Dr. Andi Adri Arief : Artikulasi Modernisasi Perikanan

  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Dr. Andi Adri Arief : Artikulasi Modernisasi Perikanan as PDF for free.

More details

  • Words: 3,680
  • Pages: 10
ARTIKULASI MODERNISASI DAN DINAMIKA FORMASI SOSIAL NELAYAN KEPULAUAN DI SULAWESI SELATAN (Studi Kasus Pulau Kambuno Kabupaten Sinjai) MODERNIZATION ARTICULATION AND SOCIAL FORMATION DYNAMICS ISLAND FISHERMAN IN SOUTH SULAWESI (Case Study Kambuno Island, Sinjai in Regency) Andi Adri Arief1 1) Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin ABSTRACT From research result found that, modernize process fishery who construct fisherman socialize formation in this island have peeped out two way of production in community of through capital penetration. Develop of new social formation hereinafter show configuraton of eksploitatif capitalistic so that affect at marginal reality ( marginilisation) way of traditional production, poorness, dependence and difference for fisherman grassroot. Defense of social structure which remain to be defended to base on tradition have articulated the way of capitalist production as dominant element, specially the local knowledge applying (local knowledge) in activity produce Context of Local culture value bearing work ethos by actor level with design of social status pursuit initially effective enough so that able to complemented to transfomation of production way. But, in eksistence of local culture value and the work ethos with design of social status pursuit only be at realized level, cause capitalist values is dominant which superior affecting at personality disorganization among value base on tradition with modern value being based on capitalism Key Words : Modernization, Fisherman, Island.

PENDAHULUAN Modernisasi perikanan (blue revolution), sebagai strategi pembangunan, dikembangkan melalui penetrasi kapital (peningkatan arus modal dan teknologi) memberikan konstribusi yang signifikan terhadap peningkatan produksi. Introduksi modernisasi berimplikasi juga terhadap perubahan struktur sosial masyarakat nelayan yang ditandai oleh munculnya formasi sosial baru berupa kekuatan produksi baru dan hubungan produksi baru. Munculnya formasi sosial baru menyebabkan koeksistensi cara produksi dalam masyarakat (pra kapitalis dan cara kapitalis) akan terartikulasikan oleh tatanan lokal, sehingga ciri perkembangan cara produksi kapitalis yang tampil sebagai cara produksi dominan akan diwarnai oleh kontekstual tingkat lokal (Wright; 1982; Suseno; Sitorus,1999; Meillassoux dan Rey, 1984; Salman, 2002) Kondisi nelayan pulau Kambuno dalam keterisolasiannya dengan berbagaii keterbatasan yang dimilikinya (sosial, ekonomi, politik, daya dukung lingkungan, dsb), secara realitas masih memperlihatkan tampilan “kemiskinan, kesenjangan dan ketergantungan” bagi nelayan marginal yang diduga tidak memiliki akses terhadap modernisasi. 1 )

Contact Person : Dr. Andi Adri Arief, S.Pi, M.Si Jurusan Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin JL. Perintis Kemerdekaan Km 10 Tamalanrea, Makassar 90245 Indonesia Telp : 0411- 505162; email : by_adi [email protected]

1

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses modernisasi perikanan dalam mengkostruksi dinamika formasi sosial; bentuk artikulasi modernisasi dalam formasi sosial yang tercipta, serta; makna nilai budaya lokal dan etos kerja masyarakat dalam pengaruhnya terhadap formasi sosial baru. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan selama kurang lebih delapan bulan, antara bulan Juni 2006 sampai dengan bulan Februari 2007di Pulau Kambuno, Kabupaten Sinjai. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam (in-depth interview) terhadap sejumlah informan yang dipilih dengan teknik efek snowball dengan prinsip triangulasi (Miles dan Huberman, 1992) serta pengamatan langsung (participant observation). Strategi untuk mencapai tujuan penelitian adalah dengan metode studi kasus (Yin, 1996). Jenis data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan informan yang teridiri dari punggaha, punggaha lopi, sahi, tokoh masyarakat. Sementara untuk data sekunder diperoleh dari instansi terkait, laporan penelitian, literatur, dan karya ilmiah. Data yang telah diperoleh diolah dengan pendekatan induktif, melalui tahap reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Modernisasi Dan Dinamika Formasi Sosial Masyarakat Nelayan a. Modernisasi Perikanan : Awal Berkembangnya Motorisasi Pada tahun 1977, melalui prakarsa masyarakat lokal (individu inovatif) mulai dipergunakannya alat produksi modern berupa mesin sebagai tenaga penggerak perahu yang merupakan babak baru motorisasi di pulau ini. Kondisi inilah yang menyebabkan formasi sosial mulai terdefinisikan, berupa munculnya dua cara produksi dalam satu masyarakat, yang jika dilihat dari aspek teknologi yaitu perahu motor dan perahu layar. Penggabungan local knowledge masih tetap menjadi landasan utama dalam kegiatan produksi, khususnya penggunaan baca na gaukang serta penentuan waktu dalam kegiatan operasi penangkapan (turona / sala turo). Struktur produksi sudah bersifat semi-hirarki meskipun demikian tenaga kerja yang terserap masih tetap mengandalkan hubungan kekerabatan (patrinilineal /matriliniaeal). b. Dinamika Formasi Sosial 1. Periode 1970-1980 Cara produksi tradisional. Penggunaan Kekuatan produksi yg masih sederhana (meng, jala, bubu, ladung dsb). Perahu yg dipergunanakan jenis sampan (lepa-lepa), jarangka, soppe layar. Wilayah tangkap daerah sekitar pulau. Daerah pemasaran sekitar permukiman dengan motif produksi subsistensi. Penggunaan local knowledge menajadi landasan utama kegiatan produksi (baca na gaukang).

Hubungan produksi pada fase ini merupakan gambaran dari unit produksi rumah tangga dimana tenaga kerja utama adalah anggota keluarga itu sendiri, maka batas sosial hubungan produksi dalam kegiatan penangkapan adalah satuan keluarga inti yang merupakan “lingkungan domestik terkecil” dan bersifat egaliter, dalam arti tidak mengenal struktur hirarkis “majikan-buruh” atau “punggaha-sahi”. Pembagian kerja tidak ada, pembagian kerja hanya terlihat antara pria dan wanita yg merupakan kecenderungan saling melengkapi dalam pembagian kerja rumah tangga sebagai unit produksi. Tidak ada gejala eksploitasi surplus dalam hubungan produksi yang terjadi. Surplus produksi diserap oleh keluarga inti (nuclear 2

family). Cara produksi pada fase ini merupakan cara produksi subsisten sebagaimana pendasaran Kahn (1974). Cara produksi modern. Kekuatan Produksi. Tahun 1977 mulai dipergunakan motorisasi sebagai aspek teknologi yang mencirikan kekuatan produksi modern berupa perahu soppe motor layara. Teknologi alat tangkap masih mempergunakan seperti yang sebelumnya (pukat jepang, panambe atau ulambi). Investasi modal usaha yang cukup besar menyebabkan adopsi teknologi alat tangkap modern (gae) pada fase ini belum di introdusir. Penggunaan pengalaman-pengalaman dan local knowledge dari warisan generasi sebelumnya masih tetap terpraktekkan, sehingga tampilan ritual, magis, fetis masih menjadi adat kenelayanan yang tetap dilestarikan pada fase ini. Artinya penggunaan teknologi modern belum menggeser dari penggunaan pengetahuan local. Hubungan Produksi. Seiring dengan penggunaan motorisasi, pembagian kerja sederhana mulai tercipta, usaha produksi mulai banyak mengalami alih bentuk dari usaha yang terikat rumah tangga menjadi usaha kelompok yang terpisah rumah tangga (semihirarkis) meskipun sifatnya masih mengandalkan hubungan kekerabatan. Karena penggunaan modal usaha sudah mulai nampak meskipun masih terbatas turut pula mempengaruhi terjadinya perubahan sistim bagi hasil yang dulunya dikenal sebagai bage reso (membagi hasil pekerjaan) dengan sistim 2 : 1 menjadi sistim bagi hasil (sharing production) 5 : 1. Karena peranan merupakan sumber pendapatan maka surplus mulai terserap oleh pemilik usaha produksi tetapi masih tidak setegas eksploitasi surplus (sistim upah) oleh majikan dalam produksi kapitalis. Tampilan itu terkontekskan melalui kombinasi yang efektif antara remunerasi dan peran manipulasi normatif oleh pemilik usaha (punggaha) terhadap pekerja (sahi) dalam kerangka legitimasi patron-klien Formasi Sosial Masyarakat Nelayan Pulau Kambuno Periode Tahun 1970 – 1980. Aspek Karakteristik Kekuatan Produksi 1. Jenis Alat Produksi

Cara Produksi (Mode of Production) Cara Baru Cara Lama Cara Produksi Komersialis Cara Produksi Subsisten

• •

Jaring lingkar (Encricling Gill Net) ; Pukat jepang (muro-ami), Ulambi, Pukat pantai (Beach Seine) ; Panambe

• • • •

2. Sifat Alat Produksi 3. Tenaga Kerja Hubungan Produksi 1. Ukuran Unit Produksi

• •

Semi Modern Buruh nelayan Semi bebas

• •



Kelompok besar (10 – 20) orang



2. Struktur 3. Sifat

• •

Hirarkhis sederhana Semi eksploitatif dan non eksploitatif

• •

Pancing (Line Fishing) ; meng Bubu (Trap) Jala Lempar (Cast Net) Ladung (alat bantu penyelaman) Tradisional Buruh nelayan bebas Kelompok kecil (2-4) orang Egaliter Non-eksploitatif

Sumber : Rangkuman Bab VI-B-.2.a-b.

2. Periode 1970-1980 Cara Produksi Tradisional. Kekuatan Produksi. Marginilisasi alat-alat kerja tradisional dalam formasi sosial pada fase ini mulai terkontekskan akibat terjadinya pengkonsentrasian wilayah tangkap oleh nelayan luar pulau (Takalar, Bulukumba, Jenneponto, Sinjai dan sebagainya) di perairan Teluk Bone, sehingga penggunaan alat-alat kerja tradisional semakin terdesak daerah tangkapannya (fishing ground) yang sejatinya

3

menjadi wilayah tangkapan mereka akibat keterbatasan teknologi yang mereka miliki. Penggunaan alat-alat modern dipergunakan oleh nelayan yang memiliki akses terhadap modernisasi, sementara untuk nelayan yang tidak memiliki akses tersebut harus siap tersingkir akibat kalah “adu kekuatan” dengan teknologi modern dalam memperebutkan wilayah tangkap. Persoalan “kemiskinan, kesenjangan dan ketergantungan” mulai menjadi tampilan dalam ruang sosial masyarakat. Hubungan Produksi. Meskipun telah melibatkan extended family dalam kerja kelompok tetapi belum dapat dikategorikan sebagai cara produksi komersialis karena struktur dalam hubungan produksi masih teramati sebagai “pseudo-hirarki”. Konteks ini didasari oleh; (1) strukturisasi kerja belum terdefinisikan dengan jelas, (2) usaha produksi cenderung lebih bersifat egaliter, (3) penggabungan tenaga kerja dominan, sehingga penggunaan modal relatif minim, (4) penggunaan teknologi yang tradisional sehingga pengelolaan usaha dapat dikatakan subsisten, (5) sistim bagi hasil yang diberlakukan masih mencirikan hasil dari kerjasama kelompok sehingga tidak ada pembagian khusus Cara Produksi Modern Kekuatan Produksi. Pada fase ini investasi terhadap modernisasai tidak hanya dengan penggunaan motorisasi pada perahu, tetapi juga telah berkembang dibidang alat tangkap yaitu gae, tangki/tabung gas yang selanjutnya berubah lagi menjadi kompresor untuk penyelam teripang. Oleh karena itu surplus mulai tercipta dan dengan itu pula kelas pedagang (supra lokal) mulai bermunculan dalam masyarakat. Penggunaan alat tangkap tersebut merupakan babak baru dari perkembangan cara produksi modern di pulau ini. Transisi dari cari produksi komersialis ke cara produksi kapitalis dalam wujud lokal sebagai unsur dominan terdefinisikan karena investasi usaha dan kegiatan produksi sudah pada tataran intensif kapital melalui dukungan pengusaha kapital baik dari aras lokal maupun dari supra lokal. Meskipun demikian, local knowledge (baca na gaukang) bagi nelayan pada umumnya masih dianggap sebagai nilai yang fundamental dalam kegiatan operasional produksi pada fase ini. Hubungan Produksi. Perubahan kelembagaan kerja pun semakin terdefinisikan dalam kelompok kerja (working group) dengan munculnya satu lapisan baru yaitu lapisan tengah ( punggaha kecil / juragan lopi) sebagai pemimpin operasi dilaut, demikian halnya dengan spesialisasi struktur kerja juga mulai terdefinisikan dalam sistim bagi hasil. Aliansi yang semakin kuat antara elit ekonomi lokal dengan pengusaha supra lokal melalui skala investasi usaha berkonsukuensi pada terjadinya proses penetrasi kapitalisme yang semakin kuat (money-commodity-money) dalam ruang sosial masyarakat dalam bentuk peminjaman modal, penyicilan alat-alat produksi dan sebagainya. Pada fase inilah dikenal istilah “bos” dalam kegiatan produksi yang diperankan oleh pelaku ekonomi supra lokal dengan memamfaatkan punggaha-punggaha pulau sebagai perantara, sehingga pola-pola kapitalistik semakin “tumbuh subur” melalui bentuk pasar infut yang monopoli dan bentuk pasar outputnya yang monopsoni. Fakta sosial ini berimplikasi terhadap tampilan yang semakin jelas akan fenomena “kemiskinan, kesenjangan dan ketergantungan” oleh nelayan marginal.

Formasi Sosial Masyarakat Nelayan Pulau Kambuno Periode Tahun 1980 – 1990.

4

Aspek

Cara Produksi (Mode of Production) Cara Baru

Karakteristik

Cara Lama

Pergeseran Cara Produksi Komersialis ke Cara Produksi Kapitalis

Cara Produksi Komersialis



Gae (purse seine);





Tangki/tabung gas dan kompresor (penyelam teripang)



Cara Produksi Subsisten

KekuatanProduksi 1.

Jenis Alat Produksi

Jaring lingkar (Encricling Gill Net) ; Ulambi, Pukat pantai (Beach Seine) ; Panambe

• • • •

2. Sifat Alat Produksi • 3. Tenaga Kerja

Modern



Semi Modern



Pancing (Line Fishing) ; meng Bubu (Trap) Jala Lempar (Cast Net) Ladung (alat bantu penyelaman) Tradisional



Buruh nelayan semi bebas dan permanen



Buruh nelayan semi bebas



Buruh nelayan bebas

Kelompok kecil (2-4) orang Egaliter

HubunganProduksi 1.

Ukuran Unit Produksi



Kelompok besar (kurang lebih 10 orang)



Kelompok besar (10 – 20) orang



2.

Struktur



Hirarkhis



Hirarkhis sederhana



3.

Sifat



Eksploitatif dan semi eksploitatif

Semi eksploitatif dan non eksploitatif





Noneksploitatif

Sumber : Rangkuman Bab VI-B-.2.a-b.

3. Periode 1990- Sekarang Cara Produksi Lama. Kekuatan Produksi. Pada periode ini ditandai dengan meningkatnya skala investasi usaha produksi masyarakat nelayan khususnya kegiatan penyelaman biota laut (teripang). Fenomena usaha produksi penyelaman teripang periode pertengahan 1980-an semakin berkembang dan berlanjut sampai awal periode 1990-an dengan melalui mekanisme pemberian kredit/pinjaman oleh punggaha bonto bagi nelayannelayan pulau yang ingin memiliki usaha sendiri dengan teknologi yang lebih modern. Beberapa kasus menunjukkan bahwa modal yang dialokasikan dalam kegiatan produksi masyarakat bersumber dari jaringan kerja (net-work) yang mereka bangun sendiri, tanpa mengandalkan atau memanfaatkan kredit perbankan yang berdampak terhadap semakin kuatnya eksistensi lembaga-lembaga keuangan non-formal dengan pola yang kapitalistik baik dari aras lokal maupun supra lokal. Hubungan Produksi. Pola hubungan produksi punggaha-sahi yang dulunya elementer (punggaha bonto - juragan lopi – sahi) menjadi lebih kompleks lagi dengan kehadiran “bos” sebagai pemilik modal besar. Fenomena eksploitasi dan ketergantungan nelayan lokal terhadap pemilik modal dalam reproduksi, mempertegas berlakunya teori ketergantungan klasik dari Santos, (1971) bahwa kemiskinan dan ketergantungan yang dialami oleh nelayan marginal di pulau ini disebabkan oleh pengisapan surplus oleh pengusaha supra lokal yang berada diluar komunitas melalui pengembalian bantuan kapital, teknologi dan monopoli pembelian hasil produksi dengan harga yang murah.

5

Cara Produksi Baru. Kekuatan Produksi. Memasuki akhir tahun 1991 sampai dengan awal 1992, ditandai dengan munculnya permintaan komoditi sumberdaya perikanan baru sebagai komoditas perdagangan yang memiliki nilai ekonomis penting. Komoditas itu berupa lobster (udang karang) dan ikan hidup (kerapu, sunu dan napoleon) untuk konsumsi pasar ekspor (Hongkong dan Singapura) yang dipahami sebagai komoditas perdagangan baru bagi masyarakat nelayan pulau-pulau kecil yang sekaligus mempengaruhi cara produksi masyarakat yang dikembangkan sebelumnya. Dengan metode penampungan keramba jaring apung dan teknik penangkapan melalui cara pembiusan (investasi dan intensif capital yang besar) maka cara produksi ini tampil sebagai cara produksi kapitalis yang tidak hanya menimbulkan dehumanisasi tetapi juga deekonologis. Hubungan Produksi. Hubungan dominasi yang mencirikan hubungan produksi pada fase ini memiliki dua kutub penjabaran. Pertama, ketergantungan sosial kaum yang tak berpunya kepada pemilik kapital. Kedua, dorongan tanpa henti dan tanpa puas untuk mengakumulasi kapital bagi pemilik modal (kaum akumulator) menjadi keuntungan yang berlipat ganda. Oleh karena itu paham kapitalisme merupakan sebuah sistem yang didesain untuk mendorong ekspansi komersial melewati batas-batas lokal menuju skala nasional bahkan internasional. Bahkan hubungan-hubungan produksi melalui ikatan patronase yang dianggap nilai-nilai tradisi yang harus tetap dipertahankan (keamanan subsistensi) juga dimanfaatkan oleh pelaku ekonomi supra lokal (pengusaha kapitalis) dalam melegetimasi eksistensinya dalam ruang sosial masyarakat lokal. Formasi Sosial Masyarakat Nelayan Pulau Kambuno Periode Tahun 1990 – Sekarang. Aspek

Cara Produksi (Mode of Production) Cara Baru

Karakteristik

Cara Produksi Kapitalis

Cara Lama Transisi Cara Produksi Komersil ke Cara Produksi Kapitalis

Cara Produksi Komersialis

Cara Produksi Subsisten

Kekuatan Produksi 1. Jenis Alat



Keramba jaring • apung (penyelam ikan- • ikan karang)

Gae (purse seine);



Tangki/tabung gas dan kompresor (penyelam teripang)



Jaring lingkar (Encricling Gill Net) ; Ulambi, Pukat pantai (Beach Seine) ; Panambe



• •

2. Sifat Alat Produksi • 3. Tenaga Kerja



Modern Buruh nelayan semi bebas dan permanen



Modern





Buruh nelayan semi bebas dan permanen



Semi Modern Buruh nelayan semi bebas



Kelompok besar (10 – 20 org)





Pancing (Line Fishing) ; meng Bubu (Trap) Jala Lempar (Cast Net) Tradisio nal Buruh nelayan bebas

Hubungan Produksi 1. Ukuran Unit Produksi

2. Struktur





• Kelompok kecil (5 orang) Hirarkhis

Kelompok besar (kurang lebih 10 orang) •

Hirarkhis





Hirarkhis



Kelomp ok kecil (2-4) orang Egaliter

6

sederhana 3. Sifat



Eksploitatif



Eksploitatif & semi eksploitatif



Semi eksploitatif • dan non eksploitatif

Noneksploita tif

Sumber : Rangkuman Bab VI-B-.3.a-b.

2. Artikulasi Modernisasi Dalam Formasi Sosial Masyarakat a. Periode 1970-1980 : Modernisasi dan Gejala Bertahannya Tradisi Lama Koeksistensi Antara Cara Produksi. Meskipun penggunaan teknologi sedikitbanyaknya telah memunculkan struktur produksi yang eksploitatif, tetapi karena basis-basis tradisi masih tetap dipertahankan sehingga menjadi corak hubungan interaksional dalam komunitas. Maka pada fase ini masih dapat diasumsikan sebuah kehidupan komunitas yang homogen, dimana seluruh masyarakatnya berada dalam kesamaan pandangan, dan berpegang teguh pada basis-basis moral ekonomi sehingga koeksistensi antara cara produksi bersifat simetris. Kondisi ini menunjukkan sebuah prototipe pulau tradisional yang sangat damai dan sarat dengan kuatnya ikatan kekerabatan, kebersamaan serta gambaran yang harmonis antara mikro kosmos dengan makro kosmos sebagai satu kesatuan yang internal. Ciri dan Perkembangan Cara Produksi Baru. Artikulasi cara produksi baru (new mode of production) pada kurun periode ini, memperlihatkan warna etika subsistensi komunitas lokal yang masih tersisa khususnya dalam hubungan-hubungan produksi yang terjadi. Meskipun dari kekuatan produksi sudah memperlihatkan ciri yang dibangun oleh basis ekonomi rasional (modal) namun hubungan-hubungan produksi masih tetap terkonteskan dalam basis kebersamaan dengan pembenaran nilai-nilai komunalitas yang kuat, serta sistem kepercayaan dalam cara berproduksi. b. Periode 1980-1990 : Penegasan Cara Produksi Baru dalam Formasi Sosial Koeksistensi Antara Cara Produksi. Kecenderungan-kecenderungan baru yang lebih bernuansa mekanis dan rasional dengan sedikit tampilan ekonomi tradisional telah merekonstruksi kerangka dasar dan corak kehidupan yang terwujudkan melalui cara produksi baru (new mode of production) yang dikembangkan oleh masyarakat nelayan Pulau Kambuno pada fase ini. Parameter-parameter, nilai-nilai, dan pilihan-pilihan, mulai tidak hanya ditentukan lagi oleh kekuatan-kekuatan aras lokal sebagai komunitas yang integratif, tetapi juga mulai terkonteskan oleh pertimbangan-pertimbangan kekuatan ekonomi kapitalis supra lokal. Batasan cara produksi tradisional dan cara produksi modern yang dulunya begitu tipis, mulai nampak asimetris. Kesenjangan dan dominasi penggunaan teknologi modern berakibat pada makin terdesaknya nelayan tradisional dalam persaingan pemanfaatan sumberdaya laut. Demikian halnya orientasi yang dulunya dimotivasi oleh pertimbangan modal sosial dan moral ekonomi, mulai tererosi dengan orientasi ekonomi rasional yang mengacu pada surplus, pasar, dan uang. Ciri dan Perkembangan Cara Produksi Baru. Artikulasi modernisasi terdefinisikan melalui kegiatan produksi yang dijalankan menurut rasionalitas logika kapitalis, dengan tujuan perolehan keuntungan sebesar-besarnya, tetapi warna ekonomi moral tradisional tetap terkontekskan. meskipun tidak sepenuhnya tunduk oleh kekuatan-kekuatan tersebut. c. Periode 1990- Sekarang : Dominasi Cara Produksi Baru dalam Skala yang Diperluas Koeksistensi Antara Cara Produksi. Artikulasi modernisasi terdefenisikan melalui koeksistensi cara produksi yang saling berbenturan dalam ruang sosial masyarakat yang menyebabkan cara produksi baru dengan kekuatan teknologi yang dimiliki tampil dominan yang menyingkap inti sebuah “keserakahan sosial”. Indikasinya adalah cara produksi baru

7

tersebut lebih leluasa melakukan aktivitas penangkapan ikan dengan kekuatan teknologi modern yang dimilikinya dan menyingkirkan para nelayan tradisional yang terlebih dahulu menguasai wilayah perairan tersebut dengan penggunaan teknologi sederhana dan dukungan penerapan kearifan lokal dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Ciri dan Perkembangan Cara Produksi Baru. Artikulasi modernisasi dari ciri dan perkembangan cara produksi baru ini (pa’karamba) dalam formasi sosial masyarakat terkontekskan melalui perubahan hubungan produksi yang mulanya mengisyaratkan sebuah hubungan buruh dan majikan sebagai pola dasar kapitalisasi kembali di reartikulasikan dalam konteks hubungan punggaha, juragan lopi dan sahi dalam kerangka legitimasi patronase meskipun tampilannya sudah mengalami penyesuaian-penyesuaian berdasarkan kondisi logika rasionalitas kapitalis atau sintesis dari pendekatan tesis ekonomi moral (Scott, 1985) dan ekonomi rasional (Popkin, 1979). 3. Pengaruh Nilai Budaya Dan Etos Kerja Terhadap Formasi Sosial Baru a. Hubungan Nilai Budaya Bahari dan Etos Kerja terhadap Terbentuknya Formasi Sosial Baru Nilai-nilai budaya bahari yang melahirkan etos kerja masyarakat nelayan di Pulau Kambuno cukup berpengaruh terhadap terbentuknya formasi sosial baru, karena transformasi cara produksi tradisional ke cara produksi modern sedikit-banyaknya di motivasi oleh pengejaran status sosial yang dilatari oleh enam pilar nilai-nilai sosial budaya Bugis melalui wujud etos kerja dalam melakukan usaha (pekerjaan). Pengejaran status sosial tersadari oleh aktor hanya dapat dicapai lewat proses kerja keras untuk dapat melakukan perubahan status, baik dalam struktur produksi (menjadi punggaha) maupun dalam struktur sosial masyarakat “untuk dapat diperhitungkan orang”. Konteks palsafah nilai-nilai sosial dalam masyarakat senantiasa terpahami, terpraktekkan serta terjaga eksistensinya sehingga kepadanya menjadi pedoman tingkah laku dalam hubungan produksi dan sosial dalam wujud; kejujuran (alempureng), kecendikian (amaccang), kepatuhan (asitinajang), keteguhan (agettengeng), keusahaan (reso) dan siri’ (malu dan harga diri). Konteks kesalehan beragama melalui wujud penunaian ibadah haji juga merupakan stimulus yang melecut etos kerja aktor untuk dapat berusaha semaksimal mungkin dalam mencapainya. Sedang untuk pemaknaan nilai siri sebagai salah satu pilar utama nilai-nilai sosial dalam masyarakat, termaknai oleh aktor akan muncul ketika seseorang diperlakukan tidak patut. Berarti pula, pencapaian status sosial sebagai; topanrita, tobarani, tosugi, tosulesana, merupakan penegakan dari kepatutan yang dengan itu siri ditegakkan. b. Eksistensi Nilai Budaya Bahari dan Etos Kerja terhadap Perkembangan Formasi Sosial Baru Dominannya pola-pola kapitalisasi melalui hubungan produksi yang berlanjut luas ke hubungan sosial telah mendegradasi nilai–nilai tradisional sebagai basis tradisi masyarakat sehingga tampilan hubungan produksi dari perkembangan formasi sosial baru dalam sistem sosial dan ekonomi lokal bersifat eksploitasi di bawah kekuasaan orang-orang yang mengendalikan sarana produksi dan permodalan, Pengejaran status sosial dalam wujud etos kerja bagi nelayan marginal hanya berada dalam kondisi yang tersadari untuk harus dicapai, namun tersadari pula untuk sulit mencapainya karena adanya keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki dan hambatan-hambatan struktural yang tidak dapat diatasi, Penerapan nilai budaya yang melecut etos kerjanya hanya berada pada tataran kepatuhan saja kepada patron. Nilai asli yang selama ini menjadi pedomantingkah laku telah mengalami erosi, keterkungkungan psikologis tertampilkan melalui inferioritas dalam menghadapi polapola kapitalis dan disorganisasi kepribadian akibat konflik akut nilai tradisional dengan nilai modern (kapitalis) menjadi fakta yang telah menimbulkan krisis sosial 8

(dehumanisasi & deekonologis). Pengejaran status sosial tidak lagi efektif dapat melecut etos kerja aktor karena keterbatasan peranan yang tersedia atau ketidakmampuan menciptakan peranan, sehingga “kemiskinan, kesenjangan dan ketergantungan” menjadi tampilan yang diperankan oleh nelayan marginal.

KESIMPULAN Tahap berlangsungnya transformasi cara produksi yang menandai terbentuknya formasi sosial baru, diawali oleh diintroduksinya motorisasi kemudian berturut-turut alat tangkap gae (pukat cincing), tangki/tabung gas penyelam, kompresor, dan metode penampungan ikan hidup melalui keramba jaring apung. Pola-pola hubungan produksi dalam formasi sosial baru pada awalnya masih didominasi hubungan yang berbasis tradisi dalam kerangka legitimasi patronase. Namun dalam dinamikanya pola-pola kapitalisme semakin artikulatif sehingga tampilan kemiskinan, kesenjangan dan ketergantungan terpresentasikan dengan jelas dalam ruang sosial masyarakat. Pasca modernisasi dengan pola-pola yang kapitalistik, telah menyebabkan terjadi pendegradasian nilai-nilai tradisi, sehingga kekuatan tradisi tidak lagi efektif melecut etos kerja aktor dalam pengejaran status sosial tetapi justru tampil inferioritas dalam konteks kepatuhan menghadapi dominasi pola-pola kapitalis. Minimnya berbagai infrastruktur dalam mendukung kegiatan produksi nelayan di pulau ini serta tidak efektifnya pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah (institusi yang terkait) menyebabkan nelayan yang termaginalkan oleh arus modernisasi semakin terseret dan tergantung pada pola-pola kapitalisasi yang berdampak pada dehumanisasi dan deekonologis.

DAFTAR PUSTAKA Kahn, Joel S. 1974. Economic Integration and “the Peasant Economic: The Minangkabau (Indonesia). University of London. London. Miles, B. Matthew dan Huberman, A. Michael. 1992. Analisis Data Kualitatif. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Popkin, Samuel. 1979. The Rational Peasant: The Political Econimic of Rural Society in Vietnam. California University Pres. California. Salman, Darmawan. 2002. Tahap Transisi dalam Transformasi Industrial pada Komunitas Maritim di Sulawesi Selatan : Studi tentang Pergeseran Hubungan Industrial pada komunitas Industri Pembuatan Perahu, Wisata Pantai dan Penangkapan Ikan. (Disertasi) PPS-UNPAD. Bandung. Scott. 1985. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. LP3ES. Jakarta. Sitorus, Marlyn Tua. 1999. Pembentukan Golongan Pengusaha Tenun dalam Masyarakat Batak Toba. (Disertasi). PPS-IPB. Bogor. Suseno, Frans Magnis. 2000. Pemikiran Karl Marx : dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Gramedia. Jakarta.

9

Wright, Erik Olin. 1982. Batas-Batas Kelas dan Lokasi Kelas yang Kontradiktif dalam Giddens, Anthony, dan David Held, Perdebatan klasik dan Kontemporer mengenai Kelompok, Kekuasaan dan Komplik. Rajawali Pers. Jakarta. Yin, Rober K. 1996. Studi Kasus : Desain dan Metode. Rajawali Pers. Jakarta.

10

Related Documents