Diversi Tindak Pidana Narkotika Terhadap Anak (02).docx

  • Uploaded by: INDAH PUSPITA SARI
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Diversi Tindak Pidana Narkotika Terhadap Anak (02).docx as PDF for free.

More details

  • Words: 7,877
  • Pages: 35
PENERAPAN DIVERSI TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA Oleh : Dr. Mia Amiati, SH, MH*) Jika mendengar kalimat “anak yang berhadapan dengan hukum” sebagian besar masyarakat seolah terkooptasi pada pemahaman anak yang menjadi pelaku tindak pidana. Padahal telah dinyatakan secara tegas di dalam Pasal 64 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bahwa: “Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana. Anak adalah generasi penerus bangsa yang memiliki keterbatasan dalam memahami dan melindungi diri dari berbagai pengaruh sistem yang ada. Anak yang memiliki permasalahan dengan kehidupannya baik yang memiliki konflik dengan keluarga, orang lain maupun lingkungannya, hal ini dapat membawa anak tersebut berkonflik dengan hukum. Misalnya berupa keterlibatan anak dalam penyalahgunaan narkotika dan psikotropika. Dalam hal berkonflik dengan hukum, tentunya tidak lepas dari peran aparat penegak hukum, baik Penyidik maupun Jaksa dalam menanganinya. Hal ini dikarenakan polisi memiliki peran sebagai penyidik demi tegaknya hukum yang berlaku di Indonesia. Penyidik sangat berperan dalam proses penyidikan perkara pidana anak yaitu dengan melakukan tindakan penyelidikan dan penyidikan, hal ini sangat penting dilakukan oleh kepolisian karena bertujuan untuk melindungi hak seorang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana, maka harus ada bukti permulaan yang cukup untuk melakukan penangkapan. Penyelidikan dan penyidikan terhadap anak yang melakukan tindak pidana telah di atur dalam Undang-Undang No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, undang-undang tersebut telah memberikan perlakuan khusus terhadap anak-anak yang melakukan suatu tindak pidana, baik dalam hukum acaranya

maupun peradilannya. Hal ini mengingat sifat anak dan keadaan psikologisnya dalam beberapa hal tertentu memerlukan perlakuan khusus serta perlindungan yang khusus pula, terutama terhadap tindakan-tindakan yang pada hakikatnya dapat merugikan perkembangan mental maupun jasmani anak. Berbicara tentang anak yang berhadapan dengan masalah hukum, Negara memberikan Perlindungan Khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum yang dilaksanakan melalui : 1) Perlakuan atas anak secara menusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak. 2) Penyediaan Petugas Pendamping sejak dini. 3) Penyediaan sarana dan prasarana khusus. 4) Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak. 5) Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum. 6) Pemberian jaminan untuk mempertahankan dengan orangtua atau keluarga.

hubungan

7) Perlindungan dari pemberian identitas melalui media masa untuk menghindari labelisasi. Selain itu, di dalam Pasal 59 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dinyatakan bahwa: “Pemerintah dan Lembaga negara lainnya wajib memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya, anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.”

Di dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System), ada beberapa kekhususan terkait dengan penanganan kasus-kasus kenakalan anak yang berhadapan dengan hukum, antara lain : Pertama, Polisi sebagai institusi formal ketika menangani anak yang bersentuhan dengan sistem peradilan, harus dapat menentukan apakah anak yang berhadapan dengan hukum terserbut akan dibebaskan atau diproses lebih lanjut. Kedua, Jaksa dan lembaga pembebasan bersyarat yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses ke pengadilan anak. Ketiga, Pengadilan Anak, tahapan ketika anak akan ditempatkan dalam pilihan-pilihan, mulai dari dibebaskan sampai dimasukkan dalam institusi penghukuman. Keempat, Institusi penghukuman. Ada 2 (dua) kategori perilaku anak yang membuat ia berhadapan dengan hukum, yaitu: a. Status Offender adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan, seperti tidak menurut, membolos sekolah atau kabur dari rumah; b. Juvenile Delinquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa dianggap sebagai suatu kejahatan atau pelanggaran hukum Pelaksanaan Sitem Peradilan Pidana Anak ditegakkannya demi mencapai kesejahteraan anak dengan berdasar pada prinsip kepentingan terbaik bagi anak. Dengan kata lain, Sitem Peradilan Pidana Anak berdasarkan pada perlindungan anak dan pemenuhan hak-hak anak (protection child and fullfilment child rights based approuch).

Terkait dengan masalah penyalahgunaan naroktika yang pelakunya adalah anak-anak, maka tetap diberikan Perlindungan Hukum terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana tersebut sejak mulai Tahap Penyidikan, Penuntutan dan Persidangan 1. Tahap Penyidikan Secara umum berdasarkan ketentuan Undang-Undang nomor 3 tahun 1997 bahwa penyidikan terhadap pelaku tindak pidana anak hanya dapat dilakukan apabila pelaku tindak pidana telah berusia 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun, terhadap anak di bawah umur delapan tahun yang melakukan tindak pidana akan mendapat pembinaan dan dikembalikan pada orang tua/wali. Penyidikan terhadap anak yang menjadi pelaku tindak pidana dilakukan oleh Penyidik Anak, yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian RI atau Pejabat yang ditunjuk olehnya. Dengan demikian Penyidik Umum tidak dapat melakukan penyidikan atas Perkara Anak, kecuali dalam hal tertentu, seperti belum ada Penyidik Anak di tempat tersebut. Penyidikan terhadap anak berlangsung dalam suasana kekeluargaan, dan untuk itu penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari Pembimbing Kemasyarakatan sesuai Undang-Undang No. 3 Tahun 1997. Diperiksa dalam suasana kekeluargaan, berarti pada waktu memeriksa tersangka anak, penyidik tidak memakai pakaian seragam/dinas, dan melakukan pendekatan secara efektif, aktif, dan simpatik. Dalam mewujudkan suasana kekeluargaan itu juga berarti tidak ada pemaksaan, intimidasi atau sejenisnya selama dalam penyidikan. Salah satu jaminan terlaksananya suasana kekeluargaan ketika penyidikan dilakukan, adalah hadirnya Penasehat Hukum, disamping itu, karena yang disidik adalah anak, maka juga sebenarnya sangat penting adalah kehadiran orang tua/wali/orang tua asuhnya, agar tidak timbul ketakutan atau trauma pada diri si anak.

Apabila dipandang perlu, penyidik juga dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama, atau petugas kemasyarakatan lainnya. Sementara untuk kepentingan si anak sendiri, maka proses penyidikan wajib dirahasiakan Sebagaimana ketentuan yang diatur di dalam KUHAP, Tindakan yang dapat dilakukan oleh seorang penyidik adalah penangkapan, penahanan, mengadakan pemeriksaan ditempat kejadian, melaksanakan penggeledahan, pemeriksaan tersangka dan interogasi, membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP), penyitaan, penyimpanan perkara dan melimpahkan perkara. Adapun prosedur yang dilakukan terhadap anak pelaku tindak pidana adalah sebagai berikut : a. Penangkapan Penangkapan adalah suatu tindakan Penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang. Di dalam Undang- Undang pengadilan anak, mengenai tindakan penangkapan tidak diatur secara rinci, sehingga berlaku ketentuan-ketentuan dalam Undang- Undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Undang-Undang ini mengatur wewenang polisi dalam melakukan penyidikan dan penyelidikan yang selanjutnya diatur dalam petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) kepolisian. Aturan tersebut menjadi pedoman bagi setiap anggota kepolisian RI dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Upaya memberikan perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, disamping juklak dan juknis yang dimiliki, ada beberapa “kekhususan” tindakan penangkapan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, Penyidik harus memperhatikan hak-hak anak dengan melakukan

tindakan perlindungan terhadap anak, seperti : 1. Perlakukan anak dengan asas praduga tak bersalah. 2. Perlakukan anak dengan arif, santun dan bijaksana, dan tidak seperti terhadap pelaku tindak pidana dewasa. 3. Saat melakukan penangkapan segera memberitahukan orang tua dan walinya. 4. Anak tertangkap tangan segera memberitahukan orang tua atau walinya. 5. Wewenang mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab, polisi atau masyarakat berdasar pada asas kewajiban. 6. Penangkapan terhadap anak yang diduga sebagai tersangka bukan karena tertangkap tangan, merupakan kontak atau tahap pertama pertemuan antara anak dengan polisi. Tahap ini penting bagi seorang Penyidik menghindarkan anak dari pengalaman- pengalaman traumatic yang akan dibawanya seumur hidup. Untuk itu Penyidik harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1) Menunjukkan surat perintah penangkapan legal kepada anak yang diduga sebagai tersangka dengan ramah dan bertanggung jawab. Cara yang ramah memberi rasa nyaman terhadap anak daripada rasa takut. 2) Menggunakan pakaian yang sederhana dan hindari penggunaan kendaraan yang bertanda/berciri khas kepolisian untuk menghindari tekanan mental anak akibat simbol-simbol Penyidik yang terkesan membahayakan dan mengancam diri anak. 3) Petugas yang melakukan penangkapan tidak boleh menggunakan kata-kata kasar dan bernada tinggi yang akan 
 menarik perhatian orang-orang yang berada di sekeliling anak. Penggunaan kata-kata yang bersahabat akan mempermudah anak menjalani setiap prosesnya dengan tenang dan tanpa rasa takut dan tertekan. 4) Membawa anak dengan menggandeng tangannya untuk

menciptakan rasa bersahabat, hindari perlakuan kasar dan menyakitkan seperti memegang kerah baju atau bahkan menyeret dengan kasar. 5) Petugas tidak memerintahkan anak melakukan hal-hal yang mempermalukannya dan merendahkan harkat dan martabatnya sebagai manusia, seperti menyuruh membuka pakaian. Akan tetapi memberikan perlindungan perlindungan mental dan jiwa anak saat ditangkap. 6) Jika keadaan tidak memaksa dan membahayakan, polisi tidak perlu melakukan penangkapan dengan menggunakan borgol terhadap anak, karena perlakuan ini menyakitkan dan membuat trauma serta rasa malu dilihat masyarakat atau tetangganya. 7) Media massa tidak boleh melakukan peliputan proses penangkapan tersangka anak demi menjaga jati diri dan identitas anak. 8) Pemberian pelayanan kesehatan seperti pemeriksaan kesehatan fisik dan psikis anak sesegera setelah penangkapan dan berkas pemeriksaan medis dan pengobatan anak menjadi bagian catatan kasus anak yang berhadapan dengan hukum. 9) Penangkapan yang dilakukan diinformasikan kepada orang tua/walinya dalam waktu tidak lebih dari 24 jam dan kesediaan orang tua/wali mendampingi anak dalam 
 pemeriksaan di kantor polisi. 10) Pemberitahuan penangkapan anak tersangka kepada petugas Bapas di wilayah setempat atau pekerja sosial oleh polisi. Pemberitahuan dilakukan dalam waktu secepatnya tidak lebih dari 24 jam. 11) Penyidik melakukan wawancara atau pemeriksaan di ruangan yang layak dan khusus untuk anak guna memberikan rasa nyaman kepada anak.

b. Wawancara dan Penyidikan Tahap wawancara dan penyidikan oleh Penyidik penting untuk kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Wawancara terhadap anak tersangka pelaku tindak pidana dilakukan secara berkesinambungan antara orang tua, saksi, dan orang- orang lain yang diperlukan atau berkaitan dengan kasus tersebut. Langkah-langkah yang dapat membantu Penyidik dalam melaksanakan wawancara secara efektif adalah sebagai berikut : 1. Anak yang sedang diperiksa saat wawancara dilakukan harus didampingi orang tua/wali, orang terdekat dengan anak, dan atau orang yang paling dipercaya oleh anak seperti orang tua angkat, saudara, pengasuh, pekerja sosial, dan sebagainya. Saat wawancara dengan anak seorang pendamping dihadirkan bertujuan untuk membantu kelancaran wawancara dan memberikan perlindungan terhadap anak; 2. Bahasa yang dipergunakan oleh Penyidik dalam wawancara dengan anak mudah dimengerti, baik oleh anak yang bersangkutan maupun pendampingnya, jika anak dan pendampingnya kesulitan dalam menggunakan bahasa resmi yaitu bahasa Indonesia, maka Polisi harus menghadirkan penerjemah bahasa. Hal ini bertujuan agar pesan yang disampaikan polisi dapat benar-benar dipahami oleh anak dan pendampingnya; 3. Wawancara terhadap anak dilakukan pada kesempatan pertama, di antara wawancara dengan pihak lain seperti pendamping atau orang yang hadir saat itu; 4. Untuk menjaga perasaan anak, polisi menghindari penekanan kebohongan,intimidasi atau perlakuan keras atau kasar terhadap anak selama wawancara berlangsung. Tempat wawancara dilakukan dalam suasana ruangan yang nyaman dan terpisah dengan orang dewasa lainnya, sehingga anak tidak merasa ketakutan.

Adapun teknik dasar melakukan wawancara terhadap anak yang harus dilakukan oleh Penyidik adalah : 1. Menginformasikan kepada orang tua atau wali anak sesegera sebelum wawancara dimulai; 2. Menginformasikan bahwa anak berhak mendapat bantuan hukum dari pihak pengacara atau advokat. Penyidik juga harus menyampaikan kepada anak dan orang tua atau walinya mengenai pentingnya anak didampingi oleh penasihat hukum dan pekerja sosial yang kompeten, dan bagaimana cara mengakses bantuan tersebut; 3. Memperlakukan anak dengan pertimbangan keterbatasan kemampuan ataupun verbal dibandingkan dengan orang dewasa bahkan dibandingkan dengan diri Penyidik itu sendiri karena tindakan yang salah terhadap anak akan membuat rasa trauma pada diri anak di masa depan; 4. Mengupayakan terciptanya suasana yang akrab di antara Penyidik yang sedang mewawancarai dan anak yang sedang diperiksa; 5. Tidak melakukan hal-hal yang membentuk tingkah laku anti sosial pada anak sehingga anak-anak putus asa menghadapi masalahnya yang menyebabkan rasa kehilangan masa depan; 6. Memberikan motivasi guna membangun rasa percaya anak dengan sikap peka pada kebutuhan anak, maka akan mempermudah mendapatkan informasi dari anak tersebut; 7. Memperkenalkan diri dengan benar. Hal ini akan membantu dalam memfasilitasi wawancara; 8. Melakukan wawancara sesegera mungkin setelah anak ditangkap atau ditahan. Hal ini akan menunjukkan keseriusan dan menjaga anak dalam membangun alibinya; 9. Mengatakan kepada anak bahwa ingin membantunya. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar anak tahu bahwa penyidik ingin bekerjasama dan peduli terhadap hari depannya;

10. Berbicara dengan bahasa yang mudah dimengerti. Menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh anak yang bersangkutan, jika mungkin gunakan istilah-istilah yang populer diantara anak-anak; 11. Mengajak anak untuk mau berbicara. Pada umumnya anak akan tertarik pada diskusi tentang hal-hal yang menarik atau digemarinya. Hal ini akan membantunya merasa tenang dan nyaman; 12. Menjadi pendengar yang baik Konsentrasi dalam wawancara, sehingga anak akan merasa diperhatikan dengan sungguh-sungguh. Hindarkan mengalihkan perhatian kepada orang lain selama wawancara berlangsung; 13. Bersikap sabar dan perlahan. Dalam menyelesaikan setiap kasus jangan menargetkan waktu tertentu antisipasi sejumlah hambatan dan hindari tekanan untuk mengungkapkan fakta-fakta; 14. Menghormati kepribadian anak. Perlakukan anak sebagai orang yang berharga, bermartabat, sebagai seseorang yang memerlukan bantuan dan pengertian; 15. Mengizinkan anak menulis ceritanya. Meninggalkan anak sendirian untuk melakukan ini apabila diperkirakan akan aman. Ada beberapa hal yang tidak boleh dilakukan oleh seorang Penyidik dalam melakukan penyidikan terhadap anak, yaitu: a. Penyidik melakukan kekerasan dan tindakan tidak wajar terhadap anak. Hal ini dapat menimbulkan trauma pada anak; b. Memberikan label buruk pada anak dengan menggunakan kata-kata yang sifatnya memberikan label buruk pada anak, seperti ‘pencuri’, ‘maling’, ‘pembohong’, dan lainlain; c. Penyidik kehilangan kesabaran sehingga menjadi emosi

dalam melakukan wawancara terhadap anak; d. Penyidik tidak boleh menggunakan kekuatan badan atau fisik atau perlakuan kasar lainnya yang dapat menimbulkan rasa permusuhan pada anak. Penyidikan terhadap anak pelaku tindak pidana dilakukan oleh penyidik anak, yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian RI atau Pejabat yang ditunjuk olehnya. Dengan demikian penyidik umum tidak dapat melakukan penyidikan atas perkara anak pelaku tindak pidana, kecuali dalam hal tertentu seperti belum ada penyidik anak di tempat tersebut. Adapun syarat- syarat untuk menjadi penyidik anak sesuai Pasal 41 ayat (2) Undang-Undang No.3 Tahun 1997 adalah : a. Telah berpengalaman sebagai penyidik; b. Mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak. 
 Dalam melakukan penyidikan anak, diusahakan dilaksanakan oleh polisi 
 wanita (Polwan), dan dalam beberapa hal, jika perlu dengan bantuan polisi pria. Penyidik anak, juga harus mempunyai pengetahuan seperti psikologi, psikiatri. sosiologi, pedagogi, antropologi, dan juga menyintai anak dan berdedikasi, dapat menyelami jiwa anak dan mengerti kemauan anak. Akan tetapi dalam hal-hal tertentu, karena penyidik anak belum ada, maka tugas penyidikan dapat dilakukan oleh penyidik biasa bagi tindak pidana yang dilakukan orang dewasa, atau penyidik lain yang ditetapkan berdasarkan Undang- Undang yang berlaku. Berdasarkan ketentuan yang diatur di dalam Pasal 42 ayat (2) Undang-Undang No. 3 Tahun 1997, dalam melakukan penyidikan anak pelaku tindak pidana, Penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari Pembimbing Kemasyarakatan, dan apabila perlu juga dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, ahli kesehatan

jiwa, ahli agama, atau petugas kemasyarakatan lainnya. Laporan penelitian kemasyarakatan, dipergunakan oleh Penyidik Anak sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan tindakan penyidikan, mengingat bahwa anak pelaku tindak pidana perlu mendapat perlakuan sebaik mungkin dan penelitian terhadap anak dilakukan secara seksama oleh peneliti kemasyarakatan (Bapas), agar penyidikan dapat berjalan dengan lancar. Sebelum anak pelaku tindak pidana dihadapkan ke persidangan, harus melalui beberapa proses pemeriksaan dari instansi yang terkait dalam proses tata peradilan, dengan harapan untuk memperoleh hasil yang baik. Penelitian kemasyarakatan terhadap anak perlu dilakukan, sehingga keputusan yang dihasilkan mempunyai dampak yang positif, baik bagi anak yang bermasalah dengan hukum maupun terhadap pihak yang dirugikan, serta untuk menegakkan hukum dan keadilan. Penelitian kemasyarakatan terhadap anak pelaku tindak pidana, bertujuan agar hasil pemeriksaan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Berdasarkan laporan penelitian kemasyarakatan, Penyidik anak dapat mempertimbangkan berkas perkara/Berita Acara Pemeriksaan (BAP) diteruskan kepada pihak kejaksaan atau tidak. Dalam penelitian kemasyarakatan, dilakukan penelitian tentang latar belakang kehidupan dan lingkungan sosial, ekonomi serta hal-hal lain yang ada kaitannya dengan tersangka. Penelitian ini paling tidak harus dapat mengungkapkan seseorang melakukan perbuatan itu karena terpaksa atau akibat dipaksa orang lain, atau situasi/kondisi lingkungan yang memungkinkan dilakukan kejahatan, dan faktor victim (korban) juga dapat mendorong orang melakukan pelanggaran hukum, dan faktor lain yang dapat dijadikan pertimbangan bagi proses perkaranya. Dengan demikian Pasal 42 ayat (2) Undang-Undang No.3 Tahun 1997, menentukan bahwa dalam melakukan penyidikan anak yang berhadapan dengan masalah hukum, Penyidik dibantu Pembimbing kemasyarakatan. Pasal 34 ayat (1) huruf a Undang-Undang No.3 Tahun 1997, menentukan

bahwa pembimbing kemasyarakatan bertugas membantu memperlancar penyidikan dengan membuat laporan penelitian kemasyarakatan. Pembimbing Kemasyarakatan harus siap memberikan pertimbangan atau saran yang diperlukan oleh Penyidik. Hal ini mencerminkan perlindungan hukum terhadap anak. Bila penyidikan dilakukan tanpa melibatkan Pembimbing Kemasyarakatan, penyidikan batal demi hukum. Berdasarkan ketentuan yang diatur di dalam Pasal 42 ayat [3] Undang-Undang No.3 Tahun 1997, Proses penyidikan anak yang berhadapan dengan hukum, wajib dirahasiakan. Tindakan Penyidik berupa penangkapan, penahanan, dan tindakan lain yang dilakukan secara rahasia. Sayangnya Undang-Undang No.3 Tahun 1997 ini tidak memberikan sanksi yang tegas terhadap Penyidik, apabila kewajiban ini dilanggar, dan tidak mengatur akibat hukum terhadap hasil penyidikan. Hal ini akan sangat berpengaruh terhadap perlindungan anak karena tidak adanya ketegasan dari Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tersebut, disamping itu pelanggaran kerahasiaan proses penyidikan anak yang berhadapan dengan masalah hukum, tidak dapat digugat melalui sidang pra-peradilan, karena pelanggaran tersebut bukan tergolong alasan untuk diajukan pra-peradilan. Namun mespikun demikian, dalam menanggulangi pelanggaran tersebut, ketika perkara anak diperiksa di persidangan, terdakwa atau penasihat hukum dapat menyampaikan keberatan terhadap surat dakwaan (sesuai dengan ketentuan yang diatur di dalam Pasal 156 ayat (1) KUHAP. Perkara anak yang berhadapan dengan masalah hukum yang dapat diajukan ke sidang pengadilan, adalah perkara anak yang berumur minimal 8 (delapan) tahun dan maksimum belum genap berumur 18 (delapan belas) tahun dan yang belum pernah kawin. Namun Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No.3 Tahun 1997, masih memungkinkan dilakukan penyidikan terhadap anak yang berumur di bawah 8 (delapan)

tahun, padahal berkas perkaranya tidak akan dilimpahkan ke Kejaksaan, untuk dilakukan penuntutan di persidangan. Tujuan dilakukan penyidikan terhadap anak yang belum berumur 8 tahun yang diduga melakukan kejahatan, adalah untuk mengetahui bahwa anak yang bersangkutan melakukan tindak pidana seorang diri, atau ada orang lain yang terlibat atau anak yang bersangkutan melakukan tindak pidana bersama-sama dengan orang lain, yang dalam hal ini yang berumur 8 tahun keatas dan atau orang dewasa. Apabila anak yang berumur 8 tahun melakukan tindak pidana dengan yang belum berumur 8 tahun, maka penyidikannya dilakukan lebih lanjut. Apabila anak yang bersangkutan melakukan tindak pidana dengan orang dewasa, maka penyidikannya terpisah dengan anak, dan berkasnya pun dipisah. Demikian juga penuntutan dan persidangannya dipisahkan. Penyidikan anak yang belum berumur 8 (delapan) tahun, tetap menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah. Menjadi masalah apabila hal ini dikaitkan dengan tindakan penahanan. Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tidak mengatur dengan tegas, anak yang belum berumur 8 (delapan) tahun yang diduga melakukan tindak pidana dapat ditahan atau tidak. Dalam kedudukannya sebagai tersangka, bila merujuk pada Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang No.3 Tahun 1997, Penyidik berwenang melakukan penahanan anak yang diduga keras melakukan kejahatan berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Syarat penahanannya sama dengan anak yang berumur 8 (delapan) tahun atau lebih, yaitu sungguh-sungguh mempertimbangkan kepentingan anak dan atau kepentingan masyarakat (Pasal 45 ayat [1] Undang- Undang No.3 Tahun 1997). Dengan demikian secara yuridis, anak yang belum berumur 8 tahun dapat dilakukan penahanan. Bila ditinjau dari aspek perlindungan anak, ketentuan

Undang-Undang No.3 Tahun 1997 yang berkaitan dengan kemungkinan penahanan anak yang belum berumur 8 (delapan) tahun, yang diduga keras melakukan tindak pidana, tidak mencerminkan/memberikan perlindungan hukum terhadap anak. Terhadap anak yang bersangkutan dapat dilakukan penyidikan, namun seharusnya tidak dilakukan penahanan. Mengingat anak masih kecil dan perkaranya tidak dilanjutkan ke persidangan/pengadilan serta mengingat tujuan penyidikannya untuk mengetahui keterlibatan pihak lain (anak nakal atau orang dewasa), demi kepentingan anak/perlindungan anak, sebaiknya anak yang berumur dibawah 8 (delapan) tahun yang diduga keras melakukan tindak pidana, tidak ditahan. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang No.3 Tahun 1997 menentukan bahwa apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud di dalam ayat (1) masih dapat dibina oleh orang tua atau orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang tua, wali, atau orang tua asuhnya Namun apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud di dalam ayat (1) masih tidak dapat dibina lagi oleh orang tua, wali atau orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan anak tersebut kepada Departemen Sosial setelah mendengar pertimbangan dari Pembimbing Kemasyarakatan, sebagaimana diatur di dalam Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang No.3 Tahun 1997. Diversi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Narkotika Pelaksanaan Diversi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Narkotika Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, ditinjau dari kedudukan hukum diversi terhadap anak penyalahguna narkotika dalam perspektif perkembangan hukum pidana merupakan langkah kebijakan non-penal penanganan anak pelaku tindak pidana anak, karena penanganannya dialihkan dari jalur sistem peradilan anak.

Diversi berangkat dari asumsi bahwa proses penanganan anak lewat sistem peradilan anak lebih besar kemungkinan negatifnya daripada positifnya bagi perkembangan anak. Berkaitan dengan penanganan anak penyalahguna narkotika, permasalahan pokok yang ditimbulkan dari proses peradilan pidana anak atau suatu putusan pidana adalah Stigma yang melekat pada terpidana penyalahgunaan narkotika setelah selesai proses peradilan pidana. Kecenderungan meningkatnya penyalahgunaan narkotika yang dilakukan anak, mendorong upaya penanggulangan dan penanganannya secara khusus dalam bidang hukum pidana anak. Diversi dengan pendekatan Restorative Justice dalam perkembangannya merupakan penyelesaian perkara pidana anak yang sudah dipraktekkan oleh berbagai Negara, termasuk di Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2015. Konsep diversi yang diatur dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia adalah meletakkan kewajiban untuk melakukan Diversi dalam setiap tahap proses peradilan (Penyidikan, Penuntutan dan Perosida gan). Pengaturan diversi terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika untuk masa yang akan datang konsep diversi yang dimplementasikan di Indonesia hanyalah sebuah komponen dari perbaikan struktur Sistem Peradilan Pidana Anak sebagai alternatif dari peradilan pidana formal, dengan meletakkan upaya Diversi dalam setiap tahap proses peradilan. Konsep diversi terhadap anak di masa yang akan datang bukan merupakan sebuah program alternatif penanganan anak yang berhadapan dengan masalah hukum semata, tapi diversi yang benar-benar mengeluarkan anak dari proses peradilan pidana. Konsep diversi yang diberlakukan di negara kita tidak jauh berbeda dengan konsep diversi yang diterapkan di Australia yaitu Police Diversion. Hal ini didasarkan pada pertimbangan Polisi sebagai gerbang pertama yang menangani anak yang berkonflik dengan hukum menjadi penentu apakah seorang anak akan dilanjutkan ke proses peradilan atau tindakan informal lainnya

seperti mediasi penal. Berkaitan dengan penanganan anak penyalahguna narkotika polisi sebagai pemegang kewenangan diskresi seharusnya melakukan Diversi melalui program rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial tanpa harus dihadapkan dengan proses peradilan pidana. Adanya pandangan bahwa penggunaan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan tidak dapat dinisbikan dengan pengertian penggunaannya tetap harus bersifat subsider. Artinya, sepanjang penggunaan sarana di luar sistem peradilan pidana dipandang lebih efektif, maka penggunaan peradilan pidana sedapat mungkin dihindarkan. Selain itu, apabila (hukum) pidana akan digunakan sebagai sarana untuk mencapai manusia Indonesia seutuhnya, maka pendekatan humanistis harus pula diperhatikan. Hal ini penting tidak hanya karena kejahatan itu pada hakikatnya merupakan masalah kemanusiaan, tetapi juga karena pada hakikatnya hukum pidana itu sendiri mengandung unsur penderitaan yang dapat menyerang kepentingan atau nilai yang paling berharga bagi kehidupan manusia. Karenanya penggunaan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan tidak dapat dinisbikan, bahkan penggunaannya harus diintegrasikan dengan instrument/sarana di luar sistem peradilan pidana. Secara konseptual, penanggulangan kejahatan dapat dilakukan baik dengan menggunakan peradilan pidana (yustisial) maupun sarana lain di luar peradilan pidana (non yustisial) .Upaya mengalihkan proses dari proses yustisial menuju proses non yustisial dalam penanggulangan penyalahgunaan narkotika oleh anak, pada dasarnya merupakan upaya untuk menyelesaikan penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak ke luar jalur peradilan pidana. Artinya, pengalihan proses dari proses yustisial menuju proses non yustisial dalam penanggulangan penyalahgunaan narkotika yang dilakukan anak, pada dasarnya adalah upaya untuk menghindarkan anak dari penerapan hukum pidana dan pemidanaan.

Menurut Pendapat Barda Nawawi Arief dalam tulisannya tentang Kebijakan Legislatif dalam Diversi, pada hakikatnya penerapan diversi juga mempunyai tujuan agar anak terhindar dari dampak negatif penerapan pidana. Diversi juga mempunyai esensi tetap menjamin anak tumbuh dan berkembang baik secara fisik maupun mental. Ditinjau secara teoretis dari konsep tujuan pemidanaan, maka pengalihan proses dari proses yustisial menuju proses non yustisial terhadap anak yang melakukan penyalahgunaan narkotika akan terlihat relevansinya. Dengan Diversi/pengalihan tersebut juga akan memberikan dua keuntungan sekaligus terhadap individu anak, yaitu : Pertama, dengan pengalihan tersebut anak akan tetap dapat melakukan komunikasi dengan lingkungannya, sehingga dengan demikian anak tidak perlu lagi melakukan readaptasi sosial pasca terjadinya kejahatan. Kedua, dengan pengalihan itu juga anak akan terhindar dari kemungkinan dampak negatif prisonisasi yang seringkali merupakan sarana “transfer” kejahatan. Pengalihan proses dari proses yustisial menuju proses non yustisial juga sangat relevan dengan falsafah pemidanaan yang dianut pada umumnya yaitu falsafah pembinaan (philosopy treatment). Dengan demikian, pengalihan proses dari yustisial menuju proses non yustisial juga mempunyai relevansi dengan transformasi konseptual dalam sistem pidana dan pemidanaan yang terjadi di dunia pada umumnya dan konsepsi retribusi ke arah konsepsi reformasi. Perkembangan pengaturan narkotika di Indonesia tidak terlepas dari akibat hukum dari berbagai Konvensi Internasional tentang narkotika yang sudah diratifikasi oleh Indonesia. Adapun Konvensi-konvensi Internasional tentang Narkotika yang diratifikasi oleh Indonesia antara lain : Convention on Psychotrophic Substances 1971 (Konvensi Psikotropika 1971) dan United Nation Convention Against Illicit Traffic in Narotic Drugs and Psychotropic Substances,

1988 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika, 1988). Kedua konvensi tersebut telah menjadi hukum nasional Indonesia lewat cara aksesi yang kemudian diratifikasi melalui UndangUndang. Convention on Psychtrophic substances 1971 diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1996 tentang Pengesahan Convention on Psychotropic Substances 1971 (Konvensi Psikotropika 1971). Sedangkan diratifikasi Convention Against Illicit Traffic in Narotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988 melalui Undang-Undang Nomor 07 Tahun 1997. Penggunaan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak pada hakikatnya merupakan pilihan yang bersifat dilematis. Mengingat peradilan pidana sebagai sarana penanggulangan penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak seringkali menampilkan dirinya hanya sebagai “mesin” hukum yang hanya akan menghasilkan “keadilan prosedural” (procedural justice). Sehingga hasilnya seringkali tidak memuaskan dan jelas-jelas mengabaikan kepentingan dan kesejahteraan anak. Sehingga hasilnya seringkali tidak memuaskan dan jelas-jelas mengabaikan kepentingan dan kesejahteraan anak. Perlindungan anak sebagai usaha untuk melindungi anak agar anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya secara seimbang dan manusiawi. Perwujudan berupa pembinaan, pembimbingan, pendampingan, penyertaan, pengawasan, pencegahan, pengaturan penjaminan yang edukatif yang mendidik aspek-aspek kontruktif, integratif fisik dan sosial anak. Anak adalah mereka yang belum dewasa dan menjadi dewasa karena peraturan tertentu (mental, fisik, sosial belum dewasa). Terhadap anak delinkuen yang terbukti melakukan kejahatan tetap harus mendapat perlindungan dan mendapatkan kesejahteraan, walaupun dalam kondisi anak delinkuen sudah dijatuhi sanksi pidana. Maka demi kepentingan anak tersebut

diperlukan suatu kebijakan yang tepat, utamanya dalam kerangka penjatuhan sanksi pidana terhadapnya. Berawal dari pemikiran bahwa potensi timbulnya dampak negatif terhadap anak akibat proses peradilan pidana sangat besar. Dampak negatif proses peradilan pidana seperti prisonisasi, dehumanisasi dan stigmatisasi akan mengganggu pertumbuhan jiwa anak. Dalam konteks yang demikian upaya untuk mengalihkan penanganan anak dari jalur yustisial menuju jalur non-yustisial (diversi) menjadi sangat urgen. Melalui upaya diversi terhadap perilaku anak yang menyimpang atau melakukan kejahatan kiranya dapat dilakukan penyelesaian yang lebih baik, tanpa mengabaikan kepentingan dan kesejahteraan anak, serta dapat dilakukan tindakan yang tepat sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan anak. Kebijakan pengalihan atau diversi ini, merupakan penyelesaian yang terbaik yang dapat dijadikan formula dalam penyelesaian beberapa kasus yang melibatkan anak sebagai pelaku tindak pidana, khususnya dalampenanganan anak penyalahguna narkotika. Sehingga akan lebih tepat dalam menentukan tindakan- tindakan (treatment) yang perlu diterapkan terhadapnya. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengubah pandangan bahwa pemidanaan seharusnya merupakan jalan terakhir bagi anak yang berhadapan dengan hukum, sehingga pendekatan pemidanaan pun berubah. Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak ini mengedepankan model pemidanaan retributive justice. Model pemidanaan retributive justice yaitu pemulihan ke kondisi semula dan pemidanaan sebagai jalan terakhir sehingga didahulukan cara lain di luar pengadilan. Salah satunya dengan cara diversi yakni pengalihan penyelesaiaan perkara anak dari proses di peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Diversi merupakan jalan keluar yang paling tepat agar anak tidak dibawa ke pengadilan. Oleh karena itu, diversi ini haruslah menjadi kewajiban polisi dalam setiap penanganan

baik itu di tingkat penyidikan, penuntutan, sampai dengan pemeriksaan perkara di pengadilan. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mewajibkan setiap aparat penegak hukum baik itu kepolisian, jaksa dan hakim untuk melakukan diversi terhadap perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Hal ini ditegaskan pada Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan bahwa pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemerikasaan perkara anak di pengadilan negeri wajib diupayakan diversi. Pernyataan pasal ini menunjukan bahwa sedapat mungkin tindak pidana yang dilakukan oleh anak diusahakan tidak berlanjut ke tingkat pemeriksaan di pengadilan hingga ke pemidanaan, namun diusahakan ke pemulihan kembali ke kondisi semula karena berkaitan dengan kondisi dan perkembangan mental anak yang masih labil. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sitem Peradilan Pidana Anak memberikan peran dan kewajiban baru kepada kepolisian selain kewenangan melakukan penyelidikan dan penyidikan dalam menangani tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Kewenangan itu adalah kewenangan melakukan diversi dalam tindak pidana yang dilakukan oleh anak dan mengusahakan perkara tidak berlanjut ke tingkat penuntutan dan pemeriksaan perkara di pengadilan. Pada kenyataannya, masih terdapat beberapa kasus tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak berproses ke tingkat penuntutan oleh kejaksaan hingga ke proses pemeriksaan di pengadilan. untuk itu perlu pemikiran bersama bagaimana pelaksanaan diversi terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pelaksanaan sistem peradilan pidana anak yang bertujuan menanggulangi kejahatan terhadap anak pelaku tindak pidana di Indonesia sering mengalami permasalahan, diantaranya dalam

hal penahanan terhadap anak, proses peradilan yang panjang mulai dari penyidikan, penuntutan, peradilan, yang pada akhirnya menempatkan terpidana anak berada dalam lembaga pemasyarakatan yang menimbulkan trauma dan implikasi negatif terhadap anak. Diversi pada hakikatnya juga mempunyai tujuan agar anak terhindar dan dampak negatif penerapan pidana. Diversi juga mempunyai esensi tetap menjamin anak tumbuh dan berkembang baik secara fisik maupun mental. Ditinjau secara teoretis dari konsep tujuan pemidanaan, maka pengalihan proses dan proses yustisial menuju proses non yustisial terhadap anak yang melakukan penyalahgunaan narkotika akan terlihat relevansinya sebagai berikut: 1) Secara umum tujuan pemidanaan pada hakikatnya terdiri dan upaya untuk melindungi masyarkat di satu sisi dan melindungi individu (pelaku) di sisi yang lain. Relevansi pengalihan proses dan proses yustisial menuju proses non yustisial dalam penanggulangan penyalahgunaan narkotika oleh anak terhadap dua aspek pokok tujuan pemidanaan tersebut, yaitu aspek perlindungan masyarakat dan aspek perlindungan individu dapat dijelaskan sebagai berikut:  Dengan pengalihan tersebut, maka anak akan terhindar dan penerapan hukum pidana yang dalam banyak teori telah didalilkan sebagai salah satu faktor kriminogen. Dampak negatif penerapan hukum pidana, termasuk kepada anak akan melahirkan stigmatisasi maupun dehumanisasi yang justru dapat menjadi faktor kriminogen. Dengan demikian, maka menghindarkan anak dan penerapan hukum pidana (depenalisasi) justru dapat menghindarkan adanya faktor kriminogen, berarti juga menghindarkan anak dan kemungkinan menjadi jahat kembali (residivis), oleh karenanya juga berarti menghindarkan masyarakat dan kemungkinan menjadi korban akibat kejahatan.  Dengan Diversi/pengalihan tersebut juga akan memberikan dua keuntungan sekaligus terhadap individu

anak. Pertama, dengan pengalihan tersebut anak akan tetap dapat melakukan komunikasi dengan lingkungannya, sehingga dengan demikian anak tidak perlu lagi melakukan readaptasi sosial pasca terjadinya kejahatan. Kedua, dengan pengalihan itu juga anak akan terhindar dari kemungkinan dampak negatif prisonisasi yang seringkali merupakan sarana “transfer” kejahatan. 2) Dalam perkembangannya, hukum pidana juga perlu memperhatikan korban kejahatan. Orientasi hukum pidana yang hanya cenderung pada persoalan perbuatan (pidana) dan pelaku (daad-dader strafrecht) telah melahirkan konstruksi hukum pidana yang tidak respec terhadap korban. Padahal dalam konteks, anak sebagai orang yang melakukan penyalahgunaan narkotika, ia tidak dapat semata-mata dilihat sebagai pelaku, tetapi ia juga harus dilihat sebagai korban yang membutuhkan prioritas pengentasan dari ketergantungannya dengan narkotika. 3) Pengalihan proses dari proses yustisial menuju proses non yustisial juga sangat relevan dengan falsafah pemidanaan yang dianut pada umumnya yaitu falsafah pembinaan (philosopy treatment). Dengan demikian, pengalihan proses dari yustisial menuju proses non yustisial juga mempunyai relevansi dengan transformasi konseptual dalam sistem pidana dan pemidanaan yang terjadi di dunia pada umumnya. Memperhatikan Diversi dalam perkembangan Hukum Pidana Indonesia, terdapat beberapa hal yang menjadi landasan berpikir atas penerapan Restorative Justice dalam sistem peradilan pidana anak, anatara lain adalah sebagai berikut : 1. Sistem peradilan pidana dan pemidanaan yang ada saat ini dalam praktiknya kerap menimbulkan permasalahan dan dinilai tidak efektif. Sistem pemidanaan model pemasyarakatan (Undang-Undang No. 12 tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan) masih dianggap tidak lebih dari proses pemenjaraan yang tujuannya adalah penjeraaan, balas

dendam dan pemberian derita sebagai konsekuensi perbuatannya. Sistem penjara yang ada saat ini, pendekatan yang menonjol lebih kepada pengamanan (security approach), sehingga akibatnya lebih menonjol stigma negatif yang melekat pada diri anak mantan narapidana yang justru akan menyulitkan mereka dalam menapaki kehidupan selanjutnya. 2. Pemenjaraan membawa akibat yang tidak menguntungkan bagi narapidana maupun keluarganya, selain itu sistem ini juga dinilai tidak memuaskan atau memenuhi rasa keadilan korban di samping membebani anggaran negara yang tinggi dalam jangka waktu yang lama, dan lembaga pemasyarakatan sendiri yang pada umumnya sudah overcapacity. Ide mengenai restorative justice masuk ke dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, bahwa sistem peradilan pidana anak wajib mengutamakan keadilan restoratif, meliputi: 1. Penyidikan dan penuntutan pidana anak yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain oleh undang-undangini; 2. Persidangan anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum; 3. Pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan. Diversi adalah suatu pengalihan penyelesaian kasus-kasus anak yang diduga melakukan tindak pidana tertentu dari proses pidana formal ke penyelesaian damai antara pelaku tindak pidana dengan korban yang difasilitasi oleh keluarga atau masyarakat, Pembimbing Kemasyarakatan anak, Polisi, Jaksa, dan Hakim. Tujuan diversi tersebut merupakan implementasi dari keadilan restoratif yang berupaya mengembalikan pemulihan terhadap sebuah permasalahan bukan sebuah pembalasan yang selama ini dikenal dalam hukum pidana.

Berdasarkan Pasal 7 ayat (2) diversi wajib diupayakan pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara anak di Pengadilan Negeri. Kata “wajib diupayakan” mengandung makna bahwa penegak hukum anak dari penyidik, penuntut, dan juga hakim diwajibkan untuk melakukan upaya agar proses diversi dilaksanakan. Hal inilah yang membuat perdebatan dalam Panja RUU SPPA, bahwa bagi penegak hukum anak apabila tidak melakukan upaya diversi haruslah diberi sanksi. Proses diversi ditiap tingkatan pemeriksaan diberi waktu selama 30 hari pelaksanaannya untuk menghasilkan suatu kesepakatan diversi. Hal ini juga berbeda dengan peraturan perundangundangan sebelumnya yang hanya menyiratkan mengenai pelaksanaan diversi ini sebagai implementasi diskresi penegak hukum. Kewajiban mengupayakan diversi dari mulai penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri, dalam Rapat Panja dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan: 1. Diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun;dan 2. Bukan merupakan pengulangan tindakpidana. Ketentuan ini menjelaskan bahwa anak yang melakukan tindak pidana yang ancamannya lebih dari 7 (tujuh) tahun dan merupakan sebuah pengulangan tindak pidana maka tidak wajib diupayakan diversi, hal ini memang penting mengingat bahwa ancaman hukuman lebih dari 7 (tujuh) tahun tergolong pada tindak pidana berat, sedangkan jika merupakan pengulangan tindak pidana baik itu sejenis ataupun tidak maka anak tersebut tidak perlu lagi untuk diselesaikan lewat diversi. Pengulangan tindak pidana menjadi bukti bahwa tujuan diversi tidak tercapai yakni menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak untuk tidak mengulangi perbuatan yang berupa tindak pidana.

Salah satu wujud pembaharuan hukum nasional adalah penciptaan ketentuan hukum baru yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan perkembangan masyarakat, sehinga dirasakan tepat dan adil. Pembaharuan sistem peradilan pidana anak merupakan penyusunan peraturan perundang-undangan yang baru karena peraturan perundang-undangan yang lama yaitu Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat dan belum secara komprehensif memberikan perlindungan hukum kepada anak.

Berdasarkan ketentuan yang diatur di dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak istilah restorative justice dikenal dengan Keadilan Restoratif yang pengertiannya adalah suatu proses penyelesaian yang melibatkan pelaku, korban, keluarga mereka dan pihak lain yang terkait dalam suatu tindak pidana, secara bersama-sama mencari dengan menekankan pada pemulihan bukan pembalasan. Proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan orangtua/walinya, korban/orang tua/walinya, Pembimbing Kemasyarakatan dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif (Pasal 8 ayat (1)). Hal ini yang memperjelas hubungan antara diversi dan restorative justice, yang mana diversi adalah proses keadilan restoratif dengan melibatkan segala pihak yang terkait. Diversi sebagai suatu kebijakan pidana, baru dianggap efektif jika sistem pemidanaan yang digunakan dapat memenuhi tujuan dan sasaran (pemidanaan) yang telah ditentukan. Dalam konteks penyalahgunaan narkotika oleh anak yang mana dalam penanganannya perlu dilakukan Diversi mengingat ketentuan Pasal 7 Undang- Undang No. 11 Tahun 2012, maka pada dasarnya Diversi mempunyai relevansi dengan tujuan pemidanaan anak, yang mana nampak dari hal-hal sebagai berikut :

1) Diversi sebagai proses pengalihan dari proses yustisial ke proses non yustisial, bertujuan menghindarkan anak dari penerapan hukum pidana yang seringkali menimbulkan pengalaman yang pahit berupa stigmatisasi (cap negatif) berkepanjangan, dehumanisasi (pengasingan dari masyarakat) dan menghindarkan anak dari kemungkinan terjadinya prisionisasi yang menjadi arana transfer kejahatan terhadap anak. 2) Perampasan kemerdekaan terhadap anak baik dalam bentuk pidana penjara maupun dalam bentuk perampasan yang lain melalaui meknisme peradilan pidana, memberi pengalaman traumatis terhadap anak, sehingga anak terganggu perkembangan dan pertumbuhan jiwanya. Pengalaman pahit bersentuhan dengan dunia peradilan akan menjadi bayangbayang gelap kehidupan anak yang tidak mudah dilupakan. 3) Dengan Diversi tersebut, maka anak terhindar dari penerapan hukum pidana yang dalam banyak teori telah didalilkan sebagai salah satu faktor kriminogen, berarti juga menghindarkan anak dari kemungkinan menjadi jahat kembali (residive), menghindarkan masyarakat dari kemungkinan menjadi korban akibat kejahatan. 4) Dengan Diversi akan memberikan 2 (dua) keuntungan sekaligus terhadap individu anak. Pertama; anak tetap dapat berkomunikasi dengan lingkungannya sehingga tidak perlu beradaptasi sosial pasca terjadinya kejahatan. Kedua; anak terhindar dari dampak negatif prisionisasi yang seringkali merupakan sarana transfer kejahatan.

Berkaitan dengan penanganan anak penyalahguna narkotika, permasalahan pokok yang ditimbulkan dari proses peradilan pidana anak atau suatu putusan pidana adalah Stigma yang melekat pada terpidana penyalahgunaan narkotika setelah selesai proses peradilan pidana. Kecenderungan meningkatnya penyalahgunaan narkotika yang dilakukan anak atau pelaku usia muda, mendorong upaya penanggulangan dan penanganannya

secara khusus dalam bidang hukum pidana anak baik secara formil maupun materiil. Dalam perspektif kebijakan pidana, penanggulangan kejahatan hakikatnya merupakan suatu usaha yang rasional dari masyarkat dalam menanggulangi kejahatan, untuk itu harus bertolak dari diagnosa yang tepat. Pada pokoknya anak yang menyalahgunakan narktotika tidak dapat dilihat semata-mata sebágai pelaku tindak pidana, tetapi juga harus dilihat sebagai korban. Pendekatan paradigmatik ini pada hakikatnya bertolak dari pemikiran bahwa (kejahatan) penyalahgunaan narkotika dapat dikualifikasi sebagai crime whithout victim. Dengan demikian, korban kejahatan penyalahgunaan narkotika adalah pelaku itu sendiri, bukan orang lain. Oleh karenanya, tidak pada tempatnya apabila dalam hal terjadi penyalahgunaan narkotika yang bersangkutan hanya dilihat sebagai pelaku dan tidak dilihat sebagai korban. Penegasan terhadap persoalan ini dipandang sangat urgen berkaitan dengan upaya yang harus ditempuh dalam penanggulangannya. Perlu digarisbawahi, bahwa perlakuan terhadap pelaku tindak pidana dengan perlakuan terhadap korban adalah tidak sama. Dengan demikian, memahami posisi anak yang terlibat dalam tindak pidana penyalahgunaan narkotika merupakan ukuran untuk melihat sejauhmana tingkat akurasi perlakuan yang diberikan kepadanya. Dengan kata lain, penegasan terhadap persoalan ini penting untuk menentukan obat yang harus diberikan. Apakah ia harus dipidana, oleh karena ia hanya dipandang sebagai pelaku ataukah justru ia harus mendapatkan rehabilitasi karena ia dipandang sebagai korban. Dengan ketepatan diagnosa, maka obat yang harus diberikan kepadanya juga akan tepat dan efektif. Bertolak dari pemikiran yang demikian, maka penanggulangan terhadap penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak dengan menggunakan sarana hukum pidana dirasa tidak pada

tempatnya. Pandangan tersebut berangkat dari beberapa alasan sebagai berikut : Pertama, sebagai sarana penanggulangan kejahatan hukum pidana pada dasarnya merupakan obat yang hanya diorientasikan pada penanggulangan setelah terjadinya kejahatan. Jadi, penggunaan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan hanya bersifat korektif dan bersifat represif. Pendekatan yang demikian dapat ditoleransi manakala hanya diorientasikan kepada pelaku tindak pidana. Padahal, anak yang melakukan penyalahgunaan narkotika tidak hanya semata-mata sebagai pelaku tindak pidana, tetapi juga sebagai korban. Kedua, bertolak dari pemikiran, bahwa anak yang menyalahgunakan narkotika adalah juga korban, maka upaya untuk memberikan perlindungan terhadap anak yang menyalahgunakan narkotika juga menjadi prioritas. Penanganan anak sebagai korban penyalahgunaan narkotika dapat digunakan upaya alternatif penghukuman dengan prinsip restoratif. Prinsip ini memposisikan proses pemidanaan terhadap anak sebagai “The Last Resort” bukan “The First Resort”. Dalam teori hukum pidana disebut juga sebagai Ultimum Remedium. Hal ini bertujuan agar anak dapat memperbaiki dirinya sesuai dengan kehendak dan kepentingan bagi si anak (The Best Interest of the Child) ketika dirinya berhadapan dengan hukum. Meskipun pemidanaan merupakan alat yang ampuh yang dimiliki Negara guna memerangi kejahatan namun pemidanaan bukanlah merupakan alat satu-satunya yang berguna untuk memperbaiki keadaan, harus ada kombinasi antara upaya represif dan preventif dalam penanganan anak penyalahguna narkotika yaitu melalui Diversi dengan cara rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial. Filosofi sistem peradilan pidana anak yaitu mengutamakan perlindungan dan rehabilitasi terhadap pelaku anak (emphasized the rehabilitation of youthful offender) sebagai orang yang

masih mempunyai sejumlah keterbatasan dibandingkan dengan orang dewasa. Anak memerlukan perlindungan dari negara dan masyarakat dalam jangka waktu kedepan yang masih panjang. Terhadap anak yang terlanjur menjadi pelaku tindak pidana diperlukan strategi sistem peradilan pidana yaitu mengupayakan seminimal mungkin intervensi dalam peradilan pidana Anak yang melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindakan kriminal sangat dipengaruhi beberapa faktor lain di luar diri anak seperti pergaulan, pendidikan, teman bermain dan sebagainya. Untuk melakukan perlindungan terhadap anak dari pengaruh proses formal sistem peradilan pidana, maka timbul pemikiran manusia atau para ahli hukum dan kemanusiaan untuk membuat aturan formal tindakan mengeluarkan (remove) seorang anak yang melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindak pidana dari proses peradilan pidana dengan memberikan alternatif lain yang dianggap lebih baik untuk anak. Berdasaran pikiran tersebut, maka lahirlah konsep diversion yang dalam istilah bahasa Indonesia disebut diversi atau pengalihan. Konsep diversi didasarkan pada kenyataan bahwa proses peradilan pidana terhadap anak pelaku tindak pidana melalui sistem peradilan pidana lebih banyak menimbulkan bahaya daripada kebaikan. Alasan dasarnya yaitu pengadilan akan memberikan stigmatisasi terhadap anak atas tindakan yang dilakukannya seperti anak dianggap jahat, sehingga lebih baik untuk menghindarkannya ke luar dari sistem peradilan pidana. Pertimbangan dilakukan diversi oleh pengadilan yaitu filosofi sistem peradilan pidana anak untuk melindungi dan merehabilitasi (protection and rehabilitation) anak pelaku tindak pidana. Tindakan diversi juga dilakukan sebagai upaya pencegahan seorang pelaku anak menjadi pelaku kriminal dewasa. Usaha pencegahan pemidanaan anak inilah yang membawa aparat penegak hukum untuk mengambil wewenang diskresi

atau di Amerika Serikat sering disebut juga dengan istilah deinstitutionalisation dari sistem peradilan pidana formal. Prinsip utama pelaksanaan konsep diversi yaitu tindakan persuasif atau pendekatan non penal yang memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memperbaiki kesalahan. Salah satu latar belakang pentingnya kebijakan diversi dalam penanganan anak yang berhadapan dengan masalas hukum dilakukan karena tingginya jumlah anak yang masuk ke peradilan pidana dan diputus dengan penjara dan mengalami kekerasan saat menjalani rangkaian proses dalam sistem peradilan pidana. Diversi dilakukan dengan alasan untuk memberikan suatu kesempatan kepada pelanggar hukum agar menjadi orang yang baik kembali melalui jalur non formal dengan melibatkan sumber daya masyarakat. Diversi berupaya memberikan keadilan kepada anak yang berhadapan dengan masalah hukum. Dalam pelaksanaannya, setidaknya terdapat 3 (tiga) jenis pelaksanaan program diversi yaitu: 1) Pelaksanaan kontrol secara social (social control orientation), yaitu aparat penegak hukum menyerahkan pelaku dalam tanggungjawab pengawasan atau pengamatan masyarakat, dengan ketaatan pada persetujuan atau peringatan yang diberikan. Pelaku menerima tanggung jawab atas perbuatannya dan tidak diharapkan adanya kesempatan kedua kali bagi pelaku oleh masyarakat. 2) Pelayanan sosial oleh masyarakat terhadap pelaku (social service orientation), yaitu melaksanakan fungsi untuk mengawasi, mencampuri, memperbaiki dan menyediakan pelayanan pada pelaku dan keluarganya. Masyarakat dapat mencampuri keluarga pelaku untuk memberikan perbaikan atau pelayanan. 3) Menuju proses restorative justice atau perundingan (balanced or restorativejustice orientation), yaitu melindungi masyarakat, memberi kesempatan pelaku bertanggung jawab

langsung kepada korban dan masyarakat dan membuat kesepakatan bersama antara korban pelaku dan masyarakat. Pelaksanaannya semua pihak yang terkait dipertemukan untuk bersama-sama mencapai kesepakatan tindakan pada pelaku. Di Indonesia, konsep diversi terhadap anak hanyalah sebuah komponen dari perbaikan struktur sistem peradilan pidana anak sebagai alternatif dari peradilan pidana formal, dengan meletakkan upaya Diversi dalam setiap tahap proses peradilan (penyidikan, Penuntutan dan Persidangan). Hal tersebut berbeda dengan negara Australia, yang menerapkan konsep diversi terhadap anak bukan merupakan sebuah program alternatif, tapi diversi untuk mengeluarkan anak dari sistem peradilan. Bentuk diversi di atas mulai di laksanakan di negara bagian Victoria pada tahun 1959, Queensland tahun 1963 dan New South Wales tahun 1985 semuanya berada di Negara Australia. Selain daripada itu di Australia bagian Selatan tahun 1964 dan Australia bagian Barat tahun 1972 konsep diversi yang diterapkan berupa pertemuan pelaku anak dan orang tuanya dengan polisi dan sebuah pekerja sosial negara. Tujuan dari pertemuan tersebut merupakan diversi sebelum masuk ke pengadilan formal. Di dalamnya terdapat peringatan dan konseling dalam suasana relatif informal. Proses diversi yang dilangsungkan tersebut bertujuan mengeluarkan anak dari sistem peradilan pidana jika anak tidak mengulangi tindak pidana, akan tetapi jika anak melakukan kejahatan telah berulang kali (residivis) dikenakan proses selanjutnya. Cressey dan Mc Dermott dalam bukunya menganggap apa yang dilakukan di Australia sebagai true diversion”. Negara-negara bagian seperti Victoria, New South Wales dan Queensland berani melakukan reformasi terhadap sistem hukumnya yang ada untuk mendukung pelaksanaan program diversi secara sempurna. Wundersitz menyebut pelaksanaan diversi di negara-negara tersebut dengan istilah “principle of the

frugality of punishment menghukum).

(Prinsip

kesederhanaan

dalam

Konsep diversi yang seharusnya diterapkan di Indonesia dimasa yang akan datang, tidak jauh berbeda dengan konsep diversi yang diterapkan di Australia yaitu Police Diversion. Hal ini didasarkan pada pertimbangan Polisi sebagai gerbang pertama yang menangani anak yang berkonflik dengan hukum menjadi penentu apakah seorang anak akan dilanjutkan ke proses peradilan atau tindakan informal lainnya. Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana hukum pidana secara prosedural sebagaimana dijelaskan di atas tentunya dimulai dari tingkat kepolisian, baik sebagai penyelidik maupun sebagai penyidik. Artinya, penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana hukum pidana selalu dimulai dari tingkat kepolisian. Oleh karena anak yang melakukan penyalahgunaan narkotika juga harus dilihat sebagai korban, maka upaya mempercepat proses penyelesaian penyalahgunaan narkotika yang dilakukan anak adalah juga berarti mempercepat proses rehabilitasi yang dibutuhkan oleh anak. Dengan pengalihan proses dari proses yustisial menuju proses non-yustisial di tingkat kepolisian, maka berarti juga akan menghindarkan anak dari kemungkinan anak menjadi korban kekerasan di tingkat penyidikan yang seringkali menjadi momok dalam pnoses penadilan. Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa Pelaksanaan Diversi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Narkotika Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, ditinjau dari kedudukan hukum diversi terhadap anak penyalahguna narkotika dalam perspektif perkembangan hukum pidana merupakan langkah kebijakan non-penal penanganan anak pelaku tindak pidana anak, karena penanganannya dialihkan dari jalur sistem peradilan anak.

Diversi berangkat dari asumsi bahwa proses penanganan anak pelaku penyalahgunaan narkotika melalui sistem peradilan pidana anak lebih besar kemungkinan negatifnya daripada positifnya bagi perkembangan anakitu sendiri. Berkaitan dengan penanganan anak penyalahguna narkotika, permasalahan pokok yang ditimbulkan dari proses peradilan pidana anak atau suatu putusan pidana adalah Stigma yang melekat pada terpidana penyalahgunaan narkotika setelah selesai proses peradilan pidananya. Kecenderungan meningkatnya penyalahgunaan narkotika yang dilakukan anak, mendorong upaya penanggulangan dan penanganannya secara khusus dalam bidang hukum pidana anak. Diversi dengan pendekatan Restorative Justice dalam perkembangannya merupakan penyelesaian perkara pidana anak yang sudah dipraktekkan oleh berbagai Negara, termasuk di Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2015. Konsep diversi yang diatur dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia adalah meletakkan kewajiban untuk melakukan Diversi dalam setiap tahap proses peradilan (penyidikan, Penuntutan dan Persidangan).

DAFTAR PUSTAKA Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak (Kumpulan Karangan), BIP Kelompok Gramedia, Jakarta, 2004. Arifin, Pendidikan Anak Berkonflik Hukum; Model Konvergensi Antara Fungsionalis dan Religiu, CV.Alfabeta, Bandung, 2007. Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bhakti, Bandumg, 2005. __________, Tujuan Dan Pedoman Pemidanaan : Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana dan Perbandingan Beberapa Negara, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2009. Muladi, Kapita Seleksi Hukum Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1996. Nyoman Serikat Putra Jaya, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System), Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2005. Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme Bina Cipta, Bandung, 1996. Satjipto Rahardjo, Hukum, Masyarakat, dan Pembangunan, Alumni, Bandung, 1980

Dr. Mia. Amiati, SH, MH adalah praktisi Hukum

Related Documents


More Documents from "WanNasution"