PENDAHULUAN
SUPARJO jajo66.wordpress.com
Pola penyediaan pakan ternak ruminansia telah bergeser pada upaya pemanfaatan bahan pakan non konvensional yang berasal dari limbah pertanian dan perkebunan. Limbah pertanian dan perkebunan secara fisik mempunyai potensi yang sangat besar sebagai pakan ternak. Limbah yang dikeluarkan dalam proses pengolahan cenderung mengikuti pola produksi, produktivitas dan luas areal penanaman tiap komoditi. Kendala utama pemanfaatan limbah pertanian dan perkebunan sebagai pakan ternak adalah rendahnya nilai nutrisi yang dikandungnya. Limbah pertanian dan perkebunan umumnya mempunyai kandungan protein dan kecernaan yang rendah. Kecernaan limbah pertanian dan perkebunan yang rendah disebabkan keberadaan lignin yang bertindak sebagai penghalang proses perombakan polisakarida dinding sel oleh mikroba rumen. Ternak ruminansia memanfaatkan selulosa sebagai sumber energi utama dalam menyokong pertumbuhan, produksi dan reproduksi. Selulosa merupakan komponen utama penyusun dinding sel tanaman dan hampir tidak pernah ditemui dalam keadaan murni di alam, melainkan berikatan dengan bahan lain, yaitu lignin dan hemiselulosa (Lynd et al. 2002) membentuk suatu lignoselulosa. Dinding sel tanaman muda terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan pektin. Seiring dengan perkembangannya lignin menjadi bagian dari dinding sel. Lignin berikatan dengan hemiselulosa dan senyawa fenol lainnya melalui ikatan kovalen namun ikatan yang terjadi antara selulosa dengan lignin belum diketahui secara lengkap. Struktur berkristal serta adanya lignin dan hemiselulosa disekeliling selulosa merupakan hambatan utama dalam
©suparjo2008: http://jajo66.wordpress.com/2008/10/15/degradasi-komponen-lignoselulosa/
1
menghidrolisis selulosa. Kristalisasi selulosa dan pengerasan fibril selulosa oleh lignin membentuk suatu senyawa lignoselulosa yang keras. Efisiensi pemanfaatan selulosa sebagai sumber energi bagi ternak ruminansia sangat tergantung pada kemampunan ternak untuk memutus ikatan yang memproteksi selulosa dari serangan enzim selulase. Selulosa dan hemiselulosa pada lignoselulosa tidak dapat dihidrolisis oleh enzim selulase dan hemiselulase kecuali lignin yang ada pada substrat dilarutkan, dihilangkan atau dikembangkan terlebih dahulu. Lignin merupakan senyawa yang heterogen dengan berbagai tipe ikatan sehingga tidak dapat diuraikan oleh enzim hidrolisis (Hofrichter 2002). Lignin dapat didegradasi oleh kapang pelapuk kayu tetapi hanya dapat didegradasi secara sempurna oleh kapang pelapuk putih (white-rot fungi). Kapang ini dapat mendegradasi polimer selulosa, hemiselulosa dan lignin dengan bantuan enzim ekstraseluler. Kapang Phanerochaete chrysosporium merupakan salah satu kapang yang dapat menguraikan ikatan dan mendegradasi lignin dengan bantuan enzim pendegradasi lignin. Tulisan berikut ini mencoba membahas tentang enzim dan mikroorganisme pendegradasi lignin serta proses perombakan komponen lignoselulosa yang dilakukan oleh kapang pelapuk putih P. chrysosporium.
STRUKTUR DINDING SEL TANAMAN Lignoselulosa merupakan komponen utama tanaman yang menggambarkan jumlah sumber bahan organik yang dapat diperbaharui. Lignoselulosa terdiri dari selulosa, hemiselulosa, lignin dan beberapa bahan ekstraktif lain. Semua komponen lignoselulosa terdapat pada dinding sel tanaman. Susunan dinding sel tanaman terdiri dari lamela tengah (M), dinding primer (P) serta dinding sekunder (S) yang terbentuk selama pertumbuhan dan pendewasaan sel yang terdiri dari lamela transisi (S1), dinding sekunder utama (S2) dan dinding sekunder bagian dalam (S3) (Gambar 1). Dinding primer mempunyai ketebalam 0.1-0.2μm dan mengandung jaringan mikrofibril selulosa yang mengelilingi dinding sekunder yang relatif lebih tebal (Chahal dan Chahal 1998). Selulosa pada setiap lapisan dinding sekunder terbentuk sebagai lembaran tipis yang tersusun oleh rantai panjang residu β-D-glukopiranosa yang berikatan melalui ikatan β-1,4 glukosida yang disebut ©suparjo2008
2
Fiber Direction
serat dasar (elementary fiber). Sejumlah serat dasar jika terjalin secara lateral akan membentuk mikrofibril. Mikrofibril mempunyai struktur dan orientasi yang berbeda pada setiap lapisan dinding sel (Perez et al. 2002). Lapisan dinding sekunder terluar (S1) mempunyai struktur serat menyilang, lapisan S2 mempunyai mikrofibril yang paralel terhadap poros lumen dan lapisan S3 mempunyai mikrofibril yang berbentuk heliks. Mikrofibril dikelilingi oleh hemiselulosa dan lignin. Bagian antara dua dinding sel disebut lamela tengan (M) dan diisi dengan hemiselulosa dan lignin. Hemiselulosa dihubungkan oleh ikatan kovalen dengan lignin. Selulosa secara alami terproteksi dari degradasi dengan adanya hemiselulosa dan lignin.
Cellulose Fibrils Hemicellulose Lignin-Hemicellulose Matrix
Gambar 1. Konfigurasi Dinding Sel Tanaman (Perez et al. 2002) Selulosa Selulosa merupakan komponen utama penyusun dinding sel tanaman. Kandungan selulosa pada dinding sel tanaman tingkat tinggi sekitar 35-50% dari berat kering tanaman (Lynd et al. 2002). Selulosa merupakan polimer glukosa dengan ikatan β-1,4 glukosida dalam rantai lurus. Bangun dasar selulosa berupa suatu selobiosa yaitu dimer dari glukosa. Rantai panjang selulosa terhubung secara bersama melalui ikatan hidrogen dan gaya van der Waals (Perez et al. 2002). Selulosa mengandung sekitar 50-90% bagian berkristal dan sisanya bagian amorf (Aziz et al. 2002). Ikatan β-1,4 glukosida pada serat selulosa dapat dipecah menjadi monomer glukosa dengan cara hidrolisis asam atau ©suparjo2008
3
enzimatis. Kesempurnaan pemecahan selulosa pada saluran pencernaan ternak tergantung pada ketersediaan enzim pemecah selulosa yaitu selulase. Saluran pencernaan manusia dan ternak non ruminansia tidak mempunyai enzim yang mampu memecah ikatan β-1,4 glukosida sehingga tidak dapat memanfaatkan selulosa. Ternak ruminansia dengan bantuan enzim yang dihasilkan mikroba rumen dapat memanfaatkan selulosa sebagai sumber energi. Pencernaan selulosa dalam sel merupakan proses yang kompleks yang meliputi penempelan sel mikroba pada selulosa, hidrolisis selulosa dan fermentasi yang menghasilkan asam lemak terbang. Hemiselulosa Hemiselulosa merupakan kelompok polisakarida heterogen dengan berat molekul rendah. Jumlah hemiselulosa biasanya antara 15 dan 30 persen dari berat kering bahan lignoselulosa (Taherzadeh 1999). Hemiselulosa relatif lebih mudah dihidrolisis dengan asam menjadi monomer yang mengandung glukosa, mannosa, galaktosa, xilosa dan arabinosa. Hemiselulosa mengikat lembaran serat selulosa membentuk mikrofibril yang meningkatkan stabilitas dinding sel. Hemiselulosa juga berikatan silang dengan lignin membentuk jaringan kompleks dan memberikan struktur yang kuat. Lignin Lignin merupakan polimer dengan struktur aromatik yang terbentuk melalui unit-unit penilpropan (Sjorberg 2003) yang berhubungan secara bersama oleh beberapa jenis ikatan yang berbeda (Perez et al. 2002). Lignin sulit didegradasi karena strukturnya yang kompleks dan heterogen yang berikatan dengan selulosa dan hemiselulosa dalam jaringan tanaman. Lebih dari 30 persen tanaman tersusun atas lignin yang memberikan bentuk yang kokoh dan memberikan proteksi terhadap serangga dan patogen (Orth et al. 1993). Disamping memberikan bentuk yang kokoh terhadap tanaman, lignin juga membentuk ikatan yang kuat dengan polisakarida yang melindungi polisakarida dari degradasi mikroba dan membentuk struktur lignoselulosa. Lignin terutama terkonsentrasi pada lamela tengah dan lapisan S2 dinding sel yang terbentuk selama proses lignifikasi jaringan tanaman (Chahal dan Chahal 1998; Steffen 2003). Lignin tidak hanya mengeraskan mikrofibril selulosa, juga berikatan secara fisik dan kimia dengan hemiselulosa.
©suparjo2008
4
Lignin terbentuk melalui polimerasi tiga dimensi derivat (Gambar 2) dari sinamil alkohol terutama ρ-kumaril, coniferil dan sinafil alkohol (Perez et al. 2002) dengan bobot molekul mencapai 11.000 (Gambar 3). Lignin yang melindungi selulosa bersifat tahan terhadap hidrolisis karena adanya ikatan arilalkil dan ikatan eter.
Para Kumaril Alkohol
Koniferil Alkohol
Sinapil Alkohol
Model Kerangka C
Gambar 2. Satuan Penyusun Lignin (Steffen 2003) Pembentukan lignin terjadi secara intensif setelah proses penebalan dinding sel terhenti. Pembentukan dimulai dari dinding primer dan dilanjutkan ke dinding sekunder. Faktor lignin dalam membatasi fermeabilitas dinding sel tanaman dapat dibedakan menjadi efek kimia dan efek fisik. Efek kimia, yaitu hubungan lignin-karbohidrat dan asetilisasi hemiselulosa. Lignin secara fisik membungkus mikrofibril dalam suatu matriks hidrofobik dan terikat secara kovalen dengan hemiselulosa. Hubungan antara lignin karbohidrat tersebut berperan dalam mencegah hidrolisis polimer selulosa (Chahal dan Chahal 1998).
©suparjo2008
5
Gambar 3. Mod del Lignin (Hammel 1997)
MIKROORGGANISME PENDEGRADASSI LIGNIN Degrada asi lignin membutuh m hkan enzim m ekstraseeluler yang g tak speesifik kareena lignin n mempun nyai struk ktur acak k dengan berat molekul m ya ang tinggi. Lignin biasanya a terakum mulasi selama prosses degraadasi lign noselulosa.. Lignin selain dapat d dig gedradasi oleh seekelompok k mikroorrganisme, dalam d kon nsisi lingku ungan terteentu dapatt juga diidegradasi oleh fak ktor abiottik sepertti dengan n senyawa a alkali (B Blanchettee et al. 19911) atau rad diasi ultra a violet (V Vähätalo ett al. 1999), namun haanya kapan ng pelapuk k putih yang mampu mendeegradasi liignin seca ara efektiff (Blancheette 1995). Degradasi lignin o oleh bakteri sepertii Streptomy yces sp. (C Crawford et e al. 1983) dan Actin nomycetess (Kirk dan d Farrelll 1987) terjadi t sep perti oksidasi yang g dilakuka an oleh kapang k peelapuk puttih, namu un bakterii hanya mampu mendegrad m dasi sebag gian kecill molekull lignin. Spesies S kap pang yang g mampu m mendegrad dasi lignin n dapat diikelompok kkan menja adi white-rott, brown-rot dan soft-rott fungi.
©suparjo2008
6
White-rot fungi
terdapat pada kelompok Basidiomycetes dan Ascomycetes. Kapang ini dapat mendegradasi lignin secara lebih cepat dan ekstensif dibanding mikroorganisme lain. Substrat bagi pertumbuhan mikroorganisme ini adalah selulosa dan hemiselulosa dan degradasi lignin terjadi pada akhir pertumbuhan primer melalui metabolisme sekunder dalam kondisi defisiensi nutrien seperti nitrogen, karbon atau sulfur (Hatakka 2001). Serangan kapang merupakan proses oksidatif dan tak spesifik, dengan mengurangi kandungan metoksi, fenolik dan alifatik lignin, memecah cincin aromatik dan membentuk grup karbonil baru (Kirk dan Farrell 1987; Hatakka 2001). Perubahan molekul lignin ini mengakibatkan depolimerasi dan produksi karbon dioksida. White-rot
fungi
Tingkat dan laju pengurangan polisakarida dan lignin dari substrat dapat berbeda diantara spesies white-rot fungi (Adaskaveg et al. 1995). Kapang ini ada yang mampu mendegradasi lignin secara selektif dan ada pula yang non selektif (Blanchette 1995; Hatakka 2001). Kapang pelapuk putih selektif (contoh: Ceriporiopsis subvermispora, Dichomitus squalens, Phanerochaete chrysosporium, Phlebia radiata), lignin dan hemiselulosa didegradasi lebih banyak dibanding selulosa, sedangkan kapang non selektif (contoh: Trametes versicolor and Fomes fomentarius), mendegradasi semua komponen lignoselulosa dalam jumlah yang sama (Rayner dan Boddy 1988; Blanchette 1995; Hatakka 2001). Tabel 1. Enzim ligninolitik yang dihasilkan white-rot fungi Enzim
Tipe Enzim
Peran dalam Degradasi
Kerja Bersama dengan
LiP (EC 1.11. 1.14)
Peroksidase
Degradasi unit non-fenolik
H 2 O2
MnP(EC 1.11.1.13)
Peroksidase
Degradasi unit fenolik dan non-
H2O2, lipid
fenolik dengan lipid Laccase (EC 1.10.3.2) Lain-lain
Fenol oksidase Oksidase penghasil H2O2
Oksidasi unit fenolik dan unit non-
O2, mediator : 3-
fenolik dengan mediator
hidroxybenzotriazole
Produksi H2O2
Peroksidase
menghasilkan berbagai jenis enzim yang terlibat dalam proses degradasi lignin (Tabel 1), juga menghasilkan selulase, xilanase dan hemiselulase (Hatakka 1994, 2001). Hampir semua white-rot fungi menghasilkan manganese peroxidase (MnP) and laccase, tetapi hanya sedikit yang menghasilkan lignin peroxidase (LiP). LiP mengoksidasi unit non fenolik lignin melalui pelepasan satu elektron dan membentuk radikal kation yang kemudian terurai secara kimiawi. LiP dapat memutus ikatan Cα-Cβ molekul lignin dan mampu membuka cincin White-rot
©suparjo2008
fungi
7
lignin dan reaksi lain (Kirk dan Farrell 1987; Hatakka 2001). MnP mengoksidasi Mn2+ menjadi Mn3+ (Hofrichter 2002). Sifat reaktif Mn3+ yang tinggi selanjutnya mengoksidasi cincin fenolik lignin menjadi radikal bebas tak stabil dan diikuti dengan dekomposisi lignin secara spontan (Hatakka 2001, Hofrichter 2002). Laccase mengoksidasi cincin fenolik menjadi radikal fenoksil (Hatakka 2001). Brown-rot fungi
terutama termasuk dalam kelas Basidiomycetes. Kapang ini mendegradasi selulosa dan hemiselulosa sangat efeisien dengan mekanisme yang berbeda dari organisme lain yang melibatkan reaksi non enzimatik dan tanpa enzim eksoglukonase (Blanchette 1995). Keberadaan lignin memacu degradasi selulosa oleh brownrot fungi meskipun lignin didegradasi dalam tingkat yang lebih kecil terutama pada lamela tengah dinding sel yang kaya lignin (Tuomela 2002; Blanchette 1995; Hatakka 2001). Kapang Polyporus ostreiformis mampu menghasilkan enzim MnP and LiP, tetapi kemampuannya dalam degradasi lignin lebih rendah dibanding P. chrysosporium (Dey et al. 1994). Brown-rot fungi
Soft-rot fungi
terutama hanya terdapat pada daerah dengan lingkungan yang ekstrim bagi kapang pelapuk dari kelas basiodiomycetes seperti lingkungan yang terlalu basah atau terlalu kering (Blanchette et al. 1991, Blanchette 1995). Kapang ini juga mempunyai tingkat toleransi yang lebih baik terhadap temperatur, pH dan keterbatasan oksigen dibanding kapang pelapuk lain (Blanchette et al. 1991, Blanchette 1995, Daniel dan Nilsson 1998). Soft-rot fungi dapat berkembang pada tanah, kompos, kayu, hay, jerami dan daerah perairan (Tuomela 2002). Penambahan nitrogen dalam substrat mampu meningkatkan laju perombakan lignin, berlawanan dengan sifat kapang pelapuk putih dan coklat (Daniel dan Nilsson 1998). Soft-rot fungi
ENZIM PENDEGRADASI LIGNIN Enzim lignoselulolitik terdiri dari sekumpulan enzim yang terbagi dalam dua kategori yaitu hidrolitik dan oksidatif. Enzim hidrolitik mendegradasi selulosa dan hemiselulosa dan setiap enzim bekerja terhadap substrat yang spesifik. Enzim oksidatif merupakan enzim non-spesifik dan bekerja melalui mediator bukan protein yang berperan dalam degradasi lignin. Enzim pendegradasi lignin ini
©suparjo2008
8
secara umum terdiri dari dua kelompok utama yaitu laccase (Lac) dan peroxidase (Perez et al. 2002) yang terdiri dari lignin peroxidase (LiP) dan manganese peroxidase (MnP) (Chahal dan Chahal 1998). Ketiga enzim ini bertanggung jawab terhadap pemecahan awal polimer lignin dan menghasilkan produk dengan berat molekul rendah pada kapang pelapuk putih (Akhtar et al. 1997). Tidak semua kapang pelapuk putih menghasilkan ketiga jenis enzim sekaligus. T. versicolor dan P.chrysosporium hanya menghasilkan LiP and MnP (meskipun penelitian Srivivasan et al. (1995) menunjukkan bahwa P. chrysosporium BKM-F1767 menunjukkan aktivitas enzim menyerupai laccase), sedangkan C. subvermispora hanya menghasilkan MnP and laccase, dan Phlebia ochraceofulva hanya menghasilkan LiP and laccase.
(EC 1.11.1.14, LiP, ligninase). LiP merupakan enzim ligninolitik pertama yang berhasil ditemukan (Hammel 1997) yang diisolasi dari beberapa kapang pelapuk putih (Perez et al. 2002) dari kelas Basidiomycetes (Piontek et al. 2001) seperti P. chrysosporium (Tien and Kirk 1983), Phlebia radiata (Niku-Paavola et al. 1988), dan T. versicolor (Dodson et al. 1987). LiP mengoksidasi inti aromatik (fenolik dan non-fenolik) melalui pelepasan satu elektron menghasilkan radikal kation dan fenoksi (Akhtar et al. 1997). LiP adalah enzim peroksidase ekstraseluler yang mengandung heme yang aktivitasnya bergantung pada H2O2, mempunyai potensial redoks yang luar biasa besar dan pH optimum yang rendah (Gold dan Alic 1993). Lignin Peroxidase
peroxidase (EC 1.11.1.13, MnP). MnP hanya dihasilkan pada sejumlah kapang basidiomycetes (Steffen 2003) ditemukan tidak lama setelah ditemukannya LiP dari dari Phanerochaete chrysosporium oleh Kuwahara et al. (1984). MnP merupakan heme peroksidase ekstraseluler yang membutuhkan Mn2+ sebagai substrat pereduksinya (Steffen 2003). MnP mengoksidasi Mn2+ menjadi Mn3+, yang kemudian mengokasidasi struktur fenolik menjadi radikal fenoksil. Mn3+ yang terbentuk sangat reaktif dan membentuk kompleks dengan chelating asam organik seperti asam oksalat atau malat (Cui dan Dolphin 1990, Kishi et al. 1994), yang dihasilkan oleh kapang (Mäkelä et al. 2002). Dengan bantuan chelator, ion Mn3+ distabilkan dan dapat menembus kedalam jaringan substrat (Steffen 2003). Potensi redoks sistem MnP-Mn lebih rendah dari pada redoks LiP dan lebih banyak mengoksidasi substrat fenolik (Vares 1996). Radikal fenoksil yang dihasilkan lebih lanjut bereaksi yang pada akhirnya melepaskan Manganese
©suparjo2008
9
CO2. MnP merupakan salah satu peroksida pendegradasi lignin yang dihasilkan oleh beberapa kapang pelapuk kayu dan pengurai serasah. Enzim ekstraeseluler ini biasanya mempunyai berat 40-50 Kda dan pI yang beragam dari asam, 3 sampai netral, 7 dan biasanya berkisar antara 3-4 (Hofrichter 2002). (EC 1.10.3.2, benzenediol:oxygen oxidoreductase) merupakan fenol oksidasi yang mengandung tembaga yang tidak membutuhkan H2O2 tetapi menggunakan molekul oksigen (Thurston 1994). Enzim ini juga ditemukan pada jamur, khamir dan bakteri (Thurston 1994; Mayer dan Staples 2002, Claus 2003). Laccase mereduksi O2 menjadi H2O dalam substrat fenolik melalui reaksi satu elektron membentuk radikal bebas yang dapat disamakan dengan radikal kation yang terbentuk pada reaksi MnP (Kersten et al. 1990). Dengan adanya mediator seperti ABTS (2,2azinobis(3-ethylbenzthiazoline-6-sulphonate)) atau HBT (hydroxybenzo triazole), laccase mampu mengoksidasi senyawa non fenolik tertentu dan veratryl alcohol (Bourbonnais dan Paice 1990, Eggert et al. 1996). Laccase dihasilkan oleh sebagian besar kapang pelapuk putih (Hatakka 1994) tetapi secara normal tidak pada kapang Phanerochaete chrysosporium (Kirk dan Farrell 1987). Berat molekul laccases basidiomycetes bervariasi antara 50 dan 70 kDA (Thurston 1994). Laccase
KAPANG
P. chrysosporium
DAN PEROMBAKAN LIGNOSEULOSA Degradasi komponen lignoselulosa melibatkan aktivitas sejumlah enzim seperti peroksidase, fenol oksidase, selulase, hemiselulase dan gula oksidase. Kapang basidiomyecetes pelapuk putih dan beberapa spesies organisme lain dapat memperoduksi enzim ligninolitik bila ditumbuhkan pada media yang cocok. Kapang P. chrysosporium merupakan salah satu kapang yang sering dijadikan model dalam pengujian degradasi komponen lignoselulosa. Kapang ini menghasilkan LiP dan MnP (Orth et al. 1993; Rothschild et al. 1999), selulase dan hemiselulase (Wood et al. 1988). Kapang P. chrysosporium mendegradasi komponen lignoselulosa secara selektif (Adaskaveg et al. 1995; Blanchette 1995) yaitu mendegradasi lignin substrat yang berwarna coklat dan meninggalkan selulosa yang berwarna putih. Degradasi Lignin Lignin merupakan senyawa polimer aromatik yang sulit didegradasi dan hanya sedikit organisme yang mampu
©suparjo2008
10
mendegradasi lignin, diantaranya kapang pelapuk putih. Kapang mendegradasi lignin menjadi produk yang larut dalam air dan CO2 (Boyle et al. 1992). Kapang P. chrysosporium dapat mendegradasi lignin dan berbagai polutan aromatik selama fase pertumbuhan stationary yang dipacu oleh kekurangan nutrisi dalam substrat. Kapang ini menghasilkan dua peroksidase yaitu LiP dan MnP (Johjima et al. 1999; Orth et al. 1993; Rothschild et al. 1999; Gold dan Alic 1993; Wariishi dan Gold 1990) yang mempunyai peranan penting dalam proses perombakan lignin (Gambar 4). LiP merupakan katalis utama dalam proses ligninolisis oleh kapang karena mampu memecah unit non fenolik yang menyusun sekitar 90 persen struktur lignin (Srebotnik et al. 1994). LiP dan MnP mempunyai mekanisme yang berbeda dalam proses ligninolisis (Broda et al. 1996). MnP mengoksidasi Mn2+ menjadi Mn3+ yang berperan sebagai dalam pemutusan unit fenolik lignin. LiP mengkatalis oksidasi senyawa aromatik non fenolik. Mekanisme LiP dalam dalam mengkatalis reaksi masih belum jelas (Johjima et al. 1999), apakah berinteraksi langsung dengan lignin atau melalui perantaraan radikal. LiP yang diaktivasi oleh H2O2 dapat mengoksidasi senyawa fenolik dan non fenolik dengan mediator veratryl alcohol (Have dan Fransesen 2001)
hypha glyoxal oxidase
lignin peroxidase + H2O2
Many product (spontaneous)
veratryl alcohol cation radical
manganese peroxidase + H2O2 manganese peroxidase +
Mn2+
+ unsaturated lipid
Many product
benzylic radical
phenoxy radical
Gambar 4. Skema sistem degradasi lignin oleh Phanerochaete chrysosporium (Akhtar et al. 1997)
©suparjo2008
11
LiP mengkatalis suatu oksidasi senyawa aromatik non fenolik lignin membentuk radikal kation aril (Johjima et al. 1999). Disamping itu, karena LiP merupakan oksidan yang kuat maka enzim ini juga mempunyai kemampuan mengokasidasi senyawa fenolik, amina, eter aromatik dan senyawa aromatik polisiklik (Perez et al. 2002). Oksidasi substruktur lignin yang dikatalis oleh LiP dimulai dengan pemisahan satu elektron cincin aromatik substrat donor dan menghasilkan radikal kation aril, yang kemudian mengalami berbagai reaksi postenzymatic (Hammel 1997). LiP memotong ikatan Cα-Cβ molekul lignin (Gambar 5). Pemotongan ikatan pada posisi Cα-Cβ merupakan jalur utama perombakan lignin oleh berbagai kapang pelapuk putih (Hammel 1996).
Gambar 5. Pemotongan ikatan Cα-Cβ molekul lignin dan pembentukan senyawa intermediet (Srebotnik et al 1994). LiP dan MnP mempunyai siklus katalitik yang hampir sama. Produk rekasi utama LiP dengan H2O2 adalah senyawa I 2-elektron (LiPI) teroksidasi (Gambar 6). LiPI direduksi kembali menjadi enzim asal melalui langkah 2 elektron tunggal dengan senyawa II (LiPII) (Gold dan Alic 1993). Perbedaan utama antara LiP dan MnP adalah asal substrat perduksi. LiP mengkatalis oksidasi senyawa lignin non fenolik serupa dengan perubahan veratryl alcohol menjadi veratryl aldehyde.
©suparjo2008
12
H2O2
VA
FERRIC ENZYME
water
VA+.
phenol Ph-O*
COMPOUND III
VA+ or Ph-O* VA or phenol
COMPOUND I
VA or phenol water H2O2
COMPOUND II
VA+ or Ph-O*
Gambar 6. Siklus Katalitik pada LiP (Evan dan Hedger 2001) Oksidasi lignin dan senyawa fenolik lain oleh MnP tergantung pada ion Mn bebas (Gold dan Alic 1993). Substrat pereduksi utama dalam siklus katalitik MnP adalah Mn2+ yang secara efisien mereduksi senyawa I (MnP-Compound I) menjadi senyawa II (MnP-Compound II), menghasilkan Mn3+ yang selanjutnya mengoksidasi substrat organik (Hofrichter 2002). Mn2+ berikatan dengan chelator asam organik untuk menstabilkan Mn3+ (Perez et al. 2002). Siklus katalitik MnP (Gambar 7, Hofrichter 2002) dimulai dengan pengikatan H2O2 atau peroksida organik dengan enzim ferric alami dan pembentukan kompleks peroksida besi.
Gambar 7. Siklus katalitik pada MnP (Hofrichter 2002)
©suparjo2008
13
Pemecahan ikatan oksigen peroksida membutuhkan Fe4+oxo-porphyrin-radical compleks dalam pembentukan MnPCompound I. Kemudian ikatan dioksigen dipecah dan dikeluarkan satu molekul air. Reaksi berlangsung sampai terbentuk MnP-Compound II. Ion Mn2+ bekerja sebagai donor 1-elektron untuk senyawa antara porfirin dan dioksidasi menjadi Mn3+. Mn3+ merupakan oksidan kuat yang dapat mengoksidasi senyawa fenolik, tetapi tidak dapat menyerang unit non fenolik lignin (Perez etal. 2002). Reaksi awal Mn3+ dengan cincin fenolik adalah suatu oksidasi satu elektron menjadi radikal fenoksil (Gambar 8) (Gold dan Alic 1993) yang terdapat dalam mesomer yang berbeda. Secara simultan, chelate asam organik diokasidasi menjadi peroksil dan radikal lain yang mungkin menghasilkan superoksida yang cenderung bereaksi dengan radikal berpusat karbon menjadi bentuk eteh peroksida yang mengalami pembelahan cincin yang dihasilkan dalam pembentukan struktur alifatik (Hofrichter 2002). Selanjutnya sistem enzim MnP membelah gugus ini menjadi CO2 dan radikal alifatik yang selanjutnya mengalami reaksi dengan dioksigen menghasilkan CO2 lebih banyak dan bahan organik dengan berat mokelul rendah seeprti asam format.
Gambar 8. Skema pembentukan karbon diokasida dari struktur aromatik lignin oleh MnP. Degaradasi Selulosa Degradasi selulosa oleh fungi merupakan hasil kerja sekelompok enzim selulolitik (Howard et al. 2003a) yang bekerja secara sinergis. Sistem enzim selulolitik terdiri dari tiga kelompok utama yaitu (a) endoglucanases atau 1,4-β©suparjo2008
14
yang (EC dan 1,4-β-D-glucan cellobiohydrolases atau (EC 3.2.1.91) dan (c) β-glucosidases atau βcellobiohydrolases glucoside glucohydrolases (EC 3.2.1.21) (Lymar et al. 1995; Lynd et al. 2002; Perez et al. 2002; Howard et al. 2003b). Kapang P. chrysosporium menghasilkan enzim selulase dengan aktivitas menyerupai endogluconases (EGs) dan exocellobiohydrolases (CBHs) (Broda et al. 1996) dan 3 tipe (β-glucosidases tergantung sumber karbon yang tersedia (Lymar et al. 1995). D-glucan-4-glucanohydrolases
meliputi 3.2.1.74)
(EC 3.2.1.4); (b) atau
1,4-β-D-glucan glucanohydrolases
exoglucanases,
cellodextrinases
Enzim endoglucanases menghidrolisis secara acak bagian amorf selulosa serat (Howard et al. 2003b) menghasilkan oligosakarida dengan panjang yang berbeda dan terbentuknya unjung rantai baru (Lynd et al. 2002). Enzim Exoglucanases bekerja terhadap ujung pereduksi dan nonpereduksi rantai polisakarida selulosa dan membebaskan glukosa yang dilakukan oleh enzim glucanohydrolases atau selobiosa yang dilakukan oleh enzim cellobiohydrolases sebagai produk utama (Lynd et al. 2002). Hidrolisis bagian berkristal selulosa hanya dapat dilakukan secara efiesien oleh enzim exoglucanases (Perez et al. 2002; Lynd et al. 2002). Hasil kerja sinergis endoglucanases dan exoglucanases menghasilkan molekul selobiosa. Hidrolisis selulosa secara efektif memerlukan enzim (β-glucosidases yang memecah selobiosa menjadi 2 molekul glukosa (Gambar 9)(Perez et al. 2002).
crystaline amorphous
glucose
crystaline
cellobiose
Cello-oligosaccharidase endoglucanas β-glucosidase
exoglucanase (eg. CHBI) exoglucanase (eg. CHBII)
crystaline
amorphous
endoglucanase (with dockerin)
crystaline
exodoglucanase (eg. CelF/CelS) (with dockerin)
exodoglucanase (eg. CelE) (with dockerin) cellobiose/cellodextrin phosphorylase
cohesin moiety
carbohydrate-binding module (CBM)
Gambar 9. Skema hidrolisis selulosa menjadi glukosa (Lynd et al. 2002). ©suparjo2008
15
Degradasi Hemiselulosa Hemiselulosa mengalami biodegradasi menjadi monomer gula dan asam asetat dengan bantuan enzim hemiselulase. Hemiselulase seperti kebanyakan enzim lainnya yang dapat menghidrolisis dinding sel tanaman merupakan protein multi-domain. Xilan merupakan karbohidrat utama penyusun hemiselulosa dan Xylanase merupakan hemiselulase utama yang menghidrolisis ikatan β-1,4 rantai xilan. Kapang P. chrysosporium menghasilkan endoxylanase yang berperan dalam pemecahan xilan menjadi oligosakarida (Perez et al. 2002). Hidrolisis hemiselulosa juga membutuhkan enzim pelengkap yang bekerja secara sinergis dalam menguraikan xilan dan mannan (Tabel 2). Tabel 2. Enzim Hemiselulase dan Substrat yang dihidrolisis (Howard et al. 2003b) Enzim
Exo-β-1,4-xylosidase Endo-β-1,4-xylanase Exo-β-1,4-mannosidase End0-β-1,4-mannanase Endo-α-1,5-arabinanase α-L-arabinofuranosidase α-Glucuronidase α-Galatosidase Endo-galactanase (-Glucosidase Acetyl xylan esterases Acetyl mannan esterase Ferulic and p-cumaric acid seterase
Substrat
β-1,4-Xylooligomers xylobiose β-1,4-Xylan β-1,4-Mannooligomers mannobiose β-1,4-Mannan α-1,5-Arabinan α-Arabinofuranosyl(1l2) atau (1l3) xylooligomers α-1,5-arabinan 4-O-Methyl-α- glucuronic acid (1l2) xylooligomers α-Galactopyranose (1l6) mannooligomer β-1,4-Galactan (-Glucopyranose (1(6) mannopyranose 2- atau 3-O Acetyl xylan 2- atau 3-O Acetyl mannan 2- atau 3-O Acetyl mannan
Nomor EC
3.2.1.37 3.2.1.8 3.2.1.25 3.2.1.78 3.2.1.99 3.2.1.55 3.2.1.139 3.2.1.22 3.2.1.89 3.2.1.21 3.2.1.72 3.1.1.6 3.1.1.73
PENUTUP Efektifitas pemanfaatan selulosa pada bahan lignoselulosa sebagai sumber energi bagi ternak sangat tergantung pada aksebilitas enzim dalam proses hidrolisis selulosa. Ikatan yang erat antara polisakarida (selulosa dan hemiselulosa) dan lignin merupakan barrier dalam proses hidrolisis selulosa. Pemutusan ikatan dan degradasi lignin merupakan jalur dalam meningkatkan aksebilitas dan penetrasi enzim ke dalam substrat. Degradasi lignin secara efektif hanya dapat dilakukan oleh kapang pelapuk putih dan yang paling banyak digunakan adalah P. chrysosporium. Kapang ini mampu mensekresikan dua jenis enzim lignolitik yaitu LiP dan MnP. LiP merupakan enzim utama dalam proses degaradasi lignin karena mampu mengoksidasi unit non fenolik lignin. Unit non fenolik merupakan penyusun sekitar 90 persen struktur lignin. MnP berperan dalam oksidasi unit fenolik, sehingga LiP dan MnP dapat bekerja secara sinergis. Degradasi komponen lignoselulosa oleh kapang P. chrysosporium dapat ©suparjo2008
16
dilakukan secara selektif. Kapang P. chrysosporium juga menghasilkan kelompok enzim selulase dan hemiselulase yang masing-masing berperan dalam hidrolisis selulosa dan hemiselulosa.
DAFTAR PUSTAKA Adaskaveg, J.E., R.L. Gilbertson and M.R. Dunlap. 1995. Effects of incubation time and temperature on in vitro seceltive delignification of silver leaf oak by Ganoderma colossum. Appl. Environ. Microbiol. 61:138-144. Akhtar M., R.A. Blanchette and T.K. Kirk. 1997. Fungal Delignification and Biomechanical Pulping of wood. Advances in Biochemical Engineering Biotechnology, 57:159-195. Aziz A.A., M. Husin and A. Mokhtar. 2002. Preparation of cellulose from oil palm empty fruit bunches via ethanol digestion: effect of acid and alkali catalysts. Journal of Oil Palm Research 14(1):9-14 Blanchette R.A. 1995. Degradation of lignocellulose complex in wood. Can. J. Bot. 73 (Suppl. 1):S999-S1010. Blanchette R.A., K.R. Cease and A.R. Abad. 1991. An evaluation of different forms of deterioration found in archaeological wood. Int. Biodeter. 28:3-22. Boyle C.D., B.R. Kropp and I.D. Reid. 1992. Solubilization and mineralization of lignin by white rot fungi. Appl. Environ. Microbiol. 58:3217-3224. Broda P., P.R.J. Birch, P.R. Brooks and P.F.G.Sims. 1996. Lignocellulose degradation by Phanerochaete chrysosporium: gene families and gene expression for a complex process. Molecul. Microbiol.19(5):923-932. Bourbonnais R. and M.G. Paice. (1990) Oxidation of nonphenolic substrates : an expanded role for laccase in lignin biodegradation. FEBS Letters. 267:99-102. Chahal P.S. and D.S. Chahal. 1998. Lignocellulosic Waste: Biological Conversion. In: Martin, A.M. [eds]. Bioconversion of Waste Materials to Industrial Products. Ed ke-2. London: Blackie Academic & Professional. pp. 376-422. Claus H. 2003. Laccases and their occurrence prokaryotes. Arch. Microbiol. 179:145- 150.
in
Crawford D.L., A.L. Pometto III and R.L. Crawford. 1983. Lignin degradation by Streptomyces viridosporus: Isolation and characterization of new polymeric lignin degradation intermediate. Appl. Environ. Microbiol. 45:898-904.
©suparjo2008
17
Cui F. and D. Dolphin. 1990. The role of manganese in model systems related to lignin biodegradation. Holzforschung, 44:279-283. Daniel G. and T. Nilsson. 1998. Developments in the study of soft rot and bacterial decay. In: Bruce A.and J.W Palfreyman [eds]. Forest Products Biotechnology. Great Britain: Taylor & Francis pp. 37-62. Dey S., T.K. Maiti and B.C. Bhattacharyya. 1994. Production of some extracellular enzymes by a lignin peroxidase-producing brown rot fungus, Polyporus ostreiformis, and its comparative abilities for lignin degradation and dye decolorization. Appl. Environ. Microbiol. 60:4216-4218. Dodson P.J., C.S. Evans, P.J. Harvey and J.M. Palmer. 1987. Production and properties of an extracellular peroxidase from Coriolus versicolor which catalyzes Calpha C-beta cleavage in a lignin model compound. FEMS Microbiol. Lett. 42:17-22. Eggert C., U. Temp, J.F. Dean and K.E.L. Eriksson. 1996. A fungal metabolite mediates degradation of nonphenolic lignin structures and synthetic lignin by laccase. FEBS Lett. 391:144-148. Evan C.S. and J.S. Hedger. 2001. Degradation of plant cell wall polimers. Di dalam: Gadd G.M. (ed). Fungi in Bioremedation. Cambridge: Cambridge University Press. pp. 1-26. Gold M.H. and M. Alic. 1993. Molecular biology of the lignin-degrading basidiomycete Phanerochaete chrysosporium. Microbiol. Rev. 57:605-622. Hammel K.E. 1996. Extracellular free radical biochemistry of ligninolytic fungi. New J Chem 20:195-198. Hammel K.E. 1997. Fungal Degradation of Lignin. Di Dalam: Cadisch G, Giller KE, Editor. Driven By Nature: Plantt Litter Quality And Decompostion. London: CAB International. hlm. 33-45. Hatakka A. 2001. Biodegradation of lignin. In: Steinbüchel A. [ed] Biopolymers. Vol 1: Lignin, Humic Substances and Coal. Germany: Wiley VCH. pp. 129-180. Hatakka A. 1994. Lignin-modifying enzymes from selected white-rot fungi: production and role in lignin degradation. FEMS Microbiol. Rev. 13: 125-135.
©suparjo2008
18
Have R.T and M.C.R. Franssen. 2001. on a revised mechanism of side product in the lignin peroxidase catayzed of veratryl alcohol. FEBS Letters. 487:313-317. Hofrichter M. 2002. Review: Lignin conversion by manganese peroxidase (MnP). Enzyme Microbiol. Technol. 30:454-466. Howard R.L., P. Masoko and E. Abotsi. 2003a. Enzymeactivity of Phanerochaete chrysosporium cellobiohydrolase (CBHI.1) expressed as a heterologous protein from Escherichia coli. African J. Biotechnol. 2(9):296300 Howard R.L., E. Abotsi, E.L.J. van Rensburg and S. Howard. 2003b. Lignocellulose biotechnology: issues of bioconversion and enzyme production. African J. Biotechnol. 2(12):602-619. Johjima T., N. Itoh, M. Kabuto, F. Tokimura, T. Nakagawa. H. Wariishi and H. Tnaka. 1999. Direct interaction of lignin and lignin peroxidase from Phanerochaete chrysosporium. Proc. Natl. Acad. Sci. 96:1989-1994. Kersten P.J., B. Kalyanaraman, K.E. Hammel, B. Reinhammar and T.K. Kirk. 1990. Comparison of lignin peroxidase, horseradish peroxidase and laccase in the oxidation of methoxybenzenes. Biochem. J. 268:475-480. Kirk T.K. and R.L. Farrell. 1987. Enzymatic “combustion”: the microbial degradation of lignin. Ann. Rev. Microbiol. 41, 465-505. Kishi K., H. Wariishi, L.Marquez, H.B. Dunford and M.H. Gold. 1994. Mechanism of manganese peroxidase compound II reduction. Effect of organic acid chelators and pH. Biochemistry, 33:8694-8701. Kuwahara M., J.K. Glenn, M.A. Morgan and M.H. Gold. 1984. Separation and characterization of 2 extracellular H2O2-dependent oxidases from ligninolytic cultures of Phanerochaete chrysosporium. FEBS Lett. 169:247-250. Lymar E.S., Bin Li and V. Renganathan. 1995. Purification and characterization of a cellulose-binding βglucosidase from cellulose-degrading culture of Phanerochaete chrysosporium. Appl. Environ. Microbiol. 61:29762980. Lynd L.R., P.J. Weimer, W.H. van Zyl WH and I.S. Pretorius. 2002. Microbial Cellulose Utilization: Fundamentals and Biotechnology. Microbiol. Mol. Biol. Rev. 66(3):506-577. ©suparjo2008
19
Mäkelä M., S. Galkin A. Hatakka and T. Lundell. 2002. Production of organic acids and oxalate decarboxylase in lignin-degrading white rot fungi. Enzyme Microb. Technol. 30:542-549. Mayer A.M. and R.C. Staples. 2002. Laccase: new functions for an old enzyme. Phytochem. 60:551-565. Niku-Paavola M.L., E. Karhunen, P. Salola and V. Raunio, 1988. Ligninolytic enzymes of the white-rot fungus Phlebia radiata. Biochem. J. 254:877-883. Orth A.B., D.J. Royse, M. Tien. 1993. Ubiquity of lignindegrading peroxidases among various wood-degrading fungi. Appl Environ Microbiol 59:4017-4023. Perez J., J. Munoz-Dorado, T. de la Rubia and J. Martinez. 2002. Biodegradation and biological treatments of cellulose, hemicellulose and lignin: an overview. Int. Microbiol. 5:53-63. Piontek K., A.T. Smith and W. Blodig. 2001. Lignin peroxidase structure and function. Biochem. Soc. Trans. 29(2):111-116. Rayner A.D.M., Boddy L. 1988. Fungal Great Britain: John Wiley & Sons.
decomposition of wood.
Rothschild N., A. Levkowitz, Y. Hadar and C.G. Dosoretz. 1999. Manganese deficiency can replace high oxygen levels needed for lignin peroxidase formation by Phanerochaete chrysosporium. Appl Environ Microbiol 65:483-488 Sjöberg, G. 2003.
Lignin degradation: Long-term effects of nitrogen
addition on decomposition of forest soil organic matter.
Uppsala: Dep. Soil Agricultural Sciences.
Sci.
Swedish
[disertasi]. University of
Srebotnik E., K.A. Jensen and K.E. Hammel. 1994. Fungal degradation of recalcitrant nonphenolic lignin structure without lignin peroxidase. Proc Natl Acad Sci 91:1279412797 Srivivasan C., T.M. D’sauza, K. Boominantan and C.A. Reddy. 1995. Demonstration of laccase ini the White rot basidiomycete Phanerochaete chrysosporium BKM-F1767. Appl. Environ. Microbiol. 61:4274-4277. Steffen, K.T. 2003.
Degradation of recalcitrant biopolymers and
polycyclic aromatic hydrocarbons by litter-decomposing basidiomycetous fungi. [disertasi]. Helsinki: Division of Microbiology Department of Applied Chemistry and Microbiology Viikki Biocenter, University of Helsinki:
©suparjo2008
20
Taherzadeh M.J. 1999.
Ethanol from Lignocellulose: Physiological
[thesis]. Göteborg: Department of Chemical Reaction Engineering, Chalmers University Of Technology. Effects
of
Inhibitors
Tuomela, M. 2002.
and
Fermentation
Strategies.
Degradation of lignin and other
14
C-labelled
compounds in compost and soil with an emphasis on white-rot fungi.
Helsinki: Dep. Appl. Chem. Microbiol. Division of Microbiology University of Helsinki Thurston C.F. 1994. The structure and function of fungal laccases. Microbiology, 140: 19-26. Tien M. and T.K. Kirk. 1983. Lignin-degrading enzyme from the hymenomycete Phanerochaete chrysosporium Burds. Science, 221:661-662. Vähätalo A.V., K. Salonen, M. Salkinoja-Salonen and A. Hatakka. 1999. Photochemical mineralization of synthetic lignin in lake water indicates rapid turnover of aromatic organic matter under solar radiation. Biodegradation 10:415-420. Vares T. 1996.
Ligninolytic enzymes and lignin-degrading activity of
taxonomically different white-rot fungi.
[PhD Thesis]. Helsinki: Dep. Appl. Chem. and Microbiol. University of Helsinki.
Wariishi H. and M.H. Gold. 1990. Lignin peroxidase compound III: mechanism of formation and decomposition. J. Biological Chemistry. 265(4):2070-2077. Wood D.A., S.E Matcham and T.R. Fermor. 1988. Production and function on enzymes during lignocellulose degradation. In: Zadrazil F and P Reninger [Eds]. Treatment of Lignocellulosics with White Rot Fungi. London: Elsevier Applied Science. pp.43-49.
©suparjo2008
21