Analysis Brief | 1
DIBALIK SURPLUS BANK INDONESIA
Nasyith Majidi Awalil Rizky
This Analysis Brief is part of the BRIGHT Indonesia research brief series. It present policy‐oriented summaries of individual published, peer review documents or of body of published work. BRIGHT Indonesia is a private institute devoted to independent & non‐partisan economic research. We provide high quality research analysis and recommendations for decision makers on the full range of challenges facing and increasingly interdependent world. Our innovative policy solutions to inform the public discussions.
www.brightindonesia.com © 2009 BRIGHT Indonesia . All rights reserved. No part of this publication may be used or reproduced in any manner whatsoever without permission in writing from BRIGHT Indonesia except in the case of brief quotations embodied in critical articles and reviews. Cover: Anton & Berty
Analysis Brief | 2
EXECUTIVE SUMMARY Laporan Keuangan Bank Indonesia selama enam tahun (2003‐2008) memperoleh Pendapat “Wajar Tanpa Pengecualian” dari BPK. Selama kurun itu, diperoleh surplus sebanyak lima kali, yaitu: Rp1.479 miliar (2003), Rp675 miliar (2004), Rp16.159 miliar (2005), Rp31.009 miliar(2006), Rp17.249 miliar (2008). Dan defisit sebesar Rp1.479 miliar pada tahun 2007. Sebagian surplus tahun 2003 dan 2006 disumbang oleh penerimaan luar biasa berkenaan dengan tagihan kepada Pemerintah. Tagihan itu sendiri terjadi terutama akibat krisis perbankan dan upaya pemulihannya, termasuk BLBI. Jika tidak diperhitungkan maka dialami defisit pada kedua tahun tersebut. Pos penerimaan bersesuaian dengan tugas BI, yaitu: Pengelolaan Moneter, Pengelolaan Sistem Pembayaran, Pengawasan Perbankan, ditambah dengan pos lainnya. Diluar pos penerimaan luar biasa, porsi penerimaan pengelolaan moneter selalu amat dominan, mencapai Rp 44,73 triliun atau 98,68 persen dari penerimaan total pada tahun 2008. Penerimaan pengelolaan moneter diperoleh dari pengelolaan devisa, kegiatan pasar uang, serta pemberian kredit dan pembiayaan. Porsi pengelolaan devisa selalu menjadi yang terbesar, tahun 2008 mencapai Rp40,20 triliun, yang terdiri atas: bunga sektor valas Rp20,68 triliun; provisi sektor valas Rp1,86 triliun; dan penerimaan valas lainnya Rp19,52 triliun. Penerimaan pengelolaan devisa mengalami peningkatan signifikan jika kurs rupiah semakin fluktuatif, baik menguat ataupun melemah. Dengan catatan, frekuensi dan nilai transaksi devisa berlangsung secara normal, apalagi jika meningkat. Secara lebih khusus, dampaknya dicerminkan oleh penerimaan selisih kurs sebagaimana terlihat pada tahun 2008 dan 2005. Sementara itu, penerimaan dari pengelolaan sistem pembayaran hanya sebesar Rp168,97 miliar, berasal dari jasa penyelenggaraan kliring dan jasa pengelolaan rekening. Sedangkan penerimaan pengawasan perbankan hanya sebesar Rp180,54 miliar. Kedua kelompok penerimaan tersebut bahkan lebih kecil pada tahun‐ tahun sebelumnya. Dalam melaksanakan tugasnya, BI membayar pengeluaran yang dicatat sebagai beban. Beban operasi pasar terbuka mencapai Rp20,84 triliun atau 74,20 persen dari total beban pada tahun 2008. Termasuk di dalamnya adalah beban diskonto SBI dan FASBI sebesar Rp19,93 triliun.
Analysis Brief | 3
Sementara itu, pengelolaan devisa yang menghasilkan penerimaan terbesar hanya memberi beban yang amat kecil, sebesar Rp36,31 miliar. Sudah termasuk beban pelaksanaan operasional cadangan devisa sebesar Rp31,09 miliar. Terkait dengan kontoversi OJK, beban untuk pengaturan dan pengawasan perbankan tahun 2008 tercatat sebesar Rp158,20 miliar, lebih kecil dari penerimaan yang sebesar Rp168,97 miliar. Hal ini adalah pertama kalinya selama beberapa tahun terakhir. Biasanya pengeluaran lebih besar daripada penerimaan. Kecenderungan defisit dalam pelaksanaan tugas ini perlu diperhitungkan, mengingat belum diperhitungkan pula beban SDM dan logistik. Beban SDM Bank Indonesia tahun 2008 adalah Rp 3,23 triliun, termasuk gaji dan insentif bagi Dewan Gubernur, beserta pegawai sebanyak 6.091 orang. Jika dirata‐rata maka setiap orang memperoleh Rp 531,26 juta per tahun atau Rp 44,27 juta per bulan. Sebagian cukup besarnya bertugas dalam pengaturan dan pengawasan perbankan. Dengan sendirinya ada pengeluaran terkait yang selama ini tercakup dalam beban untuk kantor pusat dan 41 kantor BI. Aspek keuangan ini perlu dihitung jika OJK dipisahkan dari BI, apalagi bila ingin dianggarkan dalam APBN sebagai suatu lembaga atau bagian dari departemen. Sepintas, keuangan BI akan diuntungkan. Namun permasalahannya menjadi lebih kompleks jika penerimaan lainnya secara tidak langsung akan terpengaruh akibat berkurangnya ”kekuasaan” BI. Wacana mengubah sebagian surat utang pemerintah (dan obligasi negara) sebagai bagian terbesar dari tagihan kepada Pemerintah juga akan berimplikasi besar pada keuangan BI dan Pemerintah sendiri. Kesepakatan kedua belah pihak, yang juga diketahui oleh DPR, sejauh ini cukup mengedepankan pertimbangan beban bagi APBN. Jika ada pihak lain lagi, maka akan ada kepentingan yang lebih sulit dikompromikan.
Analysis Brief | 4
PERKEMBANGAN SURPLUS BANK INDONESIA 2003‐2008 Ada dua hal yang mendorong BRIGHT Indonesia mengeluarkan Analysys Brief kali ini. Pertama, kontroversi mengenai Otoritas Jasa Keuangan yang kembali mengemuka beberapa waktu lalu seiring dengan pembahasan rancangan undang‐ undangnya. Salah satu yang diperdebatkan adalah tentang dikeluarkannya wewenang pengaturan dan atau pengawasan bank dari tugas Bank Indonesia (BI). Kedua, keinginan BI untuk mengubah sebagian status surat utang pemerintah yang dimilikinya, dari tidak bisa menjadi bisa diperdagangkan. Alasannya adalah untuk memperkuat kemampuan dalam operasi pasar terbuka sebagai salah satu instrumen kebijakannya. Kedua soal penting itu tentu saja memiliki kaitan erat dengan kondisi keuangan BI. Baik kondisi kini maupun di kemudian hari, jika ada perubahan peraturan perundang‐undangan. Brief ini akan memberi gambaran mengenai perkembangan keuangan BI selama enam tahun terakhir, sehingga implikasi keuangan dari perubahan yang mungkin akan terjadi bisa diperhitungkan.
A. Status, Kedudukan dan Tugas Bank Indonesia Bank Indonesia telah menjadi bank sentral sejak tahun 1953, menggantikan fungsi De Javasche Bank. Kedudukannya di masa Orde lama dan Orde Baru adalah sebagai bagian dari pemerintah. UU No.13/1968 menegaskan bahwa status dan peranan Bank Indonesia adalah membantu Pemerintah dalam melaksanakan kebijakan moneter yang disusun dan ditetapkan oleh Dewan Moneter. Pimpinan atau Gubernur BI hanya menjadi anggota dari dewan tersebut. Status dan peranan BI yang demikian dipandang oleh pemerintah dan DPR di era reformasi sebagai sudah tidak sesuai lagi. UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia, sebagaimana telah diubah dengan UU No.3/2004, memberi status dan kedudukan BI sebagai suatu lembaga negara yang independen dan bebas dari campur tangan Pemerintah ataupun pihak lainnya. Bank Indonesia diberikan kedudukan khusus dalam struktur ketatanegaraan Republik Indonesia, yang tidak sejajar dengan Lembaga Tinggi Negara, namun juga tidak sama dengan Departemen, karena berada diluar Pemerintah. Bank Indonesia dinyatakan sebagai badan hukum dalam arti yang meliputi badan hukum publik dan badan hukum perdata. Sebagai badan hukum publik, BI berwenang menetapkan peraturan‐peraturan yang mengikat masyarakat luas sesuai dengan tugas dan wewenangnya. Sedangkan sebagai badan hukum perdata, BI dapat bertindak untuk dan atas nama sendiri di dalam dan di luar pengadilan. Ada wewenang penuh dalam mengelola kekayaan sendiri, termasuk soal anggaran, yang dilaksanakan secara terpisah dan terlepas dari APBN. BI memang masih harus
Analysis Brief | 5
melaporkannya kepada DPR setelah sebelumnya diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Menurut Undang‐Undang, tujuan BI adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah yang dimaksud adalah kestabilan nilai rupiah terhadap barang dan jasa yang tercermin dari perkembangan laju inflasi serta kestabilan terhadap mata uang negara lain yang tercermin pada perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain. Dalam rangka tujuannya, Bank Indonesia menjalankan tiga tugas pokok. Pertama, menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, antara lain: menetapkan sasaran moneter dengan memperhatikan sasaran laju inflasi, melakukan pengendalian moneter, memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah kepada bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek, memberikan fasilitas pembiayaan darurat yang pendanaannya menjadi beban Pemerintah dalam hal suatu bank mengalami kesulitan keuangan yang berdampak sistemik dan berpotensi mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem keuangan, melaksanakan kebijakan nilai tukar, serta mengelola cadangan devisa. Kedua, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, antara lain: menetapkan penggunaan alat pembayaran, mengatur sistem kliring antar bank, menyelenggarakan kegiatan kliring, menyelenggarakan penyelesaian akhir transaksi pembayaran antar bank, mengeluarkan dan mengedarkan uang Rupiah serta mencabut, menarik dan memusnahkan uang dimaksud dari peredaran. Ketiga, mengatur dan mengawasi bank dirinci, antara lain: memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari bank, menetapkan peraturan, melaksanakan pengawasan bank dan mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan ketentuan perundang‐undangan. Untuk melaksanakan tugas‐tugas tersebut, BI dipimpin oleh Dewan Gubernur yang terdiri dari seorang Gubernur dan seorang Deputi Gubernur Senior, serta sekurang‐kurangnya 4 (empat) orang atau sebanyak‐banyaknya 7 (tujuh) orang Deputi Gubernur. Pada tahun 2008, operasional BI didukung oleh satu kantor pusat di Jakarta, 41 (empat puluh satu) Kantor Bank Indonesia yang tersebar di seluruh wilayah Republik Indonesia dan 4 (empat) Kantor Perwakilan Bank Indonesia di luar negeri, dengan jumlah pegawai sebanyak 6.091 orang. Secara legal formal dan menurut pengakuannya sendiri, BI menjalankan tugas dengan tidak berdasar pertimbangan komersial. Namun sebagai konsekwensi dari kegiatannya, diperoleh berbagai penerimaan sekaligus dibayar beberapa pengeluaran. Sesuai perundang‐undangan, BI wajib membuat laporan keuangan kepada DPR, setelah sebelumnya diaudit oleh BPK.
Analysis Brief | 6
Laporan Keuangan BI tahun 2008 lalu kembali memperoleh Pendapat “Wajar Tanpa Pengecualian” dari BPK. Predikat serupa dialami secara berturut‐turut dalam kurun waktu enam tahun (2003‐2008). Dari sisi ini, laporan keuangan BI jauh lebih baik daripada Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) yang justeru selalu dinyatakan disclaimer atau tidak berpendapat oleh BPK.
B. Perkembangan Penerimaan Bank Indonesia Laporan Keuangan BI mencatat pos‐pos penerimaan yang bersesuaian dengan tugasnya, yaitu: Pengelolaan Moneter, Pengelolaan Sistem Pembayaran, Pengawasan Perbankan, ditambah dengan pos lainnya. Di luar itu, kadang ada pos penerimaan luar biasa sehubungan dengan Tagihan kepada Pemerintah, terutama terkait BLBI, yakni pada tahun 2003 dan 2006. Tabel 1 Penerimaan Bank indonesia (Rpmiliar) 1. Pengelolaan Moneter 2. Pengelolaan Sistem Pembayaran 3. Pengawasan Perbankan 4. Lainnya JUMLAH
2003 17.949,5 98,2 10,8 115,2 18.173,6
2007
2008
20.353,9 39.868,6 22.386,1 28.387,3 104,2 115,7 131,9 153,1 21,3 37,0 83,2 145,9 192,0 677,5 8.436,5 350,2 20.671,3 40.698,8 31.037,7 29.036,5
2004
2005
2006
44.731, 4 169,0 180,6 250,2 45.331,2
Sumber: Bank Indonesia,diolah
1. Penerimaan Pengelolaan Moneter Diluar pos penerimaan luar biasa, porsi penerimaan pengelolaan moneter selalu amat dominan, mencapai Rp44,73 triliun atau 98,68 persen dari penerimaan total pada tahun 2008. Nilai dan porsi pada tahun‐tahun sebelumnya berfluktuasi, yakni: Rp28,39 triliun atau 97,76 persen (2007), Rp22,39 triliun atau 72,13 persen (2006), Rp39,87 triliun atau 97,96 persen (2005), Rp20,35 triliun atau 98,47 persen (2004), Rp 17,95 triliun atau 98,77 persen (2003). Penerimaan pengelolaan moneter diperoleh dari pengelolaan devisa, kegiatan pasar uang, serta pemberian kredit dan pembiayaan. Porsi pengelolaan devisa selalu menjadi yang terbesar setiap tahunnya. Pada tahun 2008 mencapai Rp40,20 triliun, yang terdiri atas: bunga sektor valas Rp20,68 triliun; provisi sektor valas Rp1,86 triliun; dan penerimaan valas lainnya Rp19,52 triliun. Tabel 2 Penerimaan Valuta Asing (Rpmiliar) 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Transaksi derivatif 0 0 2,4 0 0 0 Bunga sektor valas 5.507,5 6.733,7 9.590,6 12.844,8 18.281,5 20.681,1 Provisi sektor valas 2,2 2,2 1,8 1,7 1,3 1,9 Lainnya 5.376,7 9.697,2 25.203,3 6.294,0 5.930,7 19.520,5 Total 10.886,3 16.433,0 34.798,1 19.140,4 24.213,5 40.203,5 Sumber: Bank indonesia, diolah
Analysis Brief | 7
Penerimaan pengelolaan devisa mengalami peningkatan signifikan jika kurs rupiah semakin fluktuatif, baik menguat ataupun melemah. Dengan catatan, frekuensi dan nilai transaksi devisa berlangsung secara normal, apalagi jika meningkat. Secara awam, BI tampak berfungsi sebagai ”bandar” dalam transaksi valas. Salah satu indikasinya adalah nilai penerimaan ini yang cukup dramatis pada tahun 2005 dan 2008. Sebagaimana diketahui, kurs rupiah selama kedua tahun itu lebih berfluktuatif daripada tahun lainnya. Secara lebih khusus, dampaknya dicerminkan oleh penerimaan selisih kurs yang jauh lebih besar dibanding pada tahun‐tahun lain. Penerimaan selisih kurs termasuk dalam kategori penerimaan valas lainnya pada tabel 2. Nilainya adalah sebesar Rp3,35 triliun (2003), Rp7,91 triliun (2004), Rp23,59 triliun (2005), Rp4,84 triliun (2006), Rp3,43 triliun (2007), dan Rp14,75 triliun (2008). Penerimaan dengan porsi besar dan cenderung terus meningkat adalah dari bunga sektor valas, yang pada tahun 2008 mencapai Rp20,68 triliun (lihat tabel 2). Peningkatannya seiring dengan cadangan devisa yang dikuasai Bank Indonesia yang juga cenderung terus meningkat dari tahun ke tahun. Meskipun cadangan devisa sempat mengalami penurunan pada triwulan terakhir tahun 2008, pada pertengahan tahun sempat membuat rekor tertinggi selama ini. Pengelolaan moneter oleh BI dilakukan melalui berbagai cara, antara lain : operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing; penetapan tingkat diskonto; penetapan cadangan wajib minimum; pengaturan kredit atau pembiayaan. Selain itu, ada beberapa hal penting yang disebutkan dalam undang‐ undang, yaitu: fungsi lender of the last resort dari BI, pelaksanaan kebijakan nilai tukar, wewenang mengelola cadangan devisa, dan penyelenggaraan survei. Bank Indonesia melaksanakan kebijakan nilai tukar berdasarkan nilai tukar yang ditetapkan. Penetapan nilai tukar dilakukan oleh Pemerintah dalam bentuk Keputusan Presiden berdasarkan usul Bank Indonesia. Kewenangan Bank Indonesia dalam melaksanakan kebijakan nilai tukar ini antara lain dapat berupa : dalam sistem nilai tukar tetap berupa devaluasi atau revaluasi terhadap mata uang asing; dalam sistem nilai tukar mengambang berupa intervensi pasar; dalam nilai tukar mengambang terkendali berupa penetapan nilai tukar harian serta lebar pita intervensi. Dalam hal pengelolaan cadangan devisa, Bank Indonesia melaksanakan berbagai jenis transaksi devisa serta dapat menerima pinjaman luar negeri. Yang dimaksud dengan cadangan devisa adalah cadangan devisa negara yang dikuasai oleh Bank Indonesia yang tercatat pada sisi aktiva Bank Indonesia yang antara lain berupa emas, uang kertas asing, dan tagihan lainnya dalam valutas asing kepada pihak luar negeri yang dapat dipergunakan sebagai alat pembayaran luar negeri. Pengelolaan
Analysis Brief | 8
cadangan devisa oleh Bank Indonesia dilakukan melalui berbagai jenis transaksi devisa yaitu menjual, membeli, dan atau menempatkan devisa, emas dan surat‐surat berharga secara tunai atau berjangka termasuk pemberian pinjaman. Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia mengaku mempertimbangkan 3 (tiga) azas utama dengan skala prioritas, yaitu : likuiditas (liquidity), keamanan (security), dan pendapatan yang optimal (profitability). Dalam rangka pengelolaan cadangan devisa dan untuk memperkuat posisi neraca pembayaran, Bank Indonesia bisa melakukan pinjaman luar negeri atas nama dan menjadi tanggung jawabnya sendiri. Pinjaman dimaksud dapat dipantau oleh DPR melalui hasil pemeriksaan keuangan oleh BPK. Pinjaman luar negeri BI per 31 Desember 2008 adalah sebesar Rp 7.479.880 juta, yang terdiri dari : a. Pinjaman sindikasi dari bank luar negeri Rp7.424.909 juta; b. Pinjaman non sindikasi dari bank luar negeri Rp47.279 juta; dan c. Bunga yang masih harus dibayar Rp7.692 juta. Pinjaman Sindikasi dari bank luar negeri merupakan pinjaman sindikasi dari bank‐bank internasional kepada Bank Indonesia atas nama Pemerintah yang digunakan untuk cadangan devisa nasional. Pinjaman Sindikasi terdiri dari: 1) Pinjaman Sindikasi Tahun 1994 dari kreditur luar negeri dengan Mitsubishi Securities, Hongkong Branch yang bertindak sebagai agent, jumlah pinjaman sebesar USD500,000,000.00 dan pinjaman tersebut ditandatangani pada tanggal 28 Maret 1994. Pembayaran pokok dilakukan semesteran yaitu setiap bulan Maret dan September, yang Pembayaran pokok pertama telah dilakukan pada tanggal 28 Maret 2002. Saldo dalam valuta asing pada tanggal 31 Desember 2008 adalah sebesar USD123,287,290.05 dan JPY4,856,724,715.00. 2) Pinjaman Sindikasi Tahun 1995, dari bank luar negeri dengan The Mizuho Corporate Bank, Ltd., Singapore Branch yang bertindak sebagai agent, jumlah pinjaman sebesar USD500,000,000.00 dan pinjaman tersebut ditandatangani pada tanggal 14 Juni 1995. Pembayaran pokok dilakukan secara semesteran yaitu setiap bulan Juni dan Desember dengan pembayaran pokok pertama tanggal 14 Juni 2002. Saldo pada tanggal 31 Desember 2008 adalah sebesar USD386,179,200.00 dan JPY10,372,723,491.00. 2. Penerimaan pengelolaan sistem pembayaran Penerimaan dari pengelolaan sistem pembayaran pada tahun 2008 adalah sebesar Rp168,97 miliar, yang berasal dari Jasa Penyelenggaraan Kliring sebesar Rp91.949 juta dan Jasa Pengelolaan Rekening sebesar Rp77.025 juta. Meskipun memiliki porsi yang amat kecil dari total penerimaan BI, kecenderungannya adalah meningkat secara konsisten selama enam tahun (lihat tabel 3).
Analysis Brief | 9
Tabel 3 Penerimaan Pengelolaan Sistem Pembayaran (Rpmiliar) 2003 2004 2005 2006 2007 2008 penyelenggaraan kliring ‐ ‐ 75,8 83.769 0,893 91.949 pengelolaan rekening ‐ ‐ 39,9 48.115 152.230 77.025 98,2 104,2 115,7 153,1 169,0 JUMLAH 131,9 Sumber: Bank Indonesia, diolah Dalam rangka mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, Bank Indonesia berwenang untuk melaksanakan dan memberikan persetujuan dan izin atas penyelenggaraan jasa sistem pembayaran, mewajibkan penyelenggara jasa sistem pembayaran untuk menyampaikan laporan kegiatannya serta menetapkan penggunaan alat pembayaran. Sedangkan penetapan alat pembayaran dimaksudkan agar alat pembayaran yang digunakan dalam masyarakat memenuhi persyaratan keamanan bagi pengguna. Termasuk pula dalam wewenang ini adalah membatasi penggunaan alat pembayaran tertentu dalam rangka prinsip kehati‐hatian. Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan terhadap penyelenggara jasa sistem pembayaran. Termasuk adanya pemeriksaan khusus atas mereka. Bank Indonesia berhak memutuskan perlu atau tidaknya pemeriksaan berdasar informasi atau indikasi apa pun, yang dinilainya sendiri. Bank Indonesia berwenang mengatur sistem kliring antarbank dalam mata uang rupiah dan atau valuta asing yang meliputi sistem kliring domestik dan lintas negara. Penyelenggaraan kegiatan kliring antarbank baik dalam rupiah maupun valuta asing serta penyelesaian akhir transaksi pembayaran antarbank dilakukan oleh Bank Indonesia atau pihak lain yang mendapat persetujuan dari Bank Indonesia. Sesuai dengan amanat UUD 1945, Bank Indonesia merupakan satu‐satunya lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan dan mengatur peredaran uang rupiah. Termasuk dalam kewenangan ini adalah mencabut, menarik serta memusnahkan uang serta menetapkan macam, harga, ciri uang yang akan dikeluarkan, bahan yang digunakan dan penentuan tanggal mulai berlakunya sebagai alat pembayaran yang sah. Sebagai konsekuensi dari ketentuan tersebut, maka Bank Indonesia harus menjamin ketersediaan uang di masyarakat dalam jumlah yang cukup dan dengan kualitas yang memadai.
3. Penerimaan Pengawasan Perbankan Penerimaan pengawasan perbankan pada tahun 2008 adalah sebesar Rp180,54 miliar. Meskipun porsinya kecil, nilainya selalu meningkat dari tahun‐ke tahun, yaitu: Rp145,86 miliar (2007), Rp83,23 miliar (2006), Rp37,01 miliar (2005), Rp21,28 miliar (2004), dan Rp10,85 miliar (2003). Penerimaan tersebut terkait dengan pelaksanaan tugas mengatur dan mengawasi bank. Menurut perundang‐undangan, BI menetapkan peraturan,
Analysis Brief | 10
memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu bank, melaksanakan pengawasan bank, serta mengenakan sanksi terhadap bank. Pengawasan yang dilakukan meliputi pengawasan langsung dan tidak langsung, dimana hal ini dapat dilakukan terhadap perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait dan pihak terafiliasi dari bank apabila diperlukan. Pemeriksaan terhadap bank dilakukan secara berkala maupun setiap waktu apabila diperlukan dan dapat dilakukan terhadap perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait dan pihak terafiliasi dari bank apabila diperlukan. Dalam melakukan pemeriksaan, BI dapat menugasi pihak lain untuk dan atas nama Bank Indonesia. Sebenarnya, dalam UU No.23/1999 ditetapkan bahwa tugas mengawasi bank akan dialihkan kepada lembaga pengawasan sektor jasa keuangan independen yang dibentuk berdasarkan undang‐undang. Tugas yang dialihkan kepada lembaga ini tidak termasuk tugas pengaturan bank serta tugas yang berkaitan dengan perizinan. Lembaga pengawasan independen ini akan melakukan pengawasan terhadap semua lembaga jasa keuangan seperti bank, asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan serta badan‐badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat. Dalam perkembangan berikutnya, ada beberapa perubahan dan sebagian masih diperdebatkan dalam rancangan tentang undang‐undang terkait hal ini. Secara wacana, lembaga dimaksud biasa disebut sebagai otoritas jasa keuangan (OJK). Konsep persisnya masih terus digodog, terutama sekali melibatkan pihak Bank Indonesia dan Departeman Keuangan. Pada giliran berikutnya juga akan ditentukan oleh DPR ketika menjadi pembahasan rancangan Undang‐Undang.
C. Penerimaan Luar Biasa Laporan keuangan Bank Indonesia mencatat adanya penerimaan luar biasa pada tahun‐tahun tertentu. Penerimaan Luar Biasa tahun 2006 sebesar Rp37.932.680 juta berasal dari restrukturisasi SUP Nomor SU‐002/MK/1998 dan SU‐004/MK/1999 sesuai Kesepakatan Bersama antara Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia tanggal 18 April 2006 tentang Restrukturisasi SU‐002 dan SU‐004. Penerimaan dari Pos Luar Biasa sebesar Rp8.645.314 juta bersumber dari penghapusbukuan pokok SUBI sebesar Rp24.500.000 juta dan Kewajiban bunga SUBI sebesar Rp797.745 juta, setelah dikurangi beban sehubungan penghapusbukuan tagihan bunga SUP No. SU‐001/MK/1998 dan SU‐003/MK/1999 sebesar Rp16.652.431 juta, dalam rangka pelaksanaan Kesepakatan Bersama antara Pemerintah dan Bank Indonesia mengenai Penyelesaian BLBI serta Hubungan Keuangan Pemerintah dan Bank Indonesia tanggal 1 Agustus 2003. Penerimaan luar biasa semacam ini masih mungkin terjadi pada tahun‐tahun mendatang mengingat besarnya Saldo Tagihan kepada Pemerintah per 31 Desember
Analysis Brief | 11
2008 yang mencapai Rp263,74 triliun. Yang terbesar diantaranya adalah berupa Surat Utang Pemerintah (SUP) Rp128,82 triliun dan Obligasi Negara Seri SRBI‐01/MK/2003 Rp129,34 triliun. SUP tersebut terdiri dari: SU‐002/MK/1998 Rp 20.000.000 juta, SU‐ 004/MK/1999 Rp 53.779.500 juta, SU‐005/MK/1999 Rp 1.218.592 juta, SU‐ 007/MK/2006 Rp 53.817.977 juta. Obligasi Negara Seri SRBI‐01/MK/2003 (SRBI‐01) sendiri diterbitkan sebagai pengganti SUP Nomor SU‐001/MK/1998 dan Nomor SU‐ 003/MK/1999 dalam rangka pelaksanaan Kesepakatan Bersama antara Pemerintah dan Bank Indonesia mengenai Penyelesaian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia serta Hubungan Keuangan Pemerintah dan Bank Indonesia tanggal 1 Agustus 2003. SRBI‐01 telah mengalami dua kali perubahan sebagai berikut: a) Perubahan SRBI‐01 yang disampaikan dengan surat Menteri Keuangan Nomor S‐10/MK.8/2006 tanggal 19 Desember 2006 karena adanya pembayaran angsuran pokok SRBI‐01 pada tahun 2006 sebesar Rp1.522.471 juta yang berasal dari surplus Bank Indonesia tahun 2005 yang menjadi bagian Pemerintah, sehingga pokok SRBI‐01 menjadi Rp143.013.623 juta. b) Perubahan Kedua SRBI‐01 yang disampaikan dengan surat Menteri Keuangan Nomor S‐68/MK.8/2007 tanggal 15 Mei 2007 karena adanya pembayaran angsuran pokok SRBI‐01 pada tahun 2007 sebesar Rp13.669.321 juta yang berasal dari surplus Bank Indonesia tahun 2006 yang menjadi bagian Pemerintah.
D. Perkembangan Pengeluaran Dalam melaksanakan tugasnya, BI membayar pengeluaran yang dicatat sebagai beban. Beban operasi pasar terbuka menjadi pengeluaran terbesar, mencapai Rp20,84 triliun atau 74,20 persen dari total beban pada tahun 2008. Termasuk di dalamnya, beban diskonto SBI dan FASBI sebesar Rp19,93 triliun. Tabel 4 Beban Operasi Pasar Terbuka (Rpjuta) Penelitian Uang Beredar Pengembangan Penetapan dan Pelaksanaan Kebijakan Uang Beredar Pelaksanaan Operasional Uang Beredar Pelaksanaan Kebijakan Uang Beredar
2006 7.185 1.736 3.731 22.824.848
2007 2008 8.510 5.337 2.213 26 5.225 8.533 24.447.281 20.823.399
Sumber: Bank Indonesia, diolah
Sementara itu, pengelolaan devisa yang menghasilkan penerimaan terbesar (Rp40,2 triliun) justeru tercatat sebagai beban yang relatif amat kecil, sebesar Rp36,31 miliar pada tahun 2008. Yang terbesar adalah sebagai beban pelaksanaan operasional cadangan devisa sebesar Rp31,09 miliar.
Analysis Brief | 12
Terkait dengan kontoversi OJK, perlu diketahui bahwa beban untuk pengaturan dan pengawasan perbankan tahun 2008 tercatat sebesar Rp158,20 miliar, lebih kecil dari penerimaan yang sebesar Rp168,97 miliar. Hal ini adalah pertama kalinya selama beberapa tahun terakhir. Biasanya pengeluaran lebih besar daripada penerimaan, seperti : Rp153,29 miliar berbanding Rp145,86 miliar (2007), Rp123,70 miliar berbanding Rp83,23 miliar (2006). Kecenderungan defisit dalam pos ini perlu diperhitungkan, selain pencermatan atas beban umum, terutama SDM dan logistik. Beban SDM Bank Indonesia tahun 2008 adalah Rp 3,23 triliun, termasuk gaji dan insentif bagi Dewan Gubernur, beserta pegawai sebanyak 6.091 orang. Sebagian cukup besarnya bertugas dalam pengaturan dan pengawasan perbankan. Juga ada pengeluaran terkait yang selama ini tercakup dalam beban untuk kantor pusat dan 41 kantor BI. Tabel 5 Beban SDM dan Jumlah Pegawai (Rpjuta) 2004 2005 2006 2007 2008 Beban SDM 2.455.849 2.378.008 2.701.642 2.726.172 3.235.905 5.570 5.981 6.091 Jumlah Pegawai 6.108 6.339 440,9 397,59 531,26 Beban per orang 442,31 430,06 Sumber: Bank Indonesia, diolah
E. Perkembangan Surplus dan Bagian Pemerintah Sesuai hasil pemeriksaan BPK‐RI atas Laporan Keuangan Tahunan Bank Indonesia Tahun 2008, rasio modal terhadap kewajiban moneter Bank Indonesia adalah sebesar 10,38%. Sementara itu, berdasarkan Undang‐Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang‐ Undang Nomor 6 Tahun 2009, Surplus Bank Indonesia dibagi sebesar 30% untuk Cadangan Tujuan (selama penyelesaian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia belum berakhir Cadangan Tujuan ditetapkan sebesar 10%) dan sisanya dipupuk sebagai Cadangan Umum sehingga jumlah modal dan Cadangan Umum menjadi 10% dari kewajiban moneter. Dengan demikian, terdapat kelebihan surplus yang menjadi bagian Pemerintah sebesar 0,38% dari kewajiban moneter Bank Indonesia atau sebesar Rp2.646 miliar. Berdasarkan Kesepakatan Bersama antara Pemerintah dan Bank Indonesia tanggal 27 November 2006, sisa surplus tersebut akan digunakan untuk mengangsur pokok Obligasi Negara No.SRBI‐01/MK/2003. Dengan angsuran tersebut, hingga saat ini telah dilakukan tiga kali angsuran pokok Obligasi Negara No.SRBI‐01/MK/2003 melalui cara pelunasan yang bersumber dari surplus Bank Indonesia. Rasio Modal terhadap Kewajiban Moneter per tanggal 31 Desember 2008 adalah 10,38%. Jumlah yang diperhitungkan sebagai berikut: Modal Rp 7.610.885 juta; Cadangan Umum Rp 49.663.865 juta; Dan 90% Surplus Tahun Berjalan Rp 15.524.060 juta. Sedangkan Kewajiban Moneter yang diperhitungkan terdiri dari : Uang dalam
Analysis Brief | 13
Peredaran Rp 264.399.922 juta; Giro Pemerintah Rp 97.228.550 juta; Giro Bank Rp 85.197.077 juta; Giro Pihak Swasta Lainnya (tidak termasuk rekening Giro IMF, Giro Bank Dunia, dan Giro ADB) Rp 652.491 juta; Surat Berharga yang Diterbitkan Rp 253.840.471 juta; dan Pinjaman dari Pemerintah Rp 206.023 juta. Selama enam tahun terakhir, BI memeperoleh surplus sebanyak lima kali, yaitu: Rp1.479 miliar (2003), Rp675 miliar (2004), Rp16.159 miliar (2005), Rp31.009 miliar(2006), Rp17.249 miliar (2008). Dan sekali mengalami defisit sebesar Rp1.479 miliar pada tahun 2007. Akan tetapi jika tidak memperhitungkan penerimaan luar biasa maka BI mengalami defisit tiga kali dan surplus tiga kali (lihat tabel 5). Tabel 6 Surplus (Defisit) Bank Indonesia (Rpmiliar)
2003
2005
2006
2007
PENERIMAAN
18.173,6 20.671,3 40.698,8
31.037,7
29.036,5
45.331,2
BEBAN
25.340,3 19.996,4 24.539,4
37.960,9
30.458,5
28.082,.2
SURPLUS (DEFISIT)
(7.166,6)
Penerimaan Luar Biasa
8.645,3
SURPLUS (DEFISIT) setelah Pos LB
1.478,7
2004
674,9 16.159,4
2008
(6.923,3)
(1.422,)
17.249,0
0
37.932,7
0
0
674,9 16.159,4
31.009,43
(1.422, 0)
17.249,0
0
Sumber: Bank Indonesia, diolah
F. Penutup Meskipun Bank Indonesia menjalankan tugas dengan tidak berdasar pertimbangan komersial, namun kegiatannya berdampak pada penerimaan dan pengeluaran yang setiap tahun bisa menimbulkan kondisi surplus atau defisit. Laporan Keuangan BI selama enam tahun (2003‐2008) memperoleh Pendapat “Wajar Tanpa Pengecualian” dari BPK. Selama kurun itu, BI memeperoleh surplus sebanyak lima kali, hanya sekali mengalami defisit pada tahun 2007. Akan tetapi sebagian surplus disumbang oleh penerimaan luar biasa berkenaan dengan tagihan kepada Pemerintah. Tagihan itu sendiri terjadi terutama akibat krisis perbankan dan upaya pemulihannya, termasuk BLBI. Wacana mengubah sebagian surat utang pemerintah (dan obligasi negara) sebagai bagian terbesar dari tagihan kepada Pemerintah akan berimplikasi besar pada keuangan BI dan Pemerintah sendiri. Kesepakatan kedua belah pihak, yang juga diketahui oleh DPR, sejauh ini cukup mengedepankan pertimbangan beban bagi APBN. Jika ada pihak lain lagi, maka akan ada kepentingan yang lebih sulit dikompromikan. Bank Indonesia juga perlu berhati‐hati dalam hal penerimaan pengelolaan devisa yang mengalami peningkatan signifikan jika kurs rupiah semakin fluktuatif, baik
Analysis Brief | 14
menguat ataupun melemah. Kesan bahwa keuangan BI justeru diuntungkan oleh hal itu bisa menimbulkan kecurigaan pihak lain, yang bisa menimbulkan ekspektasi tidak diharapkan terhadap cara pengelolaan nilai kurs. Pada sisi beban, sewajarnya pula jika BI berupaya keras menekan pengeluaran untuk operasi pasar terbuka. Meskipun tujuannya bisa difahami, namun kemungkinan adanya moral hazard oleh oknum tertentu bisa berbiaya besar bagi perekonomian. Terkait dengan kontoversi OJK, beban untuk pengaturan dan pengawasan perbankan tahun 2008 tercatat sebesar Rp158,20 miliar, lebih kecil dari penerimaan yang sebesar Rp168,97 miliar. Hal ini adalah pertama kalinya selama beberapa tahun terakhir. Biasanya pengeluaran lebih besar daripada penerimaan. Kecenderungan defisit dalam pelaksanaan tugas ini perlu diperhitungkan, mengingat belum diperhitungkan pula beban SDM dan logistik.
Analysis Brief | 15