Doc Bahaya Kerja Icu.docx

  • Uploaded by: Denny Safi
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Doc Bahaya Kerja Icu.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,993
  • Pages: 26
MAKALAH “PENGELOLAAN BAHAYA KERJA DI ICU”

MATA KULIAH KESELAMATAN PASIEN DAN KESEHATAN KERJA Dosen Pembimbing: Ns. Susana Widyaningsih, MNS

Oleh: Kelompok II Sis Sukarno

22020118183016

Yunita A. Koroh

22020118183017

Zaenal Arifin

22020118183028

Mudrikah

22020118183029

Siti Mariam Ismail

22020118183033

DEPATEMEN ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO TAHUN 2018

DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1 A.

LATAR BELAKANG ........................................................................................... 1

B.

TUJUAN ................................................................................................................ 1 1.

Tujuan Umum ................................................................................................... 1

2.

Tujuan Khusus .................................................................................................. 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................... 3 A.

DEFINISI KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA RUMAH SAKIT 3

B.

RISIKO BAHAYA DI RUMAH SAKIT............................................................. 3

BAB III ANALISIS SITUASI .......................................................................................... 7 A.

KONSEP RUANG ICU ........................................................................................ 7

B.

RISIKO BAHAYA DI RUANG ICU .................................................................. 8

BAB IV PEMBAHASAN ............................................................................................... 17 BAB V PENUTUP........................................................................................................... 22 A.

KESIMPULAN ................................................................................................... 22

B.

SARAN ................................................................................................................. 22

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ ii LAMPIRAN...................................................................................................................... iii

i

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Meningkatnya pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan oleh masyarakat menuntut pengelolaan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) di rumah sakit agar menjadi lebih baik. Tenaga kerja di rumah sakit, pasien, pengunjung, pengantar pasien, peserta didik dan masyarakat disekitar rumah sakit ingin mendapatkan perlindungan dari gangguan kesehatan dan kecelakaan kerja, baik karena dampak kegiatan pemberian pelayanan maupun karena kondisi sarana dan prasarana di rumah sakit. Terwujudnya sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang baik membutuhkan sumber daya manusia yang mempunyai kompetensi yang baik pula terutama untuk mendeteksi dan menangani risiko bahaya yang ada di lingkungan rumah sakit. Hal tersebut dapat dicapai bilamana karyawan rumah sakit mengetahui jenis-jenis risiko bahaya di rumah sakit dan metode pengendaliannya, sehingga rumah sakit dapat menjadi tempat yang aman bagi petugas, pasien, pengunjung, pengantar pasien, peserta didik dan masyarakat di sekitar rumah sakit. Risiko bahaya di rumah sakit dapat menyebabkan penyakit dan kecelakaan akibat kerja bagi petugas, pengunjung, pasien dan masyarakat disekitar lingkungan rumah sakit. Salah satu ruangan yang tidak luput dari resiko bahaya kerja di rumah sakit adalah ruang ICU (Intensive Care Unit). Terdapat berbagai risiko bahaya yang perlu dikenali oleh petugas ICU. Dengan mengenal risiko bahaya kerja diharapkan petugas mampu mengidentifikasi risiko dan mengetahui upaya pengendalian serta pengelolaan bahaya kerja.

B. TUJUAN 1. Tujuan Umum Mahasiswa mampu memahami tentang bahaya kerja di ruang ICU.

1

2. Tujuan Khusus a. Mahasiswa mampu mengenal risiko bahaya yang ada di ruang ICU; b. Mahasiswa mampu mengidentifikasi risiko bahaya yang ada di ruang ICU; c. Mahasiswa mampu memahami pengendalian dan risiko bahaya yang ada di ruang ICU.

2

pengelolaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. DEFINISI KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA RUMAH SAKIT Pasal 1 Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 66 Tahun 2016 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit mendefinisikan keselamatan kerja sebagai upaya yang dilakukan untuk mengurangi terjadinya kecelakaan, kerusakan dan segala bentuk kerugian baik terhadap manusia, maupun yang berhubungan dengan peralatan, obyek kerja, tempat bekerja, dan lingkungan kerja, secara langsung dan tidak langsung. Selanjutnya pasal 2 menyebutkan definisi kesehatan kerja sebagai upaya peningkatan dan pemeliharaan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi pekerja di semua jabatan, pencegahan penyimpangan kesehatan yang disebabkan oleh kondisi pekerjaan, perlindungan pekerja dari risiko akibat faktor yang merugikan kesehatan, penempatan dan pemeliharaan pekerja dalam suatu lingkungan kerja yang mengadaptasi antara pekerjaan dengan manusia dan manusia dengan jabatannya. Definisi selanjutnya yang tertera dalam pasal 3 terkait Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit yang selanjutnya disingkat K3RS yaitu segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi keselamatan dan kesehatan bagi sumber daya manusia rumah sakit, pasien, pendamping pasien, pengunjung, maupun lingkungan rumah sakit melalui upaya pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja di rumah sakit.

B. RISIKO BAHAYA DI RUMAH SAKIT Secara umum risiko bahaya di rumah sakit dapat dikelompokkan dalam 5 kelompok sebagai berikut: 1. Risiko Bahaya Fisik Risiko bahaya fisik dikelompokkan lagi dalam 7 risiko bahaya, antara lain: a. Risiko bahaya mekanik, dapat dikelompokkan dalam 5 kelompok yaitu: 1) Benda-benda lancip, tajam dan panas dengan risiko bahaya tertusuk, terpotong, tergores, dan lain-lain.

3

Risiko bahaya ini termasuk salah satu yang paling sering menimbulkan kecelakaan kerja yaitu tertusuk jarum suntik bekas pasien. Risiko bahaya ini sebenarnya bukan hanya risiko bahaya fisik karena dimungkinkan jarum bekas yang menusuk tersebut terkontaminasi dengan kuman dari pasien; 2) Benda-benda bergerak yang dapat membentur. Aktivitas di rumah sakit banyak menggunakan kereta dorong untuk mengangkut pasien dan barang-barang logistik. Risiko yang dapat muncul

adalah

pasien

jatuh

dari

brankart/bed,

petugas

tertabrak/terjepit kereta dorong, dan lain-lain; 3) Risiko terjepit, tertimbun dan tenggelam. 4) Risiko ini dapat terjadi dimana saja meskipun kejadiannya tidak terlalu sering; 5) Risiko jatuh dari ketinggian yang sama: terpeleset, tersandung, dan lain-lain. 6) Risiko ini terutama pada lantai-lantai yang miring baik di koridor, ramp atau batas lantai dengan halaman; 7) Jatuh dari ketinggian berbeda. Risiko ini ada pada ruang perawatan anak dan jiwa. Selain itu perlu diperhatikan pada pekerjaan konstruksi bangunan atau pembersihan kaca pada posisi yang cukup tinggi; b. Risiko bahaya radiasi. Risiko bahaya radiasi dapat dibedakan menjadi: 1) Bahaya radiasi pengion adalah radiasi elektromagnetik atau partikel yang

mampu

menghasilkan

ion

langsung

atau

tidak

langsung. Contoh di rumah sakit: di unit radiodiagnostik, radioterapi dan kedokteran nuklir; 2) Bahaya radiasi non pengion adalah radiasi elektromagnetik dengan energi yang tidak cukup untuk ionisasi, misal radiasi infra merah atau radiasi gelombang mikro. c. Risiko bahaya akibat kebisingan adalah kebisingan akibat alat kerja atau lingkungan kerja yang melebihi ambang batas tertentu. Risiko ini

4

mungkin berada di ruang boiler, generator listrik, dan peralatan yang menggunakan alat-alat cukup besar dimana tingkat kebisingannya tidak dipantau dan dikendalikan; d. Risiko bahaya akibat pencahayaan adalah pencahayaan pada lingkungan kerja yang kurang atau berlebih; e. Risiko bahaya listrik adalah bahaya dari korsleting listrik dan kesetrum arus listrik; f. Risiko bahaya akibat iklim ruang kerja adalah berupa suhu ruangan dan tingkat kelembaban. Jika suhu dan kelembaban di rumah sakit tidak dikendalikan dapat mempengaruhi lingkungan kerja dan kualitas hasil kerja; g. Risiko bahaya akibat getaran adalah risiko yang tidak banyak ditemukan di rumah sakit tetapi mungkin masih ada terutama pada kedokteran gigi yang menggunakan bor dengan motor listrik dan pada bagian housekeeping yang menggunakan mesin pemotong rumput (bagian taman). 2. Risiko Bahaya Biologi. a. Risiko dari kuman-kuman patogen dari pasien (nosokomial); b. Risiko dari binatang (tikus, kecoa, lalat, kucing, dan lain-lain). 3. Risiko Bahaya Kimia. Risiko dari bahan kimia yang digunakan dalam proses produksi yang meliputi: a. Desinfektan yaitu bahan-bahan yang digunakan untuk dekontaminasi lingkungan dan peralatan di rumah sakit seperti mengepel lantai, desinfeksi peralatan dan permukaan peralatan dan ruangan, dan lainlain; b. Antiseptik yaitu bahan-bahan yang digunakan untuk cuci tangan dan mencuci permukaan kulit pasien seperti alkohol, iodine povidone, dan lain-lain; c. Detergen yaitu bahan-bahan yang digunakan untuk mencuci linen dan peralatan lainnya;

5

d. Reagen yaitu zat atau bahan yang dipergunakan untuk melakukan pemeriksaan laboratorium klinik dan patologi anatomi; e. Obat-obat sitotoksik yaitu obat-obatan yang dipergunakan untuk pengobatan pasien; f. Gas medis yaitu gas yang dipergunakan untuk pengobatan dan bahan penunjang pengobatan pasien seperti oksigen, karbondioksida, nitrogen, nitrit oxide, nitrous oxide, dan lain-lain. 4. Risiko Bahaya Fisiologi / Ergonomi. Risiko ini terdapat pada hampir seluruh kegiatan di rumah sakit berupa kegiatan: angkat dan angkut, posisi duduk, ketidaksesuaian antara peralatan kerja dan ukuran fisik pekerja. Pengendalian dilakukan melalui sosialisasi secara berkala oleh Unit K3. 5. Risiko Bahaya Psikologi. Risiko ini juga dapat terjadi di seluruh rumah sakit berupa ketidakharmonisan hubungan antar manusia didalam rumah sakit, baik sesama pekerja, pekerja dengan pelanggan, maupun pekerja dengan pimpinan.

6

BAB III ANALISIS SITUASI

A. KONSEP RUANG ICU 1. Definisi Unit Perawatan Intensif atau Intensive Care Unit (ICU) merupakan salah satu unit pelayanan rawat inap di rumah sakit yang memberikan perawatan khusus pada penderita yang memerlukan perawatan yang lebih intensif, yang mengalami gangguan kesadaran, gangguan pernafasan, dan mengalami serangan penyakit akut. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1778/MENKES/SK/XII/2010

tentang

Pedoman

Penyelenggaraan

Pelayanan ICU di rumah sakit, Intensive Care Unit (ICU) merupakan ruang perawatan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan pelayanan observasi, perawatan dan terapi pasien-pasien yang menderita penyakit, cedera atau penyulit-penyulit yang mengancam nyawa atau potensial mengancam nyawa dengan prognosis dubia yang diharapkan masih reversible (Kemenkes RI, 2010). 2. Fungsi Intensive Care Unit (ICU) mempunyai 2 fungsi utama menurut Kemenkes RI, 2010, yaitu: a. Melakukan perawatan pada pasien-pasien gawat darurat dengan potensi “reversible life threatening organ dysfunction”; b. Mendukung organ vital pada pasien-pasien yang menjalani operasi elektif yang kompleks atau prosedur intervensi dan resiko tinggi untuk fungsi vital. 3. Ruang Lingkup Ruang lingkup pelayanan di ICU meliputi hal -hal sebagai berikut: a. Diagnosis dan penatalaksanaan spesifik penyakit-penyakit akut yang mengancam nyawa dan dapat menimbulkan kematian dalam beberapa menit sampai beberapa hari; b. Pemberian bantuan dan mengambil alih fungsi vital tubuh sekaligus melakukan penatalaksanaan spesifik problema dasar; 7

c. Pemantauan fungsi vital tubuh dan penatalaksanaan terhadap komplikasi yang ditimbulkan oleh penyakit; d. Pemberian bantuan psikologis pada pasien yang kehidupannya sangat tergantung pada alat/mesin dan orang lain.

B. RISIKO BAHAYA DI RUANG ICU Ada berbagai risiko bahaya kerja yang dapat menyebabkan petugas ICU memiliki masalah kesehatan yang perlu dikenali oleh petugas ICU. Masalah kesehatan kerja di ruang ICU tidak hanya menyebabkan penurunan produktivitas dan kepuasan kerja petugas tetapi juga meningkatkan jumlah ketidakhadiran dan kelelahan yang berdampak buruk pada perawatan pasien dan peningkatan biaya pengobatannya. Mengenali bahaya kerja dan risiko yang timbul dari lingkungan kerja membantu dalam perencanaan strategi untuk melindungi dan mempromosikan program kesehatan untuk petugas ICU. Pemahaman tentang keselamatan dan kesehatan kerja merupakan faktor kunci untuk meningkatkan kualitas hidup, efisiensi kerja dan kepuasan kerja dari petugas ICU. Petugas ICU menghadapi banyak bahaya di tempat kerjanya karena lingkungan kerja yang sangat komplek. Perawat merupakan profesi yang banyak terlibat dalam tugas pekerjaan yang kompleks di ICU seperti manajemen obat-obatan, pengorganisasian lingkungan ICU, mengkoordinir tugas-tugas diantara staf keperawatan dan memberikan perawatan langsung pada pasien. Berikut faktor-faktor yang dapat menyebabkan bahaya kerja pada petugas ICU. 1. Bahaya Kerja terkait Lingkungan Kerja ICU. Lingkungan

kerja

dianggap

sebagai

faktor

penting

yang

mempengaruhi motivasi dan kepuasan kerja karyawan. Pengaturan lingkungan kerja di ruang ICU yang tidak tepat dapat menimbulkan banyak bahaya kerja. Lingkungan kerja harus dipertimbangkan dengan hati-hati karena hasil negatif untuk tenaga kerja ICU yang berhubungan dengan kepuasan kerja dan kelelahan berdampak negatif untuk pasien seperti

8

keselamatan yang kurang memadai, gangguan kualitas perawatan, kesalahan medis dan peningkatan angka kematian. Lingkungan kerja di ICU tidak hanya berkaitan dengan lingkungan fisik, tetapi juga terkait dengan manajemen psikososial. Sifat buruk lingkungan kerja dikaitkan dengan sejumlah bahaya dan risiko. Lingkungan ICU dapat menyebabkan sejumlah risiko kesehatan dalam kaitannya dengan bahaya kerja. Bahaya kerja tersebut meliputi lingkungan fisik ICU, kondisi kerja, faktor-faktor psikososial, faktor ergonomi, faktor biologis dan faktor kimia. a. Lingkungan fisik Lingkungan fisik ICU mungkin mengandung berbagai bahaya yang dapat menyebabkan cedera bagi petugas ICU. Bahaya tersebut berhubungan dengan faktor mekanik, peralatan, kebisingan, cahaya, panas dan kelembaban. Dalam kondisi di mana karakteristik fisik tempat kerja tidak dirancang dengan mempertimbangkan kebutuhan dan harapan petugas, maka dapat mengakibatkan penurunan prestasi kerja petugas dan peningkatan jumlah kehilangan hari kerja. Faktor-faktor lingkungan fisik yang mengandung risiko bahaya di ICU antara lain: 1) Faktor mekanik. Terdapat beberapa risiko bahaya karena faktor mekanik, yaitu: (a) Tertusuk jarum suntik bekas pasien; (b) Terbentur benda-benda bergerak yang dapat membentur seperti brankart untuk mengangkut pasien, pasien jatuh dari brankart/ tempat tidur, kejatuhan barang-barang dari trolley emergency (terutama saat kondisi emergency); (c) Risiko jatuh, terpeleset karena lantai licin dan tersandung. 2) Faktor peralatan. ICU adalah salah satu unit perawatan dengan peralatan canggih dalam sebuah setting rumah sakit. Peralatan-peralatan tersebut seyogyanya dapat digunakan secara efektif, bilamana dalam pengaturan ruangan ICU mempertimbangkan prinsip-prinsip arsitektur untuk standar ICU. Hal-hal yang perlu diperhatikan

9

misalnya meliputi jarak setiap bed dan ketinggian monitor sehingga petugas kesehatan dapat memiliki ruang yang cukup untuk merawat pasien mereka. Lingkungan ICU membutuhkan tata letak fisik dan desain workstation yang tepat. Desain arsitektur ICU mempengaruhi kepuasan kerja, tingkat stres dan kesejahteraan para profesional perawatan kesehatan yang bekerja di ruang ICU. Pengalaman dan pendapat anggota ICU harus diminta sebelum desain arsitektur ICU dibuat. 3) Kebisingan. Desain ruang ICU harus mencegah gangguan yang disebabkan oleh tingkat kebisingan yang tinggi di ICU, karena hasil penelitian menunjukkan bahwa kebisingan dapat menyebabkan peningkatan tingkat stres bagi pekerja. 4) Pencahayaan. Pencahayaan yang buruk di ICU dapat menyebabkan ketidaknyamanan petugas ICU saat melakukan tugas sehari-hari mereka. Pencahayaan yang sesuai harus mempertimbangkan tingkat pencahayaan yang ideal di berbagai bagian ICU. Pencahayaan yang sesuai di ICU berdasarkan standar yang ditetapkan oleh Kemenkes RI adalah sebagai berikut: Tingkat Pencahayaan (lux)

Kelompok Renderasi Warna

Ruang Rawat Pasien Ruang Istirahat Dokter dan Perawat Ruang Administrasi

250

1 atau 2

Fungsi Ruangan

Temperatur Warna Cool Warm White Daylight White 3300 K>5300 K <3300 K 5300 K X

250

1

350

1 atau 2

X X

Ruang Sterilisasi

250

1 atau 2

X

Gudang

150

1 atau 2

Pantry

200

Toilet

250

1 1 atau 2

Ruang Pertemuan

250

1 atau 2

Ruang Tunggu

200

1

X

X

X

X

X

X

X

X

X

X

Spoelhok 250 1 atau 2 X Tabel 1. Rekomendasi Tingkat Pencahayaan Rata-rata, Renderensi danTemperatur Warna di ICU Sumber: Kementerian Kesehatan RI, 2012

10

5) Panas dan kelembaban Suhu panas dan AC di ruang ICU adalah kondisi fisik penting yang mempengaruhi suhu tubuh dan menyebabkan tekanan panas pada petugas ICU. Perubahan suhu tubuh dan detak jantung bersamaan dengan kondisi berkeringat yang dikenal sebagai gejala regangan panas (heat strain) merupakan jenis strain fisiologis yang menunjukkan respons kardiovaskular terhadap kebutuhan aliran darah. Dalam kondisi dimana panas dan ventilasi di lingkungan ICU tidak dalam batas yang ideal maka tubuh mengeluarkan panas dengan

berevaporasi

(mengeluarkan

keringat),

tingkatannya

bervariasi tergantung pada dengan gerakan udara, kelembaban dan jenis pakaian yang dikenakan petugas. Heat strain terutama dapat menyebabkan ketidaknyamanan dan menginduksi gangguan terkait suhu yang panas (dehidrasi). Suhu ideal untuk tempat kerja yang direkomendasikan antara 19° dan 23° C. Kelembaban adalah faktor lain di lingkungan kerja yang mempengaruhi

kesehatan

petugas.

Dalam

kondisi

ketika

kelembaban rendah (udara kering) dapat menyebabkan hidung tersumbat, kulit kering dan gatal, mata sakit, sakit tenggorokan dan gejala seperti flu dalam kasus lebih lanjut. Kelembaban relatif yang dinyatakan untuk dipertahankan antara 40 dan 70%. b. Kondisi Pekerjaan Pasien di ICU menerima perawatan medis berkelanjutan 24 jam sehari dari petugas ICU melalui sistem shift. Ada banyak tugas pekerjaan dan beban kerja yang berbeda terkait dalam pengaturan ICU. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh beban kerja yang berlebihan dalam pengaturan ICU dapat mengakibatkan tingkat stres yang tinggi serta ketidakpuasan kerja dan cedera fisik. Ada korelasi langsung antara shift panjang dan kelelahan karena beban kerja yang berlebihan.

11

Terdapat standar yang mempertimbangkan jumlah petugas di ICU. Rasio intensivis-ke-pasien adalah idealnya tidak lebih tinggi dari 1:14 karena mempengaruhi kesejahteraan staf dan perawatan pasien. Menurut American College of Critical Care Medicine, tingkat intensivitas perawat-ke-pasien yang direkomendasikan adalah 1:1 untuk pasien kritis dengan ventilasi mekanik, dan jumlah maksimum pasien yang akan dibebankan ke perawat adalah 2. Namun standar itu mungkin saja tidak berlaku di beberapa rumah sakit terkait dengan kurangnya petugas. Studi dalam literatur menunjukkan bahwa ada korelasi antara peningkatan beban kerja dan peningkatan kesalahan medis dan infeksi di rumah sakit. Selain itu, ada hubungan antara peningkatan beban kerja dan tingkat kematian pasien di ICU. Beban kerja yang berlebihan dalam pengaturan ICU merupakan faktor risiko utama untuk infeksi rumah sakit seperti pneumonia, infeksi saluran kemih, infeksi aliran darah, dan infeksi lokasi pembedahan. Hal ini dinyatakan dalam literatur bahwa ketika perawat ICU memberikan perawatan untuk satu pasien di atas jumlah yang direkomendasikan maka ada peningkatan risiko untuk kegagalan paru sebesar 53%, untuk pneumonia nosokomial sebesar 7%, untuk ekstubasi yang tidak direncanakan sebesar 45% dan untuk tingkat kematian sebesar 9%. Dalam konteks ini, beban kerja para profesional perawatan kesehatan di ICU sangat penting tidak hanya untuk menyebabkan masalah kesehatan kerja, tetapi juga untuk masalah keselamatan pasien. Karakteristik kerja di ICU yang membutuhkan jadwal kerja yang panjang menyebabkan kelelahan fisik dan mental. Sebagai masalah selanjutnya, efek negatif dari kerja shift telah dibicarakan untuk waktu yang lama, dan diterima sebagai hal merugikan. Ini memiliki dampak negatif pada kesehatan individu, seperti mengganggu ritme sirkandian, menyebabkan gangguan tidur, menyebabkan peningkatan risiko gangguan saluran cerna, meningkatkan level stres, mengubah aktivitas dan pola istirahat serta mempengaruhi kehidupan sosial dan domestik.

12

Selain itu, hal ini dapat mengganggu fungsi kimia dan hormon tubuh karena fakta bahwa orang yang bekerja pada malam hari tidak dapat memperoleh manfaat dari siang hari. Dalam banyak penelitian, dibahas bahwa bekerja di shift malam untuk jangka panjang juga dapat meningkatkan risiko terkena kanker payudara. c. Faktor Psikososial Terdapat berbagai faktor risiko psikososial dalam pengaturan ICU, seperti tuntutan kualitatif dan kuantitatif yang tinggi, tuntutan emosional, kontrol pekerjaan yang rendah, konflik peran, ambiguitas, mobbing dan kekerasan fisik, yang mempengaruhi kesejahteraan petugas ICU. Manajemen stres perlu dilakukan karena petugas sering berkomunikasi dengan pasien dan keluarga saat mereka menghadapi proses kematian dan kehilangan, mengatasi tugas kerja yang rumit dan beradaptasi dengan kondisi kerja yang sibuk. Kondisi negatif petugas ICU terkait dengan gejala tingkat stres yang tinggi dapat menyebabkan beban psikososial, seperti pergeseran suasana hati, kesedihan, pandangan negatif terhadap kehidupan secara umum, kehilangan kepercayaan diri dan citra diri negatif. Konsekuensi tingkat stres yang tinggi ini dapat menyebabkan tidak adanya peningkatan kinerja, penurunan produktivitas, lebih banyak terjadi kecelakaan dan cedera fisik serta berdampak pada peningkatan biaya. Petugas ICU dapat menghadapi ketidakpastian, berbagai situasi yang memerlukan tindakan segera, skill psikomotorik dan kognitif tingkat tinggi serta kompetensi yang dapat menyebabkan kelelahan. Kurangnya peralatan dan sumber daya di ICU dapat mengakibatkan ketidakpuasan kerja bagi para profesional perawatan kesehatan yang bekerja disana. Petugas ICU bertanggung jawab atas banyak proses kerja yang rumit dalam pengaturan akut dan kronis. Perilaku negatif seperti berteriak, menyinggung, mengabaikan, mengancam atau menyembunyikan informasi penting dapat diartikan sebagai mobbing yang tidak dapat diterima oleh petugas ICU. Secara personal, menjadi korban mobbing

13

dapat mengarah pada masalah fisik dan mental seperti tingkat stres yang tinggi, depresi, gangguan makan, kecanduan, dan usaha bunuh diri. Bahaya sosial dalam setting ICU biasanya dihasilkan dengan bekerja shift panjang yang mengharuskan bekerja di malam hari dan akhir pekan. Hal ini berdampak pada terjadinya isolasi petugas ICU dari hubungan

keluarga,

kesulitan

hidup

sosial,

ketidaktertarikan

keseluruhan terhadap orang lain, agresivitas yang tidak terkendali dan kesulitan dalam membuat keputusan mengenai kehidupan pribadi. d. Faktor Ergonomis. Petugas ICU selalu berhadapan dengan faktor lingkungan fisik selama bertugas yang dapat menyebabkan risiko bahaya karena faktor ergonomis dan berdampak pada sistem muskuloskeletal petugas. Beberapa kondisi seperti trauma yang berlebihan dan berulang karena mendorong dan menarik alat berat, berdiri untuk jangka waktu yang lama, tidak memiliki istirahat yang cukup, mengangkat dan memindahkan pasien yang memiliki ketergantungan penuh secara manual,

terkilir atau posisi yang sangat membungkuk dan

membutuhkan tenaga yang besar harus dianggap sebagai faktor utama untuk gangguan muskuloskeletal. Petugas ICU dengan gejala sakit pada muskuloskeletal menjadi kurang produktif karena rasa sakit, mobilitas terbatas dan mereka cenderung membuat kesalahan kerja yang berakibat pada keselamatan pasien. e. Faktor biologis Petugas ICU berisiko terkena bahaya biologis karena mereka terpapar pada organisme infeksius selama prosedur invasif dan noninvasif. Penularan dapat terjadi melalui darah dan cairan tubuh, dapat melalui kontak langsung atau tidak langsung. Seperti di banyak unit perawatan kesehatan lainnya, ICU memiliki tingkat tertinggi cedera jarum suntik oleh petugas keperawatan seperti Hepatitis B dan C serta HIV. Selain itu infeksi lain dapat menular ke

14

petugas ICU dengan penyebaran melalui kontak langsung dan dengan droplet, seperti pada tuberkulosis. f. Faktor kimia Petugas ICU menghadapi bahaya kimia seperti terkena cairan antiseptik dan desinfektan atau menghirup gas dari bahan kimia. Selama proses kerja di ICU, petugas bisa terkena cairan pembersih lantai, larutan antiseptik dan gas anestesi seperti formaldehida. Eksposur dapat terjadi melalui beberapa metode seperti melalui inhalasi paru-paru dan penyerapan oleh kulit atau kontak mukosa melalui mata atau hidung. Bahan-bahan tersebut dapat menyebabkan peradangan atau iritasi pada bagian dimana terjadi kontak. Hal tersebut dapat menyebabkan dermatitis, reaksi alergi (yaitu bersin dan rinitis), asma dan kanker. Efek paparan bahan kimia pada petugas ICU dapat bervariasi tergantung pada beberapa faktor misalnya jenis kelamin, umur, genetik, sistem kekebalan tubuh, status nutrisi, serta riwayat penyakit dan pekerjaan sebelumnya. Tim K3RS harus memiliki dokumentasi semua bahan bahan kimia yang digunakan di ICU dan menyiapkan rencana aksi darurat dalam kasus paparan akut dan kronis. 2. Bahaya Kerja terkait Petugas ICU. a. Faktor pribadi petugas. Terdapat beberapa faktor pribadi yang berpengaruh terhadap risiko terjadinya bahaya kerja pada petugas ICU. Faktor-faktor tersebut antara lain seperti petugas yang sudah memasuki masa senja, kondisi fisik tidak memadai, merokok dan kegemukan. Petugas ICU yang berusia 50 tahun ke atas mungkin menghadapi peningkatan risiko cedera fisik dan gangguan muskuloskeletal karena penurunan daya tahan otot dan kekuatan fisik. Petugas ICU yang mengalami obesitas berisiko mengalami peningkatan risiko cedera muskuloskeletal. b. Kebiasaan petugas Beban kerja di ruang ICU membutuhkan aktivitas fisik yang intens selama shift. Ada beberapa kebiasaan pribadi yang mempengaruhi level kelelahan fisik atau mental dari tenaga kerja ICU. Petugas di ruang ICU

15

mungkin menghadapi gangguan tidur karena shift kerja malam. Tingkat stres yang tinggi dan kelelahan fisik setelah bekerja selama berjam-jam dapat menyebabkan gangguan tidur. Selain itu, istirahat dan tidur yang tidak memadai meningkatkan risiko praktik yang tidak aman dan kecelakaan kerja. Stres dan keseimbangan yang buruk antara pekerjaan dan kehidupan sosial dapat menyebabkan meningkatnya kecelakaan kerja di ruang ICU. Gaya hidup petugas yang buruk terkait pola makan yang buruk (makan terlalu banyak atau sedikit, makan makanan berkualitas rendah seperti makanan cepat saji dan makanan beku) merupakan pola hidup yang tidak sehat dan berdampak menjadi penurunan daya tahan fisik. c. Kognitif Petugas Kognitif

seorang

petugas

ICU

turut

berkontribusi

dalam

meminimalkan resiko bahaya kerja. Riset membuktikan bahwa kognitif seseorang menentukan ketepatan keputusan yang diambil dalam sebuah kejadian yang berdampak pada keberhasilan pencegahan resiko bahaya di tempat kerja.

16

BAB IV PEMBAHASAN

Penerapan program Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit pada prinsipnya mengacu pada manajemen resiko. Manajemen risiko adalah proses yang terdiri dari tiga langkah, yaitu: identifikasi bahaya, pengkajian risiko dan kontrol. Manajemen risiko tersebut dapat menggunakan pedoman yang diadopsi dari International Labour Organization (ILO) dan Occupational Safety and Health Administration (OSCHA). Merujuk pada kedua pedoman diatas (dan hasil penelitian yang dikembangkan di lapangan), berikut dijelaskan praktik terkait intervensi untuk melindungi kesehatan dan keselamatan petugas ICU yang dapat diterapkan di rumah sakit dalam rangka pengelolaan bahaya kerja di ruang ICU. 1. Manajemen Kepemimpinan Rumah Sakit. Pengelolaan bahaya kerja di ruang ICU diawali dengan penetapan komitmen bersama dari tingkat manajemen puncak hingga seluruh petugas ruang ICU dan petugas terkait lainnya dalam sebuah sistem rumah sakit. Manajemen puncak menunjukkan komitmennya untuk peningkatan berkelanjutan dalam keselamatan dan kesehatan, mengkomunikasikan komitmen itu kepada staf, dan menetapkan harapan dan tanggung jawab program. Komitmen ini kemudian diwujudkan dengan penetapan sasaran dan tujuan keselamatan dan kesehatan kerja serta penyediaan sumber daya dan dukungan yang memadai untuk pelaksanaan program. Pelaksanaan pengelolaan bahaya kerja menuntut komitmen pimpinan ICU beserta staf untuk menjadikan keselamatan dan kesehatan menjadi nilai inti dalam ruang kerja. 2. Intervensi terhadap Lingkungan Kerja ICU a. Mengurangi jam kerja dan beban kerja perawat. Mengurangi jam kerja dan beban kerja, mengubah pola kerja dan meningkatkan strategi kontrol menghasilkan penurunan risiko dan mengurangi defisit status kesehatan perawat ICU. Mengatur ulang jam kerja dan beban kerja menyebabkan berkurangnya kejadian sakit perawat ICU yang berdampak pada peningkatan kinerja perawat ICU.

17

b. Desain dan pengorganisasian lingkungan kerja. Penyediaan lingkungan yang aman dalam setting ruang ICU yang sesuai standar berdampak pada peningkatan hasil oleh pasien dan staf seperti penurunan infeksi rumah sakit dan tingkat kematian serta peningkatan motivasi dan kepuasan kerja. Staf ICU seharusnya dilibatkan dalam perencanaan desain dan setting ruangan ICU. Contoh desain denah ruang ICU sesuai standar Kementerian Kesehatan RI tahun 2012 dapat dilihat pada lampiran 1. c. Intervensi lainnya. Tim K3RS menerapkan strategi untuk meningkatkan budaya keselamatan di ICU dengan intervensi tempat kerja yang dirancang untuk mencegah bahaya dan mengurangi risiko bahaya kerja. Pengelolaan faktor risiko dalam intervensi tempat kerja harus difokuskan pada pengaturan peningkatan budaya keselamatan ICU. Budaya keselamatan dalam hal ini mengacu pada sistem dua arah yakni antara tanggung jawab manajemen dan komitmen staf terhadap tugas-tugas mereka. Budaya tersebut dapat ditetapkan melalui strategi utama berupa kontrol, kerjasama, komunikasi dan kompetensi profesional. Merancang daftar periksa keselamatan adalah intervensi lain yang menghasilkan peningkatan keselamatan pasien dan tenaga kerja. Daftar periksa keselamatan bertujuan untuk memantau kinerja keselamatan dan melakukan perbaikan sistem. Ada aspek yang berbeda untuk menciptakan kriteria keselamatan berkenaan dengan karakteristik organisasi, pribadi atau profesional. Bahaya keamanan yang mengancam keselamatan pasien serta kesehatan, kesejahteraan, dan keselamatan tenaga kerja ICU perlu dicantumkan pada daftar periksa. 3. Intervensi terhadap Petugas ICU a. Pelatihan staf Intervensi pelatihan staf yang dimaksud adalah program pencegahan bahaya yang berkaitan dengan faktor fisik, psikologis, kimia, biologis, ergonomis dan lainnya di ruang ICU. Kemampuan staf untuk berpartisipasi dalam pelatihan secara produktif adalah faktor penting yang berkontribusi pada efektivitas intervensi. Dalam hal ini, para profesional ICU tidak boleh diminta untuk

18

berpartisipasi dalam sesi pelatihan staf ketika mereka perlu beristirahat setelah bekerja berjam-jam. Pelatihan ini mencakup periode waktu yang berbeda seperti: (1) Program orientasi ketika petugas mulai bekerja di ICU (ujian pra-kerja); (2) Pelatihan berkala; (3) Pelatihan berdasarkan kondisi dimana para pekerja ICU memerlukan informasi tentang hal yang tidak terduga atau situasi tidak biasa (misalnya ketika mereka merawat pasien dengan penyakit epidemi); serta (4) Pelatihan khusus bagi staf yang tidak hadir setelah mengalami kecelakaan di tempat kerja atau cuti jangka panjang dari ICU. b. Manajemen risiko. Program manajemen risiko terdiri dari perencanaan, penerapan dan evaluasi pribadi dan fisik serta intervensi organisasi yang bertujuan untuk menilai dan mengurangi risiko pekerjaan terhadap karyawan. Penilaian risiko melibatkan penilaian tingkat keparahan dan kemungkinan bahaya yang muncul dari bahaya yang teridentifikasi. Penilaian ini dapat dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif. Pengkajian risiko dan intervensi manajemen di ICU harus dilakukan sebagai kontrol umum dan khusus pekerjaan. Karena itu, bahaya keamanan yang mempengaruhi tenaga kerja ICU harus dinilai secara individual, dengan mempertimbangkan bahaya tugas kerja spesifik yang mungkin mereka hadapi. Penilaian resiko dilakukan dengan menggunakan hirarki pengendalian resiko bahaya.

Gambar 1. Hirarki Pengendalian Resiko Bahaya Sumber: OSHA, 2016

Pemantauan berkelanjutan harus dilakukan pada orang-orang yang bersentuhan dengan bahan biologis dengan menangani, membuat atau

19

menyimpannya. Gangguan muskuloskeletal yang terkait dengan pekerjaan adalah salah satu masalah kesehatan kerja yang paling terlihat pada petugas ICU. Literatur menunjukkan bahwa intervensi berbasis bukti yang digunakan dalam program manajemen risiko ergonomis seperti pelatihan mekanika tubuh, pedoman ergonomis, program latihan, intervensi kognitif-perilaku, program dukungan sosial dan penyesuaian tempat kerja sangat efektif dalam hal mengurangi risiko ergonomis untuk pekerja ICU. c. Skrining kesehatan Pemeriksaan kesehatan pekerja ICU harus dilakukan secara teratur. Riwayat detail pekerjaan sebelumnya dan penilaian komprehensif dari penyakit akibat pekerjaan saat ini seharusnya dilakukan ketika staf mulai bekerja di ruang ICU (ujian pra-pekerjaan). Selanjutnya, harus diikuti dengan pemeriksaan berkala, skrining berdasarkan kondisi (misalnya ketika mereka merawat pasien dengan penyakit epidemi) dan pemeriksaan ulang untuk pekerja yang mengalami kecelakaan di tempat kerja atau cuti jangka panjang dari ICU. d. Program promosi kesehatan Bahaya pekerjaan dan faktor risiko di ICU tidak hanya terkait dengan pengaturan tempat kerja, tetapi juga terkait dengan kebiasaan pribadi petugas seperti merokok, tidak memiliki diet sehat atau tidak memiliki kegiatan aktivitas fisik. Oleh karena itu, risiko yang terkait dengan faktor pribadi (kebiasaan) hanya dapat dikelola dengan melakukan program promosi kesehatan di tempat kerja. Program promosi kesehatan di ICU diantaranya seperti program yang ditujukan untuk manajemen diet, pengendalian berat badan, aktivitas fisik atau mengatasi stres harus dikembangkan dengan mempertimbangkan kebutuhan petugas ICU. Misalnya, kondisi yang terkait dengan tingkat stres yang tinggi dapat dikelola dengan meningkatkan keterampilan mengatasinya. Keterampilan itu bisa ditingkatkan melalui manajemen stres, pemecahan masalah, relaksasi, dan pelatihan kesadaran diri. Intervensi promosi kesehatan yang baik harus didasarkan pada model promosi kesehatan (misalnya Model Promosi Kesehatan oleh Pender; Model Trans-Teoretis oleh Prochaska dan Model PRECEDE-PROCEED oleh Green). Menurut model-model ini, ada beberapa faktor yang mempengaruhi hasil yang

20

dapat dicapai oleh program promosi kesehatan di tempat kerja seperti pengalaman masa lalu, upaya untuk berubah tidak berhasil, self-efficacy, dukungan sosial, kesadaran diri dan kesiapan. 4. Intervensi lainnya. Terdapat program pemantauan dan pencegahan lain sehubungan dengan risiko bahaya yang timbul di ruang ICU. Berbagai bentuk pencegahan yang dapat diterapkan adalah seperti berikut: a. Batasan sumber risiko; b. Batasan reaksi petugas ICU terhadap kondisi berbahaya; c. Pengobatan cedera dan bahaya yang disebabkan oleh bahaya kerja, termasuk pemantauan efek jangka panjang. Tujuan dari langkah-langkah pencegahan dan intervensi ini adalah untuk memperkuat bagaimana petugas ICU berurusan dengan bahaya fisik, kimia, biologis, psikososial dan ergonomis.

21

BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Lingkungan kerja ICU dapat menyebabkan sejumlah risiko kesehatan dalam kaitannya dengan bahaya kerja. Bahaya tempat kerja termasuk lingkungan fisik ICU, kondisi kerja, faktor psikososial, faktor ergonomis, faktor biologis dan faktor kimia. Resiko yang berhubungan dengan pekerja meliputi faktor personal dan perilaku petugas ICU. Kejadian masalah kesehatan kerja di ICU tidak hanya menyebabkan kelelahan dan penurunan kepuasan kerja, tetapi juga mempengaruhi perawatan pasien dan meningkatkan biaya perawatan. Penetapan komitmen oleh pemimpin, intervensi terhadap lingkungantempat kerja dan intervensi pada personal petugas ICU harus dilakukan dalam hal mengurangi risiko dan bahaya kerja di ruang ICU. Peningkatan partisipasi petugas harus dipertimbangkan dalam semua program manajemen resiko meliputi pemantauan dan pencegahan. Kontribusi petugas ICU dalam program-program ini akan meningkatkan efektivitas intervensi yang terkait dengan pengurangan risiko bahaya kerja di ruang ICU.

B. SARAN 1. Bagi Mahasiswa Agar lebih meningkatkan pengetahuan tentang standar Keselamatan dan Kesehatan Kerja dan menjalankannya dengan disiplin ketika melakukan praktek di ruang ICU. 2. Bagi Institusi Pendidikan Agar meningkatkan pembelajaran tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja sesuai perkembangan teraktual di lapangan (isu – isu terkait pengelolaan bahaya kerja di ruang ICU) dengan metode pembelajaran yang menarik. 3. Bagi Institusi Rumah Sakit Agar menekan kemungkinan terjadinya kecelakaan kerja dengan penerapan sistem K3RS yang terstandar dan disiplin melakukan surveilans secara berkala.

22

DAFTAR PUSTAKA

Esin MN, Zezgin D. Intensive Care Unit Workforce: Occupational Health and Safety [Internet]. 2017; Avalaible from: http://www.intechopen.com/books/intensive-care-unit-workforceoccupational-health-and-safety Gorman T, Dropkin J, Kamen. 2013. Controlling Health Hazards to Hospital Workers. A Journal of Environment Occupational Health Policy [Internet]. 2013;23:1 – 6. Avalaible from: http://baywood.com ILO. Keselamatan dan Kesehatan Kereja: Sarana untuk Produktivitas [Internet]. 2013. Avalaible from: http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/publik/---asia/---robangkok/---ilo-jakarta/documents/publication/wcms_237650.pdf Kementerian Kesehatan RI. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1778/MENKES/SK/XII/2010 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan ICU di Rumah Sakit. 2010 Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit Ruang Perawatan Intensif. Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan. 2012 Management Leadership: Recommended Practises for Safety and Health Programs Worker Participation Find and Fix Hazard. 2016;(October). Avalaible from: www.osha.gov/shpguidelinesOSHA3885

ii

LAMPIRAN Lampiran 1 Contoh Model Denah Ruang ICU

Gambar 2. Contoh Model Denah Ruang ICU Sumber: Kemenkes RI, 2012

iii

Related Documents


More Documents from "Zamzam"