Dunia Pendidikan dan Penguasaan Iptek Posted by wyuliandari under Pendidikan [2] Comments (Dimuat di Radar Jember, 6 Mei 2009) “ the new source of power is not money in the hands of a few but information in the hands of many ”—John Naisbitt Hari Pendidikan Nasional kemarin mengemuka mengenai pentingnya ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) di masa depan. Ini adalah bentuk pengakuan yang kesekian kali terhadap pentingnya iptek bagi kemajuan dan kemandirian sebuah negara. Hanya saja kesadaran atas nilai strategis dari iptek belum diimbangi dengan kebijakan dan aksi nyata pada tingkatan praktis secara optimal. Hal ini bisa dilihat, pada setiap sudut kehidupan, produk iptek dari luar negeri membanjiri dan mendominasi pasar Indonesia. Saat yang sama, ada perasaan lebih bergengsi bila menggunakan produk iptek impor dibandingkan produk iptek dalam negeri, seperti penggunaan barang elektronik. Kondisi ini tentu memprihatinkan bahwa dunia pendidikan di Indonesia selain belum mampu menumbuhkan kecintaan pada karya bangsa sendiri dalam skala luas di kalangan peserta didik juga menciptakan produsen iptek dalam skala besar. Dua masalah yang saling berkaitan ini merupakan persoalan serius karena taruhannya adalah kita akan menjadi negara yang maju serta mandiri, ataukah hanya sekedar menjadi negara kuli. Susantha Goonatilake dalam bukunya “Aborted Creativity: Science and Creativity in the Third World,” menggambarkan bahwa sebenarnya negara-negara Asia pernah mengalami masa kejayaan di bidang iptek di saat negara Barat mengalami “abad kegelapan”. Waktu itu, peradaban Islam memainkan peran penting. Bahkan dalam novel Arus Balik, Pramudya Ananta Toer menggambarkan kemajuan teknologi kontruksi kapal di jaman kerajaan Majapahit yang tiada duanya. Sayangnya, kolonialisme membuat iptek diambil alih oleh Barat sebelum kebudayaan negaranegara ketiga mencapai tingkat kematangannya. Kolonialisme merenggut semua apa yang dimiliki negara ketiga, termasuk Indonesia, dan menjadikannya sebagai negara “satelit” hingga kini. Ekonomi dan Militer Chong-Moon Lee, seorang pengamat teknologi dan ekonomi mengatakan bahwa ada tiga cara meningkatkan pertumbuhan ekonomi yaitu pertama, meningkatkan dan memperkuat faktor input dari tenaga kerja (labor) dan modal (capital); kedua, melalui perdagangan dan keuntungan komparatif misalnya dengan spesialisasi; ketiga, melalui inovasi dan entrepreneurship. Iptek menjadi kunci pada cara yang ketiga dan mempengaruhi cara pertama dan kedua. Dengan menjadikannya sebagai “engines of prosperity” dalam bentuk kepemilikan “knowledge” atau pengetahuan yang membawa pada peningkatan kualitas hidup.
Karenanya kini muncul berbagai istilah yang berkaitan dengan iptek seperti knowledge management dan knowledge-based economy (ekonomi yang berbasis pengetahuan). Head to head pertempuran antar negara dalam bidang perdagangan maupun militer telah sarat dengan iptek. Contohnya China yang berhasil mereformasi militernya secara besar-besaran berdasarkan iptek, yang akan menjadikannya sebagai negara adidaya dalam bidang ekonomi dan militer di masa depan. Gambaran di atas memberikan penjelasan bahwa iptek telah memainkan peranan yang amat vital bagi kelangsungan hidup sebuah negara. Dunia Pendidikan dan Riset Kemajuan iptek sangat ditentukan oleh kualitas dunia pendidikannya. Hal ini dicerminkan dari dunia Perguruan Tinggi (PT) dan lembaga penelitian ilmiah. Tolok ukur kemandirian iptek adalah banyaknya riset yang telah dihasilkan, terlebih yang memiliki standar internasional. Sayangnya kondisi tidak menyenangkan hadir di dua institusi yang menjadi ujung tombak penguasaan iptek di Indonesia. Publikasi ilmiah yang dihasilkan di Indonesia sangatlah rendah. Menurut ISI (Institute for Scientific Information) Web of Science di Hokkaido University yang merupakan pangkalan data publikasi ilmiah seluruh dunia, posisi Indonesia setara dengan Vietnam, Filipina dan Bangladesh dan kalah dengan negara tetangga seperti Malaysia, Thailand dan Singapora, apalagi dibandingkan dengan Jepang, India dan China. ISI Web of Science ini memuat 5.700 jurnal dari 164 disiplin ilmu, dengan lebih dari 17 juta artikel. Banyak faktor yang mengakibatkan keterpurukan penguasaan iptek di Indonesia, mulai dari birokrasi yang berbelit, dana yang rendah, “iklim” yang tidak sehat dalam internal institusi pendidikan dan lembaga penelitian, bahkan penilaian tidak ada “dukungan politik” dari pemerintah saat aplikasi iptek mulai diterapkan vis a vis dengan produk impor. Masyarakatpun berkontribusi negatif dalam hal ini. Sebagian masyarakat hanya memerlukan PT sebagai lembaga pencetak gelar. Semakin mudah memperoleh gelar, semakin banyak peminatnya. Banyaknya kasus gelar fiktif yang diungkap media massa merupakan cermin seperti apa mentalitas sebagian masyarakat Indonesia yang masih berselimut feodalisme semu. Pendidikan dalam tingkatan yang minimalpun yaitu sebagai proses membangun intelektualitas telah dicederai oleh kebutuhan pragmatis. Terlalu jauh membicarakan riset dalam PT yang berwajah seperti itu. Beruntung bahwa kemudian anggaran pendidikan yang dialokasikan oleh undang-undang mencapai 20 persen dari APBN. Hal ini bisa menjadi momentum yang baik untuk menjadikan dunia pendidikan melesat maju bukan hanya di dalam mencetak sumber daya manusia yang berkualitas namun juga penguasaan dan penciptaan iptek melalui riset. Dimana riset yang baik akan menghasilkan paling tidak satu dari tiga poin yaitu 1) produk atau inovasi baru yang dapat dipakai langsung oleh industri dan bukan sebatas prototipe, 2) paten, atau 3) publikasi di jurnal internasional.
Untuk menghasilkan riset yang berkualitas baik ini membutuhkan syarat antara lain kualitas tenaga periset yang berkompeten, lingkungan institusi yang sehat, birokrasi institusi yang profesional, ketersediaan sarana dan prasarana riset serta imbalan yang cukup layak bagi periset. Riset yang baik di PT akan berkontribusi bagi proses belajar secara sinergis. Periset yang berkualitas otomatis menjadi tenaga pendidik yang berkualitas juga. Yang akhirnya akan mengangkat reputasi PT. Namun, jalan yang ditempuh untuk ini tidaklah mudah. Belajar dari Jepang Karenanya penting sekali upaya terpadu dari banyak pihak di dalam membentuk kebudayaan yang mewadahi cara berfikir rasional sebagai benih penguasaan iptek. Pengenalan iptek sejak dini dan dilanjutkan pada jenjang pendidikan dasar menengah merupakan syarat mutlak ketersediaan SDM yang masuk ke PT. Jepang salah satu negara yang menjadikan informasi iptek sebagai “makanan sehari-hari” rakyatnya. Pelaksanaan sosialisasi iptek telah melekat dalam infrastruktur masyarakat Jepang. Iptek menjadi budaya yang telah menyatu dalam kehidupan sehari-hari. Media massa, lembaga pendidikan (dari SD sampai universitas), industri, dan lembaga penelitian membuat kerja sama sinergis secara nyata. Mulanya semenjak kalah perang pada Perang Dunia II, pada tahun 1958 Jepang mencanangkan pembebasan dari ketergantungan produk impor dan menjadi negara mandiri berbasis iptek. Pendidikan iptek dilakukan sejak dini lewat pendidikan formal dari SD, SMP, SMA sampai PT dengan menumbuhkan semangat untuk meneliti dan mengeksplorasi alam. Bahkan pada setiap liburan panjang, ada tugas khusus penelitian bertem bebas yang kemudian dipresentasikan di depan kelas ketika masuk sekolah. Dengan tradisi seperti ini tidak mengherankan bila Jepang dalam waktu singkat bangkit dari keterpurukannya sebagai negera pecundang menjadi negara pengekspor produk iptek yang merajai dunia. PT di Jepang mencatatkan diri sebagai PT papan atas tingkat dunia yang produktif menghasilkan karya ilmiah tingkat internasional. Bila tidak ada peran dari semua pihak secara sinergis, termasuk pemerintah yang mengalokasikan anggaran besar untuk pendidikan dan riset, mustahil Jepang menjadi seperti sekarang ini. Kiranya penting sekali ketika kita membicarakan pendidikan untuk mengkaitkan dengan kemandirian sebuah negara. Dan modal untuk mencapai itu telah bergeser dari modal kekayaan alam (yang kian menipis) ke modal kekayaan intelektual. Seperti dikatakan futurolog John Naisbitt di atas “ sumber kekuatan baru bukan uang di tangan sedikit orang tetapi informasi yang dimiliki banyak orang “. (Dari berbagai sumber)
ni
Selasa, 17 Juni 2008 IPTEK DI BIDANG PENDIDIKAN?????
Iptek pada hakekatnya diperlukan oleh manusia sebagai wahana untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Sejarah telah menunjukkan bahwa kebutuhan manusia tersebut terus berkembang dari waktu ke waktu, bahkan dalam alam globalisasi dewasa ini perkembangnya kebutuhan manusia itu berlangsung dengan sangat cepat dan dinamis. Oleh karena itu perkembangan IPTEK-pun berlangsung dengan sangat cepat dan dinamis. Dengan demikian, maka pada dasarnya masalah penguasaan IPTEK tidak terpisahkan dari masalah pembangunan ekonomi, atau dengan perkataan lain, IPTEK tidak terlepas dari hukum "permintaan-penawaran" atas produk- produk hasil karya manusia sendiri yang terjadi di pasar. Catatan : Pasar sebagai tempat pertemuan antara permintaan-penawaran tersebut. Terdapat hubungan timbal-balik secara inter-aktif, saling menunjang dan membangun antara permintaan dan penawaran tersebut, dalam arti kata bahwa permintaan dan penawaran tidaklah terjadi secara alamiah semata, tetapi justru pada umumnya karena adanya inisiatif dua arah antara keduanya. Di satu pihak adanya inisiatif permintaan akan memacu penawaran, di lain pihak adanya inisiatif penawaran akan memacu pula terjadinya permintaan. Dinamika, kreativitas dan inovasi hubungan timbal- balik atau "push-pull" inilah yang perlu senantiasa dikembangkan secara berlanjut, dan pada hakekatnya itulah yang merupakan motor penggerak dalam mencapai keberhasilan pembangunan ekonomi masyarakat. Keberlanjutan pembangunan ekonomi pada akhirnya akan menjamin terwujudnya kemajuan (progress) masyarakat, Bangsa dan Negara pada umumnya. Bangsa yang mampu menyelenggarakan dan mengendalikan keseluruhan proses seperti diuraikan di atas, bukan saja dalam konteks nasional tetapi kini juga dalam konteks regional dan global, dan secara bersaing, pada hakekatnya adalah bangsa yang mandiri dan ungggul. Demikianlah kiranya hal yang memang dicita-citakan oleh Bangsa Indonesia. Adalah kemampuan IPTEK yang merupakan kunci bagi terwujudnya hubungan timbal-balik semacam itu. Oleh karena itu apabila ingin menjadi bangsa yang mandiri dan unggul, apalagi di tengah-tengah masyarakat dunia yang sangat bersaing dewasa ini, Bangsa Indonesia harus mampu menguasai IPTEK dan mengendalikannya agar senantiasa dapat merupakan wahana dalam melaksanakan pembangunan yang berkelanjutan. Untuk dapat melaksanakan penguasaan IPTEK tersebut, dalam konteks alur-pikir demikian, maka perlu adanya pemahaman bahwa IPTEK berperan dalam keseluruhan proses hubungan timbal-balik tersebut, yang mencakup 3 hal sebagai berikut : 1. Iptek untuk mampu membuat produk-produk (berupa barang & jasa) untuk ditawarkan kepada konsumen di pasar. Hal ini berarti harus dimilikinya teknologi produksi untuk membuat produkproduk tersebut, serta mengembangkan produk-produk baru guna mengantisipasi kebutuhan pasar yang berkembang secara dinamis.
2. IPTEK untuk mampu hadir di pasar guna menemukan dan menentukan produk-produk yang dibutuhkan. Hal ini berarti harus dimilikinya teknologi pemasaran agar konsumen dapat "mengkonsumsi" produk-produk yang ditawarkan dengan tepat, dan juga menentukan spesifikasi produk-produk atau sistem jaringan produk-produk yang dibutuhkannya agar produsen dapat memenuhinya. 3. IPTEK untuk mampu menghadirkan atau menyelenggarakan pertemuan antara produk-produk yang ditawarkan dan produk-produk yang diminta di pasar secara cepat, tepat, efektif dan efisien serta sinergis. Hal ini berarti harus dimilikinya teknologi distribusi yang handal mulai dari titik produsen sampai ke pasar dan akhirnya ke konsumen.
Situasi dan Kondisi Perkembangan dunia adalah sedemikian rupa sehingga bagaimanapun juga negara-negara industri maju, yang telah memiliki basis teknologi kuat selama berpuluh-puluh tahun, lebih-lebih dalam alam globalisasi dewasa ini, akan lebih berkemampuan dalam menguasai dan mengembangkan IPTEK dibandingkan dengan negara-negara yang sedang berkembang. Lebihlebih dengan kenyataan bahwa teknologi informasi praktis hampir seluruhnya mereka kuasai. Mau tidak mau, suka tidak suka, negara-negara sedang berkembang akan banyak tergantung dan menjadi pasaran bagi produk- produk IPTEK negara-negara industri yang telah maju tersebut. Pertumbuhan ekonomi negara-negara sedang berkembang yang pesat justru cenderung akan memperbesar ketergantungan mereka di bidang IPTEK kepada negara- negara industri maju. Namun di lain pihak, tidaklah terlalu buruk keadaannya bagi negara-negara berkembang yang memiliki potensi ekonomi besar, termasuk Indonesia dengan jumlah penduduknya yang besar, kekayaan alam yang cukup, posisi geografis yang strategis dan lain sebagainya. Dalam alam globalisasi di mana negara-negara di dunia hampir semuanya menganut kebijaksanaan ekonomi terbuka yang berorientasi pasar, maka negara-negara berkembang ini memiliki prospek pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Mengingat pertumbuhan ekonomi yang sudah optimal pada tingkat yang jauh lebih rendah, adalah kepentingan negara-negara industri maju untuk menjadikan negara-negara sedang berkembang dengan pertumbuhan ekonominya tinggi sebagai pasar bagi produk-produknya. Dengan demikian negara-negara sedang berkembang berpeluang untuk dapat terus melanjutkan pertumbuhan ekonominya yang tinggi guna melaksanakan pembangunan, justru dengan komitmen negara-negara industri maju sendiri untuk membuka pasarnya lebih lebar bagi produkproduk negara berkembang, sekaligus (terpaksa) melaksanakan alih-teknologi agar negaranegara berkembang makin dapat menguasai IPTEK untuk berkelanjutan pertumbuhan ekonominya, yang kini telah menjadi kepentingan negara- negara industri maju pula. Hubungan antara negara industri maju dengan negara berkembang seperti dahulu pada jaman merkantilisme, di mana negara berkembang hanya diperlukan sebagai pemasok produk-produk primer dan sekaligus sebagai pasar sudah tidak dapat dipertahankan lagi, karena biaya produksi yang terus membubung tinggi di negara-negara industri maju itu sendiri sehingga mereka makin tidak mampu mendukungnya lagi. Inilah hakekat globalisasi yang melanda dunia semenjak tahun 1980-an, sebagai akibat kemajuan teknologi informasi dan persaingan di antara negara-negara industri maju sendiri yang semakin ketat. Fenomena terpenting globalisasi adalah ketergantungan ekonomi antar negara baik secara
bilateral maupun multilateral, yang telah menjadi kebutuhan bagi setiap negara. Kini tidak ada satu negarapun di dunia yang mampu menganut sistem "autarki", atau melaksanakan sendiri kegiatan ekonominya tanpa ada keterkaitan dengan negara lain. Setiap negara akan memerlukan negara atau negara-negara lain sebagai pasarnya dan harus bersedia menjadikan dirinya pula sebagai bagian dari pasar global. Sementara itu setiap negara yang memiliki keunggulan kompetitif juga akan memerlukan dirinya untuk berperan sebagai lokasi industri milik negara tau negara-negara lain dalam upaya mendekatkan diri dengan pasar agar tetap mampu bersaing. Seperti dapat dilihat dewasa ini "relokasi industri", terutama industri-industri yang menggunakan teknologi rendah sampai dengan madya, sudah merupakan kejadian biasa. Dampak globalisasi akan bersifat positif bagi negara-negara sedang berkembang dalam arti kata pertumbuhan ekonominya akan dapat dipacu, dan apabila dapat memanfaatkan berbagai peluang yang ada, khususnya dalam penguasaan IPTEK, maka negara berkembang tersebut dapat meraih nilai-tambah yang besar untuk mentransformasikan dirinya menjadi negara industri baru serta berada dalam posisi segera mengejar ketertinggalannya dari negara-negara industri maju. Sementara negara berkembang yang tidak dapat memanfaatkannya untuk penguasaan IPTEK, maka negara tersebut akan menjadi pasar saja bagi negara-negara industri maju yang akan menikmati seluruh nilai-tambahnya, dan secara bertahap akan kehilangan jatidirinya sebagai bangsa dan negara. Inilah tantangan yang dihadapai negara-negara sedang berkembang, termasuk Indonesia. Pada hakekatnya dalam alam globalisasi nanti semua bangsa dan negara harus bersaing dalam menyelenggarakan dan mengendalikan proses permintaan dan penawaran tersebut. Bagi Indonesia tantangan yang dihadapi adalah sungguh berat, yaitu bukan saja harus mampu bersaing di pasar global tetapi juga nantinya, dalam waktu tidak terlalu lama lagi (sesuai kesepakatan GATT/WTO, AFTA, APEC), di pasar dalam negeripun harus mampu bersaing, karena Indonesia sebagai bagian dari pasar global tidak dapat lagi menghalang-halangi masuknya produk-produk negara lain, termasuk produk-produk negara berkembang pesaing Indonesia. Hal ini menuntut adanya sentra-sentra produksi di Indonesia yang benar-benar efisien dan makin dalam strukturnya sehingga membentuk basis teknologi yang makin kokoh. Jelas bahwa agar Kepentingan Nasional dan Jati-Diri bangsa Indonesia dapat ditegakkan , maka kendali atas keseluruhan proses ini harus berada di tangan Bangsa Indonesia, meskipun dalam menembus pasar dan dalam membuat serta mendistribusikan produk-produk akan terlibat pihak asing. Kunci untuk mampu memegang kendali ini tidak lain adalah Penguasaan IPTEK dalan seluruh mata rantai kegiatan industri dan perdagangan (INDAG) yang mencakup kemampuan menerapkan dan mengembangkan IPTEK dalam ketiga aspek hukum permintaan-penawaran (pasar) tersebut yaitu : 1. Teknologi produksi 2. Teknologi pemasaran 3. Teknologi distribusi
Penguasaan IPTEK oleh Bangsa Indonesia (suatu Pandangan)
Penguasaan IPTEK bukanlah suatu hal yang mudah dan dapat dengan cepat dicapai. Upaya menguasai suatu IPTEK oleh Bangsa Indonesia merupakan suatu proses transformasi budaya bangsa dari kehidupan masyarakat yang bersifat agraris menjadi masyarakat industri. Sejarah telah menunjukkan bahwa diperlukan waktu satu atau beberapa generasi untuk dapat menyelenggarakan trasformasi budaya demikian. Lebih-lebih dengan Indonesia yang terdiri atas masyarakat yang sangat majemuk yang mendiami daerah kepulauan sangat luas terdiri atas kurang lebih 17.000 pulau, masalah transformasi budaya ini benar-benar sangat kompleks. Apapun alasannya, dalam memasuki abab-XXI yang ditandai dengan sistem perekonomian global di mana perdagangan industri dan investasi akan dilakukan secara makin bebas tanpa mengenal batas negara lagi, maka apabila tidak ingin kehilangan Kepentingan Nasional dan JatiDirinya Bangsa Indonesia harus segera mampu menguasai IPTEK, paling tidak pada tingkat yang dihormati di dunia internasional. Sikap dasar. Untuk melakukan upaya menguasai IPTEK menuju abab XXI tersebut perlu adanya sikap dasar sebagai berikut : • • •
Menyadari bahwa kemampuan sumber-sumber daya adalah terbatas, sehingga perlu memberikan prioritas-prioritas dalam upaya penguasaan IPTEK. Menyadari bahwa penguasaan IPTEK dilakukan terutama dalam rangka upaya memegang kendali atas proses permintaan-penawaran di pasar. Menyadari bahwa globalisasi merupakan peluang yang dapat dimanfaatkan oleh Bangsa Indonesia dalam mempercepat penguasaan IPTEK dan Kemandirian Bangsa. Namun hal tersebut dapat terwujud apabila diambil strategi yang tepat. Apabila tidak justru akan memperparah ketergantungan Bangsa Indonesia kepada bangsa lain.
Evaluasi terhadap upaya penguasaan IPTEK selama ini. Upaya menguasai IPTEK di Indonesia selama ini dapat diamati sebagai berikut : •
•
•
Tampak bahwa upaya tersebut baru terkonsentrasikan pada penguasaan teknologi produksi atau "supply-side technology", dan belum tergugah pada penanganan secara serius penguasaan IPTEK pada rantai pemasaran dan distribusi atau "demand-side technology". Apabila hal ini terus berlangsung demikian, maka dikhawatirkan Indonesia akan mengalami kesulitan dan pemborosan sumber-sumber daya, karena belum dimilikinya basis teknologi yang diperlukan. Padahal negaranegara industri maju dan negara-negara baru yang sudah memiliki basis industri kuat juga terus memacu penguasaan dan pengembangan IPTEKnya. Dalan kondisi demikian sulit bagi Indonesia untuk bersaing dengan mereka. Bagaimanapun juga basis teknologi di Indonesia harus cepat diwujudkan. Upaya penguasaan IPTEK yang diperlukan selama inipun dirasakan belum mempunyai arah yang jelas, dalam arti kata belum jelas apakah penguasaan teknologi produksi yang berhasil dicapai tersebut memang benar-benar merupakan teknologi pembuatan produk-produk yang benar-benar "sellable" (dicari oleh konsumen) di pasar. Sementara itu dalam suasana maraknya pertumbuhan industri di Indonesia (laju12-13% tiap tahunnya), ternyata teknologi produksi yang mendukungnya adalah teknologi produksi asing yang di "relokasi" ke Indonesia dengan kaitan yang masih minim terhadap teknologi produksi lokal. Mengetahui adanya kelemahan Indonesia dalam penguasaan teknologi pemasaran dan industri, bahkan akhir-akhir ini makin kuat desakan pihak asing untuk turut menjamahnya. Apabila di awal abab XXI, pada saat ketentuan-ketentuan GATT/WTO, AFTA, APEC mulai
•
diberlakukan, Indonesia belum siap dalam menguasai teknologi di segmen ini, maka akan genaplah kegagalannya dalam menguasai IPTEK dan kemandirian ekonomi. Sementara keberadaan teknologi produksi asing di bumi Indonesia tersebut merupakan peluang yang dapat dimanfaatkan sebagai wahana bagi tumbuhnya industri pendukung atau basis industri Indonesia, langkah- langkah ke arah itu dewasa ini baru "mulai" dicanangkan, yang sebenarnya sudah agak terlambat, mengingat persaingan global sudah menuntut adanya basis teknologi tersebut "sekarang juga". Keterkaitan industri inipun pada saat ini masih banyak berupa "sloganisme", padahal hal ini haruslah sudah berupa tindakan-tindakan konkrit yang mewujud di lapangan dan meluas sebagai suatu "gerakan nasional".
Strategi dan langkah-langkah yang perlu diambil. Dengan memperhatikan situasi-kondisi yang dihadapi, sikap dasar dan evaluasi atas upaya penguasaan IPTEK selama ini seperti yang telah diuraikan di atas, maka selanjutnya dianggap perlu mengambil strategi dan langkah-langkah sebagai berikut : a. Teknologi Produksi •
•
•
• •
Meneruskan upaya-upaya yang telah dilakukan selama ini, namun dengan melakukan penyesuaian atau "streamlining" guna mencapai efisiensi dan efektivitas, yaitu dengan memberikan prioritas tertinggi pada pengembangan teknologi industri pendukung, menuju terbentuknya basis teknologi di Indonesia. Pertumbuhan industri di Indonesia yang mengalami laju pertumbuhan 12- 13% setiap tahun, dan kecenderungan industri tersebut yang berdasarkan pertimbangan kemersial telah makin memerlukan pasokan lokal akan bahan industri penolong dan komponen-komponen (karena biaya yang membubung tinggi di luar negeri), perlu segera dimanfaatkan untuk mengembangkan kemampuan teknologi produksi lokal bagi pembuatan produk-produk tersebut. Secara intensif dan dengan kemauan politik yang keras, mengembangkan program pendidikan dan latihan serta litbang pada segmen teknologi terapan, melalui keterkaitan erat antara industri dan lembaga-lembaga diklat/litbang, baik milik pemerintah maupun swasta, dengan tujuan memberikan fasilitas yang memadai bagi industri. Penekanan diberikan terutama pada kemampuan memenuhi persyaratan internasional dalam gugus kendali mutu baik dalam produk, proses produksi maupun keselamatan kerja (ISO-9000, ISO-14000). Secara selektif dan bertahap, sesuai dengan prospek pemasarannya, melakukan substitusi impor atas produk-produk pendukung industri melalui rekayasa & rancang-bangun sendiri. Pada prinsipnya tidak ada perbedaan pendekatan antara sektor produksi barang dan jasa. Pendekatan bertahap dari komponen atau "minor items", modul dan akhirnya ke "major items", untuk keduanya adalah sama.
b. Teknologi Pemasaran.
Bersamaan dengan pengembangan teknologi produksi, pada saat ini telah dirasakan mendesak sekali bahwa pembinaan kemampuan teknologi pemasaran harus dilakukan dengan sungguhsungguh. Sasaran pembinaan di sini adalah para konsumen, dan para produsen sendiri yang mampu menempatkan dirinya sebagai konsumen. Pembinaan teknologi pemasaran mencakup : •
Membina para konsumen agar dapat secara profesional menentukan dan memanfaatkan produkproduk yang tersedia ataupun yang perlu disediakan di pasar. Penggunaan dan pemeliharaan produk-produk (meskipun yang berasal dari impor), baik secara sendiri-sendiri maupun dalam suatu jaringan fungsional (sistem) untuk memenuhi kebutuhan, harus dapat dikuasai oleh
•
•
konsumen. Penguasaan penggunaan dan pemeliharaan produk oleh konsumen ini sangat penting artinya dalam rangka menjamin dinamika hubungan produsen-konsumen (penawaranpermintaan). Pada tahap inilah produk-produk hasil karya dalam negeri (apabila sudah memenuhi syarat) dapat dipromosikan penggunaannya, sekaligus dalam upaya membina kecintaan pada produk-produk nasional. Sementara itu produsenpun harus dibina agar memiliki jiwa "Salesmanship", dengan menguasai seluk-beluk penggunaan produk baik secara individual maupun dalam sistem jaringan sesuai kebutuhan dana yang dikehendaki konsumen. Pada tahap ini pulalah apabila produk-produk hasil rekayasa & rancang-bangun dalam negeri telah memenuhi persyaratan- persyaratan kualitasnya, maka produsen harus mampu meningkatkan daya- tarik produk tersebut terhadap para konsumen. Produsen harus senantiasa mampu mengantisipasi kebutuhan dan selera konsumen dan siap mengembangkannya menjadi produk-produk baru yang menarik, bermutu dan bersaing. Untuk itu kiranya perlu dilakukan pembenahan-pembenahan seperlunya dalam Sistem Pendidikan Nasional agar lebih kondusif ke arah budaya pemasaran ini, yang notabene menekankan pelayanan kepada orang lain (konsumen) sebagai hal terpenting dalam perilaku kehidupan. Masyarakat yang mengutamakan pelayanan dalam perilaku hidupnya, pada hakekatnya adalah masyarakat yang memiliki disiplin nasional tinggi.
c. Teknologi Distribusi.
Jaringan distribusi sebagai penghubung antara produsen, pasar dan konsumen mempunyai nilai yang amat strategis dalam sistem perekonomian suatu negara. Oleh karena itu Indonesia harus dapat menguasai jaringan ini. Dalam alam perdagangan dan investasi bebas nanti penguasaan jaringan ini tidak dapat lagi dengan leluasa diproteksi melalui peraturan-peraturan Pemerintah. Mau tidak mau penguasaan sistem dan teknologi distribusilah yang akan berbicara. Teknologi distribusi mencakup antara lain : • • • •
Teknologi untuk mempertemukan secara cepat dan tepat produk-produk yang dibuat oleh produsen dengan konsumen yang membutuhkannya. Teknologi kemasan yang menarik agar produk-produk dapat bersaing di antara berbagai produkproduk sejenis. Teknologi pengiriman/pengapalannya dari fasilitas produksi ke pasar dan akhirnya ke konsumen. Teknologi sentra-sentra atau simpul-simpul pergudangan yang efisien antara titik produksi-pasarkonsumen.
Intensifikasi teknologi pemasaran dan teknologi distribusi pada prinsipnya akan mendorong tumbuhnya industri jasa. Seperti diketahui industri jasa sebenarnya merupakan wahana yang tepat untuk penguasaan IPTEK dan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM), lebih-lebih mengingat industri jasa sangat sarat dengan penggunaan teknologi informasi modern, sehingga upaya pencerdasan bangsapun akan dapat lebih dipercepat. Teori yang mengatakan bahwa industri jasa baru akan hadir setelah industri barang dikuasai, tampaknya dalam alam globalisasi yang penuh persaingan dewasa ini sudah tidak memiliki validitas lagi. Justru sebaliknya, industri jasa dapat segera dimasuki dan selanjutnya bahkan dapat lebih memfokuskan atau "zero-in" pada pengembangan industri barang yang diperlukan guna mendukungnya. Contoh kemampuan industri jasa di mana Indonesia sudah mampu berkiprah di arena global adalah di sektor pekerjaan umum, konstruksi bangunan/engineering pada umumnya.
Kesimpulan
Pendekatan "demand side technology" di samping menyesuaikan "supply side technology" yang sudah ada dapat mensinergikan pertumbuhan industri jasa dan industri barang, dan dapat merupakan terobosan strategis dalam memecahkan kemandegan atau "stagnasi" upaya penguasaan IPTEK serta pembentukan basis teknologi selama ini, karena dengan segala keterbatasan yang melekat pada Bangsa Indonesia di bidang PTEK, justru dengan pendekatan ini diberikan kemungkinan-kemungkinan yang lebih besar untuk berhasil. Hal ini karena di sini diambil pendekatan proses belajar melalui pemanfaatan IPTEK yang disediakan oleh negaranegara industri maju itu sendiri, di mana meskipun sebagai suatu negara yang baru memulai proses indusrialisasinya namun dalam "demand side technology" ini Indonesia dapat langsung berkiprah pada tingkat teknologi yang canggih. "Demand side technology" yang dimulai dengan mengutamakan aspek pemanfaatan teknologi dan pemeliharaan produk-produk serta pemberian pelayanan terbaik pada konsumen (pengguna) akan berdampak positif bagi percepatan upaya pencerdasan bangsa dan disiplin nasional, di samping lebih mengarahkan atau "zero-in" upaya-upaya membentuk basis teknologi agar selanjutnya dapat berkiprah lebih jauh pada tahap penguasaan IPTEK yang bersaing di arena global. Terkadang sebuah IPTEK,menajdi landasan pacu demi kemajuan mobilitas indonesia....,