkelanjutan seyogyanya berpijak pada azas kesetaraan dan azas keadilan di antara anggota komunitas sesama atau antar generasi, dan berikutnya adalah azas pemulihan terhadap alam yang dieksploitasinya. Sebagai contoh, indikator nilai-nilai lama yang dipatuhi dan dilestarikan dalam khazanah budaya Tana Toraja tentang kesetaraan dan keadilan dalam dan antar generasi disenandungkan dalam Londe-londena Toraya karya J.B. Lebang (2003): Senandung keadilan antar generasi: Apa siduruk dikale, bua pa’bo’yo-bo’yo, sandanni bati’, da’na sumpu lalanna; Apa yang dikumpulkan, hasil semua jerih payah, pikirkan anak-cucu, jangan sampai terlunta. Keberlakuan azas-azas ini sangat tergantung pada mutu kelembagaan dalam komunitasnya sendiri, yang dapat diamati melalui indikator lainnya, yaitu pertumbuhan, otonomi, dan ketahanan (survival). Dampak Positif dari kelembagaan yang bermutu itu akan tercermin dari ketahanan nilai-nilai lama bersama dengan proyeksi nilai-nilai baru dalam mengelola lingkungan beserta kandungan sumber daya alamnya, pengentasan kemiskinan di antara anggota komunitas, suasana kesejahteraan yang merata sejalan dengan pertumbuhan ekonomi komunitas, dan upaya keberlanjutan sistem. Dampak tersebut akan menumbuhkan berbagai kemampuan, seperti self-organizing dalam dan bagi sistem itu sendiri. Nilai-nilai lama yang menunjang kapasitas self-organizing, self-supporting, dan mutual beneficence di antara anggota komunitas dan dengan komunitas luar sistem terendapkan dalam karya J.B. Lebang: Senandung air sebagai sumber kehidupan dan kebahagiaan:

Tindak sarira merreme’ dao lolokna buntu untuang uran, unnari kalimbuang; Pelangi terbentang di atas gunung mencurahkan air hujan, menyemburkan mata air. Senandung keberkahan demi kebersamaan: Ula’ko upa’na bubun, rongko’na kalimbuang, mukkun mamengan, mukkun tang mekatae’; Tirulah sifat sebuah sumur, teladanilah sebuah mata air, selalu memberi, tak merasa kekurangan. Diakui bahwa ketidakpastian dan kompleksitas eksternal sangat memengaruhi kualitas kelembagaan masyarakat lokal, sehingga selalu terdapat kegamangan untuk bertindak ketika pengaruh itu datang. Betapapun, terdapat kekhawatiran dan rasa waswas tetapi kehidupan selalu saja harus ditempuh dengan berjalannya waktu, maka upaya seksama dan kehati-hatian dalam menghadapinya sangat diperlukan, kembali, karya J.B. Lebang: Senandung sebuah perjalanan yang selalu berjumpa dengan ketidakpastian: Naa’panna’ ta’pan mata, kuleak randan langi’, rampana’lako, rampo kanunu-nunu; Terpengaruh penglihatan, pergi jauh ke ujung langit, tiba nun di sana, bagai orang kebingungan. Senandung sebuah jerih payah yang selalu berjumpa dengan kekhawatiran: Mataku’na’ malaya’na, untiro bua ra’ta’, dako pu’pu’mi, dio tampak perarang; Saya takut, saya khawatir, melihat hasil usaha, sebentar habis, menipis sedikit-sedikit. Senandung kehidupan yang harus memilih di antara banyak pilihan: Tang ma’angge tu morai, tu dikaduangina, tappu’ meloi, umbanna mupadolo; Tiada batas kemauan, semua serba diingini, tentukan dengan baik, mana yang didahulukan.

Oleh karena itu, kelembagaan masyarakat hendaknya tumbuh ke arah sistem yang autopoietic. Intervensi dari luar akan dengan sendirinya tersaring oleh tata nilai yang berdasar pada indigenous knowledge dan benar-benar berlaku dalam lingkungan masyarakat setempat. Apabila terdapat unsur-unsur kerapuhan pada suatu sistem lokal, maka seyogyanya sistem terdekat, baik yang secara horisontal setara maupun secara vertikal hirarkis, diharapkan mampu memberdayakan sistem tetangganya, sehingga dapat menimbulkan mutually positive feedback. Jika tidak demikian, maka pada gilirannya nanti mutually negative feedback akan beraksi mulai dari sistem tetangga yang rusak, dan pada akhirnya akan mengancam kualitas sistem-sistem bertetangga secara bersama-sama. Sebaliknya kemajuan suatu sistem sebaiknya mampu memajukan sistem tetangga lainnya, jika tidak demikan, maka dampak negatif dari tatanan yang tertinggal akan balik mengancam. Begitu seterusnya, sistem-sistem yang bertetangga secara horizontal maupun vertikal terintegrasi menjadi suatu sistem besar yang sangat kompleks dan penuh dengan ketidakpastian.

PENUTUP

Pendidikan tinggi dituntut dapat memberikan berkah, paling tidak bagi masyarakat di wilayah sekitarnya, terutama dalam menggali jatidirinya dan dirumuskan ulang untuk menjadi bahan ajar budi pekerti dalam pembelajaran mandiri secara kolaboratif, mulai dari pendidikan dasar, menengah, sampai perguruan tinggi. Benihbenih budi pekerti ini disemai sekarang dan kelak kita dapat menuai buah humanosphere. Dengan demikian, kekhawatiran bahwa peserta didik akan tercerabut dari akar budayanya, dapat dihindari. Untuk maksud ini, pendidikan tinggi dapat secara visual maupun virtual menyelenggarakan pembelajaran kolaboratif mengenai penggalian nilainilai lokal yang menyertai identitasnya. Sebagai contoh, hasil pembelajaran bersama baik melalui pertemuan langsung maupun hasil telaah lewat bahan tertulis tentang identitas masyarakat Toraja dapat diuraikan pada paragraf berikutnya. Pada umumnya masyarakat Toraja memiliki visi

secara pribadi bahkan juga secara kolektif, yaitu selalu berupaya untuk dapat menjadi seorang yang cerdas (manarrang), bijak (kina'a) dan bermartabat (angga kale). Pencapaiannya ditempuh melalui sejumlah misi, seperti: 

ussattuan kale tu napotitumbunna (jika hanya mengandalkan diri saja, kebuntuan akan ditemui);



situndan sipakilala (saling membangunkan dan mengingatkan);



solaki' torro situndan rau-rau (bersama dalam kompleksitas, di antara semua perbedaan).

Nilai-nilai

yang

menjadi

koridor

kehidupan

masyarakat Toraja

dalam

menjalankan misi untuk pencapaian visi bersama meliputi keserbautuhan, kebersamaan dan keberlanjutan. Dari sudut pandang keserbautuhan, terdapat nilai-nilai: katonganan (kebenaran), kameloan (kebaikan), dan kamaballoan (keindahan); dari sudut pandang kebersamaan terdapat nilai-nilai: marampa'na (kerukunan), masokan (kasih sayang), makarimman (kedamaian); dan dari sudut pandang keberlanjutan terdapat nilai-nilai: pa'paratui (amanah), kabattaranna (ketegaran), mukkun (tekun), matuttu' (rajin). Setiap orang Toraja bercita-cita menginginkan secara bersama-sama dalam hidupnya dapat mencapai marendeng (kebahagiaan) dengan memelihara kapiradesan (keragaman) yang tasiayoka (serasi). Di setiap pulau dalam wilayah Nusantara tersebar beragam budaya yang memiliki endapan kearifan lokal, yang perlu penggalian kemudian direformulasi menjadi khazanah bahan ajar budi pekerti mulai dari tingkat lokal, nasional dan global. Masyarakat Indonesia sedang memerlukan itu, menyongsong pergaulan global yang semakin meluas. Di atas pijakan kearifan lokal, kita menggapai kehidupan dalam tatanan global. Kita sebagai bagian yang komplementer dengan bagian budaya lain di planet bumi ini, bahu membahu saling mengisi dan menerima manfaat dari potensi alam dan manusia yang kita miliki.

DAFTAR PUSTAKA

Hasan, F (2000?), Pendidikan dan Pembudayaan, Kumpulan masalah pendidikan di Indonesia. Ikeda, D. (1994), John Dewey and Tsunesaburo Makiguchi: Confluences of Thought and Action. Lebang, J.B., 2003, Londe-londena Toraya, Penerbit Sulo, Rantepao, Tana Toraja. Suriamihardja, D.A. 2005, “Compromise Management” in the Jeneberang Delta and Losari Bay, Makassar, From Sky to Sea: Environment and Development in Sulawesi, Edited by Susan Wismer, Tim Babcock, and Baharuddin Nurkin, Department of Geography, Publication Series Number 61, University of Waterloo, pp. 483--504. Suriamihardja, D.A. 2006, Re-promoting Weakening Local Values to manage Spermonde Marine Resources: An insight from co-existence to co-evolution, International Symposium: Crossing Disciplinary Boundaries and Re-visioning Area Studies: Perspective from Asia and Africa, from 9th to 13th November 2006, Kyoto, Japan. Suriamihardja, D.A. 2006, Reaping Wisdom from Teaching of Aluk Todolo for Environmental Management, International Symposium: Crossing Disciplinary Boundaries and Re-visioning Area Studies: Perspective from Asia and Africa, from 9th to 13th November 2006, Kyoto, Japan. Suriamihardja, D.A. 2007, Law of Thermodynamics in Interaction of Economy and Ecology, Conference of BKPSL, 6-8 August 2007, Manado. Suriamihardja, D.A. (2010), Sustainable Tourism: the Case in South Sulawesi, HAKU Conference on the Earth and Space Sciences, 7--8 January, Bandung, Indonesia.

More Documents from "Khairunnisa Manurung"

Scp Minyak Goreng.pdf
November 2019 15
Ed-dadang Fin.doc
November 2019 10
Scp Tepung Terigu.pdf
November 2019 14
Doc-20190331-wa0027.docx
December 2019 38