DIAGNOSIS PENYAKIT GINJAL KRONIS Oleh dr. Nathania S. Diagnosis penyakit ginjal kronis didasarkan pada kriteria Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) berdasarkan penanda kerusakan ginjal dan penurunan laju filtrasi glomerulus < 60 mL/min/1.73m2 selama setidaknya 3 bulan. Anamnesis
Penyakit ginjal kronis kategori G1 sampai G3b sering kali asimtomatik. Gejala baru mulai timbul pada penyakit ginjal kronis kategori G4 dan G5. Pasien dengan penyakit penyerta lain seperti contohnya gangguan tubulointerstisial, penyakit kistik dan nefrotik sindrom dapat menunjukkan gejala lebih awal. Gejala yang timbul dapat dibedakan menjadi manifestasi uremik, asidosis metabolik, gangguan transpor air dan garam, anemia, dan manifestasi pada urin.[2,4] Manifestasi Uremik Kadar ureum yang tinggi pada pasien dapat menimbulkan manifestasi pada berbagai sistem organ. Gastrointestinal: anoreksia, mual, muntah dan diare Kulit: xerosis kutis, pruritus, ekimosis Kardiologi: perikarditis Neurologi: ensefalopati, neuropati perifer, restless leg syndrome Hematologi: gangguan platelet Reproduksi: disfungsi ereksi, penurunan libido, amenorrhea Manifestasi umum: kelelahan, malnutrisi, gangguan pertumbuhan Manifestasi Asidosis Metabolik Asidosis metabolik akibat penyakit ginjal kronis dapat menimbulkan manifestasi berupa: Malnutrisi energi protein Penurunan massa otot Kelemahan otot Gangguan Transpor Air dan Garam Gangguan transpor air dan garam ini akan bermanifestasi sebagai: Edema perifer Edema paru Hipertensi Anemia
Pada penyakit ginjal kronis, gejala anemia harus diwaspadai, berupa lemas dan mudah lelah Manifestasi pada Urin Penyakit ginjal kronis juga dapat menyebabkan kencing berbusa atau berwarna seperti teh. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik dilakukan untuk menemukan diagnosis penyebab penyakit ginjal kronis seperti diabetes mellitus dan hipertensi dan juga komplikasinya[2,4]. Periksa tekanan darah pasien untuk melihat adanya hipertensi atau tidak. Pada mata, dapat ditemukan edema periorbita, dan pada funduskopi dapat ditemukan tanda retinopati diabetik atau hipertensi. Pada auskultasi paru, bisa terdapat ronki yang mengarah ke edema paru. Pada abdomen, dapat ditemukan asites. Pada kulit juga dapat ditemukan adanya xerosis kutis atau ruam. Kemungkinan penyebab lain yang perlu digali adalah adanya pembesaran prostat yang dapat dilihat dari pemeriksaan digital rektal (digital rectal examination). Diagnosis Banding
Diagnosis banding penyakit ginjal kronis: Gagal ginjal akut Sindrom Alport Antiglomerular basement membrane disease Glomerulonefritis Nefropati diabetik Multiple myeloma Batu ginjal Nefrosklerosis[4] Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium dan penyakit ginjal kronis adalah sebagai berikut. Pemeriksaan Darah Lengkap Hemoglobin dapat ditemukan turun akibat anemia penyakit kronis yang terjadi pada penyakit ginjal kronis. Kadar Kreatinin Darah Kadar kreatinin darah bermanfaat untuk mengestimasi laju filtrasi glomerulus pada pasien. Laju filtrasi glomerulus (LFG) dapat diestimasi menggunakan metode-metode berikut: 1. Metode Cockcrof-Gault untuk mengukur klirens kreatinin (creatinine clearance, CCr)[16] CCr={((140–usia) x berat badan)/(72xSCr)}
Pada wanita, hasil dikali 0.85 CCr = mL/menit Usia dalam tahun Berat badan dalam kilogram Scr = serum kreatinin dalam mg/dL 2. Metode modification of diet in renal disease (MDRD)[17] LFG (mL/min/1.73 m²) = 175 × (Scr/88.4)-1.154 × (Age)-0.203 × (0.742 bila wanita) Scr (kreatinin serum) dalam satuan µmol/L Sebaiknya tidak digunakan pada estimasi LFG kurang dari 60 mL/min/1.73 m² 3. Metode Chronic Kidney Disease (CKD-EPI) LFG = 141 × min(Scr/κ, 1)α × max(Scr/κ, 1)-1.209 × 0.993Usia × 1.018 [bila wanita] × 1.159 [bila berkulit hitam] Scr = serum kreatinin dalam satuan µmol/L Κ = 61.0 pada wanita dan 79.6 pada pria α = -0.329 pada wanita dan -0.411 pada pria Min mengindikasikan Scr/κ atau 1, dan Max mengindikasikan Scr/κ atau 1 4. Metode Bedside Schwartz untuk pediatrik LFG (mL/min/1.73 m²) = (36.2 × tinggi badan dalam cm) / kreatinin dalam µmol/L Elektrolit dan Analisa Gas Darah Penyakit ginjal kronis dapat menyebabkan komplikasi berupa hiperkalemia dan metabolik asidosis. Untuk itu diperlukan pemeriksaan elektrolit dan analisa gas darah. Pada analisa gas darah, perhatikan kadar HCO3 dan pH untuk melihat ada tidaknya metabolik asidosis. Urinalisis Pada urinalisis, dapat ditemukan hematuria dan/atau proteinuria. Dapat juga ditemukan mikroalbuminuria (30 – 300 mg/24 jam) Pencitraan juga bermanfaat untuk diagnosis penyakit ginjal kronis, terutama untuk menentukan penyebab penyakit ginjal kronis.[4] Ultrasonografi Ginjal Pada pemeriksaan USG, dapat ditemukan ukuran ginjal yang mengecil, adanya obstruksi atau hidronefrosis dan batu ginjal. X-ray dengan Kontras Foto polos intravenous pyelography dapat bermanfaat pada penyakit ginjal kronik yang dicurigai terjadi akibat batu ginjal. Namun, dokter harus mempertimbangkan potensi toksisitas ginjal akibat penggunaan kontras intravena tersebut. Kontras dikontraindikasikan pada pasien dengan laju filtrasi glomerulus <60 mL/min/1.73 m2.
Foto polos abdomen dapat bermanfaat untuk melihat batu ginjal radioopak tetapi pemeriksaan ini bersifat tidak spesifik. CT Scan dan MRI Abdomen CT-scan abdomen dapat melihat batu saluran kemih, massa atau kista ginjal. Kontras intravena dikontraindikasikan pada pasien dengan LFG < 60 mL/min/1.73 m2. MRI dapat melihat massa ginjal dengan lebih jelas, misalnya pada karsinoma sel renal. Kontras dengan gadolinium tidak direkomendasikan pada laju filtrasi glomerulus < 30 mL/min/1.73 m2. Biopsi Renal Biopsi renal umumnya diindikasikan jika diagnosis etiologi penyakit ginjal kronis tidak jelas. Biopsi juga bermanfaat untuk memandu tata laksana penyakit ginjal kronis yang diakibatkan oleh etiologi tertentu, misalnya lupus.[4] Referensi 2. Emedicine. Chronic Kidney Disease. Updated: . Cited: 30-October 2017. Available from: https://emedicine.medscape.com/article/238798-overview 4. BMJ. Chronic kidney disease. Available from: http://bestpractice.bmj.com/bestpractice/monograph/84/diagnosis/step-by-step.html 16. National Kidney Foundation. Cockroft-Gault Formula. Available from: https://www.kidney.org/professionals/KDOQI/gfr_calculatorCoc
PENATALAKSANAAN PENYAKIT GINJAL KRONIS Oleh dr. Nathania S. Konsep penatalaksanaan pada penyakit ginjal kronis adalah menunda atau menghentikan proses perburukan penyakit, diagnosis dan tata laksana manifestasi serta penyebab penyakit ginjal kronis, serta merencanakan terapi pengganti ginjal (hemodialisis) untuk jangka panjang.[1,2] Menunda atau Menghentikan Proses Perburukan Penyakit Aspek utama untuk menunda atau menghentikan proses perburukan penyakit adalah dengan melakukan kontrol tekanan darah sesuai usia. Menurut kidney disease: improving global outcomes (KDIGO), aturan kontrol tekanan darah untuk penyakit ginjal kronis adalah:
Bila ekskresi albumin urin < 30 mg/24 jam (atau ekuivalen) dengan tekanan darah > 140/90 mmHg, target tekanan darah dengan obat anti-hipertensi yaitu ≤ 140 mmHg pada sistolik dan ≤ 90 mmHg pada diastolik Bila ekskresi albumin urin ≥ 30 mg/24 jam (atau ekuivalen) dengan tekanan darah > 130/80 mmHg, target tekanan darah dengan obat anti-hipertensi yaitu ≤ 130 mmHg pada sistolik dan ≤ 80 mmHg pada diastolik Angiotensin Receptor Blocker (ARB) atau Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI) direkomendasikan digunakan untuk pasien penyakit ginjal kronis dengan diabetes dan ekskresi albumin urin 30 – 300 mg/24 jam (atau ekuivalen) ARB atau ACEI direkomendasikan pada pasien penyakit ginjal kronis dengan atau tanpa diabetes dengan ekskresi albumin urin > 300 mg/24 jam (atau ekuivalen) Pada pasien anak-anak dengan penyakit ginjal kronis, obat antihipertensi diberikan bila tekanan darah secara konsisten berada di atas persentil 90 sesuai usia, jenis kelamin dan tinggi badan dan disarankan untuk menggunakan ARB dan ACEI untuk mencapai persentil 50, kecuali timbul tanda dan gejala hipotensi Perlu diperhatikan hipotensi postural pada pasien penyakit ginjal kronis dengan obat antihipertensi Pasien juga harus dibatasi asupan proteinnya sebanyak < 0.8 gr/kg/hari pada LFG < 30 ml/min/1.73 m2. Pasien yang dibatasi asupan proteinnya harus mendapat pengawasan status nutrisi secara teratur untuk mencegah terjadinya malnutrisi. Pengaturan gizi pada pasien hendaknya berkonsultasi dengan ahli gizi atau dokter spesialis gizi.[18,19] Dokter juga harus melakukan kontrol gula darah dengan target HbA1c 7.0%, kecuali bila timbul hipoglikemia saat menurunkan gula darah, serta membatasi asupan garam <2 gram per hari. Pasien juga harus dianjurkan untuk melakukan aktivitas fisik sekitar 30 menit selama 5x seminggu untuk mencapai berat badan ideal, kecuali pada pasien dengan gangguan kardiovaskular, dan berhenti merokok. Diagnosis dan Tata Laksana Manifestasi serta Penyebab Penyakit Ginjal Kronis Dokter menentukan dan menangani penyebab penyakit ginjal kronis, misalnya batu ginjal, untuk mencegah perburukan penyakit ginjal kronis pasien. Pada penyebab yang tidak jelas, biopsi ginjal dapat dipertimbangkan. Pada penyakit ginjal kronis dengan diabetes, metformin lebih disarankan dibandingkan sulfonilurea. Selain itu, dokter juga harus menangani manifestasi yang disebabkan oleh penyakit ginjal kronis, yaitu anemia, gangguan mineral tulang, edema/asites, asidosis metabolik, manifestasi uremia, komplikasi kardiovaskular, serta pada anak-anak dapat terjadi gangguan pertumbuhan. Anemia
Pengecekan Hb pada penyakit ginjal kronis tidak perlu dilakukan secara rutin pada pasien dengan laju filtrasi glomerulus (LFG) ≥ 60 mL/min/1.73 m2. Pada pasien dengan LFG 30 – 59 mL/min/1.73 m2, pemeriksaan dilakukan minimal 1 kali/tahun, dan pada LFG <30 mL/min/1.73 m2, pemeriksaan dilakukan minimal 2 kali/tahun. Pemberian eritropoietin disarankan dimulai bila Hb < 10 mg/dL dengan target Hb 10 – 12 mg/dL. Sebelum memulai terapi, sebaiknya dilakukan studi kadar besi di dalam darah. Target saturasi besi adalah 30 – 50% dan feritin 200 – 500 ng/mL. Gangguan Mineral Tulang Pengukuran kadar kalsium, fosfat, hormon paratiroid dan alkalin fosfatase dilakukan setidaknya satu kali pada pasien dengan LFG < 45 mL/min/1.73 m2. Bila diperlukan pemberian vitamin D, pemeriksaan ulang dilakukan setidaknya 3 bulan sekali. Bone mineral density tidak disarankan dilakukan pada pasien dengan LFG < 45 mL/min/1.73 m2. Rekomendasi pemberian vitamin D diberikan hingga kadar kalsium di atas 10.2 mg/dL. Bila kadar fosfat di atas 4.6 mg/dL, berikan pengikat fosfat, seperti kalsium asetat, sevelamer karbonat, atau lanthanum karbonat. Bila tetap tinggi setelah pemberian pengikat fosfat, hentkan terapi vitamin D.[20,21] Kelebihan Cairan Kelebihan cairan pada pasien yang terlihat dari adanya edema atau asites dapat ditatalaksana dengan loop diuretik atau ultrafiltrasi. Asidosis Metabolik Untuk penanganan asidosis metabolik, berikan suplemen bikarbonat per oral pada konsentrasi bikarbonat serum < 22 mmol/L hingga mencapai nilai normal, kecuali dikontraindikasikan. Manifestasi Uremik Pada manifestasi uremik yang berat, misalnya perikarditis, pertimbangkan untuk terapi pengganti ginjal seperti hemodialisis. Komplikasi Kardiovaskular Semua pasien penyakit ginjal kronis disarankan dipertimbangkan berada dalam risiko tinggi penyakit kardiovaskular. Terapi kejadian kardiovaskular pasien penyakit ginjal kronis disamakan dengan pasien yang tidak menderita penyakit ginjal kronis, tetapi pada pasien dengan gagal jantung, sebaiknya lakukan pengawasan laju filtrasi glomerulus dan kadar kalium darah. Gangguan Pertumbuhan pada Anak-anak Pada pasien anak dengan penyakit ginjal kronis yang mengalami gangguan pertumbuhan, pertimbangkan untuk memberikan terapi hormon. Persiapan Rujukan ke Spesialis
Penyakit ginjal kronis yang ditangani oleh dokter umum harus dirujuk ke spesialis bila ditemukan salah satu kondisi berikut: Gagal ginjal akut atau penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) secara drastis LFG < 30 mL/menit/1.73 m2 Ditemukan albuminuria terus menerus (albumin to creatinine ratio / ACR ≥ 30 mg/g [≥ 30 mg/mmol] atau albumin excretion rate / AER ≥ 300 mg/24 jam) Perburukan kondisi Terdapat tanda perdarahan dari saluran kemih (sel darah merah > 20 pada lapang pandang besar, dengan penyebab lain telah disingkirkan) Penyakit ginjal kronis dan hipertensi yang tidak membaik dengan 4 atau lebih obat-obatan antihipertensi Kelainan kalium darah yang terus menerus Batu saluran kemih yang berulang atau besar Gangguan ginjal bawaan[1] Kategori dan Rentang Albuminuria Persisten
Kategori dan Rentang Laju Filtrasi Glomerulus
A1
A2
A3
Normal – kenaikan ringan
Kenaikan sedang
Kenaikan berat
< 30 mg/g atau < 3 mg/mmol
30 – 300 mg/g atau 3 – 30 mg/mmol
> 300 mg/g atau > 39 mg/mmol
G1
Normal atau tinggi
> 90
Pengawasan
Rujuk*
G2
Turun ringan
60 – 89
Pengawasan
Rujuk*
Turun ringan – G3a sedang
45 – 59
Pengawasan
Pengawasan
Rujuk
Turun sedang – 30 – G3b berat 44
Pengawasan
Pengawasan
Rujuk
Rujuk*
Rujuk*
Rujuk
Rujuk
Rujuk
Rujuk
G4
Turun berat
15 – 29
G5
Gagal ginjal
< 15
*dokter yang merujuk dapat berdiskusi terlebih dahulu dengan ahli nefrologi Tabel 4. Alat pembantu pembuat keputusan rujukan berdasarkan LFG dan albuminuria. Indikasi Memulai Terapi Pengganti Ginjal (Renal Replacement Therapy)
Indikasi memulai cuci darah (hemodialisis) bila terdapat satu atau lebih hal berikut: Tanda dan gejala dari gagal ginjal seperti serositis, pruritus, gangguan asam-basa dan elektrolit darah Status volume dan tekanan darah yang tidak terkontrol Perburukan status nutrisi yang tidak membaik dengan intervensi diet Gangguan kognitif[1] Terapi cuci darah perlu dilakukan pengkajian dan pertimbangan keuntungan dan risiko yang terjadi, terutama pada pasien usia tua dan memiliki penyakit ginjal kronis kategori 5 (kategori paling berat, atau end-stage renal disease / ESRD) dengan berbagai komorbid. Pada pasien-pasien ini, hemodialisis justru berisiko mengurangi kualitas hidup dan status fungsional. Dalam beberapa studi yang melibatkan lebih dari 5200 pasien dalam terapi cuci darah, ditemukan 58% pasien mengalami nyeri kronik dan 49% pasien mengeluhkan nyeri yang bersifat sedang sampai berat [20,21]. Berikan suplementasi oral pada pasien yang menjalani hemodialisis untuk mencegah malnutrisi kurang energi protein (KEP). Transplantasi ginjal dipertimbangkan bila laju filtrasi glomerulus < 20 ml/menit/1.73 m2 atau terjadi perburukan dari kondisi yang telah terbukti adanya penyakit ginjal kronis lebih dari 6 – 12 bulan.[1,2] Perawatan Paliatif Pada pasien penyakit ginjal kronis yang tidak memilih untuk dilakukan hemodialisis atau transplantasi, diperlukan terapi komprehensif, meliputi tata laksana simtomatik dan manajemen nyeri, perawatan psikologis, spiritual dan kultural untuk pasien dan keluarganya. Pada pasien yang menerima terapi penggantian ginjal juga disarankan untuk mendapatkan pelayanan menjelang kematian (end-of-life care). Perawatan paliatif ini diperlukan terutama karena pada pasien geriatri karena gejala nyeri, dispnea, insomnia, cemas dan depresi sering terjadi[22,23]. Referensi 1. KDIGO. KDIGO 2012 Clinical Practice Guideline for the Evaluation and Management of Chronic Kidney Disease. Kidney International Supplements, 2013; 3(1) 2. Emedicine. Chronic Kidney Disease. Updated: . Cited: 30-October 2017. Available from: https://emedicine.medscape.com/article/238798-overview 18. National Kidney Foundation’s Kidney Disease Outcomes Initiative. Chronic kidney disease: evaluation, classification and stratifiction. Available at: http://www2.kidney.org/professionals/KDOQI/guidelines_ckd/toc.htm
19. National Kidney Foundation’s Kidney Disease Outcomes Initiative. KDOQI Clinical Practice Guidelines for Bone Metabolism and Disease in Chronic Kidney Disease. Available at: http://www2.kidney.org/professionals/kdoqi/guidelines_bone/guide7.htm 20. Combs SA, Davison SN. Palliative and end-of-life care issues in chronic kidney disease. Curr Opin Support Palliat Care, 2015; 9(1):14-19 21. Davison SN, Koncicki H, Brennan F. Pain in chronic kidney disease: a scoping review. Seminars in dialysis, 2014; 27(2):188 – 204