PERGURUAN TINGGI ILMU KEPOLISIAN MAHASISWA ANGKATAN LV
DISASTER MANAGEMENT LIMBAH BERACUN BERBAHAYA DALAM MEMINIMALISIR DAMPAK NEGATIF POLUSI YANG DITIMBULKAN DARI PROSES PEMBANGUNAN & INDUSTRI DI INDONESIA
BAB I PENDAHULUAN Sejarah telah mencatat betapa mengerikan Kasus Minamata tahun 1956 yang mengakibatkan korban manusia yang tidak sedikit disebabkan pembuangan limbah Air Raksa / Merkuri yang dihasilkan oleh kegiatan industri pupuk urea “Chisso Co.Ltd.” Teluk Minamata yang menjadi sumber kehidupan nelayan dan penduduk sekitar telah berubah menjadi monster yang menakutkan selain dampaknya merusak ekologi dan ekosistem di teluk tersebut juga membuat banyaknya berjatuhan korban jiwa dan cacat fisik. Selain kasus Minamata yang terjadi diluar negeri tersebut
tidak menutup
kemungkinan hal tersebut terjadi di Indonesia seperti kasus Buyat dimana logam – logam berat (merkuri) yang dihasikan dari pembuangan limbah penambangan emas milik PT. Newmont Minahasa Raya membuat seorang penduduk yang bernama Andini Lenzun di Desa Ratatotok Timur, Pantai Buyat Minahasa Selatan Sulawesi Utara terkena penyakit yang mememiliki ciri yang sama pada Kasus Minamata. Selain itu pula
sungai Citarum yang berada di Jawa Barat telah mengalami
pencemaran yang dilakukan oleh 217 industri yang berada disepanjang aliran sungai Citarum. Setiap hari sekitar 1.320 Liter per detik atau setara 270 Ton perhari limbah dibuang ke sungai tersebut sehingga warna sungai yang dulunya bening pada saat ini telah terlihat hitam dengan bau busuk yang menyengat.1 Kesadaran akan pentingnya upaya pengurangan risiko bencana telah mulai muncul pada dekade 1990-1999 yang dicanangkan sebagai Dekade Pengurangan Risiko Bencana Internasional. Upaya untuk mengurangi risiko bencana secara 1“ Kasus Minamata Diselidiki - PT Newmont Menolak Sebagai Pencemar Lingkungan”, Suara Merdeka, Edisi Kamis 22 Juli 2004, diakses dari situs : http://www.suaramerdeka.com/harian/0407/22/nas03.htm , pada tangal 24 Oktober 2009.
2
sistematik membutuhkan pemahaman dan komitmen bersama dari semua pihak terkait terutama para pembuat keputusan (decision makers). Dewan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Resolusi Nomor 63 tahun 1999 menyerukan
kepada
pemerintah
di
setiap
negara
melaksanakan Rencana Aksi Pengurangan Risiko
untuk
menyusun
dan
Bencana Nasional untuk
mendukung dan menjamin tercapainya tujuan dan sasaran pembangunan berkelanjutan. Indonesia sebagai negara yang memiliki banyak wilayah yang rawan bencana dan masih dalam proses pembangunan serta sedang menggiatkan kegiatan industri yang bertujuan meningkatkan taraf ekonomi rakyat. Masalah limbah beracun berbahaya yang masih belum tertangani dengan baik membawa dampak destruktif bagi
sosial masyarakat dan lingkungan hidup yang pada akhirnya
menimbulkan bencana yang mengerikan bagi kehidupan manusia dan alam. Masyarakat menduduki tempat penting dalam penanggulangan bencana limbah beracun berbahaya karena masyarakat merupakan subyek, obyek sekaligus sasaran utama upaya pengurangan resiko bencana. Sebagai subyek masyarakat diharapkan dapat aktif mengakses saluran informasi formal dan non-formal, sehingga upaya pengurangan risiko bencana secara langsung dapat melibatkan masyarakat. Pemerintah bertugas mempersiapkan sarana, prasarana dan sumber daya yang memadai sebagai bentuk memanajemen bencana yang ditimbulkan seperti yang terjadi pada paragraph diatas. Dalam rangka menunjang dan memperkuat
daya
dukung
setempat,
sejauh
memungkinkan
upaya-upaya
pengurangan risiko bencana akan menggunakan dan memberdayakan sumber daya setempat termasuk sumber dana, sumber daya alam, ketrampilan, proses-proses ekonomi dan sosial masyarakat. Manajemen Bencana mengakomodasikan kepentingan dan tanggung jawab semua pemangku kepentingan terkait dan disusun melalui proses koordinasi dan partisipasi, juga merupakan landasan, prioritas, aksi serta mekanisme pelaksanaan dan kelembagaan penanganan bencana khususnya yang ditimbulkan oleh limbah industri dari proses pembangunan dan industri.
BAB II
3
PERMASALAHAN Dalam hal penanggulangan bencana, kita memiliki Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (Bakornas PBP) yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 3 Tahun 2001. Di tingkat Provinsi dibentuk Satuan Koordinasi Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi yang disingkat Satkorlak PBP. Di tingkat Kabupaten / Kota dibentuk Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi yang disingkat Satlak PBP. Walaupun tugas dan fungsi dari Bakornas, Satkorlak dan Satlak PBP ini telah jelas diuraikan dalam Keppres tersebut, namun faktanya ketika terjadi bencana terlihat institusi ini sering "menghilang". Dirasakan selama ini, pemahaman terhadap manajemen bencana memang semakin luntur, karena dianggap bukan prioritas dan bencana hanya datang sewaktu-waktu saja. Dapat dipastikan pemahaman dasar tentang manajemen bencana tidak dikuasai atau tidak dimengerti oleh banyak kalangan baik birokrat, masyarakat, maupun swasta.2 Penanganan bencana selama ini dapat dikatakan "bagaimana nanti saja", padahal negara kita adalah negara yang memiliki ancaman bahaya bencana lingkungan hidup yang sangat besar disebabkan oleh limbah kimia industri yang berbahaya bagi alam dan manusia dengan klasifikasi sangat bervariasi dan sangat berat. Suatu ketika bila terjadi bencana dan menelan korban jiwa dan lingkungan hidup, kita selalu terkaget-kaget dan mengatakan kita lengah dankecolongan. Pengalaman telah terbukti bencana bahwa kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh pengelolaan limbah industri yang menyalahi prosedur standar tidak menutup kemungkinan akan terjadi seperti di Teluk Minamata Jepang dan Teluk Buyat Sulawesi Utara. Melihat kenyataan dan akibat yang ditimbulkan diatas dapat diambil beberapa pokok permasalahan yang akan penulis coba bahas antara lain : a. Bagaimana faktor–faktor penyebab bencana lingkungan hidup yang disebabkan
oleh limbah berbahaya beracun yang dihasilkan dari industri dan proses pembangunan di Indonesia ? 2 Republik Indonesia, “Keppres RI Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi”.
4
b. Bagaimana kegiatan / aksi yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah pusat
dan pemerintah daerah dalam mengendalikan dan mengurangi resiko bencana yang disebabkan oleh limbah berbahaya beracun yang dihasilkan dari industri dan proses pembangunan di Indonesia ?
BAB III PEMBAHASAN A. Faktor – faktor Yang Menyebakan Pada umumnya bencana yang disebabkan oleh limbah beracun berbahaya dapat disebabkan oleh ulah manusia (man-made disaster). Faktorfaktor yang dapat menyebabkan bencana antara lain: a. Penurunan kualitas lingkungan (environmental degradation) yang disebabkan
oleh proses pembangunan yang tidak memperhatikan / tidak berwawasan lingkungan ataupun tidak menggunakan AMDAL dalam pengelolaan limbah hasil kegiatan industri. b. Kerentanan (vulnerability) yang tinggi dari masyarakat, infrastruktur serta
elemen-elemen di dalam kota / kawasan industri
yang berisiko bencana
terhadap lingkungan hidup. Meskipun pembangunan di Indonesia telah dirancang dan didesain sedemikian rupa dengan memperhatikan dampak potensi kerusakan lingkungan yang minimal, namun proses pembangunan tetap menimbulkan dampak kerusakan lingkungan dan ekosistem. Pembangunan yang selama ini bertumpu pada eksploitasi sumber daya alam (terutama dalam skala besar) menyebabkan hilangnya daya dukung sumber daya lingkungan ini terhadap kehidupan masyarakat. Setiap tahun sumber daya lingkungan hidup di Indonesia semakin berkurang disebabkan kegiatan industri yang mengakibatkan kerusakan ekosistem yang secara fisik dan psikis menyebabkan peningkatan resiko bencana di lingkungan manusia tinggal di sekitarnya. Pada sisi lain laju pembangunan mengakibatkan peningkatan akses masyarakat terhadap ilmu dan teknologi, namun karena kurang tepatnya
5
kebijakan penerapan teknologi sering terjadi kegagalan teknologi yang berakibat fatal seperti tidak tertatanya sistem pengelolaan limbah
industri yang pada
akhirnya terjadinya wabah penyakit dikarenakan kontaminasi manusia dengan zat kimia disekitar lokasi pembuangan limbah. Limbah kimia yang dihasilkan dari siklus kegiatan industri dan pembangunan dapat berupa zat padat, zat cair maupun berupa gas. Limbah kimia yang
dihasilkan dari proses pengelolaan
limbah yang buruk sedikit demi sedikit akan bertambah pada suatu komunitas makhluk hidup yang ada di lingkungan tersebut. Seperti pada sungai / laut yang tercemar oleh limbah merkuri pada ikan tentunya racun limbah tersebut akan terakumulasi dan apabila dikonsumsi oleh manusia akan masuk dalam tubuh dan terakumulasi sehingga merusak paru-paru dan ginjal. Gagalnya sebuah sistem teknologi yang mengakibatkan terjadinya malapetaka teknologi (technological disaster) selalu bersumber pada kesalahan sistem (system error) yang bersumber pada desain sistem yang tidak sesuai dengan kondisi di mana sistem itu bekerja. Hal ini terjadi karena perancangan sistem yang gagal mempertemukan system teknis dan sistem sosial. Hal yang demikian sering terjadi di Indonesia dan menjadi bencana yang mengakibatkan kerugian jiwa seperti kecelakaan industri yang mengakibatkan kebocoran gas, keracunan dan pencemaran lingkungan. Kemudian dari faktor – faktor yang menyebabkan tersebut diatas selain “man made” yang dilakukan oleh pihak industry juga disebabkan kurang ketatnya pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah terutama dalam pengawasan pelaksanaan AMDAL yang dimiliki oleh pemilik pabrik. Otoritas badan pemerintah yang mengurusi lingkungan hidup seperti BAPPEDA kurang efektif menjalankan tugasnya dalam melakukan upaya pre-emtif dan preventif, ironisnya setelah pencemaran tersebut telah memakan korban baru kemudian mau bertindak sehingga terkesan Manajemen Bencana masalah pencemaran limbah yang dilakukan pemerintah terkesan seperti pemadam kebakaran. Fungsi Manajemen Bencana pada saat ini belum bersifat bersama dan terkait dimana belum melibatkan semua pihak baik pemerintah, swasta maupun masyarakat. Tidak cukup hanya mengandalkan kemampuan pemerintah saja. Pemerintah memiliki keterbatasan-keterbatasan. Sikap apatis dari masyarakat
6
masih tetap berperan dalam pembiaran munculnya bencana lingkungan hidup yang disebabkan oleh limbah berbahaya. Permasalahan Disaster Management masih dianggap oleh sebagian besar masyarakat merupakan milik pemerintah atau aparat penegak hukum saja, padahal dalam menghadapi kondisi tersebut semua pihak harus berperan utama bukan hanya cukup dengan berperan serta. Sedangkan
dalam
menghilangkan
faktor
penyebab
kerentanan
(vulnerability), banyak pihak telah mencoba menyusun siklus manajemen dengan maksud dan tujuan agar mudah dipahami dan mudah diaplikasikan terutama oleh masyarakat umum. Sebagai contoh pihak United Nation Development Program (UNDP) dalam program pelatihan manajemen bencana yang diselenggarakan tahun 1995 dan 2003, menyusun siklus manajemen bencana dalam versi cukup sederhana. UNDP membagi manajemen bencana menjadi empat tahapan besar. Tahap pertama kesiapsiagaan (perencanaan siaga, peringatan dini), tahap kedua tanggap darurat (kajian darurat, rencana operasional, bantuan darurat), tahap ketiga pasca darurat (pemulihan, rehabilitasi, penuntasan, pembangunan kembali), tahap keempat pencegahan dan mitigasi atau penjinakan.3 Pengalaman menunjukkan, dari keempat tahap tersebut justru tahap kedua yaitu tahap tanggap darurat yang selalu penuh "hiruk pikuk" 4 tetapi koordinasinya sangat lemah. Hal ini membuktikan bahwa manakala bencana itu terjadi, penanganan bencana selalu dilakukan dalam suasana kepanikan dan kebingungan. Pada saat tanggap darurat ini nampak ada yang terkaget-kaget dan merasa kecolongan, ada yang serius, ada yang menjadi "seksi repot" 5, ada yang hanya menonton saja, bahkan ada yang berpura-pura minta sumbangan tetapi untuk kepentingan pribadi. Pada tahap ketiga, yaitu pasca darurat, nuansa rehabilitasi dan rekonstruksi mulai berbau "projek", banyak pihak yang mencari kesempatan 3 “Program Penanganan Bencana di Indonesia Secara Efektif”, diakses dari situs : www.undp.or.id, pada tanggal 24 Oktober 2009. 4 Hiruk Pikuk yaitu situasi dimana instansi terkait seolah-olah menunjukkan kesibukannya dalam menangani bencana. 5 Seksi Repot adalah istilah yang digunakan penulis untuk menggambarkan kondisi suatu instansi yang akhirnya bertanggung jawab untuk menangani bencana menjadi poros koordinator diantara beberapa instansi terkait, walaupun semestinya ada instansi lain yang lebih bertanggung jawab.
7
dalam kesempitan. Pada tahap keempat, yaitu pencegahan dan mitigasi, semua pihak mulai melupakan peristiwa bencana yang lalu, hampir semua tidak peduli lagi harus berbuat apa. Kembali ke tahap pertama, yaitu kesiapsiagaan, bisa dipastikan semua pihak tidak siap dan tidak siaga, dan bila terjadi bencana, kembali kecolongan, terkaget-kaget dan panik. Padahal penanganan keempat tahap sejak kesiapsiagaan, tanggap darurat, pasca darurat, pencegahan dan mitigasi masing-masing memiliki bobot keseriusan yang sama. Bahan
untuk
sosialisasi
dan
pelatihan
manajemen
kebencanaan
lingkungan hidup berbasis masyarakat ini telah banyak disusun oleh pihak-pihak yang peduli, bentuknya bermacam-macam, sangat bervariasi. Pada dasarnya kita harus menciptakan bahan sosialisasi dengan bahasa rakyat, yang mudah dimengerti dan mudah diaplikasikan oleh masyarakat dalam melakukan tahaptahap kesiapsiagaan, tanggap darurat, pasca bencana, mitigasi dan pencegahan. Bentuk bahan sosialisasi berupa daftar pertanyaan atau matrik isian, misalnya, matrik analisis risiko bencana limbah industri, matrik mengenal ancaman bahaya di lingkungan sekitar kita, matrik mengenal kerentanan dan kapasitas kemampuan lingkungan terhadap limbah kimia dan proses industri , matrik rencana operasional dengan kerangka logis setempat. Pengisian daftar pertanyaan atau matrik isian dapat dilakukan pada saat pelatihan atau lokakarya penanggulangan bahaya limbah kimiawi di setiap RT atau RW atau desa dimana kegiatan industri tersebut beraktifitas. A. Prioritas Penanggulangan Resiko Bencana Limbah Kimia Pengurangan risiko bencana Limbah Kimia
di Indonesia dilakukan
dengan mempertimbangkan aspek berkelanjutan dan partisipasi dari semua pihak terkait. Upaya ini dilakukan dengan komitmen yang kuat dengan mengedepankan tindakan-tindakan yang harus diprioritaskan. Penyusunan prioritas ini perlu dilakukan untuk membangun dasar yang kuat dalam melaksanakan upaya pengurangan risiko bencana Limbah Kimia yang berkelanjutan serta mengakomodasikan kesepakatan internasional dan regional dalam rangka mewujudkan upaya bersama yang terpadu.
8
Lima prioritas pengurangan resiko bencana Limbah Kimia beracun berbahaya yang dilakukan adalah: a. Meletakkan pengurangan resiko bencana limbah kimia sebagai sasaran prioritas nasional maupun daerah yang pelaksanaannya harus didukung oleh kelembagaan yang kuat dalam merevitalisasi lingkungan yang tercemar limbah. b. Mengidentifikasi, mengkaji dan memantau risiko bencana limbah kimia serta menerapkan sistem peringatan dini sebelum kerusakan lingkungan akibat limbah tersebut membahayakan kehidupan manusia. c. Memanfaatkan pengetahuan, inovasi dan pendidikan untuk membangun kesadaran keselamatan diri dan ketahanan terhadap bencana limbah kimia pada semua tingkatan masyarakat mulai dari tingkat nasional sampai dengan lingkungan masyarakat yang terkecil. d. Mengurangi faktor-faktor penyebab risiko bencana limbah yang dihasilkan industri dengan menerapkan, mengawasi dan mengontrol pelaksanaan AMDAL perusahaan. e. Memperkuat kesiapsiagaan menghadapi bencana limbah kimia pada semua tingkatan masyarakat agar respons yang dilakukan lebih efektif. Sebagai penerjemahan dari pergeseran paradigma ke arah perlindungan terhadap masyarakat yang berada disekitar rawan bencana limbah kimia yang dihasilkan industri sebagai bagian dari pemenuhan hak dasar rakyat, pengurangan risiko bencana limbah kimia industri harus mempunyai karakteristik sebagai berikut : a. Menghargai hak untuk hidup dan kehidupan yang bermartabat dan pemerintah bertanggung jawab memastikan perlindungan dari risiko bencana limbah kimia berbahaya yang sejatinya terhindarkan. b. Bertujuan mengurangi faktor-faktor penyebab risiko bencana limbah kimia berbahaya dari proses-proses pembangunan dan aktifitas industri yang tidak berkelanjutan yang dapat memperburuk
perubahan ketersediaaan daya
dukung lingkungan hidup. c. Akuntabel kepada masyarakat berisiko dan atau terkena bencana limbah kimia berbahaya serta didorong untuk meningkatkan partisipasi, keadilan serta dilaksanakan dengan perspektif kebersamaan.
9
Untuk menjaga akuntabilitas pengurangan risiko bencana limbah kimia hasil kegiatan industri dalam kebijakan pembangunan, akan dikembangkan indikator pencapaian yang terukur dan masyarakat sipil akan dilibatkan dalam melakukan pengawasan melalui mekanisme pemantauan perkembangan tingkat pencemaran lingkungan hidup di semua tataran, mulai dari pusat sampai ke desa. Tingkat efisiensi dan keberhasilan pelaksanaan pengurangan resiko bencana limbah kimia berbahaya di Indonesia dapat diukur dari indikatorindikator berikut : a. Peningkatan jumlah jiwa yang selamat pada kejadian bencana. b. Penurunan jumlah korban yang terluka / cedera akibat bencana. c. Penurunan persentase masyarakat yang terkena dampak bencana. d. Kapasitas penanganan tanggap darurat.
Komitmen seluruh instansi pemerintah, swasta (pemilik pabrik) dan pemangku kepentingan terkait merupakan suatu hal yang mutlak dibangun dan dibina dalam pelaksanaan upaya pengurangan risiko bencana limbah kimia. Manajemen penanganan bencana lingkungan hidup yang disebabkan limbah kimia berbahaya dapat berlanjut berdasarkan prioritas kebutuhan penanganan bencana dan sesuai kebijakan pemerintah. Diharapkan kegiatan ini akan selalu bisa diperbarui sesuai dengan perkembangan kebencanaan di Indonesia sampai di tingkat lokal.
BAB IV PENUTUP A. KESIMPULAN Dengan penjelasan pada penulisan ini, pencemaran lingkungan yang berdampak pada polusi baik pada tanah, air dan udara seperti yang telah dijelaskan secara panjang lebar diatas dapat diambil kesimpulan bahwa bencana yang disebabkan oleh kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh kontaminasi lingkungan hidup dengan limbah industri umumnya terjadi oleh karena ulah manusia yang seharusnya bertanggungjawab mengelola limbahnya. Gagalnya sebuah system teknologi yang dimiliki oleh perusahaan dalam mengolah limbah
10
kimia berbahayanya mengakibatkan malapetaka teknologi yang menyebabkan kerugian korban jiwa dan penurunan kualitas lingkungan hidup. Pemerintah
sebenarnya
telah
menyusun
siklus
manajemen
penanggulangan bencana (Disaster Management) namun hal tersebut belum berjalan maksimal karena cenderung bersifat temporer dan sporadis karena setelah adanya bencana yang disebabkan oleh limbah kimia industri
telah
memakan korban barulah pemerintah mau bertindak padahal sebenarnya hal tersebut
dapat
dicegah
kejadiannya
bila
pemerintah
dapat
melakukan
pengawasan pelaksanaan AMDAL yang dilakukan perusahaan. B. SARAN Untuk dapat menghindari kesan / opini yang telah berkembang diatas pemerintah pusat sampai dengan daerah melakukan upaya positif dengan menerapkan manajemen bencana (Disaster Management) yang berjenjang dan berkelanjutan dengan melibatkan seluruh strata kehidupan masyarakat terutama yang tinggal disekitar lingkungan pabrik yang beraktifitas baik dalam lingkungan makro maupun lingkungan mikro dengan menerapkan lima prioritas pengurangan resiko bencana limbah kimia beracun berbahaya seperti yang telah disampaikan diatas selain itu pula usaha bersama yang dilakukan untuk mengurangi resiko bencana tersebut perlu dijaga akuntabilitasnya dan membuat parameter terukur dengan menyusun indikator-indikatornya.
Jakarta,
Oktober 2009 Penulis
SETYO BIMO ANGGORO GAKKUM-B/No.Mhs.6874 DAFTAR PUSTAKA
Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008, Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana.
11
Republik Indonesia, Keppres RI Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi. Kasus Minamata Diselidiki, Suara Merdeka, Edisi Kamis 22 Juli 2004, diakses dari situs : http://www.suaramerdeka.com/harian/0407/22/nas03.htm, pada 24 Oktober 2009. Program Penanganan Bencana di Indonesia Secara Efektif, diakses dari situs : http://undp.or.id, pada 24 Oktober 2009. Manajemen-Bencana-Kadinkes, diakses dari situs : http://pdfcoke.com/doc/8343677/ manajemen-bencana-kadinkes, pada 24 Oktober 2009.