Deformitas Tungkai pada Regio Cruris Dextra yang disebabkan Fraktur Terbuka karena Trauma Maria Theodora de Rosari Kess* 102011264 Pendahuluan Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang, dan jaringan lunak di sekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap. Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh tulang patah, sedangkan pada fraktur tidak lengkap tidak melibatkan seluruh ketebalan tulang. Tertutup (simpel) dan terbuka (kompleks) adalah istilah yang sering dipakai untuk menjelaskan fraktur. Fraktur tertutup atau simple adalah fraktur dengan kulit yang tidak ditembus oleh fragmen tulang, sehingga tempat fraktur tidak tercemar oleh lingkungan. Secara teknik, fraktur terbuka atau kompleks adalah fraktur dengan kulit ekstremitas yang terlibat telah ditembus. Konsep penting yang perlu diperhatikan adalah apakah terjadi kontaminasi oleh lingkungan pada tempat terjadinya fraktur tersebut.1
================================================================== *Alamat korespondensi: Mahasiswa Kedokteran Semester 4 Universitas Kristen Krida Wacana Jalan Arjuna Utara no 6 Jakarta Barat 11470 Email:
[email protected]
1
Fragmen fraktur dapat menembus kulit pada saat terjadinya cedera, terkontaminasi, kemudian kembali hamper pada posisinya semula. Pada keadaan semacam ini maka operasi untuk irigasi, debridement dan pemberian antibiotika secara intravena mungkin diperlukan untuk mencegah terjadinya osteomielitis. Pada umumnya, operasi irigasi dan debridemen pada frakur terbuka harus dilakukan dalam waktu 6 jam setelah terjadinya cedera untuk mengurangi kemungkinan infeksi.1 Anamnesis Jenis anamnesis yang dapat dilakukan ialah autoanamnesis dan alloanamnesis. Autoanamnesis dapat dilakukan jika pasien masih berada dalam keadaan sadar. Sedangkan bila anamnesis pada bayi, anak ataupun pasien tidak sadar, maka dapat dilakukan alloanamnesis yang menyertakan kerabat terdekatnya yang mengikuti perjalanan penyakitnya. Untuk mendapatkan diagnosis terhadap suatu penyakit, yang harus dilakukan adalah menganamnesis pasien. Anamnesis harus dilakukan dengan sangat teliti dikarenakan dengan anamnesis maka diagnosis dapat tercapai hampir 80%.2,3 Wawancara yang baik seringkali sudah dapat mengarahkan masalah pasien ke diagnosis penyakit tertentu. Teknik anamnesis yang baik disertai dengan empati merupakan seni tersendiri dalam rangkaian pemeriksaan pasien secara keseluruhan dalam usaha untuk membuka saluran komunikasi antara dokter dengan pasien. Perpaduan keahlian mewawancarai dan pengetahuan yang mendalam tentang gejala (simptom) dan tanda (sign) dari suatu penyakit akan memberikan hasil yang memuaskan dalam menentukan diagnosis kemungkinan sehingga dapat membantu menentukan langkah pemeriksaan selanjutnya, termasuk pemeriksaan fisik dan penunjang.2,3 Anamnesis yang baik terdiri dari identitas, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat obstetri dan ginekologi (khusus wanita), riwayat penyakit dalam keluarga, anamnesis susunan sistem dan anamnesis pribadi (meliputi keadaan sosial ekonomi, budaya, kebiasaan, obat-obatan dan lingkungan.3 1. Identitas meliputi nama lengkap pasien, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, nama orang tua atau suami atau istri atau penanggung jawab, alamat, pendidikan, pekerjaan, suku bangsa dan agama.
2
2. Keluhan utama (chief complaint) adalah keluhan yang dirasakan pasien yang membawa pasien pergi ke dokter atau mencari pertolongan. Dalam menuliskan keluhan utama, harus disertai dengan indikator waktu, berapa lama pasien mengalami hal tersebut. Contoh: Seorang laki-laki berusia 30 tahun dibawa ke UGD RS setelah mengalami kecelakaan sepeda motor. Menurut warga, saat sedang mengendarai sepeda motornya, pasien tersebut ditabrak oleh mobil yang melaju dari arah kanan, lalu pasien terlempar dari sepeda motornya dan sempat terguling beberapa meter. Saat mengendarai sepeda motornya, pasien menggunakan helm. 3. Riwayat penyakit sekarang merupakan cerita yang kronologis, terinci dan jelas mengenai keadaan kesehatan pasien sejak sebelum keluhan utama sampai pasien datang berobat. Keluhan utama ditelusuri untuk menentukan penyebab dan diarahkan sesuai hipotesis yang dapat berubah bila jawaban pasien tidak cocok. Perubahan hipotesis selama wawancara akan menghindari timbulnya diagnosis sementara dan diagnosis diferential. Contoh : tanyakan apakah pasien beberapa saat setelah kejadian dalam keadaan sadar atau tidak sadar. Kemudian apakah pasien mengalami gejala yang lain seperti mual, muntah, sakit kepala dan lain sebagainya. 4. Riwayat penyakit dahulu bertujuan untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan adanya hubungan antara penyakit yang pernah diderita dengan penyakitnya sekarang. 5. Riwayat penyakit dalam keluarga penting untuk mencari kemungkinan penyakit herediter, familial atau penyakit infeksi. 6. Riwayat pribadi meliputi data-data sosial, ekonomi, pendidikan dan kebiasaan. Yang tidak kalah pentingnya adalah anamnesis mengenai lingkungan tempat tinggalnya, termasuk keadaan rumahnya, sanitasi, sumber air minum, ventilasi, tempat pembuangan sampah dan sebagainya.3 Pemeriksaan fisik Sebelum melakukan pemeriksaan fisis, dapat diperhatikan bagaimana keadaan umum pasien melalui ekspresi wajahnya, gaya berjalannya dan tanda-tanda spesifik lain yang segera tampak begitu kita melihat pasien. Keadaan umum pasien dapat dibagi atas tampak sakit ringan atau sakit sedang atau sakit berat. Hal lain yang segera dapat dilihat pada pasien adalah keadaan gizi dan habitus. Pemeriksaan fisis mempunyai nilai yang sangat penting untuk memperkuat temuan-temuan dalam anamnesis. Teknis pemeriksaan fisis meliputi pemeriksaan visual atau pemeriksaan pandang (inspeksi), periksa raba (palpasi), pemeriksaan ketok (perkusi) dan pemeriksaan dengar dengan menggunakan stetoskop (auskultasi).3 3
Teknik Pemeriksaan Pemeriksaan dimulai pada saat pasien memasuki ruangan dengan melihat/inspeksi (look) cara berjalan dan melenggang kakinya, juga posisi lutut saat berjalan, apakah simetris atau tidak. Perhatikan daerah pergelangan kaki dan kaki akan adanya deformitas, nodul, bengkak, kelainan kulit, corn (mata ikan), calluses (kapalan), plantar wart, ulkus. Kelainan pada jari kaki seperti hallux valgus dan hammer toes. Pada palpasi (feel), pemeriksa melakukan perabaan pada daerahdaerah sebagai berikut: bagian anterior sendi pergelangan kaki dan region cruris adanya nyeri tekan atau tidak, juga pastikan bila terdapat pembengkakan. Kemudian untuk pergerakan (range of motion), pemeriksa melakukan pemeriksaan dengan mengerakkan pergelangan kaki dan kaki pasien untuk gerakan plantar fleksi, dorsofleksi, eversi dan inverse.3,4 Di dalam skenario, pada pemeriksaan fisik, tanda-tanda vital dalam batas normal. Pada pemeriksaan fisik tampak luka terbuka pada region cruris dekstra 1/3 tengah bagian ventral dengan ukuran 5x2 cm, tepi luka tidak rata, sudut luka tumpul, tampak jembatan jaringan, tidak tampak adanya perdarahan aktif, tampak adanya penonjolan fragmen tulang. Ekstremitas bawah sebelah kanan terlihat adanya deformitas dan lebih memendek.4 Pemeriksaan jasmani khusus pada sistem muskuloskletal meliputi: 1. Gaya berjalan Gaya berjalan yang normal terdiri dari 4 fase yaitu heel strike phase, loading/stance phase, toe off phase dan swing phase. Pada heel strike phase, lengan diayun diikuti gerakan tungkai yang berlawanan yang terdiri dari fleksi sendi koksae dan ekstensi sendi lutut. Pada loading/stance phase, pelvis bergerak secara simetris dan teratur melakukan rotasi ke depan bersamaan dengan akhir gerakan tungkai pada heel strike phase. Pada toe off phase, sendi koksae ekstensi dan tumit mulai terangkat dari lantai. Pada swing phase, sendi lutut fleksi diikui dorsofleksi sendi talokruralis.4 2. Sikap/postur badan Perlu diperhatikan bagaimana cara pasien mengatur posisi bagian badan yang sakit. Sendi yang meradang biasanya mempunyai tekanan intra-artikular yang tinggi, oleh karena 4
itu pasien akan berusaha menguranginya dengan mengatur posisi sendi tersebut supaya seenak mungkin, biasanya dalam posisi setengah fleksi.4 3. Deformitas Walaupun deformitas sudah tampak jelas pada keadaan diam, tetapi akan lebih nyata pada keadaan gerak. Perlu dibedakan apakah deformitas tersebut dapat dikoreksi (misalnya disebabkan gangguan jaringan lunak) atau tidak dapat dikoreksi (misalnya restriksi kapsul sendi atau kerusakan sendi. Pada kaki ditemukan telapak kaki bagian depan melebar dan miring ke samping disertai subluksasi ibu jari kaki ke atas.4 Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan foto radiologi dari fraktur untuk menentukan lokasi dan luasnya, pemeriksaan jumlah darah lengkap jika dicurigai adanya infeksi, arteriografi dilakukan bila dicurigai adanya kerusakan vaskuler.5 Teknik pencitraan dapat membantu penegakan diagnosis, memungkinkan penilaian aktivitas/beratnya penyakit, distribusi penyakit, respons terhadap pengobatan secara obyektif, menilai komplikasi dan kelainan ekstraartikular serta meningkatkan pemahaman baru tentang proses penyakit. Beberapa pemeriksaan pencitraan yang penting dalam masalah tulang dan sendi ialah foto polos, tomografi, computerized tomography (CT-scan), magnetic resonance imaging (MRI), ultrasound, radionuclide imaging dan pengukuran densitas (kepadatan) tulang. Sangat diperlukan pengetahuan dasar tentang keuntungan dan keterbatasan pemeriksaan diatas, sehingga dapat diketahui pemeriksaan mana yang paling cost-effective.5 Foto Rontgen Pemeriksaan foto polos merupakan titik tolak sebagian besar pencitraan penyakitpenyakit tulang dan sendi walaupun mungkin setelah itu akan dilakukan pemeriksaan
5
MRI. Biayanya murah dan resolusi spatial tinggi, sehingga detil trabekula dan erosi kecil tulang ataupun fraktur tulang di dalam dapat dilihat dengan baik dengan posisi Anterior Posterior / Lateral. Jika diperlukan, resolusi dapat ditingkatkan dengan teknik pembesaran. Resolusi kontrasnya memang tidak sebaik MRI aau CT scan, tetapi pemeriksaan radiologi konvensional mudah didapat. Dosis radiasi yang dihasilkan pada pemeriksaan struktur perifer seperti tangan dan kaki relative rendah, sehingga pemeriksaan serial dapat dilakukan tanpa harus kuatir terhadap radiasi yang berlebihan.5 CT-scan Meskipun relatif mahal, CT-scan lebih murah daripada MRI. Resolusi spatial lebih baik daripada MRI, tetapi lebih buruk daripada foto konvensional. CT-scan dapat memperlihatkan kelainan jaringan lunak yang lebih baik dari foto polos, walaupun tidak sebaik MRI. CT-scan merupakan teknik yang sangat baik untuk mengevaluasi penyakit degeneratif diskus intervertebralis dan kemungkinan herniasi diskus pada orang tua. CTscan juga bermanfaat untuk mengevaluasi struktur di daerah dengan anatomi yang kompleks dimana struktur yang saling berhimpitan menyulitkan pandangan pada foto konvensional. Dosis radiasinya relatif tinggi.5 MRI MRI sanggup memperlihatkan struktur jaringan lunak yang tidak dapat diperlihatkan pemeriksaan radiologi konvensional. Teknik ini memperoleh infomasi struktur berdasarkan densitas proton dalam jaringan dan hubungan proton ini dengan lingkungan terdekatnya. MRI dapat memberi penekanan pada jaringan atau status metabolik yang berbeda-beda. Artinya, pencitraan yang berbeda dapat diperoleh dari tempat anatomi yang sama dengan mengubah parameter tertentu. MRI lebih mahal
6
daripada pemeriksaan pencitraan yang lain, karena harga peralatan dan waktu yang diperlukan untuk melakukan pemeriksaan. MRI bebas dari bahaya ionisasi akibat radiasi tapi medan magnet yang kuat dapat menggerakkan obyek metal seperti logam asing dalam mata, menyebabkan gangguan alat pacu jantung, memanaskan bahan logam sehingga menimbulkan luka bakar dan menarik benda berbahan logam ke dalam magnet. MRI sensitif terhadap adanya infeksi tulang karena perubahan sinyal dalam sumsum tulang. Karena sumsum tulang mempunyai sinyal tinggi, MRI menjadi sangat sensitif untuk mendeteksi kelainan tulang. Dalam praktek, mikrofraktur akibat trauma atau stress sering disebut home bruises tidak dikenal sebelum MRI.5 Diagnosis Banding Definisi Fraktur adalah rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang yang disebabkan adanya ruda paksa yang timbul secara mendadak. Selain itu, fraktur juga dapat didefinisikan sebagai rusaknya kontinuitas tulang normal yang disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih besar daripada yang dapat diserap oleh tulang. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Fraktur dapat terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsi. Tanda pasti fraktur terdiri dari pemendekan (shortening), rotasi, angulasi (pembengkokan) dan adanya gerakan yang berbeda (false movement). Sedangkan tanda tidak pasti terjadinya fraktur berupa oedem, nyeri dan memar. 1,6 Ada tiga jenis fraktur terbuka berdasarkan derajatnya masing-masing: Tipe I: Luka kecil kurang dan 1 cm, terdapat sedikit kerusakan jaringan, tidak terdapat tandatanda trauma yang hebat pada jaringan lunak. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat simpel, tranversal, oblik pendek atau komunitif.
7
Tipe II: Laserasi kulit melebihi 1 cm tetapi tidak terdapat kerusakan jaringan yang hebat atau avulsi kulit. Terdapat kerusakan yang sedang dan jaringan. Tipe III: Terdapat kerusakan yang hebat pada jaringan lunak termasuk otot, kulit dan struktur neovaskuler dengan kontaminasi yang hebat. Dibagi dalam 3 sub tipe:1. tipe IIIA : jaringan lunak cukup menutup tulang yang patah. 2. tipe IIIB : disertai kerusakan dan kehilangan janingan lunak, kulit tidak dapat menutupi tulang 3. tipe IIIC : disertai cedera arteri yang memerlukan repair segera.1,6 Fraktur dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 1.Berdasarkan tempat (Fraktur humerus, tibia, clavicula, dan cruris dst). 2.Berdasarkan luas dan garis fraktur terdiri dari : fraktur komplit (garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua korteks tulang) dan fraktur tidak komplit (bila garis patah tidak melalui seluruh garis penampang tulang). 3.Berdasarkan bentuk dan jumlah garis patah : fraktur kominutif (garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan), fraktur segmental (garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan), fraktur multipel ( garis patah lebih dari satu tapi pada tulang yang berlainan tempatnya, misalnya fraktur humerus, fraktur femur dan sebagainya). 4.Berdasarkan posisi fragmen : undisplaced (tidak bergeser) / garis patah komplit tetapi kedua fragmen tidak bergeser, displaced (bergeser) / terjadi pergeseran fragmen fraktur 5.Berdasarkan hubungan fraktur dengan dunia luar : tertutup / terbuka (adanya perlukaan di kulit). 6.Berdasar bentuk garis fraktur dan hubungan dengan mekanisme trauma : Garis patah melintang(tranversal), oblik/miring, spiral/melingkari tulang, kompresi, avulsi/trauma tarikan atau insersi otot pada insersinya.
8
7.Berdasarkan kedudukan tulangnya : ada/ tidaknya dislokasi. 1) At axim : membentuk sudut. 2) At lotus : fragmen tulang berjauhan. 3) At longitudinal : berjauhan memanjang. 4) At lotus cum contractiosnum : berjauhan dan memendek.1,6 Diagnosis Kerja Pada pemeriksaan fisik tampak luka terbuka pada regio cruris dekstra 1/3 tengah bagian ventral dengan ukuran 5x2 cm, tepi luka tidak rata, sudut luka tumpul, tampak jembatan jaringan, tidak tampak adanya perdarahan aktif, tampak adanya penonjolan fragmen tulang. Ekstremitas bawah sebelah kanan terlihat adanya deformitas dan lebih memendek. Sehingga digolongkan dalam fraktur terbuka tibia desktra 1/3 tengah derajat II.6 Mekanisme Fraktur Fraktur dapat diakibatkan oleh beberapa hal, yaitu: fraktur akibat peristiwa trauma. Sebagian fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba dan berlebihan yang dapat berupa pemukulan, penghancuran, perubahan pemuntiran atau penarikan. Bila tekanan yang kuat langsung mengenai tulang, besar kemungkinan dapat menyebabkan fraktur pada tempat yang terkena dan jaringan lunak yang ada di sekitarnya pasti akan ikut rusak. Fraktur akibat peristiwa kelelahan atau tekanan, retak dapat terjadi pada tulang seperti halnya pada logam dan benda lain akibat tekanan berulang-ulang. Keadaan ini paling sering ditemukan pada tibia, fibula atau metatarsal terutama pada atlet, penari atau calon tentara yang berjalan baris-berbaris dalam jarak jauh. Fraktur patologik karena kelemahan pada tulang, dapat terjadi oleh tekanan yang normal kalau tulang tersebut lunak (misalnya oleh tumor) atau tulang-tulang tersebut sangat rapuh.1 Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan. Tapi, apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, 9
maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Ketika tulang patah akan terjadi kerusakan di korteks, pembuluh darah, sumsum tulang dan jaringan lunak. Akibat dari hal tersebut adalah terjadi perdarahan, kerusakan tulang dan jaringan sekitarnya. Keadaan ini menimbulkan hematoma pada kanal medulla antara tepi tulang di bawah periosteum dengan jaringan tulang yang mengatasi fraktur. Terjadinya respon inflamasi akibat sirkulasi jaringan nekrotis adalah ditandai dengan vasodilatasi dari plasma dan leukoit. Ketika terjadi kerusakan tulang, tubuh mulai melakukan proses penyembuhan untuk memperbaiki cedera, tahap ini menunjukkan tahap awal penyembuhan tulang. Hematoma yang terbentuk bisa menyebabkan peningkatan tekanan dalam sumsum tulang yang kemudian merangsang pembebasan lemak dan gumpalan lemak tersebut masuk kedalam pembuluh darah yang mensuplai organ-organ yang lain. Hematoma menyebabkan dilatasi kapiler di otot, sehingga meningkatkan tekanan kapiler, kemudian menstimulasi histamin pada otot yang iskhemik dan menyebabkan protein plasma hilang dan masuk ke interstitial. Hal ini menyebabkan terjadinya edema. Edema yang terbentuk akan menekan ujung saraf, yang bila berlangsung lama bisa menyebabkan Comportement Syndrome. Pada scenario karena disebabkan kecelakaan lalu lintas termasuk dalam trauma langsung dengan energy tinggi.1 Manifestasi klinis Nyeri terus-menerus dan bertambah berat sampai fragmen tulang diimobilisasi, hematoma, dan edema. Terjadi pula deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah. Mengakibatkan terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat di atas dan di bawah tempat fraktur. Krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur.6
10
Stabilisasi fraktur Perdarahan akibat robekan pembuluh darah besar merupakan situasi satu-saunya dimana cedera ekstremitas dapat segera membahayakan. Tetapi, fraktur tulang panjang multiple akhirakhir ini diketahui mempunyai dampak buruk pada daya tahan hidup setelah trauma. Peran kritis fiksasi dini dalam perawatan korban cedera multiple tidak dapat diremehkan. Fiksasi dini fraktur tulang panjang mengurangi insiden adult respiratory distress syndrome, sindrom embolisasi lemak, dan timbulnya sepsis serta kegagalan banyak organ. Selanjutnya, mengurangi respon inflamasi dan kemampuan untuk memobilisasi penderita dengan tepat serta memulai makanan awal.6 Penatalaksanaan Operative Prinsip debridement adalah untuk membersihkan kontaminasi yang terdapat di sekitar fraktur dengan melakukan pengangkatan terhadap jaringan yang non viabel dan material asing, seperti pasir yang melekat pada jaringan lunak. Dilakukan penilaian pada sekitar jaringan sekitar tulang, cedera pembuluh darah, tendon, otot, dan saraf. Debridement jaringan otot dipertimbangkan jika otot terkontaminasi berat dan kehilangan kontraktilitas. Debridement pada tendon mempertimbangkan kontraktilitas tendon, sedangkan debridement pada kulit dilakukan hingga timbul perdarahan. Pada fraktur terbuka grade IIIb dan IIIc dilakukan serial debridement yang diulang dalarn selang waktu 24-72 jam untuk tercapainya debridement definitif.7,8 Tehnik Operasi Sebelum dilakukan debridement, diberikan antibiotik profilaksis yang dilakukan di ruangan emergency. Yang terbaik adalah golongan sefalosforin. Biasanya dipakai sefalosforin golongan pertama. Pada fraktur terbuka tipe III, diberikan tambahan berupa golongan
11
aminoglikosida, seperti tobramicin atau gentamicin. Golongan sefalosforin golongan ketiga dipertimbangkan di sini. Sedangkan pada fraktur yang dicurigai terkontaminasi kuman clostridia, diberikan penicillin.8 Peralatan proteksi diri yang dibutuhkan saat operasi adalah google, boot dan sarung tangan tambahan. Sebelum dilakukan operasi, dilakukan pencucian dengan povine iodine, lalu drapping area operasi. Penggunaan tidak dianjurkan, karena kita akan melakukan pengamatan terhadap perdarahan jaringan. Debridement dilakukan pertama kali pada daerah kulit. Kemudian rawat perdarahan di vena dengan melakuan koagulasi. Buka fascia untuk menilai otot dan tendon. Viabilitas otot dinilai dengan 4C, “Color, Contractility, Circulation and Consistence”. Lakukan pengangkatan kontaminasi canal medullary dengan saw atau rongeur. Curettage canal medulary dihindarkan dengan alasan mencegah infeksi ke arah proksimal. Irigasi dilakukan dengan normal saline. Penggunaan normal saline adalah 6-10 liter untuk fraktur terbuka grade II dan III. Tulang dipertahankan dengan reposisi. Bisa digunakan ekternal fiksasi pada fraktur grade III. Penutupan luka dilakukan jika memungkinkan. Pada fraktur tipe III yang tidak bisa dilakukan penutupan luka, dilakukan rawat luka terbuka, hingga luka dapat ditutup sempurna.7,8 Penanggulangan fraktur terbuka Obati sebagai suatu kegawatan. Evaluasi awal dan diagnosis kelainan yang mungkin akan menjadi penyebab kematian. Berikan antibiotik dalam ruang gawat darurat, di kamar operasi dan setelah operasi. Segera lakukan debridement dan irigasi yang baik. Ulangi debridemen 24-72 jam berikutnya diikuti dengan stabilisasi fraktur. Biarkan luka terbuka antara 5-7 hari. Lakukan bone graft autogenous secepatnya. Rehabilitasi anggota gerak yang terkena.8 Tahap pengobatan patah tulang terbuka
12
Pembersihan luka kemudian lakukan eksisi jaringan yang mati dan disangka mati. Berikan pengobatan patah tulang sesuai dengan indikasi dan penentuan jenis traksi tepat agar tarikan bisa efektif. Pada fraktur tulang terbuka segera dilakukan pemberian antibiotik spektrum luas untuk pencegahan tetanus.8 Ada empat konsep dasar dalam menangani fraktur, yaitu : a.
Rekognisi
Rekognisi dilakukan dalam hal diagnosis dan penilaian fraktur. Prinsipnya adalah mengetahui riwayat kecelakaan, derajat keparahannya, jenis kekuatan yang berperan dan deskripsi tentang peristiwa yang terjadi oleh penderita sendiri. b.
Reduksi
Reduksi adalah usaha / tindakan manipulasi fragmen-fragmen seperti letak asalnya. Tindakan ini dapat dilaksanakan secara efektif di dalam ruang gawat darurat atau ruang bidai gips. Untuk mengurangi nyeri selama tindakan, penderita dapat diberi narkotika IV, sedative atau blok saraf lokal. c.
Retensi
Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus dimobilisasi atau dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Immobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi gips, bidai, traksi dan teknik fiksator eksterna. d.
Rehabilitasi
Merupakan proses mengembalikan ke fungsi dan struktur semula dengan cara melakukan ROM aktif dan pasif seoptimal mungkin sesuai dengan kemampuan klien. Latihan isometric dan setting otot. Diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan meningkatkan peredaran darah.7
13
Imobilisasi dengan gips Cara Crueta setelah luka dibersihkan dengan debridement tetap biarkan terbuka tidak perlu dijahit. Setelah tulangnya direposisi, gips dipasang langsung tanpa pelindung kulit kecuali pada derajat SIAS, kalkaneus dan tendo Achilles. Gips dibuka setelah berbau dan basah. Cara ini sudah ditinggalkan. Dahulu banyak dikerjakan pada jaman perang. Cara long leg plaser sama seperti cara Crueta hanya untuk fraktur terbuka dibuat jendela setelah beberapa hari di atas luka. Dari lubang jendela ini luka dirawat sampai sembuh.6 Dengan memakai pen di luar tulang (fixateur externa) merupakan cara yang sangat baik untuk fraktur cruris derajat III. Perawatan luka yang luas di luar cruris sangat mudah. Macammacam bentuk fiksateur eksterna diantaranya Judet fiksateur eksterna, Roger Anderson Hoffman, screw + methyl methacrylate (INOE teknik).6 Komplikasi Secara umum, komplikasi akibat fraktur yang mungkin terjadi antara lain: komplikasi awal, kerusakan arteri dan Compartement Syndrome. Nyeri berhubungan dengan spasme otot, edema dan cedera pada jaringan lunak. Resiko tinggi terhadap trauma berhubungan dengan kehilangan integritas tulang. Resiko tinggi terhadap disfungsi terhadap disfungsi neurovaskuler prifer berhubungan dengan penurunan atau intrupsi aliran darah, edema berlebihan, hipovolemia. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan aliran darah/emboli lemak. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka/tulang neuromuskuler. Kerusakan integrasi jaringan kulit berhubungan dengan fraktur terbuka, bedah perbaikan, pemasangan traksi pen, kawat, atau sekrup. Kurang pengetahuan terhadap kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang paparan informasi.6 Dini
14
Sindrom kompartemen terutama terjadi pada fraktur proksimal tibia tertutup. Komplikasi ini sangat berbahaya karena dapat menyebabkan gangguan vaskularisasi tungkai bawah yang dapat mengancam kelangsungan hidup tungkai bawah. Yang paling sering terjadi yaitu sindrom kompartemen anterior. Mekanisme ini terjadi pada fraktur tibia yang terdapat perdarahan intrakompartemen, hal ini akan menyebabkan tekanan intrakompartemen meninggi, menyebabkan aliran balik darah vena terganggu. Hal ini akan menyebabkan odem. Dengan adanya odem, tekanan intrakompartemen makin meninggi sampai akhirnya sedemikian tinggi sehingga menyumbat arteri di intrakompartemen. Gejala yang didapatkan berupa rasa sakit pada tungkai bawah dan ditemukan parestesia. Rasa sakit akan bertambah bila jari digerakkan secara pasif. Kalau hal ini berlangsung cukup lama dapat terjadi paralise pada oto-otot ekstensor halusis longus, ekstensor digitorum longus dan tibial anterior. Penanganan dalam waktu kurang dari 12 jam harus dilakukan fasiotomi.6 Lanjut Malunion biasanya terjadi pada fraktur yang kominutif sedang imobilisasinya longgar, sehingga terjadi angulasi dan rotasi. Untuk memperbaiki perlu dilakukan osteotomi. Delayed union terutama terjadi pada fraktur terbuka yang diikuti dengan infeksi atau pada fraktur yang kominutif. Hal ini dapat diatasi dengan operasi tandur alih tulang spongiosa. Non union disebabkan karena terjadi kehilangan segmen tulang tibia disertai dengan infeksi. Hal ini dapat diatasi dengan melakukan bone grafting. Kekakuan sendi disebabkan karena pemakaian gips yang terlalu lama. Pada persendian kaki dan jari kaki biasanya terjadi hambatan gerak. Hal ini dapat diatasi dengan fisioterapi.6 Kesimpulan
15
Fraktur terbuka pada tibia dekstra 1/3 medial derajat II adalah kasus trauma muskuloskletal maka diperlukan tindakan segera cuci dan debridement yang baik. Kalau perlu, dibuat insisi baru untuk reposisi secara terbuka. Semua gips sirkuler yang dipasang pada fraktur terbuka , sesudah tindakan harus di belah/split. Kontrol x-ray hasil tindakan dan berikan nasihat pada pasien tentang gejala yang membahayakan, obat-obatannya kemudian waktu kontrol di ulang lagi. Daftar Pustaka 1. Carter, Michael. Fraktur dan dislokasi. Dalam: Price SA dan Wilson LM. Patofisiologi: konsep klinis proses penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC; 2012.h. 1365-8. 2. Supartondo, Setiyohadi B. Buku ajar ilmu penyakit dalam: Anamnesis. Jilid I. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing;2009. hal. 25-7. 3. Abdurrahman N, et al. Penuntun anamnesis dan pemeriksaan fisis. Cetakan ke-3. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2005. h. 45 4. Isbagio H, Setiyohadi B. Anamnesis dan pemeriksaan fisis penyakit muskuloskletal. Dalam: Sudoyo AW, Idrus A, editors. Buku ajar penyakit dalam. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing; 2009. h. 2447-8. 5. Albar Z. Pemeriksaan pencitraan dalam bidang reumatologi. Dalam: Sudoyo AW, Idrus A, editors. Buku ajar penyakit dalam. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing; 2009.h. 24723. 6. Simbardjo, Djoko. Fraktur ekstremitas bawah. Dalam: Pusponegoro AD, Kartono D, editors. Kumpulan kuliah ilmu bedah. Jakarta : Binarupa Aksara Publisher. h.496-9. 7. Jurkovich dan Carrico. Trauma: penanganan cedera akut. Dalam: Sabiston, DC dan Lyerly HK. Buku teks ilmu bedah. Jakarta: Binarupa Aksara; 2000.h. 177. 8. Brunner & Suddart. Buku Ajar Medikal Bedah. Edisi 8. Vol 3. Jakarta : EGC; 2009. h.862-71.
16
17