Disparitas Kesehatan Antar Negara.docx

  • Uploaded by: Windra Yanti
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Disparitas Kesehatan Antar Negara.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,542
  • Pages: 6
Disparitas Kesehatan Antar Negara Disparitas adalah Kesenjangan atau jarak perbedaan anatar sebuah nilai rata-rata dari sub populasi atau sekelompok dengan nilai rata-rata seub kelompok lain dalam komunitas masyarakat yang lebih besar yang memiliki nilai yang sama atau memiliki hak dan kesempatan yang sama (Evan dalam umar fahmi, 2008) Disparitas dalam bidang kesehatan adalah suatu kesenjangan, letimpangan atau perbedaan status kesehatan yang terjadi di masyarakat sebagai hasil dari ketidaksamaan atau pemerataan dari kondisi yang ada di masyarakat baik dari segi social ekonomi, pendidikan, akses layanan kesehatan, kebijakan pemerintah, faktor perilaku individu sampai faktor jenis kelamin. Tingkat ketimpangan di Indonesia relatif tinggi dan naik lebih pesat dibanding banyak negara Asia Timur lain. Antara tahun 2003 hingga 2010, bagian 10 persen terkaya di Indonesia mempertambah konsumsi mereka sebesar 6% per tahun, setelah disesuaikan dengan inflasi. Bagi 40% masyarakat termiskin, tingkat konsumsi mereka tumbuh kurang dari 2% per tahun. Hal ini mengakibatkan koefisien naik pesat dalam 15 tahun – naik dari 30 pada tahun 2000 menjadi 41 pada tahun 2013. Contoh Kasus : Singapura merupakan negara dengan tingkat kesehatannya masyarakatnya paling tinggi dan Indonesia diperingkat keempat di Kawasan ASEAN.Tingginya minat warga untuk berobat ke luar negeri disebabkan sejumlah alasan. Pertama adalah faktor geografis yang terbilang dekat dengan negeri jiran tersebut. Masyarakat Riau lebih memilih ke Malaysia dan Singapura dibanding mendapatkan fasilitas kesehatan di rumah sakit besar di Pulau Jawa karena terpaut jarak yang cukup jauh. Kurang lebih ribuan masyarakat Riau setiap tahun berobat ke Malaysia dan Singapura, ada kisaran dana sebesar Rp 500 miliar yang warga Riau menghabiskan uang untuk keperluan berobat di negeri jiran daripada di daerahnya sendiri. Sudah bukan rahasia pula jika orang-orang kelas atas di Indonesia lebih

memilih untuk berobat ke Singapura yang diyakini memiliki standar pelayanan rumah sakit yang lebih memadai. Peralatannya lebih canggih, dokternya pun lebih mumpuni. Sementara itu, orang-orang dari kelas menengah ke bawah hanya bisa berharap bahwa pelayanan yang sama juga bisa didapatkan di RS-RS terdekat. Berobat ke Singapura adalah sesuatu yang dirasa mustahil, terutama dari sisi finansial. Hal yang paling di soroti adalah akses layanan kesehatan terutama di RS tipe C dan D yang melayani peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Pelayanan rumah sakit bisa tampil lebih bagus karena program JKN adalah peluang besar untuk mendapatkan pasien lebih banyak. Sayang, realita yang terjadi di lapangan menunjukkan para pasien penerima JKN lari ke rumah sakit tipe A. Ini artinya pengadaan alat kesehatan canggih di RS tipe C dan D lebih sedikit. Kebutuhan masyarakat belum terpenuhi dengan baik dan merata.

Disparitas Kesehatan Antar Pulau Disparitas Kesehatan masih menjadi salah satu permaslaahan di Indoensia. Hal ini cukup mengagetkan meningat Angka kematian bayi dan balita pada golongan miskin hampir empat kali lebih tinggi dari pada golongan terkaya. Selain itu, angka kematian bayi dan ibu melahirkan lebih tinggi di daerah perdesaan, dikawasan timur Indonesia, serta penduduk dengan tingkat pendidikan rendah. Angka kematian bayi terendah sebesar 26,29 per 1.000 kelahiran hidup di DKI Jakarta 28,44 di GI Yogyakarta, dan tertinggi 107,2 di Nusa tenggara Barat (Depkes, 2004). Presentase anak balita yang berstatus gizi kurang dan buruk di daerah perdesaaan lebih tinggi dibandingkan daerah perkotaan. Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan yang terlatih dan cakupan imunisasi pada golongan miskin lebih rendah dibandingkan dengan golongan kaya. Disparitas di Indoensia cukup tinggi antar pulau terdepan, terluar dan tertinggal (3T). Penyebab ini disinyalir karenan kurangnya terdistribusi tenaga kesehatan serta fasilitas kesehatan yang masih melum merata si setiap daerah. Disparitas kesehatan ini tentunya akan berpotensi mengalami Kejadian Luar Biasa (KLB)

penyakit menular seperti halnya di Kabupaten Asmat, Papua. Penyebabnya selain kurang terdistribusinya tenaga kesehatan dengan baik, pemerintah juga harus terkebuh dahulu mengoptimalkan infrastruktur dan sarana prasaranan kesehatan Contoh Kasus : Kabupaten Minahsa Utara memiliki 46 pulau, dan ada 6 pulau yang di diami oleh masyarakat termasuk Pulau Gangga. Secara geografis pulau gangga terletak pada posisi 010450’13” Lintang Utara dan 125003’18” Bujut Timut, dengan luas wilayah 125 Ha. Aksesibilitas mencapai Pulau Gangga dapat ditempuh dari Kota Manado dengan menggunakan transportasi darat menuju ke pelabuhan perikanan di Kecamatan Likupang Barat dengan waktu tempuh sekitar satu jam. Selanjutnya perjalanna ke Pulau Gangga menggunakan sarana transportasi laut berupa kayu atau perahu angkutan masyarakat selama sekitar satu jam. Akses terhadap pelayanan kesehatan dalam studi kasus ini dapat diartikan sebagai kemungkinanan dari masyarakat di pulau kecil mendapatkan pelayanan kesehatan saat di butuhkan. Dalam hal ini dibedakan sebagai keadaaan geografi dari suatu wilayah. Tantangan pelayanan kesehatan di Pulau Gangga cukup berarti dikarenakan kondisi geografinya dan iklim yang sangat ekstrim sehingga menyababkan keterbatasan dari masyarakat ke sarana pelayanan kesehatan yang lebih lengkap yang berlokasi di daratan menjadi kirang. Demikian pula minat tenaga kesehatan untuk bertugas di daerah ini dan skeitarnya agak rendah. Hal ini terbukti dari walaupun adanya fasilitas kesehatan berupa puskesmas pembantu namun tidak berfungsi dikarenakan tenaga kesehatan tidak berminat untuk bermukim. Oleh sebab itu pemerintah dalam hal ini Kementrian Dalam Negri (Kemendagri) dan Kementrian Kesehatan (Kemenkes) mulai merancang regulasi terkait kebijakan rasio tenaga kesehatan tersebut. Disamping itu juga harus mempertimbangkan kesejahrteraan tenaga Kesehatan di Indonesia

Disparitas Kesehatan Antar Wilayah Negara Republik Indonesia memiliki banyak pulau-pulau kecil yang dihuni oleh masyarakat yang kehidupan sehari-harinya sangat tergantung kepada laut. Jumlah desa di pulau-pulau kecil dan pulau-pulau besar diperkirakan ada sebanyak 40.000 ribu pulau (Pratomosunu B.S., 2008). Batasan pengertian dan kriteria pulau-pulau kecil, sampai saat ini masih beragam. Sebagai perbandingan tentang pengertian dan kriteria pulau-pulau kecil, dapat dirujuk pada UndangUndang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yaitu Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan ekosistemnya. Masyarakat yang hidup di pulau-pulau kecil kehidupan sehari-hari mereka terpapar dengan risiko kesehatan antara lain kurangnya tersedia air bersih dan berkualitas untuk dapat diminum, minimnya ketersediaan makanan yang bergizi dan terbatasnya pelayanan kesehatan dari sektor publik terutama pada saat musim badai. Kondisi perumahan yang padat dan kurang memenuhi syarat kesehatan sehingga mudah terinfeksi dengan vektor dan agen penyakit yang berkembang, dan menambah kebutuhan akan kesehatan. Adanya disparitas antar wilayah daratan dan pulau-pulau kecil, kondisi geografi yang jauh untuk ditempuh dari ibukota kecamatan yang berada di pesisir pantai daratan, iklim/cuaca yang sering berubah dan ekstrem. Demikian pula status kesehatan masyarakat yang masih rendah, sarana dan prasarana kesehatan terbatas baik dari jumlah, keterbatasan jenis termasuk mutu sumber daya manusia kesehatan, juga pembiayaan kesehatan terbatas, pengetahuan akan kebutuhan kesehatan masyarakat tersebut sangat diperlukan. Pelayanan kesehatan di pulaupulau kecil terutama dari sektor publik diperlukan program-program kesehatan prioritas di mana dapat memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat. Kesenjangan status kesehatan terjadi antar daerah, antar tingkatan sosialekonomi dan antarkawasan perkotaan dan pedesaan. Secara spesifik kesenjangan tersebut antara lain disebabkan oleh belum efektifnya pelaksanaan desentralisasi penanganan kesehatan, efisiensi penggunaan anggaran dana yang masih rendah serta distribusi dan pendayagunaan tenaga kesehatan yang belum proporsional.

Salah satu masalah kesehatan masyarakat yang menjadi sorotan ialah gizi masyarakat, karena masih banyak masyarakat Indonesia yang dalam pemenuhan gizinya belum mendekati normal, artinya angka kecukupan gizi di masyarakat Indonesia sangat rendah terutama di daerah pedesaan yang ekonomi masyarakatnya

menengah

ke

bawah.

Banyak

masyarakat

yang

masih

mengkonsumsi makanan satu macam sehingga nutrisisnya tidak optimum. Hal tersebut dapat menyebabkan busung lapar, gizi buruk, dan kurang gizi. Pentingnya kesehatan masyarakat haruis benar- benar mendapat perhatian, karena masyarakat bisa menjadi cerminan suatu Negara. Bagaimanapun suatu Negara bisa terus berkembang karena ada masyarakat yang menyumbangkan SDM nya. Sumber daya manusia yang baik tentu berasal dari masyarakat yang sehat. Secara umum masalah kurang gizi disebabkan oleh banyak faktor. Penyebab langsungnya ialah makanan dan penyakit. Timbulnya kurang gizi tidak hanya dikarenakan asupan makanan yang kurang, tapi juga penyakit. Anak yang mendapat cukup makanan tetapi sering sakit, pada akhirnya dapat menderita kurang gizi. Dan demikian pula pada anak yang tidak memperoleh cukup makan, maka daya tahan tubuhnya kan melemah dan akan muda terserang penyakit. Masalah gizi utama di Indonesia adalah Kurang Energi Protein (KEP), obesitas, anemia, defisiensi vitamin A, dan gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY). Contoh Kasus Berdasarkan hasil survei Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Jatim pada 2015, angka balita gizi buruk di Jatim mencapai 1,8 persen dari jumlah balita sekitar 3,747 juta atau 10 persen dari total penduduk sekitar 37,47 juta jiwa. Berarti jumlah balita gizi buruk di Jatim mencapai 6.745 balita.Angka balita gizi buruk paling tinggi ada di Kabupaten Probolinggo sekitar 6,1 persen, disusul Kota Malang 4 persen, dan Kabupaten Sumenep 3,8 persen. Tingginya angka balita gizi buruk di Jatim bukan semata-mata faktor ekonomi, melainkan lebih banyak disebabkan pola asuh orangtua yang terlalu sibuk sehingga pada akhirnya makan untuk balita tidak di perhatikan.

DAFTAR PUSTAKA

https://www.ugm.ac.id/id/berita/13150ahs.menjadi.solusi.disparitas.layanan.kesehatan http://www.worldbank.org/in/news/feature/2015/12/08/indonesia-rising-divide https://tirto.id/rumah-sakit-indonesia-kalah-jauh-dari-singapura-dan-malaysiab8pY Roy G.A Massi dan Grace D. Kandou. Kebutuhan Dasar Kesehatan Masyarakat di Pulau Kecil :Gangga Kecamaatan Likupang Barat Kabupaten Minahasa Utara Provinsi Sulawesi Utara. 2012 Adisasmito.Wiku. Sistem Kesehatan. 2007.Jakarta. PT. RajaGravindo Persada Sistem kesehatan di tingkat kabupaten khususnya kabupaten yang memiliki cakupan wilayah pulau kecil utamanya pada elemen manajemen, sumber daya manusia dan peralatan, keuangan dan organisasi dari institusi yang memberikan pelayanan kesehatan masih lemah sehingga menyulitkan terhadap peningkatan pelayanan kesehatan khususnya untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat yang tinggal di pulau-pulau kecil. Baik perorangan maupun masyarakat kesehatan tidak saja tergantung kepada pelayanan medis yang ada, tapi juga sangat tergantung kepada perilaku, genetik, sosial dan ekonomi ditambah lagi dengan faktor determinan sosial lainnya. Disadari tidak ada kesepakatan secara umum terhadap kebutuhan kesehatan. Kadang-kadang kebutuhan kesehatan diartikan sebagai pengobatan yang diperlukan atau suatu pelayanan yang sesuai dan prosedurnya sesuai yang dibutuhkan (Donabedian, 1973).

Related Documents

Jarak Antar
May 2020 34
Antar Negara.docx
April 2020 12
Kesehatan
May 2020 31
Kesehatan
May 2020 30

More Documents from "Harry Nirwansyah"