Standar fasilitas dalam penetapan kompetensi profesi di sarana/fasilitas pelayanan kesehatan # Dr. Dody Firmanda, SpA, MA. Ketua Komite Medik RS Fatmawati Jakarta
Pendahuluan Pada saat seorang dokter lulus dari institusi pendidikan akan mendapat ijasah dan sertifikat kompetensi sebagai tanda lulus dan pengakuan kemampuan kompetensinya sebagai individu dokter dan berhak untuk mendapatkan Surat Tanda Registrasi (STR) untuk waktu 5 tahun sesuai dengan Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional 1 dan Undang Undang Praktik Kedokteran 2 . Pertanyaan akan timbul, apakah dokter tersebut dapat melaksanakan dan mempertahankan serta bahkan meningkatkan kompetensi profesinya selama waktu tersebut?
Apakah dokter tersebut
dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan yang diharapkan berdasarkan Standar Profesi dan Standar Pelayanan Medik dalam rangka memenuhi salah satu dari falsafah tujuan dasar Undang Undang Praktik Kedokteran yakni melaksanakan praktik kedokteran yang memberikan perlindungan dan keselamatan pasien? 3 Apakah dokter tersebut telah dapat memberikan pelayanan sesuai dengan Format Clinical Pathways dan kajian varians dari Sistem Pembiayaan berdasarkan metode DRGs Casemix untuk melaksanakan praktik kedokteran secara kendali mutu dan biaya? 4, 5 , 6 Disini letak akan pentingnya dimensi tempat, waktu dan individu profesi dalam meninjau kinerja (performance) keprofesiannya. Kinerja atau performance tersebut tercermin dalam satu buku #
Disampaikan dalam Semiloka Standar Fasilitas Rumah Sakit berkaitan dengan Undang Undang Praktik Kedokteran. Diselenggarakan oleh Konsorsium Pelayanan Medik (KPM) Dirjen Bin Yan Medik Depkes RI di Hotel Mulia Jakarta 7 Februari 2006. 1 Undang Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 61. 2 Undang Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 7 dan Pasal 8. 3 Undang Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 2 dan Pasal 3 ayat 1. 4 Undang Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 49 ayat 1. 5 Firmanda D. Integrated Clinical Pathways: Peran profesi medis dalam rangka menyusun Sistem DRGs Casemix di rumah sakit. Disampakan pada kunjungan lapangan ke RSUP Adam Malik Medan 22 Desember 2005, RSUP Hasan Sadikin Bandung 23 Desember 2005 dan Evaluasi Penyusunan Clinical Pathways dalam rangka penyempurnaan Pedoman DRGs Casemix Depkes RI, Hotel Grand Cempaka Jakarta 29 Desember 2005. 6 Firmanda D, Pratiwi Andayani, Nuraini Irma Susanti, Srie Enggar KD dkk. Clinical Pathways Kesehatan Anak dalam rangka implementasi Sistem DRGs Casemix di RS Fatmawati, Jakarta 2006 (dalam pencetakan).
1
seperti log book individu atau di negara luar dikenal sebagai PYA (Penultimate Year Assessment) Form. 7,8 Kompetensi dan Kinerja (Performance) Adalah mudah menilai kompetensi seorang individu bila yang bersangkutan masih dalam status peserta didik dokter (intenship) atau dokter spesialis (PPDSp) karena telah ada parameter (kurikulum dan modul) untuk dapat dinilai/diukur secara obyektif dari segi kualitas maupun kuantitas dalam satuan waktu/tahap tertentu. Persoalan akan timbul bila yang bersangkutan akan dinilai untuk re-sertifikasi kompetensi, karena belum seluruh profesi di tanah air mempunyai standar profesi dan standar pelayanan medisnya masing masing. Beberapa organisasi profesi yang telah mempunyai standar profesinya,
9,9
meskipun belum secara eksplisit dalam standar
kompetensinya menyatakan secara kuantitatif batasan minimal kompetensi profesi (Perdamidalam hal ini telah lebih maju karena sudah mencantumkan jumlah operasi katarak yang harus dicapai dalam kurun waktu tertentu). 10 Persoalan kembali muncul bila akan mengukur secara kuantatif, karena kompetensi yang diukur tersebut - sebenarnya secara tidak langsung (indirect) adalah kinerja (performance) individu. Sedangkan kinerja (performance) tersebut banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor yang melibatkan antara lain motivasi dan barriers sebagaimana bila secara ringkas formula kinerja (performance) tersebut adalah sebagai berikut 11 : Performance = Motivation x Competencies Barriers
Oleh karena motivasi sangat bersifat individu dan sulit untuk diukur, maka kinerja (performance) akan berhubungan langsung dengan kompetensi dan berhubungan terbalik dengan barriers. Di dalam barriers itu sendiri dapat terdiri dari fasilitas (terutama peralatan medis), penunjang medis, Royal College of Paediatrics and Child Health. Guide to Penultimate Year Assessment. London, 2004. Royal College of Medicine. Implementation of Penultimate Year Assessment. London, 2004. 9 Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (PP IDAI) dan Kolegium Ilmu Kesehatan Anak (KIKA). Standar profesi dan Standar Pendidikan Dokter Spesialis Anak. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP IDAI), Jakarta, 2005. 10 Perdami. Standar Profesi dan Standar Fasilitas Dokter Spesialis Mata, 2003. 11 Firmanda D. Medical Professionalism: Is it a matter of performance and or competencies? Presented at Nuffield Institute for Health, University of Leeds, Leeds 1998. 7 8
2
obat obatan dan sebagainya yang merupakan komponen struktur yang sangat menunjang proses implementasi kompetensi seseorang profesi untuk memberikan hasil (oucome/output) 12 pelayanan kepada pasien dan secara langsung memberikan dampak (impact) kepada status derajat kesehatan masyarakat secara keseluruhan dan indikator mutu sistem kesehatan 13 di suatu daerah/negara. Maka sudah seyogyanya komponen barriers tersebut diminimalkan agar profesi tersebut dapat memberikan pelayanan seoptimal mungkin dan bahkan maksimal serta minimal risikonya (clinical risk management) dengan kompetensi yang maksimum agar hasilnya baik (quality) dan pasien mendapat perlindungan dan keselamatan (patients safety) selama dirawat dengan biaya yang terjangkau (affordable) dan pasti (pre-fixed payment – DRGs Casemix). Oleh karena itu sudah saatnya secara sinergis dengan profesi, pengadaan fasilitas (terutama peralatan medis) disediakan dan disesuaikan dengan kompetensi tenaga profesi tersebut yang mana keberadaan profesi medis dan pelayanannya sangat berhubungan erat dan identik dengan klasifikasi strata rumah sakit di tanah air. 14 Peralatan medis sebagai sebagai salah satu komponen fasilitas pelayanan kesehatan harus dikelola secara profesional sesuai dengan kaidah perkembangan keilmuan Health Technology Assessment dalam mekanisme pengambilan keputusan yang baik dan akuntabel sesuai dengan penerapan cost-effectiveness analyses
15,16
dalam rangka menuju kendali biaya (value for
money). 17,18
Donabedian A. The quality of care – how can it be assessed? JAMA 1988;260(12):1743-8. WHO Health Report 2000. Improving Health Systems Development. 14 Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 131/Menkes/SK/II/2004 tentang Sistem Kesehatan Nasional. 15 Firmanda D. Aplikasi sinergis antara Evidence-based Medicine, Evidence-based Healthcare dan Evidence-based Policy dalam satu sistem peningkatan mutu pelayanan kesehatan dan kedokteran (Clinical Governance) : suatu tantangan profesi di masa mendatang – Cost effectiveness Analyses (CEA) Standar Pelayanan Medis. Disampaikan pada Rapat Kerja Nasional JPSN/JPKM, Depkes RI, Bogor Maret 2005. 16 Firmanda D. Implementasi Cost effectiveness Analyses (CEA) dalam Standar Pelayanan Medis dalam rangka kendali mutu dan biaya. Fatmawati J Health Science 2005;6(14):570-6. 17 Mooney G. Economics, medicine and healthcare. London, Harvester Wheatsheaf, 2002. 18 Ranade W. Markets and healthcare – a comparative analyses. London, Longman, 2003. 12 13
3
Bagaimana implementasi dan konsekuensi dari Standar Fasilitas (Sarana) di rumah sakit? Secara ringkas kita dapat memadukan kerangka konsep Clinical Governance dengan kondisi struktur perumah sakitan di tanah air pada saat ini dalam penerapan Undang Undang Praktik Kedokteran dan antisipasi (Rancangan) Undang Undang Rumah Sakit dalam suatu model integrasi yang mengedepankan mutu pelayanan dalam bentuk keamanan dan keselamatan pasien (patients safety) (Gambar 1) dengan biaya yang terjangkau secara pendekatan activity-based costing dalam sistem pembiayaan DRGs Casemix (diharapkan nantinya berkembang menjadi Health Resource Groups /HRG) melalui suatu mekanisme Clinical Pathways yang jelas dan terintegrasi dengan standar fasilitas yang sesuai dengan kompetensi pelaksana sehingga dapat dilakukan evaluasi/audit tidak hanya semata dari segi kriteria indikator input/struktur, proses dan outcome/output, akan tetapi bergerak lebih jauh lagi dalam bentuk lebih rinci, sensitif dan spesifik yakni Health Impact Intervention (Gambar 3).
Organisasi Profesi
Kolegium
Patients Safety
Rumah Sakit
Gambar 1. Ilustrasi mekanisme pertahanan Patients Safety dikaitkan dengan peran organisasi profesi, kolegium dan fasilitas penyelenggara pelayanan kesehatan.19 4
Rumah Sakit:
Gambar 2. Peran dan hubungan profesi, kolegium, rumah sakit dan sarana dalam Clinical Governance dalam rangka keamanan pasien (patients safety). 19
Firmanda D. Patients Safety di rumah sakit pendidikan dikaitkan dengan proses pendidikan profesi dokter. Disampaikan pada Muktamar Nasional Ikatan Rumah Sakit Pendidikan (IRSPI) III di Makasar, 28-29 Juli 2005. 19
5
Health Resources Groups (HRG)
Health Impact Intervention (HII)
Gambar 3. Skema pendekatan Komite Medik RS Fatmawati dalam Clinical Governance dan Sistem DRGs Casemix. 20 Sesuai dengan kewenangan Komite Medik di rumah sakit, agak sulit untuk menilai kepastian kompetensi seorang profesi - terutama untuk profesi yang banyak mengandalkan ketrampilan dan tergantung kepada fasilitas peralatan medis. Bila sarana/fasilitas peralatan rumah sakit tersebut tidak
atau kurang memadai untuk menunjang kinerja (performance) profesi, maka selain
ketrampilan klinis profesi itu sendiri akan berkurang bahkan hilang dan bila tetap ’dipaksakan’ dengan fasilitas yang tidak sesuai dan memadai; maka dengan secara langsung
akan
Firmanda D. Pedoman Penyusunan Clinical Pathways dalam rangka implementasi Sistem DRGs Casemix di rumah sakit. Disampaikan dalam Sidang Pleno Komite Medik RS Fatmawati, Jakarta 7 Oktober 2005.
20
6
meningkatkan risiko ketidakamanan pasien (insecure of patients safety) di rumah sakit dan risiko akan ligitasi meningkat. Jenis medical errors seperti di atas dapat dikategorikan sebagai latent errors atau system errors dan dengan sendirinya akan terjadi active errors. Bila ini terjadi, maka filosofi tujuan dasar dari Undang Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yakni melaksanakan praktik kedokteran yang memberikan perlindungan dan keselamatan pasien tidak akan terwujud. Bila keadaan ini terus berlanjut tanpa ada upaya perbaikan dan peningkatan fasilitas serta kompetensi sesuai dengan standar, maka secara keseluruhan rentetan ini sudah menjadi suatu system failure yang kelak sangat sulit untuk dapat survive dan berkembang dalam rangka antisipasi modus keempat dari perjalanan globalisasi WTO yang telah diratifikasi. Kesimpulan 1. Dalam rangka memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau – kompetensi profesi memegang peran sangat strategik dalam mekanisme pengambilan keputusan klinis. 2. Kinerja (Performance) dan kompetensi dapat diukur secara kualitatif dan kuantitatif. 3. Kinerja (Performance) dan kompetensi dapat dihasilkan secara optimum bahkan maksimum bila barriers (terutama peralatan medis) diminimalkan/dihilangkan bila fasilitas tersedia dan pemeliharaannya (maintenance) serta evaluasi utilitas berdasarkan Health Technology Assessment (HTA) dan Cost-Effectivess Analyses (CEA) . Saran 1. Dalam (Rancangan) Undang Undang Rumah Sakit diperlukan pasal dan ayat yang secara khusus dan eksplisit yang menyatakan tentang fasilitas peralatan medis agar profesi medis dapat melaksanakan kemampuan kompetensinya sesuai dengan Standar Profesi dan Standar Pelayanan Medis dalam rangka upaya penyembuhan dan pemulihan tanpa mengabaikan upaya pencegahan dan peningkatan. Adapun mengenai standar fasilitas tersebut dapat ditetapkan dengan bentuk Peraturan Menteri Kesehatan sebagaimana dengan Standar Pelayanan Medik. 2. Perlu adanya data/daftar kebutuhan (needs) peralatan medis untuk setiap strata penyelenggara pelayanan kesehatan (rumah sakit) sesuai dengan standar kompetensi tenaga profesi yang berada di tempat tersebut.
7
3. Pembiayaan di rumah sakit sudah saatnya menerapkan sistem pembiayaan yang bersifat fixed prospective payment yakni berdasarkan DRGs-Casemix versi Indonesia (Indonesian DRGs-Casemix) sesuai amanah dari Undang Undang Praktik Kedokteran Nomor: 29 Tahun 2004 pasal 49 ayat 1 dan Keputusan Menteri Kesehatan RI
Nomor:
131/Menkes/SK/II/2004 Bab V Subsistem pembiayaan kesehatan, serta seyogya dipertegas kembali dalam (Rancangan) Undang Undang Rumah Sakit serta ditetapkan dengan Peraturan Menteri Kesehatan atau Peraturan Pemerintah.
8