Duka

  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Duka as PDF for free.

More details

  • Words: 964
  • Pages: 6
duka-duka

seutas kenangan mengembang bagai bunga mengembuskan nafas semerbak, memecah dinding-dinding penciuman mengalunkan lagu-lagu merdu semerdu rayuan kumbang dan semanis madujuga yang terluahkan mengikat rindu pada wangi wah!!! kegagahan tak sekedar di ari-ari riau ia merebak keseantero nusantara “aku yang paling gagah!!!” “sesaat kemudian wangi itu memudar” kemarin jadi bualan, kini hilang bagai mimpi tak berulang bualan dikedai nasi kepau para politikus dan pecinta sejarah juga bualan para pecinta lingkungan mereka tak selesai hanya bicara dan bicara sementara si jantan kian melumat resah, dibalut kabut risau yang mengalun pelan namun pasti pasti si jantan kan jadi banci dalam kerangkeng emas berbalut dera masihkah sungai siak jadi jantan dalam sejarah atau kita biarkan ia memelehkan air mata sepanjang lekuk sedalam palung, sekeruh airnya, juga sebanyak limbah yang menancap bagai tempuling nibung tua menyisipkan sembilunya kerelung palung membengkak dan bernanah lalu mengeluarkan bau busuk yang menyengat masih teringat kisah tempo dulu ketika siak bagai kesatria bagai panglima, bahkan bagai raja dalam ingatan dulu guru pernah bertanya pada muridnya “sungai mana yang terpanjang di Indonesia ? Jawabku “sungai kapuas buk” lalu Sungai mana yang terdalam di Indonesia ?

Sungai siak “jawabku” tapi kini memang siak yang terdalam Terdalam derita Terdalam keruh Terdalam risau Terdalam lemas Terdalam dalam kepiluan yang kian mengapit Ruang hidup penghuni sungai Lalu berontak Memekik Meroberk jantung-jantung kita yang meminumnya Jika dia manusia juga Kita yakin di akan merengek panjang Menadahkan tangan Atau berdemonstrasi keorang-orang yang telah membuat Tato derita di sekujur tubuhnya Mereka lukis dengan tinta kepiluan Mereka gores dengankerisauan Dan mereka juga menelan keringatnya Dengan memeras segala isinya… Sijantan tak dapat tersenyum Mungkinkah hingga ke cucu-cucunya Kecicitnya Atau Ke entah-entahnya Entahlah………….. Pekanbaru, Juli 2007 Jasman Mahasiswa Progaram Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan kini aktif di komunitas baru yaitu Komunitas Lingkar Aksara (KLA)

Sebiduk sajak Buat mak sejak hari itu aku adalah anakmu seonggok daging merah dan tulang-tulang masih putih tanpa bercak hitam yang menyelimut dan kau dodoi daku tika rengek memecah tidurmu saat itu kau kayuh biduk cinta meski tubuhmu masih nyilu seusai perang dan nadimu masih berdenyut kencang lalu doi doi doi doi doi doi doi...ru ru ru ruru dan bernyanyi “dodoi sidodoi aduh sayang dodoi si dodoi” aku dengar senandung kidungmu memujuk rengekku agar terdiam dan tidur karena besok aku harus bangun lagi dan bermain didunia baruku setelah sekian lama hidup didinding rahimmu kini hanya sebiduk puisi, kupersembahkan sebelum aku jauh darimu kulihat kerentaanmu mengulit daku hingga kini setiap rangkulmu tak pernah lekang dari setiap denyut urat otakku setiap bancuh rungutmu masih saja terngiang ditelinga ku aku yang masih belia kini masih ingin pelukmu rungutmu sepanjang pelukmu pernahkah kau rasa nyaman atau kebencian? Aku masih ragu dengan kasihku padamu Aku masih belum penuh mengasihimu Aku ingin hidup dalam dekapmu Biar aku dapat bancuh rindu dalam setiap amuk rungutmu Jasman Pekanbaru, 1 juli 2007

Buayan di tengah gedung 'buat ibu-ibu yang tak kenal lelah belajar" “mereka takkan senang mendengar rengek dan tangis anak itu” kata seorang bapak muda yang sedang bersandar di antara tulang-tulang gedung menguak kantuknya sembari menyibak kerumunan orang-orang yang lalu lalang di koridornya lama juga, sebelum buayan di digantung bapak muda itu mengayuh kata-kata dalam deru angin cerca yang tak bersuara dari orang-orang yang memandangya “aku tak punya kuasa mengalahkan rengek dan tangis anak itu ia menyayat, buat aku lelah mendengar derita tangis yang kian merobek hati” mari ku gantungkan buaian di tulang-tulang gedung ini agar kau dapat beradu dan tidur nyenyak dan bermimpi, tersebab besok setelah kau besar dapat bercerita tentang buaian yang pernah terpancang di tengah gedung itu aku tau, banyak lirik mata yang pedih menatap buayan itu tapi tak sepedih langkah jauh yang kita tempuh dalam derap debu dan tangismu hanya karena secuil harap oleh ketentuan yang kian merapuh dalam segala ketidakpastian di negeri kita yang tercinta “indonesia” ‘nak, tidurlah dengan nyenyak, biarkan ibumu merangkai huruf dan angka itu untukmu ketika sudah melihat dunia ini dengan jelas dan kau ingatlah bahwa kau pernah menggantungkan kenanganmu di tulang gedung tempat ibumu merangkai huruf dan angka itu dalam buayan itu ku suruhkanu bermimpi agar kau dapat merubah ketidakpastian itu jadi batu an mencair jadi embun kesejukan nak, terlalu berat hidup ini untuk di lewati tapi biarkan buaian ini jadi saksi hidupmu waktu kecil tergantung diantara gedung para intelektual tersebab kita memang tak kuasa mengelak tangis dan rengekmu.... ibumu memang telah tua tapi dirimu masih jadi harapan membawa batu-batu ketidakpastian menjadi embun jadi cahaya jadi tawa ..... Jasman Pekanbaru, Agustus 2007 Jasman (Komunitas Lingkar Aksara)

awal usia di awal usia semacam titik hujan agak berat menetes tepat di ubunubun, mengucur kemuka, kemulut, kebadan lalu kehati dan mengakar sepanjang usia-usia hari lalu mengukir lukisan berahi kelam dikulit disela-sela usiaku diawal usia kujamah lembut titik hitam itu sambil kunyah kerikil-kerikil tajam penuh berahi kulumat tak lama berselang bersamana dengus nafas hilang dan lelap cuma sekejap, jelang malam datang lagi diawal usia kuawali nasib dalm kemelut rimba hati meretas semak belukar dalam renta irama hidup kanakku mengolah mimpi disudut persegi kamar disamping ada nyamuk, kecoa, juga setan tak sadar aku sudah berada diatasnya diatas rimba. busuk anyir dan dosa diawal usia noda itu mencakar bingar ari-ariku hingga tulang belulang tak mampu berkata apaapa Jasman Pekanbaru, Mei 2007

Negeriku tersusun rapi keindahanmu hijau daun menambah jernih pandang pada wajahmu rentangan sawah dan siulan puyuh mengalun merdu bak seruling bambu membisik dan hawa pagi mengembun di pucuk-pucuk daun disana terakit gunung-gunung ada awan yang mengarak biru ada sinar mentari menghangat bumi terpacak sinar membentuk pelangi me-ji-ku-hi-bi-ni-u itulah warnamu kulihat kearah sana ada burung yang hinggap bertengger di sela-sela ranting seraya bersiul indah membujuk pagi dan mengepak mengibas sunyi lalu terbang ke angkasa bersama desing angin pagi inilah wajah negeriku alamnya indah tersusun rapi bagai zamrud mengatur sambung bagai buliran padi mengunig di masa panen itu negeriku “Indonesia”. Jasman Jasman, PKU, 22-08-07

Related Documents

Duka
November 2019 16
Lembah Duka
June 2020 11
02_an Duka
April 2020 5
Berita Duka Cita.docx
December 2019 10
Suka Duka Mengagumimu.docx
December 2019 14