1
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Ikterus neonatorum merupakan keadaan klinis pada bayi yang ditandai
oleh pewarnaan ikterus pada kulit dan sklera akibat akumulasi pigmen bilirubin berawarna kuning-orange yang berlebih. Ikterus secara klinis akan mulai tampak pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin darah melebihi 5-7 mg/dL. 1 Angka kejadian ikterus neonatorum di dunia cukup tinggi. Di Amerika Serikat, dari 4 juta neonatus yang lahir setiap tahunnya, sekitar 65% menderita ikterus dalam minggu pertama kehidupannya. Di Malaysia, hasil survei pada tahun 1998 di rumah sakit pemerintah dan pusat kesehatan di bawah Departemen Kesehatan mendapatkan 75% bayi baru lahir menderita ikterus dalam minggu pertama kehidupannya. Sedangkan di Indonesia, diantaranya di Rumah Sakit Umum Pendidikan Cipto Mangunkusumo didapatkan prevalensi ikterus pada bayi baru lahir di tahun 2007 sebesar 32,1% pada bayi cukup bulan dan 42,95% pada bayi kurang bulan, di RS Dr. Sardjito melaporkan sebanyak 85% bayi sehat cukup bulan mempunyai kadar bilirubin ≥5 mg/dL dan 23,8% untuk kadar bilirubin ≥13 mg.dL, dan di RS Dr. Kariadi Semarang dilaporakn prevalensi ikt rus neonatorum sebesar 13,7%. Sementara itu, berdasarkan penelitian Purwanto (2009), angka kejadian ikterus neonatorum di RS Al-Islam Bandung pada tahun 2008, yaitu 28,08 %.
2-5
Data epidemiologi yang ada menunjukkan bahwa lebih dari 50% bayi baru lahir terdeteksi secara klinis menderita ikterus dalam minggu pertama kehidupannya, terutama bayi yang lahir dengan berat badan <2500 gram atau usia
2
gestasi <37 minggu. Sebagian besar kasus iktbierus neonatorum tidak memiliki penyebab dasar atau disebut ikterus fisiologis yang akan menghilang pada akhir minggu pertama kehidupan pada bayi cukup bulan dan sebagian kecil memiliki penyebab dasar seperti hemolisis, septikemia, dan penyakit metabolik atau disebut ikterus non-fisiologis. Pada kebanyakan kasus, ikterus neonatorum ini tidak memerlukan pengobatan, namun dalam keadaan tertentu khusunya ikterus nonfisiologis harus dilakukan evaluasi secara cepat. Hal ini dikarenakan, bayi yang mengalami ikterus non-fisiologis beresiko lebih tinggi untuk mengalami komplikasi yang lebih berat dan bisa mengakibatkan kematian .3, 6 Berdasarkan Riset Kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2007, ikterus neonatorum menyebabkan kematian neonatus sebesar 6 % dari tujuh penyebab tertinggi kematian neonatus. Hal ini di karenakan, pada beberapa bayi yang mengalami ikterus neonatorum, serum bilirubin bisa terus meningkat sampai ke kadar berbahaya yang bisa mengakibatkan kerusakan pada otak yaitu acute bilirubin encephalopathy yang bisa mengalami progresi menjadi kern icterus. Dalam keadaan kern icterus terjadi kerusakan otak secara kronis yang permanen dan bisa mengakibatkan terjadinya cerebral palsy, retardasi mental, gangguan pendengaran, bahkan kematian akibat adanya bilirubin-induced cell toxicity. 6 Ikterus neonatorum bisa terjadi akibat adanya gangguan metabolisme dalam proses uptake dan konjugasi, gangguan transportasi bilirubin, atau bisa juga diakibatkan karena adanya produksi bilirubin yang berlebih seperti dalam keadaan hemolisis. Ada beberapa faktor resiko yang bisa meningkatkan kemungkinan terjadinya ikterus neonatorum mulai dari faktor neonatal, maternal dan perinatal. Faktor resiko tersebut antara lain bayi yang lahir dalam keadaan prematur, bayi
3
dengan berat badan lahir yang rendah, riwayat gestational diabetes pada ibu, adanya inkompabilitas golongan darah-fetal maternal, penggunaan infus oksitosin saat persalinan, dll. 3, 7 Salah satu faktor resiko neonatus yang berpengaruh terhadap kejadian ikterus neonatorum adalah bayi yang lahir dalam keadaan prematur. Berdasarkan penelitian M.Sholeh Kosim,dkk (2006) di RSUP Dr. Kariadi Semarang, dari 90 pasien dengan ikterus neonatorum, 71 (78,9%) pasien mempunyai kadar bilirubin = 10 mg/dl. Limapuluh tiga (58,9%) pasien BBLR, 50 (55,6 %) preterm, dan 54 (60%) lahir spontan. Dalam penelitian ini ditemukan kejadian hiperbilirubinemia terbanyak terjadi pada bayi preterm dan BBLR, namun dari penelitian ini tidak ada hubungan bermakna antara kadar hiperbilirubin dengan prematuritas, dan berat lahir.8 Hal tersebut berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Sarici, dkk menemukan bahwa neonatus dengan umur kehamilan 36-37 minggu memiliki faktor resiko 5-7 kali terjadinya hiperbilirubinemia dibandingkan neonatus dengan umur kehamilan 39-49 minggu.9 Prematuritas sering berhubungan dengan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi pada neonatus. Aktifitas uridine difosfat glukoronil transferase hepatik jelas menurun pada bayi prematur, sehingga konjugasi bilirubin tak terkonjugasi menurun, yang mengakibatkan peningkatan bilirubin tak terkonjugasi. Selain itu juga terjadi peningkatan hemolisis karena umur sel darah marah yang pendek pada bayi prematur.10 Selain prematuritas, bayi yang lahir dengan berat badan rendah (BBLR) juga bisa menjadi salah satu faktor resiko yang mengakibatkan terjadinya ikterus neonatorum. Hal ini dikarenakan pada bayi dengan BBLR, pembentukan hepar
4
belum terjadi dengan sempurna (imaturitas hepar) sehingga menyebabkan konjugasi bilirubin indirek menjadi bilirubin direk di hepar tidak terjadi dengan sempurna. 11 Menurut penelitian Reisa, dkk (2013), prevalensi ikterus neonatorum di RSUD Raden Mattaher Jambi sebesar 49 (13,2%), yang terdiri dari 22 (51,2%) neonatus preterm, 30 (69,8%)
neonatus dengan berat badan normal, dan 27
(62,8%) neonatus tanpa komplikasi perinatal. Dari hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa yang mengalami ikterus neonatorum terbanyak adalah bayi dengan berat badan normal, hal ini berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan oleh M.Sholeh, dkk di RSUP Dr. Kariadi Semarang. 4, 8 Adanya perbedaan hasil-hasil penelitian tersebut, membuat peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian tentang hubungan antara prematuritas dan BBLR dengan kadar bilirubin pada ikterus neonatorum di RSUD Al-Ihsan Bandung. Peneliti memilih tempat tersebut dikarenakan RSUD Al-Ihsan Bandung merupakan salah satu rumah sakit pendidikan Unisba dan merupakan rumah sakit rujukan kedua di Jawa Barat. Sehingga diharapkan penelitian ini bisa mewakili sebagian besar kejadian ikterus neonatorum di Jawa Barat dan bisa memberikan gambaran bagaimana hubungan antara prematuritas dan BBLR dengan kadar bilirubin pada ikterus neonatorum.
1.2 Rumusan Masalah 1. Adakah hubungan antara prematuritas dengan kadar bilirubin pada ikterus neonatorum di RSUD Al-Ihsan Bandung periode Januari – Desember 2013?
5
2. Adakah hubungan antara BBLR dengan kadar bilirubin pada ikterus neonatorum di RSUD Al-Ihsan Bandung periode Januari 2013 – Desember 2013?
1.3.
Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui hubungan antara prematuritas dengan kadar bilirubin pada ikterus neonatorum di RSUD Al-Ihsan Bandung periode Januari 2013 – Desember 2013 2. Untuk mengetahui hubungan antara BBLR dengan kadar bilirubin pada ikterus neonatorum di RSUD Al-Ihsan Bandung periode Januari 2013 – Desember 2013.
1.4.
Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk menambah pengetahuan dan informasi tentang hubungan antara prematuritas dan BBLR dengan kadar bilirubin pada ikterus neonatorum di RSUD Al-Ihsan Bandung periode Januari 2013 – Januari 2013.
2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar untuk meningkatkan upaya antisipasi terhadap kejadian ikterus neonatorum, sehingga dapat dilakukan penatalaksanaan sesegera mungkin agar tidak menimbulkan komplikasi lebih lanjut yang bisa mengakibatkan kematian.
6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.2 Prematuritas 2.1.2.1 Definisi Bayi kurang bulan didefinisikan sebagai kelahiran bayi sebelum usia kehamilan 37 minggu (259 hari). Bayi kurang bulan merupakan faktor utama penyebab mortalitas dan morbiditas pada neonatus. 12
2.1.2.2 Epidemiologi Menurut WHO setiap tahunnya diperkirakan ada 15 juta bayi yang lahir dalam keadaan premature yang merupakan salah satu penyebeb kematian terbesar pada anak dibawah 5 tahun. Lebih dari 60% kelahiran premature terjadi di Afrika dan Asia Tenggara terutama pada keluarga dengan keadaan sosioekonomi yang rendah. Sementara itu, di Indonesia terdapat 675.700 bayi yang lahir dalam keadaan premature pada tahun 2012.13
2.1.2.3 Faktor Resiko Faktor resiko yang berhubungan dengan kelahiran premature antara lain : 14 1. Faktor demografi a. Usia b. Ras c. Status sosioekonomi 2. Faktor perilaku
7
a. Merokok b. Substance abuse c. Poor nutrition d. Tidak ada atau tidak lengkapnya prenatal care 3. Kondisi kesehatan maternal a. Riwayat obstetric yang buruk b. Malformasi uterus atau servikal c. Myoma d. Hipertensi e. Diabetes f. Kondisi medis lainnya 4. Komplikasi kehamilan sebelumnya a. Multiple gestation b. Kelebihan atau kekurangan cairan amnion c. Perdarahan d. Body mass index yang rendah (<19,8) e. Fetal anomalies f. Infeksi (sistemik atau lokal)
4.1.2.4 Manifestasi Klinis Manifestasi klinis pada bayi kurang bulan antara lain : 15 1. Respiratory distress Keadaan ini ditandai dengan adanya grunting, flaring, tachypnea, retraksi, dan kebutuhan akan tambahan oksigen.
8
2. Hipoglikemia Kebanyakan bayi premature memiliki kadar glukosa kurang dari 40 mg/dL 3. Ikterus 4. Hipotermia 5. Apnea 6. Bradycardia 7. Poor feeding
2.1.2.5 Komplikasi Bayi yang lahir dalam keaddan premature mengalami imaturitas baik secara fisiologi, metabolisme, maupun secara anatomi yang bisa mengakibatkan timbulnya komplikasi jangka panjang seperti : 16 1. Respiratory distress 2. Apnea Hampir semua bayi premature mengalami apnea. Hal ini dikarenakan
adanya
peningkatan
respiratory
depression,
susceptibility
menurunnya
terhadap
kemosensitivitas
hypoxic terhadap
karbondioksida, resepto iritan paru-paru yang masih belum mature, dan adanya penurunan tonus otot dilator di saluran pernafasan atas. 16 3. Hipotermia Bayi premature lebih beresiko mengalami hipotermia dikarenakan adanya fungsi hipotalamus yang masih immature dan sedikitnya jumlah jaringan adiposa saat lahir. Akibatnya, dalam keadaan dingin kapasitas
9
untuk menghasilkan panas dari jaringan adiposa menurun sehingga bayi akan mengalami hipotermia. 16 4. Hipoglikemia Insidensi hipoglikemia berbanding terbalik dengan masa gestasi. Bayi premature lebih cenderung mengalami hipoglikemia karena ada proses glikogenolisis di hepar dan lipolisis di jaringan adiposa yang masih immature, adanya disregulasi hormonal, dan
akibat adanya defisiensi
hepatic gluconeogenesis. 16 5. Hiperbilirubinemia Jaundice lebih sering terjadi pada bayi premature daripada pada bayi cukup bulan. Durasi jaundice sering memanjang dan puncak konsentrasi bilirubin indirek biasanya lebih tinggi dibandingkan bayi cukup bulan. Faktor utama yang menyebabkan keadaan ini adalah adanya maturasi yang belum sempurna, konsentrasi uridine diphosphoglucoronate glucoronyltransferase yang rendah, dan keterbatasan enzim dalam proses konjuasi bilirubin. 16 Selain itu, sirkulasi enterohepatik bilirubin juga berkontribusi terhadap terjadinya hiperbilirubinemia pada bayi premature, terutama pada bayi dengan gangguan motilitas usus. 16 6. Poor feeding Bayi premature sering mengalami kesulitan dalam menyusui, karena lemahnya tonus otot oromotor, inkoordinasi urutan proses menghisap-menelan-bernafas, dan adanya dismotilitas saluran pencernaan. 16
10
7. Gangguan perkembangan dan perilaku Perkembangan otak terjadi selama periode fetus dan anak-anak. Otak bayi premature memiliki gyrus dan sulkus yang lebih sedikit dan beratnya dua per tiga dari otak bayi cukup bulan yang akan berpengaruh terhadap perkembangan otak, perilaku, dan kemampuan sosial anak. 16
2.1.3 Bayi Berat Lahir Rendah 2.1.3.1 Definisi Bayi berat Lahir Rendah (BBLR) adalah bayi yang dilahirkan dengan berat lahir kurang dari 2500 gram tanpa memandang masa gestasi. Berat badan lahir ini ditimbang dalam waktu satu jam pertama setelah lahir.12 2.1.3.2 Epidemiologi Prevalensi BBLR diperkirakan 15% dari seluruh kelahiran di dunia, dengan batasan 3.3% - 38% dan lebih sering di negara-negara berkembang atau sosio ekonomi rendah. Angka kejadian BBLR di Indonesia sangat bervariasi. Berdasarkan hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2007, secara keseluruhan prevalensi BBLR di Indonesia sebesar 11.5%. Lima propinsi mempunyai prevalensi BBLR tertinggi adalah Propinsi Papua sebesar 27%, Papua Barat sebesar 23.8%, Nusa Tenggara Timur sebesar 20.3%, Sumatra Selatan sebesar 19.5%, dan Kalimantan Barat sebesar 16.6%. Lima propinsi dengan prevalensi BBLR terendah adalah Bali (5.8%), Sulawesi Barat (7.2 %), Jambi (7.5%), Riau (7.6%), dan Sulawesi Utara (7.9%). 17
11
2.1.3.3 Faktor Resiko Berikut ini adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya BBLR : 1.
Faktor Ibu a. Usia ibu Usia ibu yang kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun akan meningkatkan resiko terjadinya BBLR. Hal ini dikarenakan pada usia kurang dari 20 tahun, organ-organ reproduksi belum berfungsi dengan sempurna, rahim dan panggul ibu belum tumbuh mencapai ukuran dewasa, sehingga bila terjadi kehamilan dan persalinan akan lebih mudah mengalami komplikasi dan pada usia lebih dari 35 tahun terjadi penurunan kesehatan reproduktif karena proses degenratif sudah mulai muncul. Salah satu efek dari proses degeneratif adalah sklerosis pembuluh darah arteri kecil dan arteriole myometrium menyebabkan aliran darah ke endometrium tidak maksimal sehingga dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan pada janin. 18, 19 b. Paritas Paritas menunjukan jumlah anak yang pernah dilahirkan oleh seorang wanita. Kehamilan dan persalinan pertama meningkatkan resiko kesehatan yang timbul karena ibu belum pernah mengalami kehamilan sebelumnya. Sebaliknya bila terlalu sering melahirkan, rahim akan menjadi semakin melemah karena jaringan parut uterus yang muncul akibat kehamilan berulang sehingga mengakibatkan tidak adekuatnya aliran darah ke plasenta. 18, 21
12
c. Mempunyai riwayat BBLR sebelumnya d. Komplikasi kehamilan Beberapa komplikasi langsung dari kehamilan seperti anemia, perdarahan, preeklamsia/eklamsia, hipertensi, dan kelainan lainnya bisa mengganggu pertumbuhan fetus dalam kandungan sehingga meningkatkan resiko kelahiran bayi dengan berat lahir rendah. 18, 21 e. Keadaan sosial ekonomi Keadaan sosial ekonomi yang rendah bisa meningkatkan resiko terjadinya BBLR. 18, 21 2.
Faktor neonatus Neonatus dengan trisomi 18 biasanya mengalami hambatan pertumbuhan dengan rata-rata berat lahir 2340 gram. 18, 21
3.
Faktor plasenta Faktor plasenta juga mempengaruhi pertumbuhan janin yaitu besar dan berat plasenta, tempat perlekatan plasenta pada uterus, dan kelainan plasenta. Adanya kelainan plasenta atau adanya posisi tali pusat yang tidak sesuai dengan lokasi pembuluh darah yang ada di plasenta dapat mengakibatkan terjadinya gangguan alirah darah plasenta ke fetus sehingga pertumbuhan fetus menjadi terhambat 18, 21
2.1.3.4 Klasifikasi Klasifikasi bayi menurut berat lahir dibagi menjadi : 12 1. Bayi berat lahir rendah
13
Bayi yang dilahirkan dengan berat lahir <2500 gram tanpa memandang masa gestasi 2. Bayi berat lahir cukup/normal Bayi yang dilahirkan dengan berat lahir >2500 – 4000 gram 3. Bayi berat lahir lebih Bayi yang dilahirkan dengan berat lahir >4000 gram Selain itu berdasarkan hubungan berat lahir dan umur kehamilan, berat bayi baru lahir dapat dikelompokkan menjadi : 12 1. Sesuai masa kehamilan (SMK) 2. Kecil masa kehamilan (KMK) disebut juga Small for Gestational Age Bayi yang dilahirkan dengan berat lahir <10 persentil menurut grafik Lubhenco. 3. Besar masa kehamilan (BMK) disebut juga Large for Gestational Age Bayi yang dilahirkan dengan berat lahir >10 persentil menurut grafik Lubhenco.
2.1.3.5 Komplikasi Berikut ini merupakan beberapa komplikasi yang sering terjadi pada bayi dengan berat badan lahir rendah : 20 1. Anomali kongenital 2. Apirasi mekonium 3. Pulmonary hemorrhage 4. Persistent pulmonary hypertension 5. Hipotermia
14
6. Hipolglikemia 7. Hipokalsemia 8. Acute tubular necrosis/renal insufficiency 9. Polisitemia 10. Tromositopenia 11. Neutropenia 12. Gangguan neurodevelopmental (kebutaan, tuli, retardasi mental, cerebral palsy) 13. Necrotizing enterocollitis
2.1.4 Bilirubin 2.1.4.1 Metabolisme Bilirubin Bilirubin adalah produk akhir katabolisme protporfirin besi atau heme, 75% berasal dari hemoglobin dan 25% dari heme di hepar, myoglobin otot, serta eritropoiesis yang tidak efektif di sumsum tulang. Metabolisme bilirubin terdiri dari tahapan : 10 1. Pembentukan bilirubin Bilirubin berasal dari pemecahan katabolisme heme yang terjadi melalui proses oksidasi-reduksi. Proses degradasi heme ini terjadi di reticuloendothelial system (RES) terutama di spleen. 5, 10 Pembentukan bilirubin dimulai dengan memutuskan cincin tetrapiol protoheme (protoporfirin IX) sehingga terbentuklah tetrapirol rantai lurus (biliverdin) yang terjadi melalui proses oksidasi dengan bantuan enzim heme oksigenase. Pada reaksi tersebut juga, terbentuk besi
15
(Fe) yang akan digunakan kembali untuk pembentukan hemoglobin dan karbon monoksida (CO) yang diekskresikan ke dalam paru. Biliverdin kemudian akan direduksi menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin reduktase. 5, 10, 11 Biliverdin bersifat larut dalam air dan secara cepat akan diubah menjadi bilirubin melalui reaksi bilirubin reduktase. Berbeda dengan biliverdin, bilirubin bersifat lipofilik dan terikat dengan hidrogen serta pada pH normal bersifat tidak larut. 21 Pada bayi baru lahir, sekitar 75% produksi bilirubin berasal dari katabolisme heme dari eritrosit. Satu gram hemoglobin akan menghasilkan 34 mg bilirubin dan sisanya (25%) disebut early labelled bilirubin yang berasal dari pelepasan hemoglobin karena eritropoiesis yang tidak efektif di dalam sumsum tulang, jaringan yang mengandung protein heme (mioglobin, sitokrom, katalase, peroksidase) dan heme bebas. 5 Bayi
yang baru lahir akan memproduksi
bilirubin 8-10
mg/kgBB/hari, sedangkan orang dewasa menghasilkan sekitar 3-4 mg/kgBB/hari. Peningkatan produksi bilirubin pada bayi baru lahir disebabkan masa hidup eritrosit pada bayi lebih pendek (70-90 hari) dibandingkan dengan orang dewasa (120 hari), peningkatan degradasi heme, turn over sitokrom yang meningkat dan juga reabsorbsi bilirubin di usus yang meningkat (sirkulasi enterohepatik). 10 2. Transport bilirubin Setelah bilirubin terbentuk, bilitubin akan berdifusi ke sirkulasi dan akan berikatan secara reversible dengan bilirubin. Bayi baru lahir
16
mempunyai kapasitas ikatan plasma yang rendah terhadap bilirubin karena konsentrasi albumin yang rendah dan kapasitas ikatan molar yang kurang. Bilirubin yang terikat pada albumin serum ini merupakan zat non polar dan tidak larut dalam air dan kemudian akan ditransportasi ke sel hepar. Bilirubin yang terikat dengan albumin tidak dapat memasuki susunan saraf pusat dan bersifat non toksik. 10, 21 Bilirubin dalam serum terdapat dalam 4 bentuk berbeda, yaitu : 11 1. Bilirubun tidak terkonjugasi yang terikat dengan albumin dan membentuk sebagian besar bilirubin tidak terkonjugasi dalam serum. 2. Bilirubin bebas. 3. Bilirubin terkonjugasi (terutama monoglukoronida dan diglukoronida) yaitu bilirubin yang siap disekresikan melalui ginjal atau sistem biler. 4. Bilirubin terkonjugasi yang terikat dengan serum albumin. Pada bayi kurang bulan ikatan bilirubin akan lebih lemah yang umumnya
merupakan
komplikasi
dari
hipoalbumin,
hipoksia,
hipoglikemia, asidosis, hipotermia, hemolisis, dan septikemia. Hal ini akan mengakibatkan keadaan neurotoksisitas oleh bilirubin. 21 3. Uptake bilirubin oleh sel hati Pada saat kompleks bilirubin-albumin mencapai membran plasma hepatosit, albumin terikat ke reseptor permukaan sel dan terpisah dari bilirubin. Selanjutnya bilirubin yang telah terpisah dari albumn akan memasuki hepatosit melalui membran reseptor karier sehingga lebih mudah masuk ke dalam hepatosit. 10
17
Di dalam hepatosit, bilirubin terikat dengan glutation S-transferase (GST) yang akan mengurangi refluks dari hepatosit kembali ke dalam plasma. Selain itu, bilirubin juga akan berikatan dengan ligandin yang berperan dalam proses transfer bilirubin ke dalam retikulum endoplasma di hepatosit yang merupakan tempat terjadinya konjugasi bilirubin. 21 4.
Konjugasi Di dalam hepatosit, bilirubin tidak terkonjugasi dikonversikan ke bentuk bilirubin terkonjugasi yang larut dalam air dengan bantuan enzim urine diphosphate glucoronyl transferase (UDPG-T). Katalisa oleh enzim ini akan merubah formasi menjadi bilirubin monoglukoronida, yang selanjutnya akan dikonjugasi menjadi bilrubin diglukoronida. 11
5. Ekskresi bilirubin terkonjugasi Setelah mengalami konjugasi, bilirubin diekskresikan ke dalam bile canaliculi. Pada bayi baru lahir, bilirubin diekskresikan lebih lambat dibandingkan orang dewasa karena hepatic uptake bilirubin dari darah terjadi lebih lambat dan juga diakibatkan oleh adanya penurunan enzim UDPG-T yang mengkatalisasi proses konjugasi bilirubin dengan asam glukuronat. Setelah bilirubin uptake dan proses konjugasi membaik pada dua minggu pertama setelah kelahiran, akan terjadi peningkatan jumlah bilirubin yang terkonjugasi yang masuk ke bile canaliculi yang nantinya akan diekskresikan ke intesine. 11, 21, 22 Setelah berada dalam usus halus, bilirubin yang terkonjugasi tidak dapat langsung direabsorbsi, kecuali jika dikonversikan kembali menjadi bentuk tidak terkonjugasi oleh enzim beta glukoronidase yang terdapat
18
dalam usus yang akan merubah bilirubin menjadi stercobilin. Reabsorbsi kembali bilirubin dari saluran pencernaan dan kembali lagi ke hepar untuk dikonjugasi disebut sirkulasi enterohepatik. 21
Gambar 2.1 Metabolisme Bilirubin Dikutip dari : Mac Mahon JR,dkk 2007 21
19
2.1.4.2 Pemeriksaan Kadar Bilirubin pada Bayi Jaundice sering terjadi pada periode neonatus akibat lifespan eritrosit pada bayi yang lebih pendek dan faktor lainnya. Kadar bilirubin yang tinggi bersifat toksik terhadap otak dan bisa mengakibatkan irrevesible bilirubin-induced encephalopathy yang dikenal sebagai kern icterus. Salah satu deteksi awal yang bisa dilakukan adalah dengan pengukuran total serum bilirubin (TSB) atau trancutaneous bilirubin (TcB) dalam 24 jam pertama kehidupan. 23 Kadar TSB harus diinterpretasikan berdasarkan usia bayi (dalam jam). Bayi dengan TSB yang melebihi 95 persentil atau bayi dengan kecepatan peningkatan bilirubin yang melebihi persentil atau peninngkatan kadar bilirubin yang melebihi 0,2 mg/dL per jam memerlukan evaluasi dan follow up lebih jauh. 21
Gambar 2.2 Normogram penentuan resiko hiperbilirubinemia Pada bayi sehat usia 36 minggu atau lebih dengan berat badan 2000 gram atau lebih atau usia kehamilan 35 minggu atau lebih dan berat badan 2500 gram atau lebih berdasarkan jam observasi kadar serum bilirubin. Dikutip dari : American Academy of Pediatrics (AAP)
20
2.1.5 Ikterus Neonatorum 2.1.5.1 Definisi Ikterus neonatorum merupakan keadaaan klinis pada bayi yang ditandai dengan adanya diskolorasi kuning pada kulit, membran mukosa, dan sklera akibat peningkatan kadar bilirubin dalam darah. Ikterus secara klinis akan mulai muncul pada bayi baru lahir jika kadar bilirubin darah melebihi 5-7 mg/dL.10, 11
2.1.5.2 Epidemiologi dan Faktor Resiko Tahap pertama yang paling penting untuk mendiagnosis dan melakukan tata laksana pada bayi baru lahir yang mengalami ikterus neonatorum adalah dengan mengetahui faktor yang normalnya mempengaruhi kadar bilirubin pada neonatus. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut : 21 1. Pengaruh genetik, etnik, dan keluarga Bayi dengan ras Asia Timur dan Native American memiliku ratarata konsentrasi total serum bilirubin (TSB) yang lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan bayi kulit putih. Peningkatan produksi bilirubin ini muncul sebagai salah satu yang berkontribusi terhadap terjadinya hiperbilirubinemia pada bayi. Selain itu juga, jika saudara bayi sebaelumnya memiliki total serum bilirubin (TSB) yang lebih tinggi dari 12-15 mg/dL, maka resiko untuk terjadinya hyperbilirubinemia akan meningkat sekitar 3,1 sampai 12,5 kali lipat. 2. Faktor maternal a. Merokok
21
Beberapa penelitian, menunjukan bahwa bayi yang lahir dari ibu yang merokok saat hamil memiliki kadar serum bilirubin yang lebih rendah dibandingkan dengan ibu yang tidak merokok. b. Diabetes Bayi makrosomia yang lahir dari ibu dengan diabetes mellitus, lebih beresiko untuk menglami hiperbilirubinemia. Hal ini mungkin diakbiatkan karena adanya peningkatan produksi bilirubin yang berhubungan dengan derajat makrosomia yang dialami oleh bayi ini. Bayi makrosomia memiliki kadar erythropoietin yang tinggi dengan peningkatan erythropoiesis, sehingga erythropoiesis tidak efektif dan polycythemia kemungkinan merupakan salah satu penyebab yang mengakibatkan
terjadinya
hiperbilirubinemia
pada
bayi
yang
mengalami makrosomia. Selain itu, ibu yang mengalami diabetes mellitus memiliki air susu dengan kandungan β-glucoronidase yang 3 kali lebih tinggi dibandingkan dengan ibu nondiabetic. Enzim β-glucoronidase ini meningkatkan reabsorpsi bilirubin. 3. Kejadian saat melahirkan dan persalinan a. Induksi dan augmentasi persalinan dengan oksitosin Beberapa penggunaan
penelitian
menunjukan
adanya
hubungan
antara
oksitosin untuk augmentasi atau induksi persalinan
dengan peningkatan insidensi neonatal hyperbilirubinemia, akan tetapi mekanismenya belum diketahui dengan jelas. b. Obat-obatan
22
Terdapat beberapa obat-obatan yang bisa meningkatkan resiko terjadinya ikterus neonatorum, antara lain : diazepam dan pemberian epidural anasthesia. c. Delivery mode Persalinan melalui vagina, terutama persalinan dengan tindakan pada bayi cukup bulan memiliki kadar TSB yang lebih tinggi dibandingkan persalinan melalui operasi caesar. 4. Faktor neonatus a. Berat badan lahir dan gestasi Bayi yang lahir dengan berat badan rendah dan kurang bulan berhubungan
kuat
dengan
peningkatan
resiko
terjadinya
hiperbilirubinemia. Bayi “near-term” dengan usia khamilan 35 sampai 38 minggu memiliki resiko yang lebih tinggi untuk mengalami hiperbilirubinemia dibandingkan dengan bayi full-term. b. Jenis kelamin Bayi laki-laki memiliki kadar bilirubin yang lebih tinggi dibanding bayi perempuan. c. Asupan kalori dan penurunan berat badan Asupan kalori yang kurang berhubungan dengan peningkatan serum bilirubin. Mekanisme utama yang mengakibatkan hal tersebut dikarenakan peningkatan sirkulasi enterohepatik pada bayi dengan asupan kalori yang rendah. Selain itu, terdapat juga hubungan yang signifkan antara hiperbilirubinemia dengan penurunan berat badan yang terjadi beberapa hari setelah lahir.
23
d. Infrequent feeding
Tabel 2.1 Faktor resiko hiperbilirubinemia pada bayi dengan usia kehamilan ≥35 minggu Faktor resiko mayor - Sebelum pulang, kadar total serum bilirubin (TSB) atau trancutaneous bilirubin (TcB) teletak pada daerah resiko tinggi. - Ikterus yang muncul dalam 24 jam pertama kehidupan - Inkompabilitas golongan darah dengan tes antiglobulin direct yang positif atau penyakit hemolitik lainnya (defisiensi G6PD) - Umur kehamilan 35-36 minggu - Riwayat anak sebelumnya yang mendapat fototerapi - Sefalhematom atau memar yang bermakna - ASI eksklusif dengan cara perawatan yang tidak baik dan kehilangan berat badan yang berlebihan - Ras Asia Timur Fakto resiko minor - Sebelum pulang, kadar total selum bilirubin (TSB) atau transcutaneous bilirubin (TcB) terletak pada daerah resiko sedang - Umur kehamilan 37-38 minggu - Sebelum pulang, bayi tampak kuning - Riwayat anak sebelumnya kuning - Bayi makrosmia dari ibu DM - Umur ibu ≥ 25 tahun - Bayi laki-laki Faktor resiko kurang (faktor-faktor ini berhubungan dengan menurunnya resiko ikterus yang signifikan, besarnya resiko sesuai dengan urutan yang tertulis semakin ke bawah resiko semakin rendah) - Kadar total serum bilirubin (TSB) atau trancutaneous bilirubin (TcB) terletak pada daerah resiko rendah - Umur kehamilan ≥ 41 minggu - Bayi yang mendapat susu formula penuh - Kulit hitam - Bayi yang dipulangkan setelah 72 jam Dikutip dari : American Academy of Pediatrics (AAP),200424
2.1.5.3 Klasifikasi Berdasarkan
konsentrasi
hiperbilirubinemia dibagi menjadi :
total
serum
bilirubin
(TSB),
maka
24
1. Hiperbilirubinemia ringan Kadar total serum bilirubin (TSB) <10 mg/dL atau <171 µmol/L 2. Hiperbilirubinemia sedang Kadar total serum bilirubin (TSB) 10-20 mg/dL atau 171-342 µmol/L 3. Hperbilirubinemia berat Kadar total serum bilirubin (TSB) >20 mg/dL atau >342 µmol/L Sementara itu, berdasarkan jenisnya, ikterus dibagi menjadi 2, yaitu : 1. Ikterus fisiologis Ikterus fisiologis umumnya terjadi pada bayi baru lahir, kadar bilirubin tidak terkonjugasi pada minggu pertama biasanya >2 mg/dL. Pada bayi cukup bulan yang mendapatkan ASI,
kadar bilirubin akan
mencapai puncaknya sekitar 7-14 mg/dL, dan penurunan bisa terjadi dalam waktu yang lama (2-4
minggu). Sedangkan pada bayi kurang
bulan, peningkatan terjadi dengan puncak kadar bilirubin yang lebih tinggi dan lebih lama, begitu juga dengan penurunannya jika tidak diberikan pencegahan dengan fototerapi. 11 Peningkatan kadar bilirubin sampai 10-12 mg/dL masih termasuk dalam ikterus fisiologis, bahkan hingga 15 mg/dL tanpa disertai kelainan metabolisme bilirubin. Akan tetapi, ikterus fisiologis diakibatkan oleh beberapa faktor diantaranya peningkatan produksi dan penurunan ekskresi bilirubin. Oleh karena itu, jaundice harus dianggap sebagai suatu tanda penyakit dan tidak selalu dianggap fisiologis. Karakteristik spesifik ikterus fisiologis harus dianggap tidak normal sampai terbukti sebaliknya. Kriteria eksklusi ikterus fisiologis adalah sebagai berikut : 10, 11, 18
25
1) Kadar bilirubin >12,9 mg/dL pada bayi cukup bulan. 2) Kadar bilirubin >15 mg/dL pada bayi kurang bulan. 3) Kadar peningkatan bilirubin melebihi 5mg/dL/hari. 4) Jaundice yang muncul dalam 24 jam pertama kehidupan. 5) Jaundice yang bertahan >1 minggu pada bayi cukup bulan dan >2 minggu pada bayi kurang bulan. 2. Ikterus non fisiologis Ikterus non fisiologis sangat sulit untuk dibedakan dengan ikterus fisiologis. Keadaan ikterus di bawah ini merupakan suatu petunjuk untuk segera dilakukannya tindak lanjut : 11 a. Ikterus terjadi sebelum umur 24 jam b. Setiap peningkatan kadar serum bilirubin yang memerlukan fototerapi c. Peningkatan kadar serum bilirubin total >0,5 mg/dL/jam d. Adanya tanda-tanda muntah, letargis, malas menetek, penurunan berat badan yang cepat, apnea, takipnea atau suhu yang tidak stabil e. Ikterus bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau setelah 14 hari pada bayi kurang bulan.
2.1.5.4 Etiologi Tabel 2.2 Penyebab ikterus neonatorum -
Dasar Peningkatan produksi bilirubin
-
Peningkatan destruksi hemoglobin
Penyebab Inkompabilitas darah fetomaternal (Rh,ABO) - Defisiensi enzim kongenital (G6PD, galaktosemia) - Perdarahan tertutup (sefalhematom, memar)
26
-
Peningkatan jumlah hemoglobin
-
Peningkatan sirkulasi enterohepatik
-
Perubahan clearance bilirubin di hepar Perubahan produksi atau aktivitas uridine diphosphoglucoronyl transferase Peurbahan fungsi dan perfusi hepar (kemampuan konjugasi)
-
-
Sepsis Polisitemia (twin-to-twin transfusion, SGA) - Keterlambatan klem tali pusat - Keterlembatan pasase mekonium, ileus mekonium, meconium plug syndrome - Puasa atau keterlambatan minum - Atresia atau stenosis intestinal Imaturitas
Gangguan metabolik/endokrin (Criglarnajjar disease, hipotiroidisme, gangguan metabolisme asam amino) - Asfiksia, hipoksia, hipotermia, hipoglikemia - Sepsis - Obat-obatan dan hormon (novobiosin, pregnanediol) - Obstruksi hepatik (berhubungan - Anomali kongenital (atresia dengan hiperbilirubinemia direct) biliaris, fibrosis kistik) - Stasis biliaris (hepatitis, sepsis) - Bilirubin load yang berlebihaan (sering terjadi pada hiperbilirubinemia berat) Sumber : Blackburn ST,2007 1
2.1.5.5 Manifestasi Klinis Ikterus secara klinis akan terlihat jika kadar bilirubin melebihi 5-7 mg/dL. Ikterus awalnya sering muncul di daerah wajah, terutama hidung, dan kemudian turun ke tubuh dan ektremitas bawah ketika derajat ikterus menjadi semakin parah.18
2.1.5.6 Patofisiologi Ada beberapa mekanisme yang mengakibatkan terjadinya ikterus neonatorum, diantaranya : 1.
Peningkatan produksi bilirubin
27
Produksi bilirubin pada lebih tinggi dibandingkan orang dewasa, hal ini dikarenakan neontus memiliki volume eritrosit di sirkulasi yang lebih besar tinggi dan memiliki lifespan eritrosit yang lebih pendek. Selain itu, terdapat juga sejumlah penyebab abnormal spesifik yang bisa mengakibatkan terjadinya peningkatan produksi bilirubin diantaranya : heomoglobinopati, inkompabilitas ABO dan Rhesus, dan efek membrane eritrosit dan enzim. Inkompabilitis golongan darah fetus-ibu merupakan salah satu penyebab tersering jaundice dini pada bayi akibat terjadinya isoimunisasi. 10, 21 2.
Gangguan transportasi bilirubin Bayi baru lahir juga mempunyai kapasitas ikatan plasma yang rendah
terhadap bilirubin karena konsentrasi albumin yang rendah dan kapasitas ikatan non molar yang kurang, sehingga proses transportasi bilirubin dari sirkulasi ke hepar tidak terjadi dengan baik. Hal ini merupakan salah satu penyebab munculnya ikterus pada bayi baru lahir. 11 3.
Penurunan konjugasi bilirubin Gangguan konjugasi pada neonatus diakibatkan karena adanya defisiensi
enzim UDPG-T, tetapi setelah 24 jam kehidupan, aktivitas enzim ini meningkat melebihi bilirubin yang masuk ke hati sehingga konsentrasi bilirubin serum akan menurun. 11 4.
Penurunan sekresi bilirubin Pada penyakit-penyakit neonatus dengan jaundice akibat peningkatan
produksi dan penurunan ekskresi bilirubin, baik bilirubin terkonjugasi maupun tidak terkonjugasi dapat meningkat, salah satunya adalah sepsis bakterialis yang meningkatkan produksi bilirubin dengan menyebabkan hemolisis eritrosit. 10
28
Selain itu, mukosa usus dan feses pada bayi bari lahir mengandung enzim β-glukoronidase yang dapat menghidrolisis monoglukoronida dan diglukoronida kembali menjadi bilirubin yang tak terkonjugasi yang dapat diabsorpsi kembali melalui sirkulasi enterohepatik. Lumen usus halus pada bayi baru lahir steril dan hanya terdapat sedikit flora normal yang mengakibatkan bilirubin konjugasi tidak dapat diubah menjadi sterkobilin. 11
2.1.5.7 Diagnosis Berbagai faktor resiko dapat meningkatkan kejadian hiperbilirubinemia yang berat. Sehingga diperlukan penilaian pada bayi baru lahir terhadap berbagai faktor resiko, terutama untuk bayi-bayi yang pulang lebih awal. Semua bayi harus dimonitor secara rutin untuk melihat perkembangan jaundice yang terjadi pada bayi. Pada bayi baru lahir, jaundice bisa terdeteksi dengan menekan kulit secara hati-hati dengan jari di bawah penerangan yang cukup, sehingga warna kulit dan jaringan subkutan bisa terlihat dengan jelas. 11, 21 Dermal ictreus awalnya terlihat di wajah, kemudian akan meluas secara kaudal ke arah trunk dan ekstremitas, sehingga pada kadar bilirubin tertentu kulit di daerah wajah akan terlihat lebih kuning dibandingkan daerah kaki. Akan tetapi pemeriksaan ini kurang reliable jika kadar total serum bilirubin (TSB) melebihi 12 mg/dL. 21 Kramer menemukan bahwa kadar bilirubin indirect sangat berhubungan dengan perkembangan jaundice pada bayi, sebagai berikut : 10
29
Tabel 2.3 Derajat Ikterus Kramer Derajat Ikterus Kramer I
Perkiraan Kadar Bilirubin 4 sampai 8 mg/dL (100 µmol/L)
Daerah Ikterus
Kramer II
5 sampai 12 mg/dL (150 µmol/L)
Ikterus meluas sampai badan atas (di atas umbillikus)
Kramer III
8 sampai 16 mg/dL (200 µmol/L)
Ikterus meluas sampai tungkai atas
Kramer IV
17 sampai 18 mg/dL (250 µmol/L)
Ikterus meluas sampai tungkai bawah
Kramer V
>15 mg/dL (>250 mg/dL)
Ikterus pada bagian kepala dan leher
Ikterus meluas sampai telapak tangan dan kaki
Selain melihat tampilan ikterus, pemeriksaan fisik pada bayi juga harus difokuskan dengan mengidentifikasi salah satu penyebab ikterus patologis. Kondisi umum bayi juga harus segera diperiksa, untuk melihat ada atau tidaknya pucat,
ptechiae,
ekstravasasi
darah,
memar
kulit
yang
berlebihan,
hepatosplenomegali, kehilangan berat badan, dan bukti adanya dehidrasi. 11 Untuk
mengantisipasi komplikasi yang mungkin timbul, maka perlu
diketahui ada tidaknya faktor resiko yang bisa mengakibatkan terjadinya hiperbilirubinemia berat. Selain itu, daerah kadar serum total bilirubin juga harus diketahui untuk menentukan apakah kadar bilirubin bayi terletak di zona resiko tinggi atau tidak dengan menggunakan normogram (gambar 2.2). 24
2.1.5.8 Differential Diagnosis Diagnosis banding dari ikterus neonatorum, diantaranya : 18 1) Subdural hemathoma atau cephalhematoma 2) Excessive bruising
30
3) Bayi yang lahir dari ibu dengan diabetes 4) Infeksi (contoh : congenital syphilis, infeksi virus, atau protozoa) 5) Breast-feeding atau breast milk jaundice
2.1.5.9 Komplikasi Bilirubin ensefalopati adalah salah satu komplikasi yang bisa timbul akibat ikterus neonatorum yang merupakan manifestasi klinis yang timbul karena efek toksik bilirubin pada sistem saraf pusat yaitu basal ganglia dan berbagai nuklei otak. Keadaan ini tampak pada minggu pertama sesudah bayi lahir yang disebut bilirubin ensefalopati akut. Pada fase awal bilirubin ensefalopati akut, bayi akan terlihat letargis, hipotonik, dan memiliki refleks hisap yang buruk. Sedangkan pada fase intermediate ditandai dengan moderate stupor, iritabilitas, dan hipertonia. Untuk selanjutnya bayi akan mengalami demam, high-pitched cry, kemudian akan menjadi drowsiness dan hipertonia. Manifestasi hipertonia dapat berupa retrocollis dan opistotonus. 11, 21 Jika keadaan ini berlangsung secara kronik, akan berkembang menjadi kern icterus yang merupakan suatu keadaan neuropatologi yang ditandai dengan adanya deposisi pigmen bilirubin pada beberapa daerah di otak dengan sekuele yang permanen akibat efek toksik dari bilirubin. Keadaan ini sangat berbahaya dan bisa mengakibatkan kematian, jika bayi bertahan hidup maka bayi tersebut akan mengalami cerebral palsy yang berat, gangguan pendengaran, dan paralisis upward-gaze. 11, 21 Faktor yang berkontribusi terhadap insidensi kern icterus diantaranya screening neonatal jaundice yang tidak memadai, dan kondisi yang meningkatkan
31
resiko terjadinya hiperbilirubinemia yang parah atau terjadinya neurotoksisitas, seperti defisiensi glucose-6-phosphate dehydrogenase, isoimunisasi rhesus, dan sepsis. 25
2.1.5.10 Penatalaksanaan Tatalaksana pada keadaan neonatal hiperbilirubinemia biasanya dilakukan berdasarkan kadar total serum bilirubin. Bayi yang lahir dalam keadaan ikterus, biasanya diobati dengan fototerapi, dan exchange transfusion.
26
Selain itu,
berbagai cara juga telah digunakan untuk melakukan tata laksana pada bayi baru lahir dengan hiperbilirubinemia. Strategi tesebut termasuk : pencegahan, penggunaan farmakologi, fototerapi dan transfusi tukar. 11, 24 1. Strategi pencegahan American
Academy
Pediatris
(AAP)
tahun
2004
telah
mengeluarkan strategi praktis dalam pencegahan dan penanganan hiperbilirubinemia bayi baru lahir (<35 minggu atau lebih) dengan tujuan untuk menurunkan insidensi dari neonatal hiperbilirubinemia berat dan ensefalopati
bilirubin
serta
meminimalkan
resiko
yang
tidak
menguntungkan seperti kecemasan ibu, berkurangnya breast feeding, atau dilakukannya terapi yang sebenarnya tidak diperlukan oleh bayi. Pencegahan yang dilakukan dititik beratkan dengan pemberian minum sesegera mungkin, pemberian ASI sesering mungkin untuk menurunkan enterohepatic shunt, menunjang merangsang aktivitas usus halus.27
kestabilan flora normal, dan
32
Selain itu, petugas klinis juga harus melakukan pemeriksaan secara sistematis untuk mencegah terjadinya hiperbilirubinemia berat, mulai dari mengidentifikasi penyebab timbulnya ikterus neonataorum dan melakukan pemeriksaan transcutaneous bilirubin atau total serum bilirubin, terutama jika ikterus terlihat dalam 24 jam pertama kehidupan. 11, 24
2. Penggunaan farmakoterapi Farmakaoterapi telah digunakan untuk mengelola hiperbilirubinemia dengan menstimulus pengeluran enzim-enzim hepar dan protein carrier untuk mempengaruhi destruksi heme atau untuk mengikat bilirubin dalam usus halus sehingga reabsorspsi enterohepatik bilirubin akan menurun. Obat-obatan tersebut antara lain : 10
Imunoglobulin intravena Imunoglubulin telah digunakan pada bayi dengan inkompabilitas ABO atau inkompabilitas rhesus yang berat dengan tujuan untuk menekan hemolisis isoimun dan mengurangi pemberian exchange transfusion.
Metalloprotoporphyrin Zat ini adalah analog sintesis heme, yang telah terbukti efektif sebagai inhibitor kompetitif dari heme oksigenase. Enzim ini diperlukan untuk katabolisme heme menjadi biliverdin. Dengan zat ini, katabolisme heme dicegah dan dieksresikan secara utuh dalam empedu
Tin-protoporpyrin (Sn-PP) dan tin-mesoporphyrin (Sn-MP)
33
Pada penelitian terhadap bayi kurang dan cukup bulan, bayi dengan atau tanpa penyakit hemolitik, obat ini dapat menurunkan kadar bilirubin serum ini masih dalam percobaan dan efek jangka panjang belum diketahui, sehingga pemakaian obat ini sebaiknya hanya digunakan untuk bayi yang mempunyai resiko tinggi terhadap kejadian hiperbilirubinemia yang bisa berkembang menjadi disfungsi neurologi.
Inhibitor beta-glukoronidase Baru-baru
ini
dilaporkan
bahwa
pemberian
inhibitor
beta-
glukoronidase pada bayi sehat cukup bulan yang mendapatkan ASI, seperti asam L-aspartik dan kasein hoidrosilat dalam jumlah kecil (5mL/dosis – 6 kali sehari) dapat meningkatkan pengeluaran bilirubin melalui feses dan ikterus menjadi berkurang dibandingkan dengan bayi pada kelompok kontrol. 3. Fototerapi Fototerapi terdiri dari radiasi dengan lampu energi foton yang akan merubah struktur molekul bilirubin sehingga bilirubin akan diekskresi ke empedu atau urin tanpa membutuhkan glukoronidase hepatik seperti biasanya. Secara umum, fototerapi digunakan untuk mencegah supaya bilirubin tidak mencapai kadar yang memerlukan exchange transfusion.10
4. Exchange transfusion Exchange transfusion
merupakan metode tercepat untuk
menurunkan konsentrasi bilirubin serum. Indikasi dilakukannya exchange
34
tramsfusion
sangat beragam dan dapat berhubungan dengan adanya
anemia maupun peningkatan kadar serum bilirubin. Pada penyakit hemolitik neonatal, indikasi transfusi antara lain adalah anemia (hematokrit <45%), direct Coomb’s test (+), kadar bilirubin darah umbilikus >4 mg/dL, peningkatan kadar bilirubin serum >1 mg/dL/jam selama lebih dari 6 jam, anemia progresif dan kecepatan peningkatan kadar bilirubin serum >0,5 mg/dL/jam. 10 Exchange transfusion dilakukan dengan menghilangkan partially hemolyzed dan antibody-coated eritrosit dan menggantinya dengan uncoated donor red-blood cell yang memiliki sedikit antigen. 7
2.2.
Kerangka Pemikiran Ikterus merupakan salah satu kasus yang paling sering terjadi pada
neonatus. Hal ini dikarenakan masa hidup eritrosit pada bayi lebih pendek (70-90 hari) dibandingkan dengan orang dewasa (120 hari). Berdasarkan penelitian Purwanto (2009), angka kejadian ikterus neonatorum di RS Al-Islam Bandung pada tahun 2008 yaitu sebesr 28,08%.
2, 21
Ikterus neonatorum ini akan muncul jika kadar bilirubin pada bayi melebihi 5-7 mg/dL. Ikterus bisa terjadi akibat adanya peningkatan produksi bilirubin, gangguan uptake biliruin oleh sel hepatosit, adanya defek pada proses konjugasi billirubin, gangguann ekskresi bilirubin ke dalam empedu, atau diakibatkan karena adanya gangguan atau imaturitas dari hepar. 11, 18 Ada beberapa faktor baik faktor maternal maupun neonatus yang bisa meningkatkan resiko terjadinya ikterus neonatorum. Faktor maternal yang bisa
35
mengakibatkan ikterus neonatorum antara lain : ibu dengan ras Asia, merokok, diabetes, penggunaan oksitosin saat persalinan, dan riwayat kelahiran dengan tindakan. Sedangkan faktor neonatus yang bisa meningkatkan resiko terjadinya ikterus neonatorum, yaitu bayi dengan jenis kelamin laki-laki,bayi prematur, dan bayi yang lahir dengan berat badan rendah. 7, 21 Bayi yang lahir dalam keadaan premature beresiko 7 sampai 8 kali kebih tinggi untuk mengalami hiperbilirubinemia. Hal ini dikarenakan bayi premature dan bayi yang lahir dalam keadaan berat badan lahir yang rendah memiliki hepar yang belum mature secara sempurna dan kadar enzim uridine diphosphate glucoronyl transferase (UDP-GT) masih rendah. Akibatnya proses konjugasi bilirubin indirek menjadi bilirubin direk tidak terjadi dengan sempurna. 11, 21 Selain itu, pada bayi baru lahir lumen usus masih dalam keadaan steril dan hanya memiliki sedikit flora normal. Sehingga, bilirubin terkonjugasi yang masuk ke dalam usus tidak dapat diubah menjadi stercobilin, dan bilirubin kembali di absorbsi melalui sirkulasi enterohepatik. Akibatnya, terjadi peningkatan kadar bilirubin dalam tubuh yang menimbulkan terjadinya ikterus neonatorum. 11 Bagan kerangka pemikiran dapat dilihat di gambar 2.3
36
Bayi Baru Lahir
Bayi dengan berat badan lahir rendah
Bayi kurang bulan
Imaturitas hepar Imaturitas saluran pencernaan Lifespan eritrosit yang lebih pendek Rendahnya UDPG-T
↓ Uptake bilirubin oleh hepar ↑ Produksi bilirubin ↑ Sirkulasi enterohepatik Proses konjugasi bilirubin menurun
↑ Total serum bilirubin
Ikterus Neonatorum
Gambar 2.3 Skema Kerangka Pemikiran
37
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Bahan/Subjek/Objek Penelitian 3.1.1 Subjek Penelitian Seluruh bayi yang mengalami ikterus neonatorum berdasarkan data rekam medis di Sub bagian Perinatologi RSUD Al-Ihsan RS Bandung Periode Januari 2013 – Desember 2013.
3.1.2. Bahan Penelitian Bahan penelitian ini merupakan data sekunder yang diambil dari data rekam medis seluruh bayi yang mengalami ikterus neonatorum di Sub Bagian Perinatologi RSUD Al-Ihsan Bandung Periode Januari 2013 – Desember 2013.
3.1.3 Populasi 3.1.3.1 Populasi Target Seluruh bayi yang mengalami ikterus neonatorum di Kota Bandung tahun 2013 – 2013.
3.1.3.2 Populasi Terjangkau Seluruh bayi yang mengalami ikterus neonatorum di kota Bandung yang dirawat di RSUD Al-Ihsan periode Januari 2013 – Desember 2013.
38
3.1.4 Sampel Seluruh bayi yang mengalami ikterus neonatorum dengan BBLR dan prematuritas di Sub Bagian Perinatologi periode Januari 2013 – Desember 2013.
3.1.4.1 Ukuran dan cara pengambilan sampel 3.1.4.1.1 Ukuran sampel Penentuan besar sampel minimal dihitung berdasarkan rumus uji hipotesis dua proposi, sehingga didapatkan besar sampel minimal 119 orang dengan perhitungan sebagai berikut :
z n
1 / 2
1,96 n
2 P (1 P ) z1 P1 (1 P1 ) P2 (1 P2 )
2
( P1 P2 ) 2
2 * 0,5(1 0,5) 0,842 0,59(1 0,59) 0,41(1 0,41) (0,59 0,41) 2
n = 119
n
= Jumlah sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini
P1
= Proporsi pd faktor yg berisiko dg outcome yg diteliti
P2
= Proporsi pd faktor yg tidak berisiko dg outcome yg diteliti = ( P1+ P2) /2
Z(1-α/2) = nilai Z pada derajat kepercayaan tertentu Z1-β
=Nilai Z pada kekuatan uji tertentu
2
39
3.1.4.1.2 Cara Pengambilan sampel Pengambilan sampel dilakukan dengan cara non-probability consecutive sampling, yaitu semua sampel yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah sampel minimal yang diperlukan sebesar 119 terpenuhi.
3.1.4.2 Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.1.4.2.1 Kriteria Inklusi Kriteria inklusi yang digunakan pada penelitian ini adalah semua bayi yang mengalami ikterus neonatorum di Sub Bagian Perinatologi RSUD Al-Ihsan Bandung dengan data rekam medis yang lengkap, termasuk di dalamnya hasil pemeriksaan kadar bilirubin, prematuritas, dan berat badan bayi saat lahir.
3.1.4.2.2 Kriteria Eksklusi Kriteria eksklusi yang digunakan pada penelitian ini adalah bayi yang mengalami ikterus neonatorum yang memiliki inkompabilitas ABO fetalmaternal, inkompabilitas rhesus, bayi yang lahir dengan keadaan sepsis, dan bayi macrosomia yang lahir dari ibu yang mengalami gestational diabetes mellitus.
3.2 Metode Penelitian 3.2.1 Rancangan Penelitian Observasional analitik dengan metode potong silang (cross sectional) untuk mengetahui hubungan prematuritas dan BBLR dengan kadar bilirubin pada ikterus neonatorum.
40
3.2.2. Definisi konsep dan variabel operasional 3.2.2.1 Variabel 1. Variabel terikat :
kadar bilirubin pada ikterus neonatorum
2. Variabel bebas : prematuritas dan BBLR pada bayi yang mengalami ikterus neonatorum
3.2.2.2. Definisi Operasional Variabel
Definisi
Prematuritas
Kelahiran bayi sebelum usia kehamilan 37 minggu (259 hari)
Hasil Ukur
Skala
1) Preterm : <37 minggu Ordinal (259 hari) 2) Non-Preterm : ≥37 minggu Berat badan Bayi yang lahir dengan 1) BBLR : <2500 gram Ordinal lahir rendah berat badan kurang dari 2) Non-BBLR: ≥2500 gram (BBLR) 2500 gram tanpa memperhatikan umur kehamilan Kadar Kadar pigmen bilirubin 1)Hiperbilirubinemia ringan Ordinal bilirubin dalam plasma darah : <10 mg/dL yang merupakan 2)Hiperbilirubinemia pigmen kekuningan sedang-berat : ≥10 mg/dL yang dilepaskan ketika sel darah merah dipecah Ikterus Keadaan klinis pada 1) Ikterus neonatorum Nominal neonatorum bayi yang ditandai oleh pewarnaan ikterus pada kulit dan sklera akibat akumulasi pigmen bilirubin berawarna kuning-orange yang berlebih
41
3.2.3
Cara kerja dan teknik pengolahan data
3.2.3.1 Cara Kerja Setelah didapatkan izin dari rumah sakit tempat pengambilan data, dilakukan proses pemilihan subjek yang sesuai dengan kriteria inklusi. Rekam medis dikumpulkan kemudian dihitung dan diseleksi berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi. Alur penelitian adalah sebagai berikut : Perizinan Pengambilan data dari RSUD Al-Ihsan Bandung Didapatkan data jumlah bayi yang baru lahir di RSUD Al-Ihsan Bandung sejak Januari – Desember 2013 Data bayi dengan ikterus neonatorum Data diseleksi berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi Sampling Data yang telah diolah dengan perangkat lunak SPSS disajikan dalam bentuk tabel dan diolah secara statistik Analisis Data Signifikan
Tidak signifikan Kesimpulan Saran Gambar 3.1. Alur Penelitian
1. Perizinan Penelitian ini mendapatkan surat izin dari dekanat Fakultas Kedokteran Unisba, yang kemudian diberikan ke Sub Bagian Perinatalogi RSUD Al-
42
Ihsan Bandung sehingga peneliti dapat mengambil data yang diperlukan untuk penelitian ini. 2. Pemilihan subjek yang akan diteliti Pemilihan subjek diawali dengan penentuan besarnya populasi terjangkau dan populasi penelitian dari bayi yang menderita ikterus neonatorum di RSUD Al-Ihsan Bandung tahun 2013. Subjek penelitian adalah semua bayi yang menderita ikterus neonatorum dengan BBLR dan disertai dengan informasi mengenai prematuritas saat bayi lahir, yang memenuhi kriteria inklusi. 3.
Pengambilan data Data diambil dari rekam medis bayi yang mengalami ikterus neonatorum dengan BBLR dan disertai dengan adanya informasi mengenai prematuritas bayi saat lahir di RSUD Al-Ihsan Bandung tahun 2013.
3.2.3.2 Teknik Pengolahan Data Data disajikan dalam bentuk tabel dan diolah secara statistik dan komputerisasi dengan perangkat lunak SPSS for windows
3.2.4 Analisis data Analisis data dimulai dengan analisis univariat yang bertujuan untuk mengetahui angka kejadian dan karakteristik bayi yang mengalami ikterus neonatorum berdasarkan prematuritas dan berat badan lahir di RSUD Al-Ihsan Bandung.
43
Selanjutnya dilakukan analisis bivariat untuk menguji hubungan antara prematuritas dan BBLR dengan kadar bilirubin pada ikterus neonatorum di RSUD Al-Ihsan Bandung dengan menggunakan Chi Square Test karena baik variabel bebas maupun variabel terikat yang terdapat di penelitian ini merupakan jenis data kategorik.
3.2.5 Tempat dan Waktu Penelitian 3.2.5.1 Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Sub Bagian Perinatologi RSUD Al-Ihsan Bandung.
3.2.5.2 Waktu penelitian Penelitian di lakukan pada bulan Maret – Juli 2014
3.2.6 Aspek Etika Penelitian Penelitian ini menggunakan data rekam medis yang berisi tentang informasi penyakit pasien. Dalam penyajian hasil penelitian ini, identitas pasien seperti nama lengkap harus disamarkan dengan inisial. Hal ini bertujuan untuk menjaga privasi dan kenyamanan pasien.
44
DAFTAR PUSTAKA 1. 2.
3.
4.
5. 6. 7. 8.
9.
10.
11.
12. 13. 14.
15. 16.
17.
Blackburn S. Bilirubin metabolism, maternal, fetal, & neonatal physiology, a clinical perspective 3ed. Missouri: Saunders; 2007. Purwanto M. Insidensi ikterus neonatorum dan distribusi berdasarkan jenis kelamin di RS Al-islam Bandung. Bandung: Universitas Islam Bandung, 2009. Health Technology Assesment. Tatalaksana Ikterus Neonatorum. Jakarta: Unit pengkajian teknologi kesehatan direktorat jenderal pelayanan medik departemen kesehatan RI; 2004. Tazami RM, Mustarim, Syah S. Gambaran Faktor Risiko Ikterus Neonatorum pada Neonatus di Ruang Perinatologi RSUD Raden Mattaher Jambi Tahun 2013. Jambi: Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Jambi, 2013. Wong RJ, Stevenson DK, Ahlfors CE, Vreman HJ. Neonatal Jaundice : Bilirubin Physiology and Clinical Chemistry. Neoreviews. 2007;8:58-67. Jon F Watchko MD. Neonatal hyperbilirubinemia-what are the risks? New England Journal of Medicine. 2006 May 4;354(18):1947-9. Porter ML, CPT, Dennis BL, MC, USA. Hyperbilirubinemia in the term newborn. American family physician. 2002 Feb 15;65(4):599-607. Kosim MS, Garina LA, Chandra T, Adi MS. Hubungan hiperbilirubinemia dan kematian pasien yang dirawat di NICU RSUP Dr. Kariadi Semarang. Sari Pediatri. 2007 Desember;9(4):270-3. Sarici SU, Serdar MA, Korkmaz A, Erdem G, Oran O, Tekinalp G, et al. Incidence, course, and prediction of hyperbilirubinemia in near-term and term newborns. Pediatrics. 2004 Apr 3;113(4):775-80. Martiza L. Ikterus. In: Juffrie M, Oswari H, editors. Buku ajar gastroenterologi-hepatologi. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2010. p. 26384. Sukadi A. Hiperbilirubinemia. In: Yunanto A, Dewi R, Sarosa G, Usman A, editors. Buku ajar neonatologi. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2008. p. 147-69. Damanik SM. Klasifikasi bayi menurut berat lahir dan masa gestasi. Buku Ajar Neonatologi. Jakarta: IDAI; 2010. p. 11-4. WHO. Preterm Birth. 2013 [updated November 2013; cited 2014 Feb 2]; Available from: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs363/en/. Marthin RJ, Fanaroff AA, Wals MC. Obstetric management of prematurity. Neonatal-perinatal medicine. 8 ed. Philadelphia: Mosby elsevier; 2007. Wang ML, Dorer DJ, Fleming MP, Catlin EA. Clinical outcome of nearterm infants. Pediatrics. 2004 Aug 2;114:372-6. William A. Engle M. Infants born late pretern : definition, physiologic, and metabolic immaturity, and outcomes. Neoreviews. 2009 June 10(6):280-6. Badan penelitian dan pengembangan kesehatan. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2007 December.
45
18.
19. 20.
21. 22.
23.
24.
25.
26. 27.
Gomella TL, Cunningham MD, Zenk KE. Neonatology : management, procedures, on-call problems, disease, and drugs. Newyork: McGraw Hill; 2004. 469-75 p. Atikah Proverawati S, MPH. BBLR Berat badan lahir rendah. Yogykarta: Nuha Medika; 2010. Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark AR. Identifying the high risk newborn and evaluating gestational age, prematurity, postmaturity, large-forgestational-age, and small-for-gestational-age. Manual of neonatal care. 6 ed: Lippincott William & Wilkins; 2008. p. 54-5. Maisels MJ. Jaundice. Avery's disease of the newborn. 8 ed. Canada: Elsevier health science; 2005. Ronald J. Wong M, david K Stevenson M, DeSandre GH. Neonatal jaundice and liver disease. In: Martin RJ, Fanaroff AA, editors. Philadelphia: Elsevier mosby; 2006. p. 995-1002. Karon BS, Teske A, Santrach PJ, Cook WJ. Evaluation of the BiliChek Noninvasive Bilirubin Analyzer for Prediction of Serum Bilirubin and Risk of Hyperbilirubinemia. Am J Clin Pathol. 2008;130:976-82. American Academy of Pediatrics. Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks of gestation. Journal of Pediatrics. 2004 July 1;114:297-308. Jon F Watchko MD, Tribelli C. Bilirubin induced neurologic damagemechanism and management approaches. The New England journal of medicine. 2013 Nov 21;369(21):2022-8. Dag Bratlid M, PhD. Criteria for treatment neonatal jaundice. Journal of Perinatalogy. 2001;21(5):88-92. Maisels M. Neonatology, pathophysiology & management of the newborn. 5 ed. Avery GB, Fletcher MA, Mac Donald MG, editors. Baltimore: Lippincott William & Wilkins; 1999. 765-819 p.