BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Difteri tersebar luas ke seluruh dunia. Angka kejadian menurun secara nyata setelah perang dunia kedua, setelah penggunaan toksoid difteria. Demikian pula terdapat penurunan mortalitas yang berkisar 5-10%. Delapan puluh persen kasus terjadi di bawah umur 15 tahun, meskipun demikian dalam suatu keadaan wabah, angka kejadian menurut umur tergantung status imunitas populasi setempat. Faktor sosial ekonomi, pemukiman yang padat, nutrisi yang jelek, terbatasnya fasilitas kesehatan, merupakan faktor penting terjadinya penyakit ini. Difteri jarang terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa, karena telah mewajibkan imunisasi pada anak-anak selama beberapa dekade. Namun, difteri masih sering ditemukan pada negara-negara berkembang di mana tingkat imunisasinya masih rendah seperti halnya yang saat ini terjadi di Jawa timur. Di Indonesia, wabah difteri muncul kembali sejak tahun 2001 di Cianjur, Semarang, Tasikmalaya, Garut, dan Jawa Timur dengan case fatality rate (CFR) 11,7-31,9%. Di Jawa Timur sejak tahun 2000-2011, tercatat 335 kasus dengan jumlah kematian 11 orang dan pada tanggal 10 Oktober 2011 Provinsi Jawa Timur dinyatakan berstatus KLB. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Difteri 2.1.1. Definisi Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis (Depkes RI, 2011). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.
2.1.2. Etiologi Corynebacterium diphtheria merupakan kuman batang gram positif, tidak bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati pada pemanasan 60ºC, tahan dalam keadaan beku dan kering. Secara umum dikenal 3 tipe utama Corynebacterium diphtheria yaitu tipe gravis, intermedius dan mitis, namun dipandang dari antigenisitas sebenarnya basil ini merupakan spesies yang bersifat heterogen dan mempunyai banyak tipe serologik. Hal ini mungkin bisa menjelaskan mengapa pada seorang pasien bisa terdapat kolonisasi lebih dari satu jenis Corynebacterium diphtheria.
2
2.1.3. Patogenesis Corynebacterum diphteriae masuk melalui mukosa atau kulit, melekat serta berkembang biak pada permukaan mukosa saluran napas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling, selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan pembuluh darah. Efek toksin pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam sel. Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan 2 asam amino yang telah diikat 2 transfer RNA yang mendapati kedudukan P dan A dalam ribosom. Bila rangkaian asam amino ini akan ditambah dengan asam amino lain untuk membentuk polipeptida sesuai dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses translokasi. Translokasi ini merupakan pindahnya gabungan transfer RNA + dipeptida dari kedudukan A ke kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan enzim translokase yang aktif. Toksin difteri mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk, mengakibatkan inaktivasi enzim translokase yang menyebabkan proses translokasi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan, akibatnya sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi kuman. Sebagai respon, terjadi inflamasi lokal bersama-sama dengan dengan jaringan nekrotik, membentuk bercak eksudat yang semula mudah dilepas. Produksi toksin semakin banyak, 3
daerah
infeksi
semakin
melebar
dan
terbentuklah
eksudat
fibrin.Terbentuklah suatu membran yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang terkandung. Bila dipaksa melepaskan membran akan terjadi perdarahan. Selanjutnya membran akan terlepas sendiri pada masa penyembuhan.
2.1.4. Gejala klinis Sebagai faktor primer adalah imunitas pejamu terhadap toksin difteri, virulensi serta toksigenitas Corynebacterum diphteriae dan lokasi penyakit secara anatomis. Faktor lain termasuk umur, penyakit sistemik penyerta dan penyakit pada daerah nasofaring yang sudah ada sebelumnya. Masa inkubasi antara 1-5 hari dengan perjalanan penyakit bersifat insidious (perlahan-lahan) dimulai dengan gejala yang tidak spesifik. Difteri mempunyai masa tunas 2 - 6 hari.
Difteria Hidung Difteria hidung pada umumnya menyerupai common cold, dengan gejala klinis pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinus dan kemudian mukopurulen menyebabkan lecet pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum nasi. Absorsi toksin sangat lambat
4
dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis lambat dibuat Difteria Tonsil Faring Gejala difteri tonsil-faring adalah anoreksia, malaise, demam ringan dan nyeri menelan. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membran yang melekat, berwarna putih kelabu dapat menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan pallatum molle atau ke bawah ke laring dan trakea.
Gambar III. Pseuomembran dan bull neck
5
Difteria Laring Difteria laring biasanya merupakan perluasan difteri faring. Pda difteri primer gejala toksik kurang nyata, oleh karena mukosa laring mempunyai daya serap toksin yang rendah dibandingkan mukosa faring sehingga gejala obstruksi saluran nafas atas lebih mencolok. Gejala klinis difteri laring sukar untuk dibedakan dengan tipe infectius croups yang lain, seperti nafas bunyi, stridor yang progresif, suara parau dan batuk kering. Difteria Kulit, Vulvovaginal, Konjungtiva, dan Telinga Difteria
Kulit, Vulvovaginal,
Konjungtifa
dan Telinga
merupakan tipe difteria yang tidak lazim (unusual). Difteria kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat membran pada dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Difteria pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, oedem dan membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan berbau.
2.1.5. Diagnosis Anamnesis
Kontak dengan penderita difteri
Suara serak
Stridor dan tanda lain obstruksi jalan nafas
Demam tak begitu tinggi
6
Pemeriksaan Fisik
Tonsilitis, faringitis, rinitis
Limfadenitis servikal + edema jaringan lunak leher (bullneck)
Sangat penting untuk dignosis ditemukannya membran pada tempat infeksi yang berwarna putih keabu-abuan, mudah berdarah bila diangkat
Laboratorium
Hitung leukosit darah tepi dapat ↑
Kadang-kadang timbul anemia
Protein likuor pada neuritis difteria sedikit ↑
Urea N darah pada nekrosis tubular akut dapat ↑
Diagnosis pasti ; Kuman difteria pada sediaan langsung / biakan (+)
2.1.6. Penatalaksanaan Tujuan pengobatan adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi Corynebacterum diphteriae
untuk
mencegah penularan, serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria. Umum Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negatif 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2 - 3 minggu.
7
Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2 - 3 minggu atau lebih lama bila terjadi miokrditis
Oksigen bila sesak nafas
Pemberian cairan serta diet makanan lunak yang mudah dicerna dengan kalori tinggi
Khusus pada difteria laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan humidifier.
Trakeostomi pada kasus dengan obstruksi saluran nafas berat
Prednisone 1 – 1,5 mg/kgbb/hari, peroral, tiap 6 – 8 jam pada kasus berat selama 14 hari.
Khusus
Antitoksin : Anti Diphtheria Serum (ADS) Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteri. Sebelumnya harus dilakukan tes kulit atau tes konjungtiva dahulu. Oleh karena pada pemberian ADS terdapat kemungkinan terjadinya reaksi anafilaktik, maka harus tersedia larutan Adrenalin 1 : 1000 dalam semprit. Tes kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis 1 : 1000 secara intrakutan. Tes positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm. Tes konjungtiva dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1 : 10 dalam garam faali. Pada mata yang lain diteteskan garam faali. Tes positif bila dalam 20 menit tampak gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila tes kulit / konjungtiva positif, ADS diberikan dengan cara desensitisasi (Besredka). Bila tes hipersensitivitas tersebut di atas negatif, ADS harus diberikan sekaligus secara intravena. Dosis serum anti difteri ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit, tidak 8
tergantung pada berat badan penderita, dan berkisar antara 20.000120.000 KI. Dosis ADS di ruang Menular Anak RSUD Dr. Soetomo disesuaikan menurut derajat berat penyakit sebagai berikut :
20.000 KI i.m. untuk difteri ringan (hidung, kulit, konjungtiva).
40.000 KI i.v. untuk difteri sedang (pseudomembran terbatas pada tonsil, difteri laring).
100.000 KI i.v. untuk difteri berat (pseudomembran meluas ke luar tonsil, keadaan anak yang toksik, disertai "bullneck", disertai penyulit akibat efek toksin).
Literatur lain mengatakan dosis yang diberikan seperti :
Difteri hidung / faring ringan 40.000 U
Difteri faring 60.000 – 80.000 U
Difteri faring berat / laring / dengan bull neck 100.000 – 120.000 U Pemberian ADS secara intravena dilakukan secara tetesan
dalam larutan 200 ml dalam waktu kira-kira 4-8 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya. Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness).
Antibiotik Bukan
sebagai
pengganti
antitoksin,
melainkan
untuk
menghentikan produksi toksin. Penisilin prokain 50.000-100.000 KI/BB/hari selama 7-10 hari atau 25.000 – 50.000 U/kgbb/hari intra muscular, tiap 12 jam selama 14 hari atau bila hasil biakan 3 hari berturut-turut negative (-). Bila alergi bisa diberikan eritromisin 40 50 mg/kg/hari, di bagi dalam 4 dosis maksimal 2gr/ hari, peroral atau intravena, tiap 6 jam selama 14 hari.
9
Kortikosteroid Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada difteri. Di Ruang Menular Anak RSUD Dr. Soetomo, kortikosteroid diberikan kepada penderita dengan gejala obstruksi saluran nafas bagian atas dan bila terdapat penyulit miokardiopati toksik.
Pengobatan penyulit Pengobatan
terutama
ditujukan
terhadap
menjaga
agar
hemodinamika penderita tetap baik oleh karena penyulit yang disebabkan oleh toksin pada umumnya reversibel. Pengobatan Carrier Carrier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai reaksi Schick negatif tetapi mengandung basil difteri dalam nasofaringnya. Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin oral atau suntikan, atau eritromisin selama satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi / adenoidektomi
Pengobatan yang diberikan
adalah Penisilin 100 mg/kgBB/hari oral / suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama satu minggu.
2.1.7. Prognosis Prognosis difteria setelah ditemukannya ADS dan antibiotic lebih baik daripada sebelumnya. Sebelum adanya antitoksin dan antibiotika, angka kematian mencapai 30-50 %. Dengan adanya antibiotik dan antitoksin maka kematian menurun menjadi 5-10% dan sering terjadi akibat miokarditis. Di Indonesia pada daerah kantong yang
10
belum terjamah imunisasi masih dijumpai kasus difteria berat dengan prognosis buruk. Bila antitoksin diberikan pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari 1%, namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6 akan menyebabkan angka kematian meningkat sampai 30%. Menurut Krugman, kematian mendadak pada kasus difteria dapat disebabkan oleh karena :
obstruksi jalan napas mendadak diakibatkan oleh terlepasnya membran difteri,
adanya miokarditis dan gagal jantung
paralisis diafragma sebagai akibat neuritis nervus nefrikus. Anak yang pernah menderita miokarditis atau neuritis sebagai
penyulit difteria, pada umumnya akan sembuh sempurna tanpa gejala sisa; walaupun demikian pernah dilaporkan kelainan jantung yang menetap.
11
BAB III PELAKSANAAN KEGIATAN
3.1. Waktu, Tempat, dan Peserta Penyuluhan Penyuluhan dilakukan Posyandu Raberas pada tanggal 12 April 2018. Peserta penyuluhan berasal dari kelompok ibu dan anak balita yang berjumlah sekitar 20 orang.
3.2. Pemantauan kegiatan di Lapangan Peserta penyuluhan tampak sangat antusias dengan materi yang disampaikan. Dalam sesi tanya jawab para peserta sangat aktif dalam bertanya masalah difteri.
12
BAB IV PERMASALAHAN DAN PEMECAHAN MASALAH
4.1 Pengamatan selama berinteraksi dengan peserta penyuluhan
Kurangnya pengetahuan peserta penyuluhan tentang bagaimana cara penularan difteri.
Kurangnya pengetahuan peserta tentang bagaimana cara mengurangi resiko penularan pada anak kecil.
Adapun pemecahan masalah yang dapat diupayakan adalah :
Memperbanyak pemberian informasi mengenai penyakit dfteri kepada masyarakat melalui kegiatan penyuluhan baik di dalam gedung maupun luar gedung.
Meningkatkan media penyuluhan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
13
BAB V PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Difteri merupakan penyakit menula yang disebabkan oleh Corynebacterum diphteriae
Gejala klinis penyakit ini seperti demam, adamya selaputputih keabuanpada tenggorokan, sakit saat menelan, leher membengkak seperti leher sapi, sesak nafas disertai bunyi.
Penyakit ini dapat dicegah memalui imunisasi DPT. Usia 2,3,dan 4 bulan.
14
DAFTAR PUSTAKA
Difteri. Dalam : Sumarmo S. Poorwo Soedarmo, Herry Garna,
Sri Rezeki S.
Hadinegoro, Hindra Irawan Satari. Buku ajar infeksi & pediatri tropis. Edisi II. Jakarta : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2008. h. 312 -21. Difteri
pada
anak.
Edisi
2009.
Diunduh
dari
www.idai.or.id/kesehatananak/artikel.asp?q=201111411912, 21 April 2018. Difteri.
Edisi
2012.
Diunduh
dari
http://dokteranakku.net/articles/2011/10/difteri.html, 20 April 2018. Difteria. Dalam : Herry Garna, Heda Melinda D. Nataprawira, Sri Endah Rahayuningsih, editor. Diagnosis dan terapi ilmu kesehtan anak. Edisi III. Bandung : Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran, 2005. H. 205-8. What
is
diphtheria.
Edisi
26
Desember
2010.
Diunduh
dari
http://nationalnursingreview.com/tag/diphtheria-treatment/, 23 Mei 2018.
15
16