BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang. Air merupakan masalah besar dalam pekerjaan tambang terbuka maupun tambang bawah tanah, baik secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap produktivitas. Secara langsung air dapat menghentikan seluruh aktifitas tambang terbuka. misalnya pada saat hujan turun sangat deras. Secara tidak langsung air berpengaruh terhadap kondisi tempat kerja. berpengaruh terhadap material bahan galian. dan juga berpengaruh terhadap kemantapan lereng tambang. Aliran air permukaan ke arah penggalian pada tambang terbuka dapat menimbulkan bermacam masalah operasional dan maupun logistik pada penambangan. seperti :
air yang telah masuk ke daerah tambang harus dipompa keluar
"pit slope'", jalan angkut dan drainase untuk mencegah erosi
jalan angkut yang lunak dan es yang muncul pada musim dingin
pengendapan reruntuhan erosi
tekanan air pada kekar, menyebabkan ketidakstabilan lereng
pembentukan glacial di musim dingin
Air bawah tanah pada tambang terbuka dapat menimbulkan masalah-masalah :
masalah kestabilan memerlukan "slope" yang lebih landai
pengurangan kuat geser tanah
kejenuhan dari lereng tambang menyebabkan kelongsoran
aliran air tanah kearah pengga1ian mengakibatkan keseimbangan gayarembesan
penigkatan tekanan air pada pemotongan saluran air yang dangkal
masalah operasional. misalnya ; penanganan material dalam pengupasan dan pengangkutan.
masalah peledakan. masalah polusi dan juga masalah "resources
recovery". Masalah air pada tambang bawah tanah sama artinya dengan besarnya jumlah pemompaan dibawah tekanan hidrolis yang tinggi. Keadaan lapisan sedimen dalam air, dan penirisan air asam tercakup dalam masalah tersebut. Penambangan biasanya menghadapi masalah hidrogeologi sederhana, yang muncul rumitnya masalah air,
sehingga dipilih bahan galian yang lebih kering untuk dieksploitasi. Tetapi dengan menipisnya endangan bahan galian pada kondisi geologi yang sederhana, maka penambangan sering dilakukan dibawah kondisi air yang cukup sulit. Untuk dapat melakukan pengendalian air tambang perlu diketahui asal sumber air dan perilaku air itu sendiri. Berdasarkan pada hal tersebut.maka perlu pengetahuan tentang hidrologi dan hidrogeologi daerah tambang dan sekitarnya yang meliputi :
curah hujan
daur hidrologi.
infiltrasi.
evapotranspirasi,
air limpasan dan air tanah,
serta pengetahuan tentang saluran-saluran air termasuk bentuk-bentuknya maupun teknik penirisan sangat diperlukan dalam merancang penambangan.
B. Tujuan 1. Menentukan Curah Hujan Maksimum Rata-Rata. 2. Menentukan simpangan baku. 3. Perhitungan Curah Hujan Rencana 4. Perhitungan Intensitas Curah Hujan Rencana 5. Perhitungan Debit Air Pada Daerah Tambang.
BAB II LANDASAN TEORI
A. Daur Hidrologi Bumi terdapat 1,3 sampai dengan 1,4 milyar km3 air yang meliputi 97,5 % adalah air laut, 1,75 % berbentuk es, 0,73 % berada di daratan sebagai air sungai, air danau dan air tanah serta 0,001 % berbentuk uap yang berada di udara. Air di bumi mengalami perputaran terus atau membentuk siklus yang dimulai dari penguapan (evaporasi), hujan (presipitation) dan pengaliran (out flow). Air menguap ke udara dari permukaan tanah dan laut berubah menjadi awan sesudah melalui beberapa proses dan kemudian jatuh sebagai hujan atau salju ke permukaan laut atau daratan. Sebelum tiba di permukaan bumi sebagian langsung menguap ke udara dan sebagian tiba ke permukaan bumi, namun tidak semua bagian hujan yang jatuh ke permukaan bumi mencapai ke permukaan tanah karena sebagian akan tertahan oleh tumbuh-tumbuhan di mana sebagian akan menguap dan sebagian lagi akan jatuh atau mengalir melalui dahan-dahan ke permukaan tanah. Sebagian air hujan yang tiba ke permukaan tanah akan masuk ke dalam tanah (infiltrasi). Bagian lain yang merupakan kelebihan akan mengisi lekuk-lekuk permukaan tanah kemudian mengalir ke daerah-daerah yang rendah, masuk ke sungai-sungai dan akhirnya bermuara di laut. Namun tidak semua butiran air yang mengalir akan tiba di laut karena dalam perjalanan menuju laut sebagian akan menguap dan kembali ke udara. Sebagian air yang masuk kedalam tanah akan keluar lagi ke sungai-sungai (disebut aliran intra = interflow) dan sebagian lagi akan tersimpan sebagai air tanah (groundwater) yang akan keluar sedikit demi sedikit dalam jangka waktu yang lama ke permukaan tanah di daerah-daerah yang rendah (disebut groundwater runoff = limpasan air tanah). Dengan melihat keadaan di atas, sungai itu mengandung atau mengumpulkan tiga jenis limpasan, yaitu limpasan permukaan (surface runoff), aliran intra (interflow) dan limpasan air tanah (groundwater runoff) yang akhirnya akan mengalir ke laut. Seperti telah dikemukakan di atas, sirkulasi air yang kontinyu antara air laut dan air daratan berlangsung terus maka sirkulasi air ini disebut dengan daur hidrologi (hydrological cycle).
Akan tetapi sirkulasi air ini tidak merata, karena kita melihat perbedaan besar presipitasi dari tahun ke tahun, dari musim ke musim yang berikut dan juga dari wilayah ke wilayah yang lain. Sirkulasi air ini dipengaruhi oleh kondisi meteorologi yaitu suhu, tekanan atmosfir, angin dan lain-lain serta kondisi topografi. Air permukaan tanah dan air tanah yang dibutuhkan untuk kehidupan dan produksi adalah air yang terdapat dalam proses sirkulasi. Jadi kalau sirkulasi ini tidak merata maka akan terjadi beberapa kesulitan. Jika terjadi sirkulasi yang lebih maka dapat mengakibatkan bencana seperti banjir.
B. Analisis Hidrologi Hidrologi didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sistem kejadian air di atas, pada permukaan dan di dalam tanah. Definisi tersebut terbatas pada hidrologi rekayasa. Secara luas hidrologi meliputi pula berbagai bentuk air termasuk transformasi antara keadaan cair, padat, dan gas dalam atmosfir, di atas dan di bawah permukaan tanah. Di dalamnya tercakup pula air laut yang merupakan sumber dan penyimpan air yang mengaktifkan kehidupan di planet bumi ini. Curah hujan pada suatu daerah merupakan faktor yang menentukan besarnya debit banjir yang terjadi pada daerah yang menerimanya. Analisis hidrologi dilakukan untuk mendapatkan karakteristik hidrologi dan meteorologi daerah aliran sungai. Tujuannya adalah untuk mengetahui karakteristik hujan, debit air yang ekstrim maupun yang wajar yang akan digunakan sebagai dasar analisis selanjutnya dalam pelaksanaan detail desain.
C. Daerah Aliran Sungai Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah daerah yang dibatasi oleh punggung-punggung gunung/pegunungan dimana air hujan yang jatuh di daerah tersebut akan mengalir menuju sungai utama pada suatu titik /stasiun yang ditinjau. DAS ditentukan dengan menggunakan peta topografi yang dilengkapi dengan garis-garis kontur, garis kontur
digunakan sebagai penentuan suatu DAS untuk menentukan arah dari limpasan permukaan yang berasal dari titik-titik tertinggi dan bergerak menuju titik-titik yang lebih rendah dalam arah tegak lurus dengan garis-garis kontur. Air hujan yang jatuh di dalam DAS akan mengalir menuju sungai utama yang ditinjau, sedang yang jatuh diluar DAS akan mengalir ke sungai lain disebelahnya (Triadmojdo, 2008). Luas DAS diperkirakan dengan mengukur daerah pada peta topografi. Luas DAS sangat berpengaruh terhadap debit sungai, pada umumnya semakin besar DAS semakin besar jumlah limpasan permukaan sehingga semakin besar pula aliran permukaan atau debit sungai.
Karakteristik DAS yang berpengaruh besar pada aliran permukaan meliputi: 1. Luas DAS dan bentuk DAS Laju dan volume aliran permukaan makin bertambah besar dengan bertambahnya luas DAS. Tetapi apabila aliran permukaan tidak dinyatakan sebagai jumlah dari total DAS, melainkan sebagai laju dan volume per satuan luas, besarnya akan berkurang dengan bertambahnya luasan DAS. Ini berkaitan dengan waktu yang diperlukan air untuk mengalir dari titik terjauh sampai ke titik kontrol (waktu kosentrasi) dan juga penyeberan atau intensitas hujan. Bentuk DAS mempunyai pengaruh pada pola aliran dalam sungai. Pengaruh bentuk DAS terhadap aliran permukaan dapat ditunjukkan dengan memperhatikan hidografhidograf yang terjadi pada dua DAS yang bentuknya benbeda namun mempunyai luas yang sama dan menerima hujan dengan intensitas yang sama.
Bentuk DAS yang memanjang dan sempit cenderung menghasilkan laju aliran permukaan yang lebih kecil dibandingkan dengan DAS yang berbentuk melebar atau melingkar. Hal ini terjadi karena waktu konsentrasi DAS yang memanjang lebih lama dibandingkan dengan DAS yang melebar, sehingga terjadinya konsentrasi air dititik kontrol lebih lambat yang berpengaruh pada laju dan volume aliran permukaan. Faktor bentuk juga dapat berpengaruh pada aliran permukaan apabila hujan yang terjadi tidak serentak diseluruh DAS, tetapi bergerak dari ujung yang satu ke ujung lainnya. Pada DAS memanjang laju aliran akan lebih kecil karena aliran permukaan akibat hujan di hulu memberikan kontribusi pada titik kontrol ketika aliran permukaan dari hujan dihilir telah habis, atau mengeci. Sebaliknya pada DAS melebar, datangnya aliran permukaan dari semua titik di DAS tidak terpantau. 2. Topografi Topografi atau tampakan rupa muka bumi seperti kemiringan lahan, keadaan dan kerapatan saluran, dan bentuk-bentuk cekungan lainnya mempunyai pengaruh pada laju dan volume aliran permukaan. DAS dengan kemiringan curam disertai saluran yang rapat akan menghasilkan laju dan volume aliran permukaan yang lebih tingi dibandingkan dengan DAS yang landai dengan saluran yang jarang dan adanya cekungan-cekungan. Pengaruh kerapatan saluran, yaitu per satuan luas DAS, pada aliran permukaan adalah memperpendek waktu konsentrasi, sehingga memperbesar laju aliran permukaan.
3. Tata Guna Lahan Pengaruh tata guna lahan (land use) pada aliran permukaan dinyatakan dalam koefisien aliran permukan (C), yaitu bilangan yang menunjukan perbandingan antara besarnya aliran permukaan dan besarnya curah hujan. Angka koefisien aliran permukaan ini merupakan salah satu indikator untuk menentukan kondisi fisik suatu DAS. Nilai C berkisar antara 0 sampai 1. Nilai C = 0 menunjukkan bahwa semua air hujan terintersepsi dan terinfiltrasi ke dalam tanah, sebaliknya untuk nilai C = 1 menunjukan bahwa semua air hujan mengalir sebagai aliran permukaan.
D. Curah Hujan Data curah hujan dan debit merupakan data yang paling fundamental dalam perencanaan pembuatan embung. Ketetapan dalam memilih lokasi dan peralatan baik curah hujan maupun debit merupakan faktor yang menentukan kualitas data yang diperoleh. Analisis data hujan dimaksudkan untuk mendapatkan besaran curah hujan dan analisis statistik yang diperhitungkan dalam perhitungan debit banjir rencana. Dalam pembuatan suatu rancangan penirisan tambang data distribusi curah hujan yang diperlukan adalah distribusi curah hujan jangka waktu pendek yaitu jangka waktu harian. Penggunaan dari masing-masing data distribusi curah hujan tersebut disesuaikan dengan tujuan dari perencanaan yang dilakukan. Besarnya curah hujan dinyatakan dalam mm yang berarti jumlah air hujan yang jatuh pada satuan luas. Curah hujan 1 mm identik dengan 1 liter/m2. Derajat curah hujan dinyatakan dalam curah hujan per satuan waktu disebut intensitas curah hujan. Hubungan antara derajat dan intensitas hujan dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Keadaan Curah Hujan
Intensitas Curah Hujan (mm/menit)
Kondisi
Hujan lemah
0,05 – 0,25
Tanah sedikit basah semuanya
Hujan normal
0,05 – 0,25
Bunyi curah hujan terdengar Air tergenang di seluruh permukaan
Hujan deras
0,25 – 1,00
tanah dan terdengar bunyi dari genangan
Hujan sangat deras
> 1,00
Hujan seperti ditumpahkan, saluran penirisan meluap
Data curah hujan yang dipakai untuk perhitungan debit banjir adalah hujan yang terjadi pada daerah aliran sungai pada waktu yang sama. Curah hujan yang diperlukan untuk penyusunan suatu rancangan pemanfaatan air dan rancangan pengendalian banjir adalah curah hujan rata-rata di seluruh daerah yang bersangkutan, bukan curah hujan pada suatu titik tertentu. Curah hujan ini disebut curah hujan area dan dinyatakan dalam mm (Sosrodarsono, 2003). Curah hujan area ini harus diperkirakan dari beberapa titik pengamatan curah hujan. Berikut metode perhitungan curah hujan area dari pengamatan curah hujan di beberapa titik :
1. Metode Rata-Rata Aljabar Metode perhitungan dengan mengambil nilai rata-rata hitung (arithmetic mean) pengukuran curah hujan di stasiun hujan di dalam area tersebut dengan mengasumsikan bahwa semua stasiun hujan mempunyai pengaruh yang setara. Metode ini akan memberikan hasil yang dapat dipercaya jika topografi rata atau datar, stasiun hujan banyak dan tersebar secara merata di area tersebut serta hasil penakaran masing-masing stasiun hujan tidak menyimpang jauh dari nilai rata-rata seluruh stasiun hujan di seluruh area.
2.`Metode Poligon Thiessen Metode perhitungan berdasarkan rata-rata timbang (weighted average). Metode ini memberikan proporsi luasan daerah pengaruh stasiun hujan untuk mengakomodasi ketidakseragaman jarak. Daerah pengaruh dibentuk dengan menggambarkan garisgaris sumbu tegak lurus terhadap garis penghubung antara dua stasiun hujan terdekat. Metode ini didasarkan pada asumsi bahwa variasi hujan antara stasiun hujan yang satu dengan lainnya adalah linear dan stasiun hujannya dianggap dapat mewakili kawasan terdekat (Suripin, 2004). Metode ini cocok jika stasiun hujan tidak tersebar merata dan jumlahnya terbatas dibanding luasnya. Cara ini adalah dengan memasukkan faktor pengaruh daerah yang mewakili oleh stasiun hujan yang disebut faktor pembobot atau koefisien Thiessen. Untuk pemilihan stasiun hujan yang dipilih harus meliputi daerah aliran sungai yang akan dibangun. Besarnya koefisien Thiessen dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut (CD.Soemarto, 1999) :
Langkah-langkah metode Thiessen sebagai berikut : 1. Lokasi stasiun hujan di plot pada peta DAS. Antar stasiun dibuat garis lurus penghubung. 2. Tarik garis tegak lurus di tengah-tengah tiap garis penghubung sedemikian rupa, sehingga membentuk poligon Thiessen. Semua titik dalam satu poligon akan mempunyai jarak terdekat dengan stasiun yang ada di dalamnya dibandingkan dengan jarak terhadap stasiun lainnya. Selanjutnya, curah hujan pada stasiun tersebut dianggap representasi hujan pada kawasan dalam poligon yang bersangkutan. 3. Luas areal pada tiap-tiap poligon dapat diukur dengan planimeter dan luas total DAS (A) dapat diketahui dengan menjumlahkan luas poligon. 4. Hujan rata-rata DAS dapat dihitung dengan rumus :
3. Metode Rata – Rata Isohyet Metode perhitungan dengan memperhitungkan secara aktual pengaruh tiap-tiap stasiun hujan dengan kata lain asumsi metode Thiessen yang menganggap bahwa tiaptiap stasiun hujan mencatat kedalaman yang sama untuk daerah sekitarnya dapat dikoreksi. Metode ini cocok untuk daerah berbukit dan tidak teratur (Suripin, 2004). Jika stasiun hujannya relatif lebih padat dan memungkinkan untuk membuat garis Isohyet maka metode ini akan menghasilkan hasil yang lebih teliti. Peta Isohyet harus mencantumkan sungai-sungai utamanya, garis-garis kontur dan mempertimbangkan topografi, arah angin, dan lain-lain di daerah bersangkutan. Jadi untuk membuat peta Isohyet yang baik, diperlukan pengetahuan, keahlian dan pengalaman yang cukup (Sosrodarsono, 2003). Prosedur penerapan metode ini meliputi langkah-langkah sebagai berikut : 1. Plot data kedalaman air hujan untuk tiap stasiun hujan pada peta. 2. Gambar kontur kedalaman air hujan dengan menghubungkan titik-titik yang mempunyai kedalaman air hujan yang sama. Interval Isohyet yang umum dipakai adalah 10 mm.
3. Hitung luas area antara dua garis Isohyet yang berdekatan dengan menggunakan planimeter. Kalikan masing-masing luas areal dengan rata-rata hujan antara dua Isohyet yang berdekatan. 4. Hitung hujan rata-rata DAS dengan rumus :
E.
Perhitungan Curah Hujan Rencana Perhitungan curah hujan rencana digunakan untuk meramalkan besarnya hujan dengan periode ulang tertentu (Soewarno, 1995). Berdasarkan curah hujan rencana dapat dicari besarnya intesitas hujan (analisis frekuensi) yang digunakan untuk mencari debit banjir rencana. Analisis frekuensi ini dilakukan dengan menggunakan sebaran kemungkinan teori probability distribution dan yang biasa digunakan adalah sebaran Gumbel tipe I, sebaran Log Pearson tipe III, sebaran Normal dan sebaran Log Normal. Secara sistematis metode analisis frekuensi perhitungan hujan rencana ini dilakukan secara berurutan sebagai berikut : 1. Parameter statistik 2. Pemilihan jenis sebaran 3. Uji kecocokan sebaran 4. Perhitungan hujan rencana
1. Parameter Statistik Parameter yang digunakan dalam perhitungan analisis frekuensi meliputi parameter nilai rata-rata ( X ), standar deviasi ( d S ), koefisien variasi (Cv), koefisien kemiringan (Cs) dan koefisien kurtosis (Ck).Perhitungan parameter tersebut didasarkan pada data catatan tinggi hujan harian rata-rata maksimum 20 tahun terakhir.
2. Pemilihan Jenis Sebaran Masing-masing sebaran memiliki sifat-sifat khas sehingga harus diuji kesesuaiannya dengan sifat statistik masing-masing sebaran tersebut Pemilihan sebaran yang tidak benar dapat mengundang kesalahan perkiraan yang cukup besar. Pengambilan sebaran secara sembarang tanpa pengujian data hidrologi sangat tidak dianjurkan. Penentuan jenis sebaran yang akan digunakan untuk analisis frekuensi dapat dipakai beberapa cara sebagai berikut. Tabel pedoman pemilihan sebaran Sebaran Gumbel Tipe I Sebaran Log Pearson tipe III Sebaran Normal Sebaran Log Normal
3. Uji Kecocokan Sebaran Uji sebaran dilakukan dengan uji kecocokan distribusi yang dimaksudkan untuk menentukan apakah persamaan sebaran peluang yang telah dipilih dapat menggambarkan atau mewakili dari sebaran statistik sampel data yang dianalisis tersebut (Soemarto, 1999). Ada dua jenis uji kecocokan (Goodness of fit test) yaitu uji kecocokan Chi-Square dan Smirnov-Kolmogorof. Umumnya pengujian dilaksanakan dengan cara mengambarkan data pada kertas peluang dan menentukan apakah data tersebut merupakan garis lurus, atau dengan membandingkan kurva frekuensi dari data pengamatan terhadap kurva frekuensi teoritisnya (Soewarno, 1995).
4. Perhitungan Hujan Rencana Digunakan untuk analisis data maksimum, misal untuk analisis frekuensi banjir. Untuk menghitung curah hujan rencana dengan metode sebaran Gumbel Tipe I
digunakan persamaan distribusi frekuensi empiris sebagai berikut (CD.Soemarto, 1999) :
(Yn YN )
2
Sn
=
Yt
T 1 = ln ln T
n 1
Dimana : XT = nilai hujan rencana dengan data ukur T tahun. X
= nilai rata-rata hujan
S
= standar deviasi (simpangan baku)
YT = nilai reduksi variat ( reduced variate ) dari variabel yang diharapkan terjadi pada periode ulang T tahun. (Tabel 2.3.) Yn = nilai rata-rata dari reduksi variat (reduce mean) nilainya tergantung dari jumlah data (n). (Tabel 2.1.) Sn = deviasi standar dari reduksi variat (reduced standart deviation) nilainya tergantung dari data. (Tabel 2.2)
Atau juga dapat digunakan rumus seperti berikut:
Dimana :
Tabel 2.1 Reduced mean (Yn) untuk Metode Sebaran Gumbel Tipe 1
Tabel 2.3 Reduced Standard Deviation (Sn) untuk Metode Sebaran Gumbel Tipe 1
Tabel 2.4 Reduced Variate (YT) untuk Metode Sebaran Gumbel Tipe 1
F. Intensitas Curah Hujan Intensitas hujan adalah tinggi atau kedalaman air hujan per satuan waktu. Sifat umum hujan adalah makin singkat hujan berlangsung intensitasnya cenderung makin tinggi dan makin besar periode ulangnya makin tinggi pula intensitasnya. Analisis intesitas curah hujan ini dapat diproses dari data curah hujan yang telah terjadi pada masa lampau. Rumus-rumus yang dapat dipakai : 1.
Menurut Dr. Mononobe Jika data curah hujan yang ada hanya curah hujan harian. Rumus yang digunakan (sosrodarsono, 2003) :
Dimana : I = Intensitas curah hujan (mm/jam) t = lamanya curah hujan (jam) R24 = curah hujan maksimum dalam 24 jam (mm)
2.
Menurut Sherman Rumus yang digunakan (Soemarto, 1999) :
Dimana : I = intensitas curah hujan (mm/jam) t = lamanya curah hujan (menit) a,b = konstanta yang tergantung pada lama curah hujan yang terjadi di daerah aliran. n = banyaknya pasangan data i dan t.
3.
Menurut Talbot Rumus yang dipakai (Soemarto, 1999) :
Dimana : I = intensitas curah hujan (mm/jam) t = lamanya curah hujan (menit) a,b = konstanta yang tergantung pada lama curah hujan yang terjadi di daerah aliran n = banyaknya pasangan data i dan t
4.
Menurut Ishiguro Rumus yang digunakan (Soemarto, 1999) :
Dimana : I = intensitas curah hujan (mm/jam) t = lamanya curah hujan (menit) a,b = konstanta yang tergantung pada lama curah hujan yang terjadi di daerah aliran n = banyaknya pasangan data i dan t
F. Debit Limpasan Air limpasan disebut juga air permukaan, yaitu air hujan yang mengalir di atas permukaan tanah. Besarnya air limpasan adalah besarnya curah hujan dikurangi oleh besarnya penyerapan (infiltrasi) dan penguapan (evaporasi). Bila curah hujan melampaui kapasitas infiltrasi maka limpasan air permukaan akan segera meningkat sesuai dengan peningkatan intensitas curah hujan. Besarnya air limpasan tergantung oleh beberapa faktor, sehingga tidak semua air hujan yang jatuh ke permukaan bumi akan menjadi sumber bagi sistem penyaliran dan kolam pengendapan. Faktor yang menentukan seberapa tinggi genangan air yang diperolehkan agar tidak menimbulkan kerugian berarti adalah luas daerah yang tergenang dan lama waktu genangannya. Suatu daerah perkotaan umumnya merupakan bagian dari suatu daerah aliran yang lebih luas dan di daerah aliran ini sudah ada drainase alami. Perentangan dan pengembangan sistem bagi suatu daerah perkotaan yang baru harus diselaraskan dengan sistem drainase alami yang sudah ada, agar keadaan aslinya dapat dipertahankan sejauh mungkin. Penentuan debit air limpasan maksimum ditentukan dengan menggunakan Metode Rasional. Rumus metode rasional adalah sebagai berikut Q = 0,278 x C x I x A
Atau Q = Cs x C x I x A Dimana :
Q = Debit air limpasan (m3/detik) C = Koefisien limpasan
I = Intensitas curah hujan (mm/jam), untuk rancangan paritan durasi hujan yang dipakai dalam Persamaan Mononobe sama dengan waktu konsentrasi (tc) pada periode ulang tertentu (mm/jam) A = luas daerah tangkapan hujan (km2)
Selain rumus diatas ada juga rumus lain metode rasional yang umum dipakai untuk menentukan debit limpasan. Rumus tersebut ialah sebagai (Subarkah, 1980): Q = α. β. I. A
Keterangan : 𝑄 = Debit rencana dengan masa ulang T tahun dalan m3/dt 𝛼 = Koefisien pengaliran 𝛽 = Koefisien penyebaran hujan 𝐼 = Intensitas selama waktu konsentrasi dalam mm/jam A = Luas daerah aliran dalam Ha
1.
Koefisien Pengaliran (C) Koefisien pengaliran merupakan nilai banding antara bagian hujan yang membentuk limpasan langsung dengan hujan total yang terjadi. Besaran ini dipengaruhi oleh tataguna lahan, kemiringan lahan, jenis dan kondisi lahan. Pemilihan koefisien pengaliran harus memperhitungkan adanya perubahan tata guna lahan dikemudian hari (Hardiharjaja, 1997). Koefisien pengaliran dipengaruhi oleh faktor-faktor tutupan tanah, kemiringan dan lamanya hujan. Beberapa perkiraan koefisien pengaliran terlihat pada Tabel dibawah ini.
Nilai Koefisien Limpasan Tutupan
Koefisien
(Jenis Lahan)
Limpasan (C)
sawah, rawa
0,2
Hutan, perkebunan
0,3
Perumahan
0,4
Hutan, perkebunan
0,4
3% - 15%
Perumahan
0,5
(sedang)
Semak-semak agak jarang
0,6
Lahan terbuka
0,7
Hutan
0,6
Perumahan
0,7
Semak-semak agak jarang
0,8
Kemiringan
< 3% (datar)
> 15% (curam)
Lahan tambang
terbuka
daerah
0,9
Jika dalam suatu catchment area terdiri dari beberapa tipe kondisi permukaan tanah yang mempunyai nilai C yang berbeda – beda, maka nilai C untuk perhitungan debit adalah sebagai berikut:
2.
Koefisien Penyebaran Hujan Koefisien penyebaran hujan merupakan nilai yang digunakan untuk mengoreksi pengaruh penyebaran hujan yang tidak merata pada suatu daerah pengaliran. Nilai besaran ini tergantung dari kondisi daerah pengaliran. Untuk daerah kecil biasa diasumsikan kejadian hujannya merata. Besarnya koefisien penyebaran hujan adalah sebagai berikut:
BAB III PEMBAHASAN
A. Perhitungan Curah Hujan Maksimum Rata-Rata ………….
B. Perhitungan Simpangan Baku …………
C. Perhitungan Curah Hujan Rencana ………..
D. Perhitungan Intensitas Curah Hujan Rencana …………
E. Perhitungan Debit Air ………….