TUGAS I D4 EPIDEMIOLOGI
EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR MAKALAH TENTANG PENYAKIT MENULAR “DIFTERI”
Oleh : Hastomo e-mail :
[email protected] site blog
: www.Hastm.multiply.com : www.tome-env.blogspot.com
DEPARTEMEN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN YOGYAKARTA JURUSAN KESEHATAN LINGKUNGAN 2008
DIFTERI A. JENIS PENYAKIT Difteri
adalah
jenis
penyakit
menular
pada
saluran
pernafasan bagian atas. Penyakit ini bersifat setempat, dan juga menyeluruh,
disebabkan
racun
yang
dihasilkan
galur-galur
Corynebacterium diphtheriae yang toksigenik.
B. PENYEBAB PENYAKIT Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphtheriae, oleh karena itu penyakitnya diberi nama
serupa dengan kuman penyebabnya. Organisme ini terlokalisasi di tenggorokan
yang
meradang
bila
bakteri
ini
tumbuh
dan
mengeluarkan eksotoksin yang ampuh. Sel jaringan mati, bersama dengan leukosit, eritosit, dan bakteri membentuk eksudat berwarna kelabu suram yang disebut pseudomembran pada farinfg. Di dalam pseudomembran, bakteri berkembang serta menghasilkan racun. Jika pseudomembran ini meluas sampai ke trakea, maka saluran nafas akan tersumbat dan si penderita akan kesulitan bernafas. Sebelum era vaksinasi, racun yang dihasilkan oleh kuman ini sering meyebabkan penyakit yang serius, bahkan dapat menimbulkan kematian. Tapi sejak vaksin difteri ditemukan dan imunisasi terhadap difteri digalakkan, jumlah kasus penyakit dan kematian akibat kuman difteri menurun dengan drastis. C. GEJALA Anak yang terinfeksi dengan kuman difteri, setelah 2-4 hari akan mengalami gejala-gejala infeksi saluran napas bagian atas, yang paling sering berupa demam, terkadang sampai menggigil
dan sakit tenggorokan. Beberapa anak dapat mengalami sakit kepala, suara parau, nyeri menelan, dan nyeri otot. Gejala-gejala ini disebabkan oleh racun yang dihasilkan oleh kuman difteri. Jika tidak diobati, racun yang dihasilkan oleh kuman ini dapat menyebabkan reaksi peradangan pada jaringan saluran napas bagian atas sehingga sel-sel jaringan dapat mati. Sel-sel jaringan yang mati bersama dengan sel-sel radang membentuk suatu membran atau lapisan yang dapat menggangu masuknya udara pernapasan.
Membran
atau
lapisan
ini
berwarna
abu-abu
kecoklatan, dan biasanya dapat terlihat. Gejalanya anak menjadi sulit bernapas. Jika lapisan terus terbentuk dan menutup saluran napas yang lebih bawah akan menyebabkan anak tidak dapat bernapas. Akibatnya sangat fatal karena dapat menimbulkan kematian jika tidak ditangani dengan segera. Racun yang sama juga dapat menimbulkan komplikasi pada jantung dan susunan saraf, biasanya terjadi setelah 2-4 minggu terinfeksi dengan kuman difteri. Kematian juga sering terjadi karena jantung menjadi rusak. D. DISTRIBUSI Difteri terdapat di seluruh dunia dan secara khas menyerang dalam bentuk epidemi. Insiden penyakit ini telah menurun dengan tajam sejak diperkenalkan imunisasi aktif. Di Negara maju dan bagian negara lain di dunia penyakit ini jarang ditemui. Dari tahun 1920 – 1975, insidensi menurun. Laju mortality rate juga menurun, sedangkan nisbah kasus fatality rate (kematian di atas 100 kasus) turun tajam. Terjadinya penyakit dan kematian yang tertinggi ialah pada anak –anak berusia 2 sampai 5 tahun. Pada orang dewasa, difteri terjadi dengan frekuensi rendah, sekitar 12% dari semua kasus di Amerika Serikat kini Terjadi pada orang berusia 20 tahun ke atas.
Manusia adalah inang atau host alamiah satu-satunya bagi Corynebacterium dhiptheriae. Bakteri ini dipindah sebarkan dari satu
orang ke orang lain dengan kontak langsung lewat inti titik air dari sekresi saluran pernafasan bagian atas. Kadang-kadang dapat terjadi difteri pada luka kutil (difteri kulit), dan ini dapat berfungsi sebagai gudang (reservoir) bagi penyebaran penyakit tersebut. Secara
klinis,
menyebarkan
pasien penyakit
yang ini
sakit
secara
pada
umu7mnya
tidak
luas, tetapi orang
yang
menyimpan penyakit ini, seperti yang baru sembuh atau penularan, merupakan penyebar basilus yang lebih penting. E. CARA PENULARAN Kuman difteri hidup pada selaput lendir rongga mulut, tenggorokan, dan hidung pada orang yang terinfeksi dengan kuman ini.
Penyebaran
adalah
melalui
udara
pernapasan
yang
mengandung kuman difteri, kontak langsung dengan percikan lendir saluran napas yang mengandung kuman. Pencegahan yang paling efektif adalah dengan memberikan imunisasi (lihat imunisasi difteri, pertusis, tetanus) F. PENGOBATAN Jika anak menderita difteri, ia harus dirawat di rumah sakit karena seringkali menjadi gawat. 1.
Racun yang dihasilkan oleh kuman dieliminasi dengan pemberian anti racun yang disebut dengan anti toksin yang spesifik untuk kuman difteri.
2.
Antibiotik diberikan dalam jangka waktu
tertentu untuk
mengeliminasi kuman, menghentikan produksi racun oleh kuman, dan mengobati infeksi lokal saluran napas bagian atas.
3.
Istirahat total sangat dibutuhkan, terutama pada anak dengan tanda-tanda komplikasi pada jantung.
G. CARA PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN Cara pengendalian difteri yang penting adalah sebagai berikut : 1. Uji Shick untuk mendeteksi kerentanan terhadap penyakit tersebut 2. Penggunaan toksoid difteri sebagai vaksin 3. Penggunaan antitoksin untuk terapi 4. Menjaga kebersihan lingkungan 5. Hindari kontak dengan penderita Uji Shick dilakukan dengan menyuntikkan sejumlah kecil toksin difteri ke dalam kulit. Jika orang tersebut kebal, maka toksin tersebut dinetralkan oleh antitoksin di dalam tubuhnya dan tidak terjadi reaksi. Tetapi bila orang itu rentan-tidak mempunyai antitoksin alamiah naka akan terjadi reaksi peradangan setempat yang mencapai intensitas maksimum dalam 4 – 7 hari. Jika uji Shick ini menunjukkan adanya kerentanan terhadap difteri, maka orang dewasa sekalipun harus diimunisasi secara aktif. Senua anak harus diimunisasi secara aktif dengan toksoid difteri sebelum ulang tahunnya yang pertama (semuda usia dua bulan). Toksoid ini dikombinasi dengan toksoid tetanus dan vaksin pertusis (vaksin DPT). Bersama dengan ini dosis pertama vaksin polio yang diminumkan diberikan pula. Tiga dosis diberikan pada interval 4 – 8 minggu dan dosis keempat diberikan setahun setelah suntikan ketiga. Suntikan ulang harus mendapat suntikkan ulang terhadap tetanus dan difteri setiap 10 tahun. Suntikkan toksoid
harus diulang bilamana uji Shick menunjukkan tidak adanya antitoksin dalam tubuh. Antitoksin memberikan kekebalan pasif untuk jangka waktu pendek, tetapidapat mencegah penyakit pada orang-orang yang rentan bils terkena difteri. DAFTAR PUSTAKA Irene, 2006, INFORMASI KESEHATAN ANAK, google.com, diunduh tanggal 3 November 2008 Irianto Koes, 2006, Menguak Dunia Mikrobiologi, Yrama Widia, Bandung