Drp.docx

  • Uploaded by: Jezzy Charolina
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Drp.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 8,464
  • Pages: 43
DESKRIPSI PENYAKIT

1. ACUTE LUNG OEDEMA (ALO) a. Definisi Acute Lung Oedema (ALO) adalah akumulasi cairan di paru yang terjadi secara mendadak (Aru W Sudoyo, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 2006). Acute Lung Oedema (ALO) adalah terjadinya penumpukan cairan secara masif di rongga alveoli yang menyebabkan pasien berada daam kedaruratan respirasi dan ancaman gagal napas. Acute Lung Oedema (ALO) adalah terkumpulnya cairan extravaskuler yang patologis di dalam paru (Soeparman, 767) b. Etiologi Penyebab terjadinya ALO dibagi menjadi 2 yaitu : 1. Edema paru kardiogenik Yaitu edema paru yang bukan disebabkan karena gangguan pada jantung atau sistem kardiovaskular. a. Penyakit pada arteri koronaria Arteri yang menyuplai darah untuk jantung dapat menyempit karena adanya deposit lemak (plagues). Serangan jantung terjadi jika terbentuk gumpalan darah pada arteri dan menghambat aliran darah serta merusak otot jantung yang disuplai oleh arteri tersebut. Akibatnya, otot jantung yang mengalami gangguan tidak b. Kardiomiopati Penyebab terjadinya kardiomiopati sendiri masih idiopatik. Menurut beberapa ahli diyakini penyebab terbanyak terjadinya kardiomiopati daat disebabkan oleh infeksi pada miokard jantung (miokarditis), penyalahgunaan alkohol dan efek racun dari obat – obatan seperti kokain dan obat kemoterapi. Kardiomiopati menyebabkan

ventrikel

kiri

menjadi

lemah

sehingga

tidak

mampu

mengkompensasi suatu keadaan dimana kebutuhan jantung memompa darah lebih berat pada keadaan infeksi. Apabila ventriel kiri mampu mengkompensasi beban tersebut, maka darah akan kembali ke paru – paru. Hal inilah yang akan mengakibatkan cairan menumpuk di paru – paru (floading). c. Gangguan katup jantung

Pada kasus gangguan katup mitral atau aorta, katup yang berfungsi untuk mengatur aliran darah tidak mampu membuka secara adekuat (stenosis) atau tidak mampu menutup dengan sempurna (insufisiensi). Hal ini menyebabkan darah mengalir kembali melalui katup menuju paru – paru. d. Hipertensi Hipertensi tidak terkontrol dapat menyebabkan terjadinya penebalan pada otot ventrikel kiri dan dapat disertai dengan penyakit arteri koronaria. 2. Edema paru non kardiogenik Yaitu edema paru yang bukan disebabkan karena kelainan pada jantung tetapi paru itu sendiri. Pada non-kardiogenik dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain : a. Infeksi pada paru b. Lung injury, seperti emboli paru, stroke inhalation dan infark paru. c. Paparan toxic d. Reaksi alergi e. Acute respiratory distress syndrome (ards) f.

Neurogenik

c. Patofisologi Alo kardiogenik dicetuskan oleh peningkatan tekanan atau volume yang mendadak tinggi di atrium kiri, vena pulmonalis dan diteruskan

(peningkatan

tekanannya) ke kapiler dengan tekanan melebihi 25 mmhg. Mekanisme fisiologis tersebut gagal mempertahankan keseimbangan sehingga cairan akan membanjiri alveoli dan terjadi oedema paru. Jumlah cairan yang menumpuk di alveoli ini sebanding dengan beratnya oedema paru. Penyakit jantung yang potensial mengalami ALO adalah semua keadaan yang menyebabkan peningkatan tekanan atrium kiri > 25 mmhg. Sedangkan ALO non-kardiogenik timbul terutama disebabkan oleh kerusakan dinding kapiler paru yang dapat mengganggu permeabilitas endotel kapiler paru sehingga menyebabkan masuknya cairan dan protein ke alveoli. Proses tersebut akan mengakibatkan terjadinya pengeluaran sekret encer berbuih dan berwarna pink froty. Adanya sekret ini akan mengakibatkan gangguan pada alveolus dalam menjalankan fungsinya.

d. Pohon Masalah

Timbul serangan

Trauma tipe II pneumocytes

Trauma Endetelium paru dan epitelium alveolar

Peningkatan permeabilitas

Kerusakan jaringan paru

Penurunan surfactan

Edema pulmonal

Penurunan pengembangan paru

Elektasi

Alveoli terendam

Hipoksemia

Abnormalitas ventilasi-perfusi

penyembuhan

Fibrosis

Sembuh ?

Kematian

e. Manifestasi Klinis ALO dapat dibagi menurut stadiumnya (3 stadium) : 1. Stadium 1 Adanya distensi pada pembuluh darah kecil paru yang prominen akan mengganggu pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas difusi CO. Keluhan pada stadium ini biasanya hanya berupa sesak napas saat melakukan aktivitas. 2. Stadium 2

Pada stadium ini terjadi oedema paru interstisial. Batas pembuluh darah paru menjadi kabur, demikian pula hilus serta septa interlobularis menebal. Adanya penumpukan cairan di jaringan kendor interstisial akan lebih mempersempit saluran napas kecil, terutama di daerah basal karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula terjadi reflek bronkokonstriksi yang dapat menyebabkan sesak napas ataupun napas menjadi berat dan tersengal. 3. Stadium 3 Pada stadium ini terjadi oedema alveolar. Pertukaran gas mengalami gangguan secara berarti, terjadi hipoksemia dan hipokapnia. Penderita tampak mengalami sesak napas yang berat disertai batuk berbuih kemerahan (pink froty). Kapasitas vital dan volume paru yang lain turun dengan nyata f.

Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan laboratorium rutin (DL, BGA, LFT, RFT) dan BNP 2. Foto thorax 3. Pemeriksaan EKG, dapat menerangkan secara akurat adanya takikardia supra ventrikular atau arterial. Selain itu, EKG dapat memprediksi adanya iskemia, infark miokard dan LVH yang berhubungan dengan ALO kardiogenik. 4. Pemeriksaan ekokardiografi

g. Pengkajian Keperawatan 1. Sistem Integumen Subyektif

:-

Obyektif

: kulit pucat, cyanosis, turgor menurun (akibat dehidrasi sekunder)

banyak keringat, suhu kulit meningkat, kemerahan. 2. Sistem Pulmonal Subyektif

: sesak napas, dada tertekan

Obyektif

: pernapasan caping hidung, hiperventilasi, batuk (produktif/non

produktif), sputum banyak, penggunaan otot bantu pernapasan, pernapasan diafragma dan perut meningkat. Laju pernapasan meningkat, terdengan stridor, rochii pada lapang paru. 3. Sistem Cardiovaskuler Subyektif

: sakit dada

Obyektif

: denyut nadi meningkat, pembuluh darah vasokonstriksi, kualitas darah

menurun. Denyut jantung tidak teratur, suara jantung tambahan. 4. Sistem Neurosensori Subyektif

: gelisah, penurunan kesadaran, kejang

Obyektif

: GCS menurun, refleks menurun/normal, letargi.

5. Sistem Muskuloskeletal Subyektif

: lemah, cepat lelah

Obyektif

: tonus otot menurun, nyeri otot/normal, retraksi paru dan penggunaan

otot aksesoris pernapasan. 6. Sistem Genitourinaria Subyektif

:-

Obyektif

: produksi urine menurun

7. Sistem Digestif Subyektif

: muntah, kadang muntah

Obyektif

: konsistensi feces normal.

h. Diagnosa Keperawatan 1. Gangguan pertukaran gas b/d gangguan difusi jaringan 2. Kelebihan volume cairan b/d adanya cairan di dalam alveolus. 3. Intoleransi aktifitas b/d berkurangakan suplai eksigen

i.

Intervensi Keperawatan 1. Gangguan pertukaran gas b/d dengan gangguan difusi jaringan Tujuan

: setelah dilakukan perawatan selama 2 x 24 jam masalah

gangguan pertukaran gas dapat diatasi. Kriteria Hasil

:

-

Sesak napas berkurang

-

Respirasi dalam batas normal

Intervensi : 1) Berikan posisi semi fowler/fowler 2) Berikan lingkungann yang nyaman 3) Kaji keluhan sesak 4) Kaji ttv 5) Pantau hasil agd

2. Kelebihan volume cairan b/d adanya cairan di dalam alveolus Tujuan

: setelah dilakukan perawatan selama 2 x 24 jam masalah gangguan

keseimbangan cairan dapat diatasi. Kriteria Hasil

:

-

Tidak terjadi oedema di kaki

-

Turgor kulit bagus

Intervensi : 1) Monitor intake dan ouput cairan 2) Monitor pengeluaran urine, catat jumlah, konsentrsi dan warna 3) Kolaborasi dalam pemberian terapi seperti diuretik, ntg, dll. 3. Intoleransi aktifitas b/d berkurangnya suplai oksigen Tujuan

: setelah dilakukan selama 2 x 24 jam masalah intoleransi aktifitas dapat diatasi

Kriteria hasil

:

-

Pasien tidak lemas lagi

-

Pasien dapat beraktifitas tanpa gangguan

Intervensi : 1) Anjurkan untuk total bedrest 2) Pantau skala kekuakatan otot 3) Berikan lingkungan yang nyaman 4) Kolaborasi dalam memberikan oksigen

j.

Evaluasi Diagnosa I -

Px tidak sesak napas lagi

-

Respirasi dalam batas normal

Diagnosa II -

Tidak terjadi adanya oedeme di kaki

-

Turgor kulit Px baik

Diagnosa III -

Px tidak merasa lemas lagi

-

Px mampu beraktifitas tanpa gangguan

2. PNEUMONIA a. Pengertian Pneumonia atau dikenal juga dengan istilah paru-paru basah adalah infeksi yang memicu inflamasi pada kantong-kantong udara di salah satu atau kedua paru-paru. Pada pengidap pneumonia, sekumpulan kantong-kantong udara kecil di ujung saluran pernapasan dalam paru-paru akan membengkak dan dipenuhi cairan. Penyakit ini juga sering disebut bronkopneumonia, pneumonia lobular, dan pneumonia bilateral. Secara umum, pneumonia dapat ditandai dengan gejala-gejala yang meliputi batuk, demam, dan kesulitan bernapas. b. Penderita Pneumonia di Indonesia Pneumonia merupakan salah satu penyebab kematian anak-anak tertinggi di dunia. Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa penyakit ini memicu 15% dari seluruh kematian anak-anak di bawah usia 5 tahun. Pada tahun 2015, terdapat lebih dari 900.000 anak-anak yang meninggal akibat pneumonia. Di Indonesia sendiri, pneumonia diperkirakan telah merenggut sekitar 25.000 jiwa balita pada tahun 2013. c. Siapa saja yang Berisiko Tinggi Mengidap Pneumonia? Semua orang bisa terserang penyakit ini. Tetapi, pneumonia umumnya ditemukan dan berpotensi untuk bertambah parah pada: 1. Bayi serta anak-anak di bawah usia 2 tahun. 2. Lansia di atas 65 tahun 3. Perokok. Rokok tak hanya meningkatkan risiko pneumonia, tapi juga beragam penyakit lain. 4. Orang dengan sistem kekebalan tubuh yang rendah, misalnya pengidap HIV atau orang yang sedang menjalani kemoterapi. 5. Pengidap penyakit kronis, seperti asma atau penyakit paru obstruktif kronis (PPOK). 6. Pasien di rumah sakit, terutama yang menggunakan ventilator. d. Gejala Pneumonia Gejala pneumonia sangat bervariasi, berdasarkan tingkat keparahannya. Keragaman gejala tersebut juga bisa disebabkan oleh perbedaan pada jenis bakteri pemicu infeksi, usia, dan kondisi kesehatan pengidap. Meski demikian, gejala-gejala umum yang biasanya muncul meliputi: 1. Demam.

2. Berkeringat dan menggigil. 3. Batuk kering atau batuk dengan dahak kental berwarna kuning, hijau, atau disertai darah. 4. Napas terengah-engah dan pendek. 5. Rasa sakit pada dada ketika menarik napas atau batuk. 6. Mual atau muntah. 7. Diare. 8. Kelelahan. 9. Jika Anda mengalami gejala-gejala tersebut, periksakanlah diri ke dokter. Segera cari bantuan medis apabila muncul gejala-gejala yang parah, seperti napas terengahengah, sakit dada, atau linglung menyerang. e. Penyebab Pneumonia Streptococcus pneumoniae merupakan bakteri yang paling umum menyebabkan pneumonia. Namun, penyakit ini juga bisa dipicu oleh virus serta faktor lain, seperti: 1. Pneumonia Akibat Virus. Sebagian virus pemicu flu atau pilek juga bisa menyebabkan pneumonia. Pneumonia ini paling sering dialami oleh balita. 2. Pneumonia Akibat Jamur. Pneumonia ini paling sering dialami oleh orang yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang menurun atau penyakit kronis. 3. Pneumonia Aspirasi. Ini merupakan jenis pneumonia yang dipicu karena pengidap menghirup objek asing, misalnya makanan atau minuman, muntah, atau ludah. Lokasi penularan juga bisa memengaruhi jenis kuman penyebab pneumonia. Misalnya, kuman penyebab pneumonia yang didapat dari lingkungan umum berbeda dengan pneumonia yang didapat dari rumah sakit. f.

Diagnosis Pneumonia Diagnosis pneumonia atau paru-paru basah terkadang sulit dilakukan karena gejalanya mirip dengan penyakit lain. Dokter akan mengajukan pertanyaan mengenai gejala yang dialami serta riwayat kesehatan pasien dan keluarga. Dokter juga memeriksa rongga dada Anda dengan stetoskop. Paru-paru yang penuh cairan memiliki bunyi yang berbeda dengan yang sehat. Jika mencurigai menderita

pneumonia, dokter akan menganjurkan beberapa pemeriksaan lebih lanjut guna memastikan diagnosis. 1. Proses pemeriksaan tersebut biasanya meliputi: 2. Rontgen dada untuk memastikan keberadaan pneumonia serta tingkat keparahannya. 3. Tes darah dan pemeriksaan sampel dahak. Kedua proses ini bisa membantu pengidentifikasian bakteri atau virus penyebab infeksi. 4. Pulse oximetry, yaitu proses pengukuran kadar oksigen dalam darah. g. Pengobatan Pneumonia Untuk pneumonia yang ringan, penanganan dengan antibiotik yang diresepkan oleh dokter, cukup istirahat, dan banyak minum umumnya sudah cukup. Pengidap juga tidak memerlukan perawatan di rumah sakit. Di samping itu, langkah-langkah sederhana berikut juga berpotensi membantu meredakan gejala yang dialami: 1. Mengonsumsi analgesik (obat pereda sakit) seperti parasetamol atau ibuprofen untuk meredakan dan menurunkan demam. Tetapi, hindari konsumsi ibuprofen jika Anda memiliki alergi terhadap aspirin, obat anti inflamasi nonstereoid lain, atau menderita asma, tukak lambung, dan gangguan hati atau pencernaan. 2. Berhenti merokok karena kebiasaan ini dapat memperburuk pneumonia. 3. Menghindari konsumsi obat batuk

karena batuk berfungsi membantu Anda

mengeluarkan dahak dari paru-paru. Meredakan batuk bisa mengakibatkan durasi infeksi yang lebih lama. Obat batuk juga belum terbukti efektif secara medis. Air hangat bercampur madu dan lemon bisa membantu mengurangi batuk Anda. 4. Orang dengan kondisi fisik yang biasanya sehat akan pulih secara normal setelah 1421 hari. Namun, apabila gejala pneumonia sama sekali tidak membaik dalam 48 jam, disarankan kembali menghubungi dokter. Mungkin saja antibiotik yang dikonsumsi tidak efektif untuk membasmi bakteri pemicu pneumonia, atau pneumonia disebabkan oleh faktor lain, misalnya virus. 5. Pneumonia biasanya tidak menular, tetapi orang dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah sebaiknya menjauh dari penderita pneumonia sampai kondisi si penderita benar-benar pulih. h. Rawat Inap di Rumah Sakit Penanganan medis dari rumah sakit untuk pneumonia yang parah meliputi pemberian antibiotik dan cairan tubuh lewat infus, serta oksigen untuk membantu pernapasan.

Ventilator di Ruang Perawatan Intensif (ICU) juga mungkin dibutuhkan untuk membantu sistem pernapasan yang sedang melemah i.

Komplikasi Pneumonia Pneumonia bisa disembuhkan. Namun terdapat beberapa kelompok orang yang lebih berisiko mengalami komplikasi, seperti lansia dan balita. Sejumlah komplikasi yang mungkin terjadi adalah: 1. Infeksi darah. Kondisi ini terjadi akibat adanya bakteri yang masuk ke dalam aliran darah dan menyebarkan infeksi ke organ-organ lain. Infeksi darah berpotensi menyebabkan terjadinya gagal organ. 2. Abses paru atau lubang bernanah yang tumbuh di jaringan paru-paru. Abses umumnya dapat ditangani dengan antibiotik, namun terkadang juga membutuhkan prosedur operasi untuk membuang nanahnya. 3. Efusi pleura, yaitu kondisi di mana cairan memenuhi ruang di sekitar paru-paru.

j.

Pencegahan Pneumonia Pencegahan pneumonia dapat kita lakukan dengan langkah-langkah sederhana. Beberapa di antaranya adalah: 1. Menjalani vaksinasi. Vaksin merupakan langkah penting agar kita terhindar dari pneumonia maupun penyakit lain. Harap diingat bahwa vaksin pencegah pneumonia bagi orang dewasa berbeda dengan anak-anak. 2. Menjaga agar sistem kekebalan tubuh tetap kuat. Misalnya dengan teratur berolahraga, cukup istirahat, serta menerapkan pola makan yang sehat dan seimbang. 3. Menjaga kebersihan agar terhindari dari penyebaran virus, seperti sering mencuci tangan. 4. Jangan merokok karena asap rokok dapat merusak paru-paru sehingga lebih mudah terinfeksi. 5. Hindari konsumsi minuman beralkohol secara berlebihan dan berkepanjangan. Kebiasaan ini juga akan menurunkan daya tahan paru-paru Anda sehingga Anda lebih rentan terkena pneumonia beserta komplikasinya

HEART FAILURE (GAGAL JANTUNG) a. Definisi

Gagal jantung (istilah medis Heart Failure) merupakan suatu keadaan yang terjadi saat jantung gagal memompakan darah dalam jumlah yang memadai untuk mencukupi kebutuhan metabolisme (supply unequal with demand), atau jantung dapat bekerja dengan baik hanya bila tekanan pengisian (ventricular filling) dinaikkan. Gagal jantung juga merupakan

suatu

keadaan

akhir

(end

stage)

dari

setiap

penyakit

jantung,

termasuk aterosklerosispada arteri koroner, infark miokardium, kelainan katup jantung, maupun kelainan kongenital. Gagal jantung adalah gawat medis yang bila dibiarkan tak terawat akan menyebabkan kematian dalam beberapa menit. Perawatan pertama utama untuk gagal jantung adalah cardiopulmonary resuscitation. Gagal jantung dapat akut, misalnya setelah serangan jantung atau dapat juga terjadi secara perlahan-lahan. Gagal jantung dapat terindikasi dari adanya pernafasan yang pendek, kesulitan untuk rebah mendatar, terbangun tanpa nafas pada malam hari, kaki yang bengkak, dan sering berkemih pada malam hari. Banyak sebab terjadinya gagal jantung, seringkali karena suatu serangan jantung, tekanan darah tinggi atau adanya problem pada katup-katup jantung. Diagnosa berdasarkan gejala-gejala di atas, pemeriksaan jantung, pembuluh darah, paru-paru, pembengkakan hati dan pembengkakan kaki (edema). Tes lainnya untuk meyakinkan diagnosa adalah rontgen paru-paru (ada cairan atau tidak), echocardiogram (USG jantung) dan pemeriksaan darah. Gagal jantung hanya dapat di atasi dengan transplantasi jantung, yang termasuk jarang dilakukan. Kebanyakan penderita gagal jantung perlu obat berkemih (diuretic) dan obat-obat lainnya seperti ACE inhibitor, dan statin. Beberapa penderita gagal jantung lainnya perlu pacu jantung agar jantung bekerja lebih baik, tetapi alat pacu jantung harus ditala secara berkala (biasanya 6 bulan sekali). Simtoma paraklinis yang ditemukan pada gagal jantung terutama adalah disfungsi sel jantung, antara lain mekanisme pembersihan kalsium dari sitoplasma, defisiensi retikulum sarkoplasma beserta protein transpor Ca-ATPase dan regulator fosfolamban. b. Epidemiologi Gagal jantung mempengaruhi lebih dari 20 juta pasien di dunia, meningkat seiring pertambahan usia, dan mengenai pasien usia lebih dari 65 tahun sekitar 6-10%, lebih banyak mengenai laki-laki dibandingkan dengan wanita. c. Klasifikasi

Gagal jantung dapat diklasifikasikan ke dalam: 1. Lokasi Gagal jantung kiri (left-sided heart failure) dan gagal jantung kanan (right-sided heart failure), dapat terjadi salah satu, maupun keduanya secara bersamaan (biventricular). Gagal jantung kiri terjadi akibat iskemi atau infark pada dinding jantung (miokard) yang timbul akibat adanya aterosklerosis pada pembuluh darah koroner yang memperdarahi jantung. Hal ini mengakibatkan berkurangnya kemampuan jantung untuk memompa darah ke seluruh tubuh. Gagal jantung kiri ini banyak terjadi karena ada 3 pembuluh darah koroner yang paling sering mengalami sumbatan, yaitu pembuluh darah sirkumfleks, cabang dari arteri marginal kiri, dan cabang dari arteri koroner kanan. Gagal jantung kiri dapat menyebabkan timbulnya gagal jantung di kedua bagian, jantung kiri dan jantung kanan. 2. Fungsi Gangguan fungsi sistolik (kontraksi) dan fungsi diastolik (relaksasi atau pengisian). Gangguan fungsi sistolik dapat terjadi karena infark pada miokard, dan kardiomiopati, karena kelainan ini jantung tidak dapat memompa secara maksimal darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Gangguan fungsi diastolik dapat terjadi karena kelainan katup, contohnya adalah mitral stenosis. 3. Volume darah yang dipompa (low output dan high output) Gagal jantung low output, timbul karena darah yang dipompa keluar dari jantung (cardiac output) tidak memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh, contoh kelainannya yaitu infark miokard, mitral regurgitasi, aortik stenosis. Contoh kelainan yang timbul pada gagal jantung high output yaitu keadaan anemia, walaupun volume darah yang dipompa jantung ada dalam jumlah yang memadai, namun karena tingginya kebutuhan metabolisme, zat yang dibawa oleh darah masih tidak mencukupi. d. Manifestasi Klinis Pasien dengan gagal jantung biasanya muncul dengan keluhan sesak, mudah lelah, berkeringat banyak walaupun tidak beraktivitas berat (diaphoresis), terbangun pada malam hari karena sesak (Paroxysmal nocturnal dyspnea), nyeri dada sebagai keluhan awal, bengkak di daerah kaki, ketidaknyamanan di perut atas bagian kanan. e. Pemeriksaan

Pemeriksaan dilakukan pada pasien dengan keluhan di atas, terutama bila pasien berumur lebih dari 40 tahun, dengan adanya riwayat keluarga dengan penyakit jantung, gangguan kolesterol (dislipidemia), atau diabetes melitus: 1. Pemeriksaan fisik untuk menentukan jugular venous pressure (JVP), batas-batas jantung, dan bunyi jantung (heart sound) 2. Pemeriksaan penunjang meliputi : a) pemeriksaan laboratorium, meliputi kolesterol, gula darah, kadar kreatinin, enzim hepar yaitu ALT dan AST. tergantung pada penemuan anamnesa pasien dan pemeriksaan fisik. b) EKG, karena hanya dilakukan sambil berbaring (tanpa aktivitas) dan EKG hanya memiliki sejumlah (sedikit) elektroda, maka ketepatan pemakaian EKG untuk diagnosa hanya sekitar 15 persen c) X-ray (rontgen) d) Echocardiography (bila diperlukan) e) CT-Scan, mahal f) MRI, lebih mahal lagi f.

Kriteria Diagnosis 1. Diagnosis Framingham Menurut Framingham seseorang dikatakan mengalami gagal jantung bila memiliki 2 kriteria mayor, atau 1 kriteria mayor dengan 2 kriteria minor, yaitu sebagai berikut : a. Kriteria mayor 1) Paroxysmal nocturnal dyspnea atau orthopnea Adalah sebuah episode akut dari pernapasan pendek yang berat dan batuk yang biasanya muncul saat malam hari dan menyebabkan pasien terbangun dari tidurnya, biasanya terjadi setelah satu sampai tiga jam setelah pasien beristirahat. PND dapat dimanifestasi sebagai batuk atau mengi yang dipikrikan timbul karena peningkatan tekanan pada arteri bronkial sehingga terjadi kompresi saluran napas, disertai dengan edema interstisial paru yang aada akhirnya menimbulkan terjadinya resistensi saluran pernapasan pada pasien. 2) Distensi vena leher Adalah tekanan sistem vena yang diamati secara langsung (indirek), dapat diukur pada seseorang dengan posisi setengah duduk 45º dalam kedaan

rileks. Pengukuran dilakukan berdasarkan tingkat pengisian vena jugularis dari titik nol atau dari sudut sternum. Pada orang sehat, JVP (jugular venous pressure) maksimum 3-4 cm di atas sudut sternum. 3) Rales Disebut juga ronchi adalah suara tambahan yang dihasilkan oleh aliran udara melalui saluran nafas yang berisi sekret/eksudat atau akibat saluran nafas yang menyempit atau oleh edema saluran napas. 4) Radiographic cardiomegaly Pemeriksaan radiologi terhadap kardiomegali (kondisi ketika jantung mengalami pembesaran) 5) Edema paru akut Kondisi ditemukannya penumpukan cairan di jaringan paru dan alveoli. 6) S3 gallop Bunyi jantung ketiga yang terjadi pada awal diastole, yang menunjukkan adanya gagal jantung kongestif. 7) Peningkatan JVP (Jugular Venous Pressure) JVP yang meningkat adalah tanda klasik hipertensi vena (seperti gagal jantung kanan). Peningkatan JVP dapat dilihat sebagai distensi vena jugularis, yaitu JVP tampak hingga setinggi leher, jauh lebih tinggi daripada normal. 8) Hepatojugular reflux (AJR – Abdominojugular reflux) Adalah tes pemeriksaan fisik yang berguna dalam mendiagnosis disfungsi ventrikel kanan, khusunya gagal ventrikel kanan. Tes AJR positif berkorelasi dengan tekanan arteri pulmonal. b. Kriteria Minor 1) Edema kedua kaki (Bilateral ankle edema) Adalah pembengkakan pada tungkai bawah yang disebabkan oleh penumpukan cairan pada kaki tersebut. Penyebabnya adalah kadar protein (albumin) dalam darah yang rendah, fungsi pompa jantung menurun, sumbatan pembuluh darah atau pembuluh limfe, penyakit liver dan ginjal kronis, posisi tungkai terlalu lama tergantung (gravitasi) 2) Sesak (dyspnea of effort)

Sensasi atau rasa tidak nyaman dalam bernapas, berbeda dengan sensasi – sensasi yang lain karena jalan saraf yang mendasarinya belum diketahui dengan pasti. 3) Hepatomegali Istilah untuk menggambarkan adanya pembesaran ukuran hati (liver) normalnya sekitar 7.5 cm pada wanita dan 10 cm pada pria. 4) Efusi Pleura Adalah penumpukan cairan di antara jaringan yang melapisi paru – patu dan dada. Cairan dapat menumpuk di sekitar paru – paru karena pemompaan jantung yang kurang baik atau karena peradangan. 5) Takikardi Kondisi dimana detak jantung seseorang di atas normal dalam kondisi istirahat. Detak jantung orang deawsa adalah 60 – 100 x per menit saat istirahat, sedangkan detak jantung pada penderita takikardi paling sedikit 100x/menit. 2. NYHA (New York Heart Association) Tingkat keparahan gagal jantung seseorang diklasifikasikan berdasarkan kelasnya, sebagai berikut yaitu : a. Kelas 1: Tidak ada keterbatasan dari aktivitas fisik, aktivitas biasa tidak menimbulkan gejala. b. Kelas 2: ada sedikit keterbatasan dari aktivitas fisik, lebih nyaman saat istirahat, aktivitas fisik sehari-hari dan menaiki tangga agak banyak menyebabkan lelah, berdebar-debar, dan sesak. c. Kelas 3: adanya keterbatasan dari aktivitas fisik secara signifikan, lebih nyaman saat beristirahat, aktivitas fisik yang ringan dapat menyebabkan lelah, berdebar, dan sesak. d. Kelas 4: Tidak bisa melakukan aktivitas fisik dengan nyaman, timbul gejala gangguan jantung pada saat istirahat, bila beraktivitas, keluhan akan semakin berat. g. Terapi Medikamentosa Secara Umum Terapi medikamentosa secara umum meliputi 3 bagian : 1. Pemberian diuretik

Pemberian diuretik bertujuan untuk meringankan beban jantung, dan mengurangi timbulnya bengkak. contoh diuretik kuat yaitu furosemid, kemudian diuretik hemat kalium yaitu spironolakton. 2. Pemberian B-BlockeR Jantung dan pembuluh darah memiliki reseptor Byang berespon terhadap hormon, penghambatan reseptor B ini bertujuan untuk mengurangi beban jantung, dan dilatasi pembuluh darah. contoh obatnya yaitu Propanolol. 3. Pemberian agen inotropik Agen inotropik berfungsi untuk menstimulasi kontraksi jantung, contoh agen inotropik sintesis yaitu Digoksin.

TERAPI 1. RINDONEM (MEROPENEM – YARINDO) a. DESKRIPSI Meropenem adalag derivat dengan khasiat dan penggunaan yang sama. Karena tahan terhadap enzim ginjal maka dapat digunakan tunggal, tanpa tambahan cilastatin. Penetrasinya ke dalam semua jaringan baik, juga ke dalam CCS, maka juga efektif pada meningitis bakterial. b. PENGGUNAAN 1. NN 2. NN c. FARMAKOKINETIKA 1. Absorpsi Tidak berlaku. Meropenem diberikan secara intravena 2. Distribusi Pengikatan protein meropenem adalah sekitar 2%. Meropenem mencapai konsentrasi yang sesuai atau melebihi yang diperlukan untuk menghambat bakteri yang paling rentan di sebagian besar cairan tubuh dan jaringan termasuk cairan serebrospinal. Konsentrasi puncak dalam cairan tubuh sebagian besar dicapai dalam 1 jam setelah infus IV 3. Metabolisme Extrarenal 20-25%, metabolisme nonrenal dapat meningkat menjadi 50% pada pasien dengan bersihan kreatinin (CrCI) 20 ml / menit. Ada satu metabolit tidak aktif meropenem. Tidak ada genotipe yang dikenal mempengaruhi kinetika meropenem. Meropenem ditoleransi dengan baik pada pasien dengan penyakit hati, penyesuaian dosis tidak diperlukan pada pasien-pasien ini 4. Ekskresi Ginjal adalah rute utama pembersihan meropenem. Pembersihan meropenem dari plasma berkorelasi dengan CrCI. Meropenem mengalami filtrasi dan sekresi tubular. Tidak ada akumulasi dosis berulang meropenem 500 mg setiap 8 jam, atau 1 gram setiap 6 jam pada pasien dengan fungsi ginjal normal. Sekitar 70% (50% sampai 75%) dari dosis meropenem yang diberikan secara intravena dipulihkan tidak berubah dalam urin selama 12 jam.

d. INTERAKSI OBAT No

Obat, Makanan, Test

Interaksi

Saran Penggunaan obat – obatan ini secara bersamaan harus dihindari, atau konsentrasi plasma asam valproat harus dipantau

1.

Asam Valproat

Terapi kombinasi antara asam valproat dan meropenem akan menurunkan konsentrasi plasma asam valproat dalam 24 jam, yang dapat menyebabkan hilangnya efek antikonvulsan

2.

Probenecid

Probenecid menyebabkan peningkatan konsentrasi plasma meropenem. Kemungkinan dengan menghambat sekresi tubular aktif meropenem oleh probenecid

3

Aminoglikosida

Bukti in vitro efe antibakteri sinergis terhadap Ps. Aeruginosa

2. CEFTAZIDIME a. DESKRIPSI Antibakterial, golongan cefalosporin generasi ke 3 b. PENGGUNAAN 1. Infeksi Tulang dan sendi 2. Infeksi intra abdominal dan ginekologi 3. infeksi Meningitis dan juga infeksi CNS yg lain 4. Infeksi saluran pernapasan 5. Septicemia 6. Infeksi kulit dan struktur kulit 7. Infeksi saluran urine 8. Infeksi Burkholderia 9. Otitis externa 10. Infeksi pseudomonas aeruginosa

11. Infeksi Vibrio 12. Terapi empiris pada pasien neutropenic febrille 13. Profilaksis perioperatif c. FARMAKOKINETIKA 1. Absorpsi Bioavailabilitas tidak terserap dari saluran pencernaan, harus diberikan secara parenteral. Setelah pemberian IM, konsentrasi serum puncak mencapai sekitar 1 jam. Dapat diserap lebih lambat pada wanita dibandingkan pada pria yang mengikuti injeksi IM ke dalam gluteus maksimus atau vastus lateralis. Pada wanita konsentrasi serum puncak mungkin lebih rendah setelah injeksi IM ke dalam gluteus maksimus daripada ke vastus lateralis. Pada pasien dengan gagal ginjal kroniktahap akhir yang menerima dosis tunggal obat melalui katheter intraperitoneal, konsentrasi serum puncak mencapai 2,75 jam setelah dosis. 2. Distribusi a) Extent didistribusikan secara luas ke dalam jaringan tubuh dan cairan termasuk kantong empedu, tulang empedu, otot rangka, jaringan prostat, endometrium, jantung, jaringan adiposa, aqueous humor dan sputum, dan pleura, peritoneal, sinovial, ascitis, limfatik dan cairan blister. Umumnya berdifusi ke dalam cairan cerebrospinal setelah pemberian IV, konsentrasi CFS lebih tinggi pada pasien dengan meninges yang meradang daripada pasien dengan meninges yang tidak mengalami peradangan. Didistribusikan ke empedu, tetapi konsentrasi biliaris setelah pemberian IM atau IV mungkin lebih rendah daripada konsentrasi serum bersamaan. Melintasi placenta dan didistribusikan ke dalam susu. b) Ikatan protein plasma 5

– 24 %

3. Eliminasi a) Metabolisme Tidak dimetabolisme b) Rute eliminasi

Dieliminasi tidak berubah terutama dalam urin oleh filtrasi glomerulus 80 – 90% dari dosis yang dihilangkan dalam urin dalam 24 jam. c) Half Life 1) Orang dewasa dengan kondisi ginjal dan hati yang normal : distribusi paruh 0,1 – 0,6 jam dan eliminasi waktu paruh 1,4 – 2 jam 2) Neonatus : 2,2 – 4,7 jam 3) Anak usia 1 – 12 bulan : 2 jam d) Populasi Khusus 1) Pasien dengan gangguan fungsi hati : waktu paruh hanya sedikit lebih lama 2) Pasien dengan gangguan fungsi ginjal : konsentrasi serum lebih tinggi dan waktu paruh serum memanjang. Rentang waktu paruh dari 9,4 – 10,3 jam para pasien dengan Clr 13 – 27 mL/menit dan 11 – 35 jam pada mereka dengan Clr < 10 mL/menit d. INTERAKSI OBAT No

Obat, Makanan, Test

Interaksi

Saran

1.

Aminoglikosida

Dilaporkan nefrotoksik dengan penggunaan secara bersamaan dengan beberapa cefalosporin dan aminoglikosida. Bukti in vitro aktifitas antibakteri aditif atau sinergis terhadap pseudomonas dan enterobacteriaceae.

Hati – hati monitor fungsi ginjal, terutama jika dosis aminoglikosida tinggi digunakan atau jika terapi berlangsung lama.

2.

Chloramphenicol

Bukti in vitro antagonisme terhadap bakteri gram negatif.

Hindari penggunaan bersamaan

3

Test Glukosa

Kemungkinan reaksi positif palsu dalam tes glukosa urin menggunakan clinitest, larutan Benedict atau larutan Fehling

gunakan tes glukosa berdasarkan reaksi oksidasi glukosa enzimatik (misalnya Clinistix, Tes-Tape)

3. FUROSEMIDE a. DESKRIPSI Class

: Loop diuretik

b. PENGGUNAAN 1. Edema Terkait dengan gagal jantung, sirosis hati dan penyakit ginjal (misalnya sindrom nefrotik). Dianggap sebagai diuretik pilihan untuk sebagian besar pasien dengan gagal jantung. Sebagian besar ahli mengatakan bahwa semua pasien dengan gagal jantung bergejala yang memiliki bukti, atau riwayat, retensi cairan umumnya harus menerima terapi diuretik bersama dengan pembatasan natrium moderat, agen untuk menghambat renin – angiotensin – aldosteron (RAA) (misalnya ACE inhibitor, antagonis reseptor angiotensin II, angiotensin reseptor – neprilysin inhibitor [ARNI]), agen penghambat B-adrenergik (B-blocker), dan pada pasien yang dipilih, antagonis aldosteron. IV manajemen edema paru akut (dalam kombinasi dengan oksigen dan glikosida jantung) 2. Hipertensi Penatalaksanaan hipertensi (tunggal atau kombinasi dengan kelas lain dari agen hipertensi). Tidak dianggap sebagai agen pilihan untuk manajemen awal hipertensi. Namun, mungkin berguna pada pasien yang dipilih dengan gangguan ginjal atau gagal jantung. c. FARMAKOKINETIKA 1. Absorpsi a. Bioavailability Berarti bioavailabilitas oral furosemide dari tablet yang tersedia secara komersial dan larutan oral adalah 64% dan 60%, masing – masing. Tablet dan larutan oral yang tersedia secara komersial adalah bioekuivalen b. Onset 1) Setelah pemberian oral, onset diuresis terjadi dalam 30 menit hingga 1 jam, efek maksimal setelah 1 – 2 jam. 2) Setelah pemberian IV, diuresis terjadi dalam 5 menit dan memuncak dalam 20 – 60 menit. 3) Setelah pemberian IM terjadi agak lebih lambat daripada pemberian iv. Efek hipotensi maksimal mungkin tidak terlihat sampai beberapa hari terapi. c. Duration

Efek diuretik bertahan 6 – 8 jam setelah pemberian oral dan sekitar 2 jam setelah pemberian IV d. Makanan Makanan tampak tidak mempengaruhi efek diuretik. e. Populasi khusus Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal yang parah, respon diuretik dapat diperpanjang 2. Distribusi a. Extent Melintasi plasenta dan didistribusikan ke dalam susu b. Pengikatan Protein plasma Sekitar 95% terikat pada protein plasma (terutama albumin) pada pasien normal dan azotemic. 3. Eliminasi a) Metabolisme Metabolisasi di hati ke derivatif defurfurylated, 4-chloro-5-sulfamoylanthranilic acid b) Rute Eliminasi Cepat diekskresikan dalam urine oleh filtrasi glomerulus dan dengan sekresi dari tubulus proximal. Sekitar 50% dari dosis oral dan 80% dosis IV atau IM diekskresikan dalam urin dalam 24 jam; 69 – 97% dari jumlah ini diekskresikan dalam 4 jam pertama. Selebihnya dari obat dieliminasi oleh mekanisme nonrenal termasuk degradasi di hati dan ekskresi obat tidak berubah dalam feses. c) Half-life Biphasic; terminal half-life adalah sekitar 2 jam d) Populasi khusus 1) Gangguan hati atau ginjal memperpanjang waktu paruh eliminasi obat. 2) Pada pasien dengan gangguan ginjal yang ditandai tanpa penyakit hati, pembersihan nonrenal meningkat hingga sejauh 98% dari obat dibersihkan dalam 24 jam.

d. INTERAKSI OBAT No

Obat

Interaksi

Saran

1

Aminoglikosida

dapat meningkatkan potensi toksisitasnya terutama pada pasien dg gangguan fungsi ginjal

Hindari penggunaan bersamaan kecuali pd kondisi yg mengancam jiwa

2

Alkohol

Dapat memperparah hipotensi ortostatik

3

Antidiabetik agent

Kemungkinan antagonisme efek hipoglikemia akibat hipokalemia

4

ACE inhibitor

menyebabkan hipotensi berat dan penurunan fungsi ginjal.

5

Diuretik hemat kalium, seperti Spironolactone

Kemungkinan penurunan kehilangan kalium

Dapat digunakan untuk keuntungan terapeutiknya.

6

Diuretik, thiazide

Efek diuretik tambahan

Gunakan pengurangan dosis furosemide

7

Obat – obatan yg menyebabkan kehilangan kalium Misal : kortikosteroid, kortikotropin, amfoterizin B

Efek hipokalemia tambahan

Monitor elektrolit

8

Narkotika

Dapat memperberat hipotensi ortostatik

9

Glikosida jantung seperti digoxin

Kemungkinan gangguan elektrolit (misal hipokalemia, hipomagnesemia), peningkatan resiko toksisitas digitalis dan/atau aritmia jantung yang fatal.

Monitor kadar elektrolit

10

Kloral hidrat

Reaksi yg mungkin ditandai dengan diaphoresis, flushes, hipertensi, dan gelisah pada pasien dengan MI dan gagal jantung

Pertimbangkan obat hipnosis alternatif (misal benzodiazepin) pada pasien yg memerlukan furosemide.

11

Sukralfat

dapat menurunkan efek natriuretik dan antihipertensi dari furosemide.

12

Fenitoin

menyebabkan penurunan penyerapan furosemide di usus, dan akibatnya menurunkan konsentrasi serum puncak furosemide. Sehingga efektivitas furosemide sedikit berkurang.

13

Indometasin

mengurangi efek natriuretik dan antihipertensi dari furosemide

14

NSAID’s

Memperlemah efek diuretis dan antihipertensinya akibat sifat retensi natrium dan airnya.

15

Salisilat (NSAIAs)

Kemungkinan penurunan sementara pada Clr pada pasien dg insufisiensi ginjal kronik. Kemungkinan kenaikan berat badan dan peningkatan Scr, konsentrasi serum potassium, dan BUN

Jika tetap digunakan beri jarak setidaknya 2 jam.

4. ACETYL SALICYLIC ACID

a. Deskripsi b. Penggunaan 1. Pain 2. Demam 3. Inflammatory Diseases Pengobatan simtomatik rheumatoid arthritis, arthritis rheumatoid juvenil, osteoarthritis, spondyloarthtritis, dan lupus eritematosus sistemik (SLE) 4. Rheumatoid Fever

Pengobatan simtomatik demam rematik. Obat pilihan pada pasien karditis ringan (tanpa kardiomegali atau CHF, dengan atau tanpa polyarthritis) atau dengan polyarthritis saja. 5. Serangan Iskemik Transien dan Stroke Iskemik Pengurangan resiko TIA berulang atau stroke atau kematian pada pasien dengan riwayat TIA atau stroke iskemik (pencegahan sekunder) 6. Juga digunakan dalam kombinasi tetap dengan dipyridamole lepas lambat untuk mengurangi resiko stroke berulang, kematian dari semua penyebab vaskular, atau MI nonfatal pada pasien yang telah memiliki TIA atau menyelesaikan stroke iskemik yang disebabkan oleh thrombosis. 7. Antikoagulasi oral Lebih direkomendasikan pada pasien dengan riwayat stroke iskemik atau TIA dan fibrilasi atrium serentak; namun pada pasien yang tidak dapat mengambil atau memilih untuk tidak menggunakan antikoagulan oral (misalnya, mereka mengalami kesulitan mempertahankan INR stabil, masalah kepatuhan, pembatasan diet, atau keterbatasan biaya), terapi antiplatelet ganda dengan Aspirin dan Clopidogrel direkomendasikan. 8. Dapat juga digunakan untuk terapi stroke iskemik pada anak. 9. Penyakit arteri koroner 10. ST-Segment-Elevation MI (STEMI) 11. Pencegahan Primer Kejadian Jantung Iskemik 12. Non-ST-Segment-Elevation Acute Coronary Syndromes (NSTE ACS) 13. Angina Stabil Kronis 14. Prosedur Intervensi dan Revaskularisasi Koroner Perkutan 15. Embolisme Berhubungan dengan Fibrilasi Atrial 16. Penyakit Arteri Perifer 17. Penyakit Jantung Valvular 18. Katup Jantung Prostetik 19. Trombosis Terkait dengan Prosedur Fontan pada Anak 20. Thromboprophylaxis dalam Bedah Ortopedi 21. Thromboprophylaxis dalam Bedah Umum 22. PerikarditiS Obat pilihan untuk manajemen nyeri terkait dengan perikarditis akut † setelah MI. 23. Penyakit KawasakI

Pengobatan penyakit Kawasaki; digunakan bersama dengan immune globulin IV (IGIV) 24. Komplikasi Kehamilan

c. FARMAKOKINETIKA 1. Absorpsi a) Bioavailabilitas Diserap dengan baik setelah pemberian oral. Cepat dimetabolisme menjadi asam silisilat. Konsentrasi aspirin plasma tidak terdeteksi 1 – 2 jam setelah pemberian. Konsentrasi asam salisilat plasma puncak tercapai dalam 1 – 2 jam setelah pemberian tablet yang tidak dilapisi. Secara perlahan dan bervariasi diserap mengikuti administrasi rectal. b) Onset Dosis oral tunggal persiapan cpat diserap : 30 menit untuk efek analgesik dan antipiretik Suppositoria rectal : 1 – 2 jam untuk efek antipiretik Terapi oral terus menerus : 1 – 4 hari untuk efek antiinflamasi c) Makanan Makanan menurun tingkat tetapi tidak tingkat penyerapan; konsentrasi plasma puncak aspirin dan salisilat dappat menurun d) Konsentrasi plasma Konsentrasi salisilat plasma 30 – 100 mcg/mL menghasilkan analgesia dan antipiresis; konsentrasi yang diperlukan untuk efek antiinflamasi adalah 150 – 300 mcg/mL; toksisitas tercatat pada 300 – 350 mcg/mL. Konsentrasi salisilat plasma steady state meningkatkan lebih dari proporsional dengan peningkatan dosis sebagai hasil dari proses pembatasan kapasitas. e) Populasi khusus Selama fase demam penyakit Kawasaki, penyerapan oral mungkin terganggu atau sangat bervariasi. f) Distribusi a) Extend Didistribusikan secara luas; aspirin dan salisilat didistribusikan ke dalam cairan sinovial. Plasenta persilangan dan didistribusikan ke dalam susu. b) Pengikatan protein plasma

Aspirin

: 33%

Salisilat

: 90 – 95% terikat pada konsentrasi salisilat plasma < 100

mch/mL; 70 – 85% terikat pada konsentrasi 100 – 400 mcg/mL; 25 – 60% terikat pada konsentrasi > 400 mcg/mL c) Eliminasi a) Metabolisme Sebagian dihidrolisis menjadi salisilat oleh esterase di mukosa GI. Aspirin tidak dihidrolisis kemudian mengalami hidrolisis oles esterase terutama di hati tetapi juga dalam plasma, eritrosit, dan cairan sinovial. Salisilat dimetabolisme di hati oleh enzim mikrosomal b) Rute eliminasi Diekskresikan dalam urine melalui filtrasi glomerulus dan reabsorpsi tubular ginjal sebagai salisilat dan metabolitnya. Ekskresi salisilat urin tergantung pH; ketika pH urin meningkat dari 5 ke 8, ekskresi salisilat dalam urine sangat meningkat. c) Half-life Aspirin

: 15 – 20 menit

Setengah umur salisilat meningkat dengan meningkatnya konsentrasi salisilat plasma. Salisilat

: 2 – 3 jam ketika aspirin diberikan dalam dosis rendah (325 mg).

Salisilat

: 15 – 30 jam ketika aspirin diberikan dalam dosis yg lebih tinggi.

d) Populasi khusus Salisilat dan metabolitnya mudah dihapus oleh hemodialisis dan pada tingkat lebih rendah dialisis peritoneal.

d. INTERAKSI OBAT NO 1

Obat, Makanan, Test ACE inhibitor

Interaksi Mengurangi respon BP terhadap inhibitor. Kemungkinan anetuasi tindakan hemodinamik inhibitor ACE pada pasien dengan CHFh. Mengurangi

Saran

NO

Obat, Makanan, Test

Interaksi

Saran

efek hiponatremic inhibitor ACE. 2

Agen pengoksidasi

Obat – obat yang menurunkan pH urin dapat menurunkan ekskresi salisilat.

3

Alkohol

Meningkatkan resiko perdarahan

4

Agen alkalinisasi

Obat obatan meningkatkan pH urin dapat meningkatkan ekskresi salisilat.

pantau konsentrasi salisilat plasma pada pasien yang menerima terapi aspirin dosis tinggi jika antasida diinisiasi atau dihentikan.

5

Antikoagulan (warfarin, heparin)

Meningkatkan resiko pendarahan. Dapat menggantikan warfarin dari situs pengikatan protein, yang menyebaban pemanjangan PT dan waktu pendarahan.

Gunakan hati – hati

6

Antikonvulsan

Dapat memindahkan phenytoin dari situs pengikatan; kemungkinan penurunan konsentrasi fenitoin plasma total, dengan peningkatan fraksi bebas. Dapat memindahkan asam valproat dari tempat pengikatan; kemungkinan peningkatan konsentrasi asam valproat plasma bebas, memungkinkan peningkatan resiko pendarahan.

pantau pasien yang meneruma aspirin dengan asam valproat

7

Obat Antidiabetik (sulfonilurea)

Potensi menaikkan efek hipoglikemik

Monitor ketat

8

Agen bloking βadrenergik

Mengurangi respon BP terhadap agen penghambat beta adrenergik. Potensi untuk retensi garam dan cairan

Pantau BP

NO

Obat, Makanan, Test

Interaksi

Saran

9

Penghambat karbonat anhidrase (acetazolamide)

Peningkatan resiko toksisitas salisilat. Peningkatan konsentrasi plasma acetazolamide; peningkatan resiko toksisitas acetazolamide.

hindari penggunaan bersamaan pada pasien yang menerima aspirin dosis tinggi

10

Kortikosteroid

Penurunan konsentrasi salisilat plasma

11

Diuretik

Kemungkinan efek natriuretik berkurang

12

Methotrexate

Peningkatan konsentrasi metotreksat plasma. Penghambatan pembersihan ginjal methotrexate menyebabkan toksisitas sumsum tulang, terutama pada pasien geriatrik atau dengan gangguan ginjal.

Pantau toksisitas methotrexate

13

NSAIAs

Peningkatan resiko pendarahan, ulserasi GI, penurunan fungsi ginjal atau komplikasi lainnya. Tidak ada bukti yang konsisten bahwa aspirin dosis rendah meredakan peningkatan resiko kejadian kardiovaskular serius yang terkait dengan NSAIAs. Interaksi farmakokinetik dengan banyak NSAIAs. Antagonis (ibuprofen, naproxen) dari efek penghambatan agregasi trombosit yang ireversibel dari aspirin; dapat membatasi efek kardioprotektif aspirin. Resiko minimal efek pelemahan aspirin dosis rendah dengan penggunaan ibuprofen sesekali. Tidak diketahui apakan ketoprofen mengganggu efek antiplatelet aspirin. Penurunan konsentrasi plasma puncak dan AUC diklofenak, data yang terbatas

a. Penggunaan bersamaan tidak disarankan b. Interaksi farmakokinetik tidak mungkin menjadi penting secara klinis c. Aspirin segera : berikan satu dosis Ibuprofen 400 mg untuk pengobatan sendiri >/ 8 jam sebelum atau >/ 30 menit setelah pembersihan aspirin d. Aspirin dosis rendah yang dilapisi enterik : tidak ada rekomendasi mengenai waktu pemberian dengan dosis tunggal ibuprofen e. Pertimbangan penggunaan analgesik alternatif yang tidak mengganggu efek antiplatelet aspirin dosis rendah (misalnya acetaminophen, opiat) untuk pasien yang beresiko tinggi terhadap kejadian kardiovaskular.

NO

Obat, Makanan, Test

Interaksi menunjukkan bahwa diklofenak tidak menghambat efek antiplatelet.

14

Pyrazinamide

Kemungkinan pencegahan atau pengurangan hiperurisemia yang terkait dengan pyrainamide

15

Tetracycline

Penyerapan teracycline ketika diberikan dengan persiapan aspirin yang mengandung kation divalen atau trivalen (Bufferin)

16

Agen trombolitik

Aditif pengurangan kematian dilaporkan pada pasien dengan AMI menerima Aspirin dalam dosis rendah dan agen trombolitik (streptokinase, alteplase) Digunakan untuk efek terapeutik

17

Agen ricosuric (probenesid, sulfinpyrazone)

Mengurangi efek uricosuric

18

Vaksin virus varicella hidup

Kemungkinan teoretis dari sindrome Reye. Produsen vaksin virus varicella hidup merekomendasikan bahwa individu yang menerima vaksin menghindari penggunaan salisilat selama 6 minggu setelah vaksinasi.

Saran f.

Penggunaan bersamaan dengan resep NSAIAs tidak disarankan karena potensi peningkatan efek samping

berikan persiapan yang mengandung kation bivalen sebelum atau sesudah tetrasiklin

5. SPIRONOLACTONE a. Deskripsi Adalah altagonis aldosterone, Diuretik hemat kalium. b. PENGGUNAAN 1. Edema Manajemen edema terkait dengan aldosterone yang berlebihan, termasuk para pasien dengan sirosis hati, gagal jantung, dan sindrome nefrotik. Digunakan sebagai tambahan untuk terapi thiazide ketika diuresis tidak memadahi atau pengurangan ekskresi kalium diperlukan 2. Hipertensi Penatalaksanaan hipertensi (sendiri atau dalam kombinasi dengan kelas lain adri agen antihipertensi), digunakan untuk pasien yang tidak dapat diobati secara adekuat dengan agen lain atau agen lain dianggap tidak sesuai. Tidak dianggap sebagai agen yang disukai untuk manajemen awal hipertensi, tetapi dapat digunakan sebagai terapi tambahan jika BP tidak cukup terkontrol dengan kelas antihipertensi yang direkomendasikan (yaitu ACE inhibitor, antagonis reseptor angiotensin II, cachannel

blocker,

diuretik

thiazide).

Penambahan

antagonis

aldosterone

(spironolactone atau eplerenone) direkomendasikan pada pasien tertentu dengan gagal jantung atau pasca-MI ketika fraksi ejeksi ventrikel kiri (LVEF) berkurang dan pasien sudah menerima inhibitor ACE (atau antagonis reseptor angiotensin II) dan agen penghambat β-adrenergik (β-blocker) c. FARMAKOKINETIKA 1. Absorpsi a) Diserap dengan baik setelah pemberian oral; konsentrasi serum puncak spironolactone biasanya dicapai dalam 1-2 jam, 200 201 konsentrasi serum puncak dari metabolit utama200 201 biasanya dicapai dalam 2-4 jam. b) Bioavailabilitas : > 90% c) Onset Bertahap; efek diuretik maksimum tercapai pada hari ketiga. Spironolakton dalam kombinasi tetap dengan hidroklorotiazid: Diuresis biasanya terjadi pada hari pertama. d) Lamanya Diuresis menetap selama 2–3 hari setelah penghentian.

e) Makanan Makanan meningkatkan konsentrasi serum puncak dan AUC; kepentingan klinis tidak diketahui. 2. Distribusi a) Tingkat Spironolakton dan metabolitnya melintasi plasenta. Canrenone, metabolit aktif utama, didistribusikan ke dalam susu. b) Pengikatan Protein Plasma Spironolactone dan canrenone:> 90% .265 3. Eliminasi a) Metabolisme Cepat

dan

ekstensif

dimetabolisme;

canrenone

dan

/

atau

7α-

thiomethylspironolactone tampaknya menjadi metabolit aktif utama. Menjalani deasetilasi hati, tiometilasi, dan hidroksilasi. b) Rute Eliminasi Diekskresikan terutama dalam urin sebagai metabolit dan pada tingkat lebih rendah dalam empedu. c) Setengah hidup Spironolactone: 1,4 jam. Metabolit: 13,8–16,5 jam d. INTERAKSI OBAT NO

Obat, Makanan, Test

Interaksi

1

ACE inhibitor

Peningkatan resiko hiperkalemia berat

2

Alkohol

Potensi hipotensi ortostatik

3

Altagonis reseptor aldosterone

Meningkatkan resiko hiperkalemia berat

4

Antagonis angiotensin II

Menaikkan resiko hiperkalemia

5

Agen antihipertensi dan hipotensi

Efek antihipertensi tambahan

Saran Monitor serum potassium secara rutin.

Pergunaan bersama : kontraindikasi

Kurangi dosis obat antihipertensi, terutama agen penghambat ganglionik, paling sedikit 50 % ketika spironolacton dimulai

NO

Obat, Makanan, Test

Interaksi

Saran

6

Barbiturat

Potensiasi hipotensi ortostatik

7

Cholestyramine

Asidosis metabolik hiperkalemia dilaporkan

8

Kotikosteroid (ACTH)

Kemungkinan deplesi elektrolit aditif, terutama kalium

Monitor elektrolit serum

9

Digoxin

Peningkatan konsentrasi digoxin serum; kemungkinan toksisitas.

pantau toksisitas digitalis; kemungkinan toksisitas. Pantau toksisitas digitalis; menyesuaikan dosis digoksin (pemeliharaan dan digitalisasi)

10

Diuretik hemat kalium (misalnya : amiloride, thriamterene)

Peningkatan resiko hiperkalemia berat

Penggunaan bersama kontraindikasi

11

Heparin

Meningkatkan resiko hiperkalemia yang tinggi.

12

Heparin, molekul rendah

Peningkatan resiko hiperkalemia berat

13

Lithium

Pengurangan renal lithium yang dikurangi; peningkatan resiko toksisitas lithium.

14

Nonondepolarizing neuromuskular blocking agents (misal : tubocurarine chloride)

Potensi peningkatan blokade neuromuskular

15

NSAIA (misalnya indometasin, aspirin)

Kemungkinan penurunan efek diuretik, natriuretik, dan antihipertensi; peningkatan resiko hiperkalemia berat

Agonis Opiat

Potensiasi hipotensi ortostatik

16

Penggunaan bersamaan umunya kontraindikasi, jika tetap bersamaan diperlukan, monitor konsentrasi serum lithium secara ketat dan sesuaikan dosis

Gunakan dengan hati – hati Monitor untuk efek diuretik.

NO

Obat, Makanan, Test

Interaksi

Saran

17

Suplemen kalium dan/atau makanan yg mengandung kalium (misal : pengganti garam, susu rendah garam)

Peningkatan resiko hiperkalemia berat

Penggunaan bersama umumnya tidak direkomendasikan

18

Test, aldosterone (kemih)

Kebanyakan metode tidak terpengaruh, metabolit dapat mengganggu prosedur radioimmunoassay

19

Test, Digoxin (serum)

Kemungkinan ketinggian semu dengan prosedur radioimmunoassay; mungkin assay spesific.

Relevansi klinis tidak sepenuhnya diketahui

20

Vasopressors (e.g. norepinephrine)

Kemungkinan penurunan respon vaskular

Gunakan anestesi (regional atau umum) dengan hati – hati.

21

Makanan

Makanan dapat meningkatkan kadar spironolactone plasma, tetapi tidak merubah efikasi antihipertensi dalam satu studi jangka panjang

6. CLOPIDOGREL a. DESKRIPSI Inhibitor agregasi trombosit; thienopyridine P2Y12 platelet adenosine diphosphat (ADP) – reseptor antagonis b. PENGGUNAAN Diindikasikan untuk menurunkan aterotrombosis yang menyertai : 1. Serangan infark miokard, serangan stroke atau penyakit pembuluh darah perifer 2. Non-ST segment elevation acute coronary syndrome dengan pemakaian bersama acetosal. c. FARMAKOKINETIKA 1. Absorpsi

a) Bioavailabilitas Cepat diserap setelah pemberian oral, 1 ≥50% dari dosis oral diserap.1 Konsentrasi plasma puncak dari metabolit aktif terjadi sekitar 30-60 menit setelah pemberian oral.1 b) Onset Setelah pemberian oral dosis tunggal, penghambatan agregasi trombosit tergantung dosis dapat diamati dalam 2 jam. Dosis berulang (75 mg setiap hari) menyebabkan penghambatan agregasi platelet ADP-induced pada hari pertama, dan inhibisi steady-state (40-60%) terjadi dalam 3-7 hari. c) Durasi Setelah penghentian, agregasi platelet dan waktu perdarahan berangsur-angsur kembali ke garis dasar dalam waktu sekitar 5 hari. d) Makanan Pada pria sehat, pemberian dengan makanan tinggi lemak atau standar menurun berarti penghambatan agregasi platelet oleh <9% .1 Meskipun makanan menurunkan konsentrasi plasma puncak metabolit aktif sebesar 57%, paparan sistemik terhadap metabolit aktif tidak terpengaruh. e) Populasi Khusus Konsentrasi plasma puncak dan paparan metabolit aktif clopidogrel menurun sebesar 30-50% pada pasien dengan fungsi CYP2C19 yang diturunkan secara genetik. 2. Eliminasi a) Metabolisme Secara ekstensif dimetabolisme melalui jalur 2 langkah: 1) hidrolisis esterasedimediasi ke turunan asam karboksilat aktif 2) pembentukan metabolit tiol aktif dimediasi oleh CYP isoenzim (misalnya, 2C19, 3A4, 2B6, 1A2). b) Rute Eliminasi Diekskresikan dalam urin (50%) dan dalam tinja (46%) c) Setengah hidup Clopidogrel: Sekitar 6 jam setelah dosis oral tunggal 75 mg. Metabolit aktif: 30 menit

d. INTERAKSI OBAT No

Obat, Makanan, Test

Interaksi

Saran

1

Cilostazol

Potensi efek antiplatelet tambahan

Penggunaan hati – hati Monitor waktu pendarahan selama pemberian bersamaan

2

Dexlansoprazole

Efek pada paparan metabolit aktif clopidogrel dan penghambatan trombosit clopidogrel-induced tidak dianggap penting secara klinis.

Tidak diperlukan penyesuaian dosis clopidogrel jika digunakan bersamaan dengan dosis berlabel FDA dexlansoprazole.

3

Esomeprazole

Berkurangnya konsentrasi plasma metabolit aktif clopidogrel dan berkurangnya efek antiplatelet

Hindari penggunaan bersamaan

4

Antagonis reseptor H-2 Blocker

Tidak ada bukti bahwa antagonis reseptor H-2 blocker (kecuali cimetidin) mengganggu efek antiplatelet clopidogrel.

Dapat mempertimbangkan antagonis reseptor-H (kecuali Cimetidine) sebagai alternatif penghambat protopump untuk proteksi lambung pada pasien yang menerima clopidogrel. Tetai mungkin tidak efektif

5

Lansoprazole

Efek pada paparan metabolit aktif aktif clopidogrel dan penghambatan trombosit clopidogrel-induced tidak dianggap penting secara klinis

Tidak diperlukan penyesuaian dosis clopidogrel jika digunakan secara bersamaan dengan dosis berlabel FDA dari Lansoprazole

6

Pantoprazole

Efek pada paparan metabolit aktif aktif clopidogrel dan penghambatan trombosit clopidogrel-induced tidak dianggap penting secara klinis

Tidak diperlukan penyesuaian dosis clopidogrel jika digunakan secara bersamaan dengan dosis berlabel FDA dari Lansoprazole

7

Omeprazole

Penurunan konsentrasi plasma metabolit aktif clopidogrel dan berkurangnya efek antiplatelet

Hindari penggunaan bersamaan

Efikasi berkurang diamati dengan clopidogrel bersamaan dan omeprazole atau esomeprazole; sejauh mana rabeprazole dapat

FDA menyatakan tidak cukup informasi yang tersedia untuk membuat rekomendasi spesifik tentang penggunaan bersamaan dengan clopidogrel

8

Rabeprazole

Pemisahan waktu administrasi tidak menghindari interaksi

No

Obat, Makanan, Test

Interaksi

Saran

mengganggu efek clopidogrel tidak diketahui 9

NSAIAs

Potensi peningkatan resiko pendarahan

10

Warfarin

Kemungkinan peningkatan resiko pendarahan

Gunakan hati - hati

7. SALBUTAMOL SULFAT a. DESKRIPSI Bronkodilator; agonis β-2 adrenergik kerja jangka pendek yang selektif b. PENGGUNAAN 1. Bronkospasme pada Asma Manajemen simtomatik atau pencegahan bronkospasme pada pasien dengan penyakit saluran napas reversibel dan obstruktif (misal : asma) 2. Bronkospasme yang dipicu oleh latihan Pencegahan bronkospasme yang dipicu oleh latihan 3. Penyakit paru obstruktif kronik Salbutamol sulfat dalam kombinasi tetap dengan Ipratropium bromide : manajemen simtomatik dari bronkospasme reversibel yang berhubungan dengan COPD pada pasien yang memiliki bukti bronkospasme meskipun penggunaan teratur bronkodilator inhalasi secara oral dan yang membutuhkan bronkodilator kedua Salbutamol sulfat : manajemen simtomatik dari bronkospasme reversibel yang berhubungan dengan COPD bila diberikan sesuai kebutuhan atau teratur (misalnya, 4x sehari), baik sendiri atau bersamaan dengan bronkodilator inhalasi lainnya. Penggunaan reguler dari agonis β2-adrenergik inhalasi selektif dan pendek (misal salbutamol) dalam penatalaksanaan PPOK, berbeda dengan asma, tidak tampak merugikan c. FARMAKOKINETIKA 1. Absorpsi a) Bioavailabilitas oral dosis tunggal tablet salbutamol sulfat lepas lambat adalah sekitar 80% bdari tablet konvensional. Khasat obat yang dihirup secara oral

tampaknya hasil dari tindakan lokal daripada penyerapan sistemik. Konsentrasi plasma obat tidak memprediksi efek terapetik. b) Serangan Tablet atau larutan konvensional : dalam 30 menit. Aerosol inhalasi oral

: dalam 5 – 15 menit

Larutan nebulisasi oral

: dalam 5 menit

c) Durasi Aerosol inhalasi oral

: 3 – 6 jam

Larutan nebulisasi oral

: 2 – 4 jam, kadang – kadang ≥ 6 jam

Tablet konvensional oral

: hingga 8 jam

Tablet lepas lambat

: hingga 12 jam

Larutan oral

: hingga 6 jam

d) Makanan Mengurangi tingkat penyerapan salbutamol tablet lepas lambat. e) Distribusi Extent : salbutamol melintasi plasenta. Tidak diketahui apakah salbutamol terdistribusi ke dalam susu atau tidak. f) Eliminasi a) Metabolisme Secara ekstensif dimetabolisme di dinding usus dan hati menjadi metabolit yang tidak aktif b) Rute eliminasi Dikeluarkan secara substansial oleh ginjal. Sekitar 72% dari dosis (oral inhalasi) diekskresikan dalam urine sebagai obat dan metabolit yang tidak berubah dalam 24 jam . sekitar 76% dari dosis tunggal (pemberian oral) diekskresikan dalam urine selama 3 hari; sekitar 4% diekskresikan dalam feses c) Half-life Oral inhalasi : 3,8 – 6 jam pada orang dewasa yangs sehat; 1,7 – 7,1 jam pada pasien dengan asma. Tablet konvesional : 5 – 7,2 jam

d. INTERAKSI OBAT Obat, Makanan, Test

No

Interaksi

Saran

1

Β-adrenergik blocking agents

Antagonis efek paru menghasilkan bronkospasme berat para pasien asma

Jika diperlukan terapi bersama, pertimbangkan untuk berhati – hati menggunakan obat penghambat β-adrenergik kardioselektif

2

Digoxin

Konsentrasi digoxin serum menurun

Evaluasi hati – hati konsentrasi digoxin serum yang direkomendasikan

3

Diuretik non-hemat kalium

Penurunan konsentrasi serum potasium dan/atau perubahan ECG, terutama jika dosis βagonis yang direkomendasikan melebihi

Penggunaan hati - hati

4

Inhibitor MAO

Meningkatkan efek pada sistem vaskular

Peringatan ekstrim direkomendasikan dengan terapi bersamaan atau pada pasien yang menerima salbutamol dalam waktu 2 minggu setelah penghentian obat – obatan ini

5

Agen simpatomimetik

Meningkatkan efek samping kardiovaskular

Hindari penggunaan bersama salbutamol inhalasi dan bronkodilator amina simpatomimetik short-acting inhalasi atau oral salbutamol dan agen simpatomimetik lainnya

8. CODEIN a. DEKSRIPSI Angonis opiat, turunan fenatrena b. PENGGUNAAN 1. Pain Codein merupakan analgesik agonis opioid. Efek codein terjadi apabila codein berikatan secara agonis dengan reseptor opioid di berbagai tempat di susunan saraf

pusat. Efek analgesik codein tergantung afinitas codein terhadap reseptor opioid tersebut. Codein dapat meningkatkan ambang rasa nyeri dan mengubah reaksi yang timbul di korteks serebri pada waktu persepsi nyeri diterima dari thalamus. 2. Batuk Meringankan gejala batuk nonproduktif, tunggal atau dalam kombinasi dengan antitusif atau ekspektoran lainnya dengan cara menekan pusat batuk. c. FARMAKOKINETIKA 1. Absorpsi a) Bioavailabilitas Diserap dengan baik setelah pemberian oral b) Onset Onset terjadi dalam 15 – 30 menit. Efek analgesik puncak terjadi terjadi dalam 2 jam; puncak efek antitusif dalam 1 – 4 jam c) Durasi Efek analgesik menetap selama 4 – 6 jam. Efek antitusif dapat bertahan selama 4 jam d) Distribusi a. Extent Cepat didistribusikan ke bagian jaringan tubuh, dengan serapan istimewa oleh organ parenkim seperti hati, limpa, dan ginjal. Didistribusikan ke dalam susu. Mudah menyilang plasenta. b. Protein binding Tidak terikat pada protein plasma e) Eliminasi a) Metabolisme Dimetabolisme di hati, terutama oleh CYP3A4 dan pada tingkat lebih rendah (10%) oleh CYP2D6 menjadi morphin O-demetilasi, metabolit aktif. Metabolisme codein dipengaruhi oleh CYP2D6 polimorfisme; perbedaan genetik dalam metabolisme obat mempengaruhi respons obat. Individu dapat digambarkan sebagai metabolit kecil, ekstensif atau ultrarapidosis substrat CYP2D6. b) Rute Eliminasi

c) Diekskresikan terutama dalam urine dengan jumlah codein dan metabolitnya yang dapat ditemukan dalam feses d) Half-life Sekitar 2,5 – 3 jam e) Populasi khusus Individu yang membawa genotipe yang terkait dengan metabolisme ultrarapidosis substrat CYP2D6 (sekitar 1 – 7% dari Kaukasia, 10 – 30% dari Etiopia dan Arab Saudi mengubah Codein menjadi Morfin lebih cepat dan lengkap dariapad individu lain; metabolisme ultrarapid cenderung memiliki konsentrasi serum morfin yang lebih tinggi dari yang diharapkan d. INTERAKSI OBAT No

Obat, Makanan, Test

Interaksi

Obat – obatan depresan seperti anestetik, tranquilizer, sedatif, hipnotik, alkohol

Peningkatan efek hipnotik sedatif

2

Tranquilizer (fenotiazin)

Antagonis terhadap analgesik opiat agonis

3

Dextroamfetamin

Menghambat efek analgesik opiat agonis

4

Penghambat MAO

Resiko syndrome serotonin

1

Saran Hendaknya hati – hati dalam penggunaan secara bersamaan. Kurangi dosis Codein

Jangan diberikan bersama – sama dengan penghambat MAO dan dalam jangka waktu 14 hari setelah pemberian penghambat MAO

9. AMBROXOL a. DESKRIPSI Ambroxol adalah agen mukolitik. Nitrat oksida (NO) yang berlebihan dikaitkan dengan inflamasi dan beberapa gangguan lain fungsi saluran udara. NO meningkatkan aktivasi larut guanylate cyclase dan akumulasi cGMP. Ambroxol telah terbukti menghambat NOdependent aktivasi larut guanylate cyclase. Hal ini juga mungkin bahwa penghambatan

aktivasi NO-dependent dari larut guanylate cyclase dapat menekan sekresi lendir yang berlebihan, sehingga menurunkan viskositas lendir dan meningkatkan transportasi mukosiliar sekresi bronkial. Ambroksol merupakan metabolit aktif N-desmethyl dari mukolitik. Selain itu, kemungkinan juga berperan sebagai ekspektoran, dengan meningkatkan mucociliary transport melalui stimulasi motilitas silia. b. PENGGUNAAN Terapi pada penyakit saluran pernafasan akut dan kronik yang disertai dengan sekresi bronkus yang abnormal, terutama pada bronkitis kronik eksaserbasi, asthmatic bronchitis dan bronchial asthma. c. FARMAKOKINETIKA 1. Absorpsi Absorpsi : cepat diabsorpsi setelah pemberian per oral, a) Bioavailabilitas Bioavailabilitas adalah sekitar 70-80% b) Distribusi Ambroxol memiliki waktu paruh (half life) Distribusi : 1-3 jam 2. Metabolisme Metabolit : dibromoanthranilic acid (activity unspecified) 3. Eliminasi Diekskresikan terutama melalui ginjal, urin (5-6%) sebagai bentuk utuh tidak berubah. Klirens ginjal : Klirens ginjal kira kira 53 mL/menit Half-life / Waktu paruh 8,8 jam d. INTERAKSI OBAT Pemberian

bersama

dengan

antibiotik (Amoxicillin, Sefuroksim, Eritromisin,

Doksisiklin) menyebabkan peningkatan antibiotik dedalam jaringanparu paru. e. EFEK SAMPING

10. INTERHISTIN a. DESKRIPSI Interhistin dengan zat aktif mebydrolin yang merupakan antihistamin sedatif dengan sifat anti muskarinik. Mebydrolin digunakan untuk meringankangejala kondisi alergi termasuk urtikaria, rhinitis, dan pada gangguan kulit pruritus. b. PENGGUNAAN Mebydrolin terutama ditujukan dalam kondisi seperti alergi, angioderma, eksim, demam Hay, pruritus, rhinitis, urtikaria. c. FARMAKOKINETIKA Penyerapan Mebydrolin diketahui 100%. Ekskresi renal : 0.66% dan plasma T½ nya adalah 5,5 jam d. INTERAKSI OBAT No

Obat, Makanan, Test

1

Alkohol dan anti depresan lain

2

MAOIs, TCA

Meningkatkan efek sedasi

Atropin, Mengakibatkan efek antikuskarinik aditif

Antibiotika Aminoglikosida e. EFEK SAMPING 1) 2) 11. RENOSTERIL a. DESKRIPSI b. PENGGUNAAN c. FARMAKOKINETIKA d. INTERAKSI OBAT e. EFEK SAMPING

Interaksi

Saran

More Documents from "Jezzy Charolina"