MAKALAH “DERMATITIS ATOPIK” Tugas ini disusun untuk memenuhi Mata Kuliah Sistem Integumen Dosen Pengampu: Adiratna Sekarsiwi, S.Kep, Ns, M.Kep
Disusun Oleh : Kelompok 1 1. Acmad Mulyadi
16142014647117
2. Agnes Ditasari
16142014649119
3. Amin Aji Budiman
16142014653123
4. Eni Yuliati
16142014669139
5. Etika Dewi Cahyaningrum
16142014671141
6. Etin Harwiyanti
16142014672142
7. Familia Nur Utami
16142014674144
8. Feri Wahyu Hidayah
16142014676146
9. Titik Suryaningrum
16142014705175
10. Yuli Ambarwati
16142014717187
PROGRAM STUDI KEPERAWATAN S1 ALIH JENJANG STIKES HARAPAN BANGSA PURWOKERTO TAHUN 2016 1
KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas ridhoNya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan berjudul “Dermatitis Atopik”. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas dari Mata Kuliah Sistem Integumen. Kami ucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan, sehingga saran dan kritik yang membangun sangat kami harapkan agar makalah ini menjadi lebih baik. Semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca.
Purwokerto, Oktober 2016
Penulis
2
DAFTAR ISI Halaman judul...................................................................................................1 Kata Pengantar .................................................................................................2 Daftar Isi ...........................................................................................................3 BAB I : Pendahuluan A. Latar Belakang………………………………………………………4 B. Rumusan Masalah…………………………………………………..5 C. Tujuan……………………………………………………………….5 BAB II : TINJAUAN TEORI A. B. C. D. E. F. G. H.
Definisi………………………………………………………………6 Etiologi dan Patogenesis……………………………………………6 Manifestasi Klinis dan Predileksi…………………………………..6 Kriteria Diagnostik…………………………………………………10 Patofisiologi………………………………………………………...11 Pathway…………………………………………………………….14 Pemeriksaan Laboratorium……………………………………..…15 Penatalaksanaan……………………………………………………15
BAB III : PEMBAHASAN A. Kasus….…………………….………………………………………19 B. Pembahasan….……………………………………………………..19 BAB III : PENUTUP A. Simpulan……………………………………………………………25 B. Saran………………………………………………………………..25 DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam beberapa dekade ini kejadian Dermatitis Atopik (D.A) semakin meningkat dan hal tersebut merupakan sebuah masalah besar yang tidak hanya menyangkut kehidupan penderita saja tetapi juga melibatkan keluarganya, 3
karena walaupun
penyebab D.A bersifat multifaktorial, faktor genetik
menjadi penyebab tersering dari D.A. Gejala klinis utama yang muncul pada D.A. adalah pruritus (gatal-gatal) yang dapat hilang timbul sepanjang hari dan sangat mengganggu aktivitas penderita. Kehilangan kadar air lewat epidermis yang meningkat disertai ujud kelainan kulit berupa papul, likenifikasi (akibat digaruk), erosi, ekskoriasi, bahkan krusta menyebabkan penderita merasa cemas dan tertekan (Chairiah, 2011) Dermatitis Atopik adalah peradangan pada kulit yang bersifat kronis dan sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum serta riwayat atopi pada keluarga dan penderita (rhinitis alergi dan atau asma bronchial). Berbagai faktor dapat menjadi penyebab dari D.A. anatara lain: genetik, lingkungan, sawar kulit, farmakologi dan imunologi. Konsep dasar dari terjadinya D.A. adalah melalui reaksi imunologik yang diperantai oleh sel-sel imunitas dari sum-sum tulang (Djuanda, 2010). Predileksi D.A. pada bayi terdapat di kedua pipi, kepala, badan, lipat siku, lipat lutut. Pada anak-anak terdapat pada tengkuk, lipat siku dan lipat lutut, sedangakan pada dewasa terdapat pada tengkuk, lipat lutut, lipat siku, punggung kaki (Siregar, 2003). Prinsip pengobatan kuratif pada pasien D.A. adalah menghindari faktor yang memperberat dan memicu siklus “gatal-garuk” dengan memberikan antihistamin sistemik. Pemberian obat topical berupa krim hidrofilik urea 10% sebagai pelembab hidrasi kulit dan kortikosteroid topical dapat memperbaiki kondisi D.A. (Djuanda, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Moro, et al (2006) menyebutkan bahwa penggunaan prebiotik oligosakarida dapat mngurangi insidensi D.A. pada bayi usia enam bulan, diduga laktobasilus memiliki peran yang potensial dalam peningkatan sistem imun postnatal dengan cara mengubah flora usus yang berperan dalam mencegah alergi primer selama priode bayi. Upaya prefentive D.A. dilakukan dengan cara menghindari faktorfaktor pencetus D.A., menjaga kelembaban kulit (menggunakan sabun pelembab dll), mandai dengan air yang suhunya sama dengan tubuh (tidak
4
menggunakan air panas, karena menyebabkan kulit kering), menghindari kontak dengan debu rumah, dan bulu binatang (Djuanda, 2010). B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana definisi/ pengertian dermatitis atopik? 2. Bagaimana etiologi dan patogenesis dermatitis atopik? 3. Bagaimana manifestasi klinis dan predileksi dermatitis atopik? 4. Bagaimana kriteria diagnostik dermatitis atopik? 5. Bagaimana patofisiologi dermatitis atopik? 6. Bagaimana pathway dermatitis atopik? 7. Bagaimana pemeriksaan laboratorium dermatitis atopik? 8. Bagaimana penatalaksanaan dermatitis atopik? C. Tujuan Penulisan Tujuan umum penulisan makalah ini adalah sebagai pemenuhan tugas Sistem Integumen yang berjudul “Dermatitis Atopik”. Tujuan khusus penulisan makalah ini adalah menjawab pertanyaan yang telah dijabarkan pada rumusan masalah agar penulis ataupun pembaca mengetahui dan memahami tentang dermatitis atopik.
BAB II TINJAUAN TEORI A. Definisi
Dermatitis atopik adalah peradangan kulit kronis residif disertai gatal yang umumnya sering terjadi selama masih bayi dan anak-anak, sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat atopik pada keluarga atau penderita (Djuanda, 2010). Riwayat atopik dalam keluarga atau pada penderita dapat berupa adanya riwayat ashma bronkial, rhinitis alergi, dan reaksi alergi terhadap serbuk-serbuk tanaman (Siregar, 2003). Dermatitis atopik adalah penyakit kulit inflamasi yang bersifat kronik residif disertai rasa gatal yang hebat serta eksaserbasi kronik dan remisi, dengan etiologi yang multifaktorial. Penyakit ini biasanya dihubungkan 5
dengan penyakit alergi lain seperti asma bronkial dan rhinokonjungtivitis alergi. B. Etiologi dan Patogenesis
Dermatitis atopik dapat disebabkan oleh faktor endogen yang lebih berperan sebagai faktor predisposisi dan faktor eksogen berperan sebagai faktor pencetus. Faktor endogen meliputi: faktor genetik, hypersensitivitas tipe 1 (IgE mediated) dan disfungsi sawar kulit. Sedangkan faktor eksogen meliputi: trauma fisika-kimia-panas, bahan iritan, alergi debu, tungau debu rumah (Piliang, 2012). 1. Faktor Endogen a. Faktor Genetik Faktor genetik melibatkan kromosom 5q31-33, kromosom ini banyak mengdung kumpulan family gen sitokin (IL-3, IL-4, IL13, dan GM-CSF), sedangkan jika IL-4 dan IL-13 meningkat dapat meningkatkan aktivasi limfosit T yang akhirnya limfosit T merangsang sel B untuk menstimulasi peningkatan IgE yang akan cepat bereaksi ketika ada allergen masuk. Peningkatan ekspresi GM-SCF akan mempertahankan hidup dan fungsi monosit, sel langerhans dan eosinofil. b. Disfungsi sawar kulit Penderita D.A. rata-rata memilki kulit kering, hal tersebut disebabkan hilangnya ceramid di kulit sebagai molekul utama sebagai pengikat air di ruang ekstraseluler stratum korneum, dianggap sebagai kelainan fungsi sawar kulit. Kelainan fungsi sawar kulit menyebabkan peningkatan transepidermal water loss 2-5 kali normal, sehingga kulit akan kering dan menjadi pintu masuk (port d’entry) untuk terjadinya penetrasi allergen, iritasi, bakteri dan virus (Djuanda, 2010). c. Hipersensitivitas Gangguan imunologi yang menonjol pada dermatitis atopik adalah adanya peningkatan IgE karena aktivitas limfosit T yang meningkat. Aktivitas limfosit T meningkat terjadi karena adanya pengaruh dari IL-4. Sementara produksi IL-4 dipengaruhi oleh
6
akttivitas sel T helper dan Sel T helper akan merangsang sel B untuk memproduksi IgE. Sel langerhans pada penderita D.A. bersifat abnormal, yakni dapat secara langsung menstimulasi sel T helper tanpa adanya antigen, sehingga sel langerhans akan meningkatkan produksi IgE. Secara normal antigen yang masuk ke dalam kulit akan berikatan dengan IgE yang menempel pada permukaan sel langerhens menggunakan FcɛRI. FcɛRI merupakan receptor pengikat IgE dengan sel langerhans. Pada orang yang menderita D.A. jumlah FcɛRI lebih banyak daripada orang normal. Sehingga terdapat korelasi antara kadar FcɛRI dengan kadar IgE dalam serum, semakin tinggi FcɛRI maka kadar IgE semakin tinggi pula (Djuanda,2010). Pada kulit penderita D.A. akan lebih banyak ditemukan sel-sel yang mengekspresikan mRNA IL-4 dan IL-13 daripada kulit orang normal. Begitupun jika terdapat lesi akut dan kronis pada penderita D.A. akan ditemukan jumlah yang lebih besar sel-sel yang mengekspresikan mRNA IL-4, IL-5 dan IL-13. Peningkatan IL-4, IL-13 memiliki efek meningkatkan produksi IgE, sedangkan prningkatan IL-5 akan menstimulasi pengerahan dan aktivasi dari sel eosinofil sehingga sangat mudah terjadi reaksi alergi (Baratawijawa, 2009). 2. Faktor Eksogen a. Lingkungan Faktor lingkungan bersih berpengaruh terhadap kekambuhan D.A. misalnya asap rokok, polusi udara, walaupun secara pasti belum terbukti. Suhu yang panas, kelembaban dan keringat yang banyak dapat memicu rasa gatal dan kekambuhan. b. Iritan Kulit penderita D.A. lebih rentan terhadap bahwan iritan seperti sabun alkalis, bahwan kimia yang terkandung pada berbagai obat gosok bayi dan anak, sinar matahari dan pakaian wol. c. Alergen Dari percobaan yang membandingkan reaksi placebo dengan tungau debu rumah (TDR), didapatkan hasil bahwa TDR yang 7
dihirup penderita D.A memberikan reaksi ekserbasi lesi di tempat lesi lama dan baru. Infeksi bakteri Staphylococcus aureus ditemukan pada lebih dari 90% lesi D.A. dan hanya 5% populasi normal. S.Aureus mensekresi superantigen yang dapat berpenetrasi di daerah inflamasi langerhans untuk memproduksi IL-1, TNF, dan IL-12 yang meningkatkan induksi inflamasi pada penderita D.A. d. Makanan Pada anak kecil, makanan sering menjadi faktor pencetus D.A. seperti telur, susu, gandum, kedele dan kacang tanah. Hasil pemeriksaan laboratorium dari bayi dan anak-anak dengan D.A. menunjukan reaksi positif terhadap (skin tes) beberapa jenis makanan. Reaksi + diikuti dengan adanya kenaikan eosinofil dalam plasma. C. Manifestasi Klinis dan Predileksi
Gejala klinis dan perjalanan dermatitis atopik sangat bervariasi, membentuk sindrom manifestasi diatesis atopi. Gejala utama dermatitis atopik ialah pruritus, dapat hilang
timbul
sepanjang
hari,
tetapi
umumnya lebih hebat pada malam hari. Akibatnya, penderita akan menggaruk sehingga timbul bermacam-macam kelainan kulit berupa papul, likenifikasi, eritema, erosi, eksoriasi, eksudasi, dan krusta. Kulit penderita dermatitis atopik umumnya kering, pucat atau redup, kadar lipid di epidermis berkurang, dan kehilangan air lewat epidermis meningkat. Lesi akut
pada dermatitis atopik berupa eritema dengan papul,
vesikel, edema yang luas dan luka akibat menggaruk. Sedangkan pada stadium kronik berupa penebalan kulit atau yang disebut likenifikasi. Selain itu, dapat terjadi fisura yang nyeri terutama pada fleksor,telapak tangan,jari dan telapak kaki.Pada orang berkulit hitam atau coklat dapat ditemukan likenifikasi folikular. Gejala utama penderita D.A. adalah pruritus yang dapat hilang timbul sepanjang hari, tetapi umumnya lebih hebat pada malam hari. Akibat dari garukan pasien timbul ujud kelainan kulit berupa papul, likenifikasi, 8
eritema, erosi, eksoriasi, eksudari dan krusta. 1. Dermatitis Atopik pada Anak (2 bulan sd 2 tahun) Lesi bisa muncul di muka (dahi, pipi) berupa eritema, papulovesikel yang halus, bila digosok dan pecah terjadi eksudatif dan terbentuk krusta. Lesi bisa meluas ke tempat lainyaitu ke leher, pergelangan tangan lengan dan tungkai. 2. Dermatitis Atopik pada Anak (Usia 2 sd 10 tahun) Dapat merupakan kelanjutan dari infantile atau muncul sendiri. Lesi lebih kering, banyak papul, likenifikasi dan sedikit skuama. Predileksi di lipat silku, lipat lutut, pergelangan tangan bagian fleksor, kelopak mata dan leher. 3. Dermatitis Atopik pada remaja dan dewasa Lesi kulit dapat berupa plak eritematosa, berskuama, plak likenifikasi, yang gatal. Pada D.A. remaja predileksi di lipat siku, lipat lutut, dahi dan sekitar mata. Pada D.A. dewasa, predileksi terdapat di pergelangan tangan, tungkai bawah, lengan dan leher. D. Kriteria Diagnostik
Berdasarkan metode Hanifin dan Rajaka yang dimodifikasi oleh William (1994), kriteria diagnostik D.A. sekurang-kurangnya harus memiliki 3 kriteria mayor dan 3 kriteria minor: 1. Kriteria Mayor a. Pruritus b. Dermatitis di muka atau ekstensor pada bayi dan anak c. Dermatitis fleksura pada dewasa d. Dermatitis kronis atau residif (Menahun dan kambuhan) e. Riwayat atopic pada penderita atau keluarga 2. Kriteria Minor a. Xerosis (kulit kering) b. Infeksi kulit (S. aureus dan virus herpes simplek) c. Dermatitis non sfesifik pada tangan dan kaki d. Iktiosis e. Ptiriasis alba f. Keratosis pilaris (bintil keras di siku/ lutut) g. Hiperliniar palmar (garis telapak tangan lebih jelas) h. Dermatitis di papilla mamae i. White dermografisme dan delayed blanch respon j. Gatal bila berkeringat
9
k.
Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan atau
l. m. n. o. p. q. r. s. t. u.
emosi Tes kulit alergi tipe dadakan positif Kadar IgE di dalam serum meingkat Hipersensitif terhadap makanan Intoleran terhadap wol dan pelarut lemak Konjuntivitis berulang Muka pucat atau eritem Orbita menjadi gelap Aksentuasi perifolikular Kelitis Keratokonus
Untuk D.A pada bayi kriteria dimodifikasi yaitu: 1. Kriteria Mayor a. Riwayat atopi pada keluarga b. Dermatitits di muka atau ekstensor c. Pruritus 2. Kriteria minor a. Xerosis/ Iktiosis/ Hiperliniaris Palmaris b. Fisura belakang telinga c. Skuama di scalp, kronis E. Patofisiologi
Pada dermatitis kontak iritan kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan iritan melalui kerja kimiawi maupun fisik. Bahan iritan merusak lapisan tanduk, dalam beberapa menit atau beberapa jam bahan-bahan iritan tersebut akan berdifusi melalui membran untuk merusak lisosom, mitokondria dan komponen-komponen inti sel. Dengan rusaknya membran lipid keratinosit maka fosfolipase akan diaktifkan dan membebaskan asam arakidonik akan membebaskan prostaglandin dan leukotrin yang akan menyebabkan dilatasi pembuluh darah dan transudasi dari faktor sirkulasi dari komplemen dan system kinin. Juga akan menarik neutrofil dan limfosit serta mengaktifkan sel mast yang akan membebaskan
histamin,
prostaglandin
dan
leukotrin.
PAF
akan
mengaktivasi platelets yang akan menyebabkan perubahan vaskuler. Diacil gliserida akan merangsang ekspresi gen dan sintesis protein. Pada
10
dermatitis kontak iritan terjadi kerusakan keratisonit dan keluarnya mediator- mediator. Sehingga perbedaan mekanismenya dengan dermatis kontak alergik sangat tipis yaitu dermatitis kontak iritan tidak melalui fase sensitisasi. Ada dua jenis bahan iritan yaitu : iritan kuat dan iritan lemah. Iritan kuat akan menimbulkan kelainan kulit pada pajanan pertama pada hampir semua orang, sedang iritan lemah hanya pada mereka yang paling rawan atau mengalami kontak berulang-ulang. Faktor kontribusi, misalnya kelembaban udara, tekanan, gesekan dan oklusi, mempunyai andil pada terjadinya kerusakan tersebut. Pada dermatitis kontak alergi, ada dua fase terjadinya respon imun tipe IV yang menyebabkan timbulnya lesi dermatitis ini yaitu : 1. Fase Sensitisasi Fase sensitisasi disebut juga fase induksi atau fase aferen. Pada fase ini terjadi sensitisasi terhadap individu yang semula belum peka, oleh bahan kontaktan yang disebut alergen kontak atau pemeka. Terjadi bila hapten menempel pada kulit selama 18-24 jam kemudian hapten diproses dengan jalan pinositosis atau endositosis oleh sel LE (Langerhans Epidermal), untuk mengadakan ikatan kovalen dengan protein karier yang berada di epidermis, menjadi komplek hapten protein. Protein ini terletak pada membran sel Langerhans dan berhubungan dengan produk gen HLA-DR (Human Leukocyte Antigen-DR). Pada sel penyaji antigen (antigen presenting cell). Kemudian sel LE menuju duktus Limfatikus dan ke parakorteks Limfonodus regional dan terjadilah proses penyajian antigen kepada molekul CD4+ (Cluster of Diferantiation 4+) dan molekul CD3. CD4+berfungsi
sebagai
pengenal
komplek
HLADR
dari
sel
Langerhans, sedangkan molekul CD3 yang berkaitan dengan protein heterodimerik Ti (CD3-Ti), merupakan pengenal antigen yang lebih spesifik, misalnya untuk ion nikel saja atau ion kromium saja. Kedua reseptor antigen tersebut terdapat pada permukaan sel T. Pada saat ini telah terjadi pengenalan antigen (antigen recognition). Selanjutnya sel Langerhans dirangsang untuk mengeluarkan IL-1 (interleukin-1) yang
11
akan merangsang sel T untuk mengeluarkan IL-2. Kemudian IL-2 akan mengakibatkan proliferasi sel T sehingga terbentuk primed me mory T cells, yang akan bersirkulasi ke seluruh tubuh meninggalkan limfonodi dan akan memasuki fase elisitasi bila kontak berikut dengan alergen yang sama. Proses ini pada manusia berlangsung selama 14-21 hari, dan belum terdapat ruam pada kulit. Pada saat ini individu tersebut telah tersensitisasi yang berarti mempunyai resiko untuk mengalami dermatitis kontak alergik. 2. Fase elisitasi
Fase elisitasi atau fase eferen terjadi apabila timbul pajanan kedua dari antigen yang sama dan sel yang telah tersensitisasi telah tersedia di dalam kompartemen dermis. Sel Langerhans akan mensekresi IL-1 yang akan merangsang sel T untuk mensekresi Il-2. Selanjutnya IL-2 akan merangsang INF (interferon) gamma. IL-1 dan INF gamma akan merangsang keratinosit memproduksi ICAM-1 (intercellular adhesion molecule-1) yang langsung beraksi dengan limfosit T dan lekosit, serta sekresi eikosanoid. Eikosanoid akan mengaktifkan sel mast dan makrofag untuk melepaskan histamin sehingga terjadi vasodilatasi dan permeabilitas yang meningkat. Akibatnya timbul berbagai macam kelainan kulit seperti eritema, edema dan vesikula yang akan tampak sebagai dermatitis. Proses peredaan atau penyusutan peradangan terjadi melalui beberapa mekanisme yaitu proses skuamasi, degradasi antigen oleh enzim dan sel, kerusakan sel Langerhans dan sel keratinosit serta pelepasan Prostaglandin E-1dan 2 (PGE-1,2) oleh sel makrofag akibat stimulasi INF gamma. PGE-1,2 berfungsi menekan produksi IL-2R sel T serta mencegah kontak sel T dengan keratisonit. Selain itu sel mast dan basofil juga ikut berperan dengan memperlambat puncak degranulasi setelah 48 jam paparan antigen, diduga histamin berefek merangsang molekul CD8 (+) yang bersifat sitotoksik. Dengan beberapa mekanisme lain, seperti sel B dan sel T terhadap antigen spesifik, dan akhirnya menekan atau meredakan peradangan.
12
F. Pathway
G. Pemeriksaan Laboratorium
1. Uji temple pada Kulit Dilakukan dengan cara aplikasi epikutan aeroallergen yakni menggunakan tungau debu rumah pada penderita atopik, terdapat 3050% penderita mengalami eksaserbasi di lesi lama. 2. Tes Kulit dadakan
13
Pada penderita atopik akan menunjukan hasil positif yang diikuti oleh kenaikan mencolok histamin dalam plasma serta aktivasi eosinofil. 3. Immunoglobulin Dilakukan pemeriksaan kadar IgE pada penderita D.A. dengan hasil terjadinya peningkatan IgE pada 80 sd 90% penderita. Tinggi rendahnya IgE tidak berkaitan atau tidak mengalami fluktuasi baik pada saat eksaserbasi, remisi maupun pengobatan. 4. Pemeriksaan Leukosit darah Pemeriksaan jumlah limfosit pada penderita D.A. dalam batas normal. Kadar eosinofil pada penderita D.A. sering meningkat seiring meningkatnya IgE, sedangkan leukosit PMN berdasarkan uji nitro blue tetrazolium (NBT) berada dalam batas normal. H. Penatalaksanaan
1. Non Farmakologis Prinsip dari terapi non farmakologis adalah mengingatkan pasien untuk menghindari faktor pencetus seperti makanan yang membuat alergi, bahan-bahan iritan, suhu, stress emosi dll. a. Mengurangi stress Stress emosi pada penderita dermatitis atopik merupakan pemicu kekambuhan, bukan sebagai penyebab. Usaha-usaha mengurangi stress adalah dengan melakukan konseling pada penderita dermatitis atopik, terutama yang mempunyai kebiasan menggaruk. Pada suatu penelitian small randomized trials. Pendekatan psiko-terapi perlu dilaksanakan untuk mengurangi stress kejiwaan penderita. Relaksasi, modifikasi mood dan biofeedback mungkin berguna pada penderita dengan kebiasaan menggaruk b. Edukasi pada penderita maupun keluarganya Edukasi merupakan dasar dari suksesnya penatalaksanaan dermatitis atopik, yaitu perawatan kulit yang benar dan menghindari penyebab. Memberikan edukasi tentang penyakitnya, faktor-faktor
pemicu
kekambuhan,
kebiasaan
hidup
dan
14
sebagainya perlu diberikan pada penderita untuk memperoleh hasil yang optimal. Pada suatu
penelitian dikatakan bahwa
program edukasi
orangtua tentang tatacara pengobatan topikal oleh penyedia pelayanan kesehatan akan
sangat berguna untuk penderita
dermatitis atopik. c. Balut basah (wet wrap dressing) Balut basah (wet wrap dressing) dapat diberikansebagai terapi tambahan untuk mengurangi gatal, terutama untuk lesi yang berat dan kronik atau yang refrakter terhadap pengobatan biasa. Bahan pembalut (kasa balut) dapat diberilarutan kortikosteroid atau mengoleskan krim kortikosteroid pada lesi kemudian dibalut basah dengan air hangat danditutup dengan lapisan atau baju kering di atasnya. Cara inisebaiknya dilakukan secara intermiten dan dalam waktu tidak lebih dari 2-3 minggu. Balut basah dapat pula
dilak
dengan mengoleskan emolien saja di ukan bawahnya sehinggamemberi rasa mendinginkan dan mengurangi gatal sertaberfungsi sebagai
pelindung
efektif
terhadap
garukansehingga mempercepat penyembuhan. Balut basah banyak dijadikan terapi lini kedua atau ketiga untuk anak-anak yang resisten
terhadap dermatitis atopik
walaupun belum ada data yang mendukung 2. Farmakologis a. Topikal 1) Hidrasi Kulit Tipe kulit pada penderita D.A. yang kering dan rentan menjadi
pintu
masuk
allergen
dapat
dicegah
dengan
memberikan pelembab. Bisa menggunakan krim hidrofilik urea 10% yang ditambahkan hidrokortison 1% di dalamnya. Setelah mandi, kulit di lap kemudian gunakan emolien sebagai pelembab. 2) Kortikosteroid Digunakan sebagai antiinflamasi lesi kulit. Pada bayi gunakan steroid berpotensi rendah seperti hidrocortison 1%-
15
2,5%. Pada anak dan dewasa gunakan steroid potensi menengah seperti triamsinolon kecuali muka dan genitalia tetap pakai potensi rendah. Bila penyakit telah terkontrol gunakan secara intermiten 2x seminggu dengan steroid potensi paling rendah. Pada lesi akut yang basah, dikompres dulu dengan larutan burowi atau permanganas kalikus 1:5000. 3) Imunomodulator topical Takrolimus bekerja sebagai penghambat aktivasi sel dalam D.A seperti sel langerhans, sel T dan sela Mas. Sediaan bentuk salep 0.03% untuk anak usia 2-15 tahun dan untuk dewasa 0.03% atau 0.1%. Pada pengobatan jangka panjang tidak ada efek samping kecuali rasa terbakar setempat. Pimekrolimus cara kerja hampir sama dengan takrolimus. Sediaan yang dipakai adalah konsentrasi 1% , aman pada anak dan dapat dipakai pada kulit sensitive 2x sehari. 4) Antihistamin Tidak dianjurkan karena berpotensi kuat menimbulkan sensitisai pada kulit. Pemakaian krim doksepin 5% dalam jangka pendek dapat mengurangi gatal tanpa sensitisasi. 5) Preparat Ter Memiliki efek sebagai anti pruritus dan anti inflamasi pada kulit. Diapakai pada lesi kronis dengan sediaan salep hidrolik misalnya yang mengandung likuor karbonis detergen 5%. b. Sistemik 1) Kortikosteroid Digunakan dalam jangka pendek, dosis rendah, atau di tapering kemudian diganti dengan steroid topical. Obat ini hanya digunakan untuk pengendalian eksaserbasi akut. 2) Antihistamin Digunakan untuk mengurangi rasa gatal hebat terutama malam hari. Gunakan antihistamin dengan efek sedative seperti difenhidramin, hidroksisin agar pasien bisa istirahat dan tidak menggaruk. Pada kasus sulit gunakan doksepin hidroklorid 1075 mg/ oral/ 2x sehari untuk 10 hari. 3) Anti infeksi
16
Untuk bakteri S.aureus dapat diberikan eritromisin, asitromisin atau kaltromisin. Untuk infeksi virus dapat gunakan asiclovir 3x400 mg/hariselama 10 hari. 4) Interferon IFN-ɤ bekerja menekan respon IgE dan menurunkan fungsi dan proliferasi sel TH2. IFN-ɤ rekombinan dapat menurunkan jumlah eosinofil total. 5) Siklosporin Digunakan jika D.A. sulit diobati dengan cara konvensional. Siklosporin merupakan imunosupresif kuat terutama bekerja pada sel T akan terikat pada cyclophilin menjadi suatu kompleks yang akan menghambat calcineurin sehingga transkripsi sitokin ditekan. BAB III PEMBAHASAN A. Kasus 1. Identitas Pasien Nama Pasien : Ny. A 2. Keluhan Utama Pasien mengeluhkan gata-gatal sejak 2 hari yang lalu, rasa panas 3. Riwayat Penyakit Sekarang a. Pasien mengeluhkan gatal-gatal sejak 2 hari yang lalu b. Rasa panas dan kemerahan didaerah wajah, leher, dan punggung c. Timbul rasa panas akibat garukan d. Gatal meningkat saat terkena sinar matahari langsung atau berkeringat dan berkurang saat pasien mandi dan memberikan talk pada daerah yang gatal/ minum obat anti histamin. 4. Riwayat Penyakit Dahulu Pasien mempunyai riwayat alergi terhadap beberapa jenis makanan 5. Riwayat Penyakit Keluarga Ayah pasien meninggal dunia karena penyakit asma B. Pembahasan Berdasar kasus diatas kelompok menyepakati bahwa diagnosa dari kasus tersebut adalah Dermatitis Atopik. Data dari tersebut merujuk pada masalah Dermatitis Atopik, yaitu peradangan kulit kronis residif disertai gatal yang umumnya sering terjadi selama masih bayi dan anak-anak, 17
sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat atopik pada keluarga atau penderita (Djuanda, 2010). Riwayat atopik dalam keluarga atau pada penderita dapat berupa adanya riwayat ashma bronkial, rhinitis alergi, dan reaksi alergi terhadap serbuk-serbuk tanaman (Siregar, 2003). Dermatitis atopik dapat disebabkan oleh faktor endogen yang lebih berperan sebagai faktor predisposisi dan faktor eksogen berperan sebagai faktor pencetus. Faktor endogen meliputi: faktor genetik, hypersensitivitas tipe 1 (IgE mediated) dan disfungsi sawar kulit. Sedangkan faktor eksogen meliputi: trauma fisika-kimia-panas, bahan iritan, alergi debu, tungau debu rumah (Piliang, 2012). Dari kasus tersebut, faktor endogen pada Ny.A kemungkinan dapat dari faktor genetik maupun hipersensitivitas. Ayah Ny.A memiliki riwayat penyakit asma dimana 80% anak dengan dermatitis atopik mengalami asma bronkial atau rhinitis alergik. Terbukti bahwa ada hubungan secara sistemik antara dermatitis atopik dan alergi saluran napas (Safarina, 2014). Untuk memastikan apakah genetik merupakan faktor utama atau bukan penyebab terjadinya dermatitis atopic pada Ny.A maka perlu dilakukan tes genetika. Kromosom 5q31-33 mengandung kumpulan familygen sitokin IL-3, IL-4, IL-13, dan GM-CSF, yang diekspresikan oleh sel TH2. Ekspresi gen IL-4 memainkan peranan penting dalam ekspresi dermatitis atopik. Perbedaan presdiposisi
genetik
aktivitas
dermatitis
atopik.
transkripsi Ada
gen
IL-4
mempengaruhi
hubungan yang
erat
antara
polimorfisme spesifik gen kimase sel mas dengan dermatitis atopik, tetapi tidak dengan asma bronkial atau rhinitis alergik (Safarina, 2014). Kelainan atopik lebih banyak diturunkan dari garis keturunan ibu daripada garis keturunan ayah. Sejumlah survey berbasis populasi menunjukkan bahwa resiko anak yang memiliki atopik lebih besar ketika ibunya memiliki atopik, daripada ayahnya. Darah tali pusat IgE cukup tinggi pada bayi yang ibunya atopik atau memiliki IgE yang tinggi, sedangkan atopik paternal atau IgE yang meningkat tidak berhubungan
18
dengan kenaikan darah tali pusat IgE. Dermatitis atopik lebih banyak ditemukan pada penderita yang mempunyai riwayat atopi dalam keluarganya (Safarina, 2014). Faktor endogen pada
Ny.A
kemungkinan
juga
karena
hipersensitivitas atau reaksi imunologik. Terjadinya dermatitis atopik adalah melalui reaksi imunologik, yang diperantai oleh sel-sel yang berasal dari sumsum tulang. Beberapa parameter imunologi dapat diketemukan pada dermatitis atopik, seperti kadar IgE dalam serum penderita pada 60-80% kasus meningkat, adanya IgE spesifik terhadap bermacam aerolergen dan eosinofilia darah serta diketemukannya molekul IgE pada permukaan sel langerhans epidermal (Safarina, 2014). Faktor eksogen pada Ny.A kemungkinan karena makanan. Makanan sering menjadi faktor pencetus D.A. seperti telur, susu, gandum, kedele dan kacang tanah, dll. Dari kasus tersebut diketahui bahwa Ny.A mempunyai riwayat alergi terhadap beberapa jenis makanan. Untuk memastikan apakah Ny.A memiliki riwayat alergi makanan maka harus dilakukan tes laboratorium. Hasil pemeriksaan laboratorium dengan D.A. menunjukan reaksi positif terhadap (skin tes) beberapa jenis makanan. Reaksi positif diikuti dengan adanya kenaikan eosinofil dalam plasma. Keluhan yang disampaikan Ny.A jelas mengarah pada Dermatitis Atopik. Gejala klinis dan perjalanan dermatitis atopik sangat bervariasi, membentuk sindrom manifestasi diatesis atopi. Gejala utama dermatitis atopik ialah pruritus, dapat hilang timbul sepanjang hari, tetapi umumnya lebih hebat pada malam hari. Akibatnya, penderita akan menggaruk sehingga
timbul
bermacam-macam
kelainan
kulit
berupa
papul,
likenifikasi, eritema, erosi, eksoriasi, eksudasi, dan krusta. Kulit penderita dermatitis atopik umumnya kering, pucat atau redup, kadar lipid di epidermis berkurang, dan kehilangan air lewat epidermis meningkat. Lesi kulit dapat berupa plak eritematosa, berskuama, plak likenifikasi, yang gatal. Pada D.A. remaja predileksi di lipat siku, lipat lutut, dahi dan sekitar mata. Pada D.A. dewasa, predileksi terdapat di pergelangan tangan, tungkai bawah, lengan dan leher (Safarina, 2014).
19
Kriteria diagnostik D.A. sekurang-kurangnya harus memiliki 3 kriteria mayor dan 3 kriteria minor. Kriteria mayor yang ditemukan pada Ny.A meliputi (yang dicetak tebal): a. Pruritus b. Dermatitis di muka atau ekstensor pada bayi dan anak c. Dermatitis fleksura pada dewasa d. Dermatitis kronis atau residif (Menahun dan kambuhan) e. Riwayat atopik pada penderita atau keluarga Kriteria minor yang ditemukan pada Ny.A meliputi (yang dicetak tebal): a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k.
Xerosis (kulit kering) Infeksi kulit (S. aureus dan virus herpes simplek) Dermatitis non sfesifik pada tangan dan kaki Iktiosis Ptiriasis alba Keratosis pilaris (bintil keras di siku/ lutut) Hiperliniar palmar (garis telapak tangan lebih jelas) Dermatitis di papilla mamae White dermografisme dan delayed blanch respon Gatal bila berkeringat Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan atau
l. m. n. o. p. q. r. s. t. u.
emosi Tes kulit alergi tipe dadakan positif Kadar IgE di dalam serum meingkat Hipersensitif terhadap makanan Intoleran terhadap wol dan pelarut lemak Konjuntivitis berulang Muka pucat atau eritem Orbita menjadi gelap Aksentuasi perifolikular Kelitis Keratokonus Ny.A menyampaikan bahwa gatal berkurang saat pasien mandi dan
memberikan talk pada daerah yang gatal/ minum obat anti histamin. Antihistamin digunakan sebagai antipruritus yang cukup memuaskan, membantu untuk mengurangi rasa gatal yang hebat terutama pada malam hari. Karena dapat mengganggu tidur, antihistamin yang dipakai ialah yang mempunyai efek sedatif, misalnya hidroksisin, difenhidramin dan sinequan. Cetrizine dan fexofenadine telah diuji keberhasilannya untuk mengatasi rasa gatal pada penderita dermatitis atopik anak-anak dan dewasa. Pada kasus yang lebih sulit dapat diberikan doksepin hidroklorid 20
yang mempunyai antidepresan dan memblokade reseptor histamine H1 dan H2, dengan dosis 10-75 mg secara oral malam hari pada dewasa. Pada suatu penelitian menyatakan bahwa penggunaan antihistamin mempunyai bukti yang tidak adekuat untuk terapi dermatitis atopik, meskipun anti histamin dianjurkan karena memiliki efek sedatif (Safarina, 2014). Pengobatan yang dapat diberikan pada Ny.A meliputi non farmakologi dan farmakologi. Penanganan non farmakologi meliputi: mengurangi stress, edukasi pada penderita maupun keluarganya, dan balut basah (wet wrap dressing). Prinsipnya adalah menghindari faktor pencetus (makanan yg membuat alergi, bahan iritan, suhu, stress emosi, dll). Penanganan
farmakologi
meliputi:
hidrasi
kulit,
kortikosteroid,
imunomodulator topical, dan antihistamin (Safarina, 2014). Antibiotik juga dapat diberikan pada penderita dermatitis atopik. Pada penderita dermatitis atopik lebih dari 90% ditemukan peningkatan koloni Staphylococcus aureus. Untuk yang belum resisten dapat diberikan eritromisin, asitromisin atau klaritomisin, sedang untuk yang sudah resisten diberikan dikloksasilin, oksasilin, atau generasi pertama sefalosporin. Apabila dicurigai terinfeksi oleh virus herpes simpleks, kortikosteroid dihentikan sementara dan diberikan oral asiklovir. Meskipun kombinasi kortikosteroid topikal dan antibiotik digunakan dalam terapi dermatitis atopik, tetapi tidak ada bukti yang baik bahwa kombinasi keduanya memiliki manfaat yang lebih dibandingkan pemakaiankortikosteroid topikal saja.
21
BAB IV PENUTUP A. Simpulan 1. Dermatitis atopik pada kasus ini ditegakan dari hasil anamnesis dan gejala klinis berupa terpenuhinya minimal 3 gejala mayor berupa pruritus, dermatitis yang menahun, dan terdapat riawayat alergi pada penderita dan keluarga korban dalam hal ini ayah korban. Sementara 3 gejala minor 3 yang dialami pasien pada kasus ini meliputi kulit kering, gatal bila berkeringat dan hipersensitiv terhadap beberapa makanan. 2. Terapi pada dermatitis atopik dapat berupa terapi nonfarmakologis dengan cara menghidari faktor pencetus dan juga terapi farmakologis berupa terapi topikal dan sistemik. B. SARAN Saran penulis sebagai penyusun makalah ini: 1. Penentuan diagnosa keperawatan untuk
dermatitis
atopik,
harus
mempertimbangkan tanda gejala mayor maupun minor. 2. Klien dengan dermatitis atopik, harus lebih cermat melihat tanda gejala yang muncul sehingga dapat diketahui secara dini dan segera ditangani dengan tepat.
22
3. Perawatan klien, sebaiknya melibatkan orang terdekat klien, seperti keluarga, kerabat maupun teman akrab klien sehingga faktor pencetus dapat dikontrol oleh klien dan keluarganaya secara maksimal.
23
DAFTAR PUSTAKA Baratawijaya, K.G. 2010. Imunologi Dasar. Jakarta: FK UI Djuanda, A. 2010. Ilmu Penyakit Kulit Kelamin. Edisi kelima. Jakarta: FK UI Fitzpatrick’s. Color Atlas and Synopsis Of Clinical Dermatology. Sixth Edition. New York: Mc Graw Hill. Moro, et al. 2006. Probiotic Oligosaccarides Reduces The Incidences Of Atopic Dermatitis During The First Sixt Mounth Of Ages. Arch Dis Child 2006;91:814-8 Piliang, M. 2012. Dermatitis Atopic. Disease Management Project. Diunduh pada tanggal
10
Oktober
2016
dari
http://www.clevelandclinicmeded.com/medicalpubs/diseasemanagement/d ermatology/atopic-dermatitis/ Safarina, D D. 2014. Karakteristik Penderita Dermatitis Atopik di Poliklinik RSUP dr. Kariadi Semarang. Diunduh pada tanggal 13 Oktober 2016 dari http://eprints.undip.ac.id/44524/ Saraswati. S, Budi. 2004. Kesesuaian Antara Hasil Uji Tusuk dengan Pemeriksaan IgE Spesifik Terhadap Alergen Makanan Pada Dermatitis Atopik. Diunduh pada tanggal 13 Oktober 2016 dari http://eprints.undip.ac.id/14881/ Siregar, R.S, 2003. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta: EGC
24