Diakronis Revisi.docx

  • Uploaded by: Indah Prihatin
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Diakronis Revisi.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,395
  • Pages: 18
1. Kultum Assalamu’alaikum.Warahmatullahiwabarrakatuh Alhamdulillahirrobilallamin, puji syukur atas kehadirat Allah Swt. yang senantiasa memberikan kesehatan, hidayah serta inayahNya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini tepat pada waktunya. Kultum yang akan kami sampaikan dalam makalah ini mengenai makna dari QS Al-Hajj ayat 24.

ِ‫َّحِي‬ ‫م‬ ‫منِ الر‬ ِ ْ ‫َّح‬ ‫للاِ الر‬ ِ‫م‬ ِْ‫ِس‬ ‫ب‬ ُ‫ُو‬ ِْ ‫م‬ ‫َّجِي‬ ‫انِ الر‬ ِ َ‫ْط‬ ‫َ الشَّي‬ ِِ ‫ن‬ ‫ِاللِ م‬ ِ ‫ْذ ب‬ ِ ‫َع‬ ‫أ‬ ْ ُ‫ه‬ ِِِِِ َِ ‫ْل‬ ‫َو‬ ‫ِنِالق‬ ‫ِّبِ م‬ ِِ‫َِلى الطَّي‬ ‫دوا إ‬ ‫و‬ َُ ْ ِ ُ‫ه‬ ِِِِِِِِ ‫ِيد‬ ‫َم‬ ‫الح‬ ‫َاط‬ ‫ِر‬ ‫َِلى ص‬ ‫دوا إ‬ ‫و‬ َُ Artinya: “Dan mereka diberi petunjuk kepada ucapan-ucapan yang baik dan ditunjuki (pula) kepada jalan (Allah) yang terpuji” (QS. Al Hajj: 24). Maksud dari ayat diatas adalah di mana yang terbaiknya adalah kalimatul ikhlas (Laailaahaillallah), selanjutnya ucapan-ucapan baik lainnya yang di sana terdapat dzikrullah, atau ihsan terhadap hamba-hamba Allah. Yang demikian adalah karena semua syari’at mengandung hikmah dan pujian, baiknya perintah dan buruknya larangan. Jalan yang terpuji ini adalah agama Allah yang di sana tidak ada sikap ifrath (berlebihan sampai melewati aturan) dan tafrith (meremehkan), yang di dalamnya mengandung ilmu yang bermanfaat dan amal saleh. Bisa juga diartikan jalan Allah yang terpuji, karena Allah sering menghubungkan jalan kepada-Nya, dan karena jalan itu menghubungkan penempuhnya kepada Allah Subhaanahu wa Ta'aala. Oleh karena itu marilah kita senantiasa berkata dan berperilaku dengan sebaik mungkin dengan mengharap ridho dari Allah semata tanpa mengharap pujian dari makhluk-Nya. Ketika kita melakukan segala sesuatunya, alangkah baiknya kita melakukan dengan aturan yang telah ditetapkan tanpa berbuat melebihi ataupun melewati aturan yang telah Allah tetapkan untuk kita dan jangan sampai kita berperilaku meremehkan segala perintah dan larangan Allah yang telah diserukan kepada kita. Hendaklah kita taat kepada Allah semata.

1

2. Pendahuluan Pandangan umum tentang keberadaan bahasa Indonesia biasanya terjebak pada paradigma momen lahirnya sumpah pemuda 28 Oktober 1928, yang salah satu aspeknya menyebutkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa kebangsaan. Apalagi hal itu diperkuat dengan penasbihan secara nyata (de yure) bahwa bahasa tersebut dijadikan bahasa resmi kenegaraan setelah Indonesia merdeka tahun 1945. Apa yang disebut bahasa Indonesia seolah-olah baru lahir dan dipakai sejak waktu itu, dan sebelumnya digunakan bahasa yang berbeda sama sekali (Junus, 1969:9-11). Pada dasarnya mempelajari suatu ilmu adalah untuk memperoleh hakikat atau inti dari ilmu itu sendiri. Demikian halnya dalam mempelajari ilmu bahasa, haruslah diketahui hakikat mempelajarinya. Ilmu bahasa sendiri merupakan ilmu yang perkembangannya sudah sangat luas semenjak menjadi disiplin ilmiah tersendiri yang terpisah dari filsafat. Istilah sinkronis dan diakronis sudah mulai muncul sejak abad ke-19. Pioneer yang memperkenalkan istilah ini adalah Ferdinand de Saussure, linguis Swiss yang juga peletak dasar linguistik modern. Pada mulanya, Saussure adalah seorang ahli linguistik diakronis. Ia meneliti bahasa-bahasa Indo-Eropa (Kridalaksana, 2005:9-10). Kajian linguistik diakronis bersifat historis dan komparatif. Verhaar (1984:6-7) menyitir sebuah istilah dari Sassure mengenai linguitik diakronis. Kata diakronis berasal dari bahasa Yunani, “dia” yang berarti “melalui”, dan “kronas” yang berarti “waktu/masa”. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud linguistik diakronis adalah subdisiplin linguistik yang menyelidiki perkembangan suatu bahasa dari masa ke masa. Studi diakronis bersifat vertikal, misalnya menyelidiki perkembangan bahasa Indonesia yang dimulai sejak adanya prasasti di kedudukan Bukit sampai sekarang. Linguistik diakronik bermaksud memberikan perbandingan pada perkembangan dan perubahan bahasa. Perubahan ini didasarkan pada beberapa faktor yaitu faktor genenis, faktor tipologis, dan faktor wilayah. Hal ini sejalan dengan pendapat Parera (1991:91) bahwa pada umumnya ada tiga metode klasifikasi bahasa yang utama yakni klasifikasi bahasa secara genetis, klasifikasi bahasa secara tipologis, dan klasifikasi bahasa secara wilayah atau areal. Berdasarkan cara kerjanya, linguistik dibedakan menjadi dua, yaitu pendekatan sinkronis (linguistik sinkronis) dan pendekatan diakronis (linguistik diakronis). Berikut ini akan

2

dipaparkan ihwal sejarah dan perkembangan linguistik diakronis dan cara kerja linguistik diakronis. 3. Permasalahan Rumusan masalah berisi fokus topik yang akan dibahas dalam makalah. Ada 2 rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini. a. Bagaimana sejarah dan perkembangan linguistik diakronis? b. Bagaimana cara kerja linguistik diakronis dan hasil kajiannya? 4. Tujuan Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam makalah sesuai dengan rumusan masalah di atas. Ada 2 tujuan yang akan dibahas dalam makalah ini. a. Mendeskripsikan sejarah dan perkembangan linguistik diakronis b. Mendeskripsikan cara kerja linguistik diakronis dan hasil kerjanya

5. Pembahasan a. Sejarah dan Perkembangan Linguistik Diakronis Ilmu bahasa atau yang lebih kita kenal dengan istilah linguistik tidak lahir begitu saja sebagai disiplin ilmu yang diakui dan berdiri sendiri. Melalui perjalanan yang panjang hingga akhirnya pada abad ke-19 munculah istilah linguistik sebagai disiplin ilmu. Pengkajian serius mengenai bahasa baru dimulai sejak abad ke-19 meskipun sebelumnya bahasa telah menjadi pendamping filsafat dalam menjelaskan berbagai hal. Berdasarkan fakta sejarah hubungan filsafat dengan bahasa telah berlangsung lama bahkan sejak zaman Yunani meskipun sebelumnya bidang filsafat bahasa baru dikenal dan berkembang abad XX (Kaelan, 1998:5). Studi bahasa pada zaman Yunani mempunyai sejarah yang sangat panjang, yaitu dari lebih kurang abad ke-5 S.M. sampai lebih kurang abad ke-2 M. yang menjadi masalah pokok kebahasaan yang menjadi pertentangan para linguis adalah pertentangan antara fisis dan nomos, pertentangan antara analogi dan anomali. Kaum atau tokoh yang mempunyai peranan besar dalam studi bahasa zaman Yunani adalah Kaum Shopis muncul pada abad ke-5 S.M. Salah seorang tokoh Shopis yaitu, Protogoras dan Georgias. Plato (429-347 S.M.), Aristoteles (384-322 S.M.), Kaum Stoik (permulaan abad ke-4 S.M.), Kaum Alexandrian, Zaman Romawi, Zaman 3

Pertengahan, Zaman Renaisans, Menjelang lahirnya linguistik Modern, Linguistik Strukturalis (Chaer, 2007:333-345). Zaman tersebut didasari tokoh beserta pemikirannya terhadap linguistik. Ilmu bahasa diakronis berusaha memerikan dan menjelaskan perubahan bahasa secara empiris. Dalam praktiknya, telaah secara diakronis berkelindan pada pemerian bahasa-bahasa yang lebih tua. Pengkajian yang dilakukan berakhir pada satu tujuan umum, yaitu melihat akibat evolusi bahasa (Martinet, 1987:19). Dengan kata lain, pendekatan diakronis mempelajari bahasa demi pengkajian evolusi bahasa. Telaah mengenai perubahan bahasa membuat kita paham tentang apa yang sifatnya hakiki (tidak dapat berubah) dalam bahasa. Dengan demikian, telaah diakronis berguna bagi penemuan hakikat bahasa tersebut (Dik dan Kooij, 1994:83-86). Penemuan hakikat bahasa akan mengantarkan kita pada pemahaman dasar atas bahasa tersebut. Chaer (2007:15) Linguistik diakronik berupaya mengkaji bahasa (atau bahasabahasa) pada masa yang tidak terbatas; bisa sejak awal kelahiran bahasa itu sampai zaman punahnya bahasa tersebut (kalau bahasa tersebut sudah punah, seperti bahasa Latin dan bahasa Sansekerta), atau zaman sekarang (kalau bahasa itu masi tetap hidup, seperti bahasa Jawa dan bahasa Arab). Tujuan mempelajari bahasa secara diakronis adalah untuk mengetahui sejarah struktural bahasa itu berserta dengan segala bentuk perubahan dan perkembangannya. Hasil kajian diakronis sering kali diperlukan untuk menerangjelaskan deskripsi studi sinkronik. Selain itu Chaer (2007:347) menyatakan jika kita ingin mempelajari bahasa Indonesia secara diakronik, maka harus dimulai sejak zaman Sriwijaya sampai zaman sekarang ini. Dengan demikian bisa dikatakan telaah bahasa secara diakronik adalah jauh lebih sukar daripada telaah bahasa secara sinkronik. Menurut Pateda (1988:48) Linguistik diakronik ingin mempersoalkan, menguraikan, atau menyelidiki perkembangan bahasa dari masa ke masa. Linguistik diakronik dapat juga disamakan dengan linguistik historis. Jadi sifatnya adalah vertikal. Linguistik historis kemudian berkembang ke dalam linguistik historis komparatif yang bertujuan membandingkan bahasa dari waktu ke waktu. Ada empat tujuan linguistik bandingan historis menurut Keraf (1996:23-24). (1) Mempersoalkan bahasa-bahasa yang serumpun dengan mengadakan perbandingan mengenai unsur-unsur yang menunjukkan kekerabatannya. Bidang-bidang yang dipergunakan untuk mengadakan perbandingan 4

semacam itu adalah: fonologi dan morfologi. Usaha untuk mengadakan perbandingan dibidang sintaksis belum membawa hasil yang memuaskan. (2) Mengadakan rekonstruksi bahasa-bahasa yang ada dewasa ini kepada bahasa-bahasa yang menurunkan bahasa-bahasa kontemporer. Atau dengan kata lain linguistik bandingan historis berusaha menemukan bahasa proto yang menurunkan bahasa-bahasa modern. (3) Mengadakan pengelompokan (sub-grouping) bahasa-bahasa yang termasuk dalam rumpun bahasa. Bahasa-bahasa yang termasuk dalam satu rumpun yang sama belum tentu sama tingkat kekerabatannya atau sama tingkat kemiripannya satu sama lain. Ada beberapa bahasa yang menunjukkan bahwa keanggotaannya lebih dekat satu sama lain, bila dibandingkan dengan beberapa anggota lainnya. (4) Akhirnya linguistik historis komparatif juga berusaha untuk menemukan pusat-pusat penyebaran bahasa-bahasa proto (pusat penyebaran = homeland = centre of grafity = negeri asal) dari bahasa-bahasa kerabat, serta menentukan gerak migrasi yang pernah terjadi. b. Ruang Lingkup Linguistik Diakronis Ada tujuh aspek diakronis (historis) yang diungkapkan Mahsun (1995:14) didasarkan pada upaya-upayanya. (1) Membuat rekonstruksi prabahasa (pre-language) bahasa yang diteliti dengan memanfaatkan evidensi yang terdapat dalam dialek/subdialek yang mendukungnya. (2) Penelusuran pengaruh antar dialek/subdialek bahasa yang diteliti serta situasi persebaran geografisnya. (3) Penelusuran kebahasaan yang merupakan inovasi internal ataupun eksternal dalam dialek-dialek atau subdialek-subdialek bahasa yang diteliti, termasuk bahasa sumbernya (untuk inovasi eksternal) serta situasi persebaran geografisnya dalam tiap-tiap dialek atau subdialek itu. (4) Penelusuran unsur kebahasaan yang berupa bentuk relik (proto) pada dialek/subdialek yang diteliti dengan situasi persebaran geografisnya. (5) Penelusuran saling berhubungan antara unsur-unsur kebahasaan yang berbeda antara dialek/subdialek bahasa yang diteliti. (6) Membuat analisis dialek/subdialek yang bervariatif dan inovatif. (7) Membuat rekonstruksi sejarah daerah yang diteliti. 5

c. Metode Penelitian Linguistik Diakronik Untuk menjelaskan sejarah pertumbuhan itu maka dalam abad XIX telah dikembangkan bermacam-macam metode untuk menelusuri sejarah perkembangan bahasa itu (Keraf, 1996:33). Berikut adalah beberapa metode yang diekmbangkan dalam linguistik diakronik. (1) Metode Perbandingan Sejak abad ke-19 metode-metode linguistik historis mulai berkembang pesat,

diantaranya

adalah

metode

perbandingan.

Tujuan

metode

perbandingan adalah menemukan kesamaan-kesamaan antar bahasa. Keraf (1996:40) menerangkan bahwa

sarjana bahasa abad XIX telah

mengembangkan teknik-teknik untuk mengadakan perbandingan antar bahasa guna menemukan kesamaan-kesamaan antar bahasa-bahasa kerabat. Metode-metode tersebut biasanya disebut metode klasik. Metode perbandingan klasik itu meliputi hokum bunyi, rekonstruksi fonemis, dan rekonstruksi morfemis. Keraf (1996:40) hukum bunyi, yang kemudian diganti dengan istilah korespondensi bunyi pada abad XX, pada hakikatnya adalah suatu metode untuk menemukan hubungan antar bahasa dalam bidang bunyi bahasa. Penemuan K. Verner (1876 (dalam Markhamah, dkk 2018:68) yang terkenal dengan nama Hukum Verner. Menunjukkan bahwa unsur Indo-Eropa tua /t/ muncul dalam bahasa German sebagai /d/ dan /ð/ alih-alih /Θ/. Rumusan Hukum Verner berbunyi “Frikatif tak bersuara bahasa German akan berubah menjadi frikatif bersuara dalam lingkungan bersuara bila aksen utamanya tidak terdapat pada vocal sebelumnya dalam bahasa Proto Indo-Eropa”.

Penerapan Hukum Bunyi Pada Bahasa-bahasa Austronesia: a. Umum 1) Fonem /Ə/ Fonem */Ə/ Austronesia Purba dipantulkan dalam fonem-fonem kerabat. 2) Fonem Trill Dua macam fonem trill yaitu trill apical dan trill uvular, secara fonetis dilambangkan /r/ dan /R/. trill apical berkonvigurasi menjadi satu trill apical /r/. 6

3) Fonem /k/ dan /h/ Fonem Austronesia Purba */k/ dipantulkan secara lincar dalam bahasa Karo, Melayu, dan Gayo, bahasa Toba berubah menjadi /h/. 4) Diftong /uy/ dan /ay/ Diftong */uy/ dalam bahasa Austronesia Purba bertahan dalam bahasa Jawa Kuno, Formosa, berubah menjadi /i/ dalam bahasa Karo, dan /e/ dalam bahasa Lamelera. 5) Penghilang Konsonan antar Vokal Konsonan antarvokal khususnya /r/ meghilang dalam sebuah bentuk sehingga mengubah wujud kata. Penghilangan juga terjadi dalam bahasa Bugis fones /h/ antarvokal, dan bahasa Malagasi fonem /s/ antarvokal. b. Perubahan Fonem pada Bahasa Bugis dan Makasar Fonem */Ə/ Austronesia Purba dalam bahasa Makasar berubah menjadi /a/. Fonem /Ə/ yang berubah menjadi /a/ terdapat pada suku kedua dari akhir maka konsonan yang mengikutinya digandakan (digeminasi). Khususnya fonem /Ə/ yang mendahului fonem /s/ yang terletak sebelum konsonan /l/, /r/, atau /s/, maka konsonan /s/ mengalami geminasi dan memperoleh konsonan glotal. 1) Semua konsonan eksplosif pada akhir kata bahasa-bahasa lain akan berubah menjadi konsonan glotal dalam bahasa Bugis. 2) Semua konsonan sengau dalam bahasa lain akan menjadi /ŋ/ dalam bahasa Bugis. 3) Konsonan pada suku kedua akhir yang mengikuti /Ə/ mengalami geminasi. 4) Konsonan /l/ pada akhir kata bahasa Bugis akan berubah menjadi konsonan Glutal, tetapi akan menjadi /rr/ -geminasi, kalau diikuti akhiran. Konsonan /s/ pada akhir kata bahasa Bugis akan berubah menjadi konsonan glotal, tetapi /s/ akan kembali jika mendapat akhiran, missal /nipi?/ ‘tipis’, karena akhiran –I, konsonan /s/ akan kembali /nipisi/.

7

c. Bahasa Malagasi Hubungan kekerabatan akan dikemukakan korespondensi agar bentukbentuk kata dalam bahasa Malagasi tampak lebih jelas sebagai kata-kata tersebut. 1) Bila bahasa-bahasa Austronesia lainnya terdapat konsonan /h/, maka dalam bahasa Malagasi konsonan itu hilang. 2) Bunyi nasal pada akhir kata bahasa-bahasa lain akan menjadi /na/ dalam bahasa Malagasi. 3) Bunyi /l/ yang didahului vocal /i/ dalam bahasa-bahasa Austronesia lainnya akan menjadi /d/ dalam bahasa Malagasi. 4) Konsonan /t/ akhir pada bahasa Austronesia Purba atau bahasa bahasa Austronesia kontemporer lainnya akan menjadi /tră/ dalam bahasa Malagasi. 5) Fonem /j/ yang mengikuti bunyi nasal dalam bahasa Austronesia Purba menjadi /dz/. 6) Bunyi /k/ pada akhir kata menjadi /ka/ dalam bahasa Malagasi. 7) Konsonan */p/ Austronesia Purba menjadi /f/ kecuali /p/ mengikuti nasal. d. Kritik Atas Hukum Bunyi Kritik mengenai hokum bunyi dirumuskan oleh Junggrammatiker pada abad XIX. Kritik mengenai Indo-Eropa pertama kali dilontarkan oleh aliran Neo-Linguistica (Italia) dengan tokoh Bartoli dan Guilano Bonfante. Kritik kedua dari aliran Marr (Uni Soviet). Aliran Neo-Linguistica menyerang Junggrammatiker dengan alas an idealisme. Menurut mereka setiap manusia memiliki peraturan tertentu. Konsep Junggrammatiker dengan mengikat perkembangan bahasa dalam hokum kebahasaan merupakan pelanggaran idealisme. e. Korespondensi Bunyi Hokum bunyi diganti dengan istilah korespondensi fonemis (phonemi correspondence atau kesepadanan bunyi). Segmen-segmen yang berkorespondensi bagi glos yang sama, baik dari segi bentuk maupun makna, dalam beragam bahasa, dibandingkan satu sama lain. Misalnya untuk kata ‘hidung’ diperoleh sebagai berikut: Melayu

: hidung 8

Ma’anyan

: urung

Banjar

: hidung

Malagasi

: uruns

Lamalera

: irung

Jawa

: irung

Batak

: igung

Tagalog

: ilung

Dari data tersebut diperoleh perangkat korespondensi sebagai berikut: /h – Ø – h – Ø – Ø – Ø – Ø – Ø/ /I – u – i – u – i – i – i – i/ /d – r – d – r – r – r – g – l/ /u – u – u – u – u – u – u – u/ /ŋ – ŋ – ŋ – ŋ – ŋ – ŋ – ŋ – ŋ/

/Ø – Ø – Ø – ʌ - Ø – Ø – Ø – Ø/ Semakin banyak data yang diperbandingkan maka semakin banyak pula kemungkinan untuk memperoleh perangkat korespondensi fonemisnya. Suatu perangkat korespondensi fonemis tidak hanya diperoleh dari satu pasang kata, tetapi harus diturunkan dari seluruh kemungkinan yang dapat diperoleh dari bahasa-bahasa yang diperbandingkan. f. Pembentukan Korespodensi Fonemis 1) Rekuransi fonemis Bila sudah catat suatu indikasi mengenai adanya perangkat korespondensi fonemis pada suatu pasang kata, maka tindak lanjut yang pertama, yang akan dilakukan adalah menemukan pasangan yang lain, yang mengandung perangkat tersebut. Prosedur untuk menemukan prangkat bunyi itu yang muncul secara berulang-ulang dalam sejumlah pasang kata yang lain disebut rekuransi fonemis (phonemic recurrence). Semakin banyak data yang diteliti dan diperbandingkan semakin terbuka kemungkinan. Dengan demikian melalui rekuransi fonemis dapat ditetapkan secara meyakinkan adanya sebuah korespondensi fonemis.

9

2) Ko-okuransi Ko-okuransi adalah gejala-gejala tambahan yang terjadi sedemikian rupa pada kata-kata kerabat yang mirip bentuk dan maknanya sehingga dapat mengaburkan baik kemiripan bentuk-bentuknya maupun korespondensi fonemisnya dengan kata-kata lain dalam bahasa kerabat lainnya. 3) Analogi Menurut Keraf (dalam Markhamah, dkk., 2018:74) analogi merupakan suatu proses pembentukan kata mengikuti contoh-contoh yang sudah ada. Analogi dapat muncul dalam suatu situasi peralihan yang lain, dalam hubungan dengan bahasa-bahasa non-kerabat. Penyesuaian bentuk-bentuk non-kerabat ke dalam bahasa sendiri, juga mengikuti pola korespondensi tertentu yang terjadi karena masalah analogi. Pembentukan baru berdasarkan analogi bias terjadi juga dalam bahasa-bahasa kerabat atau dalam bahasa sendiri, baik pada morfem dasar maupun pada morfem terikat sehingga tampak semacam kemiripan bentuk karena warisan. g. Kesimpulan Penentuan Korespondensi Dalam menentukan masalah korespondensi fonemis antara bahasabahasa kerabat harus menghindari istilah menjadi. Istilah menjadi mengandung implikasi historis bahwa suatu fonem proto atau fonem purba telah berubah menjadi fonem baru. Penetapan korespondensi fonemis antara bahasa kerabat, 1) Dalam sejarah bahasa, perubahan bunyi fonem terjadi secara teratur. 2) Bila sudah diperoleh indicator korespondensi fonemis, maka indicator harus diuji melalui rekurensi fonemis. 3) Agar korespondensi fonemis tidak diabaikan dalam bentuk kerabat tertentu, maka harus dipersoalkan adanya ko-okurensi. 4) Agar suatu bentuk yang mirip dengan bentuk-bentuk kerabat lain jangan dimasukkan dalam rangkaian kata yang menghasilkan korespondensi fonemis, perhatikan bentuk-bentuk yang mirip yang terjadi karena analogi.

10

(2) Metode Rekonstruksi Hubungan antara segmen-segmen yang berkorespondensi yang disusun dalam perangkat korespondensi fonemis yang selalu bersifat konstan dan teratur dalam keluarga bahasa yang sama. Oleh sebab itu, para ahli bahasa mengembangkan pula suatu metode baru untuk mengadakan pemulihan (rekonstruksi) baik fonem-fonem purba (proto) maupun morfem-morfem proto, yang dianggap pernah ada dalam bahasa-bahasa purba, yang sama sekali tidak memiliki naskah-naskah tertulis (Keraf, 1996:59). Rekonstruksi fonemis atau morfemis hanya menyangkut bahasa-bahasa yang tidak memiliki naskah-naskah tertulis, maka teknik rekonstruksi merupakan

suatu

teknik

pra-sejarah

bahasa

(Keraf,

1996:59).

Perkembangan dari suatu bahasa proto ke bahasa-bahasa kerabat yang sekarang ada, tidak terjadi sekaligus. Artinya dari suatu bahasa proto tidak serta-merta terjadi sejumlah bahasa kerabat. Proses perubahan selalu terjadi secara bertahap (Keraf, 1996:75). Rekonstruksi fonem dan morfem bahasa kerabat kepada fonem dan morfem proto dapat dilakukan langkah, (1) mencatat semua korespondensi fonemis

dalam

bahasa-bahasa

kerabat

yang

dibandingkan,

(2)

membandingkan unsur-unsur yang menunjukkan kontras dalam lingkungan yang lebih luas, (3) mengadakan rekonstruksi tiap fonem yang terkandung dalam pasangan kata-kata yang dibandingkan, dan (4) selesainya rekonstruksi fonemis pada bunyi yang terdapat dalam pasangan kata yang dibandingkan berarti telah selesai rekonstruksi morfemis dari morfem proto. a. Teknik Rekonstruksi Fonem Hal-hal yang perlu diperhatikan untuk menentukan fonem proto yang menurunkan satu perangkat korespondensi dalam bahasa kerabat: 1) Fonem yang distribusinya paling banyak dalam bahasa kerabat dianggap pantulan linier dari fonem proto. 2) Fonem yang ditetapkan harus didukung dengan distribusi geografis yang luas. 3) Fonem yang dianggap proto tersebut hanya boleh menurunkan satu perangkat korespondensi fonemis.

11

b. Rekonstruksi Morfemis Rekonstruksi morfemis (antar bahasa kerabat) mencakup rekonstruksi atas alomorf-alomorf (rekonstruksi untuk menetapkan bentuk tua dalam satu bahasa). Dengan melakukan rekonstruksi fonemis maka berhasil pula dilakukan rekonstruksi morfemis, yaitu rekonstruksi fonem proto yang memantulkan atau menurunkan fonem-fonem dalam bahasabahasa kerabat sekarang sebagai yang tercermin dalam pasanganpasangan kata-katanya ke suatu fonem proto. c. Rekonstruksi Dalam Rekonstruksi dalam adalah rekonstruksi yang dilakukan dalam satu bahasa untuk mendapatkan bentuk-bentuk tuanya. Dalam hal ini kita hanya menggunakan bahan-bahan dari satu bahasa, yaitu rekonstruksi atas alternasi morfofonemis atau atas alomorf-alomorf suatu morfem. Rekonstruksi dalam bertujuan untuk memulihkan suatu bahasa pada tahap perkembangan tertentu pada masa lampau, dengan tidak menggunakan bahan-bahan dari bahasa lain. Rekonstruksi dalam dapat dilakukan karena beberapa kenyataan dalam sebuah bahasa yaitu, adanya alomorf, netralisasi, reduplikasi, dan infleksi. Infleksi adalah: (1) perubahan bentuk kata yang menunjukkan adanya berbagai hubungan gramatikal. Hubungan gramatikal itu mencakup: (a) deklinasi nomina, pronominal, dan ajektif, (b) konjungsi verba. (2) untuk yang ditambahkan pada sebuah kata untuk menunjukkan suatu hubungan gramatikal. Deklanasi dapat diartikan dalam tiga arti. Pertama perubahan nomina, pronominal, atau ajektiva yang menunjuk kategori, kasus, jumlah atau jenis. Kedua, seperangkat nomina dalam suatu bahasa yang mempunyai system infleksi yang hamper bersamaan. Ketiga, daftar semua bentuk inflektif dari nomina, pronominal, ajektiva dan lain-lain dalam hubungannya dengannya dengan jumlah, kasus, dan jenis (Kridalaksana (dalam Markhamah, dkk., 2018:79)

12

(3) Metode Pengelompokan (Leksikostatistik) a. Pengertian Leksikostatistik Leksikostatistik dikenal juga istilah lain yaitu glotokronologi yang juga mengandung

pengertian

yang

kira-kira

bertumpang

tindih.

Leksikostatistik adalah suatu teknik dalam pengelompokan bahasa yang lebih

cenderung

mengutamakan

peneropongan

kata-kata

pengelompokan itu berdasarkan presentase kesamaan dan perbedaan suatu bahasa dengan bahasa lain (Keraf (dalam Markhamah, dkk., 2018: 79-80). Salah stau tujuan lain dari linguistik historis adalah usaha untuk mengadakan pengelompokan (sub-grouping) bahasa-bahasa, sehingga bukan hanya diketahui diketahui bahwa antara bahasa-bahasa tertentu terdapat tali kekerabatan, tetapi juga dapat diketahui lebih lanjut bagaimana tingkat kekerabatan antara bahasa-bahasa itu (Keraf, 1996:106). Pengelompokan terhadap bahasa-bahasa ini memiliki tujuan untuk

mengetahui tingkat

kekerabatan antar bahasa. Tingkat

kekerabatan dari bahasa-bahasa akan menghasilkan kelompokkelompok kecil bahasa maupun kelompok besar. Keraf (1996:106) metode pengelompokan pada mulanya berkeyakinan bahwa setiap bahasa selalu bercabang dua. Metode ini biasa disebut stammbaumtheorie (1886) atau kemudian dikenal dengan nama Family Tree atau silsilah. Teori ini dipopulerkan oleh A. Schleicher. Metode pengelompokan dengan silsilah ini kemudian disempurnakan oleh Johan Schmidt (1843-1901) dengan teori gelombang. Teori ini mengatakan bahwa bahasa-bahasa dipergunakan secara berantai dalam suatu wilayah tertentu dan dipengaruhi oleh perubahan-perubahan yang terjadi pada suatu tempat tertentu (Keraf, 1996:110). Menurut Keraf (dalam Markhamah, dkk., 2018:80) leksikostatistik atau glotokronologi dapat dibatasi sebagai suatu teknik yang berusaha menemukan keterangan-keterangan (data-data) untuk suatu tingkat waktu yang agak tua dalam bahasa guna menentukan usia bahasa dan pengelompokan bahasa-bahasa.

13

b. Asumsi Dasar Leksikostatistik Berdasarkan penelitian-penelitian terhadap berbagai bahasa, diperoleh empat macam asumsi dasar. 1) Sebagai kosakata dari suatu bahasa sulit berubah bila dibandingkan dengan bagian lainnya, 2) Retensi (ketahanan) kosakata dasar adalah konstan sepanjang masa, 3) Perubahan kosakata dasar pada semua bahasa adalah sama, 4) Bila persentase dari dua bahasa kerabat (cognate) diketahui, dapat dihitung waktu pisah kedua bahasa tersebut. c. Teknik Leksikostatistik Perlu diambil langkah-langkah tertentu untuk menerapkan keempat asumsi dasar. Langkah-langkah tersebut merupakan teknik-teknik metode leksikostatistik, langkah-langkah yang diperlukan adalah: 1) Mengumpulkan kosakata dasar bahasa kerabat Dalam pengumpulan data, setiap gloss harus diterjemahkan dengan kata percakapan sehari-hari. Bila kita menghadapi pilihan antara dua kata atau lebih untuk suatu gloss, maka harus dilakukan secara random atau harus diundi. 2) Menetapkan pasangan kata kerabat (cognate) Menetapkan kata-kata kerabat (cognates) dari bahasa-bahasa yang diselidiki, maka hendaknya diikuti prosedur: (a) Gloss yang tidak diperhitungkan Pertama,

harus

dikeluarkan

gloss

yang

tidak

akan

diperhitungkan dalam penetapan kata kerabat atau non kerabat. Kedua, semua kata pinjaman entah dari bahasa-bahasa kerabat maupun dan bahasa-bahasa non kerabat. Ketiga, kata-kata jadian pada sebuah kata benda atau mengenai sebuah kata benda memperlihatkan bahwa kata itu bukan kata dasar. Keempat, jika dalam gloss ada dua kata yang sama, yang bersatu merupakan kata dasar dan lain kata jadian dengan dasar yang sama, maka gloss untuk kata dasar yang diperhitungkan, sedangkan jadiannya tidak diperhitungkan.

14

(b) Pengisolasian morfem terikat Dalam data-data yang telah dikumpulkan, terdapat morfemmorfem terikat, maka sebelum mengadakan perbandingan untuk mendapatkan kata kerabat atau non-kerabat, semua morfem terikat harus diisolasi terlebih dahulu agar mudah untuk menunjukkan kesamaan dalam satu pasangan. (c) Penetapan kata kerabat Bila dalam mengisolasi morfem terikat ternyata sebuah kata memiliki morfem dasar yang sama dengan kata untuk gloss lainnya, maka kata itu hanya diperhitungkan satu kali. Kata-kata yang sama dalam sebuah pasangan akan dinyatakan sebagai kata kerabat, sedangkan yang berbeda ditetapkan sebagai kata yang non-kerabat. Sebuah pasangan kata akan dinyatakan sebagai kata kerabat bila memenuhi salah satu ketentuan berikut: (1) Identik (2) Memiliki korespondensi fonemis (3) Kemiripan fonetis (4) Satu fonem berbeda 3) Menghitung usia atau waktu pisah kedua bahasa Waktu pisah antara dua bahasa kerabat yang telah diketahui prosentase kata kerabatnya, dapat dihitung dengan rumus berikut: 𝑤=

2𝑙𝑜𝑔. 𝐶 2𝑙𝑜𝑔. 𝑟

Dimana W= waktu perpisahan dalam ribuan (millenium) tahun lalu; r= retensi atau presentase konstan dalam 1000 tahun disebut juga indeks, C= persentase kerabat; log.=logaritma dari.. 4) Menghitung Jangka Kesalahan Cara yang biasa dipergunakan untuk menghindari kesalahan dalam statistic adalah memberi suatu perkiraan bahwa suatu hal terjadi bukan dalam waktu tertentu, tetapi dalam jangka waktu tertentu.

15

Untuk menghitung jangka kesalahan biasanya dipergunakan kesalahan standar, yaitu 70% dari kebenaran yang diperkirakan kesalahan standar diperhitungkan dengan rumus berikut:

𝑆=

√C. ( I − C) 𝑛

S= kesalahan standar dalam prosentase kata kerabat; C= persentase kata kerabat; n= jumlah kata yang dibandingkan (kerabat maupun non-kerabat) Leksikostatistik atau glototokronologi bukan hanya metode untuk menentukan waktu pisah dua bahasa kerabat, tetapi juga metode utnuk mengadakan

pengelompokan

bahasa-bahasa

kerabat.

Dengan

menggunakan dasar-dasar leksikostatistik, Swadesh mengusulkan suatu klasifikasi untuk menetapkan kapan kedua bahasa disebut dialek, disebut keluarga bahasa (language family), bila sekelompok bahasa termasuk rumpun bahasa (stock) dan sebagainya. d. Hasil Penelitian Linguistik Diakronik Mualita (2015) meneliti kekerabatan bahasa daerah di Indonesia dalam penelitian yang berjudul “Kekerabatan Bahasa Batak Toba dan Bahasa Batak Angkola Suatu Kajian Linguistik Historis Komparatif.” Penelitian Mualita berangkat dari keingintahuan peneliti mengenai hubungan kekerabatan antara Bahasa Batak Toba dengan Bahasa Batak Angkola. Mualita melalui penelitian ini menyimpulkan bahwa berdasarkan 200 kata Leksikostatistik Morris Swadesh terdapat 114 kata yang berkerabat yang terdiri dari 89 kata yang berkerabat identic dan 25 kata yang berkerabat namun mengalami perubahan bunyi baik bunyi vokal maupun bunyi konsonan. Sukesti (2015) meneliti tentang sejarah Bahasa Indonesia dalam penelitian yang berjudul “Pendekatan Linguistik Sinkronis dan Diakronis Pada Beberapa Dialek Melayu: Pemikiran Kritis Atas Sejarah Bahasa Melayu.” Penelitian Sukesti berangkat dari banyaknya perdebatan tentang asal usul bahasa Indonesia yang masih terus berlangsung. Penelitian ini membandingkan bahasa Indonesia dengan dialek Melayu Menado dan Melayu Ambon. Hasil yang diperoleh ialah bahasa Melayu yang menjadi cikal bakal bahasa Indonesia bukan merupakan dialek Melayu. 16

Widayati (2018) meneliti kekerabatan bahasa daerah di Indonesia dalam penelitian yang berjudul “Hubungan Kekerabatan Bahasa Nias dan Bahasa Sigulai.” Penelitian Widayati berangkat dari rasa penasaran peneliti karena jarak kedua wilayah tutur (Pulau Nias dan Pulau Simeulue) bahasa tersebut berjarak cukup jauh tetapi ada beberapa kata yang menunjukkan bahwa kedua kata tersebut memiliki kemiripan baik secara fonetis maupun kosa katanya. Widayati melalui penelitian ini menyimpulkan bahwa dari 200 kosa kata dasar Swadesh sebagai bahan analisis, ditemukan kesamaan leksikon keduanya sekitar 59%. Jika dihitung waktu pisah kedua bahasa yang dibandingkan melalui rumusan W = Log C/ 2 log.r. Hasilnya adalah 1,217. Artinya bahasa Nias dan Sigulai adalah bahasa yang berkerabat dan merupakan satu bahasa yang sama sekitar 1.217 tahun yang lalu atau sekitar tahun 800 Masehi (dihitung dari tahun 2017), sebelum akhirnya berpisah.

6. Simpulan Linguistik diakronik merupakan cabang ilmu bahasa yang memelajari sejarah perkembangan bahasa. Kajian dilakukan terhadap suatu bahasa pada kurun waktu tertentu sehingga dapat diketahui perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam tubuh suatu bahasa. Tujuan linguistik diakronik adalah memaparkan perkembangan suatu bahasa untuk dibandingkan dan atau untuk direkonstruksi. Perkembangan linguistik diakronik kemudian melahirkan linguistik bandingan historis. Cara kerja linguistik bandingan historis adalah membandingkan perkembangan yang terjadi dalam beberapa bahasa sehingga dapat diketahui sejarah suatu bahasa tersebut. Kajian linguistik diakronik atau linguistik bandingan historis dilakukan terhadap dokumentasi ujaran atau naskah-naskah kuno. Metode yang dikembangkan linguistik diakronik

meliputi

metode

perbandingan,

metode

rekonstruksi,

dan

metode

pengelompokan.

7. Daftar Pustaka Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta. Dik, S.C. dan Kooij, J.G. 1994. Ilmu Bahasa Umum. Jakarta: RUL. Junus, Umar. 1969. Sejarah dan Perkembangan ke Arah Bahasa Indonesia dan Bahasa Indonesia. Djakarta: Bhratara. Kaelan. 1998. Filsafat Bahasa: Masalah dan Perkembangannya. Yogyakarta: Pradigma Offset. 17

Keraf, Gorys. 1996. Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: Gramedia. Kridalaksana, Harimurti. 2005. Mongin-Ferdinand de Sassure (1857-1913) Peletak Dasar Strukturalisme dan Linguistik Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Markhamah, dkk. 2018. Teori Linguistik Beberapa Aliran Linguistik. Surakarta: Muhammadiyah University Press. Martinet, Andre. 1897. Ilmu Bahasa: Pengantar. Yogyakarta: Kanisius. Mualita, Gokma. 2015. “Kekerabatan Bahasa Batak Toba dan Bahasa Batak Angkola Suatu Kajian Linguistik Historis Komparatif.” Arkhais, Vol. 06 No. 1 Januari-Juni: 46. Parera, Josh Daniel. 1991. Kajian Linguistik Umum Historis Komparatif dan Tipologi Struktural. Jakarta: Penerbit Erlangga. Pateda, Mansoer. 1988. Linguistik (Sebuah Pengantar). Bandung: Angkasa Sukesti, Restu. 2015. “Linguistik Sinkronis dan Diakronis pada Beberapa Dialek Melayu: Pemikiran Kritis Atas Sejarah Bahasa Melayu.” Jurnal Bahasa dan Sastra 15 (1): 113. Verhaar, John.W.M. 1984. Pengantar Linguistik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Widayati, Dwi. 2018. “Hubungan Kekerabatan Bahasa Nias dan Bahasa Sigulai.” Jurnal Tutur, Vol. 4 No. 1 Februari. Asosiasi Peneliti Bahasa-bahasa Lokal.

18

Related Documents

Diakronis Revisi.docx
November 2019 1

More Documents from "Indah Prihatin"

Diakronis Revisi.docx
November 2019 1
Kajian Budaya Populer.docx
November 2019 1
Lpj Su Bem.doc
November 2019 31
Dokumen 1.docx
May 2020 14