Daspen Rev.docx

  • Uploaded by: Hana Eva Loren Marpaung
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Daspen Rev.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,783
  • Pages: 12
BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa belajar adalah suatu proses yang terjadi pada diri setiap orang selama hidupnya dan berjalan secara kompleks. Dimana, dalam setiap kegiatan belajar, di dalamnya akan terjadi aktifitas yang dilakukan secara sengaja dengan maksud mentransportasikan ilmu pengetahuan, nilai-nilai sosial budaya sekaligus norma-normanya dari generasi ke generasi agar tetap terlestarikan. Proses belajar itu terjadi karena adanya interaksi antara seseorang dengan lingkungannya. Oleh karena itu, belajar dapat terjadi kapan dan dimana saja. Ini bisa dibuktikan dengan berubahnya tingkah laku seseorang yang bisa terjadi pada tingkatan pengetahuan, keterampilan, atau sikapnya. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mendorong upaya-upaya pembaharuan dalam pemanfaatan hasil-hasil teknologi dalam proses belajar mengajar, sehingga hal ini, media adalah bagian yang tidak dapat terpisahkan dari proses belajar mengajar demi tercapainya tujuan pendidikan pada umumnya dan tujuan pembelajaran di sekolah pada khususnya. Akan tetapi, problema yang sering ditemukan adalah penghadapan guru dalam proses pembelajaran yaitu banyaknya bahan pembelajaran yang harus diajarkan dalam kurikulum 2006 serta waktu yang terbatas. Selain kendala tersebut, tidak sedikit guru yang menghadapi masalah dalam mengorganisasikan bahan pembelajaran yang sesuai dengan tuntutan kurikulum. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian maju serta tata kehidupan masyarakat yang serba kompetitif mengharuskan adanya upaya yang maksimal untuk mampu menyesuaikan diri. Kemampuan menyesuaikan diri bisa dilakukan dengan baik apabila didukung oleh pengetahuan dan keterampilan yang tinggi. Dalam kerangka inilah peranan guru ditengah-tengah dunia pendidikan menjadi amat penting. Guru sebagai pendidik dapat berfungsi sebagai Agent of Culture, juga berfungsi selaku Agent of change. Dengan demikian guru mempunyai tugas guna melestarikan serta mentranformasikan nilai-nilai kultural kepada generasi muda, serta memberikan perubahan terhadap nilai-nilai kebudayaan ke arah yang lebih baik dan berkualitas.

B. TUJUAN 

Untuk mengetahui apa itu model pembelajaran “Student Fasilitator and Explaining.



Untuk mengetahui apa saja fase/sintaks dari model pembelajaran “Student Fasilitator and Explaining.



Untuk menngetahui kelebihan dan kekurangan model pembelajaran “Student Fasilitator and Explaining.

C. MANFAAT 

Dapat mengetahui apa itu model pembelajaran “Student Fasilitator and Explaining.



Dapat mengetahui apa saja fase/sintaks dari model pembelajaran “Student Fasilitator and Explaining.



Dapat menngetahui kelebihan dan kekurangan model pembelajaran “Student Fasilitator and Explaining.

BAB II PEMBAHASAN

A. Belajar dan Pembelajaran

Menurut Dr. Edi Prio Baskoro M.Pd., belajar adalah suatu proses yang kompleks yang terjadi pada diri setiap orang sepanjang hidupnya. Proses belajar itu terjadi karena adanya interaksi antara seseorang dengan lingkungannya. (Edi Prio Baskoro, 2008:1) Proses pembelajaran merupakan upaya mengkondisikan lingkungan agar terjadi kegiatan belajar. Melalui proses pembelajaran, diharapkan terjadi kegiatan belajar dan menghasilkan perubahan yang terarah ke arah positif sesuai dengan tujuan pembelajaran yang diinginkan. (Eti Nurhayati, 2010:20) Murid-murid akan belajar secara efektif jika mereka benar-benar tertarik terhadap pelajarannya. Akan tetapi sulit bagi kebanyakan guru untuk menemukan persediaan gagasan tentang menyampaikan matematika secara menarik. Banyak guru yang terlibat dalam rutinitas menyampaikan materi pelajaran sehingga mereka kehilangan waktu dan energy untuk mencari hal-hal yang dapat memotivasi muridnya. Akan tetapi terdapat persediaan yang melimpah tentang matematika yang menarik.

B. Kedudukan Guru dalam Pembelajaran

Seperti yang kita ketahui guru mempunyai ketentuan dan syarat-syarat yang harus dia penuhi, seperti umur, ijazah, kesehatan, kelakuan baik, tidak cacat, dan sebagainya. Adapun kedudukan guru adalah sebagai pembantu sekolah. Tugasnya dalam administrasi pendidikan adalah sebagi pebantu, yakni ikut melaksanakan administrasi pendidikan yang sebenarnya khususnya di sekolah dasar. Mungkin pada masa lalu, tugas dan kewajiban guru hanya sebagi pengajar, yaitu menyampaikan atau melakukan transfer ilmu pengetahuan kepada murid, memberi tugas yang kemudian melakukan evaluasi. Namun untuk dewasa ini, keawijan guru mulai berkembang. Dalam banyak hal pekerjaannya berhubungan erat dengan pekerjaan seorang pengawas , kepala sekolah, pegawai tata usaha dan sebagainya yang terkait dengan personil sekolah. Begitu pula, guru diharapkan memiliki kreatifitas yang tinggi, sebagaimana dikuatkan oleh seorang ahli yaitu Gordon dalam Joice and Weill (1996) mengemukakan empat prinsip dasar sinektik yang menentang pandangan lama tentang kreatifitas. Pertama, kreativitas

merupakan suatu yang penting dalam kegiatan sehari-hari. Kedua, proses kreatif bukanlah sesuatu yang misterius. Ketiga, penemuan kreatif sama dalam semua bidang, baik dalam bidang seni, ilmu, maupun rekayasa. Keempat, menunjukan bahwa berpikir kreatif baik secara individu maupun kelompok adalah sama. (E. Mulyana, 2008:163) Gilbert Hunt menyatakan bahwa guru yang baik harus memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut: a) Sifat positif dalam membimbing siswa. b) Pengetahuan yang memadai dalam mata pelajaran yang dibina. c) Mampu menyampaikan materi secara lengkap. d) Mampu menguasai metodologi pembelajaran. e) Mampu memberikan harapan riil terhadap siswa. f) Mampu mneguasai manajemen kelas. (Masdudi, 2011:35)

C. Model Student Facilitator and Explaining

1. Konsep Model Student Facilitator and Explaining Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian maju serta tata kehidupan masyarakat yang serba kompetitif mengharuskan adanya upaya yang maksimal untuk mampu menyesuaikan diri. Kemampuan menyesuaikan diri bisa dilakukan dengan baik apabila didukung oleh pengetahuan dan keterampilan yang tinggi. Dalam kerangka inilah peranan guru di tengah-tengah dunia pendidikan menjadi sangat penting. Guru sebagai pendidik dapat berfungsi sebagai Agent of Culture, juga berfungsi selaku Agent of change. Dengan demikian guru mempunyai tugas guna melestarikan serta mentranformasikan nilai-nilai kultural kepada generasi muda, serta memberikan perubahan terhadap nilai-nilai kebudayaan ke arah yang lebih baik dan berkualitas. Keberhasilan siswa dalam mempelajari suatu materi pembelajaran (subject matter) terletak pada kemampuan mereka (pebelajar) mengelola belajar (management of learning), kondisi belajar (condition of learning), dan membangun struktur kognitifnya pada bangunan pengetahuan awal (prior knowledge), serta mempresentasikannya secara benar. Pengelolaan kegiatan pembelajaran dan kondisi belajar seseorang mempengaruhi proses terbentuknya pengetahuan di dalam struktur kognitif peserta didik. Kondisi belajar berkaitan dengan materi topik yang dipelajari (content), dan pengelolaan belajar berhubungan dengan membangun pengetahuan. Model Student

Facilitator

and

Explaining

(bermain

peran) adalah

merupakan

pembelajaran dimana siswa atau peserta didik belajar mempresentasikan ide atau pendapat

pada rekan peserta didik lainnya. Model Student Facilitator and Explaining (bermain peran) dilakukan dengan cara penguasaan siswa terhadap bahan-bahan pembelajaran melalui imajinasi dan penghayatan yang dilakukan siswa. Pengembangan imajinasi dan penghayatan yang dilakukan siswa dengan memerankan sebagai tokoh baik pada benda hidup atau benda mati. Model ini dapat dilakukan secara individu atupun secara kelompok. Oleh karenanya, model ini dapat meningkatkan motivasi belajar, antusias, keaktifan dan rasa senang dalam belajar siswa.

2. Prinsip Model Student Facilitator and Explaining Pembelajaran kooperatif Student Facilitator and Explaining merupakan salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang menekankan pada struktur khusus yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa dan memiliki tujuan untuk meningkatkan penguasaan akademik. Salah satu model pembelajaran yang dikemukakan oleh Adam dan Mbirimujo (1990:21) dalam Prasetyo bahwa untuk memperbanyak pengalaman serta meningkatkan motivasi belajar yang mempengaruhi keaktifan belajar siswa yaitu dengan menggunakan model pembelajaran Student facilitator and explaining. Dikatakan dari hasil penelitiannya bahwa dengan menggunakan model pembelajaran ini dapat meningkatkan antusias, motivasi, keaktifan dan rasa senang siswa dapat terjadi. Sehingga sangat cocok di pilih guru untuk digunakan pada pembelajaran bahasa. Karena pada model Student facilitator and explaining atau bermain peran ini suatu cara penguasaan siswa terhadap beberapa ketrampilan diantaranya ketrampilan berbicara, ketrampilan menyimak , ketrampilan pemahaman pada teks bacaan, dan ketrampilan seni dalam memerankan seorang tokoh sesuai konteks bacaan dalam keadaan riang. (Prasetyo, 2001:15) Salah satu metode yang digunakan untuk meningkatkan motivasi belajar yang mempengaruhi keaktifan belajar siswa yaitu dengan menggunakan model pembeljaran kooperatif Student Facilitator and Explaining. Tiga tujuan Pembelajaran Kooperatif (Mulyasa, 2004) yaitu: a. Hasil Akademik Pembelajaran Kooperatif bertujuan untuk meningkatkan kinerja siswa dalam tugastugas akademik. Pembelajaran kooperatif dapat memberi keuntungan baik pada siswa kelompok bawah maupun kelompok atas yang bekerja bersama menyelesaikan tugas-tugas akademik. Siswa kelompok atas akan menjadi tutor bagi siswa kelompok bawah, jadi memperoleh bantuan khusus dari teman sebaya, yang mempunyai orientasi dan bahasa yang

sama. Dalam proses tutorial ini , siswa kelompok atas akan meningkatkan kemampuan akademiknya karena memberi pelayanan sebagai tutor membutuhkan pemikiran lebih mendalam tentang hubungan ide-ide yang terdapat di dalam materi tertentu. b. Penerimaan Terhadap Perbedaan Individu Efek penting yang kedua dari Model Pembelajaran Kooperatif adalah penerimaan yang luas terhadap orang berbeda ras, budaya, kelas sosial, kemampuan maupun ketidakmampuan. c. Pengembangan Keterampilan Sosial Tujuan penting Ketiga dari Pembelajaran Kooperatif ialah mengajarkan kepada siswa keterampilan kerja sama dan kolaborasi.

3. Kelebihan dan Kelemahan Model Pembelajaran Student Facilitator and Explaining Kelebihan dalam model Student Facilitator and Explaining ini adalah : a) Seluruh

siswa

dapat

berpartisipasi

dan

mempunyai

kesempatan

untuk

menunjukkan kemampuan dalam bekerja sama hingga berhasil. b) Dapat menambah pengalaman belajar yang menyenangkan bagi siswa. (Prasetyo, 2001:15) c) Materi yang dijelaskan akan lebih jelas dan konkrit. d) Dapat dengan mudah menyerap materi karena dilakukannya demonstrasi. e) Melatih

siswa

untuk

menjadi

guru,sebab

ia

diberikesempatan

untuk

mengulangipenjelasan guru yang telah didengarkan.

Selanjutnya akan dipaparkan beberapa kelemahan tentang model pembelajaran Student Facilitator and Explaining yaitu sebagai berikut: a) Adanya pendapat yang sama sehingga hanya sebagian saja yang tampil. b) Banyak siswa yang kurang aktif. c) Tidak mudah bagi siswa untuk membuat peat konsep atau ringkasan materi.

4. Langkah-Langkah Model Pembelajaran Studnt Facilitator and Explaining Disarankan saat guru menerapkan model SFAE, perlu diperhatikan kemampuan siswa, sebab model ini menuntut siswa yang dapat membaca, bertanggung jawab, memiliki kemampuan individu untuk menjadi fasilitator dan membelajarkan siswa. Guru disarankan juga menggunakan variasi model pembelajaran sehingga siswa tidak jenuh dan hasil belajar dapat meningkat.

Berikut ini adalah langkah-langkah dalam model pembelajaran Student Facilitator and Explaining : i.

Guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai.

ii.

Guru mempresentasikan materi.

iii.

Memberikan kesempatan siswa untuk menjelaskan kepada siswa lainnya baik melalui bagan atau peta konsep lainnya.

iv.

Guru menyimpulkan pendapat atau ide siswa

v.

Guru menerangkan atau merangkum semua materi yang dipresentasikan itu.

vi.

Penutup. (Yatim Riyanto, 2010:279)

5. Penerapan Model Pembelajaran Student Facilitator and Explaining Pada Mata Pelajaran Matematika Berikut ini contoh penerapan Student Facilitator and Explaining pada mata pelajaran matematika : METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen. Alasan digunakan metode eksperimen karena penelitian ini mengkaji hubungan sebab-akibat. Arikunto (2010: 9) menyatakan, “Eksperimen adalah suatu cara untuk mencari hubungan sebab akibat (hubungan kausal) antara dua faktor yang sengaja ditimbulkan oleh peneliti dengan mengeliminasi atau mengurangi atau menyisihkan faktor-faktor lain yang mengganggu”. Penelitian eksperimen ini bertujuan untuk melihat pengaruh dari penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe Student Facilitator and Explaining terhadap kemampuan pemecahan masalah matematik dan kemampuan berpikir kritis matematik siswa. HASIL PENELITIAN Pada bagian pendahuluan telah dikemukakan bahwa tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis dan menginterpretasi kemampuan pemecahan masalah matematik dan kemampuan berpikir kritis matematik dalam pembelajaran kooperatif dengan metode Student Facilitator and Explaining serta hubungan antara kemampuan pemecahan masalah matematik dan kemampuan berpikir kritis matematik. Data kuantitatif diperoleh melalui hasil tes pengetahuan awal matematika (PAM) dilihat dari nilai pada semester pertama, tes kemampuan pemecahan masalah matematik, dan tes kemampuan berpikir kritis matematik. Data hasil tes matematika diperoleh dari posttest melalui tes tertulis berbentuk uraian sebanyak 4 butir soal pemecahan masalahmatematik dan 5 butir soal uraian soal kemampuan

berpikir kritis matematik. Soal tes tersebut diujikan pada kedua kelas (kelas eksperimen dan kelas kontrol), dengan jumlah siswa pada masing-masing kelas sebanyak 31 orang siswa. Data hasil posttest terdiri dari data kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan berpikir kritis matematik siswa. Posttest diberikan setelah diadakan pembelajaran sebelumnya pada siswa kelas eksperimen dengan pembelajaran kooperatif yang menggunakan metode Student Facilitator and Explaining dan kelas kontrol dengan pembelajaran langsung. Analisis statistik terhadap data kemampuan pemecahan masalah matematik dan kemampuan berpikir kritis matematik dilakukan dengan menggunakan Ttest ANOVA dan uji Scheffe serta dilakukan uji normalitas dan homogenitas varians populasi. Uji normalitas distribusi data dilakukan dengan uji Kolmogorov-Smirnov dan uji homogenitas varians populasi dengan uji Levene. Berdasarkan hasil uji normalitas dan uji homogenitas, data skor posttest kemampuan pemecahan masalah matematik pada kelas eksperimen dan kelas kontrol berdistribusi normal dan variansinya homogen, maka untuk mengetahui ada atau tidak adanya perbedaan rerata kedua kelas digunakan uji kesamaan dua rata-rata (uji-t). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematik yang pembelajarannya menggunakan metode Student Facilitator and Explaining secara signifikan lebih baik dari pembelajaran langsung. Temuan ini didukung oleh perolehan skor rerata pembelajaran yang menggunakan metode Student Facilitator and Explaining (SFAE) sebesar 28,32 (70,80 % dari skor ideal yaitu 40) lebih baik daripada pembelajaran langsung sebesar 23,00 (57,5 %). Berdasarkan hasil perhitungan uji kesamaan dua rata-rata (Uji-t) bahwa skor posttest pemecahan masalah matematik siswa memiliki nilai t hitung 3,973 dengan nilai signifikansi sebesar 0,000. Untuk keperluan uji beda dua rata-rata, maka nilai Sig. (2- tailed) tersebut harus dibagi dua terlebih dulu kemudian dibandingkan dengan nilai α=0,05. Hasil perbandingan menunjukkan, ternyata dengan signifikansi yang diperoleh 0,000 yang dibagi 2 hasilnya kurang dari 0,05. Dengan demikian Ho ditolak. Hal ini berarti kemampuan pemecahan masalah matematik kelas eksperimen lebih baik daripada kelas kontrol. Sementara itu, kualitas kemampuan berpikir kritis matematik siswa pada kelas eksperimen lebih baik dibandingkan dengan kualitas kemampuan berpikir kritis matematik siswa pada kelas kontrol. Hal ini dapat dilihat dari perolehan skor rerata sebesar 11,16 lebih besar dibandingkan dengan perolehan skor rerata sebesar 6,65 pada kelas kontrol. Berdasarkan hasil perhitungan uji perbedaan dua rata-rata (Uji-t) bahwa skor posttest kemampuan berpikir kritis matematik siswa memiliki nilai t hitung 6,962 dengan nilai signifikansi sebesar 0,000. Untuk keperluan uji beda dua rata-rata, maka nilai Sig. (2- tailed) tersebut harus dibagi dua terlebih

dulu kemudian dibandingkan dengan nilai α=0,05. Hasil Uji-t menunjukkan signifikansi yang diperoleh 0,000 kemudian angka tersebut dibagi 2 dan hasilnya kurang dari 0,05. Dengan demikian Ho ditolak, artinya kemampuan berpikir kritis matematik siswa kelas eksperimen lebih baik daripada kelas kontrol. Data hasil tes kemampuan pemecahan masalah matematik dideskripsikan dan dianalisis berdasarkan pengetahuan awal matematika (kelompok atas, tengah, dan bawah) dan model pembelajaran. Kualitas kemampuan pemecahan masalah matematik siswa kelas eksperimen lebih baik dibandingkan dengan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa pada kelas kontrol. Hal ini dilihat dari perolehan skor rerata kelas eksperimen yaitu sebesar 28,32 lebih besar dibandingkan dengan perolehan skor rerata kelas kontrol yaitu 23,00. Selanjutnya, untuk melihat kelompok siswa mana antara kelompok atas, tengah, dan bawah yang lebih tinggi dalam kemampuan pemecahan masalah dilakukan Uji Scheffe. Pasangan pengujian kelompok adalah kelompok eksperimen-atas dengan eksperimen-tengah, ekperimen-atas dengan eksperimen-bawah, eksperimen-tengah dengan ekperimen-bawah, eskperimen-atas dengan kontrol-atas, serta eksperimen-bawah dengan kontrol-tengah. Sebagai gambaran umum kualitas kemampuan berpikir kritis matematik siswa berdasarkan pengetahuan awal matematika (kelompok atas, tengah, dan bawah) dan model pembelajaran memberikan gambaran kualitas kemampuan berpikir kritis matematik siswa kelas eksperimen lebih baik dibandingkan dengan kemampuan berpikir kritis matematik siswa pada kelas kontrol. Hal ini dilihat dari perolehan skor rerata total kelas eksperimen yaitu sebesar 11,16 lebih besar dibandingkan dengan perolehan skor rerata total kelas kontrol yaitu 6,65. Faktor model pembelajaran memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan berpikir kritis matematik siswa. Hal ini ditunjukkan dengan nilai probabilitas (sig.= 0,000) lebih kecil dari 0,05. Demikian pula faktor kelompok siswa memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan berpikir kritis matematik. Hal ini ditunjukkan dengan nilai probabilitas (sig.= 0,000) lebih kecil dari 0,05. Ini berarti terdapat perbedaan yang signifikan kemampuan berpikir kritis matematik siswa berdasarkan kelompok model pembelajaran dan kelompok siswa. Dengan kata lain, terdapat perbedaan yang signifikan antara kemampuan berpikir kritis matematik siswa kelompok atas, tengah, dan bawah yang mengikuti pembelajaran kooperatif dengan metode Student Facilitator and Explaining. Oleh karena itu, faktor model pembelajaran dan kelompok siswa memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan berpikir kritis siswa dalam matematika. Data hasil tes kemampuan pemecahan masalah matematik dan kemampuan berpikir kritis matematik dideskripsikan dan dianalisis untuk melihat korelasi diantara keduanya.

Untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara kemampuan pemecahan masalah matematik dan kemampuan berpikir kritis matematik siswa pada kedua kelompok dilakukan penghitungan korelasi dengan menggunakan IBM SPSS 18 for Windows, yaitu Pearson Correlations. Nilai Pearson Correlation yang diperoleh sebesar 0,794 dengan taraf signifikansi 0,000 < 0,05. Hal ini berarti Ho ditolak. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa terdapat korelasi yang positif antara pemecahan masalah matematik dan kemampuan berpikir kritis matematik siswa dengan tingkat korelasi tinggi sebesar r = 0,79. Dengan kata lain, kemampuan pemecahaan masalah matematik dipengaruhi oleh kemampuan berpikir kritis matematik siswa. Begitu pun sebaliknya, kemampuan berpikir kritis matematik siswa dipengaruhi oleh kemampuan pemecahan masalah matematik siswa. (Jurnal Pendidikan dan Keguruan Vol. 1 No. 1, 2014, artikel 10)

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan Pembelajaran kooperatif Student Facilitator and Explaining merupakan salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang menekankan pada struktur khusus yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa dan memiliki tujuan untuk meningkatkan penguasaan akademik. Model Student

Facilitator

and

Explaining

(bermain

peran) adalah

merupakan

pembelajaran dimana siswa atau peserta didik belajar mempresentasikan ide atau pendapat pada rekan peserta didik lainnya. Model Student Facilitator and Explaining (bermain peran) dilakukan dengan cara penguasaan siswa terhadap bahan-bahan pembelajaran melalui imajinasi dan penghayatan yang dilakukan siswa. B. Saran Puji syukur ke-Hadirat-Nya karena makalah ini dapat selesai tepat pada waktunya. Namun, penyusun sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Permohonan maaf yang sebesar-besarnya karena tentu dalam makalah ini terdapat banyak sekali kekurangan. Sehingga kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat dibutuhkan. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.

DAFTAR PUSTAKA

Abdussalam. 2012. 58 Model Pembelajaran Inovatif. Medan: Media Persada Baskoro, Edi Prio. Media Pembelajaran. Cirebon:Swagati Press. 2008. Hamalik, Oemar. Pendekatan Baru Strategi Belajar Mengajar Berdasarkan CBSA. Bandung: Sinar Baru. 1991. Riyanto Yatim. 2010. Paradigma Baru Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Ula, Shoimatul. 2013. Revolusi Belajar. Jogyakarta: Ar-Ruzz Media

Related Documents


More Documents from "Aburizzal Hakim"