DEMENSIA
A. Definisi Demensia merupakan sebuah sindrom bukan merupakan satu penyakit tunggal. Demensia merupakan gangguan yang terjadi pada fungsi luhur, termasuk didalamnya fungsi memori, orientasi, komprehensi, kalkulasi, kapasitas belajar, bahasa, kepribadian dan pengambilan keputusan sehingga mempengaruhi aktivitas kerja dan sosial secara bermakna.1,2 Gejala dominan bergantung pada daerah otak yang paling terganggu akibat penyakit yang mendasarinya. Pada fase awal, ditemukan defisit kortikal fokal yang akan memberat sesuai dengan keterlibatan difus dari kedua hemisfer serebri.1
B. Etiologi Terdapat beberapa etiologi demensia, namun yang paling umum adalah degeneratif.1
C. Epidemiologi Etiologi paling umum pada demensia adalah penyakit Alzheimer dan vaskular, yang umum ditemukan pada penyakit di usia tua. Prevalensi demensia pada usia antara 50 dan 70 tahun adalah 1% dan pada usia yang mendekati 90 tahun mencapai 50%. Rasio insidens tahunan mencapai 190/100.000 dan dengan peningkatan usia pada populasi, diperkirakan akan semakin meningkat.1 Data dari BAPPENAS 2013, angka harapan hidup di Indonesia (laki-laki dan perempuan) naik dari 70,1 tahun pada periode 20102015 menjadi 72,2 tahun pada periode 2030-2035. Hasil proyeksi juga menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia selama 25 tahun ke depan akan mengalami peningkatan dari 238,5 juta pada tahun 2010 menjadi 305,8 juta pada tahun 2035. Jumlah penduduk berusia 65 tahun ke atas akan meningkat dari 5,0 % menjadi 10,8 % pada tahun 2035.3
D. Klasifikasi Demensia neurodegeneratif primer
1. Penyakit Alzheimer Penyakit Alzheimer (PA) masih merupakan penyakit neurodegeneratif yang tersering ditemukan (60-80%).5 Penyakit ini jarang ditemukan pada individu dibawah usia 45 tahun, kecuali pada kasus familial, dengan insidens yang meningkat pesat seiring peningkatan usia, terutama pada pasien diatas usia 70 tahun. Penyakit Alzheimer diidentifikasikan dengan adanya plak amyloid ekstraseluler dan neurofibrillary tangles (jeratan neurofibriler) intraselular di otak. Plak amyloid-ß berasal dari protein precursor yang lebih besar yaitu PPA.1 Karateristik klinik berupa penurunan progresif memori episodik dan fungsi kortikal lain. Gangguan motorik tidak ditemukan kecuali pada tahap akhir penyakit. Gangguan perilaku dan ketergantungan dalam aktivitas hidup keseharian menyusul gangguan memori episodik mendukung diagnosis penyakit ini. Penyakit ini mengenai terutama lansia (>65 tahun) walaupun dapat ditemukan pada usia yang lebih muda. Diagnosis klinis dapat dibuat dengan akurat pada sebagian besar kasus (90%) walaupun diagnosis pasti tetap membutuhkan biopsi otak yang menunjukkan adanya plak neuritik (deposit β-amiloid40 dan β-amiloid42) serta neurofibrilary tangle (hypertphosphorylated protein tau). Saat ini terdapat kecenderungan melibatkan pemeriksaan biomarka neuroimaging (MRI struktural dan fungsional) dan cairan otak (β-amiloid dan protein tau) untuk menambah akurasi diagnosis.4
2. Demensia dengan badan lewy Demensia Lewy Body (DLB) adalah jenis demensia yang sering ditemukan. Sekitar 15-25% dari kasus otopsi demensia menemui kriteria demensia ini.9,10 Gejala inti demensia ini berupa demensia dengan fluktuasi kognisi, halusinasi visual yang nyata (vivid) dan terjadi pada awal perjalanan penyakit orang dengan Parkinsonism. Gejala yang mendukung diagnosis berupa kejadian jatuh berulang dan sinkope, sensitif terhadap neuroleptik, delusi dan atau halusinasi modalitas lain yang sistematik. Juga terdapat tumpang tindih temuan patologi antara DLB dan PA.11 Namun secara klinis orang dengan DLB cenderung mengalami gangguan fungsi eksekutif dan visuospasial sedangkan performa memori verbalnya relatif baik jika dibanding dengan PA yang terutama mengenai memori verbal. Demensia Penyakit Parkinson (DPP) adalah bentuk demensia yang juga sering ditemukan. Prevalensi DPP 23-32%, enam kali lipat dibanding populasi umum (34%). Secara klinis, sulit membedakan antara DLB dan DPP. Pada DLB, awitan
demensia dan Parkinsonism harus terjadi dalam satu tahun sedangkan pada DPP gangguan fungsi motorik terjadi bertahun-tahun sebelum demensia (10-15 tahun).8
3. Demensia lobus frontotemporal Demensia Frontotemporal (DFT) adalah jenis tersering dari Demensia Lobus Frontotemporal (DLFT). Terjadi pada usia muda (early onset dementia/EOD) sebelum umur 65 tahun dengan rerata usia adalah 52,8 - 56 tahun. Karakteristik klinis berupa perburukan progresif perilaku dan atau kognisi pada observasi atau riwayat penyakit. Gejala yang menyokong yaitu pada tahap dini (3 tahun pertama) terjadi perilaku disinhibisi, apati atau inersia, kehilangan simpati/empati, perseverasi, steriotipi atau perlaku kompulsif/ritual, hiperoralitas/perubahan diet dan gangguan fungsi eksekutif tanpa gangguan memori dan visuospasial pada pemeriksaan neuropsikologi.11 Pada pemeriksaan CT/MRI ditemukan atrofi lobus frontal dan atau anterior temporal dan hipoperfusi frontal atau hipometabolism pada SPECT atau PET. Dua jenis DLFT lain yaitu Demensia Semantik (DS) dan Primary Non-Fluent Aphasia (PNFA), dimana gambaran disfungsi bahasa adalah dominan disertai gangguan perilaku lainnya. Kejadian DFT dan Demensia Semantik (DS) masing-masing adalah 40% dan kejadian PNFA sebanyak 20% dari total DLFT.11
4. Demensia vaskular Vascular cognitive impairment (VCI) merupakan terminologi yang memuat defisit kognisi yang luas mulai dari gangguan kognisi ringan sampai demensia yang dihubungkan dengan faktor risiko vaskuler.6 Penuntun praktik klinik ini hanya fokus pada demensia vaskuler (DV). DV adalah penyakit heterogen dengan patologi vaskuler yang luas termasuk infark tunggal strategi, demensia multi-infark, lesi kortikal iskemik, stroke perdarahan, gangguan hipoperfusi, gangguan hipoksik dan demensia tipe campuran (PA dan stroke / lesi vaskuler).7 Faktor risiko mayor kardiovaskuler berhubungan dengan kejadian ateroskerosis dan DV. Faktor risiko vaskuler ini juga memacu terjadinya stroke akut yang merupakan faktor risiko untuk terjadinya DV.8 CADASIL (cerebral
autosomal
dominant
arteriopathy
with
subcortical
infarcts
and
leucoensefalopathy), adalah bentuk small vessel disease usia dini dengan lesi iskemik luas white matter dan stroke lakuner yang bersifat herediter.7
E. Manifestasi Klinis Gejala yang paling awal diketahui dan berapa lama gejala tersebut dirasakan harus ditanyakan. Apakah gejala terjadi secara fluktuatif, memberat dengan cepat, atau terdapat penurunan fungsi yang bertahap. Perlu digali mengenai pengaruh gejala terhadap fungsi sosial dan pekerjaan. Pada pemeriksaan, perlu dibedakan pola gangguan kognitif yang terjadi dan pastikan ada atau tidaknya abnormalitas yang tidak berkaitan.1 Secara umum gejala demensia dapat dibagi atas dua kelompok yaitu gangguan kognisi dan gangguan non-kognisi. Keluhan kognisi terdiri dari gangguan memori terutama kemampuan belajar materi baru yang sering merupakan keluhan paling dini. Memori lama bisa terganggu pada demensia tahap lanjut. Pasien biasanya mengalami disorientasi di sekitar rumah atau lingkungan yang relatif baru. Kemampuan membuat keputusan dan pengertian diri tentang penyakit juga sering ditemukan.4 Keluhan non-kognisi meliputi keluhan neuropsikiatri atau kelompok behavioral neuropsychological symptoms of dementia (BPSD). Komponen perilaku meliputi agitasi, tindakan agresif dan non-agresif seperti wandering, disihibisi, sundowning syndrome dan gejala lainnya. Keluhan tersering adalah depresi, gangguan tidur dan gejala psikosa seperti delusi dan halusinasi. Gangguan motorik berupa kesulitan berjalan, bicara cadel dan gangguan gerak lainnya dapat ditemukan disamping keluhan kejang mioklonus.4 Gambaran utama demensia adanya gangguan memori, setidaknya satu diantara gangguan-gangguan kognitif berikut : afasia, apraksia, agnosia, atau gangguan dalam hal fungsi eksekutif.2
Gangguan memori Ketidakmampuannya untuk belajar hal-hal baru, atau lupa akan hal-hal yang baru saja dikenal, dikerjakan atau dipelajari. Lupa akan pekerjaan, sekolah, tanggal lahir, angota keluarga dan bahkan terhadap nama sendiri.2
Gangguan orientasi Gangguan ini dapat terganggu secara progresif selama perjalanan penyakit demensia. Sebagai contohnya, pasien dengan demensia mungkin lupa bagaimana kembali ke ruangannya setelah pergi ke kamar mandi.2
Gangguan bahasa
Penderita akan terlihat sulit untuk mencari kata yang tepat dalam mengungkapkan isi pikirannya.2
Apraksia Penderita sering mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugas sehari-hari yang sangat mereka ketahui, seperti mereka tidak mengetahui langkah-langkah untuk menyiapkan makanan dan pakaian.2
Agnosia Ketidakmampuan untuk mengenali atau mengidentifikasikan benda maupun fungsi sensoriknya utuh. Sebagai contoh, penderita tidak dapat mengenali kursi, pena, meskipun visusnya baik.2
Gangguan fungsi eksekutif Ditandai dengan sulit menyelesaikan masalah, pembuatan keputusan dan penilaian. Misalnya penderita mengenakan baju tanpa mempertimbangkan cuaca, memakai beberapa kaos dihari yang panas atau memakai pakaian yang sangat minim ketika cuaca dingin.2
Perubahan kepribadian Pasien menjadi introvert dan kurang memperhatikan tentang efek perilaku mereka terhadap orang lain. Waham paranoid, mudah marah dan meledak-ledak, delusi paranoid dan halusinasi, agitasi, wandering (mondar-mandir dan gangguan tidur).2
F. Diagnosis 1) Anamnesis Proses wawancara sebaiknya dilakukan pada penderita, keluarga atau pengasuh yang mengetahui perjalanan penyakit pasien.
Riwayat medis umum Ditanyakan faktor resiko demensia, riwayat infeksi kronis, gangguan endokrin, diabetes mellitus, neoplasma/tumor, penyakit jantung, penyakit kolagen, hipertensi, hiperlipidemia dan aterosklerosis.
Riwayat neurologis Untuk mencari etiologi demensia seperti riwayat gangguan serebrovaskuler, trauma kapitis, infeksi SSP, epilepsi, tumor serebri dan hidrosefalus.
Riwayat gangguan kognitif
Riwayat gangguan memori sesaat, jangka pendek dan jangka panjang : gangguan orientasi orang, waktu dan tempat, gangguan berbahasa/komunikasi, gangguan fungsi eksekutif (seperti perencanaan, pengorganisasian dan pelaksanaan suatu aktivitas), gangguan praksis dan visuospasial.
Riwayat gangguan perilaku dan kepribadian Pada penderita demensia dapat ditemukan gejala neuropsikologis berupa waham, halusinasi, miss-identifikasi, depresi, apatis, dan cemas. Gejala perilaku dapat berupa berpergian tanpa tujuan (wandering), agitasi, agresivitas fisik maupun verbal dan disinhibisi.
Riwayat intoksikasi Adanya riwayat intoksikasi aluminium, air raksa, pestisida, insektisida, dan lem, alkoholisme dan merokok. Riwayat pengobatan terutama pemakaian kronis obat antidepresan dan narkotik perlu diketahui.
Riwayat keluarga Adanya
keluarga
yang
mengalami
demensia
atau
riwayat
penyakit
serebrovaskular, gangguan psikiatri, depresi, penyakit parkinson, sindrom down dan retardasi mental.
2)
Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik terdiri dari pemeriksaan umum, neurologis dan neuropsikologis. a. Pemeriksaan umum Terdiri dari pemeriksaan medis umum atau status interna sebagaimana yang dilakukan dalam praktek klinis. b. Pemeriksaan neurologis Pemeriksaan
neurologis
penting
dilakukan
untuk
membedakan
proses
degeneratif primer atau sekunder dan kondisi komorbid lain.2 Pemeriksaan neurologis yang cermat dapat membantu dalam menemukan gejala yang menunjukkan
etiologi dasar. Hal-hal yang perlu ditemukan secara spesifik
antara lain:1
Tanda fokal
Gerakan involunter
Tanda-tanda pseudobulbar
Refleks primitif, misalnya mengerucutkan bibir, refleks genggam dan refleks mengejar.
Gangguan gait atau pola berjalan
c. Pemeriksaan neuropsikologis Pemeriksaan meliputi evaluasi memori, orientasi, bahasa, kalkulasi, praksis, visuspasial dan visuoperseptual. Mini mental state examination (MMSE) dan Clock Drawing Test (CDT) adalah pemeriksaan awal yang berguna untuk menngetahui adanya disfungsi kognisi, menilai efektivitas pengobatan dan untuk menentukan progresivitas penyakit. Nilai normal MMSE adalah 24-30. Gejala awal demensia perlu dipertimbangkan pada penderita dengan nilai MMSE < 27, terutama pada golongan berpendidikan tinggi.
3) Pemeriksaan Penunjang Dibutuhkan beberapa pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis banding penyebab demensia yang memiliki prognosis tatalaksana yang lebih baik.1 a. Pemeriksaan darah Pemeriksaan darah rutin dapat dilakukan untuk menyingkirkan hipotiroidisme, defisiensi vitamin B12 dan folat, dan sifilis. Pemeriksaan darah spesifik perlu dilakukan untuk keperluan skrinning etiologi demensia yang lebih jarang:1
Gangguan metabolik, misalnya Penyakit Wilson dan leukodistrofi
HIV: AIDS dementia
Vaskulitis dan penyakit inflamasi
Ensefalitis limbik
b. Pencitraan otak Pencitraan otak wajib dilakukan pada pasien dengan demensia. Pencitraan lebih diutamakan menggunakan modalitas magnetic resonance imaging (MRI), namun dapat juga dilakukan dengan menggunakan computed tomography (CT). Tujuan utama pemeriksaan ini adalah untuk menyingkirkan:1
Lesi desak ruang, terutama hematoma subdural kronik pada pasien usia lanjut dengan riwayat jatuh.
Hidrosefalus tekanan normal, dilatasi ventrikel tanpa disertai atrofi kortikal. Keadaan ini menunjukkan adanya penurunan kognitif, inkontinensia urine dan apraksia gait. Diagnosis ditegakkan dengan melakukan pungsi lumbal untuk mengeluarkan cairan serebrospinal hingga 50 mL yang kemudian akan menunjukkan perbaikan manifestasi klinis. Keadaan ini dapat diobati dengan shunting ventrikuloperitoneal.
Umumnya, atrofi serebral dengan derajat yang bervariasi dan pembesaran ventrikel akan ditemukan pada mayoritas kasus demensia. MRI juga daat digunakan untuk melihat perubahan sinyal dan pola dari atrofi sesuai dengan tipe demensia. Misalnya, ditemukan adanya peningkatan sinyal T2 pada daerah thalamus yang merupakan karakteristik dari varian Penyakit Creutzfeldt-Jakob (PCJ). Atrofi bilateral hipokampus dan lobus temporalis ditemukan pada penyakit Alzheimer, sedangkan atrofi asimetris dari hipokampus anterior, amigdala, dan lobus temporalis ditemukan pada degenerasi lobaris frontotemporal (DLFT). Pada penyakit serebrovaskular, pencitraan dapat menunjukkan adanya infark multipel atau tanda penyakit pembuluh darah kecil yang berarti.1 c. Pungsi lumbal Pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS) dianjurkan pada pasien dibawah usia 65 tahun, untuk menyingkirkan kemungkinan adanya penyebab lain demensia yang dapat diobati seperti CSS yang limfositik menunjukkan adanya infeksi atau gangguan inflamasi.1
d. Neuropsikometri Neuropsikologis memeriksa domain lain fungsi kognitif dalam detail yang lebih luas. Pemeriksaan ini dapat menjadi indikator terpercaya baik dalam melihat progresi penyakit (menunjukkan adanya demensia organik) ataupun respons pengobatan pasien depresi atau gangguan memori dalam hal peningkatan atau plateu pada penurunan fungsi intelektual.1
e. Elektroensefalografi EEG jarang menunjukkan perubahan spesifik pada demensia. Temuan yang paling sering adalah gelombang delta yang menyebar di kedua hemisfer. Perubahan ini dapat ditemukan pada fase awal penyakit Alzheimer dibandingkan dengan DLFT.
Sering ditemukan hilangnya respons irama alfa padapenyakit Alzheimer, sedangkan pada DLFT irama alfa tidak terganggu.1
f. Pemeriksaan genetik Mutasi genetik berikut dapat berkaitan dengan demensia:1
Mutasi Huntington : khorea Huntington
Penyakit Alzheimer : Protein Prekursor Amiloid (PPA), presein 1 dan 2, dan mutasi apolipoprotein E4
Penyakit Creutzfeldt-Jakob familial : mutasi gen protein Prion
DLFT : mutasi tau, progranulin dan C9 or f72
g. Biopsi jaringan otak Biopsi jaringan otak jarang dilakukan namun dapat diindikasikan pada penyakit yang bersifat progresif cepat atau terdapat kecurigaan adanya penyebab demensia lain yang dapat diobati namun tidak ditemukan pada pemeriksaan diagnosis lain (misalnya vaskulitis serebralis).1
G. Tatalaksana
1) Penatalaksanaan farmakologis Pada penderita demensia reversibel bertujuan untuk pengobatan kausal, misalnya pada hiper/hipotiroid, defisiensi vitamin B12, intoksikasi, gangguan nutrisi, infeksi dan ensefalopati metabolik. Pada demensia Alzheimer pengobatan bertujuan untuk menghentikan progresivitas penyakit dan mempertahankan kualitas hidup. Beberapa golongan obat yang direkomendasikan, antara lain :2 a. Pengobatan simptomatis Pengobatan dengan golongan penghambat asetilkoloinesterase (seperti donepezil hidroklorida, rivastigmin dan galantamin) bertujuan untuk mempertahankan jumlah asetilkolin yang produksinya menurun. b. Pengobatan dengan disease modifiying agents
Obat golongan OAINS
Antioksidan
Neurotropik
Pengobatan neuroleptik diperlukan pada gangguan perilaku namun dapat mengeksaserbasi gambaran ekstrapiramidal, seperti perlambatan gerak, risiko ini dapat ditekan dengan penggunaan neuroleptik atipikal.1
Obat yang bekerja pada beta amiloid protein tau dan presenilin
2) Penatalaksanaan non-farmakologis Penatalaksanaan non-farmakologis bertujuan untuk
keluarga, lingkungan dan
penderita dengan tujuan menetapkan program aktivitas harian penderita, orientasi realitas, modifikasi perilaku, memberikan informasi dan pelatihan yang benar pada keluarga, pengasuh dan penderita, dan mempertahankan lingkungan yang familiar akan membantu penderita tetap memiliki orientasi.2
H. Pencegahan Resiko demensia berdasarkan berbagai penelitian dapat dikurangi jika seseorang sering terlibat pada aktifitas yang menstimulasi otak. Orang dengan resiko demensia vaskuler seperti hipertensi, diabetes, dan dislipidemia dapat menggunakan terapi farmakologis untuk mencegah gangguan kognitif namun hasilnya masih diperdebatkan sampai sekarang. Diet mediterania yang mengandung banyak antioksidan dan omega 3 melalui suatu penelitian observasional mampu menurunkan resiko demensia.2
I. Prognosis Demensia karena AIDS biasanya dimulai secara samar tetapi berkembang terus selama beberapa bulan atau tahun. Sedangkan demensia karena penyakit CreutzfeldtJakob biasanya menyebabkan demensia hebat dan seringkali terjadi kematian dalam waktu 1 tahun.2
DAFTAR PUSTAKA 1. Lastri, Diatri Nari.dkk. Crash Course Neurologi Edisi 1. Elsevier. 2. Munir, Badrul dr. Sp,S. 2015. Neurologi Dasar hlm. 410-420. Jakarta:Sagung Seto 3. BAPPENAS. Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035. Jakarta: Badan Pusat Statistik Republik Indonesia2013. 4. Yudiarto F, Machfoed M, Darwin A, Ong A, Karyana M, Siswanto. Indonesia stroke registry. Neurology. 2014;82(10):Supplement S12.003. 5. Hebert LE, Scherr PA, Bienias JL. Alzheimer disease in the US population: prevalence estimates using the 2000 census. Arch Neurol. 2003;60(8):1119-22. 6. Hachinski V, Iadecola C, Petersen RC. National Institute of Neurological Disorders and Stroke-Canadian Stroke Network vascular cognitive impairment harmonization standards. Stroke. 2006;37(9):2220-41. 7. Dichgans M, Markus HS, Salloway S. Donepezil in patients with subcortical vascular cognitive impairment: a randomised double-blind trial in CADASIL. Lancet Neurology. 2008;7:310-8. 8. Fairbairn A, Gould N, Kendall T, Ashley P, Bainbridge I, Bower L, et al. Dementia: a NICE-SCIE guideline on supporting people with dementia and their carers in health and social care: The British Psychological Society and Gaskell; 2007. 9. Perry RH, Irving D, Tomlinson BE. Lewy body prevalence in the aging brain: relationship
to
neuropsychiatric
disorders,
Alzheimer-type
pathology
and
catecholaminergic nuclei. J Neurol Sci. 1990;100(1-2):223-33. 10. Heidebrink JL. Is dementia with Lewy bodies the second most common cause of dementia? . J Geriatr Psychiatry Neurol. 2002;15(4):182-7. 11. Chartier-Harlin MC, Kachergus J, Roumier C. Alpha-synuclein locus duplication as a cause of familial Parkinson’s disease. Lancet. 2004;364:1167-9.