DIABETES MELITUS
Disusun oleh : Lia Winanda Saefatu (2016030003) Natalia Musake
(2016030032)
Thelda A. Tasarane
(2016030194)
Zilfi Lidiawati
(2016030014)
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HUSADA JOMBANG PRODI S1 KEPERAWATAN 2019
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Diabetes melitus merupakan penyakit degeneratif ditandai dengan adanya hiperglikemia atau kelebihan kadar glukosa dalam darah yang memerlukan penanganan tepat. American Diabetes Association (ADA) mengklasifikasikan diabetes melitus menjadi 4 yaitu diabetes melitus tipe 1, diabetes melitus tipe 2, diabetes melitus gestastional dan diabetes melitus tipe khusus. Menurut Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, (2011), seseorang dapat didiagnosa diabetes melitus apabila mempunyai gejala klasik diabetes melitus seperti poliuria, polidipsi dan polifagi diserta dengan gula darah sewaktu ≥200 mg/dL dan gula darah puasa ≥126mg/dL. Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu masalah kesehatan yang berdampak pada produktivitas dan dapat menurunkan Sumber Daya Manusia. Penyakit ini tidak hanya berpengaruh secara individu, tetapi sistem kesehatan suatu negara. Oleh karena itu dalam makalah ini, penulis akan membahasa mengenai seluk beluk mengenai diabetes mellitus
1.2 Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah “Bagaimana tinjauan mengenai penyakit Diabetes Melitus baik dari segi pengertian, klasifikasi etiologis, gejala, diagnosa, factor risiko, komplikasi, pencegahan terapi farmakologi dan terapi komplementer”?
1.3 Tujuan Tujuan makalah ini adalah mengetahui tinjauan mengenai penyakit Diabetes Melitus baik dari segi pengertian, klasifikasi etiologis, gejala, diagnosa, factor risiko, komplikasi, pencegahan, terapi farmakologi dan terapi komplementer.
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi Diabetes Melitus Diabetes melitus adalah suatu keadaan kelebihan kadar glukosa dalam tubuh disertai dengan kelainan metabolik akibat gangguan hormonal dan dapat menimbulkan berbagai kompilkasi kronik. Diabetes melitus juga merupakan penyakit yang menahun atau tidak dapat disembuhkan (Mansjoer et al., 2000). Menurut Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, seseorang dapat didiagnosa diabetes melitus apabila mempunyai gejala klasik diabetes melitus seperti poliuria, polidipsi dan polifagi diserta dengan gula darah sewaktu ≥200 mg/dL dan gula darah puasa ≥126mg/dL (Perkeni, 2011).
2.2 Klasifikasi Diabetes Melitus American Diabetes Association (ADA) mengklasifikasikan diabetes mellitus berdasarkan patogenesis sindrom diabetes melitus dan gangguan toleransi glukosa. Diabetes melitus diklasifikasikan menjadi 4 yaitu diabetes melitus tipe 1, diabetes melitus tipe 2, diabetes gestational dan diabetes melitus tipe khusus (Price & Wilson, 2005). 1) Diabetes tipe 1 Diabetes tipe 1 (insulin-dependent diabetes melitus atau IDDM) merupakan diabetes yang disebabkan oleh proses autoimun sel- T (autoimmune T- Cell attack) yang menghancurkan sel- sel beta pankreas yang dalam keadaan normal menghasilkan hormon insulin, sehingga insulin tidak terbentuk dan mengakibatkan penumpukan glukosa dalam darah. Pasien dengan diabetes tipe 1 membutuhkan penyuntikan insulin untuk mengendalikan kadar glukosa darah. (Smeltzer & Bare, 2001). 2) Diabetes Tipe 2 Diabetes melitus tipe 2 adalah diabetes melitus yang tidak tergantung dengan insulin. Diabetes melitus ini terjadi karena pankreas tidak dapat menghasilkan insulin yang cukup atau tubuh tidak mampu menggunakan insulin secara efektif sehingga terjadi kelebihan gula dalam darah. Diabetes melitus tipe 2 dapat terjadi pada usia pertengahan dan kebanyakan penderita memiliki kelebihan berat badan (Smeltzer dan Bare, 2001)
3) Diabetes Gestastional (diabetes kehamilan ) Diabetes gestastional adalah diabetes yang terjadi pada masa kehamilan dan mempengaruhi 4% dari semua kehamilan. Diabetes gestastional disebabkan karena peningkatan sekresi berbagai hormon yang mempunyai efek metabolik terhadap toleransi glukosa. Diabetes gastastional dapat hilang setelah proses persalinan selesai. (Price & Wilson, 2005).
4) Diabetes melitus tipe khusus Diabetes melitus tipe khusus merupakan diabetes yang terjadi karena adanya kerusakan pada pankreas yang memproduksi insulin dan mutasi gen serta mengganggu sel beta pankreas sehingga mengakibatkan kegagalan dalam menghasilkan insulin secara teratur sesuai dengan kebutuhan tubuh. Sindrom hormonal yang dapat mengganggu sekresi dan menghambat kerja insulin yaitu sindrom chusing, akromegali dan sindrom genetik (Arisman, 2011). 2.3 Gejala Diabetes Melitus Menurut Wicak (2009) gejala umum yang ditimbulkan oleh penyakit diabetes melitus dianataranya : 1) Pengeluaran urin (Poliuria) Poliuria adalah keadaan dimana volume air kemih dalam 24 jam meningkat melebihi batas normal. Poliuria timbul sebagai gejala diabetes melitus dikarenakan kadar gula dalam tubuh relatif tinggi sehingga tubuh tidak sanggup untuk mengurainya dan berusaha untuk mengeluarkannya melalui urin. Gejala pengeluaran urin ini lebih sering terjadi pada malam hari dan urin yang dikeluarkan mengandung glukosa 2) Timbul rasa haus (Polidipsia) Polidipsia adalah rasa haus berlebihan yang timbul karena kadar glukosa terbawa oleh urin sehingga tubuh merespon untuk meningkatkan asupan cairan. 3) Timbul rasa lapar (polifagia) Pasien diabetes melitus akan merasa cepat lapar,hal ini disebabkan karena glukosa dalam tubuh semakin habis, sedangkan kadar glukosa dalam darah cukup tinggi. 4) Berkeringan banyak Glukosa yang tidak dapat terurai akan dikeluarkan oleh tubuh melalui keringat sehingga pada pasien diabetes melitus akan mudah berkeringat banyak.
5) Lesu Pasien diabetes melitus akan mudah merasakan lesu. Hal ini disebabkan karena pada gukosa dalam tubuh sudah banyak dibuang oleh tubuh melalui keringat atau urin, sehinggu tubuh merasa lesu dan mudah lelah. 6) Penyusutan berat badan Penyusutan berat badan pada pasien diabetes melitus disebabkan karena tubuh terpaksa mengambil dan membakar lemak sebagai cadangan energi. 2.4. Etiologi Diabetes Militus Menurut Erik Tapan (2005), ada 7 faktor risiko Diabetes Mellitus yaitu: 1. Faktor Usia Usia bisa menjadi faktor risiko karena seiring bertambahnya umur terjadi penurunan fungsi-fungsi organ tubuh, termasuk reseptor yang membantu pengangkutan glukosa ke jaringan. Reseptor ini semakin lama akan semakin tidak peka terhadap adanya glukosa dalam darah. Sehingga, yang terjadi adalah peningkatan kadar glukosa dalam darah. 2. Jenis Kelamin Pada usia kurang dari 40 tahun, pria dan wanita memiliki risiko yang sama mengalami diabetes. Sedangkan pada usia lebih dari 40 tahun, wanita lebih berisiko mengalami diabetes. Pada wanita yang telah mengalami menopause, gula darah lebih tidak terkontrol karena terjadi penurunan produksi hormon esterogen dan progesteron. Hormon esterogen dan progesteron ini mempengaruhi bagaimana sel-sel tubuh merespon insulin. 3. Pola Makan Kebiasaan makan yang banyak meningkatkan risiko diabetes. Makan yang sekaligus banyak memicu insulin dan reseptor untuk bekerja lebih keras, sehingga reseptor glukosa lebih cepat mengalami kerusakan. 4. Keturunan Kepekaan reseptor terhadap glukosa dapat diturunkan ke generasi berikutnya. Sehingga, bila orang tua mengalami diabetes, kemungkinan anaknya juga dapat mengalami diabetes. 5. Aktifitas Fisik Masyarakat yang suka hidup dengan santai tanpa melakukan apapun ternyata memiliki risiko lebih besar mengalami diabetes. Orang-orang yang sering bersantai
adalah orang yang membiasakan otot-otot luriknya tidak bekerja, sehingga otot lurik tidak aktif. Bila otot lurik tidak aktif, maka reseptor yang menerima glukosa tidak aktif. Akibatnya, glukosa akan tinggi kadarya dalam darah. 6. Kehamilan Besar atau Kembar Kehamilan yang besar atau kembar ternyata dapat meningkatkan produksi hormon pertumbuhan lebih banyak. Hormon pertumbuhan ini melawan kerja insulin. Akibat dari kerja insulin yang dihambat yaitu kadar glukosa dalam darah tinggi. 7. Obesitas atau Kegemukan Orang yang mengalami obesitas memiliki simpanan lemak yang lebih banyak dibandingkan dengan orang yang memiliki berat badan ideal. 2.5 Komplikasi 1. Komplikasi metabolik akut pada penyakit diabetes melitus terdapat tiga macam yang berhubungan dengan gangguan keseimbangan kadar glukosa darah jangka pendek diantaranya : (Smeltzer & Bare, 2001) a) Hipoglikemia Hipoglikemia (kekurangan glukosa dalam darah) timbul sebagai komplikasi diabetes yang disebabkan karena pengobatan yang kurang tepat. Pasien diabetes melitus pada umumnya mengalami hiperglikemia (kelebihan glukosa dalam darah) namun karena kondisi tersebut pasien diabetes melitus berusaha untuk menurunkan kelebihan glukosa dengan memberikan suntik insulin secara berlebihan, konsumsi makanan yang terlalu sedikit dan aktivitas fisik yang berat sehingga mengakibatkan hipoglikemia (Smeltzer & Bare, 2001). b) Ketoasidosis diabetic Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah komplikasi diabetes yang disebabkan karena kelebihan kadar glukosa dalam darah sedangkan kadar insulin dalam tubuh sangat menurun sehingga mengakibatkan kekacauan metabolik yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis (Soewondo, 2006). c) Sindrom HHNK (koma hiperglikemia hiperosmoler nonketotik) Sindrom HHNK adalah komplikasi diabetes melitus yang ditandai dengan hiperglikemia berat dengan kadar glukosa serum lebih dari 600 mg/dl. Sindrom HHNK disebabkan karena kekurangan jumlah insulin efektif. Hiperglikemia ini muncul tanpa ketosis dan menyebabkan hiperosmolalitas, diuresis osmotik dan dehidrasi berat. (Price & Wilson, 2005).
2. Komplikasi metabolik kronik Komplikasi metabolik kronik pada pasien diabetes melitus menurut Price and Wilson (2005) dapat berupa kerusakan pada pembuluh darah kecil (mikrovaskuer) dan komplikas pada pembuluh darah besar (makrovaskuer) diantaranya : a) Komplikasi pembuluh darah kecil (mikrovaskuer) Komplikasi yang ditimbulkan oleh penyakit diabetes melitus terhadap pembuluh darah kecil (mikrovaskuler) yaitu: (1) Kerusakan retina mata (Retinopati) Kerusakan retina mata (retinopati) adalah suatu mikroangiopati ditandai dengan kerusakan dan sumbahan pembuluh darah kecil. Retinopati belum diketahui penyebabnya secara pasti, namun keadaan hiperglikemia diangap sebagai faktor risiko yang paling utama. Pasien diabetes melitus memiliki risiko 25 kali lebih mudah mengalami retinopati dan meningkat dengan lamanya diabetes. (Pandelaki, (2009). (2) Kerusakan ginjal (Nefropati diabetik) Kerusakan ginjal pada pasien diabetes melitus ditandai dengan albuminuria menetap (>300mg/24jam atau >200ih/menit) minimal dua kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai dengan 6 bulan. Nefropati diabetik merupakan penyebab utama terjadinya gagal ginjal terminal. Pasien diabetes melitus tipe 1 dan tipe 2 memiliki faktor risiko yang sama namun angka kejadian nefropati diabetikum lebih tinggi pada pasien diabetes melitus tipe 2 dibandingkan pada pasien diabetes melitus tipe 1 (Hendromartono, 2006) (3) Kerusakan syaraf (Neuropati diabetik) Neuropati diabetik merupakan komplikasi yang paling sering ditemukan pada pasien diabetes melitus. Neuropati pada diabetes melitus mengacu pada sekelompok penyakit yang menyerang semua tipe saraf. Neuropati diabetik berawal dari hiperglikemia yang berkepanjangan. Risiko yang dihadapi pasien diabetes melitus dengan neuropati diabetik yaitu adanya ulkus yang tidak sembuh- sembuh dan amputasi jari atau kaki (Subekti, 2006).
b) Komplikasi pembuluh darah besar ( makrovaskuer ) Komplikasi pada pembuluh darah besar (efek makrovaskuler) pada pasien diabetes yaitu stroke dan risiko jantung koroner. (1) Penyakit jantung coroner Komplikasi penyakit jantung koroner pada pasien diabetes melitus disebabkan karena adanya iskemia atau infark miokard yang terkadang tidak disetai dengan nyeri dada atau disebut dengan SMI (silent myocardial infarction). Risiko komplikasi penyakit jantung koroner pada pasien diabetes mellitus dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti hipertensi, hiperglikemia, kadar kolesterol total, kadar kolestrol LDL (low density lipoprotein), kadar kolesterol HDL (high density lipoprotein), kadar trigliserida, merokok, dan adanya riwayat keluarga (Yanti, 2008). (2) Penyakit serebrovaskuler Pasien diabetes melitus berisiko 2 kali lipat dibandingkan dengan pasien nondiabetes untuk terkena penyakit serebrovaskuler. Gejala yang ditimbulkan pada penyakit ini menyerupai gejala pada komplikasi akut diabetes, seperti adanya keluhan pusing atau vertigo, gangguan penglihatan, kelemahan dan bicara pelo. (Smeltzer & Bare, 2001).
2.6 Pencegahan Diabetes Melitus Ada 3 jenis pencegahan diabetes mellitus (H. M. Hembing, 2004) : 1. Pencegahan Primer Tujuannya untuk mencegah terjadinya diabetes mellitus. Untuk itu, faktor-faktor yang dapat menyebabkan diabetes mellitus perlu diperhatikan, baik secara genetic maupun lingkungan. Berikut hal-hal yang harus dilakukan dalam pencegahan primer: a.
Pola makan sehari-hari harus seimbang dan tidak berlebihan
b.
Olahraga secara teratur dan tidak banyak berdiam diri
c.
Usahakan berat badan dalam batas normal
d.
Hindari obat-obatan yang dapat menimbulkan diabetes mellitus (diabetogenik)
2. Pencegahan sekunder Pencegahan sekunder tujuannya adalah mencegah agar penyakit diabetes mellitus yang sudah timbul tidak menimbulkan komplikasi penyakit lain, menghilangkan gejala, dan keluhan penyakit diabetes mellitus. Pencegahan sekunder meliputi deteksi
dini penderita diabetes mellitus, terutama bagi kelompok yang berisiko tinggi terkena diabetes mellitus. Bagi yang dicurigai terkena diabetes mellitus, perlu diteliti lebih lanjut untuk memperkuat dugaan adanya diabetes mellitus. Berikut hal-hal yang harus dilakukan dalam pencegahan sekunder: a. Diet sehari-hari harus seimbang dan sehat b. Menjaga berat badan dalam batas normal c. Usaha pengendalian gula darah agar tidak terjadi komplikasi diabetes mellitus d. Olahraga teratur sesuai dengan kemampuan fisik dan umur 3. Pencegahan Tersier Pencegahan tersier bertujuan untuk mencegah kecacatan lebih lanjut dari komplikasi penyakit yang sudah terjadi. Berikut pencegahan yang dimaksud: a. Mencegah terjadinya kebutaan jika menyerang pembuluh darah mata b. Mencegah gagal ginjal kronik jika menyerang pembulu darah ginjal c. Mencegah stroke jika menyerang pembuluh darah otak. Oleh karena itu, diperlukan pemeriksaan secara rutin dan berkala terhadap bagian organ tubuh yang rentan terhadap komplikasi dan kecacatan. 2.7 Terapi Farmakologi 1. Terapi Farmakologi Terapi farmakologi untuk pasien diabetes melitus geriatri tidak berbeda dengan pasien dewasa sesuai dengan algoritma, dimulai dari monoterapi
untuk terapi
kombinasi yang digunakan dalam mempertahankan kontrol glikemik. Apabila terapi kombinasi oral gagal dalam mengontrol glikemik maka pengobatan diganti menjadi insulin setiap harinya. Meskipun aturan pengobatan insulin pada pasien lanjut usia tidak berbeda dengan pasien dewasa, prevalensi lebih tinggi dari faktor-faktor yang meningkatkan risiko
hipoglikemia yang dapat menjadi masalah bagi penderita
diabetes pasien lanjut usia. Alat yang digunakan untuk menentukan dosis insulin yang tepat yaitu dengan menggunakan jarum suntik insulin premixed atau predrawn yang
dapat digunakan dalam terapi insulin. Lama kerja insulin beragam antar
individu sehingga diperlukan penyesuaian dosis pada tiap pasien. Oleh karena itu, jenis insulin dan frekuensi penyuntikannya ditentukan secara individual. Umumnya pasien diabetes melitus memerlukan insulin kerja sedang pada awalnya, kemudian ditambahkan insulin kerja singkat untuk mengatasi hiperglikemia setelah makan. Namun, karena tidak mudah bagi pasien untuk mencampurnya sendiri, maka tersedia
campuran tetap dari kedua jenis insulin regular (R) dan insulin kerja sedang (Anonim, 2000).
Tabel 1. Penggunaan Insulin Pada Pasien Diabetes Mellitus Insulin long acting / Glargine
10 U sebelum tidur 5
unit
pada
keadaan
dikhawatirkan
yang terjadi
hipoglikemia 15 unit pada pasien DM tipe 2, obesitas, infeksi, luka terbuka, dalam terapi steroid, pasca CABG Insulin short / rapid acting
0,1 U/kg tiap makan Sesuaikan atau berikan setelah makan pada pola makan yang tidak teratur
Periksa glukosa saat makan dan sebelum makan – insulin tambahan 200-299 mg/dl
Tambahan isulin rapid acting 0,075 U/KgBB
>300 mg/dl
Tambahan
insulin
rapid
acting
0,1
U/kgBB Sesuaikan dosis glargine untuk mempertahankan glukosa darah puasa 80110 mg/dl Jika tercapai sesuaikan insulin rapid acting untuk mencapai kadar glukosa darah sebelum makan dan sebelum tidur 120-200mg/dl Jika dimulai dengan pemberian insulin kerja panjang (NPH) bukan glargine/detemir, maka dosis yang diberikan 0,25 U/kgBB NPH saat makan pagi dan sebelum tidur (0,15 U/kgBB bila takut terjadi hipoglikemia ; 0,35 U/kg untuk kondisi dengan peningkatan kebutuhan insulin basal). Selain itu, tetap diberikan 0,1 U/kgBB rapid acting insulin sebelum makan. Insulin analog kerja panjang digunakan 2-4 kali sehari. Sementara itu, kebutuhan insulin prandial dapat dipenuhi dengan insulin kerja cepat (insulin regular atau rapid acting insulin analog). Insulin tersebut diberikan sebelum makan atau setelah makan (hanya untuk penggunaan rapid acting insulin analog) Idealnya insulin digunakan sesuai dengan keadaan fisiologis tubuh, terapi insulin diberikan sekali untuk kebutuhan basal dan tiga kali dengan insulin prandial untuk kebutuhan setelah makan. Namun demikian, terapi insulin yang diberikan dapat
divariasikan sesuai dengan kenyamanan penderita selama terapi insulin mendekati kebutuhan fisiologis (Anonim, 2009) 2. Obat Antidiabetik Oral a. Sulfonilurea Pada pasien lanjut usia lebih dianjurkan menggunakan OAD generasi kedua yaitu glipizid dan gliburid sebab resorbsi lebih cepat, karena adanya non ionic-binding dengan albumin sehingga resiko interaksi obat berkurang demikian juga resiko hiponatremi dan hipoglikemia lebih rendah. Dosis dimulai dengan dosis rendah. Glipizid lebih dianjurkan karena metabolitnya tidak aktif sedangkan metabolit gliburid bersifat aktif (Djokomoeljanto, 1999). Glipizide dan gliklazid memiliki sistem kerja metabolit yang lebih pendek atau metabolit tidak aktif yang lebih sesuai digunakan pada pasien diabetes geriatri. Generasi terbaru sulfoniluera ini selain merangsang pelepasan insulin dari fungsi sel beta pankreas juga memiliki tambahan efek ekstrapankreatik (Chau dan Edelman, 2001). b. Golongan Biguanid Metformin pada pasien lanjut usia tidak menyebabkan hipoglekimia jika digunakan tanpa obat lain, namun harus digunakan secara hati-hati pada pasien lanjut usia karena dapat menyebabkan anorexia dan kehilangan berat badan. Pasien lanjut usia harus memeriksakan kreatinin terlebih dahulu. Serum kretinin yang rendah disebakan karena massa otot yang rendah pada orangtua. Metformin tidak boleh diberikan bila klirens kreatinin <60mg/dl (Chau dan Edelman, 2001). c. Penghambat Alfa Glukosidase/Acarbose Obat ini merupakan obat oral yang menghambat alfa glukosidase, suatu enzim pada lapisan sel usus, yang mempengaruhi digesti sukrosa dan karbohidrat kompleks. Sehingga mengurangi absorb karbohidrat dan menghasilkan penurunan peningkatan glukosa postprandial (Soegondo, 1995). Walaupun kurang efektif dibandingkan golongan obat yang lain, obat tersebut dapat dipertimbangkan pada pasien lanjut usia yang mengalami diabetes ringan. Efek samping gastrointestinal dapat membatasi terapi tetapi juga bermanfaat bagi mereka yang menderita sembelit. Fungsi hati akan terganggu pada dosis tinggi, tetapi hal tersebut tidak menjadi masalah klinis (Chau dan Edelman, 2001). d. Thiazolidinediones Thiazolidinediones memiliki tingkat kepekaan insulin yang baik dan dapat meningkatkan efek insulin dengan mengaktifkan PPAR alpha reseptor.
Rosiglitazone telah terbukti aman dan efektif untuk pasien lanjut usia dan tidak menyebabkan hipoglekimia. Namun, harus dihindari pada pasien dengan gagal jantung. Thiazolidinediones adalah obat yang relatif mahal tetapi obat tersebut sangat berguna bagi pasien lanjut usia (Chau dan Edelman, 2001). e. Glinid Repaglinide (Prandin) adalah obat oral glukosa baru yang dapat digunakan dalam penggunaan monoterapi atau kombinasi dengan metformin untuk diabetes tipe 2. Serupa dengan sulfonilurea utama yaitu dapat
meningkatkan sekresi insulin
pankreas tapi sistem kerjanya terpisah pada sel β pancreas dan memiliki sistem kerja lebih pendek, dan lebih cepat bereaksi daripada golongan sulfonilurea. Seperti sulfonilurea, repaglinide dapat menyebabkan hipoglikemia yang serius dan berhubungan dengan kadar insulin yang meningkat dan juga berat badan. Tetapi obat ini bermanfaat bagi pasien lanjut usia dengan pola makan yang tidak teratur atau mereka yang rentan terhadap hipoglikemia. Megtilinida harus diminun cepat sebelum makan dan karena resorpsinya cepat, maka mencapai kadar puncak dalam 1 jam. Insulin yang dilepaskan menurunkan glukosa darah secukupnya. Ekskresinya juga cepat sekali, dalam waktu 1 jam sudah dikeluarkan tubuh (Tjay dan Raharja, 2007). 2.8 Terapi Komplementer 1. Reiki Pada pasien DM, Reiki merupakan terapi komplementer untuk menurunkan kadarglukosa darah. Terapi ini menggunakan energi alami yang disalurkan pada tubuh pasien dengan tujuan menyelaraskan energi yang tidak seimbang dalam tubuhnya. Energy akan disalurkan oleh tangan praktisi melalui cakra (pintu masuk dan keluarnya energy) mahkota, solar pleksus, dan seks. Cakra mahkota berada di kepala (ubun-ubun), solar pleksus di area ulu hati, dan cakra seks di sekitar dasar punggung/ perineum. Penyembuhan terjadi melalui suatu proses dimana energi menstimulasi sel-sel dan jaringan yang rusak untuk kembali pada fungsinya yang normal (Goldberg, 1997, dalam Sjahdeini, 2005) dan diharapkan kadar glukosa darah menjadi normal termasuk menurunkan resistensi insulin pada pasien DM yang mengalami termasuk menurunkan resistensi insulin pada pasien DM yang mengalami obesitas.
Relaksasi dan meditasi dalam terapi Reiki juga menyebabkan sistem saraf simpatis diinhibisi sehingga menghambat sekresi norepineprin (Benson & Proctor, 2000). Inhibisi norepineprin menyebabkan frekuensi jantung, pernafasan, dan glukosa darah menurun. Selain itu hipofisis anterior juga diinhibisi sehingga ACTH yang mensekresi hormon stres seperti kortisol menurun sehingga proses glukoneogenesis, serta katabolisme protein dan lemak yang berperan dalam peningkatan glukosa darah juga menurun (Guyton, 1996; Smeltzer & Bare, 2002). 2. Herbal Daun salam dan kacang merah merupakan bahan alami yang sering digunakan masyarakat untuk mengatasi penyakit DM dengan berbagai proses pemasakan. Namun selain daun salam dan kacang merah, biji pinang (Areca catechu L) juga berkhasiat untuk menurunkan kadar gula darah pada diabetes melitus. Tetapi mungkin belum banyak orang yang mengetahui khasiatnya untuk Diabetes Melitus. Berikut adalah cara mengolah biji pinang untuk Diabetes Melitus: Rebus 6 buah biji pinang yang sebelumnya sudah dikeringkan terlebih dahulu dengan 4 gelas air minum. Rebus hingga air rebusan menjadi 2 gelas. Diminum 2x/hari selagi hangat.
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan Diabetes Mellitus atau kencing manis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh peningkatan kadar gula dalam darah (hiperglikemi) akibat kekurangan hormon insulin baik absolut maupun relatif. Ada dua jenis diabetes yaitu diabetes tipe l dan diatetes tipe ll. Diabetes tipe I diakibatkan karena tejadinya kerusakan pankreas sehingga insulin harus di datangkan dari luar. Diabates tipe II atau disebut juga DM yang tidak tergantung pada insulin yang disebabkan karena insulin yang tidak dapat bekerja dengan baik. Diabetes dapat menyebabkan berbagai komplikasi penyakit dan mempunyai gejala-gejala yang dapat dikenali dengan mudah. Sehingga diabetes mellitus dapat dicegah dengan pengaturan aktifitas fisik, olahraga teratur, dan pengaturan pola makan 3.2 Saran Bagi penderita diabetes melitus atau kencing manis sebaiknya menjaga pola makan dan diet agar kadar gula dalam darah bisa terkontrol dengan baik. Selain menjaga pola makan dan diet penderita DM juga bisa menggunakan kombinasi obat anti diabetes seperti metformin dengan glibenclamid untuk mengetahui efek penurunannya terhadap kadar gula darah. Bagi yang belum terkena diabetes mellitus diharapkan tetap waspada dan melakukan usaha-usaha pencegahan yang telah dijelaskan dalam makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Arisman. 2011. Diabetes mellitus. Sumatera : Universitas Sumatera Utara.
Basuki E, 2004. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.
Hendromartono. (2006). Neftopati diabetika. In A. W. sudoyo, B.
Pandelaki, K. 2009. Retinopati diabetik. In A. W. Sudoyo, B. setiyohadi, I. Alwi, M. S. K & S. Setiati (Eds.), Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid III edisi v. Jakarta: InternaPublishing.
Perkeni. 2011. Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di Indpnesia.
Price, A. S., & Wilson, L. M. 2005. Patofisiologi : konsep klinis proses-proses penyakit (Vol. 2). Jakarta: EGC.
Prof. H. M. Hembing Wijayakusuma. 2004. Bebas Diabetes Mellitus Ala Hembing. Jakarta: Puspa Swara.
Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. 2001. Buku ajar keperawatan medikalbedah brunner & suddarth (Vol. 2). Jakarta: EGC.
Soewondo, P. 2006. Ketoasidosis diabetik. In A. W. Sudoyo, B. Setiyohadi,
I. Alwi, M. S. K & S. Setiati (Eds.), Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid III edisi IV Jakarta: Penerbit FK UI.