Doc-20190323-wa0000.docx

  • Uploaded by: Catherine Yemima Ristyawati
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Doc-20190323-wa0000.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,449
  • Pages: 15
ANALISA KASUS KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI KASUS PERCOBAAN BUNUH DIRI

Anggota Kelompok : 1. Ayu Ratantri

(01.2.16.00524)

2. Catherine Yemima

(01.2.16.00526)

3. Weka Ermakda

(01.2.16.00562)

STIKES RUMAH SAKIT BAPTIS KEDIRI PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN TAHUN AKADEMIK 2017/2018

BAB I TINJAUAN TEORI 1.1 Perilaku Percobaan Bunuh Diri 1.1.1 Definisi Percobaan Bunuh Diri (Suicide Attempt) Secara umum, bunuh diri berasal dari bahasa Latin “suicidium”, dengan “sui” yang berarti sendiri dan “cidium” yang berarti pembunuhan. Schneidman mendefinisikan bunuh diri sebagai sebuah perilaku pemusnahan secara sadar yang ditujukan pada diri sendiri oleh seorang individu yang memandang bunuh diri sebagai solusi terbaik dari sebuah isu. Dia mendeskripsikan bahwa keadaan mental individu yang cenderung melakukan bunuh diri telah mengalami rasa sakit psikologis dan perasaan frustasi yang bertahan lama sehingga individu melihat bunuh diri sebagai satu-satunya penyelesaian untuk masalah yang dihadapi yang bisa menghentikan rasa sakit yang dirasakan (dalam Maris dkk., 2000). Dari aliran eksistensial, Baechler mengatakan bahwa bunuh diri mencakup semua perilaku yang mencari penyelesaian atas suatu masalah eksistensial dengan melakukan percobaan terhadap hidup subjek (dalam Maris dkk., 2000). Menurut Corr, Nabe, dan Corr (2003), agar sebuah kematian bisa disebut bunuh diri, maka harus disertai adanya intensi untuk mati. Meskipun demikian, intensi bukanlah hal yang mudah ditentukan, karena intensi sangat variatif dan bisa mendahului , misalnya untuk mendapatkan perhatian, membalas dendam, mengakhiri sesuatu yang dipersepsikan sebagai penderitaan, atau mengakhiri hidup. Menurut Maris, Berman, Silverman, dan Bongar (2000), bunuh diri memiliki 4 pengertian, antara lain: 1. Bunuh diri adalah membunuh diri sendiri secara intensional 2. Bunuh diri dilakukan dengan intensi 3. Bunuh diri dilakukan oleh diri sendiri kepada diri sendiri 4. Bunuh diri bisa terjadi secara tidak langsung (aktif) atau tidak langsung (pasif), misalnya dengan tidak meminum obat yang menentukan kelangsungan hidup atau secara sengaja berada di rel kereta api. Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat dikatakan bahwa bunuh diri secara umum adalah perilaku membunuh diri sendiri dengan intensi mati sebagai penyelesaian atas suatu masalah. Memiliki sedikit definisi yang berbeda, percobaan bunuh diri dan

bunuh diri yang berhasil dilakukan memiliki hubungan yang kompleks (Maris dkk.,2000). Hal tersebut dikarenakan adanya interaksi dan komorbid antara etiologi kedua perilaku tersebut. Di samping itu, kebanyakan pelaku bunuh diri melakukan beberapa percobaan bunuh diri sebelum akhirnya berhasil bunuh diri. Beck (dalam Salkovskis, 1998) mendefinisikan percobaan bunuh diri sebagai sebuah situasi dimana seseorang telah melakukan sebuah perilaku yang sebenarnya atau kelihatannya mengancam hidup dengan intensi menghabisi hidupnya, atau memperlihatkan intensi demikian, tetapi belum berakibat pada kematian. Dengan demikian, yang dimaksud dengan percobaan bunuh diri adalah upaya untuk membunuh diri sendiri dengan intensi mati tetapi belum berakibat pada kematian. 1.1.2 Metode Bunuh Diri Richman menyatakan ada dua fungsi dari metode bunuh diri (dalam Maris dkk., 2000). Fungsi pertama adalah sebagai sebuah cara untuk melaksanakan intensi mati. Sedangkan pada fungsi yang kedua, Richman percaya bahwa metode memiliki makna khusus atau simbolisasi dari individu. Secara umum, metode bunuh diri terdiri dari 6 kategori utama yaitu: 1. obat (memakan padatan, cairan, gas, atau uap) 2. menggantung diri (mencekik dan menyesakkan nafas) 3. senjata api dan peledak 4. menenggelamkan diri 5. melompat 6. memotong (menyayat dan menusuk) 1.1.3 Faktor Penyebab Bunuh Diri Bunuh diri bukanlah merupakan satu hal tetapi terdiri dari banyak fenomena yang tumpang tindih. Oleh sebab itu, tidak ada satupun kasus bunuh diri yang memiliki etiologi yang sama (Maris dkk.,2000). Schneidman menyebut bunuh diri sebagai hasil dari “psychache”. Psychache merupakan rasa sakit dan derita yang tidak tertahankan dalam jiwa dan pikiran. Rasa sakit tersebut pada dasarnya berasal dari jiwa seseorang ketika merasakan secara berlebih rasa malu, rasa bersalah, penghinaan, kesepian, ketakutan, kemarahan, kesedihan karena menua, atau berada dalam keadaan sekarat

(dalam Maris dkk., 2000). Di samping itu, Mann dari bidang psikiatri mengatakan penyebab bunuh diri berada di otak, akibat kurangnya tingkat 5-HIAA, reseptor postsinapsis, dan pertanda biologis lainnya (dalam Maris dkk., 2000). Tidak ada faktor tunggal pada kasus bunuh diri, setiap faktor yang ada saling berinteraksi. Namun demikian, tidak berarti bahwa seorang individu yang melakukan bunuh diri memiliki semua karakteristik di bawah ini. Berikut beberapa faktor penyebab bunuh diri yang didasarkan pada kasus bunuh diri yang berbeda-beda tetapi memiliki efek interaksi di antaranya (Maris, dalam Maris dkk.,2000; Meichenbaum, 2008): 1. Major-depressive illness, affective disorder 2. Penyalahgunaan obat-obatan (sebanyak 50% korban percobaan bunuh memiliki level alkohol dalam darah yang positif) 3. Memiliki pikiran bunuh diri, berbicara dan mempersiapkan bunuh diri 4. Sejarah percobaan bunuh diri 5. Sejarah bunuh diri dalam keluarga 6. Isolasi, hidup sendiri, kehilangan dukungan, penolakan 7. Hopelessness dan cognitive rigidity 8. Stresor atau kejadian hidup yang negatif (masalah pekerjaan, pernikahan, seksual, patologi keluarga, konflik interpersonal, kehilangan, berhubungan dengan kelompok teman yang suicidal) 9. Kemarahan, agresi, dan impulsivitas 10. Rendahnya tingkat 5-HIAA 11. Key symptoms (anhedonia, impulsivitas, kecemasan / panik, insomnia global, halusinasi perintah) 12. Suicidality (frekuensi, intensitas, durasi, rencana dan perilaku persiapan bunuh diri) 13. Akses pada media untuk melukai diri sendiri 14. Penyakit fisik dan komplikasinya

15. Repetisi dan komorbid antara faktor-faktor di atas 1.1.4 Penjelasan Bunuh Diri Penjelasan-penjelasan dari perspektif yang berbeda berikut hendaknya dipandang sebagai satu kesatuan dalam memahami perilaku bunuh diri yang kompleks. 1. Penjelasan Psikologis Leenars (dalam Corr, Nabe, & Corr, 2003) mengidentifikasi tiga bentuk penjelasan psikologis mengenai bunuh diri. Penjelasan yang pertama didasarkan pada Freud yang menyatakan bahwa “suicide is murder turned around 180 degrees”, dimana dia mengaitkan antara bunuh diri dengan kehilangan seseorang atau objek yang diinginkan. Secara psikologis, individu yang beresiko melakukan bunuh diri mengidentifikasi dirinya dengan orang yang hilang tersebut. Dia merasa marah terhadap objek kasih sayang ini dan berharap untuk menghukum atau bahkan membunuh orang yang hilang tersebut. Meskipun individu mengidentifikasi dirinya dengan objek kasih sayang, perasaan marah dan harapan untuk menghukum juga ditujukan pada diri. Oleh karena itu, perilaku destruktif diri terjadi. Penjelasan kedua memandang masalah bunuh diri pada dasarnya adalah masalah kognitif. Pada pandangan ini, depresi merupakan faktor kontribusi yang sangat besar, yang khususnya diasosiasikan dengan hopelessness. Fokus pandangan ini terletak pada penilaian negatif yang dilakukan oleh suicidal person terhadap diri, situasi sekarang, dunia, dan masa depan. Sejalan dengan penilaian ini, pikiran yang rusak muncul. Pikiran ini seringkali otomatis, tidak disadari, dan dicirikan oleh sejumlah kesalahan yang mungkin. Beberapa diantaranya begitu menyeluruh sehingga membentuk distorsi-distorsi kognitif. Beck (dalam Pervine, 2005) memperkenalkan model kognitif depresi yang menenkankan bahwa seseorang yang depresi secara sistematis salah menilai pengalaman sekarang dan masa lalunya. Model ini terdiri dari 3 pandangan negatif mengenai diri, dunia, dan masa depan. Dia memandang dirinya tidak berharga dan tidak berguna, memandang dunia menuntut terlalu banyak darinya, dan memandang masa depan itu suram. Ketika skema kognitif yang disfungsional (automatic thoughts) ini diaktifkan oleh kejadian hidup yang menekan, individu beresiko melakukan bunuh diri. Penjelasan ketiga menyatakan bahwa perilaku bunuh diri itu dipelajari. Teori ini berpendapat bahwa sebagai seorang anak, individu suicidal belajar untuk tidak mengekspresikan agresi yang mengarah

keluar dan sebaliknya membalikkan agresi tersebut menuju pada dirinya sendiri. Di samping itu, sebagai akibat dari reinforcement negatif, individu tersebut menjadi depresi. Depresi dan kaitannya dengan perilaku bunuh diri atau mengancam hidup lainnya bisa dilihat sebagai reinforcer positif, karena menurut pandangan ini individu dipandang tidak dapat bersosialisasi dengan baik dan belum mempelajari penilai budaya terhadap hidup dan mati. Sebagai tambahan, Jamison (dalam Corr, Nabe, & Corr, 2003) mengemukakan bahwa psikopatologi adalah elemen paling umum pada perilaku bunuh diri. Dia percaya bahwa sakit mental memainkan suatu peranan penting pada perilaku bunuh diri. Beberapa kondisi psikopatologis yang difokuskannya adalah mood disorder, schizophrenia, borderline dan antisocial personality disorder, alkoholik, dan penyalahgunaan obat-obatan. 2. Penjelasan Biologis Banyak penelitian telah dilakukan untuk menemukan penjelasan biologis yang tepat untuk perilaku bunuh diri. Beberapa peneliti percaya bahwa ada gangguan pada level serotonin di otak, dimana serotonin diasosiasikan dengan perilaku agresif dan kecemasan. Penelitian lain mengatakan bahwa perilaku bunuh diri merupakan bawaan lahir, dimana orang yang suicidal mempunyai keluarga yang juga menunjukkan kecenderungan yang sama. Walaupun demikian, hingga saat ini belum ada faktor biologis yang ditemukan berhubungan secara langsung dengan perilaku bunuh diri. 3. Penjelasan Sosiologis Penjelasan yang terbaik datang dari sosiolog. Durkheim yang memandang perilaku bunuh diri sebagai hasil dari hubungan individu dengan masyarakatnya, yang menekankan apakah individu terintegrasi dan teratur atau tidak dengan masyarakatnya. Berdasarkan hubungan tersebut, Durkheim (dalam Corr, Nabe, & Corr, 2003) membagi bunuh diri menjadi 4 tipe yaitu: 1. Egoistic Suicide Inidividu yang bunuh diri di sini adalah individu yang terisolasi dengan masyarakatnya, dimana individu mengalami underinvolvement dan underintegration. Individu menemukan bahwa sumber daya yang dimilikinya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan, dia lebih beresiko melakukan perilaku bunuh diri.

2. Altruistic Suicide Individu di sini mengalami overinvolvement dan overintegration. Pada situasi demikian, hubungan yang menciptakan kesatuan antara individu dengan masyarakatnya begitu kuat sehingga mengakibatkan bunuh diri yang dilakukan demi kelompok. Identitas personal didapatkan dari identifikasi dengan kesejahteraan kelompok, dan individu menemukan makna hidupnya dari luar dirinya. Pada masyarakat yang sangat terintegrasi, bunuh diri demi kelompok dapat dipandang sebagai suatu tugas. 3. Anomic Suicide Bunuh diri ini didasarkan pada bagaimana masyarakat mengatur anggotanya. Masyarakat membantu individu mengatur hasratnya (misalnya hasrat terhadap materi, aktivitas seksual, dll.). Ketika masyarakat gagal membantu mengatur individu karena perubahan yang radikal, kondisi anomie (tanpa hukum atau norma) akan terbentuk. Individu yang tiba-tiba masuk dalam situasi ini dan mempersepsikannya sebagai kekacauan dan tidak dapat ditolerir cenderung akan melakukan bunuh diri. Misalnya remaja yang tidak mengharapkan akan ditolak oleh kelompok teman sebayanya. 4. Fatalistic Suicide Tipe bunuh diri ini merupakan kebalikan dari anomic suicide, dimana individu mendapat pengaturan yang berlebihan dari masayarakat. Misalnya ketika seseorang dipenjara atau menjadi budak. 1.2 Pikiran Bunuh Diri (Suicidal Ideation) 1.2.1 Definisi Pikiran Bunuh Diri Pikiran bunuh diri adalah pikiran untuk membunuh diri sendiri tanpa melakukan bunuh diri secara eksplisit. Sedangkan suicide ideators adalah orang yang memikirkan atau membentuk intensi untuk bunuh diri yang bervariasi derajat keseriusannya tetapi tidak melakukan percobaan bunuh diri secara eksplisit atau bunuh diri (Maris dkk.,2000). Pikiran bunuh diri bervariasi mulai dari yang non-spesifik (“Hidup ini tidak berarti”), yang spesifik (“Saya berharap saya mati”), pikiran dengan intensi (“Saya akan membunuh diri saya”), sampai pikiran yang berisi rencana (“Saya akan membunuh diri saya sendiri dengan pistol”). Pikiran bunuh diri paling sering diasosiasikan dengan gangguan depresi (Maris dkk., 2000). De Catanzaro (dalam Maris dkk., 2000) menemukan bahwa antara 67% hingga 84% pikiran bunuh diri bisa dijelaskan dengan masalah hubungan sosial dan hubungan dengan lawan jenis, terutama yang berkaitan dengan loneliness dan perasaan membebani keluarga. Adapun dua motivasi yang paling sering muncul

dalam pikiran bunuh diri adalah untuk melarikan diri dari masalah dalam kehidupan dan untuk membalas dendam pada orang lain (Maris, dalam Maris dkk., 2000) Intensi merupakan komponen yang penting dalam pikiran bunuh diri sekaligus merupakan konsep dalam bunuh diri yang paling susah diukur (Maris dkk., 2000). Jobes, Berman , dan Josselman telah mendaftar beberapa kriteria agar intensi bunuh diri dapat diukur. Beberapa kriteria tersebut adalah pernyataan verbal yang eksplisit, percobaan bunuh diri yang pernah dilakukan, persiapan untuk mati, hopelessness, dan lain sebagainya (dalam Maris dkk., 2000). 1.2.2 Karakteristik Pikiran Bunuh Diri Ketika seseorang mengalami distres psikologis, pikirannya menjadi lebih kaku dan bias, penilaian menjadi absolut, dan pandangan tentang diri, dunia, dan masa depan menjadi susah diubah (Weishaar, dalam Salkovskis, 1998). Weishaar juga berpendapat bahwa kesalahan logika atau distorsi kognitif mengubah persepsi ke arah yang negatif dan menyebabkan kesimpulan yang salah. Menurut Ellis dan Rutherford (2008), beberapa karakteristik pikiran bunuh diri antara lain: 1. Executive Functioning: Cognitive Rigidity, Dichotomous thinking, dan Deficient ProblemSolving Cognitive rigidity adalah karakteristik kognitif dimana individu melihat dirinya dan orang lain sebagai baik atau buruk, memilih antara kesedihan atau kematian, dimana individu susah atau tidak mungkin dapat berpikir fleksibel untuk mencari solusi atas masalah yang sedang dihadapi. Individu yang memiliki pikiran bunuh diri susah untuk membayangkan adanya alternatif untuk penderitaannya. Marzuk, Hartwell, Leon, dan Poetra (dalam Ellis & Rutherford, 2008), menyatakan bahwa cognitive rigidity merupakan karakteristik yang mendasari dichotomous thinking dan problem-solving deficit. Karakteristik kedua dari fungsi eksekutif adalah dichotomous (black or white) thinking, dimana individu berpikir secara kutub seperti baik dan buruk, berhasil dan gagal, dan lain sebagainya. Kurangnya kemampuan menyelesaikan masalah (problem-solving deficit) diasosiasikan dengan dua karakteristik di atas, karena ketidakmampuan menghasilkan solusi alternatif telah dibuktikan berhubungan dengan baik dengan masalah impersonal atau masalah interpersonal (Levenson & Neuringer, dalam Ellis & Rutherford, 2008). Schotte, Cools, dan Pyvar (dalam Ellis & Rutherford, 2008) menambahkan bahwa ketidakmampuan menyelesaikan masalah interpersonal merupakan penghubung antara depresi, hopelessness, dan intensi bunuh diri. Penyebab problem-solving deficit belum banyak

dipelajari. Namun, dua faktor yang pasti menentukan adalah overgeneral autobiographical memory (Pollock & Williams, dalam Ellis & Rutherford, 2008) dan saraf yang terdapat di otak. Overgeneral autobiographical memory berguna dalam mengingat situasi masalah yang mirip yang dialami di masa lalu. Keilp (dalam Ellis & Rutherford, 2008), menemukan bahwa pasien dengan sejarah percobaan-percobaan bunuh diri menunjukkan ketidakberfungsian saraf yang besar, dan ketidakberfungsian ini lebih besar pada pelaku percobaan yang high-lethality 2. Hopelessness Hopelessness didefinisikan sebagai harapan individu bahwa kejadian negatif akan terjadi di masa depan dan dia akan terus gagal dalam mencapai tujuannya. Melalui penelitian yang dilakukan, Minkoff, Bergman, dan Beck (dalam Ellis & Rutherford, 2008) menyatakan hopelessness merupakan penengah antara depresi dan kecenderungan bunuh diri. Hopelessness juga berhubungan dengan perilaku bunuh diri tanpa variabel depresi (Steer, Kumar, & Beck, dalam Ellis & Rutherford, 2008). Di samping itu, kejadian hidup yang negatif dapat memprediksi munculnya hopelessness (Yang & Clum, dalam Ellis & Rutherford, 2008). 3. Alasan untuk hidup Alasan untuk hidup menunjukkan kemampuan individu menyatakan pernyataan-pernyataan baik secara eksplisit atau dalam dirinya sendiri untuk bertahan hidup. Individu yang memiliki pikiran bunuh diri biasanya susah untuk menyatakan alasan untuk hidup. Linehan telah mengembangkan RFL (Reasons for Living) yang merupakan alat untuk membedakan alasan hidup pada individu suicidal dan non-suicidal yang hasilnya dapat diasosiasikan dengan beberapa variabel, termasuk diantaranya intensi bunuh diri (Linehan, Goodstein, & Nielsen, dalam Ellis & Rutherford, 2008). 4. Perfectionism Perfeksionisme, yaitu penentuan harapan yang tinggi, telah dikenal sebagai faktor resiko melakukan bunuh diri. Penentuan harapan yang tidak realistis ini mengakibatkan self-criticism. Perfeksionisme dapat dibagi menjadi tiga jenis, diantaranya self-oriented (menetapkan standar yang tidak realistis untuk diri 5. Konsep diri Markus (dalam Weiten & Lloyd, 2006) menyatakan bahwa konsep diri adalah kumpulan kepercayaan seseorang mengenai dirinya. Konsep diri ini terbentuk dari pengalaman masa lalu dan berhubungan dengan trait kepribadian, kemampuan, karakteristik fisik, nilai, tujuan, dan peran sosial (Campbell, Assanand, & DiPaula, dalam Weiten & Lloyd, 2006). Di samping itu, Swann mengemukakan bahwa orang yang mempunyai skema diri yang negatif

selalu mencari informasi yang mengkonfirmasi skema negatif tersebut(self-verification) (dalam Pervine, Cervone, & John, 2005). Salah satu fungsi konsep diri yaitu untuk menilai diri sendiri, atau yang lebih sering disebut dengan harga diri (self-esteem). Harga diri merupakan penilaian keseluruhan seseorang terhadap keberhargaan dirinya sebagai seorang manusia (Weiten & Lloyd, 2006). Jika seseorang memandang dirinya secara positif (konsep diri positif), maka dia akan memiliki harga diri yang tinggi, begitu juga sebaliknya (Weiten & Lloyd, 2006). Di samping itu, pola asuh orang tua berperan dalam pembentukan harga diri, dimana pola asuh Konsep diri yang negatif telah dibuktikan merupakan faktor resiko kecenderungan bunuh diri tanpa variabel karakteristik kognitif lainnya. 6. Ruminative Response Style Gaya berpikir merupakan faktor resiko terjadinya depresi, dan depresi merupakan prediktor yang kuat dalam perilaku bunuh diri (Tanney, dalam Ellis & Rutherford, 2008). Ruminative response style adalah gaya berpikir yang secara terus menerus berfokus pada mood negatif dan implikasinya. Gaya berpikir ini terdiri dari dua bentuk, yaitu bentuk pasif (brooding) dan bentuk aktif (reflection) (Chan, Miranda, & Surrence, 2009). Brooding merupakan sebuah perbandingan pasif antara situasi sekarang dengan standar yang tidak tercapai, sedangkan reflection merupakan gaya berpikir adaptif yang berfokus pada diri dan bertujuan untuk menyelesaikan masalah dan mengurangi simtom depresi. Brooding dapat memprediksi terjadinya pikiran bunuh diri dan depresi. Sedangkan, reflection hingga saat ini masih diprediksikan sebagai faktor protektif untuk pikiran bunuh diri. 7. Autobiographical Memory Autobiographical memory merupakan memori mengenai pengalaman yang pernah dialami dalam kehidupan seseorang. Memori ini diasosiasikan dengan depresi, posttraumatic stress disorder , dan bunuh diri. Pelaku percobaan bunuh diri menunjukkan kesulitan dalam tugas mengingat autobiographical memory dan menghasilkan autobiographical memory yang tidak jelas dan umum (William & Broadbent, dalam Ellis & Rutherford, 2008). Memori ini berkaitan dengan bunuh diri dalam 3 hal berikut: autobiographical memory yang terlalu umum menyebabkan episode gangguan emosional yang menetap, merusak kemampuan menyelesaikan masalah karena pengalaman masa lalu tidak dapat digunakan sebagai referensi untuk strategi mengatasi masalah di masa depan, dan merusak kemampuan individu untuk membayangkan masa depan secara spesifik. Hal tersebut dapat meningkatkan tingkat hopelessness dan kecenderungan bunuh diri pada individu.

BAB II KASUS 2.1 Kasus

2.2 Analisa Kasus Berdasarkan kasus diatas siswa tersebut berniat membunuh diri sendiri dengan intensi mati, tetapi belum berakibat pada kematian sehingga dikatakan siswa tersebut melakukan percobaan bunuh diri. Siswa tersebut melakukan percobaan bunuh diri dengan cara terjun ke sungai Brantas di atas jembatan Kademangan. 1. Biologis Berdasarkan kasus diatas tidak tertulis secara jelas mengenai secara jelas siswa tersebut melakukan percobaan bunuh diri. Tetapi berdasarkan banyak penelitian yang telah dilakukan, seseorang yang melakukan percobaan bunuh diri terdapat gangguan otak. Kerusakan otak akan mempengaruhi proses berfikir, menilai, dan bahkan mempengaruhi kepribadian seseorang, sehingga gangguan pada otak bisa menyebabkan seseorang melakukan percobaan bunuh diri.struktur dan kimiawi otak mempengaruhi alam perasaan ddan gangguan mood. Neurotransmitter yang mempengaruhi perubahaan mood antara lain : serotonin, norepinephrine, dan GABA. Seseorang yang melukan percobaan bunuh diri ditemukan tidak teraturan produksi serotonin. Maka berdasarkan kasus kemungkinan siswa tersebut juga mengalami ketidak teraturan produksi serotonin. Penelitian lain juga mengatakan bahwa perilaku bunuh diri merupakan bawaan lahir, dimana orang yang suidical mempunyai keluarga yang juga menunjukkan kecencerungan yang sama. Berdasarkan kasus tidak dijelaskan apakah ada dari pihak keluarga yang pernah melakukan seperti yang dilakukan oleh siswa tersebut.

2. Psikologis Townsend (2009) menyatakan bahwa faktor psikologis yang mempengaruhi seseorang bunuh diri adalah keputus asaan perpisahan dengan orang yang berarti, kesepian, riwayat kekerasan, malu karena kehilangan status social, dan stressor pada tahapan tumbuh kembang. Tipe kepribadain yang introvert mempengaruhi seseorang dalam membuat keputusan dalam hidupnya. Pada seseorang dengan kerapuhan psikologis dan tidak beradaptasi dengan stressor yang ada sehingga bunuh diri menjadi pilihan untuk menyelesaikan masalah. Berdasarkan kasus diatas diceritakan bahwa siswa tersebut tinggal terpisah dengan kedua orang tuanya, dia tinggal bersama pamannya di daerah yng berbeda dan cukup jauh dari oarang tuanya. Kemungkinan perpisahan dengan orang tuanya tersebut juga menjadi salah satu faktor pendukung karena kemungkinan dia merasa kesepian dan kurang diperhatiakan oleh kedua orang tuanya. Kemungkinan lain terdapat stressor yang membuat dia merasa terbebani, tidak ada orang yang diajak bicara/bercerita, karena berdasarkan penilaian dari orang yang ada di sekitarnya dia adalah tipikal orang yang tertutup dan pendiam. 3. Sosial dan Budaya Varcarolis dan Halter (2010) menyebutkan bahwa faktor sosial budaya termasuk kepercayaan, agama, nilai keluarga, sikap menghadapi kematian berdampak pada risiko bunuh diri. Isolasi dan terasing dari lingkungan social terpisah dari keluarga, komunitas, dan hubugan social menyebabkan seseorang mempunyai keinginan untuk bunuh diri, berdasarkan kasus diatas siswa tersebut terpisah dari keluarganya (ayah, ibu, dan kedua adiknya) dan tinggal bersama dengan pamannya di tempat yang berbeda kemungkinan hal tersebut yang dia melukan tindakan percobaan bunuh diri, karena ia merasa diasingkan dari keluarganya sendiri, tidak diperhatikan, atau mungkin tidak mampu beradaptasi dengan tempat tinggalnya yang baru (bersama pamannya). 2.3 Implementasi Komperhensif Tindakan yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan kognitif terapi dan logo terapi. Pemberian kognitif terapindan logo terapi memberikan pengaruh yang positif terhadap perubahan kognitif dan alam perasaan seseorang selama dalam masa perawatan. Hal ini menunjukkan bahwa seseorang tersebut masih memiliki kemampuan secara kognitif dan

psikomotor untuk melanjutkan fungsi hidup sehari-hari, walaupun pada faktor biologis seseorang memiliki riwayat genetik. Pemberian kognitif terapi dan logo terapi membantu seseorang dalam mengatasi rasa keputusasaan, perasaan tidak berguna dengan mambangun kepercayaan diri dengan pola pikir yang positif, sehingga mampu menemukan makna hidup dengan segala permasalahan dan keterbatasan yang saat ini dimiliki, serta mampu membuat rencana untuk melanjutkan kehidupannya. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Smith (2005) yang menyatakan bahwa :” Kognitif terapi yang diberikan pada seseorang dengan depresi dapat mengurangi rasa keputus asaan dan keinginan untuk mengulang percobaan bunuh diri”. Sementara Colluci (2008) menyatakan bahwa pemberian logo terapi dengan meningkatnya spiritualitas membantu seseorang untuk membangun koping yang lebih baik dalam menghadapi kondisinya. Kognitif terapi dan logo terapi telah memberikan dampak yang positif terhadap kemampuan berfikir positif, membangun konsep diri yang positif, serta mempunyai harapan dalam hidupnya. Seseorang dengan resiko bunuh diri membutuhkan bantuan dan perawatan yang intensif karena resiko bunuh diri merupakan salah satu kegawatdaruratan psikiatri. Manajemen krisis sebagai bentuk tindakan preventif perlu dilakukan untuk mrncegah terjadinya perilaku bunuh diri. Penanganan seseorang dengan gangguan jiwa secara komprehensif dan holistic tentunya tidak terlepas dari peran keluarga sebagai istem pendukung bagi seseorang tersebut. Gladding (2002) menyatakan bahwa “Dalam sebuah keluarga akan sesalu melakukan interaksi secara terus menerus dan membutuhkan satu dengan yang lainnya. Ketika terjadi perubahan akan mempengaruhi system keluarga yang berdapak lebih baik atau sebaliknya. Sementara itu Roy dalam Tommay dan Alligood, (2006) juga mempunyai pendapat mengenai keluarga, keluarga juga merupakan salah satu support system. Sumber koping keluarga dapat berupa pengetahuan tentang penyakit, finansial yang memadahi, ketersediaan waktu dan tenaga, dan kemampuan untuk memberikan dukungan secara berkesinambungan.

More Documents from "Catherine Yemima Ristyawati"