Dislokasi Panggul : Sebuah Ulasan mengenai Tipe, Penyebab, dan Tatalaksana
Latar Belakang : Dislokasi panggul merupakan kejadian yang terjadi berhubungan dengan trauma high-energy atau terjadi pasca operasi total hip replacement. Metode : Dalam ulasan ini, akan disajikan diskusi dan ilustrasi mengenai tipe, penyebab, dan modalitas tatalaksana dislokasi panggul, dengan penekanan lebih dalam pada aspek pemeriksaan, tatalaksana, dan komplikasi dislokasi yang terjadi setelah total hip replacement. Hasil : Dislokasi panggul secara umum diklasifikasikan menurut arah dislokasi kaput femoris, baik itu anterior maupun posterior, dan ditangani dengan teknik reduksi yang spesifik. Secara garis besar, reduksi tertutup merupakan metode tatalaksana awal yang dilakukan di instalasi gawat darurat. Reduksi tertutup sebagai tatalaksana dislokasi panggul pertama kali dideskripsikan oleh Bigelow pada tahun 1870, dan sejak itu banyak teknik reduksi telah diajukan. Masingmasing metode memiliki kelebihan dan kekurangan yang unik. Pada dislokasi panggul anterior umumnya dilakukan reduksi dengan traksi inline dan rotasi eksternal, dengan bantuan asisten mendorong caput femoris atau menarik femur ke arah lateral untuk membantu reduksi. Dislokasi panggul posterior merupakan tipe yang tersering dan direduksi dengan memberi traksi longitudinal dengan rotasi internal panggul. Kesimpulan : Pasien dengan dislokasi panggul harus menerima pemeriksaan diagnostik secara hati-hati, dan dokter yang menangani harus berpengalaman dalam menangani cedera dan kemungkinan komplikasi yang terjadi. Evaluasi dan tatalaksana yang tepat waktu, termasuk mengenali komplikasi yang mungkin terjadi, menjadi hal yang penting untuk memberi luaran terbaik bagi pasien.
Kata kunci : Dislokasi, panggul, total hip arhtroplasty
PENDAHULUAN Anatomi Panggul merupakan jenis sendi ball-and-socket dan bersifat stabil karena bentuk geometri tulang dan ligamen-ligamen kuat, hal tersebut memungkinkan panggul mampu menahan peningkatan stress mekanik yang signifikan. Komponen anatomis yang berperan dalam mempertahankan stabilitas panggul meliputi kedalaman asetabulum, labrum, kapsul sendi, otot, dan ligamen-ligamen disekitarnya. Ligamen-ligamen besar yang menjaga stabilitas panggul dari tekanan luar meliputi ligamentum iliofemoralis yang terletak di sisi anterior panggul dan ligamentum ischiofemoralis yang terletak di sisi posterior panggul. Ligamen anterior lebih kuat daripada ligamen posterior, sehingga trauma panggul pada umumnya mengakibatkan dislokasi posterior (90% kasus). Komponen otot dinamis yang turut berperan meliputi otot rectus femoris, otot-otot gluteus, dan otot rotator eksternal pendek. Pemahaman tentang vaskularisasi panggul adalah hal yang penting karena trauma pada panggul dapat mengakibatkan pergeseran kaput femoris dan mengganggu peredaran darah, pada akhirnya menimbulkan nekrosis avaskular (AVN). Cabang dari arteri iliaca eksterna membentuk cincin yang melingkari leher femur, dengan arteri sirkumfleks femoralis lateral pada sisi anterior, dan arteri sirkumfleks femoralis medial pada sisi posterior. Sumber perdarahan utama pada kaput femoris berasal dari arteri sirkumfleks femoralis medial.
Penyebab Dislokasi panggul dapat diklasifikasi sebagai kongenital atau didapat. Dislokasi kongenital terjadi akibat posisi fisiologis janin di dalam rahim yang mendapat tekanan dari dinding abdomen ibu, dengan komponen tambahan tekanan posterior terhadap sendi panggul displastik dalam keadaan fleksi. Kedua faktor tersebut bersama-sama menimbulkan dislokasi parsial atau komplit pada neonatus; namun begitu, topik tersebut tidak dibahas dalam ulasan ini. Terdapat dua tipe dislokasi panggul yang didapat, yaitu dislokasi panggul alamiah (native
dislocations) dan dislokasi pasca total hip replacement (Gambar 1). Sebagian besar dislokasi panggul alamiah terjadi akibat kecelakaan kendaraan bermotor. Pada kasus demikian, pasien duduk dengan panggul dalam keadaan fleksi, saat terjadi benturan, paha pasien menumbuk dashboard , menimbulkan daya terhadap sendi ke arah posterior dan menyebabkan dislokasi posterior.
Gambar 1. Pemeriksaan X-ray menunjukkan dislokasi pasca total hip replacement (kiri) dan dislokasi panggul alamiah (kanan) Dislokasi didapat tersering adalah dislokasi panggul yang terjadi dalam waktu 3 bulan pertama setelah operasi total hip replacement. Hal tersebut terjadi ketika pasien melakukan gerakan yang melebihi cakupan gerak sendi prostetik dan memungkinkan kaput femoris untuk keluar dari asetabulum. Keadaan umum lain yang mungkin menyebabkan dislokasi pasca operasi adalah kelemahan atau inkompetensi jaringan lunak di sekitar sendi panggul, penempatan komponen prostetik yang tidak benar, dan gangguan neuromuskular (contoh : penyakit Parkinson ). Faktor predisposisi dislokasi panggul terus meningkat. Sebuah laporan tahun 2014 oleh National Highway Traffic Safety Administration menyatakan bahwa lebih dari 2.3 juta cedera akibat kendaraan bermotor terjadi sebagian besar pada pengemudi usia muda, angka tersebut meningkat 1.1% dibandingkan tahun 2013. Sebuah penelitian sumatif tahun 1982 oleh Woo dan Morrey menemukan
bahwa laju dislokasi sebesar 3.2% pada lebih dari 10.000 prosedur total hip replacement primer. Penelitian lain melaporkan laju dislokasi sebesar 10% pada prosedur primer dan sampai dengan 28% pada prosedur revisi. Hingga 2030, jumlah prosedur diperkirakan akan meningkat sebesar 174% pada total hip replacement primer dan 137% pada prosedur revisi, dengan demikian jumlah pasien dislokasi panggul kemungkinan dapat meningkat pula. Pemeriksaan, tatalaksana, dan komplikasi dislokasi panggul pasca total hip replacement adalah topik primer dari ulasan ini. PEMERIKSAAN Dislokasi panggul merupakan suatu kegawatdaruratan yang sensitif terhadap waktu dan harus mendapat penanganan yang tepat untuk mencegah timbulnya komplikasi menetap. Pada pasien dislokasi panggul akibat trauma, hal pertama yang perlu dilakukan adalah menstabilkan pasien sesuai dengan prosedur Advanced Trauma Life Support. Apabila cedera pasien merupakan cedera energi rendah, pemeriksaan lengkap harus tetap dilakukan untuk menyingkirkan adanya kemungkinan cedera lain. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang komplit dapat membantu tenaga medis dalam menentukan penyebab dislokasi (pasca total hip replacement vs alamiah) dan tipe dislokasi (posterior vs anterior). Pemeriksaan fisik penting dilakukan pada pasien yang dicurigai mengalami dislokasi panggul. Cedera jaringan lunak dan cedera ekstremitas bawah ipsilateral dapat menghambat keberhasilan reduksi tertutup. Mengenali adanya cedera jaringan lunak dan cedera ekstremitas bawah ipsilateral sedini mungkin adalah hal penting karena cedera tersebut dapat mengalami kekambuhan jika dilakukan reduksi tertutup. Adanya cedera lutut ipsilateral juga harus disingkirkan, karena lutut ipsilateral digunakan sebagai tuas pada panggul yang direduksi. Pasien dengan dislokasi panggul posterior datang dengan ekstremitas bawah dalam keadaan adduksi, fleksi, rotasi internal dan pemendekan. Dislokasi panggul anterior diklasifikasi menjadi superior-anterior (pubik) atau inferior-anterior (obturator). Dislokasi tipe pubik terjadi akibat abduksi, ekstensi, dan rotasi
eksternal panggul. Dislokasi tipe obturator terjadi akibat abduksi, fleksi, dan rotasi eksternal panggul. Pada pasien dengan dislokasi panggul anterior, kaput femoris dapat teraba pada segitia femoralis, sedangkan pada dislokasi panggul posterior, kaput femoris teraba di area gluteal. Pemeriksaan Dislokasi Alamiah Trauma energi tinggi dapat mengakibatkan cedera sekunder, dengan demikian setelah dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik, dokter harus melakukan pemeriksaan neurovaskular sebelum dilakukan reduksi tertutup. Meskipun jarang terjadi, komplikasi saraf yang sering terjadi akibat dislokasi panggul posterior adalah cedera saraf skiatik (10% kasus), dan yang lebih jarang, yaitu cedera cabang saraf peroneal dan cedera akar saraf lumbosacral. Untuk menilai adanya kerusakan saraf skiatik, periksa apakah dorsofleksi ankle dan ibu jari terganggu. Komplikasi neurovaskular akibat dislokasi panggul anterior jarang terjadi dan pada umumnya berhubungan dengan cedera saraf, arteri, dan vena femoralis. Pemeriksaan pencitraan radiologis penting dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis dan menyingkirkan kemungkinan adanya fraktur. Pada hampir semua kasus, dislokasi dapat dikonfirmasi dengan x-ray panggul posisi anteroposterior (AP), namun apabila hasil pemeriksaan meragukan, pemeriksaan x-ray tambahan (lateral frog-leg, lateral cross-table, posisi Judet) dapat dilakukan. X-ray posisi AP tidak hanya mengkonfirmasi penyebab dan tipe dislokasi, namun dapat pula menunjukkan adanya tanda-tanda cedera vertebra lumbalis dan fraktur asetabulum. Normalnya, kaput femoris kedua ekstremitas memiliki ukuran yang sama dan kongruen dengan asetabulum. Pada x-ray posisi AP, dislokasi panggul posterior menunjukkan kaput femoris di dalam asetabulum berukuran lebih kecil karena tulang berada pada posisi yang lebih jauh dari sumber sinar x-ray dan lebih dekat dengan film. Posisi lateral perlu digunakan untuk mengkonfirmasi temuan tersebut. Pada dislokasi panggul anterior, kaput femoris tampak lebih besar daripada panggul yang sehat karena tulang berada pada posisi yang lebih dekat
dengan sumber sinar x-ray dan lebih jauh dari film. Pemeriksaan x-ray setelah dilakukan reduksi harus dilakukan untuk mengkonfirmasi reduksi, diikuti dengan pemeriksaan CT scan pada potongan 1- sampai 3- mm pelvis untuk menunjukkan reduksi konsentris. CT scan juga akan mendeteksi adanya fragmen yang terlepas dan fraktur yang sebelumnya tidak tampak pada x-ray, terutama pada kaput dan leher femur. Pemeriksaan MRI telah digunakan untuk melengkapi pemeriksaan CT scna; namun begitu efektivitas dan kemampuan MRI dalam mengidentifikasi fragment tulang kecil masih diperdebatkan. Pemeriksaan Dislokasi Prostetik Pasca Operasi Dislokasi setelah total hip replacement pada umumnya terjadi akibat cedera energi rendah; namun begitu, dislokasi energi tinggi dapat pula terjadi dan membutuhkan survei sekunder yang lebih seksama. Dislokasi prostetik merupakan kegawatdaruratan yang sensitif terhadap waktu. Walaupun protokol tatalaksana dislokasi pasca operasi belum dilakukan standarisasi, sebuah laporan oleh Dargel dkk. pada tahun 2014 menyajikan algoritma tatalaksana komprehensif. Keberagaman pasien dan faktor resiko yang berhubungan dengan operasi dapat berhubungan dengan dislokasi pasca operasi. Jarak waktu antara terjadinya dislokasi dengan total hip replacement primer/revisi dapat memberi informasi kepada dokter mengenai faktor predisposisi pasien, apakah itu penyembuhan jaringan lunak yang inadekuat atau malposisi prostetik (dislokasi dini) atau penggunaan prostetik (dislokasi lambat). Informasi lebih lanjut yang dibutuhkan antara lain, saat pasien dilakukan hip replacement, pendekatan apakah yang digunakan, bagaimana dislokasi tersebut terjadi, jumlah kejadian dislokasi sebelumnya, dan kepatuhan pasien dalam restriksi ruang gerak sendi pasca operasi. Selain itu, pertanyaan tentang keadaan medis (seperti penyakit Parkinson, sklerosis multipel, alkoholisme) dan riwayat operasi sebelumnya juga penting ditanyakan karena setiap keadaan merupakan faktor resiko potensial yang dapat mencetuskan dislokasi melalui kelemahan otot dan ketidakseimbangan. Pada saat dilakukan pemeriksaan fisik, dokter harus memeriksa status neurovaskular, tampilan ekstremitas bawah yang mengalami cedera dan bekas luka insisi operasi
yang dapat memberi informasi kepada dokter mengenai pendekatan operasi yang digunakan. Perlu dilakukan pemeriksaan kultur, karena infeksi yang tidak diketahui mungkin dapat menyebabkan instabilitas dan dislokasi. Pencitraan diagnostik dislokasi pasca total hip replacement diawali dengan x-ray posisi AP dan lateral cross-table panggul. Posisi komponen femoral, versi dan inklinasi asetabulum, serta perubahan pada panjang tungkai dapat membantu dalam tatalaksana awal dengan reduksi tertutup. Faktor penting lainnya seperti ukuran kaput femoris dan tipe prostetik yang telah digunakan telah terbukti berperan penting dalam laju dislokasi panggul. Sebuah penelitian tahun 2005 pada lebih dari 20.000 prosedur total hip replacement, didapatkan laju dislokasi yang menurun secara signifikan dengan penggunaan kaput femoris yang berukuran lebih besar. Berdasarkan ukuran kaput femoris, laju dislokasi adalah sebagai berikut 3.6% pada kaput femoris 28mm, 4.8% pada ukuran 26mm, 18.8% pada ukuran 22mm. Penelitian lain menyajikan efektivitas ukuran kaput femoris yang lebih besar mulai dari 28 hingga 40mm. Tipe prostetik yang digunakan meliputi constrained liners dan implan dual-mobility, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Constrained liners digunakan pada pasien tertentu untuk mempertahankan stabilitas dan dapat diidentifikasi dengan cincin sirkuler tambahan dari logam di sekeliling bahan polietilen (Gambar 2). Tantangan dalam menggunakan prostese tersebut adalah pasien umumnya tidak dapat membatasi gerakan, dan adanya dislokasi dapat memerlukan dilakukan reduksi terbuka atau revisi. Reduksi tertutup mungkin dilakukan; namun, dokter harus mengetahui alasan mengapa pembatasan gerak gagal sehingga menyebabkan dislokasi.
Gambar 2. Pemeriksaan X-ray menunjukkan constrained liner pada prosedur total hip replacement. Tampak cincin logam pada pegangan polietilen di kaput femoris dalam asetabulum
Kegagalan dalam pembatasan gerakan dapat mengakibatkan malposisi komponen dan penggunaan implan, keduanya dapat memerlukan revisi. Implan dual-mobility merupakan komponen baru (diperkenalkan pada tahun 2009) di Amerika Serikat yang menyajikan cakupan gerak tambahan pada sendi panggul untuk mencegah terjadinya dislokasi. Implant yang terfiksir pada kaput femoris normalnya memiliki satu titik persendian, yaitu kaput femoris dari bahan logam/keramik dalam komponen asetabulum. Pada implan dual-mobility, digunakan dua titik persendian, titik persendian pertama terletak antara kaput femoris logam/keramik dalam kaput femoris polietilen yang lebih besar, dan titik persendian yang kedua pada kaput femoris polietilen yang lebih besar dan komponen asetabulum. Ketika kaput femoris yang lebih kecil mencapai batas cakupan gerak sendi, kaput femoris yang lebih besar akan bergerak dan hal ini memungkinkan peningkatan cakupan gerak sendi sebelum terjadi dislokasi (Gambar 3A). Namun begitu, karena adanya tambahan bantalan, dibandingkan dengan total hip replacement dengan bantalan terfiksir, suatu dislokasi unik dapat terjadi yang disebut dengan dislokasi intraprostetik (IPD) (Gambar 3B). Pada IPD, kaput femoris polietilen yang lebih besar terdisosiasi dari kaput femoris yang lebih kecil. Pemeriksaan x-ray pasca
reduksi menunjukkan tampilan reduksi yang berhasil; namun, pada IPD kaput femoris terletak secara eksentris pada asetabulum, dan evaluasi seksama menunjukkan adanya halo pada jaringan lunak, menggambarkan bahwa polietilen telah terdisosiasi (Gambar 3B). Revisi terbuka dibutuhkan untuk menangani IPD. Tatalaksana awal perlu dilakukan karena akan terjadi instabilitas akibat gangguan persendian dari kaput femoris logam/keramik kecil pada mangkuk asetabulum yang lebih besar, dan kaput femoris logam/keramik akan merusak mangkuk asetabulum, sehingga membutuhkan revisi. Fenomena yang baru-baru ini terjadi pada pasien dengan riwayat hip replacement dan operasi fusi lumbal adalah dislokasi akibat perubahan lengkung sakrum dan kemiringan panggul. Perubahan tersebut dapat mengakibatkan retroversi relatif asetabulum dan instabilitas panggul. Vertebra lumbal harus diperiksa pada kasus dislokasi.
Gambar 3. (A) Komponen implan dual-mobility meliputi bagian tengah kepala dari logam atau keramik berukuran kecil yang terhubung dengan kepala polietilen berukuran lebih besar dalam mangkuk asetabulum. (B) Pemeriksaan X-ray menunjukkan dislokasi dan terlepasnya kepala polietilen pada jaringan lunak sekitar. Anak panah hitam menunjukkan “bubble sign” menggambarkan kepala polietilen
TATALAKSANA Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, seluruh tipe dislokasi panggul merupakan kegawatdaruratan yang sensitif terhadap waktu, yang harus menerima tatalaksana tepat. Reduksi harus dilakukan dalam waktu tidak lebih dari 6 jam setelah dislokasi terjadi. Komplikasi menetap dan prosedur invasif mungkin perlu dilakukan apabila panggul tidak berhasil direduksi dalam waktu 6 jam. Tanpa adanya kontraindikasi seperti fraktur, IPD, atau cedera lutut ipsilateral, reduksi tertutup dapat dilakukan di bawah sedasi yang cukup di departemen kegawatdaruratan. Dislokasi alamiah merupakan dislokasi yang paling sensitif terhadap waktu, dislokasi panggul alamiah yang terlambat ditangani dapat menimbulkan dampak merugikan pada kaput femoris (AVN) dan permukaan kondral (kondrolisis). Karena ada kemungkinan terjadi fraktur bila otot pasien tetap aktif, Frymann dkk. merekomendasi dilakukan sedasi untuk mengurangi trauma pada panggul dan mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk dilakukan reduksi. Di sisi lain, beberapa penelitian membuktikan bahwa pemberian sedasi intravena, general, atau regional dapat mengurangi komplikasi dan mempermudah prosedur reduksi. Pada dislokasi pasca operasi total hip replacement, jika komponen prostetik telah diposisikan dengan benar, sebagian besar pasien (67% ) yang berhasil dilakukan reduksi tertutup tidak akan mengalami dislokasi berulang. Sedasi yang memadai dibutuhkan untuk membuat otot menjadi rileks, mengurangi resiko mencederai pasien atau dokter, serta mengurangi resiko dilakukan upaya berulang reduksi tertutup yang dapat merusak prostese atau mencederai pasien. Bigelow pertama kali mendeskripsikan tatalaksana tertutup untuk dislokasi panggul pada tahun 1870, dan setelah itu banyak teknik reduksi yang diajukan. Karena teknik reduksi tertutup memerlukan pasien ditempatkan pada posisi-posisi yang berbeda (seperti pronasi, supinasi, lateral dekubitus), maka teknik yang dipilih harus mampu meminimalkan cedera lebih lanjut. Walaupun tidak diwajibkan menguasai semua teknik, menguasai beberapa teknik akan membantu
fleksibilitas tatalaksana apabila satu pendekatan ternyata tidak berhasil. Metode reduksi anterior dan posterior dideskripsikan dan diilustrasikan di bawah ini. Reduksi Tertutup untuk Dislokasi Posterior Manuver Allis : Pasien berada pada posisi supinasi dengan dokter berdiri di atas pasien. Dokter memberikan traksi inline pada kaki ipsilateral, memfleksikan lutut ipsilateral hingga 90o sementara asisten menstabilkan panggul untuk kontratraksi. Lakukan ekstensi perlahan pada kaki ipsilateral dengan rotasi eksternal saat panggul direduksi memungkinkan kaput femoris untuk kembali masuk ke asetabulum. Reduksi yang berhasil akan menimbulkan suara atau “clunk” (Gambar 4).
Gambar 4. Manuver Allis Manuver Bigelow : Pasien berada pada posisi supinasi, dokter memegang ankle ipsilateral pasien dengan satu tangan sementara tangan yang lain berada di belakang lutut pasien. Asisten memberi tekanan ke arah bawah pada spina iliaca anterior superior untuk kontratraksi. Dokter memberi traksi longitudinal inline, memfleksikan lutut pasien hingga 90o. Saat tungkai tereduksi, dokter melakukan ekstensi , abduksi, dan rotasi eksternal supaya kaput femoris masuk kembali ke dalam asetabulu,. Dokter berdiri di sisi tempat tidur pasien saat melakukan manuver ini untuk meningkatkan keamanan (Gambar 5).
Gambar 5. Manuver Bigelow
Manuver Lefkowitz : Pasien berada pada posisi supinasi, dokter berdiri di sisi tungkai yang cedera. Dokter menempatkan lututnya yang dalam keadaan fleksi di bawah lutut ipsilateral pasien pada fossa popliteal dan kaki dokter pada peregang. Dengan lutut pasien fleksi di atas lutut dokter, dokter memberi tekanan ke arah bawah pada kaki pasien hingga panggul tereduksi (Gambar 6).
Gambar 6. Manuver Lefkowitz Teknik Captain Morgan : Pasien berada pada posisi supinasi, dokter berdiri di sisi tungkai yang cedera. Panggul difiksasi dan distabilisasi pada peregang. Panggul dan lutut pasien difleksikan hingga 90o, dokter menempatkan lututnya yang dalam keadaan fleksi di bawah lutut ipsilateral pasien di fossa popliteal. Dokter memegang ankle ipsilateral pasien dengan satu tangan dan tangan yang lain berada di bawah lutut ipsilateral, memberi tekanan ke arah atas dengan melakukan plantar fleksi kaki hingga panggul tereduksi. Meskipun menyerupai manuver Lefkowitz, manuver Captain Morgan memanfaatkan stabilisasi panggul pada peregang dan tangan dokter berada di bawah lutut ipsilateral pasien (Gambar 7).
Gambar 7. Teknik Captain Morgan Manuver East Baltimore Lift : Pasien berada pada posisi supinasi. Dokter berdiri di sisi tungkai yang cedera, seorang asisten berada pada sisi yang berlawanan. Tungkai ipsilateral difleksikan hingga panggul dan lutut pada posisi
90o. Dengan dokter dan asisten menghadap kepala tempat tidur, masing-masing menempatkan satu lengan di bawah lutut panggul ipsilateral, mengaitkan lengan mereka di bawah fossa popliteal dan menempatkan tangan pada masing-masing bahu. Dokter menstabilkan panggul menggunakan tanganya yang bebas, dan asisten kedua memberi tekanan ke arah bawah sementara dokter dan asisten pertama memberi tekanan inline ke arah atas dengan mengekstensikan lutut. Saat tungkai tereduksi, dokter juga dapat melakukan adduksi, abduksi, dan rotasi internal dan eksternal menggunakan ankle ipsilateral. Apabila hanya terdapat 2 orang, teknik ini tetap dapat dilakukan. Dokter menggunakan lengannya yang terdekat dengan panggul ipsilateral pasien sebagai tumpuan dan lengan yang lain memegang kaki ipsilateral pasien. Asisten menstabilisasi panggul sekaligus membantu dokter melakukan traksi inline pada tungkai ipsilateral dengan mengekstensikan kaki hingga panggul tereduksi (Gambar 8).
Gambar 8. Manuver East Baltimore Lift Manuver Howard : Pasien berada pada posisi supinasi, baik dokter dan asisten berdiri pada sisi yang mengalami cedera. Panggul ipsilateral difleksikan hingga 90o. Asisten memegang paha pasien dan memberi gaya traksi lateral. Asisten kedua menstabilisasi panggul sementara tungkai tereduksi. Apabila tidak terdapat asisten kedua, asisten pertama menstabilkan panggul sementara dokter memegang lutut ipsilateral pasien. Dokter melakukan traksi inline dengan rotasi internal dan eksternal hingga panggul tereduksi (Gambar 9).
Gambar 9. Manuver Howard Metode Lateral Traction : Pasien berada pada posisi supinasi, asisten membungkus kain atau tangan asisten melingkari paha bagian dalam ipsilateral pasien. Dokter memberi tekanan longitudinal di sepanjang femur dengan lutut ekstensi sementara asisten menarik kain untuk memberi traksi lateral. Saat tungkai tereduksi, dapat dilakukan rotasi internal bila diperlukan (Gambar 10).
Gambar 10. Metode Lateral Traction Metode Piggyback : Pasien berada pada posisi supinasi pada tepi peregang, panggul ipsilateral fleksi hingga 90o. Dokter menempatkan lutut pasien pada bahunya dan menggunakan bahunya sebagai titik tumpu, lalu memberi tekanan ke arah bawah pada tibia pasien untuk menciptakan tekanan anterior yang diarahkan langsung pada panggul hingga panggul tereduksi (Gambar 11).
Gambar 11. Metode Piggyback Teknik Tulsa/Metode Rochester/Teknik Whistler : Pasien berada pada posisi supinasi, dokter berdiri pada sisi yang cedera, menempatkan lutut kontralateral pada posisi fleksi 130o. Dokter menempatkan lengannya dibawah lutut ipsilateral sehingga kaki pasien dalam keadaan fleksi di atas lengan bawah dokter dan menggunakan tangan yang sama untuk memegang lutut kontralateral. Tangan yang bebas memfiksasi ankle ipsilateral pada peregang dan memberi traksi ke arah bawah pada ankle bersama dengan dilakukannya rotasi internal dan eksternal hingga panggul tereduksi (Gambar 12).
Gambar 12. Teknik Tulsa/ Metode Rochester/Teknik Whistler Manuver Skoff : Pasien berada pada posisi lateral dekubitus dengan tungkai ipsilateral menghadap ke atas. Dokter berdiri pada sisi berhadapan dengan pasien. Tungkai diposisikan fleksi panggul 90o, rotasi internal 45o, adduksi 45o, dan fleksi lutut 90o. Traksi lateral diberikan saat asisten menyandar ke belakang segaris dengan femur. Dokter kemudian mempalpasi tonjolan di area gluteus dan mendorong kaput femoris yang terdislokasi hingga panggul tereduksi (Gambar 13).
Gambar 13. Manuver Skoff Manuver Stimson Gravity : Pasien berada pada posisi pronasi, dengan kedua panggul dan lutut dalam keadaan fleksi 90o pada tepi peregang. Seorang asisten menstabilisasi panggul, dokter memegang lutut dan ankle ipsilateral lalu memberi tekanan ke arah bawah hingga tungkai tereduksi. Dokter dapat melakukan rotasi internal dan eksternal untuk membantu reduksi. Perlu diperhatikan pada teknik ini bahwa pasien yang disedasi dalam posisi pronasi harus senantiasa diawasi jalan nafasnya. Perlu diperhatikan juga supaya mencegah pasien terjatuh dari peregang (Gambar 14).
Gambar 14. Manuver Stimson Gravity Manuver Traction-Countertraction : Teknik ini merupakan modifikasi dari manuver reduksi lateral Skoff dan membutuhkan 2 orang. Pasien berada pada posisi lateral dekubitus dengan tungkai ipsilateral menghadap ke atas. Seorang asisten memposisikan tungkai yang cedera menjadi fleksi panggul 90o, rotasi internal 45o, adduksi 45o, dan fleksi lutut 90o. Dengan menggunakan sprai tempat tidur yang diikat sehingga membentuk lingkaran, seorang asisten berdiri di dalam
lingkaran dan menempatkan tali pengikat pada selangkangan pasien dan melewati krista iliaka. Lingkaran kedua ditempatkan di belakang lutut ipsilateral, dengan dokter berdiri di dalam lingkaran. Dokter memberi traksi lateral segaris dengan femur dengan menyandar ke belakang sementara menggunakan tangannya yang bebas untuk memanipulasi tungkai bawah. Secara simultan, asisten menyandar ke belakang
untuk
memberi
traksi
lateral
terhadap
lingkaran,
sementara
menggunakan dasar telapak tangannya untuk mendorong deformitas di daerah gluteus hingga panggul tereduksi (Gambar 15).
Gambar 15. Manuver Traction-countertraction Metode Flexion Adduction : Pasien berada pada posisi supinasi, dokter berdiri pada sisi kontralateral dan mengangkat kaki ipsilateral hingga posisi fleksi 90o dan adduksi maksimal. Dokter memberi traksi segaris dengan femur sementara asisten menstabilisasi panggul dan mendorong kaput femoris ke dalam asetabulum hingga panggul tereduksi (Gambar 16).
Gambar 16. Manuver Flexion Adduction
Manuver Foot-Fulcrum : Pasien berada pada posisi supinasi dengan dokter duduk pada sisi kaki tempat tidur. Untuk mengurangi resiko menghantam kaput femoris terhadap tepi atas asetabulum saat dilakukan reduksi, dokter secara perlahan menggerakan tungkai yang cedera hingga mencapai posisi fleksi maksimal yang diperbolehkan untuk menggerakan kaput femoris yang terdislokasi ke posisi yang lebih posterior. Di bagian kaki tempat tidur, dokter membuat titik tumpu dengan meletakan kaki bagian dalam pada permukaan anterior ankle ipsilateral dan menempatkan kaki bagian luar pada panggul posterolateral untuk merasakan dislokasi. Dokter memberi traksi longitudinal segaris dengan femur dengan memegang lutut ipsilateral yang dalam keadaan fleksi dan menyandar ke belakang hingga panggul tereduksi. Rotasi internal dapat dilakukan bila dibutuhkan dengan menyandar dari sisi ke sisi (Gambar 17).
Gambar 17. Manuver Foot-Fulcrum Teknik Waddell : Teknik ini menggunakan elemen dari manuver Allis dan Bigelow dan dimodifikasi untuk melindungi dokter dari resiko terjadinya strain punggung selama melakukan reduksi. Teknik ini membutuhkan 2 orang. Seorang asisten menstabilisasi panggul pasien terhadap peregang, dokter naik ke atas peregang. Dokter menempatkan kaki ipsilateral di antara kedua kakinya dan meletakan lengan bawahnya di bawah lutut agar dapat memfleksikan tungkai tersebut. Untuk mengunci kaki pada posisi aman, dokter menempatkan lengan bawahnya di atas lututnya sehingga siku dokter berada pada satu lutut dan tangan dokter berada pada lutut satunya. Lutut pasien ipsilateral diposisikan dekat dengan dada dokter, dokter menggerakan panggul menjadi posisi fleksi 60o-90o dan lutut fleksi 90o. Dokter memberi traksi pada femur dengan menyandar ke belakang,
menggunakan kakinya sebagai tumpuan hingga panggul tereduksi. Dapat dilakukan adduksi dan rotasi internal bila diperlukan (Gambar 18).
Gambar 18. Teknik Waddell Penulis lebih memilih menggunakan teknik Waddel untuk reduksi tertutup dislokasi posterior. Teknik tersebut mengurangi stress pada punggung dokter dengan mengikuti prinsip Occupational Safety and Health Administration dengan menempatkan beban berat dekat dengan tubuh dan menggunakan kaki sebagai tuas untuk memberi traksi pada kaki dan panggul pasien. Selain itu, teknik tersebut memungkinkan dokter menjaga stabilitasnya saat berada di peregang bersama pasien. Reduksi Tertutup untuk Dislokasi Anterior Teknik reduksi tertutup untuk dislokasi anterior membutuhkan sedikit variasi pada manuver, namun tatalaksana membutuhkan traksi segaris dengan femur, ekstensi panggul, dan rotasi eksternal. Kecuali mereduksi dislokasi tipe Obturator, fleksi panggul tidak memungkinkan karena kaput femoris berada pada permukaan anterior panggul. Penulis tidak memberi ilustrasi reduksi dislokasi anterior karena manuver-manuvernya dilakukan dengan penempatan yang sama dengan dislokasi posterior. Metode Allis Leg Extension : Pasien berada pada posisi supinasi, dokter dapat naik ke atas peregang atau berdiri pada sisi yang mengalami cedera. Seorang asisten menstabilisasi panggul pasien, dokter memegang lutut ipsilateral
dan memberi traksi inline hingga panggul tereduksi. Untuk dislokasi tipe pubik, perlu dilakukan hiperekstensi panggul untuk reduksi. Metode Reverse Bigelow : Pasien berada pada posisi supinasi, dokter memegang tungkai ipsilateral pada ankle dengan satu tangan dan menempatkan tangan yang lain dibelakang lutut. Traksi dilakukan segaris dengan deformitas, terhadap panggul dilakukan adduksi, rotasi internal, dan ekstensi. Untuk keamaan dokter, dokter lebih dianjurkan untuk berdiri di sisi peregang daripada naik ke atas peregang. Metode Lateral Traction : Pasien berada pada posisi supinasi, asisten membungkuskan kain melingkari paha bagian dalam ipsilateral pasien. Dokter memberi tekanan longitudinal sepanjang femur sementara asisten menarik kain untuk memberi traksi lateral hingga panggul tereduksi. Rotasi eksternal diperlukan untuk membantu reduksi. Metode Stimson Gravity : Pasien berada pada posisi pronasi, kedua panggul dan lutut keadaan fleksi 90o di tepi peregang. Seorang asisten menstabilisasi panggul, dokter memegang lutut dan ankle ipsilateral dan memberi tekanan ke arah bawah hingga panggul tereduksi. Dokter dapat melakukan rotasi internal dan eksternal untuk membantu reduksi. Perlu diperhatikan pada teknik ini bahwa pasien yang disedasi dalam posisi pronasi harus senantiasa diawasi jalan nafasnya. Perlu diperhatikan juga supaya mencegah pasien terjatuh dari peregang. Karena dislokasi tipe pubik merupakan cedera hiperekstensi, reduksi mungkin tidak terjadi pada pasien-pasien tersebut karena fleksi panggul tidak dapat dilakukan. Reduksi Terbuka Apabila reduksi tertutup tidak berhasil, maka reduksi terbuka perlu dilakukan. Indikasi dilakukan reduksi terbuka meliputi panggul yang telah terdislokasi untuk waktu yang lama, tidak dapat mencapai sedasi yang adekuat di departemen kegawatdaruratan, dislokasi yang tidak dapat tereduksi, fraktur kaput atau korpus femoris, dan instabilitas persisten atau dislokasi ulang setelah dilakukan tatalaksana. Pada dislokasi panggul posterior yang tidak dapat tereduksi
dapat dilakukan pendekatan Kocher-Langenbeck dimana dokter bedah mengakses struktur posterior asetabulum dengan menentukan batas spina iliaca posterior superior, trokanter mayor, dan korpus femoris. Dislokasi panggul anterior dapat ditangani dengan pendekatan Smith-Petersen atau Watson-Jones dimana dokter bedah mengakses struktur anterior asetabulum dengan menentukan batas spina iliaca anterior superior, trokanter mayor, dan korpus femoris. Pada kasus dengan dislokasi prostetik, pendekatan operatif sebelumnya dapat dipertimbangkan. KEADAAN-KEADAAN KHUSUS : CONSTRAINED LINERS dan IMPLAN DUAL-MOBILITY Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, constrained liners digunakan pada pasien dengan instabilitas panggul atas berbagai alasan seperti dislokasi rekuren dengan komponen yang tersusun dengan benar dan kelemahan jaringan lunak. Implan-implan tersebut dirancang sedemikian rupa supaya bahan polietilen menahan kaput femoris dalam mangkuk asetabulum dengan menambahkan pembatasan yang kuat disekitar kaput femoris; polietilen mengelilingi sekitar kaput femoris, dan polietilen tersebut distabilisasi oleh cincin logam sirkuler pada puncak polietilen. Pada kasus dislokasi, mereduksi kaput femoris melalui polietilen dapat sulit dilakukan. Umumnya, pada dislokasi yang tidak tertangai, polietilen telah terpakai sehingga reduksi masih mungkin dilakukan. Pada upaya reduksi, kaput femoris harus ditarik secara manual ke dalam mangkuk asetabulum dan polietilen melalui teknik-teknik yang telah dijelaskan sebelumnya. Pada umumnya, kaput femoris akan hinggap pada tepi yang dibatasi. Dokter harus mengkonfirmasi posisi tersebut dengan fluoroskopi dan memberi tekanan medial pada aspek lateral panggul untuk mencoba mendorong kaput femoris kembali ke dalam asetabulum. Prosedur tersebut dijelaskan pada laporan kasus tahun 2012 yang menilai keberhasilan luaran pasca reduksi tertutup dari implan dual-mobility pada pasien usia tua yang memiliki faktor resiko dislokasi. Implan dual-mobility pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat pada tahun 2009. Seperti yang telah dicantumkan sebelumnya, implan-implan tersebut
memiliki persendian kecil dan besar yang dapat terdisosiasi selama dislokasi atau saat upaya reduksi dilakukan. IPD dapat terjadi saat upaya reduksi dilakukan ketika kaput femoris plastik yang berukuran lebih besar menempel pada asetabulum dan terdisosiasi dari kaput femoris yang lebih kecil, mirip dengan efek bottle-cap. Untuk mencegah komplikasi tersebut, pertama-tama harus mengenali implan. Kedua, beri sedasi yang adekuat untuk relaksasi otot komplit sehingga memudahkan dilakukan reduksi. Untuk dislokasi panggul posterior, rotasi internal seharusnya cukup untuk menjaga kaput femoris dari menempel pada mangkuk asetabulum. Untuk dislokasi anterior, rotasi eksternal harus dilakukan untuk menjaga kaput femoris bersinggungan dengan acetabular liner. Akhirnya, posisi kaput femoris harus dikonfirmasi dengan x-ray pasca reduksi. Apabila kaput femoris terletak eksentris dari mangkuk asetabulum, maka ada kemungkinan IPD dapat terjadi. KOMPLIKASI SETELAH DISLOKASI Dislokasi alamiah memilihi laju komplikasi yang lebih tinggi dibandingkan dislokasi prostetik karena perbedaan tekanan yang dibutuhkan sehingga timbul dislokasi. Karena sendi panggul memiliki stabilitas yang kuat, dibutuhkan trauma energi tinggi (seperti kecelakaan kendaraan bermotor) untuk menimbulkan dislokasi panggul alamiah sehingga poli trauma seringkali terlihat pada sebagian besar pasien (95%). Sebaliknya, karena panggul prostetik bersifat kurang stabil, dislokasi dapat terjadi hanya dengan energi rendah. Gejala sisa dislokasi alamiah meliputi fraktur femur dan asetabulum, cedera lutut, artritis pasca trauma, kelumpuhan saraf skiatik, AVN, dan osifikasi heterotropik. Pada dislokasi panggul alamiah, fraktur kaput femoris lebih jarang terjadi daripada fraktur asetabulum, dengan laju insidensi 5%-15%. Fraktur asetabulum pada umumnya terjadi pada dislokasi posterior akibat trauma atau metode reduksi tertutup karena kaput femoris dipaksa masuk melalui dinding posterior asetabulum. Laju insidensi fraktur asetabulum setinggi 70%. Cedera lutut ipsilateral dapat terjadi, terutama pada dislokasi alamiah. Cedera lutut signifikan
meliputi efusi (37%), memar tulang (33%), robeknya meniskus (30%). Artritis pasca traumatik merupakan gejala sisa jangka panjang yang paling sering timbul pada dislokasi alamiah sederhana, dengan laju insidensi 20%. Kelumpuhan saraf skiatik (komponen peroneal) merupakan struktur neurologis yang paling sering mengalami kerusakan akibat saraf teregang oleh kaput femoris ketika terjadi dislokasi atau akibat bekas luka operasi. Laju insidensi kelumpuhan saraf skiatik yang dilaporkan yaitu 10%-15%. Karena cedera saraf skiatik juga bersifat sensitif terhadap waktu, keterlambatan reduksi dapat secara permanen mengganggu fungsi saraf dan pasien hanya dapat mengalami kesembuhan parsial. AVN dapat terjadi akibat dislokasi pasca trauma yang tidak tertangani atau upaya berulang saat reduksi. Laju insidensi AVN akibat dislokasi panggul yaitu 2%-10%, dengan peningkatan laju bila melebihi waktu 6 jam. Osifikasi heterotropik terjadi akibat upaya berulang pada reduksi tertutup dan dapat menimbulkan adanya tulang pada jaringan lunak. Laju insidensi osifikasi heterotropik adalah 2.8%-9%. Gejala sisa dislokasi panggul prostetik merupakan kegawatdaruratan yang sensitif terhadap waktu namun melibatkan kejadian yang lebih tidak traumatik dibandingkan dislokasi alamiah. Komplikasi-komplikasi tersebut meliputi kerusakan prostese, kerusakan jaringan lunak yang menimbulkan instabilitas lebih lanjut, IPD, fraktur femur, cedera lutut, dan kerusakan struktur neurovaskuler di sekitarnya. Secara umum, reduksi panggul prostetik sering berhasil dan tidak menimbulkan kejadian instabilitas di kemudian hari. LUARAN SETELAH DISLOKASI Dislokasi panggul alamiah terjadi akibat energi tinggi, sehingga pasien seringkali juga memiliki cedera di bagian tubuh yang lain. Meminimalkan waktu untuk dilakukan reduksi penting untuk mencegah AVN pada kaput femoris. Apabila panggul berhasil tereduksi dalam 6 jam, insidensi AVN turun secara signifikan. Sebuah metaanalisis pada tahun 2016 mengenai AVN setelah dislokasi panggul traumatik menemukan bahwa apabila tungkai direduksi setelah 12 jam, resiko timbulnya AVN menjadi 5.6 kali lipad dibandingkan reduksi sebelum 12
jam. Dislokasi panggul rekuren yang terjadi setelah dislokasi panggul sederhana jarang terjadi, dengan laju insidensi hanya 1%. Dislokasi pasca total hip replacement membutuhkan tatalaksana tambahan. Meskipun waktu untuk dilakukan reduksi tidak berperan dalam menimbulkan AVN atau kondrolisis karena sendi panggul telah diganti, meminimalkan waktu untuk reduksi tetap diperlukan karena kontraktur otot. Setelah reduksi panggul prostetik berhasil tercapai, keseimbangan antara imobilisasi dan mobilisasi yang dijaga harus tercapai. Immobilizer lutut atau braces abduksi panggul dapat digunakan untuk mencegah pasien melanggar tindakan pencegahan yang berhubungan dengan pendekatan operasi yang telah dilakukan. Pada dislokasi posterior, brace yang digunakan harus dapat membatasi fleksi tungkai hingga 90o dan mencegah rotasi internal dan adduksi. Pada dislokasi anterior, brace harus membatasi seluruh ekstensi dan rotasi eksternal tungkai. Kelemahan dari penggunaan brace eksternal adalah mengurangi kepatuhan pasien karena tidak nyaman digunakan. Namun begitu, diperikaran sebanyak dua-sepertiga pasien dapat berhasil menggunakan brace eksternal setelah reduksi tertutup. Apabila reduksi tertutup gagal atau instabilitas menetap, metode invasif seperti mengganti prostese, penggunaan kaput femoris yang lebih besar, penggunaan implan dualmobility, dan/atau constrained liners dapat dipertimbangkan. KESIMPULAN Dengan adanya peningkatan laju trauma energi tinggi dan jumlah prosedur total hip replacement yang dilakukan, terdapat kemungkinan peningkatan angka kejadian dislokasi panggul alamiah dan pasca hip replacement. Tenaga kesehatan harus menguasai cara menegakkan diagnosis dan tatalaksana pasien-pasien tersebut. Pasien dengan dislokasi panggul alamiah dan pasca total hip replacement harus mendapat pemeriksaan diagnostik secara hati-hati, dan dokter yang menangani harus menguasai cara menangani cedera dan komplikasi yang mungkin terjadi. Evaluasi dan tatalaksana yang tepat waktu, termasuk mengenali komplikasi potensial, dibutuhkan untuk memberi luaran yang terbaik bagi pasien.