Doc-20180830-wa0007.docx

  • Uploaded by: Phiedta Purnamasari Rahmadhani
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Doc-20180830-wa0007.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,857
  • Pages: 11
PENGARUH PEMBERIAN POSISI DUDUK BADAN CONDONG KE DEPAN 45O TERHADAP RESPIRATORY RATE PADA PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK DI RUANG INTERNE 2 RSUD DR. R. SOEDARSONO, PASURUAN Fita Purnamasari Rahmadhani1), Trinataliswati2), Ririn Anantasari3) Prodi Sarjana Terapan Keperawatan Lawang Poltekkes Kemenkes Malang [email protected] THE EFFECT OF BODY LEANING FORWARD 45 DEGREES SITTING POSITION AGAINTS RESPIRATORY RATE IN PATIENT CHRONIC OBSTUKTIVE PULMONARY DISEASE (COPD) AT INTERNE 2 ROOM RSUD DR.R. SOEDARSONO, PASURUAN ABSTRAK Pasien dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) memiliki karakteristik hipersekresi mukus yang disebabkan karena proses inflamasi. Mukus yang berlebih menyebabkan jalan nafas tidak paten sehingga pertukaran gas tidak efektif. Dengan ketidakefektifan pertukaran gas menyebabkan jumlah udara yang masuk ke dalam paru-paru berkurang dan mengakibatkan sesak napas serta naiknya nilai respiratory rate. Salah satu tindakan mandiri keperawatan untuk mempertahankan fungsi ventilasi paru adalah mengatur posisi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian posisi duduk badan condong ke depan 45º terhadap respiratory rate pada pasien dengan PPOK. Penelitian ini menggunakan Quasi Eksperimental Design dengan rancangan pre post test design with control dengan melibatkan 30 responden yang diambil secara accidental. Hasil penelitian menunjukkan dengan uji paired t-test bahwa posisi duduk badan condong ke depan 45º dapat menurunkan nlai respiratory rate (p=0,000<=0,05) dengan rerata pre test 29x/mnt dan rerata post test 27x/mnt. Serta hasil uji independent t-test dengan hasil (p=0,004<=0,05) terdapat pengaruh pada posisi tersebut. Dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh pemberian posisi duduk badan condong ke depan 45º terhadap respiratory rate pada pasien dengan PPOK. Berdasarkan hasil temuan ini, direkomendasikan agar memberikan posisi duduk badan condong ke depan 45º pada pasien dengan PPOK dengan sesak napas untuk menurunkan nilai respiratory rate. Kata Kunci: Respiratory Rate, posisi duduk badan condong ke depan 45º, PPOK ABSTRACT Patients with Obstruction in Cronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) has the characteristics of hypersecretion of mucus cause the inflammatory process. Hypersecretion of mucus cause the way of breath cannot patent that gas exchange ineffective. With ineffective of the gas exchange cause lower total of air entering in the lung, than can cause dyspnea and causing increase respiratory rate. One of the interventions to maintenance lung ventilation is position arrangement. The purpose of this study was to know the effect of body leaning forward 45 degrees sitting position against respiratory rate in COPD. This study use quasi experiment with control group pre test – post test design involving 30 patients who selected by accidental sampling. Patient was treated by body leaning forward 45 degrees sitting position. This research with paired t-test showed that sitting lean forward 45 degrees position could lower of respiratory rate (p=0,000<=0,05) with means of pre test 29x/mnt and means of post test 27x/mnt. And with independent t-test (p=0,004<=0,05) that can effect for this position. It can be concluded that is the effect of body leaning forward 45 degrees sitting position against respiratory rate in patient COPD. Based on this finding, it is recommended to give body leaning forward 45 degrees sitting position for COPD patients with dyspnea to lower of respiratory rate.

Keyword: Respiratory rate, body leaning forward 45 degrees sitting position, COPD

PENDAHULUAN Penyakit Paru Obstruktif Kronik yang biasa disebut PPOK merupakan penyakit kronik yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara di dalam saluran napas yang tidak sepenuhnya reversible. Gangguan yang bersifat progresif ini disebabkaan karena terjadinya inflamasi kronik akibat pajanan partikel atau gas beracun yang terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama dengan gejala utama sesak napas, batuk dan produksi sputum (PDPI, 2006). PPOK merupakan salah satu dari kelompok penyakit tidak menular yang telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. (Depkes, 2008). Penyakit paru obstruktif kronik merupakan penyebab utama peningkatan morbiditas dan mortalitas di dunia. Peningkatan ini berbanding lurus dengan semakin tiingginya prevalensi merokok di berbagai negara, polusi udara dan bahan lainnya yang dapat menjadi faktor risiko utama PPOK. (WHO) menunjukkan bahwa pada tahun 2008 PPOK menempati urutan ke-3 sebagai penyebab utama kematian di dunia, sedangkan pada tahun 2013 diAmerika Serikat PPOK menjadi penyebab utama kematian. Hasil survey penyakit tidak menular oleh Direktorat Jenderal PPM & PL di rumah sakit provinsi di Indonesia (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, dan Sumatera Selatan) pada tahun 2004, menunjukkan PPOK menempati urutan pertama penyumbang angka kesakitan (35%), diikuti asma bronkial (33%), kanker paru (30%) dan lainnya (2%). (Depkes RI, 2008). Berdasarkan dari hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan September 2017 di RSUD dr. R Soedarsono Pasuruan, didapatkan data jumlah pasien PPOK yang dirawat inap di Ruang Interne 2 sebanyak 187 orang dalam 1 tahun terakhir dan rata – rata terdapat 15 pasien stroke setiap bulan.

Selain itu data studi pendahuluan di ruang Interne 2 terdapat 15 per bulan pasien PPOK rawat inap berulang dengan keluhan yang sama yaitu mengalami sesak napas. Studi pendahuluan wawancara yang dilakukan peneliti terhadap perawat ruangan mengatakan bahwa intervensi posisi duduk badan condong ke depan 45º belum di terapkan dikarenakan dalam ruangan tersebut masih menggunakan tindakan mandiri posisi semi/highfowler dalam mengurangi sesak napas pada pasien PPOK. Pada PPOK, hambatan aliran udara merupakan perubahan fisiologi utama yang diakibatkan oleh adanya perubahan yang khas pada saluran napas bagian proksimal, perifer, parenkim dan vaskularisasi paru yang dikarenakan adanya suatu inflamasi yang kronik dan perubahan struktural pada paru. Terjadinya penebalan pada saluran napas kecil dengan peningkatan formasi folikel limfoid dan deposisi kolagen dalam dinding luar saluran napas mengakibatkan restriksi pembukaan jalan napas. Lumen saluran napas kecil berkurang akibat penebalan mukosa yang mengandung eksudat inflamasi, yang meningkat sesuai berat sakit. Dalam keadaan normal radikal bebas dan antioksidan berada dalam keadaan seimbang. Apabila terjadi gangguan keseimbangan maka akan terjadi kerusakan di paru. Radikal bebas mempunyai peranan besar menimbulkan kerusakan sel dan menjadi dasar dari berbagai macam penyakit paru. Pengaruh gas polutan dapat menyebabkan stress oksidan, selanjutnya akan menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid selanjutnya akan menimbulkan kerusakan sel dan inflamasi. Proses inflamasi akan mengaktifkan sel makrofag alveolar yang akan merusak jaringan ikat parenkim paru sehingga timbul kerusakan dinding alveolar dan hipersekresi mucus selanjutnya terjadi proses inflamasi. Akibat hilangnya elastisitas saluran udara dan kolapsnya

alveolus, maka ventilasi berkurang. Parenkim paru kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi akibat pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah inspirasi. Dengan demikian, apabila tidak terjadi recoil pasif, maka udara akan terperangkap di dalam paru dan saluran udara kolaps , sehingga dapat terjadi sesak nafas (GOLD, 2015). Tindakan untuk mempertahankan ventilasi dan pertukaran gas yang adekuat adalah dengan perubahan posisi yang sering, salah satu posisi yang dapat mengurangi sesak napas adalah posisi duduk badan condong ke depan 45º (Bhatt, et al, 2009). Mekanisme dari pemberian posisi duduk badan condong ke depan 45º adalah posisi dimana pasien akan dibungkukan ke depan dengan posisi 45º,menyebabkan gaya gravitasi bumi bekerja cukup adekuat pada otot utama inspirasi yang menyebabkan meningkatnya otot diafragma dan otot interkosta eksternal. Gaya gravitasi bumi yang terjadi pada otot diafragma akan memudahkan otot tersebut berkontraksi bergerak ke bawah memperbesar volume rongga thoraks dengan menambah panjang vertikalnya. Rongga thoraks yang membesar menyebabkan tekanan di dalam rongga thoraks mengembang dan memaksa paru untuk mengembang, dengan demikian tekanan intraalveolus akan menurun. Penurunan tekanan intraalveolus lebih rendah dari tekanan atmosfir menyebabkan udara mengalir masuk ke dalam pleura. Proses tersebut menunjukkan bahwa dengan posisi duduk badan condong ke depan 45º mempermudah pasien PPOK yang mengalami obstruksi jalan nafas melakukan inspirasi tanpa banyak mengeluarkan energi. Dengan proses inspirasi yang menggunakan energi sedikit dapat mengurangi kelelahan pasien ketika bernafas dan juga meminimalkan penggunaan oksigen (Bhatt et al, 2009).

Berdasarkan latar belakang di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengaruh pemberian posisi duduk badan condong ke depan 45o terhadap respiratory rate pada pasien PPOK. Karena aplikasi posisi duduk badan condong ke depan 45o ini dapat dilakukan oleh perawat, mengingat tidak diperlukan energy dan biaya yang besar untuk memposisikan pasien condong ke depan. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian posisi duduk badan condong ke depan 45o terhadap respiratory rate pada pasien PPOK. METODOLOGI Penelitian ini menggunakan metode Quasi Eksperimental dengan rancangan Pre-Post Design With Control. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien PPOK yang dirawat inap di Ruang Interne 2 RSUD dr. R. Soedarsono, Pasuruan. Teknik pengambilan sampel menggunakan accidental sampling 2 bulan sesuai dengan kriteria inklusi sebagai berikut: pasien yang MRS hari pertama, pasien dengan kesadaran composmentis, pasien yang mampu berkomunikasi dengan baik. Untuk kriteria ekslusinya: pasien yang mengalami fraktur tulang belakang, pasien yang saat proses sedang berlangsung tiba-tiba membatalkan karena suatu hal tertentu (misal, KRS), pasien yang mengalami penurunan kesadaran, pasien yang nilai IMT mencapai 30,1 – 40 atau lebih. Sampel yang diperoleh berjumlah 30 sampel dengan 15 kelompok perlakuan dan 15 kelompok kontrol. Instrumen penelitian untuk mengukur respiratory rate menggunakan SOP respiratory rate, dan untuk pemberian posisi duduk badan condong ke depan 45º menggunakan SOP posisi condong ke depan. Analisis statistik yang digunakan meliputi usia, jenis kelamin, riwayat

merokok, yang ditampilkan dalam bentuk nilai distribusi dan frekuensi. Uji Independent t-test untuk mengetahui perbedaan respiratory rate antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Penelitian ini dilaksanakan di Ruang Interne 2 RSUD dr. R. Soedarsono, Pasuruan. Penelitian dilakukan pada tanggal 11 April 2018 – 16 Juni 2018.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Tabel 1 Karakteristik Dasar Responden Jenis Kelamin Jenis kelamin Laki- Laki Perempuan Jumlah

Perlakuan n % 12 80 3 20 15 100%

Kontrol n % 8 53,3 7 46,7 15 100%

Jumlah n % 20 58,8 10 41,2 30 100%

Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan bahwa kelompok perlakuan 12 orang (80%) laki-laki, dan kelompok kontrol 8 orang (53,3%) laki-laki. Tabel 2 Karakteristik Dasar Responden Umur Variabel Kelompok Perlakuan Kelompok Kontrol

N

Mean

SD

Min

Max

15

57,86

11,40

36

75

15

59,86

13,05

37

86

Berdasarkan Tabel 2 menunjukkan bahwa kelompok perlakuan rata-rata umur responden 57,86 tahun, umur termuda 36 tahun, dan umur tertua 75 tahun. Kelompok kontrol rata-rata umur responden 59,86 tahun, umur termuda 37 tahun, dan umur tertua 86 tahun. Tabel 3 Karakteristik Dasar Responden Riwayat Merokok Riwayat Merokok Merokok Tidak Merokok Jumlah

Perlakuan N % 11 73,3

Kontrol N % 12 80

Jumlah N % 23 78,8

4

27,3

3

20

7

21,2

15

100%

15

100%

34

100%

Berdasarkan Tabel 3 menunjukkan bahwa kelompok perlakuan memiliki

riwayat merokok 11 orang (73,3%). Kelompok kontrol memiliki riwayat merokok 12 orang (80%). Tabel 4 Karakteristik Dasar Responden Status Kategori RR Variabel Kelompok Perlakuan Kelompok Kontrol Jumlah

N Pretest Posttest Pretest Posttest

Takipnea

Normal

Bradypnea

15

0

0

15

0

0

30

0

0

Berdasarkan Tabel 4 menunjukkan bahwa respiratory rate dari kelompok perlakuan dan kelompok kontrol adalah sejumlah 30 responden (100%) mempunyai respiratoy rate dalam kategori takipnea. Tabel 5 RR Pada Kelompok Perlakuan Sebelum dan Sesudah Intervensi Variabel

N

Mean

SD

Min

Max

Pretest Posttest

15 15

29,46 27,13

2,972 2,199

26 24

36 32

Berdasarkan Tabel 5 menunjukkan bahwa rata-rata pretest respiratory rate kelompok perlakuan sebesar 29,46, sedangkan rata-rata posttest respiratory rate sebesar 27,13. Tabel 6 RR Pada Kelompok Kontrol Sebelum dan Sesudah Intervensi Variabel

N

Mean

SD

Min

Max

Pretest Posttest

15 15

31,06 31,13

2,711 2,802

26 28

36 32

Berdasarkan Tabel 6 menunjukkan bahwa rata-rata pretest respiratory rate pada kelompok kontrol sebesar 30,06, sedangkan rata-rata posttest respiratory rate sebesar 31,13. Tabel 7 Perbedaan RR Pada Kelompok Perlakuan Sebelum dan Sesudah Intervensi Variabel

N

Mean

SD

Min

Max

pvalue

Pretest Posttest

15 15

29,46 27,13

2,972 2,199

26 24

36 32

0,000

Berdasarkan Tabel 7 menunjukkan pada kelompok perlakuan didapatkan pvalue= 0,000 < α = 0,05 yang berarti Ho

ditolak dan H1 diterima menunjukkan perubahan yang berpengaruh terhadap posisi duduk badan condong ke depan 45º. Tabel 8 Perbedaan RR Pada Kelompok Perlakuan Sebelum dan Sesudah Intervensi Variabel

N

Mean

SD

Min

Max

pvalue

Pretest Posttest

15 15

31,06 31,13

2,711 2,802

26 28

36 32

0,089

Berdasarkan Tabel 8 menunjukkan pada kelompok kontrol didapatkan pvalue= 0,089 > α = 0,05 yang berarti Ho diterima dan H1 ditolak menunjukkan tidak terdapat pengaruh terhadap respiratory rate pada pasien penyakit paru obstruktif kronik. Tabel 9 Pengaruh Pemberian Posisi Duduk Badan Condong Ke Depan 45º Terhadap RR Variabel Selisih RR Perlakuan Selisih RR Kontrol

N

Mean

Min

Max

15

-2,07

-4

1

15

-,07

-4

3

pvalue 0,004 0,006

Dari tabel 4.9 hasil uji statistic menggunakan independent t-test untuk menguji data tidak berpasangan nilai RR pada kelompok perlakuan apabila datanya berdistribusi normal menunjukkan pvalue = 0,004 < α = 0,05 yang artinya ada pengaruh penurunan RR pada kelompok perlakuan. Sedangkan nilai RR pada kelompok kontrol menunjukkan pvalue = 0,006 > α = 0,05 yang artinya tidak ada pengaruh penurunan RR pada kelompok kontrol terhadap respiratory rate pada responden penyakit paru obstruktif kronik.

Pembahasan 1. Respiratory rate pada kelompok perlakuan sebelum dan sesudah diberikan intervensi Kelompok perlakuan diberikan intervensi dengan ketentuan posisi duduk badan condong ke depan 45o selama 45 menit dengan rincian 10 menit pertama dilakukan intervensi diistirahatkan

selama 5 menit kemudian dilakukan intervensi kedua selama 10 menit dengan fase istirahat 5 menit, selanjutnya dilakukan intervensi ketiga selama 10 menit dengan jeda 5 menit dengan dilakukan pengukuran respiratory rate setelah intervensi dan didokumentasikan, data ini dijadikan sebagai data postest. Intervensi diberikan terus-menerus selama 3 hari berturut-turut. Berdasarkan tabel 5 rata-rata respiratory rate pada kelompok perlakuan sebelum diberikan posisi duduk badan condong ke depan 45º sebesar 29,46 x/mnt, sedangkan rata-rata respiratory rate sesudah diberikan intervensi, sebesar 27,13x/mnt. Menurut teori Smeltzer dan Bare (2001) dalam Dwi Sulistyowati (2015) mengemukakan bahwa pengaturan posisi duduk badan condong ke depan 45° memungkinkan rongga dada dapat berkembang secara luas dan pengembangan paru meningkat. Kondisi ini akan menyebabkan asupan oksigen membaik sehingga proses respirasi kembali normal. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Eltayara, Ghezzo, dan MilicEmili (2001) dan Landers, Mc Whorter, Filibeck, dan Robinson (2006) menyatakan bahwa posisi duduk badan condong ke depan 45º dapat mengurangi dyspnea karena posisi tersebut dapat membantu peningkatan fungsi paru. Peneliti berpendapat pada kelompok perlakuan mengalami penurunan yang sedikit terhadap Respiratory rate dapat dikaitkan dengan adanya faktor patologis, faktor lingkungan maupun pola hidup responden. Seperti halnya responden yang mengalami penyakit paru yang sudah parah, maka kerja paru dalam sistem pernapasan akan semakin bertambah, sehingga karbondioksida yang dikeluarkan akan semakin meningkat dan oksigen yang dibutuhkan oleh tubuh akan berkurang,

menyebabkan pernapasan menjadi meningkat/sesak napas. Faktor lingkungan juga memiliki faktor yang mengakibatkan responden mengalami perbaikan hanya sedikit, yaitu dari lingkungan yang terlalu banyak debu sehingga walaupun telah diberikan intervensi, responden hanya merasakan sedikit berkurangnya sesak napas. Faktor lain yang dapat mempengaruhi yaitu dari pola hidup responden itu sendiri, kebiasaan merokok salah satunya. Semakin tinggi derajat merokok seseorang, maka akan semakin banyak orang tersebut terpapar berbagai zat yang dianggap toksik oleh tubuh pada saluran pernapasan yang akan berujung kepada penurunan fungsi faal paru yang lebih cepat dibanding bukan perokok. Dari faktor farmakologi juga dapat memengaruhi hasil penelitian dikarenakan responden tidak terlepas dari terapi farmakologi obat bronkodilator. 2. Respiratory rate pada kelompok kontrol sebelum dan sesudah diberikan intervensi Kelompok kontrol tidak diberikan intervensi dari peneliti, namun tetap diberi intervensi standart dari ruangan sebagaimana mestinya, dimana dalam intervensi yang diberikan kurang memberikan pengaruh yang baik untuk mengurangi sesak napas yang dialami responden serta intervensi yang diberikan kepada pasien dilakukan sendiri oleh keluarga pasien bukan oleh perawat ruangan yang hanya menginstruksikan saja tanpa memantau pemberian intervensi tersebut. Berdasarkan tabel 4.6 rata-rata pretest respiratory rate pada kelompok kontrol sebesar 31,06x/mnt sedangkan untuk rata-rata posttest respiratory rate sebesar 31,13x/mnt. Pengukuran frekuensi pernapasan pada kelompok kontrol yang hanya menggunakan terapi standart oksigen tidak mengalami perbedaan frekuensi pernapasan antara observasi awal dan

akhir, dikarenakan terapi non farmakologis yang digunakan untuk mengurangi sesak napas pada rumah sakit yang dipakai untuk tempat penelitian adalah posisi duduk tegak/high fowler dan posisi semifowler. Pada posisi duduk tegak peningkatan kerja otot diafragma dan otot interkosta eksterna tidak ada karena posisi otot tersebut tegak lurus dengan gaya grafitasi bumi, sementara pada posisi semi fowler terdapat gaya grafitasi bumi yang bekerja namun kerjanya berlawanan dengan kerja otot utama inspirasi. Begitu juga dengan otot ekspirasi pada posisi duduk tegak, peningkatan kerja pada otot tersebut tidak ada (Fillibeck, 2005). Menurut peneliti tidak terdapatnya penurunan respiratory rate pada kelompok kontrol juga disebabkan karena lama riwayat PPOK, terapi farmakologi yang diberikan pada responden yang ikut berpengaruh juga pada hasil penelitian. Dari segi umur juga dapat memengaruhi, dikarenakan semakin tua usia responden maka semakin besar kemungkinan terjadi penurunan fungsi paru. Pada usia tua akan terjadi penurunan kapasital paru, hal ini yang diakibatkan oleh adanya klasifikasi kartilago kosta dan melemahnya otot-otot interkosta sehingga mengurangi pergerakan dinding dada, adanya osteoporosis vertebra, sehingga meningkatkan diameter antero posterior. Perubahan tersebut yang dapat memperburuk penyakit paru obstruktif kronik dan menyulitkan penyembuhan. 3. Perbedaan respiratory rate pada kelompok perlakuan sebelum dan sesudah diberikan intervensi Berdasarkan tabel 7 hasil uji Paired T-Test menunjukkan bahwa pada kelompok perlakuan, perbandingan antara sebelum dan sesudah diberi intervensi kombinasi posisi duduk badan condong ke depan 45o dan oksigen didapatkan p-value= 0,000 < 0,05 yang berarti Ho ditolak dan H1 diterima. Hal ini memiliki makna bahwa terdapat

pengaruh antara sebelum dan sesudah diberi intervensi kombinasi posisi duduk badan condong ke depan 45o dan oksigen. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Suci Khasanah (2014) yang dilakukan pada 30 responden menyebutkan bahwa adanya pengaruh pemberian posisi duduk badan condong ke depan 45o terhadap respiratory rate. Penelitian ini juga senada dengan penelitian Willeput dan Sergysels (2006) yang membuktikan bahwa adanya peningkatan tingkat ekspirasi akhir dan ekspirasi yang aktif pada posisi duduk badan condong ke depan 45º dengan menempatkan kepala dan leher pada posisi yang sejajar atau selaras dapat mengurangi obstruksi jalan napas dan membantu meningkatkan fungsi paru sehingga sesak nafas akan berkurang. Dan ini akan berpengaruh terhadap perubahan respiratory rate pasien. Hal ini didukung oleh teori dari Bhatt et al (2009) yang menyatakan bahwa posisi duduk badan condong ke depan 45º dapat meningkatkan tekanan otot diafragma, tekanan otot interkosta, serta tekanan otot intraabdomen, sehingga memudahkan untuk proses inspirasi dan ekspirasi. Karena saat otot diafragma dan otot interkosta meningkat menyebabkan kontraksi bergerak ke bawah sehingga volume rongga thorak akan membesar dan mengembang, dengan demikian tekanan intraalveolus menurun. Penurunan tersebut menyebabkan udara mengalir masuk ke paru. Proses tersebut menunjukkan bahwa posisi duduk badan condong ke depan 45º mempermudah pasien penyakit paru obstruktif kronik yang mengalami obstruktif jalan nafas melakukan inspirasi tanpa banyak mengeluarkan energi. Proses inspirasi dengan menggunakan energi yang sedikit dapat mengurangi kelelahan pasien saat bernapas dan juga meminimalkan penggunaan oksigen, sehingga sesak napas akan berkurang.

Menurut peneliti, pemberian posisi duduk badan condong ke depan 45° akan menghasilkan perubahan respiratory rate pada kelompok perlakuan, dimana perubahan posisi dapat mempertahankan pertukaran gas. Pengaturan posisi ini dapat menekan bagian abdominal sehingga membantu paru mengembang secara maksimal, meningkatkan pertukaran gas serta dapat meningkatkan relaksasi otot-otot tambahan yang dapat mengurangi usaha untuk bernapas. Secara statistik hasil respiratory rate responden sesudah diberikan kombinasi posisi duduk badan condong ke depan 45º mengalami perubahan, namun secara klinis hasil respiratory rate responden setelah diberikan intervensi mengalami penurunan namun masih diatas batas normal (27,13x/menit). Sehingga dalam penelitian ini posisi duduk badan condong ke depan 45º berpengaruh terhadap perubahan respiratory rate pasien. 4. Perbedaan respiratory rate pada kelompok kontrol sebelum dan sesudah diberikan intervensi Berdasarkan tabel 8 hasil uji Paired T-Test menunjukkan bahwa pada kelompok kontrol, perbandingan antara observasi awal dan akhir didapatkan pvalue= 0,089 > 0,05 yang berarti Ho diterima dan H1 ditolak. Hal ini memiliki makna bahwa tidak terdapat pengaruh antara observasi awal dan akhir pada kelompok kontrol. Pengukuran frekuensi pernapasan pada kelompok kontrol yang menggunakan terapi standart oksigen dan tidak mendapatkan tindakan posisi duduk badan condong ke depan 45º tidak mengalami perbedaan frekuensi pernapasan, dimana pada rumah sakit yang dipakai untuk tempat penelitian terapi non farmakologis yang digunakan untuk mengurangi sesak napas adalah posisi duduk tegak/high fowler dan posisi

semifowler. Pada posisi duduk tegak peningkatan kerja otot diafragma dan otot interkosta eksterna tidak ada karena posisi otot tersebut tegak lurus dengan gaya grafitasi bumi, sementara pada posisi semi fowler terdapat gaya grafitasi bumi yang bekerja namun kerjanya berlawanan dengan kerja otot utama inspirasi. Begitu juga dengan otot ekspirasi pada posisi duduk tegak, peningkatan kerja pada otot tersebut tidak ada (Fillibeck, 2005). Menurut peneliti kedua posisi tersebut kurang berpengaruh, hal inilah yang menyebabkan respiratory rate pada kelompok kontrol tidak mengalami penurunan. Respiratory rate dalam batas normal mengakibatkan inspirasi dan ekspirasi menjadi lebih baik sehingga menandakan fungsi ventilasi paru yang baik. Fungsi ventilasi paru sendiri dipengaruhi oleh kebersihan jalan napas, pengembangan dan pengempisan paru serta kemampuan otot-otot pernapasan. Pada penderita PPOK mengalami proses inflamasi yang menyebabkan hipersekresi mukus berlebih, hipersekresi mukus ini dapat menyebabkan sumbatan jalan napas sehingga proses pertukaran gas tidak adekuat yang menyebabkan ventilasi tidak paten. Dalam hal ini respiratory rate pada penderita PPOK akan mengalami peningkatan. 5. Pengaruh pemberian posisi duduk badan condong ke depan 45º Dari tabel 9 hasil uji statistic menggunakan independent t-test untuk menguji data tidak berpasangan nilai respiratory rate pada kelompok perlakuan apabila datanya berdistribusi normal menunjukkan p-value= 0,004 < 0,05 yang berarti Ho ditolak dan H1 diterima menunjukkan terdapat pengaruh penurunan respiratory rate pada kelompok perlakuan pada responden penyakit paru obstruktif kronik. Hal ini memiliki makna bahwa terdapat pengaruh antara sebelum dan setelah di

beri intervensi posisi condong ke depan 45o.

duduk

badan

Sedangkan hasil uji statistic menggunakan independent t-test untuk menguji data tidak berpasangan nilai respiratory rate pada kelompok kontrol apabila datanya berdistribusi normal menunjukkan p-value= 0,006 > 0,05 yang berarti Ho diterima dan H1 ditolak menunjukkan tidak terdapat pengaruh penurunan respiratory rate pada kelompok kontrol. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan kondisi irreversible yang berkaitan dengan dyspnea saat aktivitas dan penurunan aliran masuk dan keluar udara paru-paru (Smeltzer dan Bare, 2002). Penyakit paru obstruktif kronik adalah suatu penyumbatan pada saluran pernapasan. Obstruksi jalan napas yang menyebabkan reduksi aliran udara beragam tergantung pada penyakit (Smeltzer dan Bare, 2002). Berdasarkan hasil uji statistik yang diperoleh pada kelompok perlakuan dengan nilai p value adalah 0,004 sehingga Ho ditolak dan H1 diterima yang artinya ada pengaruh posisi duduk badan condong ke depan 45º terhadap respiratory rate. Hal ini dibuktikan dengan perbandingan hasil respiratory rate sebelum dilakukan intervensi posisi duduk badan condong ke depan 45º yaitu rata-ratanya adalah 29,46x/mnt dan setelah dilakukan intervensi adalah 27,13x/mnt yang berarti terdapat penurunan sesak napas setelah diberikan intervensi. Pasien PPOK merupakan penyakit kronis yang ditandai dengan adanya keterbatasan aliran udara ke dalam saluran pernapasan dengan dyspnea. Dari hasil penelitian terdapat penurunan respiratory rate setelah dilakukan intervensi posisi duduk badan condong ke depan 45º dengan demikian posisi duduk badan condong ke depan 45º merupakan tindakan yang efektif terhadap pasien dengan PPOK. Menurut

PPDI (2003) untuk penatalaksanaan PPOK diantaranya adalah dengan perubahan posisi, untuk melatih penderita agar bisa mengeluarkan ekspirasi yang paling efektif dalam hal ini adalah dengan pemberian posisi duduk badan condong ke depan 45º. Posisi duduk badan condong ke depan 45º dapat meningkatkan tekanan otot diafragma, tekanan otot interkosta, serta tekanan otot intraabdomen, sehingga memudahkan untuk proses inspirasi dan ekspirasi. Karena saat otot diafragma dan otot interkosta meningkat menyebabkan kontraksi bergerak ke bawah sehingga volume rongga thorak akan membesar dan mengembang, dengan demikian tekanan intraalveolus menurun. Penurunan tersebut menyebabkan udara mengalir masuk ke paru. Proses tersebut akan mempermudah pasien penyakit paru obstruktif kronik yang mengalami obstruktif jalan nafas melakukan inspirasi tanpa banyak mengeluarkan energi. Proses inspirasi dengan menggunakan energi yang sedikit dapat mengurangi kelelahan pasien saat bernapas dan juga meminimalkan penggunaan oksigen, sehingga sesak napas akan berkurang sehingga pasien akan lebih mudah untuk beraktifitas. Menurut peneliti, pemberian posisi duduk badan condong ke depan 45° memberikan perubahan respiratory rate yang dapat membantu paru mengembang secara maksimal sehingga dapat mengurangi sesak napas. Berdasarkan uraian hasil pembahasan menunjukkan bahwa posisi duduk badan condong ke depan 45º mampu menurunkan sesak napas pada pasien penyakit paru obstruktif kronik. Posisi duduk badan condong ke depan 45º dapat diterapkan kapan pun saat pasien membutuhkan, selain tidak memerlukan biaya untuk melakukannya, posisi duduk badan condong ke depan 45º merupakan posisi sederhana yang bisa dilakukan oleh semua kalangan kecuali lansia yang sudah terlalu

berumur dan yang mempunyai sakit pada punggung. Banyak sekali manfaat yang dapat diperoleh dengan melakukan posisi duduk badan condong ke depan 45º yang benar sesuai dengan SOP. Sedangkan pengukuran frekuensi pernapasan pada kelompok kontrol yang menggunakan terapi standart oksigen dan tidak mendapatkan tindakan posisi duduk badan condong ke depan 45º tidak mengalami perbedaan frekuensi pernapasan, dimana pada rumah sakit yang dipakai untuk tempat penelitian terapi non farmakologis yang digunakan untuk mengurangi sesak napas adalah posisi duduk tegak/high fowler dan posisi semifowler. Pada posisi duduk tegak peningkatan kerja otot diafragma dan otot interkosta eksterna tidak ada karena posisi otot tersebut tegak lurus dengan gaya grafitasi bumi, sementara pada posisi semi fowler terdapat gaya grafitasi bumi yang bekerja namun kerjanya berlawanan dengan kerja otot utama inspirasi. Begitu juga dengan otot ekspirasi pada posisi duduk tegak, peningkatan kerja pada otot tersebut tidak ada (Fillibeck, 2005). Kondisi seperti ini pada pasien penyakit paru obstruktif kronik yang mengalami obstruktif menurut peneliti kurang dapat membantu meningkatkan inspirasi dan ekspirasi, sehingga kedua posisi tersebut kurang efektif untuk menurunkan respiratory rate, dengan demikian pada kelompok kontrol tidak ditemukannya perbedaan frekuensi pernapasan.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Respiratory rate pada kelompok perlakuan sebelum diberikan tindakan posisi duduk badan condong ke depan

2.

3.

4.

5.

45º sebesar 29,46x/mnt dan rata-rata respiratory rate setelah diberikan intervensi sebesar 27,13x/mnt. Respiratory rate pada kelompok kontrol yang menggunakan terapi standart oksigen sebagai observasi awal sebesar 31,06x.mnt sedangkan rata-rata respiratory rate sebagai observasi akhir sebesar 31,13x/mnt. Terdapat perbedaan respiratory rate pada kelompok perlakuan sebelum dan sesudah diberikan intervensi. (p value<α, 0,000<0,05) Terdapat perbedaan respiratory rate pada kelompok kontrol yang menggunakan terapi standart oksigen sebelum dan sesudah diberikan intervensi. (p value>α, 0,089<0,05) Terdapat pengaruh pemberian posisi duduk badan condong ke depan 45º terhadap respiratory rate pada pasien penyakit paru obstruktif kronik.

Saran 1. Bagi institusi rumah sakit hasil penelitian ini dapat menerapkan posisi duduk badan condong ke depan 45º sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) keperawatan yang sudah diterapkan sebagai standart ruangan dalam usaha mengurangi sesak napas pada pasien PPOK. 2. Bagi institusi pendidikan untuk dapat dijadikan referensi dalam penerapan penatalaksanaan non farmakologis pada pasien PPOK yang mengalami sesak napas dengan menggunakan posisi duduk badan condong ke depan 45º. 3. Bagi pasien PPOK, diharapkan intervensi posisi duduk badan condong ke depan 45o dapat dilakukan oleh semua kalangan dan mengingat tidak diperlukan energi maupun dana yang besar untuk memposisikan pasien. Bagi masyarakat apabila mendapati keluarganya sakit dan dalam keadaan sesak napas, dapat diberikan posisi duduk badan condong ke depan 45o dengan ketentuan intervensi harus

diberikan secara kontinyu, dan konsisten. 4. Bagi penelitian selanjutnya diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan referensi dalam melakukan penelitian yang sejenis. Selanjutnya mungkin perlu dilakukan penelitian dengan kombinasi terapi farmakologi dan non farmakologi lainnya agar penurunan respiratory rate dapat lebih maksimal. DAFTAR PUSTAKA A Potter, & Perry, A. G. (2006). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, Dan Praktik, edisi 4, Volume.2. Jakarta: EGC. Andarmoyo, S. 2012. Kebutuhan Dasar Manusia (Oksigenasi) Konsep, Proses dan Praktik Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu. Ardiansyah, Muhamad. 2012. Medikal Bedah Untuk Mahasiswa, Cetakan Pertama. Jogjakarta: DIVA Press (Anggota IKAPI). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. “Riset Kesehatan Dasar RISKESDAS 2013”, http://www.depkes.go.id/resources/d ownload/general/Hasil%20Riskesda s%202013.pdf, diaskes pada 27 Agustus 2017. Bhatt, S.P., Guleria, R. 2009. Effect of tripod position on objective parameters of respiratory function in stable chronic obstructive pulmonary disease. Indian J Chest Dis Allied Sci, 51 (2), 83-85. Black J. M. & Hawk J. H. 2014. Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen Klinis Untuk Hasil Yang Diharapkan, Edisi 8. St. Louis: Elsevier Inc. Corwin, Elizabet J. 2009. Buku Saku Patofisiologi, Ed.3. Jakarta. EGC

Depkes, RI. 2008. “Pedoman Pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik”, http://www.btklsby.go.id/wpcontent/uploads/2010/07/KEPMEN KES-1022-THN-2008-TTGPEDOMAN-PENGENDALIANPPOK.pdf, diakses pada 25 Agustus 2017. GOLD. 2010. “Pocket Guide to COPD Diagnosis, Management, and Prevention A Guide for Health Care Professionals update 2010”, http://fitsweb.uchc.edu/student/selec tives/jkoliani/GOLD_Pocket_2010 Mar31.pdf, diakses pada 27Agustus 2017. Khasanah, S. 2013. “Prosiding Seminar Nasional” dalam Efektifitas Condong Ke Depan (CKD) Terhadap Peningkatan Saturasi Oksigen Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Purwokerto: Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Harapan Bangsa. Kementrian Kesehatan Indonesia ,2013. Riset Kesehatan Dasar, 231-234. (http://doi.org/1 desember 2013), diakses pada tanggal 08 Agustus 2017 KNGF. 2008. Chronic Obstructive Pulmonary Disease: Practice Guidelines. England: Royal Dutch Society for Physical Therapy. Kozier. Erb, Berman. Snyder. (2010). Buku Ajar Fondamental Keperawatan : Konsep, Proses & Praktik, Volume : 1, Edisi : 7, EGC : Jakarta McFarland, K.G, & McFarlan, A.E., 1997. Nursing diagnosis & intervention : Planning for patient care. Missouri: Mosby-Year Book, Inc. Muttaqin, Arif. 2014. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan System Pernafasan. Jakarta: Salemba Medika.

Muwani, Arita. 2012. Perawatan Pasien Penyakit Dalam. Yogyakarta: Gosyen Notoatmojo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. PDPI.2011. Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Jakarta: Persatuan Dokter Paru Indonesia Ramadhani, R. 2005. Pengertian Pernapasan Definisi Pernapasan. https://www.academia.edu/4897950/ 2.1_Pengertian_Pernapasan_Definis i_Pernapasan), diakses pada tanggal 18 Oktober 2017. Ritianingsih, N., Irawaty, D., Handiyani, H., Keperawatan, P., Kemenkes, P., & Barat, J. (2005). Pada Klien Penyakit Paru Obstruksi Kronis. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Depok. Jawa Barat Setiadi. 2013. Konsep Dan Praktik Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu. Smeltzer, S. C. & Bare, B. G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddart Volume 2. Jakarta: Buku Kedokteran Egc. Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung: Alfabeta Suyanti, Sri. 2016. Pengaruh tripod position terhadap frekuensi pernafasan pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik (ppok) di rsud dr. soediran mangun sumarso. Stikes Kusuma Husada. Surakarta WHO (World Health Organisation). 2008. The Top Ten Causes of Death 2004. http://www.who.int/whr/, diakses 9 September 2017. WHO. 2015. “Cronic Respiratory Disease Programe”, http://www.who.int/respiratory, diakses pada 10 Agustus 2017.

More Documents from "Phiedta Purnamasari Rahmadhani"