DIALEKTIKA AGAMA DAN SAINS: Upaya Menemukan Pemahaman Integratif dalam Bingkai Filsafat
M. Lutfi Mustofa
A. Pendahuluan
Sedikitnya ada dua fenomena menarik dalam realitas
kehidupan
pengetahuan
kontemporer.
dengan
corak
Pertama,
empiris
dan
ilmu metode
kuantitatifnya cenderung menduduki “peran utama”. Kedua, pada beberapa kalangan mengalami semacam “kegairahan beragama”. Fenomena pertama, yang sedikit atau banyak dipengaruhi oleh
perkembangan
positivisme
August
Comte dengan hukum tiga tahapnya,1 telah merombak tatanan kehidupan manusia. Dengan metode ilmiah yang ada di dalamnya, pengetahuan manusia telah dibatasi pada obyek yang dihasilkan oleh observasi inderawi semata. Akibatnya, kebenaran suatu pengetahuan hanya
Dalam karyanya, Cours de philosophie positive dan Discours sur l’esprit Positive, August Comte menjelaskan bahwa sejarah umat manusia, juga jiwa manusia, baik secara individual maupun secara keseluruhan, berkembang menurut tiga tahap, yaitu tahap teologi atau fiktif, tahap metafisik atau abstrak dan tahap positif atau riil. Lihat Koento Wibisono Siswomihardjo, Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme August Comte, (Yogyakarta: UGM Press, 1983), 11. 1
2
dapat dipahami dalam batas perhitungan kuantitatif dan dalam dunia fisik.2 Dengan
ciri
semacam
itu,
ilmu
pengetahuan
memang telah membuat banyak kemajuan di berbagai bidang. Misalnya, dengan teknologi sebagai produk utamanya, manusia telah menciptakan “alam kedua”, sehingga
hidupnya
tidak
lagi
sepenuhnya
berjalan
menurut siklus alamiah yang diatur oleh ritme alam. Dengan ilmu pengetahuan dan teknologi pula, manusia mampu
menentukan
masa
depan
dengan
caranya
sendiri. Menurut Charris Zubair, pendek kata manusia sekarang tidak mungkin melepaskan diri dan hidup tanpa teknologi.3 Bahkan, dalam banyak hal teknologi seolah sudah “mencampuri” urusan yang di masa silam dianggap sebagai wilayah Tuhan dalam penciptaan. Namun, perkembangan ilmu pengetahuan positif itu masih menyisakan suatu ironi, bahwa kemiskinan, kelaparan dan kebodohan belum juga segera teratasi. Pandangan dunia ini yang mendasari pergeseran makna science sebagai berasal dari Bahasa Latin scire yang berarti mengetahui, menjadi “pengetahuan yang sistematis tentang alam dan dunia fisik”. Lihat Webster’s New World Dictionary of the American Language, (Cleveland and New York: The World Publishing Company, 1962), 1305. 3 Achmad Charris Zubair, “Landasan Aksiologi Ilmu Pengetahuan,” makalah seminar di Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta, Oktober 1997, 7. 2
3
Bahkan, jarak antara si kaya dan si miskin semakin tajam, keadilan dan kejujuran semakin menjadi barang langka, serta kebenaran semakin mudah direkayasa. Fakta-fakta kemanusiaan ini tidak sejalan dengan citacita (das sollen) ilmu pengetahuan, karena semula ilmu pengetahuan dan teknologi itu dikembangkan justru demi upaya pembebasan manusia dan memudahkan mereka dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah hidup. Kesenjangan dikarenakan
tersebut
terjadi,
gagasan-gagasan
menurut
positivistik
Charris, cenderung
untuk menyisihkan seluruh pemahaman yang diperoleh secara
refleksif,
penghayatan
terlebih
iman.
yang
Selain
itu,
diperoleh juga
dari
adanya
kecenderungan memisahkan--untuk tidak mengatakannya menolak--keterkaitan antara dunia materi dengan nonmateri, dunia fisik dengan non-fisik, dan dunia dengan akhirat.4 Dengan kecenderungan semacam ini, maka secara filsafati sebenarnya sains dan teknologi telah membawa manusia ke arah pemahaman kebenaran semu dan
bukan
kebenaran
hakiki.
Lebih
jauh
dari itu,
perkembangan sains dan teknologi juga membawa bentuk Ibid.
4
4
keterasingan dan kehilangan kepekaan atas matra ruhani manusia. Manusia menjadi kehilangan kontak ruhaniahnya dengan dirinya sendiri, manusia lain, alam lingkungan, dan dengan sesuatu yang bersifat transenden. Oleh karena itu, demi mengurangi kecenderungan negatif tersebut diperlukan usaha dan pemikiran yang sungguh-sungguh untuk menegaskan kembali kedudukan filsafat
ilmu
(philosophy
of
science)
dalam
perkembangan sains dan teknologi. Reposisi filsafat ilmu ini
diperlukan
sebagai
sarana
untuk
mengutuhkan
pemahaman tentang kebenaran yang hendak dicapai manusia. Dengan begitu, pada gilirannya kedudukan dan fungsi agama dikukuhkan bukan sebagai bersifat ritualceremonial
belaka,
tetapi
merupakan
puncak
dari
penemuan manusia atas kebenaran yang sesungguhnya. Filsafat
ilmu
bertugas
mengantarkan
manusia
menemukan kebenaran yang utuh. Dengan kata lain, filsafat ilmu tidak hendak membangun mazhab ilmu pengetahuan yang tidak dapat mengapresiasi atau mengakui tingkat kebenaran di luar matra duniawi. Wal hasil,
manusia
tidak
perlu
lagi
dihadapkan
pada
5
kebimbangan
antara
memilih
rasionalisme
ataukah
agama dan pemahaman ilmiah ataukah religius. Sebab, dalam perspektif filsafat ilmu sesungguhnya persoalan “dilematis” semacam itu memang tidak seharusnya terjadi. Dengan
kesadaran
yang
bersumber
dari
penghayatan filosofis tersebut membawa kita pada fenomena tumbuhnya kesadaran spiritual baru. Bahwa, manusia mulai menyadari apa yang dipelajari dengan teliti melalui sains dan teknologi hanya merupakan satu aspek dari realitas hidup sesungguhnya yang jauh lebih kaya. Masih banyak sisi dari kehidupan yang tidak dapat dijelaskan oleh sains maupun teknologi. Indikasinya terlihat
dari
polemik
epistemologis
yang
terus
menggugat legitimasi, validitas, supremasi dan kualitas kepastian ilmu. Dengan ilmu pengetahuan yang ada sekarang, manusia ternyata masih bergumul dengan masalah-masalah
mendasar
seperti
“metron”
(tolok
ukur), “problematika Heraklitos-Parmenides” (tunggaljamak,
permanensi-perubahan),
problema
Kant
6
mengenai
“das
Ding
an
sich”
dan
“Ratio
Pura”.5
Kenyataan ini dikarenakan manusia dengan sains yang dimilikinya merasakan adanya sesuatu yang hilang dari eksistensi dirinya, yakni spiritualitasnya. Hossein Nasr dalam Islam and the Pligh of Modern Man menegaskan bahwa akibat masyarakat modern yang mendewakan sains dan teknologi menjadikan mereka berada dalam wilayah
pinggiran
eksistensinya
sendiri,
bergerak
menjauh dari pusat, sementara pemahaman agama yang berdasarkan wahyu mereka tinggalkan dan hidup dalam keadaan sekuler.6 Ketika
modernisme
dengan
positivismenya
meletakkan ilmu-ilmu positif lebih dominan dari yang lain, maka agama justru terletak pada jenjang terendah dalam struktur ilmu pengetahuan. Ketika kebenaran pengetahuan
agama
ditempatkan
sedemikian
rupa,
sehingga kedudukan dan fungsinya dianggap kurang signifikan,
maka
itulah
yang
menjadi
sebab
awal
A.M.W. Pranarka, Pendekatan Multi Interdisiplin Sebuah Refleksi Kefilsafatan, makalah seminar Fakultas filsafat UGM, Yogyakarta, Oktober 1997, 5. 5
M. Amin Syukur, Menggugat Tasawuf: Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), 112. 6
7
tumbuhnya kesulitan-kesulitan dalam ilmu pengetahuan untuk menjelaskan realitas dalam kehidupan manusia dewasa ini. Oleh karena itu, dalam konteks dunia Islam, upaya restrukturisasi ilmu pengetahuan manusia mutlak diperlukan. Agama harus diletakkan kembali sebagai paradigma
sains,
karena
justru
agama
lah
yang
mengantarkan manusia pada kebenaran Ilahiyah. Agama dijadikan
sebagai
suatu
kaidah
yang
membuka
pemecahan alternatif yang mengatasi semua konsep rasional semata-mata. Alasannya sederhana saja, masih banyak yang berada di luar batas kemampuan akal rasional manusia, dan berada di luar batas pengalaman keseharian manusia, dan itu adalah kebenaran. B. Kedudukan Agama dalam Perkembangan Sains
Pengaruh perkembangan Ilmu pengetahuan (sains) di
akhir
abad
masyarakat
ke-16
Barat
telah
berbeda
menciptakan dari
pada
persepsi saat-saat
ditanamkan dasar-dasar paradigmatiknya. Jika filsafat dapat dipahami sebagai manifestasi kegiatan intelektual, maka tradisi ilmiah dalam kehidupan masyarakat Barat
8
modern tidak lain merupakan kelanjutan dari perjalanan panjang kehidupan orang-orang Yunani Kuno. Dengan demikian, seperti dikemukakan oleh Koento Wibisono7, pada awal kelahirannya ilmu pengetahuan yang
sesungguhnya
mempunyai
corak
berikutnya,
melalui
mengalami
identik mitologik. para
dengan Pada
filsuf
demitologisasi
filsafat
perkembangan
pra-Socrates
dan
itu
pada
filsafat
puncaknya
berkembang menjadi “ilmu pengetahuan”. Sampai di sini hingga pasca Arsitoteles, meskipun filsafat berkembang menjadi ajaran praktis, namun pada masa Agustinus dan Thomas Aquinas filsafat berjalan seiring dengan agama. Pertemuan antara filsafat dengan agama tersebut menemukan lahirnya
batu
berbagai
astronomi,
pijakannya, bidang
kedokteran,
ilmu
sehingga
mendorong
pengetahuan
psikologi,
biologi,
seperti aljabar,
geometri, arsitektur dan sebagainya, pada saat berada dalam perawatan para fiolosof muslim di abad 9 – 13 M. Perkembangan
pesat
ini
bukan
semata-mata
Koento Wibisono Siswomihardjo, Gagasan Strategik tentang Kultur Keilmuan pada Pendidikan Tinggi, dalam Achmad Charis Zubari dkk. (Peny.), Aktualisasi Filsafat: Upaya Mengukir Masa Depan Peradaban, Jurnal Filsafat Edisi Khusus (Yogyakarta: Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, 1997), xv. 7
9
dikarenakan potensi dinamis yang terkandung dalam tradisi
intelektual
Helenisme
tersebut,
tetapi
lebih
disebabkan keadaan umat Islam pada saat itu telah memiliki sikap dan semangat berpikir ilmiah yang diwarisi
dari
menghormati
ajaran
agama.8
penalaran,
Misalnya,
mencari
semangat
kebenaran
dan
objektivitas serta penghormatan terhadap bukti-bukti empiris seperti diwarisi dari tradisi Nabi Ibrahim dan Muhammad Saw.9 Filsafat Yunani di sini hanya berperan mengembangkan metodologi
ke
isi dalam
dan
membangun
semangat
berfikir
kerangka intelektual
muslim pada saat itu. Semangat ilmiah para ilmuwan muslim itu, menurut penuturan Osman Bakar, sesungguhnya mengalir dari kesadaran mereka akan tawhid.10 Bagi umat Islam, kesadaran akan Keesaan Tuhan merupakan kesadaran Osman Bakar, Tauhid dan Sains: Esai-esai tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), 12. 9 Dalam berbagai ayat al-Quran dan Hadits banyak dijumpai perintah agar umat Islam selalu berfikir kritis dan apresiatif terhadap ilmu, dari manapun datangnya. Diantaranya riwayat yang menganjurkan umat Islam untuk mencari ilmu sekalipun ke negeri Cina. Sikap inklusif inilah yang mendorong tumbuhnya intelektuaslisme Islam yang sangat subur di abad tengah, tepatnya ketika bertemu dengan rasionalitas Yunani. Lebih lanjut, lihat Komaruddin Hidayat, Ketika Agama Menyejarah, dalam PERTA: Jurnal Komunikasi Perguruan Tinggi Agama Islam, Vol. V/No.1/2002, (Jakarta: Ditperta Depag RI dan LP2AF, 2002), 26. 10 Osman Bakar, op. cit., hal. 11-12. Bandingkan dengan Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan, 1996), 43-44. 8
10
beragama yang paling fundamental. Sehingga, aktivitas apapun
(keagamaan
maupun
kebudayaan)
dalam
kehidupan mereka senantiasa dinafasi oleh prinsip dan semangat monotheisme tersebut. Atas dasar semangat tawhid itu, maka di dalam Islam berlaku pandangan bahwa realitas objektif alam semesta ini merupakan satu kesatuan. Kosmos yang terdiri dari bukan saja berbagai realitas fisik tetapi juga non fisik dipahami saling berkaitan dan membentuk jaringan kesatuan melalui hukum-hukum kosmos sebagai manifestasi dari ketunggalan sumber dan asal- usul metafisiknya, yakni Allah Swt. Dalam Islam, kesatuan kosmos ini merupakan bukti yang jelas akan keesaanNya.11 Oleh karena itu, semangat ilmiah dalam ilmu pengetahuan sesuatu
yang
untuk
mencari
bertentangan
kebenaran
dengan
bukanlah
agama
karena
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari semangat tawhid.
Dengan
semangat
ilmiah
tersebut,
ilmu
pengetahuan menjadi salah satu instrumen yang dapat mengantarkan seseorang sampai pada Keesaan Realitas
Lihat al-Quran surat al-Anbiya’ (21) ayat 22.
11
11
Transenden itu sendiri.12 Sebaliknya, kesadaran tentang Keesaan semangat
Allah
(tawhid)
ilmiah
dalam
merupakan seluruh
sumber wilayah
dari ilmu
pengetahuan umat Islam. Dengan
demikian,
relasi
agama
dan
ilmu
pengetahuan (sains) di dalam Islam bisa diibaratkan dua sisi mata uang yang berbeda tetapi tidak dapat saling dipisahkan. Penggunaan rasio atau ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari keimanan kepada Allah Yang Transenden, dari ajaran-ajaran, aturan-aturan, nilai-nilai dan prinsip-prinsip umum yang diberitakan kepada manusia melalui wahyu Ilahi dalam pengertiannya yang paling universal. Kecuali itu, ilmu pengetahuan di dalam Islam juga dikembangkan dengan mewarisi keseluruhan budaya kemanusiaan setelah dipisahkan benar dari salahnya, baik dari buruknya, atau yang haq dari bathilnya. Dengan lain ungkapan, sains di dalam Islam sangat memperhatikan agama demikian juga sebaliknya, karena ilmu pengetahuan merupakan jalan untuk memahami kesatuan realitas kosmos yang telah diberitakan agama. Lebih lanjut mengenai hubungan antara logika ilmiah dengan yang Transenden itu lihat Fritjof Schuon, Logic and Transcendence, (London: Perenial Books Ltd., 1975) 12
12
Dengan semangat gerakan tawhid dan eksplorasi ilmiah pada awal perkembangannya itu menjadikan Islam tumbuh sebagai kekuatan peradaban dunia yang secara
gemilang
menghubungkan menjadi
mampu
menjembatani
wilayah-wilayah
peradaban
mondial.
Hal
peradaban ini
dan lokal
sebagaimana
dinyatakan Nurcholish Madjid, bahwa masyarakat Islam adalah kelompok manusia pertama yang merubah ilmu pengetahuan
dari
sebelumnya
bersifat
parokialistik,
bercirikan kenasionalan dan terbatas hanya pada daerah atau bangsa tertentu menjadi pandangan dunia yang kosmopolit dan universal.13 Ini terbukti betapa banyak para ilmuwan kelas dunia pada saat itu yang lahir dari dunia Islam yang karya-karyanya menjadi “bidan” bagi kelahiran ilmu pengetahuan dan perdaban modern Barat. Oleh sebab itu, dapat dimengerti pernyataan Komaruddin Hidayat,14 bahwa filsafat Yunani dan kajian rasional-empiris yang berkembang di Barat tidak lain
Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, (Jakarta: Paramadina, 1997), 13. Komaruddin Hidayat, Ketika Agama, 26.
13 14
13
merupakan kontribusi penting intelektual muslim yang diakui dalam dunia kesarjanaan.15 Namun,
karena
berbagai
sebab
yang
cukup
kompleks (yang tidak mungkin dibahas di sini) peradaban Islam tersebut tidak dapat dipertahankan oleh masyarakat muslim abad pertengahan.
Semangat dan etos ilmiah
umat Islam generasi ini perlahan-lahan mulai mengalami pergeseran
paradigma.
Bahkan,
pada
saat
yang
bersamaan pergeseran itu semakin menggejala lalu berubah menjadi perpindahan tradisi ilmiah dari Timur ke Barat. Filsafat
sebagai
dipertanggungjawabkan
kegiatan secara
yang
akliah,
bisa
yang
oleh
Aristoteles dibagi menjadi ilmu pengetahuan poietis (terapan), ilmu pengetahuan praktis (dalam arti normatif seperti etika dan politik) serta ilmu pengetahuan teoritik, mulai
tereduksi
dan
dikaji
bagian
yang
tersebut
belakangan. Memang, ilmu pengetahuan teoritik dipandang sebagai paling signifikan, yang oleh founding father Seputar tema ini antara lain bisa dibaca dalam Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Inetelektual Barat-Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996) 15
14
faham empirisme itu dibagi menjadi ilmu alam, ilmu pasti dan filsafat pertama yang kemudian dikenal sebagai metafisika. Namun, para intelektual muslim kala itu tidak lagi memperhatikan yang lainnya kecuali bagian metafisikanya saja. Bahkan pada bagian yang terakhir ini pun hampir-hampir umat Islam dihadapkan pada polemik berkepanjangan
yang
akhirnya
merasa
jenuh
lalu
menjauhinya sama sekali. Sebaliknya
di
Barat,
dipelopori
oleh
gerakan
Renaissance pada abad ke 15 kemudian disempurnakan oleh gerakan Aufklarung pada abad ke 18, filsafat Yunani yang dipelajari para sarjana Barat melalui karya-karya para filosof muslim memasuki tahap yang baru dan lebih maju atau modern. Dalam sentuhan tangan dingin “anak-anak”
Renaissance
dan
Aufklarung
seperti
Copernicus, Galilei Galileo, Kepler, Descartes, Immanuel Kant dan lain-lain filsafat telah memberikan pengaruh yang amat luas dan mendalam terhadap perkembangan pemikiran dan peradaban Barat. Sebagaimana terjadi di dunia Islam, pemikiran filosofis warisan Yunani itu telah membantu Barat
15
menemukan makna kebebasan dalam kemanusiaannya. Dengan kebebasan itu, terutama dalam pemikiran, perlahan
Barat
yang
pada
abad
ke-10
jauh
dari
peradaban intelektual mulai menapak dan merasakan pentingnya
proses
pengalaman
civilization.
traumatik
Hanya,
terhadap
gereja
dikarenakan yang
tidak
menyediakan ruang gerak bagi pemikiran di luar Bibel, maka mereka mengarahkan kebebasan itu ke arah hidup “sekuler”. Meminjam pengertian Koento,16 yaitu suatu kehidupan pembebasan dari kedudukan manusia yang semula merupakan koloni dan sub koloni agama dan gereja.17 Dengan kehidupan
arah
sekuler
ditinggalkannya
filsafat itu
agama,
yang
bukan tetapi
cenderung
saja
pada
mengakibatkan
pada
konsekuensi
radikalnya, bahkan sampai meragukan eksistensi Tuhan. Dalam hal ini indikasi yang paling nyata tercermin dalam pernyataan Friedrich Nietzsche, bahwa setidaknya di Koento, Gagasan Strategik, xvii. Tentang pengertian “sekuler” lebih lanjut dan perbedaannya dengan sekularisme dan sekularisasi dapat dibaca pada berbagai tulisan, antara lain Faisal Ismail, Percikan Pemikiran Islam, (Yogyakarta: Bina Usaha, 1984); Nurcholis Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1987); Paul M. Van Buren, The Secular Meaning of the Gospel Based on an Analysis of Its Language, (London: Billing and Sons Ltd., 1965) atau Harvey Cox, The Secular City, (London: Billing Sons Ltd., 1985) dll. 16 17
16
dunia Barat “Tuhan telah mati”.18 Fenomena seperti ini apabila tidak segera disadari maka pada saatnya akan melahirkan dunia tanpa Tuhan dan tanpa agama. Atau, paling tidak agama hanya ditempatkan sebagai urusan pribadi. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika filsafat dan agama di Barat masing-masing berdiri mandiri dan berkembang menurut dasar dan arah pemikirannya sendiri-sendiri.
Proses
diferensiasi
ini,
kemudian,
dilanjutkan dengan ditinggalkannya filsafat oleh ilmuilmu cabang yang dengan metodologinya masing-masing mengembangkan spesialisasinya sendiri-sendiri secara intens. Diawali oleh lepasnya ilmu-ilmu alam atau fisika dan matematika yang dimotori oleh Copernicus (1473-1543), Versalinus (1514-1564) dan Issac Newton (1642-1727) ilmu pengetahuan mulai tercerabut dari akar filosofisnya. Khususnya
perkembangan
ini
semakin
mencapai
bentuknya secara definitif saat Auguste Comte (1798Tuhan telah mati dalam arti bahwa manusia telah membunuh potensialitas dirinya sendiri, “menjadi membunuh Tuhan”, sehingga ia teralienasi dari Tuhan yang sesungguhnya. Di dunia Barat Tuhan telah mati, pengertian ini dimaksudkan bahwa agama Kristen telah kehilangan nilai spiritualnya. 18
17
1857) dengan grand theory-nya menetapkan bahwa perkembangan berfikir manusia dan masyarakat akan mencapai
puncaknya
pada
tahap
positif,
setelah
melampaui tahap teologik dan metafisik. Istilah positif di sini mengandung arti bahwa yang benar dan nyata haruslah konkrit, eksak, akurat dan memberi manfaat. Dengan perkembangan seperti itu, maka ilmu pengetahuan di Barat cenderung menjauh dari berbagai pengetahuan yang menurut dunianya dianggap tidak konkret, tidak terukur dan spekulatif. Atas dasar itu, bukan saja filsafat lantas menjadi tidak menarik di mata ilmu pengetahuan karena wataknya yang spekulatif, tetapi juga pengetahuan agama yang dipandang out of date bahkan ahistoris cenderung diabaikan. Di sinilah perkembangan
ilmu
pengetahuan
itu
kemudian
menciptakan persepsi masyarakat Barat berbeda dari saat-saat ditanamkan dasar-dasar paradigmatiknya. Sampai
memasuki
abad
20,
“revolusi”
ilmu
pengetahuan di Barat masih terus berlangsung, berbagai penemuan
telah
merombak
teori-teori
yang
sudah
mapan sebelumnya, tetapi perkembangan itu belum
18
sampai
menggeser
paradigma
diferensiasi
atau
“deagamaisasi” ilmu pengetahuan yang menjadi ciri era modern tersebut. Memang, pada satu pihak etos dan cara
pandang
Barat
modern
seperti
itu
telah
menumbuhkan optimisme terhadap ilmu pengetahuan dalam meningkatkan fasilitas hidup, namun di pihak lain pesimisme
terhadap
dampak
negatif
yang
ditimbulkannya juga semakin nyata. Pesimisme itu bukan saja
telah
menghantui
para
konsumennya,
tetapi
terutama kepada masyarakat Barat sendiri sebagai produsen utamanya. Namun pada paroh terakhir aba ke 20, etos keilmuan
dengan
dihadapkan
pada
cara
pandang
seperti
kecenderungan
baru
itu
mulai
yang
lebih
memperhatikan dunia spiritual. John Naisbitt dan Patricia Aburdence,
dalam
Megatrend
2000
menyebutnya
dengan istilah New Age. Suatu era yang berusaha meyakinkan banyak orang bahwa cara yang paling tepat dalam memecahkan berbagai persoalan personal dan sosial--yang telah menjadi bagian dari krisis kebudayaan Barat yang mendorong kemunculan New Age--hanya
19
akan terselesaikan, apabila ada cukup orang mencapai apa yang disebut The Higher Consciousness.19 Dengan demikian, seperti penuturan Amin Abdullah, modernisme dengan ciri diferensiasinya yang sangat ketat dalam berbagai bidang kehidupan boleh dibilang sudah tidak lagi sesuai dengan semangat zaman.20 3. Integrasi Agama dan Sains sebagai Suatu Keniscayaan Pengamatan Naisbitt
dan Patricia
di atas
ada
relevansinya dengan pandangan Capra, bahwa untuk keluar dari belenggu dikotomi dalam kehidupannya, manusia modern dituntut dapat mengintegrasikan nilainilai dan makna-makna yang dikombinasikan dengan pengetahuan (sains).21 Untuk keperluan ini, menurut Azizan,22 hanya ada satu subyek yang dapat mengajarkan dan menawarkan nilai-nilai tersebut, yaitu agama. Hal ini tidak berlebihan, karena agama memang merupakan
Budhy Munawar Rachman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, (Jakarta: Paramadina, 2001), 99. 20 Amin Abdullah, Reintegrasi Epistemologi, 51. 21 Fritjof Capra, The Turning Point: Science, Society and the Rising Culture, (London: Fontana Paperbacks, 1985), 118-119. 22 Azizan Baharuddin, Thinking Science in the Muslim World: Integrating Science and Religion for Development, makalah International Conference on Religion and Science in the Post-Colonial World, (Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 2-5 Januari, 2003), 1. 19
20
sumber makna dan nilai-nilai yang kita pandang penting dan dapat diterjemahkan melalui pembangunan. Pandangan integratif seperti ini disebabkan sains modern yang positivistik cenderung melakukan reduksi terhadap realitas makhluk
hidup.
alam, termasuk Misalnya,
ketika
manusia sebagai berbicara
tentang
kosmologi, sains senantiasa melepaskannya dari unsurunsur spiritualnya seperti Tuhan, malaikat ruh dan sebagainya. Alam semesta diapahami sebagai yang terjadi dengan sendirinya dan diatur oleh sebuah hukum alam yang mandiri, tetap dan tidak bisa diubah oleh kekuatan-kekuatan di luar dirinya. Begitu juga tentang manusia, yang sering dipandang agama dan filsafat memiliki dimensi luhur seperti jiwa, hati, ruh dan sebagainya, dipersepsi sains hanya sebagai makhluk fisik atau bilogis dengan sistem syaraf yang sangat rumit, tetapi tidak menghasilkan jiwa sebagai substansi immaterialnya. Di sini, manusia menjadi tidak memiliki keistimewaan,
seperti
yang
diberikan
oleh
filsafat,
21
sebagai mikrokosmos; atau oleh agama, sebagai wakil Tuhan di bumi.23 Dalam penilaian Golshani, pengabaian terhadap keterbatasan sains dan pengingkaran peranan filsafat dan agama dalam sains itu merupakan pemahaman yang naif. Baginya, sains tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai sepenuhnya, kerja ilmiah banyak diisi dengan perkiraan
filosofis
dan
religius,
dan
metafisika
memainkan peranan sangat penting hampir pada semua level aktivitas ilmiah. Tegasnya, menurut Golshani, terlalu sederhana untuk berfikir bahwa komitmen filosofis dan ideologis tidak akan pernah masuk ke dalam struktur ilmu pengetahuan.24 Lebih dari itu, lanjut Golshani, pandangan bahwa aktvitas ilmiah adalah bebas nilai hanyalah mitos belaka. Hal ini didasarkan pada beberapa alasan sebagai berikut: 1. Aktivitas ilmiah adalah sebuah tujuan – yang
mengarahkan suatu usaha. Ini berarti bahwa beberapa
nilai
mengambil
peran
sebagai
Mulyadi Kartanegara, Ketika Sains Bertemu Filsafat dan Agama, dalam Jurnal Relief, Vol. 1, No. 1, Januari 2003 (Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 2003), 66. 23
Mehdi Golshani, Science and the Sacred: Sacred Science vs. Secular Science, makalah International Conference on Religion and Science in the Post-Colonial World, (Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 2-5 Januari, 2003), 8. 24
22
pembimbing
di
dalamnya.
Misalnya,
pencarian
kebenaran merupakan nilai yang menjadi prinsip dalam mengarahkan banyak ilmuwan. 2. Semua
aktivitas
ilmiah
melibatkan
beberapa
pertimbangan nilai (value judgments): ➭ Beberapa kode etik seperti kejujuran, keadilan
dan
fungsi
integritas
sebagai
mekanisme
pengawasan kualitas dalam usaha ilmiah. ➭ Pertimbangan
nilai dapat membentuk garis
penelitian seorang ilmuwan atau pilihan teoriteorinya. Misalnya, Einstein dan Heisenberg memiliki tekanan khsusu pada kesederhanaan teori fisikanya. Sedangkan Dirac menekankan pada keindahan teori fisikanya. Pertimbanganpertimbangan pragmatisnya adalah beberapa kriteria orang lain untuk pilihan teori-teori.25 4. Penutup Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa melalui
argumen-argumen
filosofis
dan
penemuan
mutakhir tentang sains, berfikir dikotomis tentang agama dan sains memang sudah saatnya dikoreksi kembali. Sebab, penemuan mutkahir di bidang fisika kuantum, misalnya, setidaknya telah meruntuhkan asumsi kaum materialis bahwa dunia ini hanyalah bersifat materi belaka. Padahal, fisika kuantum membuktikan bahwa Ibid., 8-9.
25
23
unsur fisik yang terdapat dalam sebuah atom sangat tidak
signifikan
bila dibanding
dengan
unsur non-
materinya, yang merupakan bagian paling ekstensif dari atom-atom yang menyusun alam semesta ini.26 Ini artinya, anggapan sains bahwa alam dengan segala isinya bersifat fisik dan hanya dapat dipahami melalui observasi inderawi semata menjadi tidak sepenuhnya benar. Sebaliknya, dengan adanya penemuan-penemuan mutakhir dalam bidang sains serta perkembangan teoriteori kefilsafatan, agama perlahan-lahan juga mulai menemukan
batu
pijakan
untuk
kebenaran
yang
diberitakannya. Oleh karena itu, antara agama dan sains memang sudah semestinya terjalin hubungan fungsional dan dialektis dalam kerangka yang bisa dipahami oleh akal rasional manusia. Hal ini dikarenakan antara sains yang berpijak pada observasi inderawi, dan filsafat yang mengutamakan rasional, agama yang bersandar pada wahyu memiliki kecenderungan untuk saling melengkapi.
Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu Panorama Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 2002), 162-163. 26