Dl Nadia Pak Karyadi.docx

  • Uploaded by: Nadia Ikhwani
  • 0
  • 0
  • August 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Dl Nadia Pak Karyadi.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,118
  • Pages: 12
 Aplikasi konsep dan prinsip transkultural sepanjang daur kehidupan manusia 1. Keperawatan transcultural pada kehamilan dan kelahiran Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (2012) menjelaskan bahwa salah satu faktor yang paling mempengaruhi asupan gizi ibu hamil adalah faktor budaya. Budaya berperan dalam status gizi ibu karena ada beberapa kepercayaan, seperti tabu mengonsumsi makanan tertentu yang sebenarnya makanan tersebut justru bergizi dan dibutuhkan oleh ibu, sebagaimana ibu hamil yang tabu mengkonsumsi ikan. Selain itu faktor lain yang berhubungan dengan asupan gizi adalah apa yang disukai dan tidak disukai, kepercayaan-kepercayaan terhadap apa yang dapat dimakan dan tidak dapat dimakan, dan keyakinan-keyakinan dalam hal yang berhubungan dengan keadaan kesehatan dan penanggalan ritual yang telah ditanamkan sejak usia muda. Oleh karena itu makanan dan kebiasaan makan tidak dapat dilepaskan dari budaya. Memahami budaya yang dianut oleh klien merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam memberikan pelayanan keperawatan yaitu dengan pendekatan transkultural. Hal ini didasarkan pada ilmu dan kiat yang mencakup pemberian pelayanan secara biopsiko-sosio-kultural dan spiritual secara komprehensif baik sehat maupun sakit dalam seluruh kehidupannya. Pendekatan transkultural yang dimaksud adalah pendekatan asuhan keperawatan yang berorientasi pada latar belakang budaya berupa nilai, kepercayaan, aturan perilaku, dan praktik gaya hidup yang menjadi acuan untuk berfikir dan bertindak. Strategi yang digunakan dalam asuhan keperawatan adalah perlindungan atau mempertahankan budaya yang tidak bertentangan dengan kesehatan, mengakomodasi atau menegosiasi budaya untuk membantu klien beradaptasi dengan budaya tertentu yang lebih menguntungkan kesehatan dan mengubah atau mengganti budaya klien yang merugikan kesehatan klien (Pratiwi, 2011). Salah satu pengkajian transkultural yang terkait dengan kehamilan yaitu tentang pantangan dan anjuran terhadap makanan yang dikonsumsi oleh ibu hamil. Bagi ibu hamil, biasanya orang-orang disekitarnya akan memberikan banyak wejangan hingga mungkin merasa pusing dan bingung dengan banyaknya larangan. Anjuran dan larangan dalam mengkonsumsi makanan merupakan hal wajar karena ibu hamil harus berhati-hati untuk menyiapkan kehamilan yang sehat dan menghindari hal-hal yang

tidak diinginkan. Agar ibu hamil tidak selalu cemas sepanjang kehamilan maka sebaiknya konseling untuk mengenali apa saja larangan bagi ibu hamil, mengapa dilarang dan bagaimana solusinya perlu dilakukan. Untuk itu perlu adanya peran serta pihak-pihak terkait seperti adanya pelayanan kesehatan terdekat yaitu puskesmas (Mahardika, 2011) 2. Keperawatan Transkultural pada Perawatan Dan Pengasuhan Anak Disepanjang daur kehidupannya, manusia akan melewati masa transisi dari awal masa kelahiran hingga kematiannya. Kebudayaan turut serta mempengaruhi peralihan tersebut. Dalam asuhan keperawatan budaya, perawat harus paham dan bisa mengaplikasikan pengetahuannya pada tiap daur kehidupan manusia. Salah satu contohnya yaitu aplikasi transkultural pada perawatan dan pengasuhan anak. Setiap anak diharapkan dapat berkembang secara sempurna dan simultan, baik perkembangan fisik, kejiwaan dan juga sosialnya sesuai dengan standar kesehatan, yaitu sehat jasmani, rohani dan sosial. Untuk itu perlu dipetakan berbagai unsur yang terlibat dalam proses perkembangan anak sehingga dapat dioptimalkan secara sinergis. Menurut Urie Bronfenbrenner, setidaknya ada 5 (lima) sistem yang berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak,yaitu: Pertama, sistem mikro yang terkait dengan setting individual di mana anak tumbuh dan berkembang yang meliputi : keluarga, teman sebaya, sekolah dan lingkungan sekitar tetangga. Kedua, sistem meso yang merupakan hubungan di antara mikro sistem, misalnya hubungan pengalaman-pengalaman yang didapatkan di dalam keluarga dengan pengalaman di sekolah atau pengalaman dengan teman sebaya. Ketiga, sistem exo yang menggambarkan pengalaman dan pengaruh dalam setting sosial yang berada di luar kontrol aktif tetapi memiliki pengaruh langsung terhadap perkembangan anak,seperti,pekerjaan orang tua dan media massa. Keempat, sistem makro yang merupakan budaya di mana individu hidup, seperti : ideologi, budaya, sub-budaya atau strata sosial masyarakat. Kelima, sistem chrono yang merupakan gambaran kondisi kritis transisional (kondisi sosio-historik). Keempat sistem pertama harus mampu dioptimalkan secara

sinergis dalam pengembangan berbagai potensi anak sehingga dibutuhkan pola pengasuhan, pola pembelajaran, pola pergaulan termasuk penggunaan media massa, dan pola kebiasaan (budaya) yang koheren dan saling mendukung. Proses sosialisasi pada anak secara umum melalui 4 fase, yaitu: 1) Fase Laten (Laten Pattern), pada fase ini proses sosialisasi belum terlihat jelas. Anak belum merupakan kesatuan individu yang berdiri sendiri dan dapat melakukan kontak dengan lingkungannya. Pada fase ini anak masih dianggap sebagai bagian dari ibu,dan anak pada fase ini masih merupakan satu kesatuan yang disebut “two persons system”. 2) Fase Adaptasi (Adaption), pada fase ini anak mulai mengenal lingkungan dan memberikan reaksi atas rangsangan-rangsangan dari lingkungannya. Orangtua berperan besar pada fase adaptasi, karena anak hanya dapat belajar dengan baik atas bantuan dan bimbingan orangtuanya. 3) Fase Pencapaian Tujuan (Goal Attainment), pada fase ini dalam sosialisasinya anak tidak hanya sekadar memberikan umpan balik atas rangsangan yang diberikan oleh lingkungannya, tapi sudah memiliki maksud dan tujuan. Anak cenderung mengulangi tingkah laku tertentu untuk mendapatkan pujian dan penghargaan dari lingkungannya. 4) Fase Integrasi (Integration), pada fase ini tingkah laku anak tidak lagi hanya sekadar penyesuaian (adaptasi) ataupun untuk mendapatkan penghargaan, tapi sudah menjadi bagian dari karakter yang menyatu dengan dirinya sendiri. Interaksi anak dengan lingkungannya secara tidak langsung telah mengenalkan dirinya pada kultural atau kebudayaan yang ada di sekelilingnya. Lingkungan dan keluarga turut berperan serta dalam tumbuh kembang anak. Hal ini pun tidak terlepas dari pengaruh-pengaruh budaya yang ada di sekitarnya. Sebagai perawat, dalam memberikan pengasuhan dan perawatan perlu mengarahkan anak pada perilaku perkembangan yang normal, membantu dalam memaksimalkan kemampuannya dan menggunakan

kemampuannya

untuk

koping

dengan

membantu

mencapai

keseimbangan perkembangan yang penting. Perawat juga harus sangat melibatkan anak dalam

merencanakan

proses

perkembangan.

Karena

preadolesens

memiliki

keterampilan kognitif dan sosial yang meningkat sehingga dapat merencnakan aktifitas perkembngan.

Dalam lingkungannya, anak diharuskan bekerja dan bermain secara kooperatif dalam kelompok besar anak-anak dalam berbagai latar belakang budaya. Dalam proses ini, anak mungkin menghadapi masalah kesehatan psikososial dan fisik (misalnya meningkatnya kerentanan terhadap infeksi pernapasan, penyesuaian yang salah di sekolah, hubungan dengan kawan sebaya tidak adekuat, atau gangguan belajar). Perawat harus merancang intervensi peningkatan kesehatan anak dengan turut mengkaji kultur yang berkembang pada anak. Agar tidak terjadi konflik budaya terhadap anak yang akan mengakibatkan tidak optimalnya pegasuhan dan perawatan anak.

3. Keperawatan Transkultural pada Lansia Bila suatu bentuk pelayanan kesehatan baru diperkenalkan ke dalam suatu masyarakat dimana faktor-faktor budaya masih kuat. Biasanya dengan segera mereka akan menolak dan memilih cara pengobatan tradisional sendiri. Apakah mereka akan memilih cara baru atau lama, akan memberi petunjuk kepada kita akan kepercayaan dan harapan pokok mereka lambat laun akan sadar apakah pengobatan baru tersebut berfaedah , sama sekali tidak berguna, atau lambat memberi pegaruh. Namun mereka lebih menyukai pengobatan tradisional karena berhubungan erat dengan dasar hidup mereka. Maka cara baru itu akan dipergunakan secara sangat terbatas, atau untuk kasuskasus tertentu saja. Pelayanan kesehatan yang modern oleh sebab itu harus disesuaikan dengan kebudayaan setempat, akan sia-sia jika ingin memaksakan sekaligus cara-cara modern dan menyapu semua cara-cara tradisional . Bila tenaga kesehatan berasal dari lain suku atau bangsa, sering mereka merasa asing dengan penduduk setempat . ini tidak akan terjadi jika tenaga kesehatan tersebut berusaha mempelajari kebudayaan mereka dan menjembatani jarak yang ada diantara mereka. Dengan sikap yang tidak simpatik serta tangan besi, maka jarak tersebut akan semakin lebar. Setiap masyarakat mempunyai cara pengobatan dan kebiasaan yang berhubungan dengan ksehatan masing-masing. Sedikit usaha untuk mempelajari kebudayaan mereka akan mempermudah memberikan gagasan yang baru yang sebelumnya tidak mereka terima. Pemuka - pemuka di dalam masyarakat itu harus diyakinkan sehingga mereka dapat memberikan dukungan dan yakin bahwa cara - cara baru tersebut bukan untuk melunturkan kekuasaan mereka tetapi sebaliknya akan memberikan manfaat yang lebih besar .Pilihan pengobatan dapat menimbulkan kesulitan. Misalnya , bila pengobatan

tradisional biasanya mengunakan cara-cara menyakitkan seperti mengiris-iris bagian tubuh atau dengan memanasi penderita , akan tidak puas hanya dengan memberikan pil untuk diminum . Hal tersebut diatas bisa menjadi suatu penghalang dalam memberikan pelayanan kesehatan, tapi dengan berjalannya waktu mereka akan berfikir dan menerima. Proses asuhan keperawatan pada usia lanjut adalah kegiatan yang dimaksudkan untuk memberikan bantuan, bimbingan, pengawasan, perlindungan dan pertolongan kepada lanjut usia secara individu, seperti di rumah/lingkungan keluarga, panti werda maupun puskesmas, yang diberikan oleh perawat untuk asuhan keperawatan yang masih dapat dilakukan oleh anggota keluarga atau petugas sosial yang bukan tenaga keperawatan, diperlukan latihan sebelumnya atau bimbingan langsung pada waktu tenaga keperawatan melakukan asuhan keperawatan di rumah atau panti. Pendekatan yang dilakukan pada saat proses keperawatan yaitu : 1) Pendekatan fisik Perawatan yang memperhatikan obyektif, kebutuhan, kejadian-kejadian yang dialami klien lanjut semasa hidupnya, perubahan fisik pada organ tubuh, tingkat kesehatan yang masih bisa dicapai dan dikembangkan, dan penyakit yang dapat dicegah atau ditekan progrevitasnya. Perawatan fisik secara umum bagi klien lanjut usia dapat dibagi atas dua bagian, yakni: a. Klien lanjut usia yang masih aktif, yang keadaan fisiknya masih mampu bergerak tanpa bantuan orang lain sehingga untuk kebutuhannya sehari-hari masih mampu melakukan sendiri. b. Klien lanjut usia yang pasif atau tidak dapat bangun, yang keadaan fisiknya mengalami kelumpuhan atau sakit, perawat harus mengetahui dasar perawatan klien lanjut usia ini terutama tentang hal-hal yang berhubungan dengan keberhasilan perorangan untuk memepertahankan kesehatannya. Kebersihan perorangan sangat penting dalam usaha menceggah timbulnya peradangan, mengingat sumber infeksi dapat timbul bila kebersihan kurang mendapat perhatian.

Di samping itu, kemunduran kondisi fisik akibat proses ketuaan, dapat mempengaruhi ketahanan tubuh terhadap gangguan atau serangan infeksi dari luar. Untuk klien lanjut usia yang masih aktif dapat diberikan bimbingan mengenai kebersihan mulut dan gigi, kebersihan kulit dan badan, kebersihan rambut dan kuku, kebersihan tempat tidur serta posisi tidurnya, hal makanan, cara memakan obat, dan cara pindah dari tempat tidur ke kursi atau sebaliknya. Hal ini penting karena meskipun tidak selalu, keluhan-keluhan yang dikemukakan atau gejala-gejala yang ditemukan memerlukan perawatan, tidak jarang para klien lanjut usia dihadapkan pada dokter dalam keadaan gawat yang memerlukan tindakan darurat dan intensif. Adapun

komponen

pendekatan

fisik

yang

lebih

mendasar

adalah

memperhatikan dan membantu para klien lanjut usia untuk bernafas dengan lancar, makan termasuk memilih dan menentukan makanan, minum, melakuan eliminasi, tidur, menjaga sikap tubuh waktu berjalan, duduk, merubah posisi tiduran, beristirahat, kebersihan tubuh, memakai dan menukar pakaian, mempertahankan suhu badan, melindungi kulit dan kecelakaan. Toleransi terhadap kekurangan O2 sangat menurun pada klien lanjut usia, untuk itu kekurangan O2 yang mendadak harus dicegah dengan posisi bersandar pada beberapa bantal, jangan makan terlalu banyak dan jangan melakukan gerak badan yang berlebihan. 2) Pendekatan psikis Di sini perawat mempunyai peranan penting mengadakan pendekatan edukatif pada klien lanjut usia, perawat dapat berperan sebagai supporter, interpreter terhadap segala sesuatu yang asing, sebagai penampung rahasia yang pribadi dan sebagai sahabat yang akrab. Perawat hendaknya memiliki kesabaran dan waktu yang cukup banyak untuk menerima berbagai bentuk keluhan agar para lanjut usia merasa puas. Perawat harus selalu memegang prinsip “Tripple S”, yaitu Sabar, Simpatik, dan Service. Pada dasarnya klien lanjut usia membutuhkan rasa aman dan cinta kasih dari lingkungan, termasuk perawat yang memberikan perawatan. Untuk itu perawat harus selalu menciptakan suasana aman, tidak gaduh, membiarkan mereka melakukan kegiatan dalam batas kemampuan dan hobi yang dimilikinya.

Perawat harus dapat membangkitkan semangat dan kreasi klien lanjut usia dalam memecahkan dan mengurangi rasa putus asa, rasa rendah diri, rasa keterbatasan sebagai akibat dari ketidakmampuan fisik, dan kelainan yang dideritanya. Hal ini perlu dilakukan karena perubahan psikologi terjadi bersama dengan berlanjutnya

usia.

Perubahan-perubahan

ini

meliputi

gejala-gejala,

seperti

menurunnya daya ingat untuk peristiwa yang baru terjadi , berkurangnya kegairahan keinginan, peningkatan kewaspadaan, perubahan pola tidur dengan suatu kecenderungan untuk tiduran di waktu siang, dan pergeseran libido. Perawat harus sabar mendengarkan cerita-cerita dari masa lampau yang membosankan, jangan mentertawakan atau memarahi klien lanjut usia bila lupa atau kesalahan. Harus diingat, kemunduran ingatan jangan dimanfaatkan untuk tujuantujuan tertentu. Bila perawat ingin mengubah tingkah laku dan pandangan mereka terhadap kesehatan, perawat bisa melakukannya secara perlahan-lahan dan bertahap, perawat harus dapat mendukung mental mereka kearah pemuasan pribadi sehingga seluruh pengalaman yang dilaluinya tidak menambah beban, bila perlu diusahakan agar di masa lanjut usia ini mereka dapat merasa puas dan bahagia. 3) Pendekatan sosial Mengadakan diskusi, tukar pikiran, dan bercerita merupakan salah satu upaya perawat dalam pendekatan sosial. Memberikan kesempatan untuk berkumpul bersama dengan sesama klien lanjut usia berarti menciptakan sosialisasi mereka. Jadi, pendekatan sosial ini merupakan suatu pegangan bagi perawat bahwa orang yang dihadapinya adalah makhluk sosial yang membutuhkan orang lain. Dalam pelaksanaannya perawat dapat menciptakan hubungan social antara lanjut usia dan lanjut usia dan perawat sendiri. Perawat memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada para lanjut usia untuk mengadakan komunikasi dan melakukan rekreasi, misal jalan pagi, menonton film, atau hiburan-hiburan lain.

Para lanjut usia perlu dirangsang untuk mengetahui dunia luar, seperti menonton televisi, mendengarkan radio, atau membaca surat kabar dan majalah. Dapat disadari bahwa pendekatan komunikasi dalam perawatan tidak kalah pentingnya dengan upaya pengobatan medis dalam proses penyembuhan atau ketenangan para klien lanjut usia. Tidak sedikit klien tidak dapat tidur karena stress, stress memikirkan penyakit, biaya hidup, keluarga yang di rumah sehingga menimbulkan kekecewaan, ketakutan atau kekhawatiran, dan rasa kecemasan. Untuk menghilangkan rasa jemu dan menimbulkan perhatian terhadap sekelilingnya perlu diberi kesempatan kepada lanjut usia untuk menikmati keadaan di luar, agar merasa masih ada hubungan dengan dunia luar. Tidak jarang terjadi pertengkaran dan perkelahian di antara lanjut usia (terutama yang tinggal dipanti werda), hal ini dapat diatasi dengan berbagai usaha, antara lain selalu mengadakan kontak dengan mereka, senasib dan sepenanggungan, dan punya hak dan kewajiban bersama. Dengan demikian perawat tetap mempunyai

hubungan komunikasi baik sesama mereka maupun terhadap

mempunyai hubungan komunikasi baik sesama mereka maupun terhadap petugas yang secara langsung berkaitan dengan pelayanan kesejahteraan sosial bagi lanjut usia dipanti werda. 4) Pendekatan spiritual Perawat harus bias memberikan ketentuan dan kepuasan batin dalam hubungannya dengan tujuan atau agama yang dianutnya, terutama bila klien lanjut usia dalam keadaan sakit atau mendekati kematian. Sehubungan dengan pendekatan spiritual bagi klien lanjut usia yang menekati kematian, DR Toni Setyobudhi mengemukakan bahwa maut sering kali menggugah rasa takut. Rasa takut semacam ini di dasari oleh berbagai macam faktor seperti, ketidakpastian pengalaman selanjutnya, adanya rasa sakit/penderitaan yang sering menyertainya, dan kegelisahan untuk tidak kumpul lagi dengan keluarga/lingkungan sekitarnya. Dalam menghadapi kematian, setiap klien lanjut usia akan memberikan reaksireaksi yang berbeda, tergantung dari kepribadian dan cara mereka menghadapi hidup ini. Sebab itu, perawat harus meneliti dengan cermat di manakah letak kelemahan

dan di mana letak kekuatan klien, agar perawat selanjutnya akan lebih terarah lagi. Bila kelemahan terletak pada segi spiritual, sudah seelayaknya perawat dan tim berkewajiban mencari upaya agar klien lanjut usia ini dapat diringankan penderitaannya. Perawat bisa memberikan kesempatan pada klien lanjut usia untuk melaksanakan ibadahnya, atau secara langsung memberikan bimbingan rohani dengan menganjurkan melaksanakan ibadahnya seperti membaca kitab atau membantu lanjut usia dalam menunaikan kewajiban terhadap agama yang dianutnya. Apabila kegelisahan yang timbul disebabkan oleh persoalan keluarga, maka perawat harus dapat meyakinkan lanjut usia bahwa keluarga tadi ditinggalkan, masih ada orang lain yang mengurus mereka. Sedangkan bila ada rasa bersalah yang menghantui pikiran lanjut usia, segera perawat segera menghubungi seorang rohaniawan untuk dapat mendampingi lanjut usia dan mendengarkan keluhankeluhannya maupun pengakuan-pengakuannya. Umumnya pada waktu kematian akan datang, agama atau kepercayaan seseorang merupakan faktor yang penting sekali. Pada waktu inilah kehadiran seorang imam sangat perlu untuk melapangkan dada klien lanjut usia. Dengan demikian pendekatan perawat lanjut usia bukan hanya terhadap fisik, yakni membantu mereka dalam keterbatasan fisik saja, melainkan perawat lebih dituntut menemukan pribadi klien lanjut usia melalui agama mereka.

 Aplikasi transkultural pada beberapa masalah kesehatan 1. Keperawatan Transkultural pada penyakit kronik Ada tiga pedoman yang ditawarkan dalam keperawatan transkultural (Andrew and Boyle, 1995) yaitu : mempertahankan budaya yang dimiliki klien bila budaya klien tidak bertentangan dengankesehatan, mengakomodasi budaya klien bila budaya klien kurangmenguntungkan kesehatan dan merubah budaya klien bila budaya yangdimiliki klien bertentangan dengan kesehatan. a. Cultural care preservation/maintenance 1) Identifikasi perbedaan konsep antara klien dan perawat tentang proses melahirkan dan perawatan bayi 2) Bersikap tenang dan tidak terburu-buru saat berinterkasi dengan klien. Mendiskusikan kesenjangan budaya yang dimiliki klien dan perawat b. Cultural care accomodation/negotiation 1) Gunakan bahasa yang mudah dipahami oleh klien 2) Libatkan keluarga dalam perencanaan perawatan 3) Apabila konflik tidak terselesaikan, lakukan negosiasi dimana budayanya yang dapat dicegah, diubah atau dikurangi melalui intervensikeperawatan. c. Cultual care repartening/reconstruction 1) Beri kesempatan pada klien untuk memahami informasi yangdiberikan dan melaksanakannya 2) Tentukan tingkat perbedaan pasien melihat dirinya dari budayakelompok 3) Gunakan pihak ketiga bila perlu 4) Terjemahkan terminologi gejala pasien ke dalam bahasa kesehatanyang dapat dipahami oleh klien dan orang tua 5) Berikan informasi pada klien tentang sistem pelayanan kesehatan. Perawat dan klien harus mencoba untuk memahami budaya masing-masing melalui proses akulturasi, yaitu proses mengidentifikasi persamaan dan perbedaan budaya yang akhirnya akan memperkaya budaya budaya mereka. Bila perawat tidak memahami budaya klien maka akan timbul rasa tidak percaya sehingga hubungan terapeutik antara perawat dengan klien akan terganggu. Pemahaman budaya klien amat mendasari efektifitas keberhasilan menciptakan hubungan perawat dan klien yang bersifat terapeutik.

Contoh budaya-budaya masyarakat : a. Contoh pada masyarakat Selayar yang mempercayai dan melarang anak-anak remaja duduk sambil merangkul paha dan lututnya, alasannya karena bisa terkena penyakit TBC, padahal sebetulnya itu adalah karena faktor sopan santun. Sangatlah tidak sopan ketika kita duduk dengan posisi seperti itu. b. Contoh lainnya yaitu pada masyarakat Sidrap, yaitu kita tidak boleh baring ataupun tidur tengkurap. Menurut orang terdahulu, katanya dapat menyebabkan bagian dada menjadi besar. Sehingga akan berakibat fatal untuk kelangsungan buah hati kelak. Padahal dalam istilah medis, itu sebenarnya berpengaruh pada sistem pernapasan, dan dapat menyebabkan kanker payudara. c. Dan contoh yang paling sering kita temukan yaitu pada sebagian besar masyarakat di daerah terpencil, yaitu apabila ketika dia telah di vonis menderita penyakit kronik, maka mereka tidak lagi ingin pergi ke dokter, tapi malah berbondong-bondong ke dukun. Namun, apabila mereka sudah percaya bahwa kalaupun merekea berangkat ke dukun, namun tidak akan mendapatkan hasil, jadi mereka lebih memilih mendiamkan penyakit tersebut sampai akhir hayatnya.

2. Keperawatan Transkultural pada Gangguan Kesehatan Mental Penyakit mental dapat mengenai setiap orang, tanpa mengenal umur, ras, agama, maupun status sosial-ekonomi. Penyakit mental bukan disebabkan oleh kelemahan pribadi. Di masyarakat banyak beredar kepercayaan atau mitos yang salah mengenai penyakit mental, ada yang percaya bahwa penyakit mental disebabkan oleh gangguan roh jahat, ada yang menuduh bahwa itu akibat guna-guna, karena kutukan atau hukuman atas dosanya. Kepercayaan yang salah ini hanya akan merugikan penderita dan keluarganya karena si sakit tidak mendapat pengobatan secara cepat dan tepat. Sekitar 20% dari kita akan mengalami gangguan mental pada suatu waktu dalam hidup kita. Gangguan mental yang mungkin dialami oleh tiap orang itu berbeda-beda dalam hal jenis, keparahan, lama sakit, frekuensi kekambuhan, dan cara pengobatannya. Ada lebih dari 400 macam gangguan mental, tetapi yang umum dikenal masyarakat hanya satu saja, yaitu apa yang disebut “gila”. Akibatnya setiap orang yang datang berkonsultasi ke psikolog atau berobat ke psikiater dikatakan gila, sehingga mereka

yang sesungguhnya memerlukan pengobatan merasa malu untuk berobat. Padahal, gangguan mental yang berat ini (gila) hanya merupakan bagian yang sangat kecil dari sekian banyak macam penyakit/gangguan mental. Orang dengan penyakit mental membutuhkan dukungan/support, penerimaan dan pengertian dari kita semua. Mereka juga punya hak seperti orang lain. Bukan malah ditakuti, dijauhi, diejek, atau didiskriminasi.

Dafpus Yuli dkk. 2016. Keyakinan Makanan Dalam Perspektif Keperawatan transcultural Pada Ibu Hamil di Wilayah Kerja Puskesmas Kartasura. FIK UMS Perry, Potter. 2012. Fundamental of Nursing. Jakarta: Salemba Medika Pratiwi, Arum. 2011. Buku Ajar Keperawatan Transkultural. Jogjakarta: Gosyen Publishing. Ratna, Wahyu. 2010. Sosiologi dan Antropologi Kesehatan dalam Perspektif Ilmu Keperawatan. Jogjakarta: Pustaka Rihama

Related Documents

Dl Nadia Pak Karyadi.docx
August 2019 11
Nadia
April 2020 31
Dl
June 2020 53
Dl
June 2020 56
Dl-101c / Dl-102c
May 2020 62
Nadia Lablack
June 2020 17

More Documents from "masterprofle"