Definisi Hiperbilirubinemia.docx

  • Uploaded by: aricendani prabawati
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Definisi Hiperbilirubinemia.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,052
  • Pages: 23
A. Definisi Hiperbilirubinemia Hiperbilirubinemia adalah suatu keadaan dimana menguningnya sklera, kulit atau jaringan lain akibat perlekatan bilirubuin dalam tubuh atau akumulasi bilirubin dalam darah lebih dari 5mg/ml dalam 24 jam, yang menandakan terjadinya gangguan fungsional dari liper, sistem biliary, atau sistem hematologi ( Atikah & Jaya, 2016 ). Hiperbilirubinemia adalah kondisi dimana tingginya kadar bilirubin yang terakumulasi dalam darah dan akan menyebabkan timbulnyaikterus, yang mana ditandai dengan timbulnya warna kuning pada kulit, sklera dan kuku. Hiperbilirubinemia merupakan masalah yang sering terjadi pada bayi baru lahir. Pasien dengan hyperbilirubinemia neonatal diberi perawatan dengan fototerapi dan transfusi tukar (Kristianti ,dkk, 2015). Hiperbilirubinemia ialah terjadinya peningkatan kadar bilirubin dalam darah, baik oleh faktor fisiologik maupun non-fisiologik, yang secara klinis ditandai dengan ikterus (Mathindas, dkk ,2013). Hiperbilirubinemia penyakit hemolitik yang baru lahir merupakan penyebab umum ikterus neonatus. Meskipun demikian, karena imaturitas jalur metabolisme bilirubin, banyak bayi baru lahir menjadi ikterus tanpa adanya hemolysis (Behrman, 2010:244). Hiperbilirubinemia merujuk pada tingginya kadar bilirubin terakumulasi dalam darah dan ditandai dengan jaundice atau ikterus, suatu pewarnaan kuning pada kulit, sclera, dan kuku. Hiperbiliubinemia merupakan temuan biasa pada bayi baru lahir dan pada kebanyakan kasus relative jinak. Akan tetapi hal ini, bisa juga menunjukkan keadaan patologis.Hiperbilirubinemia dapat terjadi akibat peningkatan bilirubin tidak terkonjugasi maupun terkonjugasi. Bentuk tidak terkonjugasi merupakan tipe yang biasa terlihat pada bayi baru lahir (Wong, 2008:322). B. Etiologi Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh bermacam-macam keadaan. Penyebab yang sering ditemukan disini adalah hemolisis yang timbul akibat inkopatibilitas golongan darah ABO atau defisiensi enzim G6PD. Hemolisis ini dapat pula timbul karna adanya perdarahan tertutup (hematoma cepal, perdarahan subaponeurotik) atau inkompatibilitas golongan darah Rh. Infeksi juga memegang peranan penting dalam terjadinya hiperbilirubinemia; keadaaan ini terutama terjadi pada penderita sepsis dan gastroenteritis. Faktor lain yaitu hipoksia atau asfiksia, dehidrasi dan asiosis, hipoglikemia, dan

polisitemia (Atikah & Jaya, 2016). Nelson, (2011), secara garis besar etiologi ikterus neonatorum dapatdibagi : a. Produksi yang berlebihan Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas darah Rh, AB0, golongan darah lain, defisiensi enzim G-6PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis. b. Gangguan dalam proses “uptake” dan konjugasi hepar Gangguan ini dapat disebabkan oleh bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil transferase (sindrom criggler-Najjar). Penyebab lain yaitu defisiensi protein. Protein Y dalam hepar yang berperan penting dalam “uptake” bilirubin ke sel hepar. c. Gangguan transportasi bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkat ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, sulfafurazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak. d. Gangguan dalam ekskresi Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau diluar hepar.Kelainan diluar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab

lain.Etiologi

ikterus

yang

sering

ditemu-kan

ialah:

hiperbilirubinemia fisiologik, inkompabilitas golongan darah ABO dan Rhesus, breast milk jaundice, infeksi, bayi dari ibu penyandang diabetes melitus, dan polisitemia/hiperviskositas.

Etiologi yang jarang ditemukan yaitu: defisiensi G6PD, defisiensi piruvat kinase, sferositosis kongenital, sindrom Lucey-Driscoll, penyakit CriglerNajjar, hipo-tiroid, dan hemoglobinopati. (Mathindas, dkk , 2013)

C. Patofisiologi Bilirubin diproduksi dalam sistem retikuloendotelial sebagai produk akhir dari katabolisme heme dan terbentuk melalui reaksi oksidasi reduksi. Karena sifat hidrofobiknya, bilirubin tak terkonjugasi diangkut dalam plasma, terikat erat pada albumin. Ketika mencapai hati, bilirubin diangkut ke dalam hepatosit, terikat dengan ligandin. Setelah diekskresikan ke dalam usus melalui empedu, bilirubin direduksi menjadi tetrapirol tak berwarna oleh mikroba di usus besar. Bilirubin tak terkonjugasi ini dapat diserap kembali ke dalam sirkulasi, sehingga meningkatkan bilirubin plasma total (Mathindas ,dkk, 2013). Bilirubin mengalami peningkatan pada beberapa keadaan. Kondisi yang sering ditemukan ialah meningkatnya beban berlebih pada sel hepar, yang mana sering ditemukan bahwa sel hepar tersebut belum berfungsi sempurna. Hal ini dapat ditemukan apabila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia, pendeknya umur eritrosit pada janin atau bayi, meningkatnya bilirubin dari sumber lain, dan atau terdapatnya peningkatan sirkulasi enterohepatik (Atikah & Jaya, 2016). Bilirubin di produksi sebagian besar (70-80%) dari eritrosit yang telah rusak. Kemudian bilirubin indirek (tak terkonjugasi) dibawa ke hepar dengan cara berikatan dengan albumin. Bilirubin direk (terkonjugasi) kemudian diekskresikan melalui traktus gastrointestinal. Bayi memiliki usus yang belum sempurna, karna belum terdapat bakteri pemecah, sehingga pemecahan bilirubin tidak berhasil dan menjadi

bilirubin

indirek yang kemudian ikut masuk dalam aliran darah, sehingga bilirubin terus bersirkulasi (Atikah & Jaya, 2016)

Patway terampir

D. Manifestasi Klinis 1. Tampak ikterus; sklera, kuku, atau kulit dan membrane mukosa. Jaundice yang tampak dalam 24 jam pertama disebabkan oleh penyakit hemolitik pada bayi baru lahir, sepsis, atau ibu dengan diabetic atau infeksi. Jaundice yang tampak pada hari kedua atau hari ketiga, dan mencapai puncak pada hari ketiga sampai hari keempat dan menurun pada hari kelima sampai hari ketujuh yang biasanya merupakan jaundice fisiologis. 2. Ikterus adalah akibat pengendapan bilirubin indirek pada kulit yang cenderung tampak kuning terang atau orens, ikterus pada tipe obstruksi (bilirubin direk) kulit tampak berwarna kuning kehijauan atau keruh. Perbedaan ini hanya dapat dilihat pada ikterus yang berat. 3. Muntah, anoreksia, fatigue, warna urin gelap, warna tinja pucat (Suriadi, 2001: 146).

E. Komplikasi 1. Bilirubin encephalophaty, suatu sindrom kerusakan otak berat akibat deposisi bilirubin tidak terkonjugasi di sel otak (Wong, 2008:324). 2. Kernikterus, kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak terutama pada korpus stratium, thalamus, nucleus subtalamus hipokampus, nucleus merah di dasar ventikrel IV (Ngastiyah, 1997:199). 3. Kerusakan neuorologis. 4. Cerebral palsy. 5. Retardasi metal. 6. Hyperaktif. 7. Bicara lambat. 8. Tidak ada koordinasi otot. 9. Tangisan yang melengking (Suriadi, 2001:144).

F. Pemeriksaan Diagnostik 1. Golongan darah, untuk menentukan golongan darah dan status Rh bayi bila transfusi di perlukan. 2. Uji coombs direk, untuk menegakan diagnosis penyakit hemolitik pada bayi baru lahir; hasil positif mengindikasikan sel darah merah bayi telah terpajan (diselimuti antibodi). 3.

Uji coombs indirek, mengukur jumlah antibody Rh positif dalam darah ibu.

4. Bilirubin total dan direk, untuk menegakan diagnosis hiperbilirubinemia, kadar bilirubin serum total lebih dari 12 hingga 13mg/dl, peningkatan bilirubin total lebih dari 5mg/dl/hari, dan bilirubin direk lebih dari 1,5 hingga 2 mg/dl memastikan diagnosis hiperbilirubinemia. Kadar blirubin serum saja tidak dapat memperkirakan risiko cedera otak akibat kernikterus, walaupun berkaitan dengan kadar lebih dari 20mg/dl pada bayi cukup bulan yang normal. 5. Darah periksa lengkap dengan diferensial, untuk mendeteksi hemolisis, anemia (Hb kurang dari 14gr/dl), atau polisitemia (Ht lebih dari 65%) ; Ht kurang dari 40% darah dari tali pusar ) mengindikasikan hemolisis berat. 6. Protein serum total, untuk mendeteksi penurunan kapasitas ikatan (kurang dari 3,0 gr/dl). 7. Glukosa serum, untuk mendeteksi hipoglikemia (kurang dari 40mg/dl). 8. Kekuatan ikatan CO2, untuk mendeteksi hemolisis, yang konsisten dengan penurunan kekuatan ikatan CO2. 9. Uji Kleihauer – Betke, untuk mendeteksi sel darah merah janin dalam darah ibu. 10. Hitung retikulosit, peningkatan jumlah koheren dengan peningkatan hemolysis (Green, 2012:911). 11. Ultrasound, untuk mengevaluasi anatomi cabang kantong empedu. 12. Radioisotope scan, untuk membantu membedakan hepatitis dari atresia biliary (Suriadi, 2001:146)

G. Penatalaksanaan Menurut Atikah dan Jaya, 2016, cara mengatasi hiperbilirubinemia yaitu: a. Mempercepat

proses

konjugasi,

misalnya

pemberian fenobarbital.

Fenobarbital dapat bekerja sebagai perangsang enzim sehingga konjugasi dapat dipercepat. b. Memberikan substrat yang kurang untuk transportasi atau konjugasi. Contohnya ialah pemberian albumin untuk meningkatkan bilirubion bebas. c. Melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi ini ternyata setelah dicoba dengan alat-alat bantuan sendiri dapat menurunkan bilirubin dengan cepat. Walaupun demikian fototerapi tidak dapat menggantikan transfusi tukar pada proses hemolisis berat. Fototerapi dapat digunakan untuk pra dan pasca transfusi tukar.

Penatalaksanaan hiperbilirubinemia secara terapeutik : 1. Fototerapi Dilakukan apabila kadar bilirubin indirek lebih dari 10 mg% dan berfungsi untuk menurunkan bilirubin dalam kulit melalui tinja

dan

urin dengan oksidasi foto pada bilirubin dari biliverdin. Langkah-langkah pelaksanaan fototerapi yaitu :

a. Membuka pakaian neonatus agar seluruh bagian tubuh neonatus kena sinar. b. Menutup kedua mata dan gonat dengan penutup yang memantulkan cahaya. c. Jarak neonatus dengan lampu kurang lebih 40 cm d. Mengubah posisi neonatus setiap 6 jam sekali. e. Mengukur suhu setiap 6 jam sekali f.

Kemudian memeriksa kadar bilirubin setiap 8 jam atau sekurang-kurangnya sekali dalam 24 jam.

g. Melakukan pemeriksaan HB secara berkala terutama pada penderita yang mengalami hemolisis.

2. Fenoforbital Dapat mengekskresi bilirubin dalam hati dan memperbesar konjugasi. Meningkatkan sintesis hepatis glukoronil transferase yang mana dapat meningkatkan bilirubin konjugasi dan clearance hepatik pada pigmen dalam empedu, sintesis protein dimana dapat meningkatkan albumin untuk mengikat bilirubin. Fenobarbital tidak begitu sering dianjurkan. 3. Transfusi Tukar Apabila sudah tidak dapat ditangani dengan fototerapi atau kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg%. Langkah

penatalaksanaan

saat

transfusi

tukar

adalah sebagai

berikut : a. Sebaiknya neonatus dipuasakan 3-4 jam sebelum transfusi tukar. b. Siapkan neonatus dikamar khusus. c. Pasang lampu pemanas dan arahkan kepada neonatus. d. Tidurkan neonatus dalam keadaan terlentang dan buka pakaian ada daerah perut. e. Lakukan transfusi tukar sesuai dengan protap. f. Lakukan observasi keadaan umum neonatus, catat jumlah darah yang keluar dan masuk. g. Lakukan pengawasan adanya perdarahan pada tali pusat. h. Periksa kadar Hb dan bilirubin setiap 12 jam (Suriadi dan Yulianni 2006) Penatalaksanaan hiperbilirubinemia secara alami : 1. Bilirubin Indirek Penatalaksanaanya dengan metode penjemuran dengan sinar ultraviolet ringan yaitu dari jam 7.oo – 9.oo pagi. Karena bilirubin fisioplogis jenis ini tidak larut dalam air. 2. Bilirubin Direk Penatalaksanaannya yaitu dengan pemberian intake ASI yang adekuat. Hal ini disarankan karna bilirubin direk dapat larut dalam air, dan akan dikeluarkan melalui sistem pencernaan. (Atikah & Jaya, 2016 ; Widagdo, 2012)

Konsep Asuhan Keperawatan Pada Kasus Hiperbilirubinemia 1. Pengkajian Pengkajian pada kasus hiperbilirubinemia meliputi : a. Identitas, seperti : Bayi dengan kelahiran prematur, BBLR, dan lebih sering diderita oleh bayi laki-laki. b. Keluhan utama Bayi terlihat kuning dikulit dan sklera, letargi, malas menyusu, tampak lemah, dan bab berwarna pucat. c. Riwayat kesehatan 1) Riwayat kesehatan sekarang Keadaan umum bayi lemah, sklera tampak kuning, letargi, refleks hisap kurang, pada kondisi bilirubin indirek yang sudah .20mg/dl dan sudah sampai ke jaringan serebral maka bayi akan mengalami kejang dan peningkatan tekanan intrakranial yang ditandai dengan tangisan melengking. 2) Riwayat kesehatan dahulu Biasanya ibu bermasalah dengan hemolisis. Terdapat gangguan hemolisis darah (ketidaksesuaian golongan Rh atau golongan darah A,B,O). Infeksi, hematoma, gangguan metabolisme hepar obstruksi saluran pencernaan, ibu menderita DM. Mungkin praterm, bayi kecil usia untuk gestasi (SGA), bayi dengan letardasio pertumbuhan intra uterus (IUGR), bayi besar untuk usia gestasi (LGA) seperti bayi dengan ibu diabetes. Terjadi lebih sering pada bayi pria daripada bayi wanita. 3) Riwayat kehamilan dan kelahiran Antenatal care yang kurang baik, kelahiran prematur yang dapat menyebabkan maturitas pada organ dan salah

satunya hepar, neonatus dengan berat badan lahir rendah, hipoksia dan asidosis yang akan menghambat konjugasi bilirubin, neonatus dengan APGAR score rendah juga memungkinkan terjadinya hipoksia serta asidosis yang akan menghambat konjugasi bilirubin. d. Pemeriksaan fisik 1) Kepala-leher. Ditemukan adanya ikterus pada sklera dan mukosa. 2) Dada Ikterus dengan infeksi selain dada terlihat ikterus juga akan terlihat pergerakan dada yang abnormal. 3) Perut Perut membucit, muntah, kadang mencret yang disebabkan oleh gangguan metabolisme bilirubin enterohepatik. 4) Ekstremitas Kelemahan pada otot. 5) Kulit Menurut rumus kramer apabila kuning terjadi di daerah kepala dan leher termasuk ke grade satu, jika kuning pada daerah kepala serta badan bagian atas digolongkan ke grade dua. Kuning terdapat pada kepala, badan bagian atas, bawah dan tungkai termasuk ke grade tiga, grade empat jika kuning pada daerah kepala, badan bagian atas dan bawah serta kaki dibawah tungkai, sedangkan grade 5 apabila kuning terjadi pada daerah kepala, badan bagian atas dan bawah, tungkai, tangan dan kaki. 6) Pemeriksaan neurologis Letargi, pada kondisi bilirubin indirek yang sudah mencapai jaringan serebral, maka akan menyebabkan kejang-kejang dan penurunan kesadaran. 7) Urogenital

Urine berwarna pekat dan tinja berwarna pucat. Bayi yang sudah fototerapi biasa nya mengeluarkan tinja kekuningan.

e. Pemeriksaan diagnostik 1) Pemeriksaan bilirubin serum Bilirubin pada bayi cukup bulan mencapai puncak kira-kira 6 mg/dl, antara 2 dan 4 hari kehidupan. Jika nilainya diatas 10 mg/dl yang berarti tidak fisiologis, sedangkan bilirubin pada bayi prematur mencapai puncaknya 10-12 mg/dl, antara 5 dan 7 hari kehidupan. Kadar bilirubin yang lebih dari 14 mg/dl yaitu tidak fisiologis. Ikterus fisiologis pada bayi cukup bulan bilirubin indirek munculnya ikterus 2 sampai 3 hari dan hilang pada hari ke 4 dan ke 5 dengan kadar bilirubin yang mencapai puncak 10-12 mg/dl, sedangkan pada bayi dengan prematur bilirubin indirek munculnya sampai 3 sampai 4 hari dan hilang 7 sampai 9 hari dengan kadar bilirubin yang mencapai puncak 15 mg/dl/hari. Pada ikterus patologis meningkatnya bilirubin lebih dari 5 mg/dl perhari. 2) Ultrasound untuk mengevaluasi anatomi cabang kantong empedu 3) Radioisotope scan dapat digunakan untuk membantu membedakan hepatitis dan atresia biliary. (Surasmi, dkk, 2003; Lynn & Sowden, 2009; Widagdo, 2012) f. Data penunjang 1) Pemeriksaan kadar bilirubin serum (total) (normal <2mg/dl). 2) Pemeriksaan darah tepi lengkap dan gambaran apusan darah tepi. 3) Penentuan golongan darah dari ibu dan bayi. 4) Pemeriksaan kadar enzim G6PD. 5) Pada ikterus yang lama, lakukan uji fungsi hati, uji fungsi tiroid, uji urin terhadap galaktosemia.

6) Bila secara klinis dicurigai sepsis, lakukan pemeriksaan kultur darah, urin, IT rasio dan pemeriksaan C reaktif

2. Kemungkinan diagnosa keperawatan a. Ikterus Neonatus b. Hipertermi b.d suhu lingkungan tinggi dan efek fototerapi. c. Risiko infeksi b.d proses invasif. d. Risiko kekurangan volume cairan b.d tidak adekuatnya intake cairan, efek fototerapi dan diare. e. Risiko kerusakan integritas kulit b.d hiperbilirubinemia dan diare. f. Risiko cedera b.d peningkatan kadar bilirubin dan proses fototerapi. g. Ketidakefektifan pola makan bayi b.d penurunan daya hisap bayi. ( NANDA, 2015 )

3. Rencana Keperawatan

Rencana Keperawatan No Diagnosa 1

NOC

Keperawatan Ikterus Neonatus

Setelah

NIC dilakukan 1. Fototerapi: neonatus

asuhan b.d neonatus keperawatan, maka mengalami didapatkan kriteria: kesulitan transisi kehidupan ekstra 1. Adaptasi bayi baru uterin, lahir keterlambatan a. Warna kulit (5) pengeluaran mekonium, b. Mata bersih (5) penurunan c. Kadar bilirubin berat badan tidak terdeteksi, (5) pola makan tidak tepat dan usia ≤ 7 hari. 2. Organisasi (Pengelolaan) bayi prematur a. Warna kulit (5)

3. Fungsi hati , resiko gangguan. a. Pertumbuhan dan perkembangan bayi dalam batas normal.(5) b. Tanda-tanda

2

Hipertermi

b.d

suhu lingkungan tinggi dan efek

a. Kaji ulang riwayat maternal dan bayi mengenai adanya faktor risiko terjadinya hyperbilirubinemia. b. Observasi tanda-tanda (warna) kuning. c. Periksa kadar serum bilirubin, sesuai kebutuhan, sesuai protokol dan permintaan dokter. d. Edukasikan keluarga mengenai prosedur dalam perawatan isolasi. e. Tutup mata bayi, hindari penekanan yang berlebihan. f. Ubah posisi setiap 4jam protokol.

bayi per

2. Monitor tanda vital

a. Monitor nadi, suhu, vital bayi dalam dan frekuensi batas normal(5). Setelah dilakukan 1. Temperature regulation pernapasan dengan asuhan (pengaturan suhu) tepat. keperawatan, maka a. Monitor sushu b. Monitor warna kulit, didapatkan suhu, dan kelembaban.

fototerapi.

kriteria:

1. Termoregulasi.

minimal tiap 2 jam. b. Rencanakan monitoring suhu secara kontinyu. c. Monitor

a. berkeringat saat panas (5) b. gemetaran saat dingin.(5) c. Tingkat pernafasan. (5)

nadi

dan

RR. d. Monitor warna dan suhu kulit. e. sesuaikan suhu yang sesua dengan kebutuhan pasien. f. Monitor tanda-tanda hipertermi dan hipotermi.

2. Kontrol resiko : hipertermi.

a. Teridentifikasi nya tanda dan gejala hipertermi (5) b. Modifikasi lingkungan untuk mengontrol suhu tubuh (5)

g. Tingkatkan dan nutrisi.

cairan

h. Berikan antipiretik jika perlu. i. Gunakan kasur yang dingin dan mandi air hangat untuk perubahan suhu tubuh yang sesuai.

2. Manajemen demam a. Monitor suhu secara kontinue b. Monitor cairan

keluaran

c. Monitor warna kulit dan suhu d. Monitor masukan dan keluaran.

3

Risiko infeksi b.d

Setelah

dilakukan Infection Control (Kontrol

proses invasif.

Infeksi). asuhan keperawatan, maka a. Bersihkan lingkungan didapatkan kriteria: setelah dipakai pasien lain. Kontrol resiko : proses infeksi.

b. Pertahankan isolasi.

teknik

c. Batasi pengunjung bila Faktor risiko

infeksi

teridentifikasi. (5)

perlu. d. Gunakan sabun antimikroba untuk cuci tangan. e. Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan keperawatan. f. Gunakan baju, sarung tangan sebagai pelindung. g. Pertahankan lingkungan aseptik selama pemasangan alat. h. Tingkatkan nutrisi.

intake

i. Berikan terapi antibiotik bila perlu yang mengandung infection protection (proteksi terhadap infeksi).

4

Risiko kekurangan volume cairan b.d tidak adekuatnya intake cairan, efek fototerapi dan diare.

Setelah dilakukan Manajemen cairan asuhan a. Monitor berat keperawatan, maka badan. b. Timbang didapatkan kriteria: popok.

Keseimbangan cairan.

c. Pertahankan catatan intake dan output yang akurat. d. Monitor vital sign.

a. Intake output

dan

e. Dorong masukan oral. f. Monitor pernafasan, tekanan darah, dan nadi.

seimbang 24

g. Monitor status hidrasi

b. Turgor kulit membaik (5)

(kelembapan membrane mukosa, nadi adekuat, tekanan darah ortostatik).

dalam jam.(5)

h. Monitor warna, kuantitas dan banyaknya keluaran urin. i. Berikan sesuai.

cairan

Daftar pustaka hiper

yang

Surasmi, A. Handayani, S. Kusuma, H, N. 2003. Perawatan bayi risiko tinggi. Jakarta . EGC.

Widagdo. 2012. Tatalaksana Masalah Penyakit Anak Dengan Ikterus. Jakarta. Sagung Seto

j. Monitor respon pasien terhadap penambahan cairan. k. Monitor berat badan. 5

Risiko kerusakan

Setelah

dilakukan

integritas kulit b.d hiperbilirubinemia dan diare.

asuhan keperawatan, . Manajemen cairan 1 maka didapatkan kriteria: a. Monitor berat badan.

1. Integritas jaringan : kulit dan membran mukosa.

a. Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan (sensasi, elastisitas, hidrasi). (5)

b. Pertahankan catatan intake dan output yang akurat. c. Dorong masukan oral. d. Monitor status hidrasi (kelembapan membran mukosa, nadi adekuat, tekanan darah ortostatik). e. Berikan sesuai.

b. Perfusi jaringan baik. (5) 2. Pressure

cairan

yang

management

(Manajemen tekanan) 2. Kontrol resiko. integritas kulit neonatus kembali membaik. Dengan kriteria hasil : a. Faktor resiko teridentifikasi (5) 6

Risiko cedera b.d peningkatan kadar

a. Anjurkan untuk menggunakan pakaian yang longgar. b. Hindari kerutan pada tempat tidur. c. Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering.

d. Mobilisasi (ubah posisi b. Faktor resiko pasien) setiap dua jam Setelah dilakukan Environment Management personal sekali. termonitor (5) (manajemen lingkungan). asuhan keperawatan, e. Monitor akan adanya c. Faktor resiko kemerahan. lingkungan termonitor. (5) f. Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien.

bilirubin

dan

proses fototerapi.

maka

didapatkan

kriteria:

1. Kontrol cidera

a. Sediakan

lingkungan

yang aman pasien. Resiko

1. Terbebas cidera. (5)

dari

b. Menghindari lingkungan berbahaya.

untuk

yang

c. Monitor kadar bilirubin, Hb, HCT sebelum dan sesudah tansfusi tukar. d. Monitor tanda vital. e. Mempertahankan sistem kardiopulmonary. f. Mengkaji kulit pada abdomen.

7

Ketidakefektifan pola makan bayi

g. Kolaborasi pemberian obat untuk meningkatkan transportasi dan konjugasi seperti pemberian albumin atau cairan pemberian Setelah dilakukan 1. Manajemen plasma. asuhan a. Timbang BB setiap hari keperawatan, maka h. dan Mengontrol dan monitor status didapatkan kriteria: pasien. lingkungan dari

1. Organisasi (pengelolaan) prematur

kebisingan. b. Hitung atau timbang popok dengan baik bayi

c. Monitor

tanda

vital

pasien

a. Toleransi makan (5) 2. Monitor nutrisi 2. Status menelan: fase oral a. Efisiensi kemampua

a. Timbang dan ukur berat badan ideal b. Berikan

intake

ASI

menghisap (5)

Related Documents

Definisi
May 2020 53
Definisi
June 2020 45
Definisi
April 2020 55
Definisi Belajar
October 2019 31
Definisi Pendapatan
December 2019 20
Definisi Makalah
August 2019 37

More Documents from "Abdul Malik"