Aplikasi integrasi sinergis antara Evidenve-based Medicine, Evidence-based Healthcare dan Evidence-based Policy dalam satu sistem peningkatan mutu pelayanan kesehatan dan kedokteran (Clinical Governance). Dody Firmanda Ketua Komite Medik dan Ketua SMF Kesehatan Anak RS Fatmawati PENDAHULUAN Dalam pengelolaan suatu sarana kesehatan (rumah sakit maupun klinik) seorang manajer maupun dokter akan (bahkan harus) membuat suatu ‘keputusan’ dalam penyelenggaraan rumah sakit/klinik tersebut maupun dalam penatalaksanaan pasien sebagai individu maupun kelompok. Keputusan tersebut akan mempunyai dampak, terhadap pasien itu sendiri dan lingkungannya (dalam hal ini keluarga, masyarakat dan penyandang dana atau asuransi) serta lingkungan dimana pelayanan kesehatan tersebut diberikan/diselenggarakan (dari segi dimensi tempat: poliklinik rawat jalan, ruang gawat darurat, rawat inap, ruang perawatan intensif, ruang operasi dan lain lain; sedangkan dari segi dimensi fungsi: akan menggerakan/utilisasi mulai dari registrasi unit rekam medis, penunjang laboratorium, farmasi, bank darah, unit gizi, laundri, penyediaan air, penerangan listrik dan sebagainya sampai proses pasien itu pulang sembuh dan kembali kontrol atau kembali kepada perujuk asal atau keluar rumah sakit melalui kamar jenazah) dan penyelesaian administrasi keuangan. Ini adalah satu proses dalam satu sistem sarana pelayanan kesehatan yang berlangsung secara simultan dan berurutan atas konsekuensi ‘keputusan’ diatas. Biaya atau dana untuk tenaga medis (dokter) hanya sekitar 20% dari seluruh anggaran yang dikeluarkan oleh satu sarana penyelenggara kesehatan (rumah sakit), sedangkan 80% lainnya sangat berhubungan dengan ‘keputusan’ dokter tersebut. ‘Kesalahan’ diakibatkan oleh faktor manusia hanya sekitar 10-20%, selebihnya (80%) dikarenakan oleh sistem, kebijakan (policy) dan prosedur yang tidak jelas serta tidak konsisten. Oleh karena itu dalam upaya mencapai hasil yang optima dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan terhadap pasien baik secara individu maupun kelompok serta efisien dan berazas manfaat, maka diperlukan suatu ‘keputusan’ yang baik dan tepat didalam ‘sistem’ yang jelas dan konsisten. Hal ini akan terwujud bila mempunyai jiwa kepemimpinan (leadership) yang visioner, ‘survivalist’ dan konsekuen. Sistem itu sendiri terdiri dari tiga komponen yakni struktur, proses dan hasil (outcome) yang sama pentingnya serta saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Menghadapi era globalisasi ini, dalam bidang kedokteran/kesehatan memerlukan dokter yang mempunyai selain spesialisasi/sub spesialisasi keahlian juga menguasai akan ‘medical management’, ‘medical epidemiology’ dan ‘medical bioengineering’ (termasuk teknologi kedokteran/kesehatan). Yang mana ketiga bidang tersebut nantinya akan
1
bermuara sebagai salah satu indikator hasil/outcome dari mutu pelayanan dan atau pendidikan kesehatan/kedokteran yang baik dan konsisten. Oleh karena itu, alangkah baiknya bila dalam kurikulum Pendidikan Kedokteran Umum dan Spesialis pada tahap pengayaan diperkenalkan akan ketiga bidang diatas sebagai ‘basic essential elements’ dan diperdalam lagi pada saat tahap komprehensif akhir sebelum selesai menjadi dokter umum maupun dokter spesialis dalam rangka antisipasi dan untuk mempersiapkan dokter paripurna dan handal, mempunyai wawasan ‘leadership’ yang baik serta diharapkan nantinya akan mampu membuat ‘keputusan’ yang tepat tatkala menghadapi tantangan globalisasi dan tekanan ‘multi-national company’ di masa mendatang. Bukankah sebagaimana diutarakan diatas, meskipun dokter hanya mempunyai andil 20%, akan tetapi ‘keputusan’ yang akan diambil dokter tersebut akan mempengaruhi 80% lainnya. Meskipun pelayanan kesehatan sangat bervariasi dari dan dalam satu rumah sakit, wilayah ataupun di negara maju/industri dan dunia ketiga. Akan tetapi ciri dan sifat masalah tersebut tidak jauh berbeda satu sama lainnya dalam hal yang mendasar yakni semakin meningkatnya jumlah populasi usia lanjut (perubahan demografi), tuntutan dan harapan pasien akan pelayanan, pesatnya perkembangan teknologi kedokteran dan semakin terbatasnya sumber dana. Evidence-based Decision Making: Evidence-based Medicine, Evidence-based Healthcare dan Evidence-based Policy Sebagaimana disebutkan diatas bahwa ‘pengambilan keputusan’ sangat penting dan secara langsung akan mempengaruhi sistem penyelenggaraan sarana kesehatan maupun penatalaksanaan pasien secara individu maupun kelompok. Adapun pengambilan keputusan akan dipengaruhi oleh berbagai faktor (Gambar 1). Gambar 1. Faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan
Evidence
Values B
A
Resources Selama ini banyak para pengambil keputusan hanya berdasarkan kepada kombinasi faktor mempertimbangkan sumber (resources) dan nilai/harapan dari konsumen/populasi. Tehnik ini dikenal sebagai ‘Opinian-based decision making’ (posisi A dalam gambar 1). Sangat sedikit yang memadukannya dengan menggunakan hasil penelitian deskriptif maupun analtik (untuk pasien maupun populasi), sehingga jerih payah dan biaya yang dikeluarkan untuk penelitian tersebut mubazir dan tidak tampak manfaatnya kepada masyarakat pengguna jasa kesehatan. Justru yang diharapkan adalah posisi B yang mengkombinasikan ketiga faktor tersebut (‘Evidence-based decision making/EBDM’). 2
Salah satu komponen latar belakang dari tujuan dilakukannya suatu penelitian adalah relevansi penelitian tersebut terhadap kemajuan ilmu pengetahuan, membuat kebijakan (policy) klinis dalam penatalaksanaan pasien secara individu ataupun kelompok serta kebijakan kesehatan secara lebih luas dalam suatu sistem tingkat institusi penyelenggara kesehatan baik tingkat rumah sakit (standard of procedures) maupun nasional (guidelines). Secara ringkas, apakah hasil penelitian tersebut dapat mengubah, memperbaiki dan meningkatkan status derajat kesehatan, tingkat efisiensi dan efektivitas pemanfaatan sumber daya secara optima ? Pada abad 21 ini diharapkan pengambilan keputusan yang tepat dan baik akan bergeser ke arah ‘Evidence-based decision making’ (Gambar 2) dengan semakin meningkatnya tekanan dan tuntutan, pesatnya perkembangan teknologi kedokteran/kesehatan dan semakin terbatasnya sumber dana serta perubahan globalisasi. Gambar 2. Pergeseran ke arah Evidence-based Decision Making (EBDM)
Increasing pressure Limited resources Demography & population changes Globalisation Political changes Patient & professional expectations/demands New knowledge & technology
OBDM - Opinion-based Decision Making EBDM - Evidence-based Decision Making
Bila kita tinjau dari segi paktisi klinis dalam membuat ‘keputusan’, sering dikonotasikan bahwa meningkatnya mutu dan efektifitas pelayanan akan secara tidak langsung akan meningkatkan anggaran biaya kesehatan. Mungkin hal itu berlaku bila yang terjadi adalah keadaan “A” (suatu keadaan “ flat of the curve medicine”) misalnya ‘keputusan’ untuk memilih krim untuk pasien herpes simpleks labialis (berdasarkan hasil uji klinis tersamar ganda), dimana biaya yang harus dikeluarkannya tidak sesuai dengan manfaat kesembuhan yang diperoleh. Pendekatan ‘evidence-based’ dalam penanganan kasus klinis maupun ‘kebijakan’ dalam pengambilan keputusan adalah posisi “B” (“Lots of bang for the buck”) yang mempunyai dampak besar, efektifitas tinggi, biaya relatif sedikit dan wajar, dan bermanfaat untuk pasien (Gambar 3).
3
Gambar 3. Hubungan pendekatan ‘Evidence-based’ dan efektifitas biaya (costeffectiveness)
A “Flat of the curve” medicine
Efektifitas B
Lots of “bang for the buck”
Biaya
Konsep perkembangan evolusi “Evidence-based’ itu sendiri bermula dari perkembangan ilmu epidemiologi pada abad delapan belas. Akan tetapi terus ‘mandek’, dan baru aplikasi ilmu tersebut pada tahun 1981 di McMaster University, Kanada dengan publikasi serial “Readers’ Guides” untuk membantu para praktisi klinisi (yang sering sibuk) dalam membaca artikel jurnal kedokteran mengenai hal diagnosis, prognosis, etiologi penyakit dan terapinya. Serial artikel tersebut menjadi salah satu artikel klasik yang sering dikutip, banyak diminati sehingga telah beberapa kali dicetak ulang serta diterjemahkan kedalam tujuh bahasa asing. Sesuai perkembangan suatu ilmu, serial tersebut pada Nopember 1993 berubah dari “Readers’ Guides” menjadi “Users’ Guides” yang lebih menitikberatkan tidak hanya soal statistik dan metodologi penelitian semata (“not attempt a course in research methods, but is about using not doing research”) dan menjadi yang sekarang dikenal sebagai ‘Evidence-based Medicine/EBM’; yang memadukan pengalaman klinis dan berdasarkan pembuktian hasil penelitian yang sahih (valid) dan mutakhir serta bermanfaat untuk pasien selaku konsumen pengguna jasa pelayanan.18,19 Pada saat yang tidak terlalu lama, ilmu tersebut berkembang pesat sesuai dengan spesialisasi bidang termasuk pelayanan kesehatan (‘Evidence-based Health Care/EBHC’). Akhir akhir ini ada kecenderungan pergeseran dari model pendekatan tradisional (Traditional EBM) kearah ‘Information Mastery’ 17(Gambar 4).
4
Gambar 4. Evolusi dari Epidemiologi sampai dengan ‘Information Mastery” Evidence-based Clinical Specialities
Clinical Epidemiology
Readers’ Guides to Medical Literatures 80’s
Users’ Guides to Medical Literatures
Evidencebased Medicine (EBM)
90’s
Evidence-based Health Care (EBHC): Policy Health Technology Assessment Others
Information Mastery
21st Century
Adapun langkah langkap penerapan hasil penelitian dalam suatu organisasi pelayanan kesehatan berdasarkan ‘Evidence-based’ sebagaimana dapat dilihat dalam Gambar 4 di bawah ini. Gambar 5. Langkah pengambilan keputusan dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kedokteran dan kesehatan berdasarkan ‘evidence-based”
Research Knowledge Health Policy
Cultural change
System design
Audit Organisational change
Implementation
Monitoring 5
Sedangkan strategi penerapannya dapat dibagi dalam tiga tahap sebagaimana dalam Gambar 6 yang terdiri dari: 1. Producing evidence 2. Making evidence available 3. Using evidence: getting research into practice a) For individual patients: Evidence-based Medicine/Clinical Practice b) For populations and groups of patients: Evidence-based public health and health service management Gambar 6. Strategi penerapan dan ruang lingkup ‘Evidence-based health care’
1 Producing evidence
2 Making evidence available
3 Using evidence: getting research into practice
For individual patients
Evidence-based Medicine or Clinical Practice
For populations and groups of patients
Evidence-based Public Health and Health Service Management
6
Dokter sering menganggap bahwa pengamatan klinis sudah cukup sebagai sebagai cara yang sahih (valid) dalam evaluasi diagnostik, terapi dan pengamatan jangka panjang perjalanan penyakit/prognosis pasien. Tidak jarang dalam pengambilan keputusan hanya mengandalkan berdasarkan pengalaman klinis dan pengetahuan serta tehnik pengumpulan data dan fakta yang diperoleh/dicontohnya sewaktu dalam pendidikan sebagai mahasiswa kedokteran maupun residen. Hal yang sama terjadi pula dalam bidang manajemen pelayanan kesehatan, dimana seorang manajer hanya mengandalkan pengalaman dan intuisi serta ‘bekal’ dari selama mengikuti pendidikan manajemen dan penjenjangan karir tanpa memanfaatkan dan memadukan dengan data maupun hasil analisis/penelitian baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Dalam proses pemecahan masalah penatalaksanaan pasien dan penyelenggaraan pelayanan kesehatan, dokter dan manajer tersebut tidak mampu untuk memecahkan masalah tersebut secara sistematis, akan tetapi selain dengan cara membaca buku teks dan jurnal (yang kadang kadang publikasinya sudah tidak ‘up to date’ dan ketinggalan jaman) akan menempuh jalan ‘aman’ dan ‘memotong jalur proses review sistematis’ dengan cara ‘sering bertanya’ dan merujuk/konsul kepada sejawat maupun konsulen yang seharusnya bisa diputuskan sendiri. Padahal sebagaimana diketahui bersama bahwa ‘medicine is a long life study’, berorientasi memecahkan masalah dan berdasarkan prinsip bahwa pengalaman itu penting akan tetapi setiap pengamatan (observasi) harus dicatat secara sistematis tanpa ‘bias’ dan penelusuran referensi dilakukan dari literatur orisinal (bukan hasil sintesis orang lain) serta penelahaan kritis dilakukan sesuai dengan aturan eviden yang berlaku. “Evidence-based Medicine (EBM)” dan “Evidence-based Health Care (EBHC)” adalah cara pendekatan untuk mengambil keputusan dalam penatalaksanaan pasien (dan atau penyelenggaraan pelayanan kesehatan ) secara eksplisit dan sistematis berdasarkan bukti penelitian terakhir yang sahid (valid) dan bermanfaat. Sedangkan yang dimaksud ‘bermanfaat’ (usefullness) adalah ketepatan memanfaatkan berbagai sumber informasi yang relevan dalam penulusuran bukti/eviden yang sahih dan mutakhir dalam waktu yang relatif singkat untuk menegakkan diagnosis dan skrining, menentukan prognosis dan memberikan terapi dalam penatalaksanaan pasien sebagai individu maupun kelompok serta penyelenggaraan layanan kesehatan. Secara ringkas komponen struktur tersebut dapat diformulasikan sebagai berikut: Usefullnes in clinical practice = Relevance X Valid Easy to access “Evidence-based Medicine (EBM)” dan “Evidence-based Health Care (EBHC)” bukan hanya satu set tehnik semata, akan tetapi lebih dari itu yakni sebagai satu paradigma (model) baru dalam meninjau dunia kedokteran dengan cara yang berbeda dalam praktek kedokteran sehari hari dengan memadukan pengalaman klinis, didukung dengan bukti saintifik yang eksplisit serta menerapkan kaidah ilmu epidemiologi klinis, disamping mempertimbangkan nilai etika dan upaya memenuhi harapan pasien (patients expected values and preferences) dalam penatalaksanaan penyakit pasien dan atau penyelenggaraan pelayanan kesehatan (Gambar 7).
7
Gambar 7. Model ‘Evidence-based Medicine/EBM’ Nilai dan harapan pasien
Penatalaksanaan pasien: Diagnostik/skrining Prognosis Terapi/Rehabilitatif
EBM
Pengalaman klinis
Hasil penelitian
Sistem penatalaksanaan pasien: Kebijakan penyelenggara institusi pelayanan, pendidikan dan profesi (Policy) Pedoman klinis (Manual) SOP (Clinical guidelines) Penatalaksanaan pasien
Secara umum kelima langkah EBM tersebut terdiri dari (Gambar 8): 1. 2. 3. 4. 5.
Formulasi Pertanyaan (masalah) yang bisa dicari jawabannya Penelusuran pustaka dalam rangka pencarian bukti Penelahaan bukti hasil penelusuran Penerapan hasil penelahaan Evaluasi penerapan
8
Gambar 8. Siklus Evidence-based Medicine (EBM)
Formulasi Pertanyaan yang bisa dicari jawabannya
1
2
5
Evaluasi penerapan
4
Penerapan hasil penelahaan
Evidence-based Medicine (EBM)
Penelusuran pustaka dalam rangka pencarian bukti/eviden
Penelahaan bukti hasil penelusuran
3
Kelima langkah diatas tersebut sama penting dan saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Akan tetapi ada 3 hal yang harus diperhatikan dalam langkah tersebut yakni mendapatkan eviden secepatnya ( getting the evidence straight - that means accesibilty), membuat kebijakan berdasarkan eviden (developing policy from the evidence) dan menerapkan kebijakan tersebut pada waktu dan tempat yang sesuai (apply the policy at the right time and place). Ketiga hal diatas menyangkut dimensi ‘waktu’, sedangkan sebagaimana diketahui, penelitian yang baik (misalnya uji klinis tersamar ganda) memakan waktu lama dan biaya yang tidak sedikit, kemahiran dalam mencari sumber informasi (langkah kedua) dan melakukan penelahaan kritis (langkah ketiga) memerlukan waktu khusus. Untuk mengantisipasi ketiga hal tersebut, akhir akhir ini ada kecenderungan pergeseran dari model pendekatan “Traditional EBM/EBHC” kearah ‘Information Mastery’ (Gambar 9).
9
Gambar 9. Perbedaan dan persamaan langkah dalam pendekatan ‘Traditional EBM/EBHC’ dan ‘Information Mastery’ Formulasi masalah klinis/manajerial yang bisa dicari jawabannya
Traditional EBM/EBHC
Penulusuran sumber informasi sekunder: Cochrane, POEMs, Best Evidence, InfoRetriever dll
Penulusuran sumber informasi primer: Medline dan literatur penelitian original
Penelahaan informasi: Validitas Hasil Relevansi
Tidak
Information Mastery
Apakah relevan ? Apakah harus merubah cara praktek/manajemen? Validitas ?
Ya
Ya
Tidak
Penerapan terhadap pasien/penyelenggaraan layanan
Evaluasi dampak perubahan tersebut
Pada saat ini sering diutarakan tentang istilah ‘Clinical Governance’ yang intinya sebagai upaya dalam rangka continuous quality improvement (CQI) berdasarkan pendekatan kombinasi Evidence-based Medicine/EBM, Evidence-based Healthcare dan Evidencebased Policy yang terdiri dari empat aspek yaitu professional performance, resource use (efficiency), risk management dan patients’ satisfaction. Penerapan ‘Clinical Governance’ dalam suatu organisasi pelayanan kesehatan memerlukan beberapa persyaratan yakni organisastion-wide transformation, clinical leadership dan positive 10
organizational cultures. Sedangkan sebagaimana telah diketahui bahwa istilah dan definisi ‘mutu’ itu sendiri mempunyai arti/makna dan perspektif yang berbeda bagi setiap individu tergantung dari sudut pandang masing masing. Dapat ditinjau dari segi profesi medis/perawat, manajer, birokrat maupun konsumen pengguna jasa pelayanan sarana kesehatan. (‘Quality is different things to different people based on their belief and norms’). Begitu juga mengenai perkembangan akan ‘mutu’ dari cara ‘inspection’, quality control, quality assurance sampai ke total quality. Jepang menggunakan istilah quality control untuk seluruhnya, sedangkan di Amerika memakai istilah ‘continuous quality improvement’ untuk ‘total quality’ dan Inggris memakai istilah quality assurance untuk ‘quality assurance’, ‘continuous quality improvement’ maupun untuk ‘total quality’ dan tidak membedakannya. Di negara kita dikenal juga akan istilah ‘Gugus Kendali Mutu/GKM’ dan ‘Akreditasi’. Bila kita pelajari, evolusi perkembangan mutu berasal dari bidang industri pada awal akhir abad ke sembilan belas dan awal abad ke dua puluh di masa perang dunia pertama. Pada waktu itu industri senjata menerapkan kaidah ‘inspection’ dalam menjaga kualitas produksi amunisi dan senjata. Shewart mengembangkan dan mengadopsi serta menerapkan kaidah statistik sebagai ‘quality control’ serta memperkenalkan pendekatan siklus P-D-S-A (Plan, Do, Study dan Act) yang mana hal ini kemudian dikembangkan oleh muridnya Deming sebagai P-D-C-A (Plan, Do, Check dan Action). Tatkala Deming diperbantukan ke Jepang dalam upaya memperbaiki dan mengembangkan industri, beliau mengembangkan dengan memadukan unsur budaya Jepang ‘kaizen’ dan filosofi Sun Tzu dalam hal ‘benchmarking’ maupun manajemen dan dikenal sebagai ‘total quality’. Kaidah PDCA ini menjadi cikal bakal yang kemudian dikenal sebagai ‘generic form of quality system’ dalam ‘quality assurance’ dari BSI 5751 yang kemudian berubah menjadi seri EN/ISO 9000 dan 14 000 dengan berbagai variannya seperti ISO 9000: 2000, MBNQA, EFQM dan sebagainya. Sedangkan untuk bidang kesehatan, Donabedian dengan ‘structure, process dan outcome’ pada awal tahun 80an memperkenalkan tentang cara penilaian untuk standar, kriteria dan indikator. Selang beberapa tahun kemudian Maxwell mengembangkan penilaian tersebut menjadi ‘six dimensions of quality’. Tehnik Donabedian dan Maxwell ini lebih menitikberatkan tentang hal membuat standar dan penilaiannya (akreditasi) yang merupakan 2 dari 3 komponen ‘quality assurance’. Komponen ke tiga (‘continuous quality improvement’) tidak berkembang, sehingga akibatnya meskipun suatu organisasi pelayanan kesehatan tersebut telah mendapat akreditasi dan sertifikasi ISO 9000 maupun yang sejenisnya, akan tetapi ‘mutu’nya tetap tidak bergeming dan tidak meningkat. Apa yang salah? Karena komponen ke tiga (yakni ‘continuous quality improvement’) tersebut tidak dilaksanakan secara berkesinambungan dan konsisten serta tidak melibatkan seluruh profesi (medis/paramedis, manajer, birokrat, dan pemilik) yang seharusnya terlibat dan berpartisipasi aktif melalui transformasi budaya mutu dengan cara membentuk ‘learning environment dan kaderisasi bidang mutu pelayanan berkesinambungan kepada seluruh profesi sehingga terbentuk suatu organisasi yang berorientasi kepada pasien (patient/customer focused oriented). Tanggung jawab akan mutu suatu pelayanan adalah 11
tanggung jawab setiap insan profesi (medis/paramedis, manajer, birokrat, dan pemilik), bukan organisasi atau unit ataupun individu profesi semata , akan tetapi seluruh anggota. Untuk mewujudkan ‘mutu pelayanan adalah tanggung jawab setiap insan profesi’ maka diperlukan awareness, pengetahuan dan ketrampilan tentang mutu dan manajemen secara umum kepada setiap anggota profesi di seluruh tingkat dalam suatu organisasi agar sudut pandang/persepsi sama akan visi dan misi serta tujuan dari pelayanan tersebut tercapai scara optimum. Proses ini diharapkan berkesinambungan agar terbentuk suatu ‘quality trained community’ dan terciptanya budaya transformasi ‘quality is everyone’s responsibility’ yang akan menuju kearah Total Quality Service/Management dengan ‘process driven’ dan ‘customer-focused oriented’ melalui pendekatan integrasi sinergis antara Evidencebased Medicine, Evidence-based Healthcare dan Evidence-based Policy sesuai dengan individu profesi tersebut berasal dalam saru sistem Clinical Governance. Kesimpulan Dalam implementasi Clinical Governance diperlukan leadership (klinis dan manajerial) komitment penuh dan partisipasi aktif dari setiap anggota dan pimpinan serta profesi dalam suatu organisasi yang jelas dari segi struktur, wewenang dan tugasnya masing masing. Oleh karena itu dalam upaya mencapai hasil yang optima dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan terhadap pasien baik secara individu maupun kelompok serta efisien dan berazas manfaat, maka diperlukan suatu ‘keputusan’ yang baik dan tepat didalam ‘sistem’ yang jelas dan konsisten. Hal ini akan terwujud bila mempunyai jiwa kepemimpinan (leadership) yang visioner, ‘survivalist’ dan konsekuen serta mempunyai wawasan ‘leadership’ yang baik dan diharapkan nantinya akan mampu membuat ‘keputusan’ yang tepat tatkala menghadapi tantangan globalisasi dan tekanan ‘multinational company’ di masa mendatang. Daftar Pustaka 1. Buetow SA, Roland M. Clinical governance: bridging the gap between managerial and clinical approaches to quality of care. Qual Health Care 1999;8:184-190. 2. Crosby PB. Quality without tears. New York:McGraw-Hill, 1985. 3. Christakis DA, Davis R, Rivara FP. Pediatric evidence-based medicine: past, present, and future. J Pediatr 2000;136:383-9. 4. Deming WE. Out of crisis. Cambridge: MIT, 1986. 5. Donabedian A. The quality of care: how can it be assessed ? JAMA 1988; 260:17438. 6. Firmanda D. Total Quality Management in Healthcare. Nuffield Institute of Health, University of Leeds, United Kingdom, 1998. 7. Firmanda D. Total quality management in health care (Part One). Indones J Cardiol Pediatr 1999; 1(1):43-9. 8. Firmanda D. Professional continuous quality improvement in health care: standard of procedures, clinical guidelines, pathways of care and evidence-based medicine. What are they? Indones J Hospital Management and Administration 1999; 1(3): 139-144. 12
9. Firmanda D. Editorial: Professionalism. Medicinal 2000; 1(1):6. 10. Firmanda D. Evidence-based Medicine (Part One): a clinical decision making approach. Medicinal 2000; 1(1):21-5. 11. Firmanda D. Key to success of quality care programs: empowering medical professional. Global Health Journal 2000; 1(1) http://www.interloq.com/a26.htm 12. Firmanda D. The pursuit of excellence in quality care: a review of its meaning, elements, and implementation. Global Health Journal 2000;1(2) http://www.interloq.com/a39vlis2.htm 13. Firmanda D. The relationship of Evidence-based Medicine, Health Technology Assesssment and Clinical Governance in improving the quality of health care services. Forum on Evidence-based Medicine and Health Care. http://yahoogroups.com/group/ebm-f2000 14. Firmanda D. Professional continuous quality improvement: from Evidence-based Medicine towards Clinical Governance. Presented in 23rd International Congress Of Pediatrics, Beijing 9th -14th September 2001. 15. Firmanda D, Sackett D, O’Rourke K, Angell M et al . How do the outcomes of patients treated within randomised control trials compare with those of similar patients treated outside these trials? TROUT Review Group 2001. http://hiru.mcmaster.ca/ebm/trout 16. Firmanda D. Penerapan hasil penelitian dalam praktik kedokteran. Sari Pediatri 2001; 17. Firmanda D. The concept, structures and implementation of Indonesian Medical Management. Presented in seminar and discussion on “Medical Management”, Jakarta 30th May 2001 (in Indonesian). 18. Firmanda D. The evolution and roles of Evidence-based Health Policy in Health Service Management. Presented in seminar and discussion panel on “Evidence-based Policy for the era of Indonesian Health Decentralized System in 21st century”. Center for Public Health Research, Faculty of Medicine, Gadjah Mada University, Yogyakarta 1st March 2001 (in Indonesian). 19. Geyman JP, Deyo RA, Ramsey SD. Evidence-based clinical practice. Boston: Butterworth Heinemann, 2000. 20. Gilbert R, Logan S. Future prospects for evidence-based child health. Arch Dis Child 1997;75:465-8. 21. Guyatt GH. Users’ guides to medical literature. JAMA 1993; 270(17); 1096-7. 22. Guyatt GH, Meade MO, Jaeschke RZ, Cook DJ, Haynes RB. Practitioners of evidence based care. BMJ 2000;320: 954-955. 23. Juran JM. Juran on leadership for quality: an executive handbook. New York: FreePress, 1989. 24. Lipman T, Price D, Greenhalgh T. Decision making, evidence, audit, and education: case study of antibiotic prescribing in general practice Commentary: What can we learn from narratives of implementing evidence? BMJ 2000;320 (7242):1114-1118. 25. McColl A, Roderick P, Smith H et al. Clinical governance in primary care groups: the feasibility of deriving evidence-based performance indicators. Qual Health Care 2000;9:90-7. 26. Moss F, Palmberg M, Plsek P, Schellekens W. Quality improvement around the world:how much we learn from each other. Qual Health Care 2000;8:63-6. 27. Moyer VA and Elliott EJ. Evidence-based pediatrics: The future is now. J Pediatr 2000;136(3):282-4. 13
28. Oxman AD, Sackett DL, Guyatt GH. Users’ guides to medical literature I: how to get started. JAMA 1993; 270(17); 1093-5. 29. Rooney G. TQM/CQI in business and health care. AAOHN Journal 1992; 40:319-25. 30. Sackett DL, Rosenberg WM, Gray JAM, Haynes RB, Richardson WS. Evidencebased medicine: what it is and what it isn’t. BMJ 1996;312:71-2. 31. Sackett DL, Richardson WS, Rosenberg W, Haynes RB. Evidence-based medicine: how to practice and teach EBM. 1st ed. Edinburgh: Churchill Livingstone, 1997. 32. Sackett DL, Straus SE, Richardson WS, Rosenberg W, Haynes RB. Evidence-based medicine: how to practice and teach EBM. 2nd ed. Edinburgh: Churchill Livingstone, 2000. 33. Scally G, Donaldson LJ. Clinical governance and the drive for quality improvement in the new NHS in England. BMJ 1998; 317(7150):61-5. 34. WHO. The principles of quality assurance. Copenhagen: WHO, 1983.
14