Dsk-buku Saku (draft)

  • Uploaded by: Bahar D. Dirgantara
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Dsk-buku Saku (draft) as PDF for free.

More details

  • Words: 6,024
  • Pages: 31
DSK Bahar D. Dirgantara

Hak cipta ada pada penulis. http://www.cakrawalapustaka.blogspot.com [email protected] +62813.1584.3462 (mobile) Novelet freeware

Satu .... Jakarta-Semarang, Februari 2001 Puisi-puisi Samudro dan Arina. Memuaskan dahaga dan lapar, mencoba. Pukul 08:00 Samudro: sepi Ketika kau bangun dan terjaga di pagi hari/bukalah jendela kamarmu/kau melihat hari baru datang/dan kau tersenyum Kawanan burung pipit menyambut/tanda keriangan/kau renungi jiwa yang sendiri/menatap jalan tanpa ada yang menemani Aku di sini mencari dan terus/tapi berjuta langkah bukan yang terbuang/tetap tanpa dapat meraih dan berarti/atau itukah pengorbanan Sejuta wajah yang kau dan aku lalui/tak dapat membuang rasa/satu cermin tetap melekat/bersama awan dan angin “Aku tidak tahu kenapa saat aku tanya Yangti-ku, ibu dari ibuku, tentang kekasih di dunia itu, apa nanti juga kekasih di akhirat,” batin Arina. Aku tak percaya atau mungkin aku ragu perihal akhirat. Aku masih muda, kepala dua, belum perlu memikirkan yang gaib itu. Kata Yangtiku, itu dunia gaib, kamu tidak bisa melihat, tapi merasakan. “Kenapa harus dipercaya, bukankah itu tak ada sekarang,” ungkapnya kemudian. Mengenai kekasih. “Kalau kamu memohon sama Tuhan kalau kamu kepingin punya pendamping (istilah Yangti untuk kekasih) dunia-akhirat, ya berdoa saja,” begitu jelas Yangti. “Tapi kamu harus yakin, Nduk,” lanjutnya setelah kami diam beberapa saat.

Seperti itukah? Pukul 11:00 Arina: sendiri Malam terasa dingin, Sayang/lautan pasang/deburan ombak menggilas kesunyian/aku sendiri Kamu sendiri?/aku lebih kesepian/aku burung camar/yang terbang mencari ikan di samudera Masih tetap sendiri/sepi/walau harus terus minum/tapi air itu asin Aku lapar/tapi aku hanya makan ikan/kapan kamu mau datang menolongku/aku sendiri Sore. Langit merah. Teman kuliah, dua datang. “Rin, aku mau nginep di sini, suntuk di kost. Panas,” kata Shinta. “Aku juga, kost sudah ndak nyaman. Aku mau pindah,” kata Rasti. Dua sobatku ini tidak mau dikekang. Bebas. Terbang. Melayang. Punya ibu kost streng setengah mati. Itu ibu kost Shinta: layaknya di penjara. Pulang jam sebelas malam malah dimaki-maki. “Kamu itu perempuan apa sundal, malam begini baru pulang,” kata ibu kost. “Nanti apa kata bapakmu. Aku malu tak bisa mendidik.” “Lengkingan suaranya menusuk hati dan bikin telinga pekak,” ungkap Shinta. “Lha, memangnya dia siapa. Kok pakai kata “mendidik”,” kataku dalam hati. Lain pula dengan Rasti yang kost di daerah Sriwijaya. Dia tidak nyaman karena anak ibu kostnya selalu menerornya. Gosipnya, si anak jatuh hati kepada Rasti.

“Lha, Rasti itu memang ayu, juga kemayu. Aku saja sebagai perempuan mengakui, kok. Habis sebagai perempuan, ia merupakan sosok ideal, pintar, kepingin punya anak banyak. Siapa lelaki yang tidak mau punya istri bergairah seperti itu,” batinku. “Ras, mau pindah ke mana? Susah cari tempat sekarang.” “Ke mana aja,” katanya cepat menimpali perkataanku. “Aku wis ora betah. Aku memang fleksibel, tapi manusia cemeng (anak ibu kost) itu tak mau ngerti juga.” “Udah tahu cemeng. Kalo aku tak pites, injak-injak, mlenyek, terus buang ke kali.” Shinta memberi semangat ngawur. Memang anak ibu kost itu seperti anak mami. Dandanannya saja seperti anak dewasa, tapi kelakuan seperti anak bayi baru mbrojol, oe-oe minta tetek ibu. Mentangmentang anak tunggal. Laki pula. “Belum lahir, orangtuanya sudah memberi asuransi pendidikan satu milyar rupiah,” cerita Rasti suatu kali. Eh, kok aku jadi sirik. Kebawa emosi kali, ya. Kedua alisku naik-turun. Semarang, 2 Februari 2001 Siang. Panas. Kota Lumpia tak pernah tidak panas. “Sumuk,” kata Yangtiku. Yangtiku itu mudanya pernah “gila” sebelum menikah dengan Yangkung. Kata ibuku, “Gendheng, strip. Stress ditinggal pacar, dua tahun masih hidup apa sudah mati itu Yangtiku. Matanya jarang kedip apalagi melirik. Pandangannya selalu ke depan, walaupun bisa menoleh. Tapi, biji matanya tetap tak bergerak, persis di tengah-tengah. Bulatan hitam.” Jakarta “Samudro, gimana, nih. Kalo kita nggak selesai tahun ini skripsinya.” “Tenang, Jakarta masih kita pijak. Nggak kemana-mana.”

Arto, sobatku ini. Paling aneh, kerjanya cuma baca buku. Belajar dan cari referensi. Tak pernah bosan. “Kita itu harus konsisten!” katanya bersemangat suatu saat. “Zaman global sudah dekat, Bung! Kita harus pintar-pintar cari peluang.” Aku menyela, “Sekecil apapun?” Arto menimpali cepat. “Benar suekaleh!” Contoh semangat seperti itu aku pernah dapatkan dari kakekku. Wirausahawan tulen. Merintis sejak zaman Perang Dunia I dua tahun bubar. Aku sendiri umur duapuluh satu tahun masih leha-leha, adem-ayem. Kakekku lahir zaman Eropa pecah perang 1918 dan mengawali karir saat Zaman Malaise 1930, lidah orang Indonesia menyebutnya Zaman Meleset. Saat perekonomian Eropa ambruk akibat perang. Juga perekonomian di beberapa kawasan lainnya, tak terkecuali Amerika. “Kakek kepingin menyelamatkan bangsa,” katanya waktu aku masih SMP. Walau Indonesia tetap angkuh dengan kemelaratannya yang banyak hutang, semangat kakekku tak pernah lekang oleh zaman. Umurnya kini 83, masih centil, suka sama yang beningbening. Tapi teman-teman kuliahku yang perempuan, justru malah senang dengan kelakuan kakekku. “Biar awet muda,” kata Tina yang memang kelihatan hot di mata kakekku. Tentu saja hot juga di mata kami yang mudamuda. Tina merupakan temanku yang disayang kakek. Vira dari tiga serangkai Tina-Vira-Monic, pernah berbisik padaku, ”Kalau saja aku ada pada zaman kakekmu, aku mau dijadikan istri entah keberapa oleh kakekmu. Habis hot banget!” Aku tak mengerti, apakah maksud Vira ini serius atau cuma main-main. Dasar! “Tiap detik itu ilmu!” Keras. Arto membuyarkan lamunanku. “Edan! Berisik, kakekku lagi tidur.” “Sori.” Arto cengengesan.

.... Jakarta-Semarang, 27 Februari 2001 Samudro-Arina. Puisi-puisi menjadi satu. Dua kota, sama sumuk dan tak teratur. Di kota besar pertama/aku semakin pana/tanpa ada pendingin/es meleleh Kamu membuat hatikuyang panas/jadi hangat oleh sedikit lelehan es/jangan kamu habiskan tetesannya/aku masih butuh Lelehan itu semakin sedikit/aku ingin kamu memberi/aku minta/kau carikan aku lelehan baru Kamu ingat/kita jaga tali/jangan putus/jangan terbakar habis Aku ingin mengehatnya/aku tetap jaga/biar sampai kau dapat/aku menunggu Kita jangan putus asa/berusaha/jangan pernah menyerah/kita berjalan beriringan Aku coba mengerti/kau juga/kita jalan bersama/itu janji kita Yang terucap kita jaga/sampai Yang Berkehendak/buat kita pisah/aku berusaha

Dua Jakarta, Mei 1999 “Sayang kamu, Arina, orang sebaik dia kamu lepas di lautan begitu saja,” kata Mullah. “Aku juga nggak tahu, mudah-mudahan aku sama dia bisa ketemu lagi.” Arina menarik napas panjang kemudian menghembuskannya cepat-cepat. “Amin, semoga saja.” Mullah berlalu. Arina masih terpaku di bangku dekat sebuah pohon besar. Kata hati Arina bertempur dengan dirinya. “Kamu sudah berusaha?” kata hatinya. Kepala Arina menggeleng dalam imajinya. “Kamu harus punya usaha. Jangan memble aja. Kayak nggak pernah...,” kata hati berhenti tiba-tiba. Arina mengepalkan kedua tangannya keras. Matanya memejam keras. Kata hati memberikan kata-kata tajam. “Wah, bisa runtuh dunia ini jika semua orang kayak kamu banyak: tak mau usaha!” Arina ingin berteriak, tapi ia tak mungkin melakukannya. “KENAPA!!!” teriaknya kepada hati yang selalu menggempurnya. Hati yang seharusnya membelainya. Pertempuran kalbu jeda sesaat. Suara angin menerbangkan dedaunan yang berserakan. “Habis bagaimana?” katanya kepada hati. “Lho, kok nanya. Kamu bagaimana? Punya otak, ya pikir. Jangan tunda-tunda. Usaha.” Arina bertambah kesal. “Cari jalan keluar. Dilaknat tak bisa berpikir lagi baru rasa kamu!” Aku terpojok. Arina mendesah.

Depok, 20 September 1996 Kampus Mudamadya. Awal. Tiga dini hari aku terbangun, entah apa yang terus mengganggu pikiranku hingga seperti ini. “Sam, muka kamu kucel banget,” kata Mullah heran. “Tahu, neh. Aku aja nggak tahu kenapa aku sampe begini,” sahutku. “Banyak pikiran, bagi-bagi dong!” seru Mullah bercanda. Sampai hari ini aku terus mencari apa yang menjadi pikiranku, sehari, sepekan, hingga sebulan ini. Kutemui Adil, sobatku. Namun ia hanya memberiku sedikit motivasi. Samudro sungguh ingin mengetahui misteri pikirannya ini. Kini ia tengah duduk di bangku taman kampus. Gundah. Sesekali menyeruput air jeruk yang ia beli di kantin selepas kuliah usai. “Samudro, kok bengong?” Samudro terkejut. Arina merasa tidak enak. “Aku ganggu kamu?” “Ah, ya. Maksudku nggak apa-apa.” Samudro tergagap. “Aku beberapa hari lalu bicara dengan Mullah, kata Mullah kamu lagi mikirin sesuatu, ya. Ada masalah, Sam?” “Mullah cerita, apa?” “Seperti yang ada di pikiran kamu sekarang,” jawab Arina penuh teka-teki. Samudro tak mau ambil pusing dengan jawaban Arina. “Begini.” Samudro mulai menjelaskan.” Biasanya aku bisa santai. Tapi sebulan terakhir ini..., entah apa yang ada di kepalaku. Dipikirkan tapi nggak ketemu apa yang seharusnya aku pikirkan.” Keduanya membisu. Kebisuan ini dipecahkan oleh salah seorang dosen melewati mereka. “Hai, kalian sedang berpikir apa?” katanya sambil lalu. Samudro dan Arina seketika melihat si dosen.

“Ah...,” kata Samudro yang tak mampu menyusun kalimat apa untuk menjawab pertanyaan yang baru saja lewat. Arina hanya menceplos, ”Ya....” Jam istirahat makan siang beberapa menit habis. Jam masuk kuliah sebentar lagi. Arina pergi meninggalkan Samudro. Seperti datangnya yang tiba-tiba, tanpa perkataan “halo”, “hai”, perginya kali ini hanya dengan isyarat. Memegang pundak Samudro lantas berlalu. Di kejauhan Adil berlari-lari menuju arah Samudro dengan setumpuk buku. Anak muda ini sungguh bersemangat kuliah. Saat tiba di tempat Samudro duduk. “Sam, tugas paper banyak. Bantu aku, ya?” katanya cuek. “Kamu juga bantu aku,” jawab Samudro sekenanya. Adil hanya manggu-manggut sambil meletakkan bukubukunya, kemudian melap keringat di dahinya dengan handuk kecil. Semarang, Desember 1996 Arina mengaduh. Sudah sebulan kita tak bertemu. Kamu ke mana. Aku sudah pindah ke Semarang. Kamu juga, pindah, ya? Kenapa? Selalu ingat aku? Berarti kamu mau melupakan aku, dong?! Oh, aku masih.... Kapan bisa ketemu lagi, ya. Di mana aku mencarimu kini? Sebulan itu juga aku mendapat kabar dari rumah melalui e-mail. Bahwa ibuku, kata Mas mbarebku, selingkuh. To: A Kbr genting, rt sedang cekcok. Tapi kamu jgn panik. Cool aja! Kalau tambah 200%, baru nanti kamu dikbri. Yang ptg kamu aircooling dulu sama mslh kamu. Dah....

From R. Aku balas segera. To Rrrrrrrrrr... Aku jadi kaget. Sungguh! Semoga aku bisa dingin. Kbri aku saja, tank-top alias trims. From Aaaaaaaaa...

Dunia makin hancur. Tak tahulah, mana yang benar dan salah. Semuanya kaprah. Kata orang Jawa: diamput. Sial. Aku tak tahu bagaimana lagi. Ia sudah membesarkan aku. Kuhormati dari ujung rambut yang beberapa helai telah beruban sampai ujung kaki. Kenapa? Ah, kenapa Tuhan membiarkan semua itu. Apakah Kau tak punya kuasa untuk mencegah. Apa Kau ada? Atau jangan-jangan Kau.... Aku bingung! Yangkungku pernah bercerita soal ibu. “Ibumu waktu kecil sampai sekarang ini tetap ayu. Banyak yang naksir.” “Pakai susuk kali, Yangkung,” kataku. Kata-kata yang keluar dari anak berusia tujuh tahun, polos. “Hush, kamu nggak boleh bicara seperti itu soal ibumu,” Yangkung memperingatkanku. “Mungkin bakat alam,” katanya melanjutkan. “Waktu umur duabelas tahun sudah ada yang mesen buat jadi pelampiasan. Tapi Yangkung tolak pesenannya itu. Laki-laki pemesan itu manusia kadal, duda, sudah kawin-cerai tujuh kali.” “Itu gendheng,” kataku seceplosnya. Yangkung tersenyum.

“Rekaman tentang ibumu lebih baik tanya Yangti. Karena Yangti sangat memanjakan ibumu.” Aku kurang mengerti cerita Yangkung saat itu. Maklum aku baru tujuh tahun kala itu. Tapi kini aku paham maksudnya. Apalagi ditambah cerita Yangkung saat aku duduk di bangku SMP, sekitar limabelas tahun umurku kala itu, bila aku tak salah ingat. “walau dia sangat memanjakan ibumu ketika kecil, namun saat remaja hingga kini Yangti cenderung tak acuh pada ibumu,” kata Yangkung. “Mungkin Yangti cemburu dengan keayuan ibumu. Seharusnya ia bangga dengan keayuan ibumu. Sebangga seorang ibu yang dapat melahirkan anak perempuan seayu dewi.” Lain lagi cerita Yangti tentang ibu semasa aku SMA. “Ibumu memang memiliki anugerah yang tidak dimiliki oleh perempuan mana pun.” “Yangti pikir seperti itu?” tanyaku. “Iya. Dia tidak sekedar ayu, tapi daya pikatnya sungguh luar biasa, bahkan bisa disebut diluar kebiasaan,” jelas Yangti. “Karena itu Yangti cemburu karena ibu lebih dari Yangti?” tanyaku ingin tahu. Yangti mengernyitkan dahi dan memandangku dengan tatapan tajam seolah-olah ia tahu dari mana sumber sebenarnya pertanyaan yang keluar dari mulutku ini. Ia mengunci mulutnya, tidak menjawab pertanyaanku. Ia melanjutkan. Mengalihkan tema pembicaraan tiba-tiba. “Yangkung kamu. Sebelum dengan Yangti dikenal dengan julukan playboy. Tapi kenapa Yangti suka, mungkin karena Yangti selalu dengar dari teman-teman Yangti kalau Yangkung hanya mau insaf dari kelakuan playboynya itu bila mampu menaklukkan Yangti,” cerita Yangti. Aku menurut saja mengikuti alur pembicaraan Yangtiku. “Mungkin Yangti ayu. Atau Yangti adalah primadona di antara gadis-gadis. Atau malahan Yangti yang justru dipujapuja Yangkung. Dengan sikap Yangkung yang playboy, bisa jadi

itu cuma cara Yangkung untuk cari perhatian sama Yangti,” ungkapku. Yangti tidak menjawab lagi. Kedua pipinya kulihat memerah. Seperti itulah masa aku mengenal ibuku, walupun tidak begitu mendalam, tapi setidaknya aku tahu gambaran ibu sebenarnya. Ada konflik di antara mereka bertiga: Yangti, ibu dan Yangkung. Bagi kita, yang hidup di masa kini seharusnya konflik tak perlu terjadi. Tapi bagi mereka merupakan suatu hal yang harus dipertentangkan. Aku tak mau ambil pusing dengan semua konflik itu. Memang aku tak menyadari maksud konflik itu pada awalnya. Namun bila dirunutkan kemungkinan ada hubungannya dengan ibu yang dituduh selingkuh oleh ayah, seperti yang dituliskan Mas mbarebku di e-mail beberapa waktu lalu. Aku sendiri pernah berpikir. “Apa ayahku kurang bergairah dengan ibuku? Padahal ibu kan ayu, tak bakal habis bila sarinya terus dinikmati.” Atau pikiranku berbeda dengan laki-laki. Katanya, seperti yang pernah kudengar dari dari teman-temanku yang laki-laki di sekolah SMA, mereka memiliki kecenderungan bila setelah bosan dengan sesuatu hal akan berpindah ke hal yang lainnya. Saat itu aku bertanya, “Termasuk soal perempuan?” Mereka yang laki-laki hanya tertawa terbahak-bahak. Dua orang teman perempuanku: Rita memelototi aku seperti menghakimi aku, “Bodoh sekali pertanyaanmu itu!” dan Dina hanya tertunduk. Aku baru tahu setelah lulus kalau pertanyaanku itu seperti menampar Dina. Karena Dina ternyata tiga kali pernah dikecewakan oleh tiga lelaki. Maka itu, ia selalu tak pernah angkat bicara ketika topik yang aku dan teman-teman bicarakan soal laki-laki. Meskipun pembicaraan itu hanya di antara kita kaum hawa, tak ada lelaki yang ikut nimbrung. Dina oh Dina, maafkan aku, ya.

Chatroom bagaimana masih cekcok? tambah parah!!! trs? ibu minggat ke smg? tak tahu, bkn sepertinya. sdh berapa hari? 10 hari kok aku baru tahu?  sori, aku kelewat sibuk sampe gak kasih tau km Mas, udah dulu, ya. aku mau kuliah dulu, kpn2 kita lanjutin Ya sudah, salam untuk Yangti.... nanti aku sampaikan, dadah....  dadah jg 

Jakarta, Februari 2000 Bapak dan Ibu. “Arina, semoga kamu ingat ibu. Ibu tidak salah, Nak. Jangan salahkan ibu. Ayahmu sudah jarang pulang. Ibu khawatir tapi ayahmu tak mau peduli lagi sama ibu. Mungkin kamu sudah tanya-tanya sama Yangtimu. Terus saja bertanya biar kamu puas. Ingat Yangtimu tidak sama dengan ibumu. Yangtimu punya daya tarik yang jika semua lelaki melihatnya mustahil untuk menolak keanggunannya. Sampai-sampai kaum hawa yang “sedikit aneh” dapat tertarik magnet Yangtimu, “Mungkin Yangtimu cerita kalau ibu ini banyak yang mengejar, tapi ibu tak menggunakan kekuatan seperti Yangtimu. Tanyalah Yangtimu, biar kamu puas. Atau Yangtimu sudah memasukkan kekuatannya ke ibumu ini. Lebih baik kamu tanya Yangtimu, biar lebih jelas. Ayahmu saat zaman pacaran, istilah sekarang pdkt, suka memberi ibu ini bunga. Kata ayahmu, “Kamu seperti bunga, tapi tidak seperti bunga yang selalu layu.” Lalu, dia besoknya datang lagi. “Kamu seperti bidadari, tapi aku belum melihat bidadari. Kamu mau jadi

bidadariku. Aku ingin. Kamu mau?” Begitu katanya. Sampai akhirnya, ibumu yang kata orang ayu, walau ibu tak pernah menganggap ibu atau merasa ibu ayu.... kamu mengerti, Nak? Itu terserah kamu. Ibu sekarang hanya bisa berdoa semoga kmu selesai kuliah. Ibu tak mau kamu terkatung-katung menangisi nasib. Jangan pikirkan ibumu ini. Tuhan sudah punya garis sendiri buat ibumu ini. “Kamu mau tanya, di mana ibu sekarang? Ibu bisa jawab, tentunya masih di Indonesia, tak jauh.” Aku hanya tersenyum. Ternyata walau keadaan sedang tidak menentu, ibu masih bisa menuliskan candaannya di suratnya. “Kalau kamu kangen berdoa saja. Mungkin lewat mimpi kita bisa bertemu. Ingat! Hubungi Mas mbarebmu, ibu percaya dia. Dia pengganti pimpinan rumah tangga setelah ayahmu tak tahu juntrungannya menuduh soal ibu. Tanya sama Masmu. Arin punya alamat e-mail, kata Masmu. Kamu bisa kontak dia lewat situ. Maklum, walau ibu bisa menggunakan e-mail, tapi ibu lebih senang memakai surat, lebih.... Sudahlah. “Ibu amat bersyukur, kamu baik-naik saja. Ibu juga mengapa tidak mau menelepon ke Semarang, karena ibu tak mau ayahmu mendengar pembicaraan kita. Sebab bisa jadi ia memantau pembicaraan kita. Maklum ayahmu pernah bekerja di perusahaan telekomunikasi dan ia pernah menunjukkan keahliaannya menyadap telepon di depan Mas mbarebmu. Walau internet bisa disadap, tapi kemungkinan itu kecil sekali. Kecuali ayahmu punya relasi atau kenalan seorang hacker. Hacker seperti di film kesukaanmu The Lone Gunmen, kisah tiga hacker yang sudah tak punya kerjaan di The X-Files terus buat perusahaan kecil-kecilan tapi bukan fiktif dengan satu tambahan anggota pria yang lugu dan perantara pembawa job yang seorang perempuan. Kok ibu tahu, ya. Kamu pasti bertanya. Setiap ibu lihat kamu belum tidur, biasanya ibu selalu setel teve. Hari Rabu jam 22:30, kamu nonton itu, ibu jadi ikut suka, bahkan kelewat suka.

“Sudah dulu ibu bicara. Doa ibu akan selalu mengalir. Ibu restui jalanmu. Ingat Arina, jangan terpengaruh desas-desus. Ambil jalan lurus. Salam dan sayang, ibumu tercinta.” Ayahku juga mengirimkan surat padaku sepekan setelah kedatangan surat ibu. “Apa kata ibumu, Rin?” Aku bingung. Ayah seperti sudah tahu kalau aku sudah mendapat kabar dari ibu. Aku hanya berpikir, sebenarnya ikatan batin antara ibu dan ayah belum hilang. Aku yakin mereka, secara batin masih terkoneksi. “Jangan pedulikan. Ayahmu sedang perang sama ibumu. Dingin. Huh!” Ada nada kesal dalam surat ayahku ini. “Dia itu seperti ibunya, seperti Yangtimu itu. Punya susuk. Gila, baru sekarang ayahmu sadar. Dari dulu ayahmu tidak sadar. Masmu mbareb sudah kena guna-gunanya. Tak tahulah apa yang dipakainya itu. Sundal. Sudah salah kaprah ibumu mendidik anak-anaknya. Cuma tinggal kamu yang bapak harapkan. Kedua mbakmu yang sudah nikah, biar mereka mandiri dan adikmu sudah mengungsi di rumah pamanmu, Sugeng. Pamanmu itu selalu membela ibumu, tapi pikirannya penuh racun. Ayahmu ini rasional, tidak emosi. Pakai akal. Masak perempuan pulang pagi. Ke mana, coba?! Kata ibumu, ke rumah pamanmu. Bullshit, tahi ayam. Bohong itu semua. Sudah sekitar ibumu menghilang. Apa itu? Ibu yang baik? Ayahmu sekarang harus berjuang sendiri. Tinggal kamu harapan ayah. “Mudah-mudahan kamu semakin matang. Salam hangat, ayah yang selalu menyayangimu.” Ayahku selalu ceplas-ceplos saat berbicara, tak terkecuali melalui surat seperti kali ini. Depok, 24 September 1996 Kampus Mudamadya, Depok, kelas bubar. “Ri, sudah lama?” tanyaku.

“Belum.” Jawab Arina. “Kamu baru keluar kelas, Sam?” Aku hanya mengangguk. Aku kemudian mengambil posisi duduk di depannya. Menyeruput minuman jeruk yang aku bawa. Tatapan Arina tajam, seperti menunggu apa yang akan aku ceritakan. “Masalah kamu belum ketemu jawabannya?” “Apa maksud Arina?” batinku. Arina menunggu jawabanku. Lima menit sepertinya ia tak tahan untuk bertanya kembali. “Masalah yang kamu bilang waktu itu. Kamu tiba-tiba....” Aku segera potong perkataannya. “Sudahlah....” Aku sebenarnya belum menemukan jalan keluarnya. Tapi aku juga tak mau membebani orang lain dengan masalahku. Arina terus berusaha. “Tapi, kamu belum nemuin solusinya, kan?” Aku berdiri. Arina terkejut, mungkin dikiranya aku marah. “Kamu nggak apa-apa?” Aku hanya menggeleng. Aku lihat wajahnya masih memerah karena terkejut tadi. “Aku jalan dulu,” kataku sambil berlalu. Suara Arina setengah berteriak. “Aku mau membantumu, Sam!” Beberapa detik kemudian. “Kamu mau ke mana?” teriak Arina. Setelah itu aku tak mendengar lagi suaranya.

.... Depok, 1 Oktober 1996 Pesona Depok. Mendung. Sudah sepekan aku tidak ketemu Arina. Ke mana ya dia? Aku dulu pernah mengajak dia ke bioskop bareng Carly sama Adil.

Ada yang sepertinya aku lupa pada saat itu. Ada yang berbeda. Arina, ya Arina. Ia tampak tak seperti biasanya. Pakaiannya saat itu. Ia pakai rok panjang dengan sweater tipis yang melekat di tubuhnya. Rambutnya pun potongan baru, belum pernah ia menggerai rambutnya. Biasanya ia selalu kuncir. Rambutnya nampak halus bila dilihat tanpa perlu membelainya. Berkilau bila terkena sinar lampu pada malam itu. Ah, apa ini. Mimpi itu. Orang asing itu. Orang misterius itu. Dia ternyata.... Pondok Labu, Jakarta “Ri, kok cemberut?” Arina hanya diam membisu. “Sori beberapa waktu aku menghilang,” kataku lagi. “Nggak apa. Kan teman kamu banyak,” katanya jutek. Ada apa dengan Arina. Kenapa jadi judes seperti ini, ya. Aku termenung. “Kenapa ngelamun?” katanya melenyapkan termenungku. “Kamu nggak ngerti, Sam.” Arina berat mengatakan. “Aku....” Ia tak menyelesaikan kalimatnya. Ia kemudian berdiri menuju bangku di taman dan duduk di atasnya. Aku mengikutinya. Aku hanya memandanginya. Ia pun juga memandangiku sesaat, setelah itu pandangannya mengarah ke kolam ikan dengan pancuran di tengahnya. Setengah jam kami terdiam seperti itu. Aku pun pamit. Arina tetap terdiam. Jakarta, 2 Oktober 1996 “Sam, ceria banget hari ini! Dapet lotere?” tegur Mullah. “Eh, Mullah. Baru dateng?” “Iya. Aku duluan, mau serahin tugas, udah telat sejam.” Mullah berlalu, berlari menabrak orang sesekali.

Hari ini aku tidak melihat Arina. Ke mana dia. Biasanya jam istirahat atau jeda sebelum kuliah berikutnya ia selalu ada di kantin atau perpustakaan. Di perpustakaan tadi sudah aku cari, tapi tak terlihat. Di kantin ini pun tak ada. Sudah dua gelas jus jeruk aku habiskan, kedatangan Arina tak kunjung tiba. Terdengar sayup-sayup seseorang menyebut Arina. “Hai, gawat! Arina....” Ah, mungkin cuma suara-suara di kepalaku. Jam 16:00 “Sam, gila kamu!” Aku kaget. “Masih tenang-tenang di sini.” Mullah berdiri di hadapanku. Aku lihat Adil di belakang Mullah, di kejauhan berlarian menghampiri kami. “Kamu nggak tahu?” “Apa? Apa maksud kau?” tanyaku pada Mullah. Belum sempat Mullah menjawab, Adil sudah tiba di tempat kami dan berkata, “Hai!” Napas Adil masih belum stabil. “Begini,” Adil berkata. Napasnya masih tak teratur. Aku jadi penasaran. Ada apa dengan dua orang temanku ini. Berbicara tapi penuh tanda tanya bagi yang mendengarnya. Mullah berinisiatif. “Sudahlah, kalian berdua ikut aku segera. Cepat!” Mullah menarik tanganku dan Adil menuju parkiran. Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat Jam 17:15 Kami bertiga segera keluar dari mobil. Di perjalanan tadi kami hanya membisu. Adil tertidur. Mullah serius sekali saat menyetir. Sedangkan aku, hanya dapat membunuh kesepian dengan menyalakan radio yang sedang menyiarkan tangga lagu Top 40. Aku tak tahu kalau tujuan kami adalah rumah sakit.

Mobil di parkirkan Mullah di areal parkir rumah sakit itu. “Kenapa kita ke sini?” Mullah tak menjawab. Ia malah sibuk membangunkan Adil. Adil mengulet beberapa kali. Matanya mulai terbuka. “Sudah sampai kita?” “Ya. Ayo kita sudah. Turun, yuk!” ajak Mullah. Adil memandangiku. “Kamu belum tahu, ya, Sam?” “Aku bingung kenapa kita ada di sini.” Adil beralih memandang Mullah. Mullah hanya berkata, “Kamu ceritain aja, Dil.” “Arina ada di rumah sakit ini.” Aku seperti mendapat serangan petir. Mullah dan Adil tak menjelaskan lebih lanjut. Mullah hanya bilang sebaiknya kita segera turun. Itulah perjalananku dari kampus hingga parkiran rumah sakit ini. Aku masih belum menemukan jawaban apa yang sebenarnya terjadi. Sesampainya di bagian informasi, Adil menanyakan sesuatu kepada suster yang sedang bertugas. Oh ya, aku baru ingat. Kalau hari ini aku harus menyerahkan naskah ceritaku kepada Mas Rully dari Majalah Shift. Tapi dalam kondisi seperti ini aku tak enak untuk segera berlalu. Aku lihat jam tangan. Limabelas menit lagi, aku seharusnya sudah dalam perjalanan ke kantor majalah itu. Aku melihat sekeliling, apakah ada telepon umum. Adil mendatangi kami. “Ayo, kita ke lantai tiga.” “Sebentar. Ada yang harus aku telepon.” Mullah hanya menggeleng dan menghela napas panjang. “Kau ke tempat parkiran aja. Di sana banyak telepon umum. Kalau mau nyaman dekat situ ada wartel juga.” “Aku menyusul.” Aku segera berlalu.

Mullah dan Adil seperti bercakap-cakap sebentar, kemudian segera berlalu. Entah apa yang sedang mereka bicarakan. Aku meminta izin kepada Mas Rully untuk datang agak terlambat karena aku sedang di rumah sakit. Mas Rully hanya menjawab santai, “Aku nggak ada, kamu taruh saja di atas print di meja saya.” Aku lega. Mas Rully biasanya tak mau mentolerir keterlambatan. Kali ini sepertinya dia sedang bahagia. Maklum baru saja dapat tugas meliput konser di Singapura. Aku tidak bisa lama berada di rumah sakit ini. Aku berlari menuju lantai tiga. Tak sempat menunggu lift, aku naik melalui tangga. Aku tadi lupa menanyakan di sebelah mana lantai tiganya. Aku mencari Adil dan Mullah. Sesekali membuka ruangan tempat pasien dirawat namun tak menemukan mereka berdua. Setelah limabelas menit aku seperti melihat Adil di kejauhan. Adil pun melihatku, ia melambai padaku. Aku percepat jalanku. “Ke mana saja? Lama banget teleponnya.” “Aku nggak bisa lama. Aku harus kirim naskahku ke kantor majalah.” “Yah.” Adil menghela napas. “Arina kenapa memangnya?” “Kepalanya kena terbentur setir saat menyetir. Kata dokter berdasarkan orang yang mengantarkan ia ke rumah sakit ini, Arina mencoba menghindari motor yang mau masuk gang. Motor itu menyalip tiba-tiba dari kanan dan memotong jalurnya,” jelas Adil rinci. “Apa diagnosa dokter?” “Belum tahu. Mullah masih di ruang dokter.” “Keluarganya sudah dihubungi?” tanyaku. “Dari rumah sakit ini sudah menghubungi tadi.” “Baiklah. Aku pamit dulu.” “Nggak tunggu Arina siuman?”

“Aku sudah terlambat.” Adil terpaku di tempat ia berdiri mamandangiku. Aku sebenarnya tidak kuasa untuk meninggalkan rumah sakit ini. Tapi bagaimana lagi, naskah di tanganku saat ini adalah jalan menuju karirku. Simalakama, memang. Perkembangan berikutnya, aku mendapat kabar bahwa Arina masih di rumah sakit. Dua hari yang lalu aku menjenguknya. Tapi aku datang terlalu larut, ia sudah terlelap. Saat itu ibunya yang menjaga Arina. Arina terlihat pucat sekali malam itu. Ia terkena serangan darah rendah, begitu kata ibunya. “Kepalanya sering sakit, seperti digigit. Arina selalu cerita seperti itu ke ibu,” jelas ibu Arina. Malam itu pula aku meminta maaf pada ibunya kalau aku tidak dapat sering-sering menjenguk Arina seperti temanteman lainnya karena aku harus menyelesaikan beberapa proyek tulisan bersama rekan di kantor majalah. Ibu Arina mamahaminya. Ia juga akan menyampaikan permohonan maafku ke Arina. Sudah sepekan ini Arina di pembaringan rumah sakit. “Hai, lagi bengongin apa?” tegur Mas Rully. “Eh, Mas. Nggak kok.” Aku kikuk. “Cerita aja kalo ada masalah.” “Hmm, nggak apa, cuma....” Aku tak dapat menyelesaikan kalimatku. Mas Rully masih berdiri di sampingku, membolik-balik halaman Majalah Shift edisi sebelumnya. “Tulisan tentang pasar “minggu” atau pasar kagetan tiap Minggu yang di Depok itu nanti digabungin aja sama tulisantulisan Eddy. Besok redaksi budaya mau rapat. Kamu juga. Besok kamu mulai ikut rapat sama anak-anak budaya. Jam 8 pagi, ya.” Ia pun segera berlalu setelah aku mengangguk dan mengatakan “iya”.

Aku konsentrasi lagi ke monitor komputer di hadapanku. Usai itu aku merasa...

KOSONG

Aku keluar dari kantor majalah itu dengan langkah lunglai. Suara bising kendaraan sesekali membunuh sepinya malam larut.

Tiga Kampus Tercinta, Jakarta, 2 Agustus 2001 Wisuda. Arina, aku sudah lulus. Kamu kapan? Kapan kita ketemu lagi, aku kangen. Aku sendiri. Tidak seperti dulu saat ada kamu. Kamu bak air yang selalu buat aku segar. Kamu selalu mendengarkan tumpahan sampah dari dalam diriku. Kamu bantu aku. Maaf, aku dulu sangat.... tak mau tahu tentang keadaanmu. Sampai ketika kamu pulang dari rumah sakit saja aku tak pernah sedetik pun menjengukmu. Tapi aku berusaha untuk itu. Juga jangan salahkan Adil kalau aku tak menemuimu, karena Adil sudah berulang kali memintaku untuk menemuimu. Semoga saja kamu bisa memahami kondisiku. Maaf, ya. “Sam, selamat, ya,” Mullah menyalamiku. “Kau juga.” Aku memeluknya. Aku dan Adil pindah ke kampus ini, sedangkan Mullah masih di kampus lama hingga ia lulus. Kami bertiga sudah lulus kini. Tak terasa sudah aku tapaki beberapa tahun ini bergabung dengan korps mahasiswa. Teman-temanku di tempat kampus dimana aku lulus, gemar sekali demonstrasi. Ada seorang pemuda bernama Rocky, bukan nama sebenarnya, disebut sebagai orator ulung. Saking seringnya berdemo kulitnya sampai tak terawat. Namun begitu, ia disukai banyak anak-anak baru. Adil pernah berkata, “Buat mereka, kata-kata Rocky maut lah. Banyak yang klepek-klepek, kan.” Tentang Adil ikut pindah denganku adalah karena ia merasa sangat bergantung padaku. Karena memang akulah yang hanya bisa membantu permasalahan kuliahnya selama ini. Pada dasarnya, ia pemuda yang cerdas. Tapi gayanya yang sedikit urakan dan mulutnya yang bak TOA kala berdebat, membuat dosen sering kesal dan selalu dipojokkan oleh Adil.

Beberapa teman di kampus lama pernah menyarankan ia pindah kampus saja. Karena beberapa dari mereka pernah mencuri dengar beberapa dosen yang punya pengalaman mengajar di kelas dimana ada Adil sedang berdiskusi mengenai Adil. Beberapa dosen menyarankan mentransfer Adil ke kampus lain. Awalnya, Adil tak menggubris berita itu. Tapi setelah ia mendengar sendiri ketika ia akan masuk kantor dosen, ia dengar berita serupa. Ia mendengarkan di dekat pintu masuk hingga pembicaraan selesai. Setelah Adil sadar dan mendapatkan aku bakal pindah kampus, Adil segera ikut mendaftar ke kampus baruku. Kami siapkan berkas-berkas untuk ditransfer bersama-sama. Ia semangat sekali saat itu. Ia memang butuh suasana baru dengan dosen yang lebih moderat. Semarang, 3 Juli 2001 Surat dari Mas mbareb, Rahmat Shalih.

Adikku yang manis, Masmu harap kamu baik-baik saja.kabar di sana gimana? Yangti sehat, kan? Aku harap dia baik-baik juga. Masmu kemarin ketemu seorang teman lama, dia cerita sama Mas kalu hidup ini tak ada yang kekal. Katanya, “Kalau mau kekal, mendingan kamu mati dulu.” Mas melihat banyak perubahan (mungkin bisa disebut evolusi) pada diri teman Mas itu. Dia kelihatan bijaksana sekali. Kalau dulu ia orangnya cuek banget sama situasi-kondisi. Sampai suatu ketika ia harus kehilangan kedua orang tuanya akibat kecelakan mobil. Dia ada di situ, tapi tak kuasa menolong. Sebab kaki sebelah kirinya terjepit dashboard. Pada awalnya, ia stres berat. Hidup tak teratur, tidur di jalanan. Tapi suatu waktu dia mimpi saat tidur di teras masjid. Ceritanya begini. Terdengar suara gema. “Arzal, kau dengar suaraku?” Teman Mas menggigil ketika mendengar suara itu. Dia melihat cahaya yang terang, lalu dari titik pusat cahaya terang itu muncul dua tiang yang kian lama kian mendekatinya. Dia sangat ketakutan.

“Anak Muda, jangan kau tangisi semua peristiwa yang menimpamu.” Teman Mas bingung. “Siapa kamu! Tunjukkan wujudmu!” teriaknya. “Inilah wujudku.” “Apa?! Hanya cahaya terang!” Ia memeluk tubuhnya yang menggigil. “Ya, inilah aku.” “Apa engkau malaikat... atau....” Cahaya Terang itu memotong. “Cukup, jangan teruskan! Aku hanya ingin menyampaikan.” “Allah,” teman Mas mendesah. “Kau telah meninggalkan dunia yang seharusnya kau nikmati dan jalani.” Kemudian terdegar adzan Subuh. “Allah,” teriaknya. Seseorang mendekati teman Mas. “Hei, Nak! Bangun ayo kita sholat.” Teman Mas bangun. Orang itu melanjutkan, “Kamu kenapa, Nak?” Setelah itu, ia merenung untuk waktu yang cukup lama dan berpikir bahwa orang tuanya pergi untuk memenuhi panggilan. Diceritakanlah mengenai kedua tiang itu. Itu merupakan simbol kedua orang tuanya. Sepasang tiang bendera yang menghampirinya. Orang tua yang berharap anaknya baik-baik saja. Cerita ini bukan Mas buat-buat. Tapi teman Mas yang bilang. Kenapa Mas cerita ini ke kamu. Soalnya ini juga terjadi pada kita, Rin. Ayah sama Ibu sudah bercerai. Maafkan Mas baru kasih tahu kamu sekarang. Tapi, saat Mas tanya mereka secara terpisah mereka masih menyayangi kita semua, anak-anaknya. Jadi, sebenarnya ini hanya kesalah pahaman yang sudah tidak dapat lagi diperbaiki. Sulit menyatukan gelas yang sudah jadi beling. Mas hanya berpikir, setiap orang punya jalan hidup sendiri. Mungkin pikiran ini agak aneh, tapi memang seperti itu jalan hidup, kadang kita tak tahu apa yang terjadi esok.

Maaf, ya Rin. Mas tak bisa jaga keutuhan keluarga. Tapi Mas mau kita semua jangan putuskan tali yang sudah terjalin. Sengaja Mas baru sampaikan berita ini karena tak mau mengganggu skripsimu. Dadah! Masmu, r-suing. Nb: Mas sudah pindah, kontrak kamar Kirim surat ke Jl. Mangga Raya no. 174 Gandaria Selatan-Cilandak Jaksel 12420 Aku lipat surat dengan perasaan sesak. Semarang, 23 Juli 2001 Rasti. Aku tak jadi pindah. Aku pernah melihat Anak cemeng itu memuaskan hasratnya di kamar mandi dengan tangannya. Waktu itu aku buru-buru, mau kuliah, begitulah niatnya. Soalnya, tugas matakuliah Antropologi harus kumpul tepat jam 10:30 nanti. Sekarang sudah jam 9:30. sarapan saja aku belum, maklum habis begadang, kebut semalaman kerjakan tugas si Dosen streng Giyanto, eh Pak Giyanto. Oh ya, aku lihat anak itu, si Cemeng itu, merem melek, keenakan sekali.... Ingat! Aku tadi nunggu dari jam 9:30, masak anak lanang mandinya lama, tak mungkin itu. Lalu, aku coba memberanikan mengintip. Itu awal ceritanya. Aku sendiri belum tahu bagaimana rasanya jika kepunyaanku dimasuki benda itu. Menurut teman-temanku yang sudah nonton the x-movies, katanya, “Nonton aja terangsang, gimana sampai berbuat.” Kami semua ngakak saat itu. Tapi, benar juga, aku sekarang jadi..., seperti kepengen. Apa aku terangsang. Ah, sudahlah. Aku turun dari kursi yang jadi tempat tumpuanku tadi.

“Hai manusia, cepetan, aku wis telat!” kataku sambil mengedor-gedo pintu kamarmandi sekuat tenaga, biar dia yang lagi keenakan kaget. Sukurin. “Tenang, Anak kemayu!” balasnya membahana, mungkin terdengar sampai pintu gerbang. “Cepet! Lagi mainan, ya,” godaku. “Mainan apanya.” Mungkin ia merasa seperti ditembak jantungnya. Ketahuan ni ye. Sepuluh menit dia guyur-guyur. Pintu kamar mandi dibukanya. Aku tertawa, menggelegar. “Hahaha..., main apa main,” godaku. “Emangnya sudah gak ada yang mau, sampai stres begitu.” “Oo, kamu mau. Nanti malem, ya.” Kukepalkan tinjuku ke arah mukanya. “Tak usah, ya. Punyamu itu seperti pisang kepok, kecil.” Kuperlihatkan jari kelingkingku. Mukanya langsung merah. Aku geli. “Oo..., anak numpang.” Bisa sewot juga dia. “Wis ben, yang penting aku bayar,” kataku langsung ngeloyor msuk kamar mandi. Di kamar mandi aku membayangkan, kalau aku sampai punya pacar yang kayak begitu, langsung aku putus tanpa babi-bu, tus pedhot. Karena orang seperti itu bukan tipe orang yang bisa menahan hawa nafsu. Bisa-bisa nanti aku diperkosanya. Bila terjadi, pacarku itu langsung aku piting, buka celananya erus sentil-sentil biar kapok. Habis itu tinggal pergi. Dadah.... Kejadian itu aku ceritakan sesampainya di rumah Yangtinya Arina. “Kamu pikir dengan kemampuan karatemu bisa digunakan terserah kamu suka. Jangan, nanti susah cari jodoh baru tahu rasa,” kata Arina panjang lebar. “Habis piye meneh, lha wong lanang saiki ndak ada yang setia. Lihat, contoh jelas, kalau sendiri malah neko-neko kayak Anak cemeng itu,” belaku. “Jangan begitu kamu,” balas Arina pelan.

“Kamu juga, dah tahu kalau siapa itu, ee Samudro, ya? Mana buktinya dia setia sama kamu. Cari alamatmu saja gak pernah. Dia kan bisa tanya sama bapakmu di Jakarta sana. Lebih hebat lagi kasak-kusuk cari kamu di sini, baru itu aku acungi jempol, kalau perlu empat jempol: dua jempol tangan sama dua jempol kaki,” diam sesaat. “Gombal laki-laki!” bersungutnya aku. Arina seperti hatinya sedang menimbang-nimbang. Terombang-ambing seperti kapal coba menembus angin badai di lautan luas. Air mata mulai membasahi pipinya. Aku tak mengira kalau Arina bisa juga menangis, sebab selama ini Arina termasuk seorang yang tegar, namun kadang sulit ditebak. Saat ibunya kabur dan akhirnya bercerai, ia terlihat biasa-biasa saja, tak tampak sedih sedikit pun. Mungkin untuk yang satu ini lain. “Aku keterlaluan, ya? Maafkan aku, ya? Aku gak ada maksud buat kamu sedih.” “Ah, tak apa-apa, Ras. Aku hanya ingat dia aja. Aku Cuma mau tahu dia sekarang kayak apa, ya.” Ia menyeka air matanya. “Aku pikir kamu sudah melupakan dia, maaf ya.” Arina hanya mengangguk-angguk dan masih menyeka air matanya. “Wis tho, kita jalan, yuk!” Aku coba mengubah topik. “Ke mana?” “Simpang Lima, kita kongko di sana sampai pagi. Piye?” Arina tak menjawab, seperti masih membayangkan Samudro, laki-laki yang telah merampok hatinya. Ih, kasar sekali. “Ayo, Rin jangan dipikir lagi. Sudah sana mandi, aku tunggu.” “Kamu?” “Aku mandi di kamar mandi belakang saja.” Simpang Lima, jam 19:30

Kami sudah berdiri di depan Mal Ciputra, lalu duduk-duduk di pinggiran Bundaran Simpang Lima. Tempat ini merupakan imej dari keramaian kota Semarang. Lalu lintas terlihat ramai tapi tak sampai bikin macet. Arina pertama kali datang ke Semarang pernah mengeluh padaku. “Ras, mobil-motor di sini tidak mau mengalah, mau menyeberang saja sudah bikin jantung empot-empotan. Padahal aku masih di pinggir trotoar.” Pernyataan Arina sama dengan aku saat pertama kali injakkan kaki di Atlas ini. Kaget juga untuk urusan menyeberang jalan ini sedikit terabaikan. Lagipula Semarang suhunya lebih terik dari Jakarta, mau cari tempat tenang malah dapat yang sumpek. Walaupun aku sejak SD tinggal di Jakarta, toh ternyata Semarang tak seindah bayangan cerita kedua orangtuaku. Yang lebih hebat lagi, Seksi Loro dekat Pasar Lampersari kini berubah jadi mal. Bisa saja nanti Semarang dikutuk jadi danau dadakan seperti Jakarta. Tapi sebenarnya Semarang juga termasuk kota banjir. Maksudku untuk daerah kota bawah. Seperti potongan lagu Jawa, “...Semarang kaline banjir....” Buktinya saat aku ketemu seorang ibu di angkot yang pulang belanja dari Pasar Johar. Dia cerita, “Di tempat ibu tinggal, Jalan Jambu II iku saiki nek udhan deres buanjir.” Bayangkan, padahal daerah Lampersari-Candi sudah agak ke atas, walau tak dekat-dekat amat dengan daerah atas. Tapi yang namanya musibah, ya mau gimana lagi. “Ras, aku laper. Makan, yuk!” Mengelus-elus perut. “Enaknya makan apa, ya?” “Menurut kamu apa?” Malah balik tanya. “Apa itu?” Tunjukku ke seberang. “Mana?” Mata Arina mencari. “Itu, tahu campur. Enak katanya di situ.” “Boleh.” “Yuk, langsung ke sana!” Kami berdua menyeberang dengan hati-hati.

Kami makan dengan lahapnya secepat kilat ternyata aku lapar juga. Penjual yang melayani kami sampai geleng-geleng melihat gaya makan kami yang seperti kuli sedang istirahat sedang istirahat makan siang. Atau mungkin geleng-geleng karena melihat kami ini merupakan dua manusia yang manismanis, tombo ngantuk. .... Jakarta, 11 Agustus 2001 Arina. Mas, aku nanti pulang tanggal 30 Oktober. Kamu jemput aku, dong. Aku mau kamu orang pertama yang aku lihat. Ia membayangkan seperti apa kini Rahmat Shalih keadaannya. Samudro. Arina, aku melihatmu di Simpang Lima, 23 Juli 2001. Kau bersama temanmu. Aku melihat kamu bahagia, ceria, aku senang. Saat itu masa jedaku sebelum aku diwisuda. Sepertinya aku sedang melihat sebuah acara televisi, tapi ini nyata bukan khayal. Puisi-puisi. Samudro: kini Waktu tak pernah berhenti/aku terus berjalan/air/dan angin menemaniku/sejarah tak mungkin hilang begitu saja Arah angin pasti tetap/hati pasti pernah berubah/namun jangan jiwa yang berubah/sebab itu berbahaya

Perjalanan, kadang, ada saatsaat kita tidak dapat menemukan titik temu. Dua manusia sejati yang berjodoh belum tentu pula menemukan momentum yang dekat, perlu proses demi temukan peluang tepat. Yah, hanya menunggu dan mencoba, menciptakan peluang titik temu. Semoga.

Related Documents

Dsk-buku Saku (draft)
June 2020 27
Saku-maraton09
May 2020 3
Saku-hiihtomaraton
May 2020 10
Saku Mestaruus_ll
May 2020 6
Rumus Saku Ipa.docx
October 2019 7

More Documents from "Nur Faiza"

Dsk-buku Saku (draft)
June 2020 27
Tutup Pintu.docx
November 2019 60
Awas Kaca.docx
November 2019 75