Dominasi Perempuan Dalam Dunia Pendidikan

  • Uploaded by: Elis Setiawati
  • 0
  • 0
  • August 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Dominasi Perempuan Dalam Dunia Pendidikan as PDF for free.

More details

  • Words: 5,406
  • Pages: 22
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penulisan Persoalan gender bukanlah persoalan baru dalam kajian-kajian sosial, hukum, keagamaan, pendidikan maupun yang lainnya. Namun demikian, kajian tentang gender masih tetap aktual dan menarik, mengingat masih banyaknya masyarakat khususnya di Indonesia yang belum memahami persoalan ini dan masih banyak terjadi berbagai ketimpangan dalam penerapan gender sehingga memunculkan terjadinya ketidakadilan gender. Dalam dunia pendidikan banyak sekali praktekpraktek budaya diskriminasi terhadap perempuan, yang terjadi di lingkungan pendidikan diantaranya adalah perempuan tidak diberikan hak untuk memperoleh pendidikan layaknya laki-laki, diskriminasi hak untuk memperoleh pendidikan ini terjadi karena adanya stereotype bahwa kodrat perempuan adalah menjadi ibu rumah tangga, mengurus dapur dan anak-anaknya sehingga perempuan dianggap tidak perlu sekolah tinggi-tinggi. Bahwasanya perbedaan gender melahirkan ketidakadilan bagi laki-laki dan terutama bagi perempuan. terdapat banyak manifestasi ketidakadilan gender diantaranya adalah subordinasi yaitu anggapan bahwa perempuan itu irasional atau emosional sehingga perempuan tidak dapat memimpin. Terlepas dari permasalahan pendidikan yang ada, anggapan bahwa kodrat perempuan adalah menjadi ibu rumah tangga, mengurus dapur, dan lain sebaginya sehingga perempuan dianggap tidak perlu sekolah ke jenjang yang lebih tinggi serta adanya anggapan bahwa perempuan itu irasional atau emosional lambat laun seiring perkembangan zaman maka anggapan itu perlahan kini telah berubah. Terlihat pada saat ini kaum perempuan pun banyak mendominasi di dunia pendidikan di jenjang perguruan tinggi. Hal ini terlihat dari jumlah mahasiswi serta banyaknya jumlah perempuan yang berprestasi dalam akademik. Selain untuk mendapatkan hak pendidikan, di Indonesia sebenarnya telah menerapkan kesetaraan gender dalam tatanan organisasi dari mulai organisasi

1

yang kecil hingga pemerintahan. Buktinya ialah perempuan pun memiliki peranan yang sama dalam hal menduduki jabatan tertentu dalam suatu institusi. Fenomena ini terjadi diberbagai institusi, salah satunya terjadi pada prodi Pendidikan Sosiologi di Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Pendidikan Indonesia, salah satu contohnya adalah dari jumlah mahasiswa angkatan 2013 yang berjumlah 87 mahasiswa, 61 nya adalah perempuan. Hal ini sangat jelas terlihat bahwa kuantitas perempuan telah mendominasi. Dalam prestasi akademik pun yang menjadi mahasiswa berprestasi didominasi oleh perempuan. Dalam jabatan ketua prodi pun diduduki oleh perempuan. Maka demikian, makalah ini disusun dengan maksud untuk memberikan deksripsi mengenai dominasi perempuan dalam dunia pendidikan serta hal-hal yang berkaitan dengan dominasi perempuan dalam dunia pendidikan tersebut.

B. Rumusan Masalah Berikut rumusan masalah dari makalah ini: a. Bagaimana konsep pengertian gender? b. Bagaimana permasalahan gender di masyarakat? c. Bagaimana gender dalam dunia pendidikan? d. Bagaimana emansipasi pendidikan dan feminisme? e. Bagaimana dominasi perempuan dalam dunia pendidikan?

C. Tujuan Penulisan 1. Tujuan umum Tujuan umum dari penulisan makalah ini adalah untuk mendeskripsikan halhal yang berkaitan tentang dominasi perempuan dalam dunia pendidikan.

2. Tujuan khusus a. Untuk mengetahui konsep pengertian gender. b. Untuk mengetahui permasalahan gender di masyarakat. c. Untuk mengetahui gender dalam dunia pendidikan.

2

d. Untuk mengetahui emansipasi pendidikan dan feminisme. e. Untuk mengetahui dominasi perempuan dalam dunia pendidikan.

D. Manfaat Penulisan 1. Manfaat Teoritis Manfaat dari penulisan makalah ini yaitu agar dapat mendeskripsikan hal-hal yang terkait dengan dominasi perempuan dalam dunia pendidikan.

2. Manfaat Praktik a.

Bagi penyusun, makalah ini bermanfaat sebagai literatur mengenai deskripsi dominasi perempuan dalam dunia pendidikan.

b.

Bagi pembaca, makalah ini bermanfaat sebagai sumber pengetahuan dan wawasan mengenai deskripsi perempuan dalam dunia pendidikan.

3

BAB II KAJIAN TEORI

A. Pengertian Gender Pada awal perkembangannya kata gender jika dilihat dari kamus besar bahasa Indonesia tidak dibedakan dari konsep seks di masyarakat, sehingga terjadi kerancuan pemahaman dan penggunaan konsep gender dan seks di masyarakat. Sementara dilain pihak menurut women’s studies Encylopedia dalam Sulaeman dan Homzah (2010: halaman 2) menjelaskan bahwa “gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam peran, prilaku, mentalis, dan karakter emosional antar laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat” sehingga konsep gender secara mendasar berbeda dengan jenis kelamin biologis hal ini dikarenakan jenis kelamin yang dimiliki laki-laki dan perempuan adalah kodrat (pemberian tuhan) sedangkan jalan yang mendajikan seseorang menjadi femisitas dan maskulinitas adalah gabungan antara faktor biologis dan interpetasi biologis oleh kultur sosial Murniati (2004:halaman 60) menyatakan gender memiliki beberapa asumsi pokok yaitu: 1. Gender menyangkut kedudukan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat: hubungan laki-laki dan perempuan terbenuk secara sosio kultural dan bukan dasar biologis (alamiah). 2. Secara sosio kultural, hubungan ini mengambil bentuk dalam dominasi lakilaki dan subordinasi perempuan. 3. Pembagian kerja dan pembedaan

yang bersifat sosial sering kali

dinaturalisasikan (dianggap kodrat) melalui ideolosi, mitos dan agama. 4. Gender menyangkut stereotip feminine dan maskulin, dalam streotip ini gender menyangkut suatu ideology yang melatarblakangi pola pikir manusia untuk membuat aturan main dalam kehidupan bermasyarakat sehingga terbentuk struktur budaya patriarki.

4

Pernyataan yang dikemukakan oleh murniati juga didukung oleh pernyataan Mc. Donal dalam Sulaeman dan Homzah (2010: halaman 3) ia menyatakan bahwa “dalam budaya patriarki (budaya yang bersifat phallo-centris) maskulinitas berperan sebagai norma sentral sekaligus pertanda bagi tatanan simbolis masyarakat, yaitu memberikan privillage pada jenis kelamin laki-laki untuk mengakses material basic of power dari pada mereka yang berjeni kelamin perempuan”. Dari dua pernyataan tersebut kita dapat mengetahi bahwa gender juga dapat diartikan sebagai pembagian peran kedudukan dan tugas antara laki-laki dan perempuan yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan sifat perempuan dan lakilaki yang diangkap pantas sesuai dengan norma-norma adat istiadat, kepercayaan atau kebiasaan masyarakat, namun pernyataan ini dianggap tidak adil oleh kaum perempuan, hal ini dekarenakan unsur penyangga ini membentuk image, mitos, sosok serta control pada tatanan struktur makro dan terefleksi dalam system dominasi dan superioritas laki-laki dimana perempuan dikuasai.

B. Permasalahan Gender di Masyarakat Ideology gender menghasilkan pandangan masusia terhadap peran jenis dalam masyarakat. Peran jenis (sex role) adalah suatu kelompok prilaku, tipe, dan sikap yang dimiliki oleh suatu jenis tertentu dan tidak dimiliki oleh jenis lainnya, dengan adnya peran jenis maka akan menimbulkan stereotip jenis. Stereotip jenis adalah pembekuan suatu pandangan terhadap kelompok manusia dengan memberi ciri-ciri tertentu tanpa memperhatikan variasi perseorangan, sehingga sudah ditentukan dan tidak dapat diganggu gugat bagaimana pandangan wanita “sesungguhnya” dan bagaiman laki-laki “sesungguhnya” dan tidak ada alas an untuk keluar dari ciri yang telah ditentukan dalam masyarakat. Hal ini lah yang melandasi permasalahanpermasalahan berbasis gender. Permasalahan-permasalahan berbagis gender umumnya adalah kekerasan atau ketidakadilan terhadap kaum wanita, hal ini dikarenakan idiologi gender mengganggap wanita sebagai mahluk yang lembut, penyabar, mudah dikendalikan, emosional, ulet dan beberapa sifat lembut yang lainnya, sedangkan laki-laki di bentuk

5

dengan sifat yang tegas, pantang menyerah, fisik yangkuat, mental yang lebih kuat menhadapi tekanan, sehingga membatasi ruang gerak perempuan yang kebanyakan di cirikan dengan sifat yang lamah lembut. Ideology gender ini menghasilkan beberapa permasalahan gender diantaranya adalah: 1. Dalam dimensi keluarga Sebagai suatu satuan terkecil dalam masyarakat susunan keluarga juga menempatkan laki-laki sebagai pemimpin atau kepala keluarganya, yang mengontrol kegiatan produksi, reproduksi, ruang gerak dan seksualitas perempuan, selain itu terdapat hirarki dimana posisi laki-laki lebih tinggi dan berkuasa, sedangkan perempuan lebih rendah dan dikuasai. Dan ini juga yang selalu diajarkan dalam keluarga kepada anak-anaknya, anak laki-laki diajarkan untuk lebih bertanggung jawab karena laki-laki anak penjadi orang yang bertanggung jawab bagi keluarganya, dan perempuan diajarkan lembut, sabar, dan mempekerjakan pekerjaan rumahtangga. 2. Dalam dimensi struktur sosial Dalam masyarakat perempuan dianggap sebagai suborinat laki-laki dan memberi hal kepa laki-laki untuk mengontrol permpuan laki-laki menempatkan diri mereka sebagai kelompok dominan yang mengendalikan seksualitas dan identitas gender perempuan. Perempuan dikondisikan untuk menerima posisi dan perannya sesuai dengan apa yang diinginkan laki-laki dan laki-laki mengontrol perempuannya agar perempuan mematuhi. 3. Dalam perspektif ekonomi Dalam setiap keluarga laki-laki dianggap sebagai pencari nafkah utama, asumsi ini berangkat dari ideology laki-laki lebih memiliki fisik yang kuat, serta mental yang lebih kuat menghadapi tekanan dan perempuan lemah. Sehingga wanita selalu diidentikan dengan pekerjaan rumah ataupun pekerjaan diluar rumah yang tidak banyak menyita waktu, pekerjaan yang lembut, seperti Guru, Perawat, Bidan, Asisten rumah Tangga dll, memang banyak banyak batasan batasan wanita dalam menentukan pekerjaannya hal ini dikarenakan wanita tidak

6

akan terlepas dari kontruksi masyarakat bahwa wanitalah yang bertanggung jawab atas urusan keluarganya sehingga wanita memiliki pekerjaan ganda baik di public dan di rumah sebagai ibu rumah tangga. Sedangkan laki-laki diidentikan segan pekerjaan yang maskulin seperti pekerjaan kantoran, pejabat pemerintahan, serta laki-laki umumnya adalah pemegang jawabat penting dalam dunia public. Sehingga banyak laki-laki yang mengharapkan pekerjaan yang lebih maskulin dan begitu pula dengan wanita, hal ini yang membuat ketidak abilan atau ketidak merataan jenis pekerjaan dengan gendernya 4. Dalam pendidikan Jika dulu masyarakat belum menyadari pentingnya pendidikan, maka laki-laki lah yang diperbolehkan mengenyam pendidikan tinggi dan perempuan jika dianggap telah bisa membaca dan menulis maka tidak perlu memiliki pendidikan yang lebih tinggii lagi, perempuan diajarkan untuk mengurus keluarganya, baik itu memasak maupun membersihkn rumah, namun pada era modern saat ini pendidikan perempuan dan laki-laki sudah disetarakan banyak perempuan yang memiliki

pendidikan

yang

tinggi,

namun

kontruksi

masyarakat

juga

mengakibatkan minat laki-laki unuk berkuliah di jurusan yang lebih maskulin, seperti tehnik sipil, akademi kepolisian, pertanian, pekerjaan ikatan dinas dan lain-lain, serta perempuan juga memiliki minat pada Keguruan, industry ketring, disainer, dan lain-lain. 5. Dalam struktur politik Jumlah perempuan yang turut menentukan nasib negri ini tidak seimbang engan jumlah laki-laki. Padahal lembaga politik berfungsi untuk di dalam struktur pengembalian kebijakan ddan penyusunan asas-asas bagi pengembangan negara, jika jumlah perempuan sangat sedikit makan hak-hak perempuan yang juga bagian dari negara tidak dapat terpenuhi karena tidak tercakup dalam kebijakan yang dihaliskan oleh lembaga politik tersebut. 6. Kekerasan perempuan Anggapan gender dapat menyebabkan kekerasan terhadap jenis kelamin tertentu disebabkan atas ketidaksamaan kekuatan fisik dan kedudukan. Hal ini

7

banyak yang dilakukan oleh laki-laki dengan korbannya adalah perempuan. Baik kekerasan dalam rumah tangga berupa kekerasan fisik, maupun kekerasan dalam public seperti pemerkosaan, pelecehan seksual dan lain sebagainya.

C. Gender dalam Dunia Pendidikan Pendidikan merupakan usaha sadar yang dilakukan seluruh aspek yang ada di dalam kehidupan kita, baik orang terdekat, masyarakat ataupun lembaga-lembaga yang ada, baik yang terjadi secara formal maupun nonformal dengan tujuan untuk mengubah

kebiasaan-kebiasaan tidak baik menjadi kebiasaan baik yang terjadi

selama kita hidup untuk memperbaiki kualitas diri menjadi lebih baik dan mampu menjawab tantangan di masa depan yang bertalian dengan transmisi pengetahuan, sikap, kepercayaan, keterampilan dan aspek-aspek kelakuan lainnya. Menurut Setiadi dan Kolip (2011, hlm. 881) di dibidang pendidikan tampak bahwa konsep gender juga dominan. Sejak masa kanak-kanak ada orang tua yang memberlakukan pendidikan yang berbeda berdasarkan konsep gender. Sebagai contoh kepada anak perempuan diberi permainan boneka sedang anak laki-laki memperoleh mainan mobil-mobilan dan senjata sebagai permainannya. Bila diingat bahwa pada zaman Kartini berlaku perbedaan pendidikan bagi anak perempuan dan laki-laki, tampaknya saat ini juga masih demikian. Sebagai contoh, masyarakat kita masih menganggap bahwa anak perempuan lebih sesuai memilih jurusan bahasa, pendidikan atau pendidikan rumah tangga, tata boga, tata rias, sebaliknya anak lakilaki lebih sesuai untuk jurusan teknik. Perempuan dianggap lemah dibidang matematika, sebaliknya laki-laki dianggap lemah dibidang bahasa. Pada keluarga yang kondisi ekonominya terbatas banyak dijumpai pendidikan lebih diutamakan bagi anak laki-laki meskipun anak perempuan jauh lebih pandai, keadaan ini menyebabkan lebih sedikitnya jumlah perempuan yang berpendidikan. Ketidaksetaraan gender secara menyeluruh adalah akibat dari latar belakang pendidikan yang belum setara. Ada 3 hal permasalahan yakni : kesempatan, jenjang dan kurikulum (Suryadi & Idris, 2004). Menurut Suleeman (1995) ketidaksetaraan gender dalam pendidikan adalah perbedaan dalam hak dan kewajiban antara

8

perempuan dan laki-laki dalam mengecap

pendidikan

formal.

ketidaksetaraan

gender dalam pendidikan dapat dilihat dari indikator kuantitatif yakni angka melek huruf, angka partisipasi sekolah, pilihan bidang studi, dan komposisi staf pengajar dan kepala sekolah (Van Bemmelen,1995). Ketidaksetaraan gender bidang pendidikan banyak hal tersebut dapat dilihat, anak

merugikan

perempuan,

perempuan cenderung putus sekolah ketika

keuangan keluarga tidak mencukupi,

perempuan

terhadap pekerjaan rumah tangga, selain itu

harus

pendidikan

bertanggung jawab yang

rendah

pada

perempuan menyebabkan mereka banyak terkonsentrasi pada pekerjaan informal dengan upah rendah. Bias gender ini tidak hanya berlangsung dan disosialisasikan melalui

proses

serta sistem pembelajaran di sekolah, tetapi juga melalui pendidikan dalam lingkungan keluarga. Stereotip gender yang berkembang di masyarakat telah mengkotak-kotakkan peran apa yang pantas bagi perempuan dan laki-laki. Hal ini disebabkan oleh nilai dan sikap yang dipengaruhi faktor-faktor sosial budaya masyarakat yang secara melembaga telah memisahkan gender ke dalam peran-peran sosial yang berlainan. Faktor yang menjadi alasan pokok yang penyebab ketidaksetaraan gender menurut Suleeman (1995) yaitu: 1). Semakin tinggi tingkat pendidikan

formal

semakin terbatas jumlah sekolah yang tersedia, 2). Semakin tinggi tingkat pendidikan semakin mahal biaya untuk bersekolah, 3). Investasi dalam pendidikan juga seringkali tidak dapat mereka rasakan karena anak perempuan menjadi anggota keluarga suami setelah mereka menikah Sedangkan faktor-faktor penentu ketidaksetaraan gender di bidang pendidikan menurut Van Bemmelen (2003) meliputi: 1). Akses perempuan dalam pendidikan, 2). Nilai gender yang dianut oleh masyarakat, 3). Nilai dan peran gender yang terdapat dalam buku ajar, 4). Nilai gender yang ditanamkan oleh guru, 5). Kebijakan yang bias gender. Suryadi dan Idris (2004) mengkategorikan faktor-faktor kesenjangan gender bidang pendidikan kedalam 4 aspek yaitu: 1). Akses adalah peluang atau kesempatan

9

dalam memperoleh atau menggunakan sumber daya tertentu, 2). Partisipasi adalah keikutsertaan atau peran seseorang/kelompok dalam suatu kegiatan dan atau dalam pengambilan keputusan, 3). Kontrol adalah penguasaan atau wewenang atau kekuatan untuk mengambil keputusan, 4). Manfaat adalah kegunaan sumber yang dapat dinikmati secara optimal. Studi yang dilakukan Suryadi (2001) menemukan bahwa pilihan keluarga yang kurang beruntung memberikan prioritas bagi anak laki-laki untuk sekolah dengan alasan biaya, bukan hanya dilandasi oleh pikiran kolot dan tradisional semata, tetapi juga dilandasi dengan pengalaman empirik bahwa tingkat balikan (rate of return) terhadap pendidikan perempuan yang lebih rendah. Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa rata-rata penghasilan pekerja perempuan secara empirik memang lebih rendah dibandingkan penghasilan pekerja laki-laki.

D. Emansipasi Pendidikan dan Feminisme Menurut Anwar (2009, hlm 61-62) diskrimiasi dalam kolonialisme melahirkan sebuah gerakan emansipasi pendidikan yang secara umum berfokus pada keinginankeinginan untuk memperoleh pendidikan secara formal. Diskriminasi penerimaan siswa pada level sekolah dengan sistem pendidikan Belanda ditentukan berdasarkan status sosial ekonomi orang tua murid. Secara vertikal, timbul stratifikasi dan segmentasi sosial berdasarkan level pendidikan yang diperoleh. Diskriminasi pendidikan tersebut, juga terkait dengan persoalan gender. Pendidikan formal menjadi sebuah kekuatan sosial tersendiri bagi eksistensi kaum laki-laki. Kaum laki-laki bangsawan adalah prioritas utama dalam pendidikan formal. Emansipasi dalam dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai arti pembebasan dari perbudakan (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2003, hlm. 299). Sedangkan dalam Kamus Istilah Pendidikan dan Umum emansipasi adalah bebas dari suatu ikatan, belenggu atau pembatasan lainnya. Dimana perempuan diberi hak yang sama dalam Undang-undang. Dari uraian beberapa definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa emansipasi berhubungan dengan pembebasan, baik pembebasan dari perbudakan, pembebasan

10

dari ekonomi, pembebasan dari ikatan, pembebasan dari tekanan atau pembebasan dari belenggu yang menyebabkan hak-hak seseorang terbelenggu sehingga mereka mempunyai hak yang sama dalam lingkungannya. Dalam dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, emansipasi wanita (perempuan) adalah proses pelepasan diri para wanita dari kedudukan sosial ekonomi yang rendah atau pengekangan hukum yang membatasi kemungkinan untuk berkembang dan untuk maju. Pada dasarnya emansipasi perempuan sebagai wahana atau usaha perempuan untuk meningkatkan statusnya dalam strata sosial, ekonomi dan hukum. Feminisme sebagai gerakan berangkat dari asumsi bahwa perempuan pada dasarnya tertindas atau mendapat perlakuan yang tidak adil (second sex) sehingga harus ada upaya untuk mengakhiri ketidakadilan tersebut. Sedangkan gender adalah interpretasi budaya terhadap laki-laki dan perempuan. Untuk itu, feminisme menggunakan analisis gender untuk mengakhiri ketidakadilan tersebut. Feminisme berasal dari bahasa Latin (femina= woman) yang berarti memiliki sifat wanita. Menurut Barorah (2003, hlm. 183) Feminisme digunakan untuk menunjukkan suatu teori persamaan kelamin (sexual equality) antara laki-laki dan perempuan serta sebagai pergerakan perempuan. Untuk itu, mereka melakukan suatu perjuangan yang biasa disebut dengan gerakan feminisme. Gerakan ini dimaksudkan untuk memperjuangkan aspirasi kaum perempuan. Menurut Fakih (1996, hlm. 99) Feminisme sebagai gerakan pada mulanya berangkat pada asumsi bahwa kaum perempuan pada dasarnya tertindas dan tereksploitasi, serta usaha untuk mengakhiri penindasan dan tereksploitasi tersebut. Di negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia, kesadaran akan perlunya kesetaraan gender meningkat dengan cepat, terutama di daerah perkotaan. Menurut Engineer (2003, hlm.15) Kelompok elit dikalangan perempuan melakukan gerakangerakan feminisme di negara-negara ketiga karena mereka mendapat pendidikan yang lebih tinggi tentang masalah-masalah gender. Menurut Emzinetri (1999, hlm 3) Gerakan perempuan di Indonesia ada tiga golongan. Pertama, kurun waktu abad ke 19 dan awal abad ke 20; Kedua, kurun waktu 1960-an dan 1970; Ketiga, masa pasca 1980-an.

11

Gerakan dan kesadaran perempuan akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20 sebagai “pelopor dan penggagas”. Gerakan ini ditandai dengan mulai munculnya kesadaran emansipasi dalam batas pengertian semangat pembebasan dan pencerahan terhadap kaum perempuan, serta pemikiran yang berbau gender, terutama sebagai pemikiran yang bertujuan untuk mempersoalkan laki-laki dan perempuan dalam keluarga dan masyarakat. Gerakan ini lebih memberi perhatian pada perbaikan “persoalan mendesak” bagi perempuan meliputi pendidikan dan pembebasan dari diskriminasi tradisi serta perbaikan status individu serta sosial perempuan di masyarakat. Salah satu tokoh yang terlibat dalam diskursus ini adalah R.A. Kartini. Gerakan feminisme di Indonesia dipengaruhi oleh isu-isu global yang terjadi dibeberapa negara bagian Barat. Selain itu dipengaruhi oleh pemikiran adanya hubungan ketidakadilan tentang jenis kelamin yang terkait dengan Islam. Sehingga dalam perkembangannya, terjadi perbedaan antara feminisme Barat dan feminisme di Indonesia. Hal ini karena tidak adanya konsep dasar yang tidak sama serta dipengaruhi oleh faktor sosiokultual yang berbeda. Gerakan feminisme Barat menitikberatkan pada persamaan hak yang sama antara laki-laki dan perempuan, karena perempuan adalah manusia yang rasional dan berpandangan bahwa semua orang adalah sama. Lain halnya dengan Gerakan Perempuan Indonesia. Menurut Wieringa (1999, hlm. 113) Walau perempuan Indonesia dalam dasawarsa pertama abad XX menghendaki kesamaan hak, namun mereka tidak pernah merasa diri dengan laki-laki. Alasan tuntutan mereka bersumber pada kedudukan “khusus” mereka sebagai ibu dan istri.

E. Dominasi Perempuan dalam Dunia Pendidikan Masalah feminitas dan maskulinitas juga menjadi salah satu kajian dalam Cultural Studies. Dalam Cultural Studies, feminitas dan maskulinitas dikaitkan dengan masalah gender. Adanya stereotype bahwa perempuan digambarkan sebagai sosok yang lemah lembut, telaten dan emosional dibandingkan laki-laki yang digambarkan kuat, tegas dan kurang menggunakan perasaan memunculkan pandangan bahwa hal tersebut merupakan konstruksi sosial yang dibentuk oleh orang

12

yang mempunyai kepentingan. Cultural Sutudies menganggap bahwa stereotype tersebut telah menjadikan perempuan sebagai subordinat dan laki-laki sebagai superordinat. Catherine Mackinnon (1987,1991) berpendapat bahwa subordinasi perempuan adalah soal kekuasaan yang didasarkan atas dominasi laki-laki atas heteroseksualitas institusional. Adanya kepentingan kekuasaan tersebut mungkin saja benar. Sebagai contoh, anggapan bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah lembut dan emosional, pandangan bahwa perempuan tidak layak menjadi seorang pemimpin. Perempuan lebih layak mengurus masalah domestik keluarga seperti mangasuh anak, memasak dan melayani suami. Fakta empiris terjadi di Indonesia, ketika Megawati mencalonkan diri sebagai presiden pada tahun 2004 dan kuota perempuan di parlemen. Contoh lainnya adalah anggapan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena nantinya juga akan bekerja di dapur juga atau wilayah domestik. Dengan demikian berarti perempuan mengalami pemasungan kebebasan. Selain itu, buruh seperti pada pabrik rokok, menggunakan tenaga kerja perempuan karena dinilai telaten. Superordinasi laki-laki terhadap perempuan kemudian memunculkan gerakan feminisme di Eropa pada awal abad 19. Gerakan ini menuntut pemasungan terhadap kebebasan perempuan dan kesetaraan gender. Akan tetapi, mengapa sejak munculnya gerakan feminisme maupun masa perjuangan R.A Kartini masalah superordinasi lakilaki terhadap perempuan maupun masalah feminitas dengan maskulinitas tidak kunjung selesai di Indonesia atau bahkan mungkin di negara lain? Masalah superordinasi laki-laki terhadap perempuan terjadi, dengan meminjam istilah Pierre Bourdieu adalah karena adanya kekerasan simbolik. Maksud kekerasan simbolik adalah kekerasan yang secara “paksa” mendapatkan kepatuhan yang tidak dirasakan sebagai paksaan dengan bersandar pada harapan-harapan kolektif dari kepercayaan-kepercayaan yang sudah tertanam secara sosial (Basis, 2007). Salah satu contoh dalam artikel Growing up Male or Female mengenai warna. Bahwa warna pink dilabelkan kepada perempuan dan warna biru untuk laki-laki. Dalam mainan, boneka diarahkan untuk perempuan karena perempuan dianggap penyayang bisa

13

menyayang dan mobil-mobilan untuk laki-laki karena dianggap laki-laki harus berani, sporty dan macho, tidak lembek seperti perempuan. Hal-hal seperti ini telah tertanam sejak kecil, yang juga dialami oleh pengalaman orang tua dari orang tuanya juga. Tanpa

tahu

siapa

yang

membuat

aturan-aturan

tersebut,

orang

tua

mensosialisasikan pada anaknya. Yang menjadi pegangan orang tua adalah masalah kelaziman atau “yang seharusnya demikian”, yang oleh Bourdieu disebut doxa, bahwa ini adalah kebiasaan masyarakat umum. Jika berbeda dari keumuman masyarakat akan dianggap menyimpang. Kekerasan simbolik dalam masalah maskulinitas dan feminitas juga terjadi dalam dunia pendidikan. Di Sekolah Menengah Pertama biasanya ada mata pelajaran yang membedakan bahwa mata pelajaran itu untuk laki-laki dan ini untuk perempuan. Contohnya pelajaran tata busana hanya diperuntukkan bagi siswa perempuan sedangkan pelajaran elektro untuk laki-laki. Padahal tidaklah salah jika laki-laki belajar tata busana dan perempuan belajar elektro. Karena sudah keumuman di masyarakat, para siswa “dipaksa” mengikuti kebiasaan siswa sebelumnya ditambah kelaziman di masyarakat bahwa jahit-menjahit atau fashion adalah urusan wanita dan kelistrikan laki-laki. Jika diperhatikan, di tengah kemajuan teknologi informasi siswa laki-laki yang belajar elektro kemungkinan akan bisa beradaptasi, karena ilmu elektro telah mereka dapatkan sehingga tidak asing jika bersentuhan dengan teknologi elektronik. Sedangkan bagi perempuan bisa bermanfaat ilmu tata busana yang didapat, tetapi akan lebih sulit jika harus bekerja di bidang elektronik. Jadi, ada pihak yang dirugikan dan diuntungkan. Sangat dimengerti jika perempuan menuntut kesetaraaan dengan laki-laki. Mulai dari kecil dalam keluarga terjadi pembedaan dalam bentuk kekerasan simbolik hingga dalam dunia pendidikan. Sebagian besar siswa biasanya lebih banyak perempuan daripada laki-laki. Jika kekerasan simbolik seperti stereotype perempuan hanya cocok mengurus masalah domestik sehingga tidak perlu sekolah tinggi-tinggi sedangkan laki-laki mencari nafkah sehingga harus berpendidikan tinggi maka potensi kemiskinan akan bisa terjadi. Sebagai contoh, ketika suami yang tadinya bekerja kemudian tidak dapat bekerja kembali karena PHK atau kecelakaan kerja akan sulit berada pada kondisi

14

ketika suaminya bekerja saat istri menggantikan posisi suami untuk bekerja kerena pendidikan yang rendah. Jadi, sangat relevan jika perempuan menuntut kesetaraan yang digunakan untuk beraktualisasi, khsusunya di bidang pendidikan. Dalam hal mencari nafkah, tidak hanya bergantung pada suami saja karena istri bisa bekerja dengan pendidikan tinggi yang diperolehnya. Akan tetapi dalam masalah kemiskinan, kesetaraan pendidikan antara laki-laki dan perempuan tidak bisa menjadi satu solusi. Penghasilan yang tinggi antara suami istri tidak menjamin untuk mengurangi angka kemiskinan. Harus dikaitkan pula dengan masalah kebijakan pemerintah seperti pajak penghasilan, kewajiban keluarga jumlah anak, tagihan rutin, dan pengeluaran kebutuhan seharihari. Kesetaraaan bukan penghapusan perbedaan, dan perbedaan tidak menghapus kesetaraan (Scott, 1990:137-8).

Meskipun begitu pola konstruksi perempuan yang

kebanyakan diinginkan oleh orang tuanya adalah yang menonjolkan sisi feminitasnya ketimbang sisi maskulinitasnya, karena para orang tua kebanyakan menginingkan anaknya untuk menjadi wanita yang seutuhnya dan tidak menyalahi kodratnya.

15

BAB III PEMBAHASAN A. Hasil Wawancara Dalam pembahasan mengenai dominasi wanita dalam bidang pendidikan kami melakukan sedikit penelitian kualitatif dimana kami mengambil beberapa sempel dari sebagain mahasiswa pendidikan sosiologi 2013 dan 2014. Dimana dalam prodi pendidikan sosiologi khususnya, dan mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia umumnya, memang terfokus untuk mecetak calon pendidik yang propesional, sehingga mayoritas mahasiswa yang memilih dan sedang menempuh pendidikan di prodi pendidikan sosiologi adalaah perempuan. Lili Argani (22) yang merupakan mahasiswa pendidikan sosiologi juga menyetujui bahwa pendidikan yang terdapat di Indonesia umumnya didominasi oleh wanita, hal ini dikarenakan wanita memiliki sifat yang penyabar, lebih bagus dalam hal mendidik karena memang sudah menjadi tugas wanita dalam pendidikan anak daripada laki-laki. Sehingga hal itu juga berpengaruh dengan banyaknya jumlah mahasiswa wanita di prodi-prodi pendidikan khususnya pendidikan sosiologi. Dan sifat wanita inilah yang menjadi kelebihan wanita dalam bidang pendidikan, namun Lili juga menekankan bahwa jabatan seperti kepala sekolah tetep harus diduduki oleh laki-laki selama laki-laki masih ada yang bagus, hal ini dikarenakan lili berpendapat bahwa wanita sudah memiliki tugas wajib yaitu mengurus rumah tangga, mengurus anak dan suami, serta mental wanita yang dianggap lemah jika harus bekerja ganda sehingga menyebkan ketidakcocokan wanita jika dijadikan seorang pemimpin. Sri wahyuni (20) & Maria (20) yang juga merupakan mahasiswa pendidikan sosiologi 2014 mengatakan bahwa tidak semua ilmu pendidikan banyak yang didominasi oleh kaum wanita, seperti contohnya saja pendidikan jasmani atau keolahragaan, juga banyak didominasi oleh laki-laki bukan perempuan, bukan pendidikan yang salah tapi jenis pendidikannya, apakah jenis pendidikan tersebut terdapat sisi maskulinnya atau lebih banyak sisi feminimnya, dalam dunia pendidikan sekolah juga guru olahraga, atau guru-guru yang ada di SMK umumnya adalah laki-

16

laki. Namun jika guru IIS dan MIA memang umumnya adalah wanita, apalagi pendidikan anak usia dini seperti PAUD, TK dan SD kebanyakan adalah wanita, hal ini dikarenakan wanita dianggap memiliki sifat lemah lembut dan penyabar sehingga cocok dalam mendidik anak. Namun sri dan Maria juga menyerahkan kedudukan dalam pendidikan seperti kepala sekolah diduduki oleh laki-laki selagi laki-laki masih berkompeten, mereka menyatakan bahwa mereka ingin disetarakan oleh laki-laki namun mereka juga tidak menganggap laki-laki itu buruk. Fadilahudini (20) mengatakan bahwa penduduk di Indonesia lebih banyak perempuannya dibanding laki–laki. Karenanya hal itu pun terlihat dalam dunia pendidikan, dimana jumlah mahasiswi lebih banyak dibandingkan dengan jumlah mahasiswanya. Selain itu, laki- laki juga cenderung langsung mencari pekerjaan dari pada bersekolah karena ingin

mencari segera berpenghasilan sendiri ataupun

membantu keluarganya dalam mencari nafkah

sehingga laki–laki cenderung

memprioritaskan untuk bekerja. Dalam bidang pendidikan, sebenarnya laki–laki dan perempuan memiliki kemampuan yang sama dan hal itu juga tergantung kepribadian dari masing – masing individu. Namun, memang perempuan memiliki beberapa sifat khas perempuan yang lebih unggul dari laki–laki. Perempuan dalam beberapa hal lebih rajin, telaten dan teliti sehingga walaupun dengan kemampuan yang sama, banyak perempuan yang prestasinya mengungguli laki–laki. Dominasi perempuan tidak akan melebihi maskulinitas laki–laki karena perempuan dan laki–laki sudah memiliki perannya masing–masing. Dengan karakteristik perempuan yang lemah lembut, tegar, sabar, sensitif dan sebagainya, sangat baik bagi perempuan untuk dominan dalam dunia pendidikan. Kenapa? Karena dengan karakter seperti yang tadi disebutkan, perempuan akan menjadi guru yang baik dan mampu menghadapi anak–anak dengan berbagai macam sifat dan kepribadian. Selain itu, sekarang sudah jamannya kesetaraan gender, sehingga tidak apa–apa bila perempuan aktif berpartisipasi dalam dunia pendidikan. Lagipula kebanyakan laki – laki lebih suka bekerja di bidang lain dari pada bidang pendidikan, misalnya teknik dan lain–lain.

17

Walaupun secara kuantitas perempuan lebih banyak dari pada laki – laki, hal itu tidak menjadikan perempuan lebih mendominasi di kelas. Laki – laki dan perempuan memiliki peran yang seimbang di dalam kelas. Misalnya saja posisi ketua kelas beserta wakilnya masih dipegang oleh laki–laki karena laki–laki memang kodratnya untuk menjadi pemimpin. Sedangkan untuk posisi sekretaris dan bendahara dipegang oleh perempuan, karena posisi tersebut membutuhkan orang yang teliti dalam bekerja. Menurut Nurul (21) karena mainset seorang pendidik lebih ke perempuan, karena laki-laki jika mendidik kurang menguasai karena maskulinitasnya. Laki-laki lebih pada teknik. Pengajar lebih identik pada perempuan, karena menjadi guru seorang wanita akan bisa mengurus rumah tangga. Kelebihan wanita di bidang pendidikan, lebih paham, lebih teliti, lebih sabar, lebih mampu menempatkan, lebih ulet, lebih bisa menempatkan diri. Karena wanita lebih sistematis, dan laki-laki hanya ingin enaknya saja. Meskipun zamannya emansipasi, bukan berarti wanita merendahkan laki-laki dan mendominasi. Karena laki-laki lebih di atas wanita. Memang dalam segi kuantitas wanita mendominasi, tetapi dalam struktur organisasi kelas tetap saja KM selalu laki-laki. Mungkin dari perangkat-perangkat lain baru perempuan yang menjadi factor pendorong di dalam kelas. Jakariya Berpendapat (20 tahun) peran wanita yang dominan adalah sebuah keniscayaan karena jumlah penduduk-pun sudah melebihi dari rasio 1;1, peran perempuan kini setara dengan pria tetapi tentu ada beberapa bidang yang menyulitkan perempuan untuk beradaptasi karena beberapa hambatan fisik wanita, selain itu anggapan masyarakat di Indonesia tentang wanita masih ajeg bahwa wanita tidak diperkenankan melebihi pria karena hubungannya dengan kodrat wanita ujarnya. Alasan mengapa wanita sedikit banyaknya mendominasi secara kuantitas selain itu adalah karena wanita memiliki keunggulan yakni ulet, keuletan ini dapat mengalahkan tingkat kecerdasan seseorang karena keuletan ini ibarat pisau yang diasah, senada dengan pendapat Jakariya, Firasat (21 Tahun) menyebutkan bahwa pekerjaan wanita terkadang lebih rapi dan lebih tertata dalam hal manajemennya dibanding pria yang urakan mungkin menjadi faktor mengapa wanita lebih

18

mendominasi, dalam forum ilmiah-pun wanita terkadang lebih Confidence dalam mengemukakan pendapat dibanding pria yang lebih memilih untuk diam. Dominasi bukan hanya terjadi dalam dunia pendidikan khususnya dalam lingkup mahasiswa Pendidikan Sosiologi tetapi mulai dari staff pengajar, administrasi bahkan kepala departemen (Program Studi) ada beberapa kaum hawa yang dilibatkan dalam memimpin program studi termasuk pendidikan sosiologi ujar Firasat (21 Tahun) Menurut Eka (19) dominasi perempuan dalam bidang pendidikan dikarenakan banyaknya gender di Indonesia pun perempuan, apabila dalam masalah ekonomi maka biasanya yang mempunyai anak laki-laki akan dituntut untuk membantu keluarganya untuk mencari nafkah, selain itu mungkin dikarenakan sifat perempuan yang rajin dan lebih mempunyai niat untuk mengikuti pendidikan, berbeda dengan laki-laki yang menganggap bahwa pengalaman pun sudah menjadi proses pendidikan Sepertinya dilihat untuk masa depannya, mungkin kebanyakan laki-laki masuk kejurusan seperti teknik, karena ingin bekerja yang emang dunia laki-laki, mungkin menurutnya yang pantas jadi guru adalah perempuan. Karena perempuan itu lebih pengertian, perempuan lebih peka terhadap apa yang di inginkan siswa, walaupun mau laki-laki ataupun perempuan bila mengambil jurusan ke pendidikan pasti sudah dibekali dengan ilmu cara memahami peserta didiknya. Tetapi akan lebih mudah perempuan memahami peserta didiknya mungkin karena kodrat perempuan yang penyayang. Untuk hal perempuan yang bisa mendominasi laki-laki pasti ada peluang, soalnya sudah banyak perempuan yang menjadi kepala sekolah. Tetapi dalam hal kinerja pasti lebih baik laki-laki karena memang laki-laki mempunyai fisik dan pemikiran yang kuat. Sebenarnya tidak begitu mencolok dominasinya, salah satu contohnya pada saat diskusi laki-laki dan perempuan pun sama-sama aktif. Tetapi memang dalam hal kuantitas lebih banyak perempuan daripada laki-laki. Harusnya setara, karena kan sudah ada kesetaraan. Tetapi pada realitanya memang saat ini perempuan sudah mulai mendominasi.

19

B. Analisis Dari hasil wawancara yang telah dilakukan mengenai dominasi perempuan dalam dunia pendidikan, dapat kita telaah bahwa sekarang ini memang kuantitas perempuan dalam bidang ini sangat mendominasi. Dengan seiring perkembangan zaman, baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang baik dengan tidak adanya diskriminasi. Seperti yang telah diungkapkan oleh para narasumber bahwa dominasi perempuan di kelas sosiologi ini tidak melebihi dominasi laki-laki dalam hal otoritas atau kepemimpin kelas. Karena memang menurut aturan agama sudah menjadi kodrat laki-laki untuk menjadi pemimpin, juga karena kultur dan budaya bangsa, dimana terdapat perbedaan peran dan fungsi bagi laki-laki dan perempuan yang memiliki sifat atau karakter yang berbeda. Tetapi disisi lain, tidak menutup kemungkinan adanya dominasi perempuan terhadap otoritas pula, karena sekarang ini banyak kaum perempuan menjadi pemimpin suatu lembaga atau instansi-instansi baik swasta maupun negeri. Dengan adanya gerakan feminisme pula yang dapat mendorong perempuan untuk menunjukkan dirinya ke ranah publik. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa memang benar saat ini kaum perempuan telah mendominasi didalam dunia pendidikan, hal ini bisa dikarenakan oleh banyaknya jumlah perempuan di Indonesia serta karena perempuan memiliki kelebihan mempunyai rasa penyayang, peka terhadap peserta didik dikarenakan memang kodrat perempuan yang mempunyai bakat mendidik. Hal lain juga dapat terlihat dari kuantitas mahasiswa perempuan, tenaga pengajar perempuan, bahkan kepala prodi perempuan.

20

BAB IV PENUTUP A. Simpulan Gender dapat diartikan sebagai pembagian peran kedudukan dan tugas antara laki-laki dan perempuan yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan sifat perempuan dan laki-laki yang diangkap pantas sesuai dengan norma-norma adat istiadat, kepercayaan atau kebiasaan masyarakat, namun pernyataan ini dianggap tidak adil oleh kaum perempuan, hal ini dekarenakan unsur penyangga ini membentuk image, mitos, sosok serta control pada tatanan struktur makro dan terefleksi dalam system dominasi dan superioritas laki-laki dimana perempuan dikuasai. Berbagai permasalahan gender menyangkut ketidakadilan, kesetaraan, bahkan kekerasan gender yang ditujukan kepada perempuan memunculkan suatu gerakan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan dengan adanya emansipasi. Ideologi gender dapat memunculkan permasalahan dalam dimensi keluarga, struktur sosial, perspektif ekonomi, pendidikan, dan lain sebagainya. Dalam pendidikan, dulu terjadi diskriminasi dimana perempuan tidak memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Tetapi seiring perkembangan zaman, perempuan dapat memperoleh pendidikan yang tinggi. Bahkan banyaknya kaum perempuan yang berkecimpung dalam dunia pendidikan, dimana kuantitas perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki. B. Saran Gender merupakan pemisahan peran dan tugas antara laki-laki dan perempuan sesuai dengan konstruksi sosial yang dibuat oleh masyarakat itu sendiri. Dalam masyarakat terjadi diskriminasi pendidikan, dimana perempuan mendapatkan pendidikan yang rendah. Oleh karena itu, dengan adanya emansipasi wanita dapat meningkatkan pendidikan kaum perempuan untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Dengan adanya dominasi kuantitas perempuan dalam bidang pendidikan, tidak menjadikan perempuan berlaku superordinat terhadap laki-laki, karena adanya kultur dan budaya yang masih mengikatnya.

21

DAFTAR PUSTAKA Barorah, Umul. (2002). “Feminisme dan Feminis Muslim”, Sri Suhandjati Sukri (ed.), Pemahaman Islam dan Tantangan Keadilan Gender. Yogyakarta: Pusat Studi Jender IAIN Walisongo Semarang dan Gama Medi. Emzinetri. (1999). Diskursus Pemikiran Islam Tentang Emansipasi dan Gender di Indonesia. Bengkulu: Madania. Engineer, Asghar Ali. (2003). Matinya Perempuan: Transformasi al-Qur’an, Perempuan dan Masyarakat Modern. Terj. Akhmad Affandi dan Muh Ihsan. Yogyakarta: IRCiSod. Murniati, A. Nunuk P. (2004). Getar Gender Perempuan Indonesia dalam Perspektif Sosial, Politik, Ekonomi, dan HAM. Magelang: Indonesiatera. Sulaiman, Munandar & Siti Homzah (2010). Kekerasan Terhadap Perempuan Tinjauan dalam Berbagai Disiplin Ilmu & Kasus Kekerasan. Bandung : PT Rafika Aditama. Suleeman, E. (1995). Pendidikan Wanita di Indonesia. Dalam T. O. Ihromi. Kajian Wanita Dalam Pembangunan (hal. 227-248). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Suryadi, A. (2001). Analisis Gender dalam Pembangunan

Pendidikan. Jakarta:

Bappenas & WSPII-CIDA. Suryadi,

A,

&

Idris,

E.

(2004). Kesetaraan Gender

dalam

Bidang

Pendidikan. Bandung: PT. Ganesindo. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. (2003). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Van

Bemmelen, S.

(1995). Gender

dan Pembangunan: Apakah yang Baru?.

Dalam T. Ihromi. Kajian Wanita Dalam Pembangunan. (hal.

175-226).

Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Wieringa, Saskia Eleonora. (1999). Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia. Terj. Hersri Setiawan. Jakarta: Garba Budaya.

22

Related Documents


More Documents from ""

26694.docx
November 2019 23
Cv Bce 2019 - Elis.docx
November 2019 19
Ujian Akmen.xlsx
November 2019 15
Soal Akmen 13-42.docx
November 2019 12