Dasar Hukum Etika Bisnis Islam.docx

  • Uploaded by: Anj Dn
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Dasar Hukum Etika Bisnis Islam.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 100,941
  • Pages: 239
larangan-larangan berbisnis dalam Islam tersebut adalah sebagai berikut: Kesamaran (Jahalah) Kesamaran atau ketidakjelasan (jahalah) merupakan salah satu bentuk larangan yang harus dihindari dalam berusaha, terlebih lagi dalam urusan berbisnis. Dalam percakapan umum, istilah jahalah semakna dengan ungkapan “tidak transparan” atau “membeli kucing dalam karung”, yang mengisyaratkan tentang perlunya transparansi dalam melakukan segala bentuk transasksi mu’amalah. Dalam praktek jual beli misalnya, orang yang terbebas dari unsur jahalah adalah orang yang melakukan transaksi jual beli dengan transparan dan akuntable, baik menyangkut jenis barang, jumlah atau ukuran, kehalalan dan keharamannya, masa kadaluarsa dan lain sebagainya, sehingga dalam praktek bisnis yang dijalankannya tidak ada pihak yang merasa tertipu dan dirugikan.

Esensi yang terkandung dalam hadis tersebut terkait dengan berbagai bentuk usaha yang dijalankan secara tidak transparan dan penuh dengan ketidakpastian. Tentu saja praktek-praktek bisnis atau berusaha semacam itu tidak hanya terjadi pada kurun waktu tertentu saja, namun hal tersebut dapat ditemukan di setiap kurun dan generasi. Salah satu jenis praktek jual beli yang banyak terjadi di tengah masyarakat dewasa ini dan memiliki banyak kesamaan dengan praktek jual beli terlarang sebagaimana dijelaskan dalam hadis di atas adalah jual beli dengan sistem ijon. Jual beli ijon yang dimaksudkan di sini adalah jual-beli buah-buahan (seperti padi dan lainnya) yang masih hijau atau masih di atas pohonnya. Prakteknya, seorang pembeli membayar padi atau buah-buahan yang masih di atas pohonnya tersebut secara kontan jauh sebelum musim panen tiba, tanpa mengetahui secara pasti kuantitas dan kualitas barang yang akan didapatkannya nanti. Praktek jual beli seperti ini tentu akan membuka peluang terjadinya kerugian yang bisa menimpa salah satu dari kedua belah pihak yang bertransaksi. Praktek jual beli semacam ini bisa terjadi karena masing-masing pihak baik penjual maupun pembeli memiliki strategi dan tujuan tertentu. Bagi pihak penjual (buah yang masih di atas pohon) mau melepas dengan harga tertentu karena ia memprediksi bahwa volume barang sesuai dengan harga yang ditetapkan atau bahkan keuntungan yang akan didapatkan jauh melebihi volume barang yang dijualnya. Sedangkan pihak pembeli rela membeli dengan harga tertentu, karena ia memprediksi bahwa barang yang akan didapatkan di musim panen nanti melebihi harga yang telah ditentukan jauh sebelumnya. Maka jika prediksi yang telah mendorong kedua belah pihak untuk melakukan transaksi jual beli ternyata tidak sesuai dengan kenyataan, niscaya akan melahirkan kekecewaan (gelo) dan bahkan penyesalan yang sangat mendalam atau bahkan terjadi percekcokan di antara kedua belah pihak.

Contoh lain dari praktek jual beli yang memiliki unsur kesamaran (jahalah) ini adalah; jual beli ikan yang masih dalam kolam. Praktek semacam ini juga sarat dengan unsur manipulasi dan ketidakpastian yang berakibat pada kerugian salah satu pihak. Praktek semacam ini banyak terjadi di berbagai tempat, dimana seorang menjual ikan yang masih di dalam tambak atau dalam kolamnya dengan harga tertentu, sesuai dengan perkiraannya terhadap jumlah ikan yang terdapat dalam kolam atau tambaknya. Padahal bagi seseorang yang menyaksikan ikan yang masih dalam kolam, ia dapat saja melihat yang sedikit seolah terlihat banyak, atau ikan yang masih kecil terlihat besar dan sebagainya. Faktor-faktor semacam ini dapat menyebabkan seseorang membuat keputusan yang tidak tepat dan berahir dengan kerugian dan penyesalan. 2. Perjudian (Maisir) Salah satu motivasi seseorang melakukan praktek perjudian adalah untuk mendapatkan penghasilan sekalipun dengan cara yang diharamkan. Dalam perkembangannya, praktek perjudian (maisir) tidak lagi sekedar praktek penyimpangan yang berdiri sendiri dan tidak terkait dengan aspek mu’amalah lainnya. Namun saat ini praktek perjudian (maisir) justru dapat dijumpai dalam beberapa bentuk mu’amalah seperti jual-beli dan lainnya. Salah satu contoh praktek jual beli yang mengandung unsur maisir (perjudian) adalah; jual beli minuman botol (seperti; sprite/coca cola dan lainnya) dengan cara (media) gelang yang terbuat dari plastik atau rotan, untuk disewakan atau dijual dengan harga tertentu. Lalu gelang-gelang tersebut dilemparkan ke arah botol-botol minuman yang dijajakan secara berbaris. Jika gelang tersebut masuk (melingkari) botol, maka minuman tersebut menjadi hak pembeli, tetapi jika tidak ada yang masuk maka pembeli tidak mendapatkan apa-apa sekalipun gelang yang dibeli jauh melampui harga minuman yang disediakan. Praktek semacam ini banyak ditemukan di pasar-pasar tradisional hingga mal-mal besar dengan teknis yang beraneka ragam. Sebagaimana perjudian (maisir) pada umumnya, orang yang sudah terlanjur mengeluarkan uang untuk mendapatkan sesuatu barang, ia akan semakin terobsesi untuk mendapatkan barang yang menjadi targetnya. Jika ia belum berhasil, ia akan semakin penasaran hingga barang yang diincar bisa didapatkan, sekalipun ia harus mengeluarkan biaya yang banyak bahkan melebihi harga barang yang menjadi targetnya. Begitu pula jika dengan kelihaiannya ia berhasil mendapatkan suatu barang, maka ia akan terobsesi untuk mendapatkan barang yang lebih banyak dengan biaya yang relatif sedikit.

3. Penindasan (Az-Zhulmu) Kezaliman merupakan tindakan melampui batas yang sering terjadi dan digunakan oleh seseorang untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya. Tindakan dengan melakukan kezaliman untuk mendapatkan keuntungan ini sering juga disebut dengan “Machiavellian” yaitu sikap menghalalkan segala cara asal tujuan bisa tercapai (al-ghayah tubalighul washilah).

Kezaliman (penindasan) merupakan salah satu hal yang sangat dimurkai dan diharamkan dalam Islam. Bahkan kezaliman kepada orang lain tidak akan diampuni oleh Allah sehingga orang tersebut meminta maaf kepada orang yang dizaliminya. Kezaliman juga dapat menjadi faktor penyebab seseorang mengalami kerugian besar (muflis) pada hari kiamat. Karena semua kebaikan dan pahala yang diperolehnya di dunia habis untuk membayar setiap kezaliman yang pernah dilakukannya saat ia hidup di dunia.

Adapun contoh-contoh kezaliman yang seringkali terjadi dalam bidang mu’amalah antara lain; melakukan penipuan, penimbunan barang sehingga menyebabkan kelangkaan barang dan melonjaknya harga barang di pasaran (ihtikar), pemaksaan, pencurian, perampokan dan lain sebagainya. Termasuk di antaranya salah satu bentuk bisnis yang banyak digandrungi oleh sebagian orang, yaitu Multi Level Marketing (MLM), sekalipun tidak semua bentuk MLM memiliki unsur maisir, kezaliman dan gharar (penipuan atau manipulasi). Namun pada umumnya MLM sarat dengan money game, dan tidak murni sebagai praktek jual beli yang syar’i.

4. Mengandung Unsur Riba Riba merupakan salah satu rintangan sekaligus tantangan yang seringkali menggiurkan banyak orang untuk meraih keuntungan. Oleh karena itu dalam banyak ayat dan hadis Nabi saw. persoalan riba ini memperoleh perhatian yang sangat serius dan dijelaskan dengan sangat rinci. Diharamkannya riba dalam Islam tentu memiliki banyak hikmah baik bagi diri sendiri maupun orang lain, baik bagi kehidupan di dunia maupun di akhirat kelak. Beberapa ayat dan hadis di bawah ini sangat cukup memberikan gambaran kepada kita tentang maksud, tujuan dan hikmah diharamkannya riba dalam Islam.

5. Unsur Membahayakan (adh-Dharar) Perintah maupun larangan dalam Islam memiliki tujuan yang sangat prinsip dan mendasar guna menjaga lima kebutuhan mendasar manusia. Kelima kebutuhan pokok manusia (dlaruriyat) ini lebih dikenal dengan maqhashid al khamsah (lima sasaran hukum Islam), yaitu: Menjaga nyawa (hifzhun nafs), menjaga akal (hifzhul ‘Aql), menjaga harta (hifzhul mal), menjaga keturunan (hifzhun Nasl), dan menjaga agama (hifzhud din). Maka barometer untuk mengukur dan menjadi acuan apakah suatu usaha, bisnis atau segala usaha yang dijalankan oleh seseorang memiliki unsur yang membahayakan (dharar), tentu mengacu kepada maqhashid al khamsah (lima sasaran hukum Islam ) di atas.

6. Penipuan atau Kecurangan (al-Gharar) Menurut bahasa, al-gharar berarti pertaruhan (al-mukhatharah) dan ketidakjelasan (al-jahalah). Sedangkan, menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, al-gharar adalah sesuatu yang tidak jelas hasilnya (majhul al-‘aqibah). Lebih lanjut, beliau menyatakan bahwa semua praktik jual-beli, seperti menjual burung di udara, unta (binatang) yang kabur, dan buah-buahan sebelum tampak buahnya, termasuk jual-beli yang diharamkan oleh Allah SWT. Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan jual-beli gharar adalah jual-beli yang mengandung ketidakjelasan, pertaruhan atau perjudian. Di dalam syari’at Islam, jual-beli gharar termasuk salah satu bentuk jual-beli yang terlarang. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW yang berbunyi: Sekalipun telah dilarang, tetapi praktik jual-beli gharar masih dapat ditemukan di tengah-tengah masyarakat. Pertama, seorang penjual menjajakan berbagai bentuk barang dagangan dengan variasi harga dan menyediakan batu kerikil, atau gelang yang terbuat dari rotan atau sejenisnya. Kemudian, seorang pembeli melemparkan kerikil atau gelang tersebut ke arah barang yang diinginkannya. Apabila kerikil yang dilempar mengenai salah satu barang atau gelang tersebut masuk pada barang yang diinginkannya, maka secara otomatis barang tersebut menjadi milik pembeli. Sebaliknya, jika kerikil tersebut tidak mengenai atau gelang yang dilempar tidak masuk pada barang yang diinginkan, maka pembeli tidak mendapatkan apa-apa, sekalipun harga barang sudah diserahkan kepada penjual. Kedua, menjual tanah atau pekarangan dengan harga tertentu sejauh batas lemparan pembeli. Apabila lemparannya jauh, maka pekarangan yang akan didapatkannya pun luas, dan begitu pula sebaliknya. Ketiga, jual-beli barang yang belum ada atau belum jelas (ma’dum), seperti misalnya jual-beli janin binatang yang masih dalam rahim induknya (habal al habalah). Dalam syari’at Islam, larangan jual-beli gharar tentu memiliki banyak hikmah. Di antara hikmah tersebut adalah agar seseorang tidak memakan harta orang lain secara batil. Di dalam Islam, memakan harta orang lain secara batil termasuk perbuatan yang dilarang agama. Hal ini sebagaimana telah dijelaskan dalam firman Allah SWT: 7. Penyalahgunaan Hak (at–Ta’assuf ) Dalam istilah fikih, penyalahgunaan hak (ta’assuf fi isti’malil haqq) berarti penggunaan hak secara berlebihan sehingga dapat menimbulkan pelanggaran hak dan kerugian terhadap kepentingan orang lain maupun masyarakat umum. Jika difahami secara mendalam, adanya larangan penyalahgunaan hak (at-ta’assuf) ini tidak lepas dari pembicaraan tentang hakikat kepemilikan dalam Islam. Dalam perspektif Islam, kepemilikan harta benda tidak bersifat absolut sebagaimana dianut oleh faham kapitalis, dan juga tidak membenarkan kepemilikan serba negara seperti dianut oleh faham sosialis. Islam mengakui hak individu sebagai amanah Allah SWT, dan dalam saat yang sama juga mengakui bahwa di dalam kepemilikan individu terdapat hak orang lain (fakir miskin). Terkait dengan masalah kepemilikan, Islam mengatur tentang dua hal sekaligus, yaitu dari mana sumbernya (halal atau haram) dan untuk apa pendistribusian atau penggunaannya. Oleh sebab

itu, sekalipun harta benda merupakan milik seseorang, namun tidak berarti ia dengan leluasa menggunakannya tanpa mempertimbangkan aspek kemaslahatan dan kemudharatan yang mungkin akan dialami oleh masyarakat luas. Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda: Di antara beberapa contoh tindakan yang dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan hak (ta’assuf) adalah: pertama, penggunaan hak yang dapat mengakibatkan pelanggaran hak orang lain. Islam tidak membenarkan seseorang melakukan sesuatu yang dianggapnya sebagai hak asasi dengan mengabaikan dan melanggar hak asasi orang lain. Dalam ungkapan para ulama disebutkan “haqqul mar’i mahjûbun bihaqqi ghairihi” (hak seseorang dibatasi oleh hak orang lain. Kedua, penggunaan hak untuk kemaslahatan pribadi tetapi dapat mengakibatkan madharat yang besar terhadap pihak lain serta tidak sesuai tempatnya atau bertentangan dengan adat kebiasaan yang berlaku. Ketiga, penggunaan hak secara ceroboh dan tidak hati-hati.

8. Monopoli dan Konglomerasi (Ihtikar) Secara bahasa, ihtikar berarti penimbunan dan kezaliman (aniaya). Sedangkan menurut istilah, para ulama telah mengemukakan beberapa pengertian. Imam Muhammad bin Ali as-Syaukani mendefinisikan ihtikar sebagai bentuk penimbunan atau penahanan barang dagangan dari peredarannya. Imam Al-Ghazali menyebut ihtikar adalah penyimpanan barang dagangan oleh penjual makanan untuk dijual pada saat melonjaknya harga barang tersebut. Sedangkan, ulama madzhab Maliki menyatakan bahwa ihtikar adalah penyimpanan barang oleh produsen, baik makanan, pakaian dan segala barang yang dapat merusak pasar.” Berdasarkan beberapa definisi tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa ihtikar adalah penimbunan barang dalam jumlah banyak yang menyebabkan kelangkaan dan harganya melonjak naik, sehingga mengakibatkan harga pasar menjadi rusak serta kebutuhan konsumen terganggu. Imam as-Syaukani dalam kitab “Nailul Authaar V/338” menjelaskan bahwa penimbunan (ihtikar) yang diharamkan Islam adalah sebagai berikut: pertama, menimbun barang kebutuhan manusia dengan tujuan menaikkan harga di pasaran. Kedua, memborong barang kebutuhan pokok dengan cara memonopoli dan menimbunnya sehingga terjadi kelangkaan dan memunculkan kemudharatan bagi banyak orang. Dengan demikian, stok barang yang sengaja disimpan di gudang dalam jumlah terbatas sebagaimana dilakukan oleh para pemilik toko, mini market dan swalayan pada umumnya, tentu tidak termasuk kategori penimbunan (ihtikar). Sebab tindakan tersebut hanya dijadikan sebagai persediaan, sehingga tidak sampai mengakibatkan kelangkaan barang dan merusak harga pasar. Hal ini sesuai dengan spirit yang terkandung dalam firman Allah SWT dan sabda Rasulullah sebagai berikut:

9. Obyek Bisnis Bukan Sesuatu yang Haram

Islam tidak menganut paham serba boleh, sebagaimana yang diyakini oleh kaum sekuler. Islam tidak pula menganut faham yang serba tidak boleh (haram) sebagaimana keyakinan segelintir orang. Namun, dalam syari’at Islam diatur regulasi tentang persoalan yang halal dan haram. Kehalalan sesuatu bisa disebabkan oleh zat barang itu sendiri yang dihukumi haram, atau karena cara memperolehnya yang dilarang oleh agama. Karena itu, faham Machiavellian, yang menghalalkan segala cara asal tujuan tercapai, sebagaimana dilakukan sebagian orang dalam memperoleh keuntungan materi, merupakan faham yang sangat menyimpang dan dimurkai oleh Allah dan Rasul-Nya. Oleh sebab itu, salah satu etika bisnis dalam Islam yang harus diperhatikan dan dipraktikkan oleh setiap muslim adalah menghindari segala sesuatu yang diharamkan sekalipun hal tersebut menguntungkan secara finansial. Setiap muslim dilarang memperjual-belikan barang yang diharamkan oleh agama, seperti menjual daging babi, minuman keras, dan narkotika. Selain itu, setiap muslim juga haram memakan hasil penjualan barang-barang tersebut. Dalam haditsnya, Rasulullah SAW menjelaskan beberapa contoh barang yang haram untuk diperjualbelikan: 10. Tidak Boleh Mubazzir Salah satu persoalan yang sangat dimurkai oleh agama adalah sikap berlebihan dalam menggunakan sesuatu hingga melampui batas yang diperbolehkan oleh syari’at Islam. Dalam terminologi agama, persoalan itu disebut tabzir atau mubazzir. Bahkan orang yang melakukan tindakan mubazzir dianggap sebagai saudaranya setan. Penyerupaan manusia yang melakukan tindakan mubazzir sebagai saudara setan tentu memiliki makna penghinaan dan larangan yang sangat keras. Karena itulah, setiap muslim harus menghindari tindakan tersebut. Allah SWT menjelaskan: Salah satu makna dan tindakan tabzir dalam perilaku bisnis adalah menimbun kekayaan dan keuntungan secara berlebihan (dengan tidak wajar), sehingga ia hidup dalam bergelimang harta namun keluarga dekat, tetangga dan orang yang seharusnya mendapatkan santunannya diabaikan dan hidup dalam kekurangan. Sikap semacam ini, di samping merupakan tindakan berlebihan (tabzir), juga merupakan tindakan zalim, rakus, pelit, kufur nikmat dan beberapa bentuk perilaku (akhlak) yang dilarang oleh agama. Wallahu A’lam bis Shawab.

Monopoli dilakukan agar memperoleh penguasaan pasar dengan mencegah pelaku lain untuk menyainginya dengan berbagai cara, seringkali dengan cara-cara yang tidak terpuji tujuannya adalah untuk memahalkan harga agar pengusaha tersebut mendapat keuntungan yang sangat

Dalam bisnis modern paling tidak kita menyaksikan cara-cara tidak terpuji yang dilakukan sebagian pebisnis dalam melakukan penawaran produknya, yang dilarang dalam ajaran Islam. Berbagai bentuk penawaran (promosi) yang dilarang tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut : 1. Penawaran dan pengakuan (testimoni) fiktif, bentuk penawaran yang dilakukanoleh penjual seolah barang dagangannya ditawar banyak pembeli, atau seorang artis yang memberikan testimoni keunggulan suatu produk padahal ia sendiri tidak mengkonsumsinya. 2. Iklan yang tidak sesuai dengan kenyataan, berbagai iklan yang sering kita saksikan di media televisi, atau dipajang di media cetak, media indoor maupun outdoor, atau kita dengarkan lewat radio seringkali memberikan keterangan palsu. 3. Eksploitasi wanita, produkproduk seperti, kosmetika, perawatan tubuh, maupun produk lainnya seringkali melakukan eksploitasi tubuh wanita agar iklannya dianggap menarik. Atau dalam suatu pameran banyak perusahaan yang menggunakan wanita berpakaian minim menjadi penjaga stand pameran produk mereka dan menugaskan wanita tersebut merayu pembeli agar melakukan pembelian terhada p produk mereka.Model promosi tersebut dapat kita kategorikan melanggar ’akhlaqul karimah’, Islam sebagai agama yang menyeluruh mengatur tata cara hidup manusia, setiap bagian tidak dapat dipisahkan dengan bagian yang lain.

Demikian pula pada proses jual beli harus dikaitkan dengan ’etika Islam’ sebagai bagian utama. Jika penguasa ingin mendapatkan rezeki yang barokah, dan dengan profesi sebagai pedagang tentu ingin dinaikkan derajatnya setara dengan para Nabi, maka ia harus mengikuti syari’ah Islam secara menyeluruh, termasuk ’etika jual beli’.

4. Konsep Bisnis Dalam AlQur’an

Konsep AlQura’n tentang bisnis yang sebenarnya

seperti night club discotic cafe tempat bercampurnya laki-laki dan wanita disertai lagu-lagu yang menghentak, suguhan minuman dan makanan tak halal dan lain-lain (QS: Al-

A’raf;32. QS: Al Maidah;100) adalah kegiatan bisnis yang diharamkan. b. Menghindari cara memperoleh dan menggunakan harta secara tidak halal.Praktik riba yang menyengsarakan agar dihindari, Islam melarang riba dengan ancaman berat (QS: Al Baqarah;275-279), sementara transaksi spekulatif amat erat kaitannya dengan bisnis yang tidak transparan seperti perjudian, penipuan, melanggar amanah sehingga besar kemungkinan akan merugikan. Penimbunan harta agar mematikan fungsinya untuk dinikmati oleh orang lain serta mempersempit ruang usaha dan aktivitas ekonomi adalah perbuatan tercela dan mendapat ganjaran yang amat berat (QS:At Taubah; 34 – 35). Berlebihan dan menghamburkan uang untuk 6 tujuan yang tidak bermanfaat dan berfoya-foya kesemuanya merupakan perbuatan yang melampaui batas. Kesemua sifat tersebut dilarang karena merupakan sifat yang tidak bijaksana dalam penggunaan harta dan bertentangan dengan perintah Allah (QS: Al a’raf;31). c. Persaingan yang tidak fair sangat dicela oleh Allah sebagaimana disebutkan dalamAlQur’an surat Al Baqarah: 188: ”Janganlah kamu memakan sebagian harta sebagian kamu dengan cara yang batil”. Monopoli juga termasuk persaingan yang tidak fair Rasulullah men cela perbuatan tersebut : ”Barangsiapa yang melakukan monopoli maka dia telah bersalah”, ”Seorang tengkulak itu diberi rezeki oleh Allah adapun sesorang yang melakukan monopoli itu dilaknat”. Monopoli dilakukan agar memperoleh penguasaan pasar dengan mencegah pelaku lain untuk menyainginya dengan berbagai cara, seringkali dengan cara-cara yang tidak terpuji tujuannya adalah untuk memahalkan harga agar pengusaha tersebut mendapat keuntungan yang sangat besar. Rasulullah bersabda : ”Seseorang yang sengaja mel akukan sesuatu untuk memahalkan harga, niscaya Allah akan menjanjikan kepada singgasana yang terbuat dari api neraka kelak di hari kiamat”.

d. Pemalsuan dan penipuan, Islam sangat melarang memalsu dan menipu karena dapat menyebabkan kerugian, kezaliman, serta dapat menimbulkan permusuhan dan percekcokan. Allah berfirman dalam QS:Al-

Isra;35: ”Dan sempurnakanlah takaran ketika kamu menakar dan timbanglah dengan neraca yang benar”. Nabi bersabda ”Apabila kamu menjual maka jangan menipu orang dengan kata-kat a manis”. Dalam bisnis modern paling tidak kita menyaksikan cara-cara tidak terpuji yang dilakukan sebagian pebisnis dalam melakukan penawaran produknya, yang dilarang dalam ajaran Islam. Berbagai bentuk penawaran (promosi) yang dilarang tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut : 1. Penawaran dan pengakuan (testimoni) fiktif, bentuk penawaran yang dilakukanoleh penjual seolah barang dagangannya ditawar banyak pembeli, atau seorang artis yang memberikan testimoni keunggulan suatu produk padahal ia sendiri tidak mengkonsumsinya. 2. Iklan yang tidak sesuai dengan kenyataan, berbagai iklan yang sering kita saksikan di media televisi, atau dipajang di media cetak, media indoor maupun outdoor, atau kita dengarkan lewat radio seringkali memberikan keterangan palsu. 3. Eksploitasi wanita, produkproduk seperti, kosmetika, perawatan tubuh, maupun produk lainnya seringkali melakukan eksploitasi tubuh wanita agar iklannya dianggap menarik. Atau dalam suatu pameran banyak perusahaan yang menggunakan wanita berpakaian minim menjadi penjaga stand pameran produk mereka dan menugaskan wanita tersebut merayu pembeli agar melakukan pembelian terhada 7 p produk mereka.Model promosi tersebut dapat kita kategorikan melanggar ’akhlaqul karimah’, Islam sebagai agama yang menyeluruh mengatur tata cara hidup manusia, setiap bagian tidak dapat dipisahkan dengan bagian yang lain.

4. Demikian pula pada proses jual beli harus dikaitkan dengan ’etika Islam’ sebagai bagian utama. Jika penguasa ingin mendapatkan rezeki yang barokah, dan dengan profesi sebagai pedagang tentu ingin dinaikkan derajatnya setara dengan para Nabi, maka ia harus mengikuti syari’ah Islam secara menyeluruh, termasuk ’etika jual beli’.

PERBEDAAN ETIKA BISNIS ISLAM DENGAN KONVENSIONAL Dari bebrapa paparan diatas ada beberapa poin yang dapat membedakan etika bisnis islam dengan etika bisnis konvensional. Agar lebih jelas kami paparkan dengan bagan sebagai berikut: NO PERBEDAAN 1.

Sumber

ETIKA BISNIS ISLAM Al-Quran dan Al-Hadits

KONVENSIONAL Daya fikir Manusia

2.

Motif

Ibadah

Mencari keuntungan

3.

Paradigma

Syariah

Pasar

4.

Landasan

Falah

Utiliti individualisme

5.

Pondasi Dasar

Muslim

Manusia bisnis

Diantara beberapa jenis jual beli yang dilarang dalam Islam antara lain;

1. Bai’ al-Talji’ah (‫)بيع التلجئة‬ Bai’ al-Talji’ah merupakan suatu bentuk jual beli yang dilakukan oleh seorang penjual yang dalam kondisi terdesak (terpaksa) karena khawatir hartanya diambil oleh orang lain. Atau harta yang masih dalam status sengketa sehingga agar tidak mengalami keruguan, harta tersebut dijual kepada pihak lain. Pilihan untuk menjual barang dilatarbelakangi oleh tujuan untuk menyelamatkan hartanya atau mendapatkan keuntungan lebih sebelum harta dibagi dengan pemilik lainnya. Jenis jual-beli seperti ini termasuk jenis jual beli yang dilarang dalam Islam, karena dapat menimbulkan ketidakpastian, sengketa di kemudian hari serta dapat menimbulkan kerugian pada salah satu pihak, terutama pihak pembeli. Bahkan dalam fikih Islam dikenal istilah “al-Hajru” yaitu; pencegahan atau menahan seseorang untuk melakukan transaksi atau membelanjakan hartanya (termasuk menjual) karena dianggap belum cakap demi menjaga keselamatan harta benda tersebut. Pada dasarnya “al-Hajru” ini sering dikaitkan dengan persoalan ketidakcakapan seseorang dalam melakukan transaksi jualbeli jika pelakunya masih terlalu kecil, gila atau dalam kondisi tertentu yang tidak memungkinkan untuk melakukan transaksi secara sadar dan bertanggung jawab serta dapat mengakibattkan keruguan bagi yang bersangkutann maupun pihak lain. Namun “al-hajru” juga dapat diterapkan dalam kasus yang berbeda untuk menghindari kerugian bagi pihak lain maupun yang bersangkutan. Diantara hikmah disyari’atkannya hal ini adalah; untuk menjaga hak orang lain, misalnya; orang yang sakit parah dilarang menjual hartanya melebih 1/3 hartanya, guna menjaga hak ahli warisnya. Atau salah seorang ahli waris dilarang menjual harta warisan sebelum harta warisan tersebut dibagikan kepada ahli waris lain yang masih memiliki hak kewarisan, dan lainnya. Hikmah yang lain adalah untuk menjaga haknya sendiri, misalnya; anak yang masih kecil atau orang gila, mereka harus dicegah untuk melakukan transaksi jual beli untuk menjaga hartanya dari kepunahan. Adapun contoh bai’ al-talji’ah antara lain;: menjual barang atau tanah yang masih dalam posisi sengketa, atau menjual barang atau rumah untuk mengelak dari proses lelang yang akan dilakukan oleh bank atau pemberi hutang. Menjual barang yang masih dalam sengketa tentu merupakan tindakan yang tidak dibenarkan baik berdasarkan norma, hukum terlebih lagi agama.

2. Jual Beli dengan Sistem Uang Hangus (‫)بيع العربون‬ Jual-beli ‘Urbun (bai’ al-‘Urbun) adalah suatu sistem atau bentuk jual beli dimana pembeli membayar sejumlah uang (uang muka) untuk menunjukkan keseriusan dalam melakukan transaksi jual beli. Jika jual beli tersebut dilanjutkan, maka uang muka tersebut akan menjadi bagian dari harga barang yang diperjual belikan, sehingga pembeli hanya menggenapkan atau melengkapi kekurangan dari harga barang. Namun jika transaksi jual beli dibatalkan, maka keseluruhan uang muka menjadi milik calon penjual dan sedikitpun tidak dikembalikan kepada calon pembeli. Dalam istilah yang lebih populer jenis jual beli seperti ini sering disebut dengan “jual beli dengan sistem uang hangus”. Dalam salah satu riwayat disebutkan bahwa Rasulullah saw melarang jenis jual beli ini, sebagaimana dijelaskan oleh para sahabat; “Naha Rasulullah saw ‘an bai’ al-‘Urbun” (Rasulullah saw telah melarang jual beli ‘Urbun). Jenis jual beli ini termasuk yang diharamkan karena penuh dengan kezaliman, rekayasa serta mengambil hak orang lain secara bathil dan dapat merugikan pihak lain. Sebab pada prinsifnya uang muka merupakan hak milik pembeli, sehingga jika terjadi pembatalan transaksi karena faktor-faktor tertentu, maka uang muka harus dikembalikan kepada calon pembeli, karena pembeli tidak mengambil sedikitpun dari barang yang sedang ditransaksikan. Namun jika pembatalan itu dilakukan secara sepihak tanpa alasan yang dibenarkan dan dapat merugikan pihak calon penjual, maka calon penjual dapat meminta kompensasi yang wajar menurut kesepakatan dan keridhaan kedua belah pihak, sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan dan dikhianati. Hal ini juga berlaku pada bisnis transportasi yang banyak ditemukan dewasa ini, seperti; seseorang memesan travel beberapa hari sebelumnya untuk tujuan tertentu, namun sehari atau pada saat jadwal pemberangkatan tiba si calon penumpang membatalkan secara sepihak dengan alasan tertentu. Maka pihak pemilik jasa travel merasa dirugikan oleh calon penumpangnya karena bangku yang sudah dipesan tidak dapat diberikan (dijual) kepada pemesan lainnya karena sudah terlanjur dipesan oleh calon penumpang pertama. Konsekwensinya adalah terjadi kekosongan yang mengakibatkan kerugian bagi pemilik jasa travel tersebut. Terhadap kasus seperti ini, pemilik travel dapat mengambil sebagian dari uang muka (seperti; 25% atau 50%) sebagai kompensasi terhadap kerugian yang dideritanya. Atau pihak pemilik jasa travel dapat membuat regulasi (peraturan) yang ditempelkan atau dipublikasikan sehingga diketahui oleh para calon penumpang, bahwa jika terjadi pembatalan pada hari pemberangkatan maka akan dipotong sebesar 25% atau lebih dari uang muka atau dari tarif yang telah ditentukan.

3. Bai’ Ihtikar (‫)بيع اإلحتكار‬ Jual beli Ihtikar adalah salah satu jenis jual beli yang dilarang dalam Islam, yaitu suatu jenis jual beli dengan sistem penimbunan. Dimana seorang penjual (pedagang) sengaja memborong barang

yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam jumlah yang sangat banyak lalu menimbunnya, sehingga menyebabkan kelangkaan barang di pasaran, yang pada akhirnya mengakibatkan harga barang melambung tinggi sehingga mengakibatkan kesulitan bagi masyarakat dan lemahnya daya beli mereka. Motif utama dari pelaku jual beli ini adalah untuk mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda, karena biasanya mereka akan menjual barang timbunannya setelah harga melonjak naik di pasaran. Oleh sebab itu Rasulullah saw melarang jenis jual beli ini dan dikategorikan sebagai bentuk kesalahan dan kezhaliman kepada orang lain. Rasulullah saw bersabda, sebagaimana diriwayatkan dari Ma’mar; ُ ‫ب يُحَد‬ ‫س ِع ْي ٍد َقا َل‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬ َ ِ‫س ْو ُل هللا‬ َ ُ‫ع َْن يَحْ َي َوه َُو ا ْبن‬: ‫ِث أَنَّ َم ْع َم ًرا قَا َل‬ َ ‫س ِع ْي ُد ا ْبنُ ا ْل ُم‬ َ َ‫كَان‬: ‫سلَّ َم َم ِن احْ تَك ََر َف ُه َو‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ُ ‫َقا َل َر‬ ِ َّ‫سي‬ َ ‫ – رواه مسلم و أحمد و أبو داود‬.…‫اطئ‬ ِ ‫خ‬ “Dari Yahya beliau adalah ibn Sa’id, ia berkata: Bahwa Sa’id ibn Musayyab memberitakan bahwa Ma’mar berkata: Rasulullah saw bersabda: Barang siapa yang menimbun barang, maka ia telah melakukan kesalahan (berdosa) …”(HR. Muslim, Ahmad dan Abu Dawu) Dalam prakteknya, jenis jual beli ini sering kali terjadi di tengah masyarakat baik yang menyangkut kebutuhan pokok masyarakat (sembako) maupun kebutuuhan-kebutuhan lainnya, terutama dalam momen-momen tertentu seperti lebaran atau pergantian tahun, atau bahkan ketika berhembusnya wacana kenaikan harga barang oleh pemerintah. Sehingga tidak jarang karena kezhaliman ini, masyarakat kesulitan untuk mendapatkan minyak goreng, bumbu-bumbu dapur, bensin, solar, hingga air mineral. Praktek seperti ini, disamping merupakan bentuk egoisme dan kezhaliman terhadap masyarakat luas, namun juga salah satu bentuk kebiadaban (kezhaliman) dan dosa kemanusiaan yang sangat besar.

4. Jual Beli Benda Najis Pada dasarnya, yang dimaksud dengan benda-benda najis di sini adalah makanan, minuman atau hewan yang dianggap najis dan dilarang untuk dikonsumsi seperti babi, anjing, minuman keras, bangkai dan lain sebagainya. Benda-benda ini tidak hanya dilarang untuk dikonsumsi secara langsung, namun juga dilarang untuk diperjual belikan. Bahkan orang yang memakan hasil penjualannya sama dengan mengkonsumsi barang itu sendiri. Dalam hadis nabi saw, banyak menjelaskan tentang larangan mengkonsumsi dan memperjual belikan benda-benda najis ini, antara lain: ‫س ْولَهُ ح ََّر َم بَ ْي َع ا ْل َخ ْم ِر‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬ َ ‫ع َْن جَابِ ِر اب ِْن‬ َ ِ‫سو َل هللا‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ُ‫ع ْب ِد هللاِ أَنَّه‬ ُ ‫سلَّ َم َيقُ ْو ُل عَا َم ا ْل َفتْحِ َوه َُو بِ َمكَّةَ إِنَّ هللاَ َو َر‬ ُ ‫س ِم َع َر‬ ‫ص ِب ُح ِبهَا‬ ُ َ‫س ْو َل هللاِ أ َ َرأَيْت‬ ْ َ‫ست‬ ْ َ ‫َوا ْل َم ْيتَ ِة َوا ْل ِخ ْن ِزي ِْر َواأل‬ ْ َ‫سفُنُ َويُ ْدهَنُ ِبهَا ا ْل ُجلُ ْو ُد َوي‬ ُّ ‫ش ُح ْو ُم ا ْل َم ْيت َ ِة فَ ِإنَّهُ يُ ْطلَى ِبهَا ال‬ ُ ‫ار‬ َ َ‫صنَ ِام فَ ِق ْي َل ي‬ ‫علَي ِْه ْم‬ َ ‫حَر َم‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬ َ ِ‫سو َل هللا‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ُ ‫ َفقَا َل الَ ه َُو ح ََرام ث ُ َّم قَا َل َر‬.‫اس‬ َّ ‫سلَّ َم ِع ْن َد ذَا ِلكَ َقاتَ َل هللاُ ا ْل َي ُه ْو َد إِنَّ هللاَ ع ََّز َو َج َّل لَ َّما‬ ُ َّ‫الن‬ َ َ َ ‫ – رواه الجماعة‬.ُ‫ش ُح ْو ُمهَا أجْ َملُ ْوهُ ث ُ َّم َباع ُْوهُ فأ َكلُ ْوا ث َ ُمنَه‬ ُ

“Dari jabir Ibn Abdullah r.a. ia mendengar Rasulullah saw bersabda pada waktu tahun kmenangan, ketika itu beliau di Makkah: Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamar, bangkai, babi dan berhala. Kemudian ditanyakan kepada beliau: Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat anda tentang lemak bangkai, karena ia dapat digunakan untuk mengecat perahu, meminyaki kulit, dan dapat digunakan oleh orang-orang untuk penerangan. Beliau bersabda: Tidak, ia adalah haram. Kemudian beliau bersabda: Allah melaknat orabrorang Yahudi. Sesungguhnya Allah tatkala mengharamkan lemaknya, mereka mencairkan lemak itu, kemudian menjualnya dan makan hasil penjualannya”. (HR. al-Jama’a) ‫ش ُح ْو ُم فَ َباع ُْو َها َو أَ َكلُ ْو أَثْ َما ِنهَا َو ِإنَّ هللاَ ِإذَا‬ ُّ ‫علَي ِْه ُم ال‬ َ ْ‫ لَ َعنَ هللاُ ا ْل َي ُه ْو َد ُح ِر َمت‬:َ‫سلَّ َم َقال‬ َ ُ‫ص َّلى هللا‬ َ ‫ع َِن اب ِْن‬ َ ‫اس أَنَّ النَّ ِب َي‬ ٍ ‫ع َّب‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ َ َ َ َ ‫ – رواه أحمد و أبو داود‬.ُ‫علي ِْه ْم ث َمنَه‬ َ ‫ش ْي ٍئ ح ََّر َم‬ َ ‫على ق ْو ٍم أ ْك َل‬ َ ‫ح ََّر َم‬ “Dari Ibnu Abbas Nabi saw bersabda: Allah melkanat orang-orang Yahudi, karean telah diharamkan kepada mereka lemak-lemak (bangkai) namun mereka menjualnya dan memakan hasil penjualannya. Sesungguhnya Allah jika mengharamkan kepada suatu kaum memakan sesuatu, maka haram pula hasil penjualannya”. (HR. Ahmad dan Abu Dawud) Bahkan dalam hadis lain, Rasulullah saw menjelaskan tentang akibat dari mengkonsumsi barang najis seperti khamar dan lainnya, antara lain dalam hadisnya: ُ ‫َّللاِ ا ْل َغا ِف ِقي ِ َوأ َ ِبي‬ ْ‫سلَّ َم لُ ِعنَت‬ َ ُ‫َّللا‬ َ ‫الرحْ َم ِن ب ِْن‬ َ ‫ع َْن‬ ُ َ‫س ِم َعا ا ْبن‬ َ ‫َّللا‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ِ َّ ‫سو ُل‬ َ ‫ط ْع َمةَ َم ْو َال ُه ْم أَنَّ ُه َما‬ َّ ‫صلَّى‬ ُ ‫ع َم َر َيقُو ُل َقا َل َر‬ َّ ‫ع ْب ِد‬ َّ ‫ع ْب ِد‬ َ َ ْ ‫ع‬ ‫حَام ِلهَا َوا ْل َمحْ ُمولَ ِة إِلَ ْي ِه َوآ ِك ِل ث َمنِهَا َوش َِاربِهَا‬ َ ‫علَى‬ َ ‫ا ْل َخ ْم ُر‬ ِ ‫َاص ِر َها َو ُم ْعت َ ِص ِر َها َو َبائِ ِعهَا َو ُم ْبتَا ِعهَا َو‬ ِ ‫ش َر ِة أ ْو ُج ٍه بِعَ ْينِهَا َوع‬ ‫سا ِقيهَا‬ ‫–و‬ ‫ماجة‬ ‫ابن‬ ‫و‬ ‫أحمد‬ ‫رواه‬ َ َ “Dari Abdurrahman bin Abdullah Al Ghafiqi dan Abu Thu’mah mantan budak mereka, keduanya mendengar Ibnu Umar berkata, “Rasulullah saw bersabda: ” dilaknat (akibat) khamar sepuluh pihak; dzatnya, yang memerasnya, yang minta diperaskan, penjualnya, yang minta dibelikan, yang membawanya, yang minta dibawakannya, yang memakan hasil penjualannya, peminumnya dan yang menuangkannya (pelayannya), “ (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)

5. Jual Beli dengan Penipuan Jenis jual beli ini telah umumm dikenal di tengah masyarakat sebagai salah satu bentuk jual beli yang dilarang dan tidak disukai oleh masyarakat, baik dengan cara-cara tradisional hingga caracara penipuan yang moderen. Sehingga dalam pembahasan ini penulis hanya mengemukakan salah satu dalil yang melarang disertai beberapa contoh jenis jual-beli dengan penipuan yang banyak dijumpai di tengah-tengah masyarakat. Adapun salah satu dalil yang melarangnya adalah sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah ra: ‫صب َْر ِة َطعَ ٍام َفأ َ ْد َخ َل يَ َدهُ فِ ْيهَا فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَالً فَ َقا َل َما َهذَا َيا‬ َ ‫سلَّ َم َم َّر‬ َ ُ‫ص َّلى هللا‬ َ ِ‫س ْو َل هللا‬ ُ ‫علَى‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ُ ‫ع َْن أَبِى ه َُري َْرةَ أَنَّ َر‬ َ َ ‫اس َم ْن‬ ‫ – رواه مسلم‬.‫ْس ِمنِى‬ َ ‫س ْو َل هللاِ َقا َل أفَالَ َجعَ ْلتَهُ فَ ْو‬ ِ ‫ص‬ َّ ‫ب ال َّط َع ِام َقا َل أَصَابَتْهُ ال‬ ُ ‫ار‬ َ ‫َاح‬ َ ‫ش فَلَي‬ َّ ‫غ‬ َ َ‫س َما ُء ي‬ ُ َّ‫ق ال َّطعَ ِام ك َْي يَ َراهُ الن‬

“Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah saw lewat pada setumpuk makanan, kemudian beliau memasukkan tangannya ke dalam tumpukan makanan tersebut, maka jari-jari beliau terkena makanan yang basah. Beliau bertanya; Apa ini wahai pemilik (penjual) makanan ? Ia menjawab: Terkena hujan, wahai Rasulullah. Beliau bersabda: Mengapa kamu tidak menaruh yang basah ini di atas agar dapat dilihat orang ? Barangsiapa yang menipu, maka ia bukan golonganku”. (HR. Muslim) Sedangkan contoh-contoh jenis jual-beli dengan penipuan yang banyak beredar di tengah-tengah masyarakat antara lain; menjual sembako (contoh: beras) dengan takaran atau neraca yang direkayasa (dilas atau dipasang magnet) sehingga berat barang tidak sesuai dengan realitanya, menjual buah yang sesungguhnya sudah tidak layak namun diberikan zat pewarna sehingga terkesan masih segar, menjual daging sapi namun dicampur dengan daging babi dan sejenisnya, menjual ayam yang sudah menjadi bangkai (ayam tiren) lalu direkayasa seolah ayam yang baru disembelih, barang kemasan yyang sudah kadaluarsa atau terbuat dari bahan-bahan haram lalu disembunyikan masa kadaluarsanya atau ditempelkan llabel halal, dan lain sebagainya. Cara cerdas agar seseorang tidak menjadi korban penipuan dalam transaksi jual beli adalah; hendaknya para calon pembeli berhati-hati dan waspada dengan berbagai modus yang banyak dilakukan oleh para penipu yang hanya mementingkan keuntungan pinansial tanpa memikirkan dampak dan kerugian bagi para pembeli, tidak terlalu konsumtif dan harus jeli melihat barang yang akan dibelinya baik yang terkait dengan bahan dasarnya, rupanya hingga labelnya.

6. Bai’ al-wafa’ (‫)بيع الوفاء‬ Bai al-wafa’ adalah suatu jenis jual beli barang yang disyaratkan, dimana seorang menjual barangnya kepada pihak lain dengan syarat barang tersebut harus dijual pada dirinya (penjual) dengan harga tertentu dan pada saat tertentu sesuai dengan perjanjian. Atau menjual barang dalam batas waktu tertentu, jika waktu itu tiba maka seorang pembeli harus menjual kembali barangnya kepada penjual pertama itu. Misalnya penjual mengatakan kepada calon pembeli, barang ini saya jual dengan harga satu juta rupiah, dengan syarat tiga bulan yang akan datang kamu harus menjual barang tersebut kepada saya dengan harga tertentu. Jenis jual beli ini termasuk jenis jual beli yang terlarang, karena termasuk rekayasa dan memberikan ketidakpastian, atau kepemilikan yang tidak utuh terhadap barang yang dibeli oleh seseorang. Padahal dalam syariat Islam, jual beli merupakan salah satu cara terjadinya perubahan kepemilikan (al-Taghayyur al-Milkiyah) dari seseorang kepada orang lain. Dengan terjadinya perubahan kepemilikan tersebut, maka seorang pembeli berhak memiliki barang yang dimilikinya tanpa terikat dengan waktu tertentu. Ia berhak untuk mengggunakannya dalam waktu yang dia inginkan serta berhak menghibahkan atau menjual barang (harta) nya kepada siapapun secara leluasa.

7. Jual Beli Muhaqalah, Mukhadharah, Mulamasah, Munabazah dan Muzabanah

Larangan tentang keempat jenis jual beli ini telah disebutkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh imam al-Bukhari dari sahabat Anas bin Malik ra, sebagai berikut: ‫س ِة َوا ْل ُمنَابَذَ ِة‬ َ ُ‫ص َّلى هللا‬ َ ُ‫ع َْن أَنَ ِس ب ِْن َمالِكٍ َر ِض َى هللا‬ َ ِ‫س ْو ُل هللا‬ َ ‫سلَّ َم ع َِن ا ْل ُمحَاقَلَ ِة َوا ْل ُم َخاض ََر ِة َوا ْل ُمالَ َم‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ُ ‫ع ْنهُ أَنَّهُ قَا َل نَهَى َر‬ ‫وا ْل ُم َزابَنَ ِة – رواه البخارى‬ “Dari Anas bin Malik r.a. ia berkata: Rasulullah saw melarang jual beli al-Muhaqalah, alMukhadharah, al-Mulamasah, al-Munabazah dan jual beli al-Muzabanah.” (HR. Al-Bukhari) Adapun pengertian dari kelima jenis jual beli tersebut adalah; 1. Jual beli al-Muhaqalah adalah; jenis jual beli dengan cara sewa menyewa tanah, baik berbentuk sawah, kebun maupun berbentuk tambak dengan cara hasilnya nanti dibagi antara pemilik tanah dengan penyewa tanah. 2. Jual beli al-Mukhadharah adalah; pengadaan jual beli buah-buahan yang masih berada di atas pohon yang belum diketahui secara pasti kualitas (baik-buruknya) buah yang masih diatas pohon itu pada saat terjadinya musim panen. Pengertian jual beli seperti ini daalam praktek masyarakat di Indonesia sering disebut dengan jual beli Ijon. 3. Jual beli al-Mulamasah adalah; mengadakan jual beli dengan cara meraba barang yang akan diperjual belikan dengan tanpa melihat barangnya. 4. Jual beli al-Munabazah adalah; mengadakan jual beli dengan cara saling melemparkan barang-barang yang akan dijual belikan dengan tampa memeriksanya kembali. 5. Jual beli al-Muzabanah adalah; mengadakan jual beli kurma basah dengan kurma kering yang masih berada di atas pohon. Hal ini juga berlaku terhadap semua jenis buahbuahan lainnya, sehingga taksiran perbedaan volume (baik secara kuantitas maupun kualitas) antara yang basah apabila telah kering tidak dapat diketahui. Dengan melihat definisi dari kelima jenis jual beli yang dilarang tersebut, dapat difahami bahwa di antara faktor yang menyebabkan dilarangnya praktek jual beli tersebut antara lain; faktor jahalah (kesamaran atau ketidaktahuan) terhadap kuantitas dan kualitas barang, tidak memberikan kepastian, adanya unsur maisir (spekulasi yang tidak dibenarkan), mengandung unsur riba, kezhaliman terhadap salah satu pihak yang bertransaksi, berpeluang menimbulkan penyesalan dari salah satu di antara dua belah pihak karena dapat menyebabkan kerugian bahkan dapat memunculkan ketidak harmonisan karena ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan yang dihadapinya. Faktor-faktor tersebut dapat dibuktikan, salah satunya ialah pada praktek jual beli Muzabanah. Secara substantif, definisi jual beli Muzabanah sebagaimana dikemukakan oleh para ulama adalah; setiap jual beli barang yang tidak/belum diketahui takaran, timbangan atau jumlahnya kemudian ditukar dengan barang lain yang sudah jelas timbangan atau jumlahya. Seperti; menukar kurma atau padi/beras yang sudah ditimbang dengan kurma atau padi yang masih berada di pohonnya. Dalam praktek seperti ini terdapat beberapa unsur larangan seperti; adanya unsur riba, karena tidak jelasnya takaran kedua kurma yang akan ditukar. Padahal syarat ketika menukar barang ribawi yang sejenis harus dengan cara tunai dan takaran yang sama. Pada contoh praktek tersebut juga terdapar unsur kezhaliman karena dapat merugikan salah satu pihak, serta adanya unsur maisir, karena adanya ketidakpastian dan spekulasi yang dilarang.

Oleh sebab itu, Rasulullah saw menegaskan dalam hadis lain dari sahabat Abdullah bin Umar ra; ‫سلَّ َم نَهَى ع َْن ا ْل ُم َزابَنَ ِة َوا ْل ُم َزابَنَةُ بَ ْي ُع الثَّ َم ِر ِبالتَّ ْم ِر َكي ًْال‬ َ ُ‫َّللا‬ َ ُ‫َّللا‬ َ ‫ع َْن‬ ُ ‫َّللاِ ب ِْن‬ َ ِ‫َّللا‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫ص َّلى‬ َّ ‫سو َل‬ ُ ‫ع ْن ُه َما أَنَّ َر‬ َّ ‫ع َم َر َر ِض َي‬ َّ ‫ع ْب ِد‬ ْ ً َّ ‫ب ِبالك َْر ِم َكيْال – رواه البخاري ومسلم‬ ِ ‫َوبَ ْي ُع الزبِي‬ “Dari Abdullah bin Umar ra. bahwa Rasulullah saw melarang Al Muzaabanah. Al Muzaabanah adalah menjual kurma matang dengan kurma mentah yang ditimbang dan menjual anggur kering dengan anggur basah yang ditimbang. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

8. Jual Beli ‘Inah Selain dari kelima jenis jual beli di atas, masih terdapat lagi beberapa jenis jual beli yang dilarang oleh agama (Islam) karena memiliki unsur riba, yaitu jual beli ‘Inah, yaitu; suatu jenis jual beli dimana seseorang menjual barang kepada orang lain (pembeli) secara tidak tunai, kemudian ia membelinya lagi dari pembeli tersebut secara tunai dengan harga yang lebih murah. Tujuan dari transaksi ini adalah untuk mengakal-akali memperdaya pihak lain agar mendapatkan keuntungan dari transaksi utang piutang yang dikemas dengan akad atau transaksi jual beli. Contoh jual beli ‘Inah: “Seorang Pemilik tanah ingin dipinjami uang oleh seseorang (pihak lain atau calon pembeli). Karena pada saat transaksi pihak yang ditawarkan belum memiliki uang tunai, maka pemilik tanah mengatakan kepadanya; Saya jual tanah ini kepadamu secara kredit seharga 200 juta rupiah dengan tenggang waktu pelunasan sampai dua tahun ke depan. Namun beberapa waktu kemudian, pemilik tanah mengatakan kepada pihak pembeli, sekarang saya membeli tanah itu lagi dengan harga 170 juta secara tunai. Sebenarnya di sini, pemilik tanah telah melakukan tipu muslihat, karena ia sesungguhnya ingin meminjamkan uang 170 juta dengan pengembalian lebih menjadi 200 juta. Tanah hanya sebagai perantara. Namun keuntungan dari utang di atas, itulah yang ingin dicari. Inilah yang disebut transaksi ‘inah. Ini termasuk di antara trik riba. Karena dalam hadis Nabi saw disebutkan: “setiap piutang yang mendatangkan keuntungan, itu adalah riba.” Sedangkan hadis yang melarang jenis jual beli ‘Inah ini terdapat dalam hadis riwayat Abu dawwud sebagai berikut: َّ ‫اب ا ْل َبقَ ِر َو َر ِضيت ُ ْم ِب‬ ‫الز ْرعِ َوتَ َر ْكت ُ ْم‬ َ ُ‫َّللا‬ ُ ‫ع َْن اب ِْن‬ َ ِ‫َّللا‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫ع َم َر قَا َل‬ َ َ‫سلَّ َم َيقُو ُل ِإذَا تَ َبا َي ْعت ُ ْم ِبا ْل ِعينَ ِة َوأ َ َخ ْذت ُ ْم أَ ْذن‬ َّ ‫صلَّى‬ َّ ‫سو َل‬ ُ ‫س ِم ْعتُ َر‬ َ َ ُ َ ُُ‫ار ِل َج ْع َف ٍر َو َهذَا لَ ْفظه‬ ْ َ َ َّ َ ُ‫َّللا‬ ُ ‫عل ْي ُك ْم ذ اال َال يَ ْن ِز‬ َ ‫ال ِجهَا َد‬ َّ ‫سلط‬ ُ ‫عهُ َحتَّى ت َ ْر ِجعُوا إِلى دِينِ ُك ْم قا َل أبُو د‬ ُ َ‫اإل ْخب‬ ِ ْ ‫َاود‬ “Dari Ibnu Umar ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Jika kalian berjual beli secara cara ‘inah, mengikuti ekor sapi, ridha dengan bercocok tanam dan meninggalkan jihad, maka Allah akan menguasakan kehinaan atas kalian. Allah tidak akan mencabutnya dari kalian hingga kalian kembali kepada agama kalian.” Abu Daud berkata, “Ini adalah riwayat Ja’far, dan hadits ini adalah lafadznya.” (HR. Abu Daud)

9. Bisnis (Jual Beli) Jasa Tato Seni tato merupakan salah satu jenis bisnis yang cukup digemari oleh sebagian orang terutama anak-anak muda. Bahkan dianggap sebagai karya seni yang menjadi ciri khas dan identitas sekelompok orang. Orang yang menggunakannya pun merasa percaya diri, macho dan gaul, tetapi oleh sebagian orang, para penggunanya justru sering diidentikkan dengan penilaianpenilaian negatif, seperti preman, anak jalanan dan lain sebagainya. Dalam Islam, praktek tato atau bertato ini mendapatkan perhatian yang sangat serius, bahkan termasuk salah satu perbuatan yang dikutuk atau dimurkai oleh Rasulullah saw. Maka jika hal ini termasuk perbuatan yang dimurkai (dilaknat) oleh Rasulullah saw, maka tentu memfasilitasi dan menjual jasa tato juga bagian yang terlarang. Hal ini dapat dijumpai penjelasannya dalam beberapa hadis Nabi saw, antara lain: ‫الر َبا َو ُمو ِك ِل ِه‬ َ ُ‫َّللا‬ َ ‫ع َْن ع َْو ِن ب ِْن أَبِي ُج َح ْيفَةَ قَا َل َرأَيْتُ أَبِي فَقَا َل إِنَّ النَّبِ َّي‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫ص َّلى‬ ِ ‫سلَّ َم نَهَى ع َْن ث َ َم ِن الد َِّم َوثَ َم ِن ا ْل َك ْل‬ ِ ‫ب َوآ ِك ِل‬ ‫ – رواه البخاري‬.‫ش َم ِة‬ ِ ‫ست َ ْو‬ ِ ‫َوا ْل َوا‬ ْ ‫ش َم ِة َوا ْل ُم‬ “Dari Aun bin Abu Juhaifah dia berkata; aku pernah melihat Ayahku berkata; sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang hasil (menjual) darah dan hasil penjualan anjing, memakan riba dan yang memberi makan dan yang mentato dan yang meminta ditato.” (HR. AlBukhari) Dalam hadis lain disebutkan: ْ‫س َرت‬ ْ ‫ش ْعبَةُ َقا َل أ َ ْخبَ َرنِي ع َْونُ ْبنُ أ َ ِبي ُج َح ْيفَةَ قَا َل َرأَيْتُ أ َ ِبي ا‬ ُ ‫ج ْبنُ ِم ْنهَا ٍل َح َّدث َ َنا‬ ِ ‫َاج ِم ِه فَ ُك‬ ُ ‫َح َّدثَنَا َحجَّا‬ ِ ‫شت َ َرى َحجَّا ًما فَأ َ َم َر ِب َمح‬ َ‫ش َمة‬ َ َ َ َ َ ْ ْ ْ َ َّ َ َّ َ ْ َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬ ِ ‫ب األ َم ِة َولعَنَ ال َوا‬ ْ ‫ب َو َك‬ َ ‫عل ْي ِه َو‬ َ َ‫ف‬ َّ ‫صلى‬ َّ ‫سو َل‬ ُ ‫سأ َ ْلتُهُ ع َْن ذ ِلكَ قا َل إِنَّ َر‬ ِ ‫س‬ ِ ‫سل َم نهَى ع َْن ث َم ِن الد َِّم َوث َم ِن ال َكل‬ َ ‫ – رواه البخاري‬.‫الربَا َو ُمو ِكلَهُ َولَعَنَ ا ْل ُمص َِو َر‬ ِ ‫ست َ ْو‬ ْ ‫َوا ْل ُم‬ ِ ‫ش َمة َوآ ِك َل‬ “Telah menceritakan kepada kami Hajjaj bin Minhal telah menceritakan kepada kami Syu’bah berkata, telah mengabarkan kepada saya ‘Aun bin Abu Juhaifah berkata; Aku melihat Bapakku membeli tukang bekam lalu memerintahkan untuk menghancurkan alat-alat bekamnya. Kemudian aku tanyakan masalah itu. Lalu Bapakku berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang harga (uang hasil jual beli) darah, anjing, memeras budak wanita dan melarang orang yang membuat tato dan yang minta ditato dan pemakan riba’ dan yang meminjamkan riba, serta melaknat pembuat patung.” (HR. Al-Bukhari)

10. Bisnis (Jual Beli) Prostitusi Prostitusi (zina/pelacuran) merupakan salah satu penyakit masyarakat (pekat) yang sudah lama muncul dan berkembang baik secara liar maupun secara terorganisir (baca: lokalisasi). Bahkan, bisnis ini dikembangkan oleh sebagian oknum untuk meraup keuntungan finansial sebanyak

mungkin baik dengan cara yang santun maupun cara-cara pemaksaan, penculikan, penipuan dan berbagai cara yang tidak manusiawi. Pada zaman moderen, penyakit masyarakat ini semakin mengkhawatirkan karena sering dijadikan solusi oleh sebagian orang untuk mencari dan mencukupi penghidupan. Jual beli kenikmatan ini telah diharamkan dan dilaknat oleh Rasulullah saw, sebagaimana dijelaskan dalam hadisnya; ‫ان‬ َ ُ‫َّللا‬ َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬ ْ ‫ح ع َْن أَبِي َم‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬ َّ ‫سو َل‬ ُ ‫ع ْنهُ أَنَّ َر‬ َّ ‫َاري ِ َر ِض َي‬ ِ ‫سلَّ َم نَهَى ع َْن ثَ َم ِن ا ْل َك ْل‬ ِ ‫سعُو ٍد ْاأل َ ْنص‬ ِ ‫ب َو َمه ِْر ا ْلبَ ِغي ِ َو ُح ْل َو‬ ‫ – رواه البخاري‬.‫ا ْلكَا ِه ِن‬ “Dari Abu Mas’ud Al Anshariy ra. bahwa Rasulullah saw melarang uang hasil jual beli anjing, mahar seorang pezina (prostitusi) dan upah bayaran dukun.” (HR. Al-Bukhari)

11. Jual Beli Babi dan Anjing Keharaman dan kenajisan tentang dua jenis benda atau makhluk ini banyak dijumpai baik dalam al-Qur’an maupun hadis Nabi saw. Berikut ini merupakan dalil tentang kenajisan sekaligus keharaman babi dan anjing baik dalam al-Qur’an maupun hadis Nabi saw: ‫سبُ ُع إِ َّال َما‬ َ ْ‫ُح ِر َمت‬ َّ ‫َّللاِ بِ ِه َوا ْل ُم ْن َخنِقَةُ َوا ْل َم ْوقُوذَةُ َوا ْل ُمت َ َر ِديَةُ َوالنَّ ِطيحَةُ َو َما أ َ َك َل ال‬ َّ ‫ير َو َما أ ُ ِه َّل ِلغَي ِْر‬ ِ ‫علَ ْي ُك ُم ا ْل َم ْيتَةُ َوال َّد ُم َو َلحْ ُم ا ْل ِخ ْن ِز‬ َ َ 3 :‫س ُموا بِ ْاأل ْز َال ِم…… – المائدة‬ َ ‫ذَ َّك ْيت ُ ْم َو َما ذُبِ َح‬ ِ ‫ست َ ْق‬ ُ ُّ‫علَى الن‬ ْ َ ‫ب َوأ ْن ت‬ ِ ‫ص‬ “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkanjuga) mengundi nasib dengan anak panah…. “ (QS. Al-Ma’idah: 3) َ ‫سلَّ َم َفذَك ََر أَحَاد‬ ‫اء‬ َ ُ‫َّللا‬ َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬ ِ َ‫ور إِن‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫ص َّلى‬ َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫ِيث ِم ْنهَا َوقَا َل َر‬ َّ ‫صلَّى‬ َّ ‫سو ِل‬ ُ ‫ع َْن أَبِي ه َُري َْرةَ ع َْن ُم َح َّم ٍد َر‬ ُ ‫سلَّ َم َط ُه‬ ‫ – رواه مسلم‬.ٍ‫س ْب َع َم َّرات‬ ِ ‫ب ِفي ِه أَ ْن يَ ْغ‬ َ ُ‫سلَه‬ ُ ‫أ َ َح ِد ُك ْم إِذَا َولَ َغ ا ْل َك ْل‬ “Dari Abi Hurairah, Muhammad Rasulullah sawbersabda: “Sucikanlah bejana kalian apabila ia dijilat oleh anjing dengan mencucinya tujuh kali.” (HR. Muslim) Selain ayat dan hadis tersebut di atas, secara khusus tentang keharaman mengkonsumsi dan memakan hasil penjualan anjing dapat ditemukan dalam beberapa hadis Nabi saw., antara lain: ‫ – رواه‬.ِ‫ان ا ْلكَا ِه ِن َو َمه ِْر ا ْلبَ ِغي‬ َ ُ‫َّللا‬ َ ُ‫َّللا‬ َ ‫ع ْنهُ قَا َل نَهَى النَّبِ ُّي‬ ْ ‫ع َْن أَبِي َم‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫ص َّلى‬ َّ ‫سعُو ٍد َر ِض َي‬ ِ ‫سلَّ َم ع َْن ثَ َم ِن ا ْل َك ْل‬ ِ ‫ب َو ُح ْل َو‬ ‫البخاري ومسلم‬ “Dari Abu Mas’ud ra., ia berkata; Nabi saw melarang untuk memakan hasil keuntungan dari anjing, dan dukun dan pelacur (prostitusi).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

12. Jual Beli Khamar dan Obat Terlarang Salah satu jenis jual beli yang dilarang adalah Jual beli khamar dan sejenisnya. Mengkonsumsi barang-barang terlarang ini telah disebutkan secara tegas baik dalam al-Qur’an maupun hadis Nabi saw. Ketika Allah dan Rasulnya melarang mengkonsumsi sesuatu, maka sesuatu itupun dilarang untuk diperjual belikan, sebab memakan hasil penjualan barang haram sama dengan mengkonsumsinya. Adapun ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang keharaman mengkonsumsi khamar dan sejenisnya antara lain; 219 :‫اس َو ِإثْ ُم ُه َما أ َ ْك َب ُر ِم ْن نَ ْف ِع ِه َما – البقرة‬ ْ ‫َي‬ ِ َّ‫يه َما ِإثْم َك ِبير َو َمنَا ِف ُع ِللن‬ ِ ‫سأَلُونَكَ ع َِن ا ْل َخ ْم ِر َوا ْل َم ْيس ِِر قُ ْل ِف‬ “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah; pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya….” (QS. Al-Baqarah: 219) 90 :‫ان فَاجْ تَنِبُوهُ لَعَلَّ ُك ْم ت ُ ْف ِل ُحونَ – المائدة‬ َّ ‫ع َم ِل ال‬ َ ‫َاب َو ْاأل َ ْز َال ُم ِرجْ س ِم ْن‬ ُ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َ َمنُوا إِنَّ َما ا ْل َخ ْم ُر َوا ْل َم ْيس ُِر َو ْاأل َ ْنص‬ ِ ‫ش ْي َط‬ “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkurban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syetan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Ma’idah: 90) Sedangkan hadis Nabi yang melarang dan melaknat bisnis dan mengkonsumsi khamar antara lain; ‫اس‬ َ َّ‫س ِج ِد فَقَ َرأَهُن‬ َ ُ‫َّللا‬ َ ‫الر َبا َخ َر َج النَّ ِب ُّي‬ ْ ‫سلَّ َم ِإلَى ا ْل َم‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ِ ‫ع َلى ال َّن‬ َّ ‫صلَّى‬ ُ ‫ع َْن عَا ِئشَةَ قَالَتْ لَ َّما أ ُ ْن ِزلَتْ ْاْليَاتُ ِم ْن‬ َ ‫س‬ ِ ‫ور ِة ا ْل َبقَ َر ِة ِفي‬ ُ ْ َ ‫ – رواه البخاري‬.‫جَارة ال َخ ْم ِر‬ َ ِ‫ث َّم ح ََّر َم ت‬ “Dari ‘Aisyah berkata; Ketika turun ayat-ayat dalam Surah al-Baqarah tentang masalah riba, Nabi saw keluar ke masjid lalu membacakan ayat-ayat tersebut kepada manusia. Kemudian beliau mengharamkan perdagangan khamar.” (HR. Al-Bukhari) ُ ‫َّللاِ ا ْل َغافِ ِقي ِ َوأَبِي‬ ْ‫سلَّ َم لُ ِعنَت‬ َ ُ‫َّللا‬ َ ‫الرحْ َم ِن ب ِْن‬ َ ‫ع َْن‬ ُ َ‫س ِمعَا ا ْبن‬ َ ‫َّللا‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ِ َّ ‫سو ُل‬ َ ‫ط ْع َمةَ َم ْو َال ُه ْم أَنَّ ُه َما‬ َّ ‫صلَّى‬ ُ ‫ع َم َر يَقُو ُل َقا َل َر‬ َّ ‫ع ْب ِد‬ َّ ‫ع ْب ِد‬ َ ‫َام ِلهَا َوا ْل َمحْ ُمولَ ِة إِلَ ْي ِه َوآ ِك ِل ث َ َمنِهَا َوش َِار ِبهَا‬ َ ‫علَى‬ َ ‫ا ْل َخ ْم ُر‬ ِ ‫َاص ِر َها َو ُم ْعت َ ِص ِر َها َو َبائِ ِعهَا َو ُم ْبتَا ِعهَا َوح‬ ِ ‫عش َْر ِة أ ْو ُج ٍه ِبعَ ْينِهَا َوع‬ ‫ساقِيهَا‬ َ ‫و‬. َ – ‫رواه الترميذي و إبن ماجة‬ “Dari Abdurrahman bin Abdullah Al Ghafiqi dan Abu Thu’mah bekas budak mereka, keduanya mendengar Ibnu Umar berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Khamer dilaknat atas sepuluh bagian; dzatnya, yang memerasnya, yang minta diperaskan, penjualnya, yang minta dibelikan, yang membawanya, yang minta dibawakannya, yang memakan hasil penjualannya, peminumnya dan yang menuangkannya, “ (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)

JUAL BELI YANG DIPERBOLEHKAN DALAM ISLAM

Beberapa bentuk jual beli yang diperbolehkan dalam hukum (fikih) Islam, yaitu Bai’ al-Sil’ah bi al-Naqd, Bai’ al-Muqayadhah, Bai’ al-Salam, Bai’ al-Murabahah, Bai’ al-Wadhiah, Bai’ alTauliah, Bai’ al-Inah, Bai’ al-Istishna’, dan Bai’ al-Sharf. Di bawah ini akan diurakan mengenai pengertian dan contoh-contoh dari bentuk jual beli tersebut. 1. Bai’ al-Sil’ah bi al-Naqd (‫)بيع السلعة بالنقد‬ Bai’ al-Sil’ah bi al-Naqd yaitu menjual suatu barang dengan alat tukar resmi atau uang. Jenis jual beli ini termasuk salah satu jenis jual beli yang paling banyak dilakukan dalam masyarakat dewasa ini. Contoh Bai’ al-Sil’ah bi al-Naqd adalah membeli pakaian atau makanan dengan uang rupiah sesuai dengan harga barang yang telah ditentukan.

2. Bai’ al-Muqayadhah (‫)بيع المقايضة‬ Bai’ al-Muqayadhah yaitu jual beli suatu barang dengan barang tertentu atau yang sering disebut dengan istilah barter. Jenis jual beli ini tidak hanya terjadi pada zaman dulu saja, namun juga masih menjadi salah satu pilihan masyarakat dewasa ini. Hal sangat prinsip yang harus diperhatikan dalam menjalankan jenis jual beli ini adalah memperhatikan aspek-aspek yang terkait dengan etika berbisnis dalam Islam. Selain itu, prinsip lain yang juga harus diperhatikan adalah hal-hal yang dapat menimbulkan kerugian di antara kedua belah pihak serta tidak memunculkan aspek ribawi, terutama terkait dengan penukaran (barter) antara dua barang sejenis dengan perbedaan ukuran dan harga. Contoh Bai’ al-Muqayadhah adalah menukar beras dengan jagung, pakaian dengan tas, atau binatang ternak dengan barang tertentu lainnya.

3. Bai’ al-Salam (‫)بيع السلم‬ Bai’ al-Salam yaitu jual beli barang dengan cara ditangguhkan penyerahan barang yang telah dibayar secara tunai. Praktik jual beli jenis ini dapat digambarkan dengan seorang penjual yang hanya membawa contoh atau gambar suatu barang yang disertai penjelasan jenis, kualitas dan harganya, sedangkan barang yang dimaksudkan tidak dibawa pada saat transaksi terjadi. Jenis jual beli ini termasuk jual beli yang dibolehkan dalam Islam, selama dilakukan dengan suka rela dan tetap memperhatikan hak dan tanggung jawab masing-masing pihak. Dengan ketentuan ini, maka tidak ada pihak yang dirugikan setelah salah satu pihak (pembeli) menyerahkan sejumlah uang kepada pihak yang lain (penjual/sales). Contoh Bai’ al-Salam adalah membeli perabotan rumah tangga, seperti kursi, meja atau almari dari seorang sales yang menawarkan barang dengan membawa contoh gambar/foto barang. Selanjutnya, barang itu dikirimkan kepada pembeli setelah dibayar terlebih dahulu. Contoh

lainnya adalah jual beli barang yang dipajang melalui media atau jaringan internet (iklan). Calon pembeli mentransfer sejumlah uang kepada penjual sesuai harga barang, kemudian barang baru dikirim kepada pembeli.

4. Bai’ al-Murabahah (‫)بيع المرابحة‬ Bai’ al-Murabahah yaitu menjual suatu barang dengan melebihi harga pokok, atau menjual barang dengan menaikkan harga barang dari harga aslinya, sehingga penjual mendapatkan keuntungan sesuai dengan tujuan bisnis (jual beli). Tatkala seseorang menjual barang, ia harus mempertimbangkan kemampuan daya beli masyarakat, lebih-lebih hal itu untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Dengan demikian, mematok keuntungan yang terlalu tinggi dapat menyulitkan kebutuhan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokok. Dalam menentukan besaran keuntungan, maka seorang penjual harus memiliki pertimbangan antara aspek komersial dan sosial untuk saling ta’awun (saling menolong). Pada titik ini, bisnis yang dijalankannya memiliki dua keuntungan sekaligus, yaitu finansial dan sosial. Dalam agama Islam sering disebut “fiddun–ya hasanah wa fil akhirati khasanah (kebahagiaan dunia dan akhirat)”. Contoh Bai’ al-Murabahah adalah menjual baju yang harga aslinya Rp. 35.000,- menjadi Rp.40.000,-. Dengan demikian, penjual mendapatkan keuntungan sebesar Rp. 5000,-.

5. Bai’ al-Wadhiah (‫)بيع الوضيعة‬ Bai’ al-Wadhiah yaitu kebalikan dari jual beli Murabahah, yaitu menjual barang dengan harga yang lebih murah dari harga pokoknya. Sebagai contoh misalnya, seorang menjual hand phone (HP) yang baru dibelinya dengan harga Rp.500.000,- Namun karena adanya kebutuhan tertentu, maka ia menjual HP tersebut dengan harga Rp. 450.000,. Praktik jual beli seperti ini diperbolehkan dalam Islam, selama hal itu dibangun atas prinsip saling rela (‘an–taradin), dan bukan karena paksaan.

6. Bai’ al-Tauliah (‫)بيع التولية‬ Bai’ al-Tauliah yaitu jual beli suatu barang sesuai dengan harga pokok, tanpa ada kelebihan atau keuntungan sedikitpun. Praktik jual beli seperti ini digambarkan dengan seseorang yang membeli sebuah motor baru dengan harga Rp. 13.500.000. Mengingat ia memiliki kebutuhan lainnya yang lebih penting atau pertimbangan tertentu, maka motor tersebut dijual dengan harga yang sama Sepintas, jenis jual beli ini terkesan bertentangan atau menyalahi prinsip dan tujuan jual beli pada umumnya, yaitu untuk mencari keuntungan finansial dalam rangka memenuhi kebutuhan

hidup (ma’isyah) seseorang. Namun perlu difahami bahwa biasanya praktik jual beli al-tauliyah dapat terjadi secara kasuistis karena adanya suatu kondisi tertentu, sehingga ia rela menjual barang yang dimilikinya sesuai harga pokok dan tanpa bermaksud untuk mencari keuntungan sedikitpun. Jual beli semacam ini termasuk hal yang diperbolehkan dalam Islam, selama dibangun di atas prinsip saling merelakan (‘an–Taradhin), dan tidak terdapat unsur paksaan serta kezaliman.

7. Bai’ al-Inah (‫)بيع العينة‬ Bai’ al-Inah yaitu jual beli yang terjadi antara dua belah pihak (penjual dan pembeli), di mana seseorang menjual barangnya kepada pihak pembeli dengan harga tangguh lebih tinggi, dan menjual dengan harga lebih murah jika dibayar secara tunai (cash). Dalam fikih Islam, jenis jual beli seperti ini sering juga disebut dengan “al-bai’ bitsamanin ‘ajil” atau jual beli dengan sistem kredit, atau jual beli dengan pembayaran yang ditangguhkan. Jenis jual beli ini hukumnya Mubah (boleh), dengan syarat, penjual harus memperhatikan hakhak pembeli, penentuan harga yang wajar, dan tidak ada kezaliman. Dengan demikian, terdapat unsur saling tolong-menolong di antara penjual dan pembeli untuk menyediakan dan melonggarkan kesulitan masing-masing pihak. Seorang penjual membantu menyediakan barang bagi calon pembeli sesuai kemampuan daya beli dengan memberikan waktu sesuai kesepakatan. Di sisi lain, penjual juga tidak diperkenankan untuk mencari kesempatan dalam kesempitan dengan memanfaatkan ketidakmampuan ekonomi calon pembeli demi mencari keuntungan semaksimal mungkin. Jika hal ini terjadi, maka pembeli akan merasa terpaksa mengikuti sistem yang ditetapkan penjual, karena kebutuhannya yang mendesak terhadap barang tertentu. Dalam praktik sehari-hari, tidak sedikit orang yang mengkreditkan barang dengan melakukan penyitaan (mengambil kembali) barang yang telah dikreditkan karena pembeli belum sanggup melunasi sesuai batas waktu yang telah ditentukan tanpa memberikan toleransi atau penambahan waktu. Sistem seperti ini tentu merupakan bentuk kezaliman terhadap orang lain yang sangat dibenci dan dilarang oleh ajaran Islam.

8. Bai’ al-Istishna’ (‫)بيع االستصناع‬ Bai’ al-Istishna’ yaitu jenis jual beli dalam bentuk pemesanan (pembuatan) barang dengan spesifikasi dan kriteria tertentu sesuai keinginan pemesan. Pemesan barang pada umumnya memberikan uang muka sebagai bentuk komitmen dan keseriusan. Setelah terjadinya akad atau kesepakatan tersebut, kemudian penjual memproduksi barang yang dipesan sesuai kriteria dan keinginan pemesan. Bentuk jual beli ini sepintas memiliki kemiripan dengan jual beli Salam (bai’ al-Salam), namun tetap terdapat perbedaan. Di dalam jual beli Salam, barang yang ditransaksikan sesungguhnya

sudah ada, namun tidak dibawa pada saat terjadinya jual beli. Penjual (salesman) hanya membawa foto atau contoh barang (sample) saja, kemudian diserahkan kepada pembeli setelah terjadinya kesepakatan di antara mereka. Sedangkan dalam jual beli istishna’, barang yang diperjual-belikan belum ada dan belum diproduksi. Barang itu baru dibuat setelah terjadinya kesepakatan di antara penjual dan pembeli sesuai kriteria dan jenis barang yang dipesan. Contoh Bai’ al-Istishna’ adalah pemesanan pembuatan kursi, almari dan lain sebagainya kepada pihak produsen barang. Jenis jual beli seperti ini diperbolehkan dalam Islam, sekalipun barang yang diperjual belikan belum ada, asalkan dibangun di atas prinsip saling merelakan (‘an– taradhin), transparan (tidak manipulatif), memegang amanah, serta sanggup menyelesaikan pesanan sesuai kesepakatan yang telah diputuskan bersama.

9. Bai’ al-Sharf (‫)بيع الصرف‬ Bai’ al-Sharf yaitu jual beli mata uang dengan mata uang yang sama atau berbeda jenis (currency exchange), seperti menjual rupiah dengan dolar Amerika, rupiah dengan rial dan sebagainya. Jual beli mata uang dalam fikih kontemporer disebut “tijarah an-naqd” atau “alittijaar bi al-‘umlat”. Abdurrahman al-Maliki mendefinisikan bai’ al-sharf sebagai pertukaran harta dengan harta yang berupa emas atau perak, baik dengan sesama jenis dan jumlah yang sama, maupun dengan jenis yang berbeda dan jumlah yang sama ataupun tidak. Menurut para ulama, hukum jual beli mata uang adalah Mubah (boleh), selama memenuhi syarat-syarat tertentu sebagaimana dijelaskan dalam hadits Nabi Muhammad SAW berikut: َّ ‫ب َوا ْل ِفضَّةُ بِا ْل ِف‬ ‫ستَ َزا َد‬ َّ ‫ير بِال‬ َّ ‫ض ِة َوا ْلبُ ُّر بِا ْلبُ ِر َوال‬ ْ ‫ير َوالت َّ ْم ُر بِالت َّ ْم ِر َوا ْل ِم ْل ُح ِبا ْل ِم ْلحِ ِمثْالً بِ ِمثْ ٍل يَدًا بِيَ ٍد فَ َم ْن َزا َد أَ ِو ا‬ ُ ‫الذَّ َه‬ ُ ‫ش ِع‬ ِ ‫ب بِالذَّ َه‬ ِ ‫ش ِع‬ ‫ – رواه مسلم‬.‫س َواء‬ ِ ‫فَقَ ْد أ َ ْر َبى‬ َ ‫اْلخذُ َوا ْل ُم ْع ِطى فِي ِه‬ “Emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, (takaran/timbangannya) harus sama dan kontan. Barangsiapa yang menambah atau meminta tambahan maka ia telah berbuat riba, pemberi dan penerima dalam hal ini sama” [HR. Muslim]. Dalam hadits lain, dijelaskan: َ ‫شفُّوا بَ ْع‬ ‫شفُّوا‬ َ ‫ضهَا‬ ِ ُ ‫ َوالَ ت‬، ‫ق إِالَّ ِمثْالً بِ ِمثْ ٍل‬ ِ ُ ‫ َوالَ ت‬، ‫ب إِالَّ ِمثْالً ِب ِمثْ ٍل‬ َ ‫ َوالَ تَبِيعُوا ا ْل َو ِر‬، ‫ض‬ ٍ ‫ع َلى بَ ْع‬ َ ‫الَ تَبِيعُوا الذَّ َه‬ ِ ‫ب بِالذَّ َه‬ ِ ‫ق ِبا ْل َو ِر‬ َ ‫ َوالَ ت َ ِبي ُعوا ِم ْنهَا‬، ‫ض‬ َ ‫بَ ْع‬ ‫ – رواه البخاري ومسلم‬.‫اج ٍز‬ َ ‫ضهَا‬ ٍ ‫ع َلى بَ ْع‬ ِ ‫غا ِئ ًبا ِب َن‬ “Janganlah engkau menjual emas ditukar dengan emas melainkan sama dengan sama, dan janganlah engkau melebihkan salah satunya dibanding lainnya. Janganlah engkau menjual perak ditukar dengan perak melainkan sama dengan sama, dan janganlah engkau melebihkan salah satunya dibanding lainnya. Dan janganlah engkau menjual salah satunya diserahkan secara kontan ditukar dengan lainnya yang tidak diserahkan secara kontan” [HR. al-Bukhari dan Muslim].

Sekalipun kedua hadits tersebut berbicara tentang jual beli atau pertukaran emas dan perak, namun hukumnya berlaku pula untuk mata uang saat ini. Hal ini tidak lain karena sifat yang ada pada emas dan perak saat itu sama dengan uang saat ini, yaitu sebagai alat tukar atau uang (alnuqud). Menurut para ulama fikih, termasuk Majelis Ulama Indonesia, transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Tidak untuk spekulasi (untung-untungan); 2. Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan); 3. Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis, maka nilainya harus sama dan secara tunai (at-taqabudh); 4. Apabila berlainan jenis, maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi dilakukan dan secara tunai.

Khiyar merupakan salah satu hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam melaksanakan berbagai aktifitas bisnis, khususnya dalam persoalan jual beli. Saking pentingnya persoalan ini, maka para ulama fikih (fuqaha’) membahasnya secara panjang lebar dalam pembahasan tersendiri atau setidaknya dalam sub pembahasan tersendiri pada bab buyu’ (jual beli). Atas dasar itulah, maka dalam pembahasan kali ini, penulis membahas persoalan khiyar baik dari aspek definisi khiyar, dasar hukumnya, klasifikasinya, problematikanya, dampaknya serta hikmah disyari’atkannya khiyar. Dalam praktiknya, tidak sedikit orang merasa gelo (menyesal) dalam melakukan transaksi jual beli. Penyesalan tersebut dapat terjadi baik di pihak penjual maupun pihak pembeli. Penyesalan umumnya dapat diakibatkan oleh tidak adanya transparansi, tekhnik penjualan yang tidak oftimal sampai persoalan kualitas barang yang ditransaksikan tidak sesuai dengan harapan, baik karena kesengajaan pihak penjual maupun karena ketidak cermatan, kurang hati-hati (tergesa-gesa) atau faktor-faktor lainnya dari pihak pembeli. Padahal salah satu prinsip pokok dalam transaksi jual beli adalah harus didasari oleh sikap saling suka atau saling ridha (Innamal bai’ ‘an taradin; hanya saja jual beli harus didasari saling meridhai) sebagaimana dijelaskan dalam hadis Nabi. Atas dasar itulah, agama memberi kesempatan kepada kedua belah pihak yang melakukan transaksi atau akad jual beli untuk memilih antara dua kemungkinan, yaitu melangsungkan transaksi (akad) jual beli atau membatalkannya, atau yang sering disebut dengan khiyar.

Pengertian Khiyar Secara lughah (bahasa), khiyar berarti; memilih, menyisihkan atau menyaring. Secara semantik kebahasaan, kata khiyar berasal dari kata khair yang berarti baik. Dengan demikian khiyar dalam pengertian bahasa dapat berarti memilih dan menentukan sesuatu yang terbaik dari dua hal (atau

lebih) untuk dijadikan pegangan dan pilihan. Sedangkan menurut istilah, khiyar adalah; hak yang dimiliki seseorang yang melakukan perjanjian usaha (jual-beli) untuk menentukan pilihan antara meneruskan perjanjian jual-beli atau membatalkannya.

Macam-Macam Khiyar Khiyar dalam transaksi atau akad jual beli – sebagaimana dijelaskan oleh Wahbah Az-Zuhaili dalam kitabnya “Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu”, banyak sekali ragamnya. Ulama Hanafiyah membagi khiyar menjadi 17 macam, dan ulama Hanabilah membaginya menjadi 8 (delapan) macam, yaitu; Khiyar Masjlis, Khiyar Syarat, Khiyar Ghubn, Khiyar Tadlis, Khiyar Aib, Khiyar Takhbir Bitsaman, Khiyar bisababi takhaluf, dan Khiyar ru’yah. Sementara Ulama Malikiyah membagi khiyar menjadi 2 (dua) macam (khiyar mutlak dan khiyar naqishah), yakni apabila terdapat kekurangan atau aib pada barang yang dijual. Sedangkan Ulama Syafi’iyah berpendap bahwa khiyar terbagi dua; Pertama, khiyar at-tasyahhi, yakni khiyar yang menyebabkan pembeli memperlamakan transaksi sesuai dengan seleranya terhadap barang, baik dalam majlis maupun syarat. Kedua, khiyar naqhisah yang disebabkan adanya perbedaan dalam lafazh atau adanya kesalahan dalam pembuatan atau pergantian. (Lihat Al-Fiqhu Al-Islami Wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhaili, Juz. IV, hlm. 519-522, Damaskus, Dar Al-Fikri, cet. Ke-2 th.1985). Agar tulisan ini dapat menjadi sebuah tuntunan praktis, maka dari berbagai pembagian khiyar sebagaimana dikemukakan oleh para ulama tersebut di atas, di sini hanya dibahas tiga macam khiyar yang umumnya dijelaskan dalam kitab-kitab fikih mu’tabar dan banyak dilakukan dalam praktek jual-beli masyarakat. Ketiga macam khiyar tersebut adalah; Khiyar Majlis, Khiyar Syarat dan Khiyar Aib.

Pertama: Khiyar Majlis (Hak Pilih di Lokasi Perjanjian) Pengertian khiyar majlis adalah; hak untuk memilih bagi pihak-pihak yang melakukan transaksi atau perjanjian jual-beli, antara melanjutkan atau membatalkan transaksi/perjanjian selama masih berada dalam majlis akad (seperti; di toko, kios, pasar dan sebagainya). Atau, khiyar majlis adalah; kebebasan untuk memilih bagi pihak penjual dan pembeli untuk melangsungkan jual beli atau membatalkannya selama masih berada ditempat jual beli. Apabila kedua belah pihak telah terpisah dari majlis maka hilanglah hak khiyar sehingga perubahan dalam jual beli itu tidak bisa dilakukan lagi. Dalam ungkapan yang paling sederhana, khiar Majlis adalah tawar menawar antara penjual dan pembeli pada saat mereka masih berada di tempat transaksi, yang menyebabkan terjadinya jual beli atau sebaliknya. Dampak dari khiyar majlis adalah, transaksi jual beli dinilai sah dan mengikat secara hukum semenjak disepakatinya akad jual beli hingga mereka berpisah, selama mereka berdua tidak

mengadakan kesepakatan untuk tidak ada khiyar, atau kesepakatan untuk menggugurkan hak khiyar setelah dilangsungkannya akad jual beli. Landasan Hukum Khiyar Majlis Landasan dasar disyariatkannya khiyar ini berdasarkan hadis-hadis Nabi saw., antara lain: ‫اح ٍد ِم ْن ُه َما ِبا ْل ِخيَ ِار َما لَ ْم يَتَ َف َّر َقا َوكَا َنا ج َِم ْيعًا‬ َ ‫ص َّلى هللا‬ ُ ‫ع َِن اب ِْن‬ َ ‫س ْو ِل هللا‬ ِ ‫الر ُجالَ ِن فَ ُك ُّل َو‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ُ ‫ع َم َر ع َْن َر‬ َّ ‫ إِذَا ت َ َبايَ َع‬:َ‫سلَّ َم أَنَّهُ قَال‬ َ َ َ َ َ َ َ ‫احد ِم ْن ُه َما‬ َ ‫أ َ ْو يُ َخ ِي ُر أ َ َح ُد ُه َما ْاْل َخ َر ف ِإ ْن َخيَّ َر أ َح ُد ُه َما اْل َخ َر فتَبَايَ َعا‬ ِ ‫َب ا ْلبَ ْي َع َوإِ ْن ت َ َف َّرقا بَ ْع َد أ ْن تَ َبايَعَا َولَ ْم يَتْ ُركْ َو‬ َ ‫ع َلى ذ ِلكَ ف َق ْد َوج‬ ‫ – رواه البخاري ومسلم‬.‫َب ا ْل َب ْي َع‬ َ ‫ا ْل َب ْي َع فَقَ ْد َوج‬ “Dari Ibnu Umar ra. dari Rasulullah saw, bahwa beliau bersabda, “Apabila ada dua orang melakukan transaksi jual beli, maka masing-masing dari mereka (mempunyai) hak khiyar, selama mereka belum berpisah dan mereka masih berkumpul atau salah satu pihak memberikan hak khiyarnya kepada pihak yang lain. Namun jika salah satu pihak memberikan hak khiyar kepada yang lain lalu terjadi jual beli, maka jadilah jual beli itu, dan jika mereka telah berpisah sesudah terjadi jual beli itu, sedang salah seorang di antara mereka tidak (meninggalkan) jual belinya, maka jual beli telah terjadi (juga).” (HR. Al.Bukhari dan Muslim) ‫ ا ْل َب ِيعَا ِن ِبا ْل ِخيَ ِار َما لَ ْم َيتَفَ َّرقَا إِالَّ أَ ْن‬:َ‫سلَّ َم َقال‬ َ ‫ص َّلى هللا‬ َ ‫ع َْن‬ ُ ُ‫ع ْم ُرو ا ْبن‬ َ ِ‫س ْو َل هللا‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ُ ‫ أَنَّ َر‬:َ‫ب ع َْن أ َ ِب ْي ِه ع َْن ج َِد ِه قَال‬ ٍ ‫شعَ ْي‬ َ َ َ َ َ َ ْ َ َ َ َ ُ َ ْ ُ ْ ُ َ َ‫ُون‬ ْ ‫ست ِقيله – رواه الترميذى والنسائي‬ ‫تك‬ َ ِ ‫صفقة ِخ َي ٍار َوال يَ ِح ُّل له أن يُف ِارقَ ص‬ ْ َ‫َاحبَه خشيَة أن ي‬ “Dari Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya, bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “Pembeli dan penjual (mempunyai) hak khiyar selama mereka belum berpisah, kecuali jual beli dengan akad khiyar, maka seorang di antara mereka tidak boleh meninggalkan rekannya karena khawatir dibatalkan.” (HR. Tirmidzi dan Nasa’i).

Kedua: Khiyar Syarat (Hak Pilih Berdasarkan Persyaratan) Khiyar Syarat yaitu, khiyar yang dijadikan syarat pada waktu akad jual beli, artinya pembeli atau penjual memilih antara meneruskan atau membatalkan transaksi sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan. Setelah hari yang ditentukan itu tiba, maka jual beli itu harus dipastikan apakah dilanjutkan atau tidak. Dalil yang dijadikan dasar disyariatkan (kebolehan) khiyar Syarat adalah hadis yang diriwayatkan imam al-Bukhari, Musllim, Nasa’i dan Abu Dawud: ‫َّللاِ صلى هللا عليه وسلم َقا َل‬ َ ‫ع َْن‬: ‫ص َد َقا‬ ِ ‫َار‬ َ ‫ان ِبا ْل ِخ َي ِار َما َل ْم َي ْفتَ ِر َقا َف ِإ ْن‬ َّ ‫سو َل‬ ُ ‫يم ب ِْن ِح َز ٍام أَنَّ َر‬ َّ ‫ع ْب ِد‬ ِ ‫ث ع َْن َح ِك‬ ِ ‫َّللاِ ب ِْن ا ْلح‬ ِ ‫ا ْل َب ِي َع‬ ُ َ َ َ َ َ ْ َ َ َ ‫ – رواه أبو داود‬.‫ار‬ ِ ‫وركَ ل ُه َما فِى بَ ْي ِع ِه َما َوإِ ْن َكت َ َما َو َكذبَا ُم ِحق‬ ُ ‫ قا َل أبُو د‬.‫ت البَ َركَة ِم ْن بَ ْي ِع ِه َما‬ َ َ‫َاو َد َحتَّى َيتَف َّرقا أ ْو يَ ْخت‬ ِ ُ‫َوبَيَّنَا ب‬ “Dari Abdillah bin al-Harits, dari Hakim bin Hizam bahwasanya Rasulullah saw bersabda: Dua orang yang melakukan jual beli mempunyai hak khiyar dalam jual belinya selama mereka belum berpisah,jika keduanya jujur dan keduanya menjelaskannya (transparan), niscaya diberkahi dalam jual beli mereka berdua, dan jika mereka berdua menyembunyikan atau berdusta, niscaya

akan dicabut keberkahan dari jual beli mereka berdua. Abu Dawud berkata “sehingga mereka berdua berpisah atau melakukan jual beli dengan akad khiyar.” (HR. Al-Bukhari-Muslim dan imam ahli hadis lainnya) َّ‫َاح ِب ِه َما لَ ْم يَتَفَ َّر َقا إِال‬ َ ‫اح ٍد ِم ْن ُه َما ِبا ْل ِخيَ ِار‬ َ ‫صلَّى هللا‬ ُ ‫ع َْن نَافِ ٍع ع َْن اب ِْن‬ َ ‫س ْو َل هللا‬ ِ ‫علَى ص‬ ِ ‫ان ُك ُّل َو‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ُ ‫ أَنَّ َر‬: ‫ع َم َر‬ ِ َ‫ اَ ْلبَ ِيع‬:َ‫سلَّ َم قَال‬ ْ ‫بَ ْي َع ال ِخيَ ِار – رواه مسلم‬ “Dari Nafi’ dari Ibnu Umar; bahwasanya Rasulullah saw bersabda: Dua orang yang melakukan jual beli, masing-masing mereka memiliki hak untuk memilih atas saudaranya (teman akadnya) selama mereka berdua belum berpisah kecuali jual beli dengan menggunakan akad khiyar.” (HR. Muslim). َ َ‫س ْلعَ ٍة ا ْبت َ ْعتَهَا بِا ْل ِخ َي ِار ثَال‬ ْ‫سك‬ َ ‫صلَّى هللا‬ ِ ‫ث لَيَا ٍل فَ ِإ ْن َر ِضيتَ َفأ َ ْم‬ َ ‫قَا َل النَّبِ ُّي‬ ِ ‫ ث ُ َّم أ َ ْنتَ فِى ك ُِل‬.َ‫ ِإذَا أ َ ْنتَ بَايَ ْعتَ فَقُ ْل الَ ِخالَبَة‬:‫سلَّ َم‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ‫ – رواه ابن ماجه‬.‫َاح ِبهَا‬ َ ‫ار ُد ْد َها‬ ِ ‫علَى ص‬ َ ‫َو ِإ ْن‬ ْ َ‫س ِخ ْطتَ ف‬ “ Nabi saw bersabda: Apabila kamu menjual maka katakanlah dengan jujur dan jangan menipu. Jika kamu membeli sesuatu maka engkau mempunyai hal pilih selama tiga hari, jika kamu rela maka ambillah, tetapi jika tidak maka kembalikan kepada pemiliknya.” (HR. Ibnu Majah) Secara faktual, khiyar syarat sebagaimana dijelaskan di atas sangat dibutuhkan oleh seseorang dengan berbagai alasan dan pertimbangan, sehingga kedua belah pihak merasa nyaman dan hakhak mereka terlindungi. Namun, terkait dengan batas maksimal waktu kebolehan khiyar Syarat, terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Dalam hal ini pendapat para ulama dapat dikategorikan menjadi tiga pendapat: Pertama: Mazhab Hanafi, Syafi’i dan Zhahiri berpendapat; bahwa tidak boleh bagi kedua belah pihak yang berakad atau salah satunya untuk memberikan syarat lebih dari tiga hari untuk jenis barang apa saja. Jika keduanya atau salah satunya menyaratkan lebih dari tiga hari, maka akadnya menjadi rusak (tidak sah). Kedua: Mazhab Hambali, Al-Auza’i dan sebagian ulama Hanafi berpendapat; kedua belah pihak boleh mensyaratkan lebih dari tiga hari asalkan penjual merelakannya (ridha). Sedangkan yang ketiga; Madzhab Maliki berpendapat; bahwa tempo khiyar berbeda-beda berdasarkan perbedaan barang yang dijual apakah ia termasuk barang yang perlu ada khiyar untuk mencari informasi atau meminta pendapat keluarga atau pihak yang ahli di bidangnya, seperti dalam satu, dua atau tiga hari untuk memilih baju, satu bulan untuk membeli tanah, semuanya ditetapkan berdasarkan keperluan dan pertimbangan barang yang dijual. Dari ketiga pendapat ulama’ tersebut, tentu yang paling realistis adalah gabungan dari pendapat yang kedua dan ketiga, yaitu kebolehan untuk melakukan hak khiyar disesuaikan dengan keperluan dan pertimbangan barang serta keridhaan dari pihak penjual. Jika tengggang waktu khiyar yang disyaratkan habis tanpa pernah terjadi penolakan atau meneruskan akad pada saat tenggang waktu masih tersisa, maka khiyar dianggap gugur, sebab ia terbatas dengan tenggang waktu tertentu, dan sesuatu yang dibatasi dengan batas waktu (limits) tertentu maka ia dianggap habis jika masa itu tiba.

Perbedaan dan Persamaan antara Khiyar Syarat dan Garansi Jika mencermati pengertian, tujuan dan maksud disyariatkannya khiyar Syarat, maka dapat difahami bahwa antara khiyar Syarat dan garansi memiliki perbedaan yang cukup mendasar sekalipun dalam hal tertentu memiliki sisi kesamaan. Perbedaan mendasarnya adalah; bahwa Khiyar Syarat merupakan suatu transaksi antara penjual dan pembeli yang dapat menyebabkan terjadinya pembatalan transaksi jual beli sesuai dengan kesepakan kedua belah pihak. Sedangkan garansi umumnya merupakan salah satu bentuk pelayanan pihak penjual untuk menjamin kualitas barang, dimana selama waktu yang telah ditentukan, penjual memberikan perawatan terhadap barang yang telah dijual jika terjadi sesuatu, baik menyangkut perawatan maupun kerusakan dan tidak berakibat pada pembatalan transaksi jual beli. Adapun persamaannya adalah, baik khiyar Syarat maupun sistem garansi, sama-sama memiliki motif untuk menjamin hak-hak mereka (penjual dan pembeli) sehingga mereka tidak merasa dirugikan dan terciptanya kepuasan dan saling ridha antara mereka berdua sesuai dengan spirit yang diajarkan oleh Rasulullah saw “Innamal bai’ ‘an taradhin” (hanya saja jual beli harus atas dasar saling meridhai).

Ketiga: Khiyar ‘Aib (Hak Pilih karena Cacat Barang) Yang dimaksud dengan khiyar ‘aib adalah; hak untuk memilih antara membatalkan atau meneruskan akad jual beli apabila ditemukan kecacatan (aib) pada obyek (barang) yang diperjualbelikan, sedang pembeli tidak mengetahui adanya kecacatan pada saat akad berlangsung. Atau dengan kata lain, jika seseorang membeli barang yang mengandung kecacatan dan ia tidak mengetahuinya hingga si penjual dan si pembeli berpisah, maka pihak pembeli berhak mengembalikan barang dagangan tersebut kepada penjualnya, dengan meminta ganti barang yang baik atau meminta kembali uangnya, atau sesuai dengan perbandingan kerusakan dan harganya. Dalam khiyar ‘aib, pembeli memiliki dua pilihan (hak khiyar) apakah ia rela dan puas terhadap barang yang dibelinya ataukah tidak. Jika pembeli rela dan merasa puas dengan kecacatan yang ada pada barang, maka khiyar tidak berlaku baginya dan ia harus menerima barang yang telah dibelinya tersebut. Namun jika ia menolak dan mengembalikan barang kepada pemiliknya, maka akad tersebut menjadi batal. Konsekwensinya, bagi penjual harus menerima pengembalian barang tersebut jika kecacatannya murni dari pihak penjual (cacat bawaan) dan bukan karena kelalaian ata kesalahan pembeli seperti akibat terjatuh dan lainnya. Dalam hal mengembalikan barang yang cacat tersebut, pihak pembeli hendaknya mengembalikannya dengan segera tanpa menunda-nunda. Karena menunda-nunda waktu pengembalian – terlebih lagi dalam waktu yang cukup lama – merupakan salah satu bentuk melalaikan tanggung jawab, sehingga ia dapat dianggap rela terhadap barang yang cacat, kecuali karena ada halangan yang dapat dibenarkan dan dimaklumi bersama.

Dasar Hukum Disyariatkan Khiyar ‘Aib Dasar hukum disyari’atkannya khiyar aib dapat dijumpai penjelasannya dalam berbagai hadis Nabi saw, antara lain hadis yang diriwayatkan oleh imam Ahmad, Ibnu Majah, ad-Daruqutni, alHakim dan at-Thabrani dari Uqbah bin Amir ra.: ‫ع ِم ْن أ َ ِخي ِه بَ ْيعًا فِي ِه َعيْبٌ ِإالَّ بَ َّينَهُ لَهُ (رواه أحمد وابن‬ َ ‫ ْال ُم ْس ِل ُم أ َ ُخو ْال ُم ْس ِل ِم َوالَ يَ ِح ُّل ِل ُم ْس ِل ٍم بَا‬:َ‫سلَّ َم قَال‬ َ ‫صلَّى هللا َعلَ ْي ِه َو‬ َ ‫ي‬ َّ ِ‫أ َ َّن النَّب‬ )‫ماجة وغيره‬ “Bahwasanya Nabi saw bersabda: Muslim yang satu dengan Muslim lainnya adalah bersaudara, tidak halal bagi seorang muslim menjual barangnya kepada muslim lain, padahal pada barang tersebut terdapat aib/cacat melainkan dia harus menjelaskannya”. (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Ad-Daraquthni, Al-Hakim dan Ath-Thabrani) Faktor-Faktor yang Menghalangi Pembatalan Akad dan Pengembalian Barang Ketentuan dalam pembatalan akad dan pengembalian barang cacat telah banyak dirumuskan dalam kitab-kitab fikih, termasuk faktor-faktor yang menghalangi pembatalan akad dan pengembalian barang. Dalam pembahasana ini dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama: Pihak pembeli ridha setelah mengetahui adanya kecacatan barang, baik dengan mengucapkkannya secara langsung atau berdasarkan petunjuk/indikator lainnya. Misalnya; membeli buah yang sudah diumumkan atau diberitahukan kecacatannya oleh pihak penjual seperti sudah layu atau sebagiannya ada yang rusak, lalu pembeli rela/ridha membelinya setelah terjadi penyesuaian harga, maka pembatalan dan pengembalian barang tidak dapat dilakukan (tidak ada hak khiyar ‘aib). Kedua: Menggugurkan Khiyar, baik secara langsung atau adanya indikator/petunjuk lainnya. Seperti ucapan seorang pembeli, “Aku telah menggugurkan khiyar (hak pilih) ku”, atau setelah ia mengetahui adanya kecacatan barang, si pembeli tidak mengembalikan barang tersebut dalam jangka waktu yang cukup lama atau bahkan barang yang dibelinya sudah berubah wujud atau habis karena telah dikonsumsi. Ketiga: Barang rusak karena perbuatan pembeli atau berubah dari bentuk aslinya. Seperti gelas pecah atau retak karena terjatuh oleh pihhak pembeli, atau sebagian barang ada yang tidak utuh atau hilang akibat kelalaian pembeli. Namun apabila pembeli dan penjual berselisih tentang pihak yang menyebabkan terjadinya kecacatan barang, sementara transaksi sudah selesai dilakukan serta tidak ada bukti yang menguatkan salah satunya, maka menurut para ulama’ pernyataan penjuallah yang dimenangkan atau yang diterima setelah disumpah. Hal ini didasarkan pada hadis Nabi saw: ْ ‫إِذَا‬:‫َّللاِ صلى هللا عليه وسلم‬ ‫ – رواه‬.‫ع بِا ْل ِخيَ ِار‬ ُ ‫ان َفا ْلقَ ْو ُل قَ ْو ُل ا ْلبَائِ ِع َوا ْل ُم ْبتَا‬ ْ ‫ع َِن اب ِْن َم‬ َ ‫اختَ َل‬ َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫سعُو ٍد قَا َل َقا َل َر‬ ِ َ‫ف ا ْلبَيِع‬ ‫الترميذي و أحمد‬

“Dari Ibnu Mas’ud ra berkata; Rasulullah saw bersabda: Apabila penjual dan pembeli berselisih maka perkataan yang diterima adalah perkataan penjual, sedangkan pembeli memiliki hak pilih “. (HR. At-Tirmidzi dan Ahmad) (imam at-Tirmidzi menjelaskan bahwa hadis ini termasuk hadis mursal karena salah seorang rawi bernama ‘Aun bin Abdillah tidak bertemu langsung dengan Ibnu Mas’ud, namun Al-Albani menshahihkannya) ‫علَى ا ْل ُم َّدعَى‬ َ ُ‫ع َلى ا ْل ُم َّد ِعى َوا ْليَ ِمين‬ َ ُ‫ب ع َْن أ َ ِبي ِه ع َْن ج َِد ِه أَنَّ النَّ ِب َّى صلى هللا عليه وسلم قَا َل فِى ُخ ْطبَتِ ِه ا ْلبَ ِينَة‬ ُ ‫ع َْن ع َْم ِرو ب ِْن‬ ٍ ‫شعَ ْي‬ ‫علَ ْي ِه‬ َ . – ‫رواه الترميذي‬ “Dari Amru bin Syu’aib, dari ayahnya dari kakeknya; bahwasanya Nabi saw bersabda dalam khutbahnya: mendatangkan bukti (al-Bayyinah) bagi pengklaim/penuduh dan harus bersumpah bagi yang tertuduh”. (HR. at-Tirmidzi) (hadis ini dikuatkan dari berbagai sumber yang kuat baik dengan lafaz yang hampir sama maupun dengan lafaz yang berbeda).

Hikmah Disyari’atkan Khiyar Hikmah disyariatkannya khiyar (hak untuk memilih) dalam Islam sangat banyak sekali dan bersifat menyeluruh dan jangka panjang. Bahkan khiyar dalam bisnis Islami memiliki peranan yang sangat penting dan strategis untuk menjaga kepentingan, transparansi, kemaslahatan, kerelaan kedua belah pihak yang melakukan transaksi serta melindungi mereka dari bahaya dan kerugian bagi semua pihak. Secara leih rinci dapat dikemukakan beberapa hikmah disyari’atkan khiyar dalam Islam, antara lain: (1) Dapat mempertegas adanya kerelaan dari pihak-pihak yang terikat dalam transaksi jual beli, (2) mendatangkan kenyamanan dan kepuasan bagi kedua belah pihak (penjual dan pembeli), (3) menghindarkan terjadinya penipuan dalam urusan jual beli, (4) Menjamin kejujuran dan transparansi bagi pihak penjual dan pembeli, (5) Menjamin kesempurnaan proses transaksi, (6) untuk menjaga agar tidak terjadi perselisihan atau pertengkaran antara penjual dan pembeli, dan lain-lain. Wallahu A’lam bish-Shawab.

Pengertian Jual Beli

Dalam bahasa Arab, jual beli disebut dengan al-bai’, dari segi bahasa berarti memindahkan hak milik terhadap benda dengan akad saling mengganti (Abdul Aziz Muhammad Azzam, 2010), atau menukar suatu barang dengan barang yang lain (barter). Sedangkan menurut istilah, al-bai’ memiliki banyak pengertian sebagaimana dikemukakan oleh para ulama: Pertama: Imam Hanafi (Mazhab Hanafi); jual beli ialah pertukaran suatu harta dengan harta yang lain menurut cara tertentu. Kedua: Imam Syafi’i (Mazhaab Syafi’i); jual beli ialah pertukaran sesuatu harta benda dengan harta benda yang lain, yang keduanya boleh di-tasharruf-kan (dikendalikan), dengan ijab dan qabul menurut cara yang diizinkan oleh syari’at. Ketiga: Abu Bakr bin Muhammad al-Husaini; jual beli adalah; kontrak pertukaran harta benda yang memberikan seseorang hak memiliki sesuatu benda atau manfaat untuk selama-lamanya. Keempat: Al-Qlayubi; akad saling mengganti dengan harta yang berakibat kepada kepemilikan terhadap satu benda atau manfaat untuk tempo waktu dan selamanya dan bukan untuk bertaqarrub kepada Allah (bukan Hibah, Sadaqah, Hadiah, wakaf). Defiinisi jual beli sebagaimana dikemukakan oleh para ulama di atas memberikan suatu pengertian sekaligus penekanan bahwa istilah jual beli merupakan gabungan dari kata al-bai’ (menjual) dan syira’ (membeli) – karena adanya keterlibatan aktif antara dua belah pihak yang melakukan transaksi jual beli. Atau dengan kata lain, jual beli merupakan aktifitas yang melibatkan dua belah pihak atau lebih untuk melakukan pertukaran barang dengan cara tertentu, baik pertukaran barang dengan barang (barter) maupun dengan alat tukar (uang). Dalam definisi tersebut juga terkandung nilai, bahwa jual beli merupakan salah satu proses altaghayyur al-milkiyah (perubahan kepemilikan) dari pihak penjual kepada pihak pebeli yang bersifat permanen. Oleh sebab itu, jual- beli yang syar’i adalah jual beli secara lepas atau tidak diikat dengan syarat tertentu seperti menjual dalam waktu satu bulan, satu tahun dan lainnya, atau menjual barang dengan syarat si pembeli harus menjual kembali barang tersebut kepada pihak penjual pertama pada waktu yang sudah mereka tentukan.

Dasar Hukum Disyari’atkannya Jual-Beli Jual beli merupakan salah satu aktifitas yang banyak dilakukan oleh ummat manusia, bahkan hampir tidak ada seorangpun di dunia ini yang terbebas dari aktifitas jual-beli, baik sebagai penjual maupun sebagai pembeli. Dasar hukum disyari’atkannnya jual-beli dapat dijumpai dalam beberapa ayat al-Qur’an, antara lain; 1. Dalil al-Qur’an

ُ َّ‫الربَا َال يَقُو ُمونَ ِإ َّال َك َما يَقُو ُم ا َّلذِي يَت َ َخب‬ ‫َّللاُ ا ْلبَ ْي َع‬ َّ ‫طهُ ال‬ َّ ‫الربَا َوأ َ َح َّل‬ ِ ‫ش ْي َطانُ ِمنَ ا ْل َم ِس ذَ ِلكَ ِبأَنَّ ُه ْم قَالُوا ِإنَّ َما ا ْلبَ ْي ُع ِمثْ ُل‬ ِ َ‫الَّ ِذينَ يَأ ْ ُكلُون‬ َ َ ُ َ َ َ َ َ َ َ َ ْ َّ َ َ‫اب الن ِار ُه ْم فِيهَا خا ِل ُدون‬ َ ‫الر َبا فَ َم ْن جَا َءهُ َم ْو ِعظة ِم ْن َربِ ِه فانتَهَى فلهُ َما‬ َّ ‫ف َوأ ْم ُرهُ إِلى‬ َ ‫سل‬ ُ َ‫َّللاِ َو َم ْن عَا َد فأولئِكَ أصْح‬ ِ ‫َوح ََّر َم‬ – 275 :‫البقرة‬ “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orangorang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (QS. Al-Baqarah: 275)” ‫َّللاَ كَانَ ِب ُك ْم‬ ٍ ‫جَارةً ع َْن تَ َرا‬ ِ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َ َمنُوا َال تَأ ْ ُكلُوا أ َ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم ِبا ْل َب‬ َ ُ‫ض ِم ْن ُك ْم َو َال تَ ْقتُلُوا أَ ْنف‬ َّ َّ‫س ُك ْم ِإن‬ َ ِ‫اط ِل ِإ َّال أ َ ْن تَكُونَ ت‬ 29 :‫َر ِحي ًما – النساء‬ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu ; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” [An-Nisaa : 29] 2. Dalil Hadis Nabi: ‫الر ُج ِل بِيَ ِد ِه َو ُك ُّل َبي ٍْع َمب ُْر ْو ٍر – رواه االبزار والحاكم‬ َ ‫ب ؟ قَا َل‬ َ ‫صلَّى هللا‬ َ ‫سئِ َل النَّبِ ُّي‬ ْ ‫ي ا ْل َك‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ُ ُ َ‫ب أ َ ْطي‬ َّ ‫ع َم ُل‬ ِ ‫س‬ ُّ َ‫سلَّ َم أ‬ “Nabi saw pernah ditanya; Usaha (pekerjaan/profesi) apakah yang paling baik (paling ideal) ?, Rasulullah saw bersabda; pekerjaan (usaha) seseorang dengan tangannya dan setiap jual beli yang baik.” (HR. Bazzar dan al-Hakim) ‫اض – رواه البيهقي‬ ٍ ‫إِنَّ َما ا ْلبَ ْي ُع ع َْن ت َ َر‬ “Sesungguhnya jual beli (harus) atas dasar saling ridha (suka sama suka).” (HR. Al-Baihaqi)

Prinsip-Prinsip dalam Jual Beli Dalam artikel-artikel sebelumnya, telah banyak diulas tentang etika bisnis dalam Islam. Namun dalam pembahasan kali ini perlu dikemukakan beberapa prinsip dan etika yang relevan dengan persoalan jual beli. Dengan demikian diharapkan setiap aktifitas jual beli yang dilakukan sesuai dengan tuntunan syari’at Islam. prinsip-prinsip syar’i yang harus diperhatikan antara lain: Pertama: Larangan menawar barang yang sedang diitawar oleh orang lain. ُ ‫علَى بَي ِْع أ َ ِخ ْي ِه َوالَ يَ ْخ‬ …‫ – رواه مسلم‬.… ‫ع َلى ِخ ْطبَ ِة أ َ ِخ ْي ِه‬ َ ‫ب‬ َ ‫الر ُج ُل‬ ُ ‫ط‬ َّ ‫َوالَ يَبِ ْي ُع‬

“….dan janganlah seorang membeli (menawar) sesuatu yang sedang dibeli (ditawar) oleh saudaranya, dan jangan pula ia melamar (wanita) yang sedang dilamar oleh saudaranya….”(HR. Muslim) Salah satu hikmah larangan menawar barang yang sedang ditawar oleh orang lain adalah untuk menghindari munculnya kekecewaan (gelo), perkelahian dan pertentangan di antara sesama. Sebab orang yang menawar (membeli) suatu barang umumnya dilatarbelakangi oleh keinginan untuk memiliki dan kebutuhkannya terhadap barang tersebut. Namun karena diambil oleh pihak lain (pada saat terjadinya tawar menawar), menyebabkan hal tersebut tidak didapatkannya. Akibatnya, muncul rasa kecewa, marah, bahkan kebencian di antara mereka. Kedua: Sesuatu yang diperjual belikan adalah sesuatu yang mubah (boleh) dan bukan sesuatu yang diharamkan Dalam hadis Nabi saw. banyak dijelaskan tentang larangan menjual sesuatu yang diharamkan oleh agama. Larangan menjual barang yang diharamkan tersebut tidak hanya secara zat (benda) nya saja (bai’ an-najas), tetapi juga larangan memakan hasil penjualannya. Hal ini dapat ditemukan penjelasannya dalam beberapa ayat dan hadis Nabi saw.sebagai berikut; ‫ش ُح ْو ُم فَ َباع ُْو َها َو أَ َكلُ ْو أَثْ َمانِهَا َوإِنَّ هللاَ إِذَا‬ ُّ ‫علَي ِْه ُم ال‬ َ ْ‫ لَعَنَ هللاُ ا ْليَ ُه ْو َد ُح ِر َمت‬:َ‫سلَّ َم َقال‬ َ ُ‫ص َّلى هللا‬ َ ‫ع َِن اب ِْن‬ َ ‫اس أَنَّ النَّ ِب َي‬ ٍ َّ‫عب‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ‫ – رواه أحمد و أبو داود‬.ُ‫علَي ِْه ْم ث َ َمنَه‬ َ ‫ش ْي ٍئ ح ََّر َم‬ َ ‫ع َلى قَ ْو ٍم أ َ ْك َل‬ َ ‫ح ََّر َم‬ “Dari Ibnu Abbas Nabi saw bersabda: Allah melkanat orang-orang Yahudi, karean telah diharamkan kepada mereka lemak-lemak (bangkai) namun mereka menjualnya dan memakan hasil penjualannya. Sesungguhnya Allah jika mengharamkan kepada suatu kaum memakan sesuatu, maka haram pula hasil penjualannya”. (HR. Ahmad dan Abu Dawud) Contoh-contoh jual beli yang termasuk kategori ini misalnya; jual beli babi, anjing, bangkai, khamar dan lainnya. Hal ini dijelaskan dalam al-Qur’an dan hadis Nabi saw., antara lain: 90 :‫ – المائدة‬. َ‫ان َفاجْ تَ ِنبُ ْوهُ لَ َعلَّ ُك ْم ت ُ ْف ِل ُح ْون‬ َّ ‫ع َم ِل ال‬ َ ‫َاب واأل َ ْزالَ ُم ِرجْ س ِم ْن‬ ُ ‫يَآيُّهَاا َّل ِذ ْينَ آ َمنُ ْوا إِنَّ َما ا ْل َخ ْم ُر َوا ْل َم ْيس ُِر واأل َ ْنص‬ ِ ‫ش ْي َط‬ “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras (khamar), berjudi (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntunga”. (QS. AlMa’idah: 90) Sedangkan dalam hadis Nabi saw, dijelaskan: ُ‫س ْولَه‬ َ ‫سلَّ َم َيقُ ْو ُل‬ َ ‫صلَّى هللا‬ َ ‫ع ْب ِد هللا َر ِض َي هللا‬ َ ‫ع َْن جَابِ ِر ب ِْن‬ َ ‫س ْو َل هللا‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ُ‫ أَنَّه‬: ‫ع ْن ُه َما‬ ُ ‫ إِنَّ هللاَ َو َر‬،َ‫عا َم ا ْلفَتْحِ َوه َُو بِ َمكَّة‬ ُ ‫س ِم َع َر‬ ‫سفُنُ َويُ ْد ِهنُ ِبهَا ا ْل ُجلُ ْو ُد‬ ُ َ‫س ْو َل هللاِ أ َ َرأَيْت‬ ْ َ ‫ح ََّر َم بَ ْي َع ا ْل َخ ْم ِر َوا ْل َم ْيت َ ِة َوا ْل ِخ ْن ِزي ِْر َواأل‬ ُّ ‫ش ُح ْو َم ا ْل َم ْيتَ ِة فَ ِإنَّهَا يُ ْط َلى ِب َها ال‬ ُ ‫ فَ ِق ْي َل يَا َر‬.‫صنَ ِام‬ ‫اس ؟ فَ َقا َل الَ ه َُو ح ََرام‬ ْ َ ‫ست‬ ْ ُ‫–وي‬ َ ‫رواه البخاري ومسلم‬. ُ ‫صبِ ُح بِهَا ال َّن‬ “Dari Jabir bin Abdillah ra; bahwasanya ia telah mendengar Rasulullah saw bersbda pada saat penaklukan kota Makkah (Fathu Makkah); sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah

mengharamkan jual-beli khamar, bangkai, babi dan patung (berhala). Lalu ditanyakan (diantara sahabat ada yang bertanya); bagaimana pendapatmu tentang lemak bangkai, maka sesunggunnya ia (lemak bangkai) digunakan untuk menambal perahu dan untuk menyemir kulit serta digunakan untuk alat penerangan oleh manusia ? lalu Rasulullah saw menjawab; Tidak ! ia (tetap) haram.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) Disamping dijelaskan tentang status keharaman jual beli barang najis, juga dalam ayat dan hadis Nabi saw dijelaskan tentang dampak yang akan didapatkan oleh orang yang melakukan jual-beli benda najis, yaitu dosa dan murka Allah dan Rasul-Nya. Dalam hadis Nabi saw dijelaskan: ‫ساقِيَهَا َوبَائِعَهَا‬ َ ‫سلَّ َم ِفى ا ْل َخ ْم ِر‬ َ ‫ص َّلى هللا‬ َ ‫لَعَنَ النَّبِ ُّي‬ ِ ‫َاص َر َها َو ُم ْعتَ ِص َر َها َوش َِاربَهَا َوح‬ َ ‫َاملَهَا َوا ْل ُح ُم ْولَةَ إِلَ ْي ِه َو‬ َ ‫ع َل ْي ِه َو‬ ِ ‫ ع‬:‫عش ََرة‬ ْ ‫شت َ َرى َلهَا َوا ْل ُم‬ ْ ‫َوآ ِك َل ث َ َمنِهَا َوا ْل ُم‬ ‫شت َ َراةَ لَهَا – رواه الترميذى وابن ماجة‬ “Nabi saw telah melaknat dalam masalah khamar sepuluh golongan; yang memerasnya (produsennya), yang meminta diperskan (pemesan), yang meminumnya (konsumen), yang membawanya, yang meminta diantarkan, yang menuangkannya (pelayan), yang menjualnya, yang memakan hasil penjualannya, yang membelinya, dan yang meminta dibelikan.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah) Ketiga: Menghindari praktek perjudian dalam sistem jual beli Pada saat ini, praktek perjudian (maisir) dalam sistem jual beli semakin banyak ditemukan, baik di pasar-pasar tradisional maupun pasar-pasar moderen seperti di mall-mall besarr. Teknik dan stateginyapun semakin beragam, bahkan dengan menggunakan peralatan canggih – seperti komputer dan mesin-mesin judi. Sebagian penjual ada yang menjual barang dagangannya dengan cara melemparkan batu, gelang dan sejenisnya, atau dengan memasukkan coin dalam mesin yang sudah disiapkan. Jika barang yang dilempar tersebut kena atau gelangnya masuk dalam barang yang diinginkan, maka barang tersebut bisa menjadi milik si pembeli. Namun jika sebaliknya, maka si pembeli kehilangan uangnya tanpa mendapatkan barang yang diinginkan. Praktek-praktek semacam ini termasuk kategori perjudian yang dikemas dalam bentuk jual beli. Hal ini diharamkan baik berdasarkan ayat al-Qur’an maupun hadis Nabi saw, antara lain: 90 :‫ – المائدة‬. َ‫ان َفاجْ ت َ ِنبُ ْو ُه لَ َعلَّ ُك ْم ت ُ ْف ِل ُح ْون‬ َّ ‫ع َم ِل ال‬ َ ‫َاب واأل َ ْزالَ ُم ِرجْ س ِم ْن‬ ُ ‫َيآ ُّيهَاا َّل ِذ ْينَ آ َمنُ ْوا ِإنَّ َما ا ْل َخ ْم ُر َوا ْل َم ْيس ُِر واأل َ ْنص‬ ِ ‫ش ْي َط‬ “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras (khamar), berjudi (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntunga”. (QS. AlMa’idah: 90) ‫اء – رواه أحمد و أبو داود‬ َ ُ‫َّللا‬ َ ‫َّللاِ ب ِْن‬ َ ‫ع َْن‬ َ ‫َّللا‬ ِ ‫سلَّ َم نَهَى ع َْن ا ْل َخ ْم ِر َوا ْل َم ْيس ِِر َوا ْلكُوبَ ِة َوا ْلغُبَي َْر‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ِ َّ ‫ع ْم ٍرو أَنَّ نَبِ َّي‬ َّ ‫صلَّى‬ َّ ‫ع ْب ِد‬ “Dari Abdullah bin Amru, bahwasanya Nabi saw melarang (meminum) khamar, perjudian, menjual barang dengan alat dadu atau sejenisnya (jika gambar atau pilihannya keluar maka ia yang berhak membeli) dan minuman keras yang terbuat dari biji-bijian (biji gandum). (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Selain tiga prinsip di atas, masih banyak lagi prinsip-prinsip dan etika yang harus diperhatikan sehingga sebuah praktek jual beli menjadi sah sesuai dengan ajaran agama Islam, antara lain; menghindari berbagai bentuk penipuan dan kecurangan (gharar dan al-gasy), tidak transparan (jahalah), menzalimi konsumen/pembeli; seperti menimbun barang (ihtikar) sehingga menyebabkan kelangkaan barang di pasaran dan menyulitkan masyarakat untuk mendapatkannya, atau mematok harga dengan sangat tinggi di saat masyarakat sangat membutuhkannya, melakukan praktek yang membahayakan (dharar), praktek yang banyak terjadi dalam sistem MLM (akan diulas dalam pembahasan tersendiri) dan lain sebagainya. Keutamaan jual beli yang mabrur: Jual beli tidak hanya merupakan salah satu cara untuk mencari nafkah dan keuntungan finansial, namun jual-beli juga merupakan salah satu jenis usaha yang mendapatkan perhatian besar dalam Islam, baik karena merupakan salah satu aktivitas yang banyak dibutuhkan oleh manusia, profesi yang banyak dilakukan oleh para Nabi dan beberapa keutamaan lainnya. Karena itu wajar jika dalam al-Qur’an hadis Nabi dan berbagai kajian fikih persoalan ini mendapatkan porsi pembahasan yang cukup luas. Di antara keutamaan atau nilau plus yang terdapat dalam praktek jua beli antara lain; (1) merupakan usaha yang paling banyak menjanjikan keuntungan, (2) usaha yang tidak mungkin dihindari oleh siapapun, sehingga akan tetap eksis dan dibutuhkan oarang, (3) usaha yang sangat ideal dalam beberapa aspek, diantaranya seseorang lebih leluasa untuk mengatur dan memilih jenis barang yang dibisniskan, tempat serta metode yang diinginkan, (4) peluang besar untuk mencari nafkah yang halal serta kebahagiaan dunia dan akhirat jika dilakukan secara benar sesuai norma dan hukum-hukum agama, dan lain sebagainya. Dalam banyak hadis, Rasulullah saw menjelaskan tentang penting dan keutamaan persoalan ini, antara lain dalam hadis berikut: ‫َاء – رواه الترمذى‬ ُّ ‫لص ِد ْي ِق ْينَ َوال‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬ ُ ‫صد ُْو‬ َّ ‫اج ُر ال‬ َ ِ ‫س ِع ْي ٍد ع َِن النَّبِي‬ ِ ‫ش َهد‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫ع َْن أَبِى‬ ِ ‫ق األ َ ِم ْينُ َم َع النَّبِيِ ْينَ َو‬ ِ َّ‫ الت‬:َ‫سلَّ َم َقال‬ “Dari Abi Sa’id, dari Nabi saw bersabda: Pedagang yang jujur dan terpercaya bersama para Nabi, orang-orang yang jujur dan syuhada’”. (HR. Tirmidzi) ‫س ِة َوا ْل ُمنَابَذَ ِة‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬ َ ُ‫ع َْن أَنَ ِس ب ِْن َمالِكٍ َر ِض َى هللا‬ َ ِ‫س ْو ُل هللا‬ َ ‫سلَّ َم ع َِن ا ْل ُمحَاقَلَ ِة َوا ْل ُم َخاض ََر ِة َوا ْل ُمالَ َم‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ُ ‫ع ْنهُ أَنَّهُ قَا َل نَهَى َر‬ ‫وا ْل ُم َزا َبنَ ِة – رواه البخارى‬ “Dari Anas bin Malik r.a. ia berkata: Rasulullah saw melarang jual beli muhaqalah (yaitu; jual beli buah yang masih di atas pohonnya),dan muhadharah (jual beli buah yang belum matang/masih hijau dan belum jelas kualitasnya), jual beli raba (yaitu; jual beli dengan tidak mengetahui ukuran, jenis dan kualitas barang), jual beli lempar dan jual beli muzabanah”. (HR. Al-Bukhari). Akad memiliki posisi dan peranan yang sangat strategis dalam berbagai persoalan mu’amalah. Bahkan akad dapat menjadi salah satu penentu sah atau tidaknya suatu transaksi. Akad yang telah terjadi mempunyai pengaruh (akibat hukum) yang sangat luas.

Dengan sahnya akad sebuah kepemilikan bisa berpindah dari kepemilikan seseorang kepada pihak yang lain. Dengan akad pula dapat merubah suatu kewenangan, tanggung jawab dan kegunaan sesuatu. Atas dasar inilah kajian tentang akad menjadi sangat penting untuk diuraikan sebelum berbicara tentang berbagai persoalan mu’amalah dalam Islam.

Pengertian Akad Dalam al-Qamus al-Muhith dan Lisan al-‘Arab dijelaskan; Akad menurut bahasa berarti ikatan atau tali pengikat. Pengertian akad secara hakiki (hissy) ini kemudian digunakan untuk sesuatu yang bersifat asbstrak berupa ucapan dari kedua belah pihak yang sedang berdialog atau berkomunikasi. Secara bahasa akad adalah: ُ ‫لر ْب‬ ‫اح ٍد أ َ ْو ِم ْن جَا نِبَي ِْن‬ ِ ‫س َواء أَكَانَ َر ْب ًطا ِح‬ ِ ‫ب َو‬ َ ،‫اف الش َّْي ِء‬ ِ ‫ط بَ ْينَ أ َ ْط َر‬ ٍ ِ‫ ِم ْن جَا ن‬،‫سياا أ َ ْم َم ْعنَ ِوياا‬ َّ َ ‫ا‬. “Ikatan antara pihak-pihak baik ikatan itu secara konkrit (hissy/hakiki) atau secara abstrak (maknawi) yang berasal dari satu pihak atau kedua belah pihak.” Dari sinilah kemudian akad diterjemahkan secara bahasa sebagai; menghubungkan antara dua perkataan, yang di dalamnya masuk juga pengertian janji dan sumpah, karena sumpah menguatkan niat orang yang berjanji untuk melaksanakan isi sumpah atau meninggalkannya. Sedangkan secara terminologi fikih, akad terbagi dua yaitu pengertian umum dan pengertian khusus. Akad dalam pengertian umum adalah: ‫ف أ َ ْم اِحْ تَا َج ِإلَى ِإ َرا َدتَي ِْن فِي ِإ ْنشَائِ ِه كَا ا ْلبَي ِْع‬ َ ‫ ُك ُّل َما ع ََز َم ا ْل َم ْر ُء‬. َ ‫س َواء‬ ِ ‫صد ََر ِم ْن ِإ َرا َد ٍة ُم ْنفَ ِر َد ٍة كَاا ْل َو ْق‬ َ ، ‫علَى فِ ْع ِل ِه‬ “Segala yang diinginkan manusia untuk mengerjakannya baik bersumber dari keinginan pribadi seperti waqaf atau bersumber dari dua pihak seperti jual-beli”. Akad dengan makna luas ini dijelaskan dalam firman Allah swt; 1 :‫ – المائدة‬.…‫يَا أ َيُّهَا الَّ ِذينَ آَ َمنُوا أ َ ْوفُوا بِا ْلعُقُو ِد‬ “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.” (Qs. al Maidah: 1) Akad dalam pengertian khusus adalah: ُ ‫ا ِْر ِت َبا‬ ‫ع َلى َوجْ ٍه َمش ُْر ْوعٍ َيثْبُتُ أَث َ ُر ُه ِفي َمح َِل ِه‬ َ ‫ب ِبقَبُ ْو ٍل‬ ٍ ‫ط ِإيْجَا‬ “Pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada sesuatu perikatan”.

Dalam ungkapan lain para ulama fikih menyebutkan bahwa akad adalah setiap ucapan yang keluar sebagai penjelasan dari kedua keinginan yang ada kecocokan. Sedangkan Mustafa Ahmad Az-Zarqa, menyatakan bahwa tindakan hukum (action) yang dilakukan manusia terdiri atas dua bentuk, yaitu: Tindakan (action) berupa perbuatan dan tindakan berupa perkataan. Pernyataan pihak-pihak yang berakad itu lalu disebut dengan ijab dan qabul. Ijab adalah pernyataan pertama yang dikemukakan oleh salah satu pihak, yang mengandung keinginan secara pasti untuk mengikatkan diri. Sedangkan qabul adalah pernyataan pihak lain setelah ijab yang menunjukkan persetujuannya untuk mengikatkan diri dalam sebuah transaksi atau ikatan bisnis. Sementara Abu Bakar al-Jashshash memaknai akad sebagai; setiap sesuatu yang diikatkan oleh seseorang terhadap satu urusan yang akan dilaksanakannya atau diikatkan kepada orang lain untuk dilaksanakan secara wajib (seperti; akad nikah, akad sewa menyewa, akad jual beli dan lainnya). Menurut beliau, sesuatu dinamakan akad, karena setiap pihak telah memberikan komitmen untuk memenuhi janjinya di masa mendatang. Lebih jauh lagi, sumpah juga dapat dikategorikan sebagai akad, karena pihak yang bersumpah telah mengharuskan dirinya untuk memenuhi janjinya baik dengan berbuat atau meninggalkan. Maka perkongsian (syirkah/koperasi), bagi hasil (mudharabah) dan lainnya dinamakan akad, karena kedua belah pihak memiliki kewajiban untuk melaksankan janjinya seperti yang telah diisyaratkan oleh kedua belah pihak tentang pembagian keuntungan. Demikian pula setiap syarat yang ditetapkan oleh seseorang bagi dirinya untuk melakukan sesuatu di masa mendatang juga dapat disebut akad. Sementara sebagian ulama fikih membedakan antara akad dengan janji, mereka mendefinisikan akad sebagai ucapan yang keluar untuk menggambarkan dua keinginan yang ada kecocokan, sedangkan janji merupakan komitmen dari satu pihak yang berkeinginan. Dengan landasan ini Ath-Thusi membedakan antara akad dan janji, karena akad mempunyai makna meminta diyakinkan atau ikatan, ini tidak akan terjadi kecuali dari dua belah pihak, sedangkan janji dapat dilakukan oleh satu orang saja. Dari ulasan di atas dapat disimpulkan bahwa makna akad secara syar’i yaitu; hubungan antara ijab dan qabul dengan cara yang dibolehkan oleh syari’at yang mempunyai pengaruh secara langsung terhadap sesuatu yang diikatkan atau ditransaksikan. Artinya, bahwa akad termasuk dalam kategori hubungan yang mempunyai nilai menurut pandangan syara’ antara dua orang sebagai hasil dari kesepakatan antara keduanya yang selanjutnya disebut ijab dan qabul. Jika terjadi ijab dan qabul dan terpenuhi semua syarat yang ada, maka syara’ akan menganggap ada ikatan di antara keduanya dan akan terlihat hasilnya pada sesuatu yang diakadkan baik berupa harta yang menjadi tujuan kedua belah pihak ataupun beberapa persoalan lainnya. Maka jika akad sudah ditunaikan, dapat berdampak pada terjadinya perubahan hak kepemilikan seperti yang terjadi dalam transaksi jual beli – yaitu dari pihak penjual ke pihak pembeli atau sebaliknya. Begitu pula halnya dalam berbagai contoh akad mu’amalah pada umumnya.

Syarat-Syarat Akad

Akad merupakan sesuatu yang sangat penting, karena dengan akad dapat diketahui maksud setiap pihak yang melakukan transaksi. Bentuk atau ungkapan akad (shighat al-‘aqd) diwujudkan dalam bentuk ijab dan qabul. Terkait dengan ijab dan qabul ini, para ulama fikih memberikan beberapa syarat umum sahnya sustu akad, yaitu: 1. Pihak-pihak yang melakukan akad (al-‘Aqid) adalah orang yang cakap bertindak (baligh, berakal sehat, tidak dalam kondisi pailit atau tertekan, dan sesuatu yang diakadkan merupakan kewenangannya). Jika seseorang dianggap belum cakap seperti anak kecil, maka akad dapat diwakilkan atau dilakukan oleh walinya. 2. Obyek Akad (Ma’qud ‘alaih) berupa sesuatu yang diperbolehkan dan memiliki nilai manfaat menurut pandangan syari’at serta bukan sesuatu yang dilarang atau diharamkan. 3. Tujuan yang terkandung dalam pernyataan (al-aqd) itu jelas, sehingga dapat dipahami jenis akad yang dikehendaki, karena akad-akad itu sendiri berbeda dalam sasaran dan hukumnya. 4. Adanya kesesuaian antara ijab dan qabul. 5. Pernyataan ijab dan qabul mengacu kepada suatu kehendak dari masing-masing pihak secara pasti (tidak ragu-ragu).

Macam-Macam Akad Dasar hukum dari mu’amalah adalah kemubahan (kebolehan), selama hal tersebut selaras dan tidak bertentangan dengan syari’at dan tujuan disyari’atkan sesuatu (maqashid al-Syari’ah). Sebagaimana kaidah yang berbunyi; ‫علَى ِخالَفِ ِه‬ َ ‫اإلبَا َح ِة ِإالَّ َما َد َّل ال َّد ِل ْي ُل‬ ِ َ‫فى ا ْل ُمعَا َمال‬ ْ َ ‫اَأل‬ ِ ‫ت‬ ِ ‫ص ُل‬ “Pada dasarnya segala sesuatu dalam mu’amalah hukumnya boleh (mubah), kecuali terdapat dalil yang menunjjukkan arti sebaliknya (keharamannya)”. Atas dasar itulah, berbagai bentuk transaksi atau akad yang selaras dengan hukum agama dapat diakomodir menjadi alternatif dalam melakukan transaksi mu’amalah. Ditinjau dari klasifikasinya, akad dalam sistem mu’amalah Islam sangat beragam sesuai dengan sudut pandang orang yang mengkajinya. Jika ditinjau dari sifatnya, akad terbagi menjadi: 1. Akad Shahih yaitu; Akad yang sempurna dan sah menurut pandangan syari’at. Akad ini terbagi menjadi: Pertama: Akad Lazim yaitu; Akad yang tidak dapat dibatalkan oleh salah seorang yang berakad tanpa kerelaan pihak lain yang berakad , seperti akad jual-beli, ijarah, dan lainnya. Dalam kaidah fikih disebutkan: ‫ص ُل فِي ا ْلعُقُ ْو ِد اَل ُّل ُز ْو ُم‬ ْ َ ‫ا َ ْأل‬ “ Pada dasarnya akad itu adalah Luzum ( mengikat para pihak ).”

Kedua: Akad Ghairu Lazim (tidak mengikat), pada kedua belah pihak, pada akad ini para pihak mempunyai hak untuk membatalkan akad, misalnya pada hiyar fi al-Buyu’ (hak memilih antara penjual dan pembeli antara melanjutkan akad jual beli atau membatalkannya kkarena adanya perjanjian atau kecacatan pada barang). 2. Akad Ghairu Shahih yaitu; akad yang tidak sah (cacat) menurut pandangan syari’at. Sedangkan jika ditinjau dari cara atau bentuknya, para ulama membagi akad menjadi beberapa bentuk, yaitu: 1. Aqad Al-Mu’athah Saling Memberi) Akad Mu’athah adalah akad saling menukar dengan perbuatan yang menunjukkan keredaan tanpa ucapan ijab dan qabul. Praktek semacam ini sering ditemukan dalam praktek jual beli dengan sistem swalayan. Seorang pembeli memilih sendiri barang yang dibeli sesuai dengan bentuk, jenis, kualitas dan harga barang yang diinginkannya. Lalu barang-barang yang telah dipilih tersebut diserahkan kepada kasir (terkadang) tanpa ucapan sedikitpun. Sementara sang kasir sibuk dengan layar monitor (komputer) untuk mengecek harga barang yang akan dijual. Pada akhirnya sang pembeli mengeluarkan sejumalah uang sesuai dengan nominal yang tertera pada layar monitor. Praktek semacam ini sah menurut fikih Islam dan termasuk bagian dari thasharruf bil fi’li (trnasaksi dengan perbuatan) 2. Aqad bi Al-Kitabah (Akad dengan Tulisan ) Akad bi al-kitabah merupakan jenis transaksi (akad) dengan tulisan (seperti; nota, surat pesanan dan atau bahkan lewat SMS, email, dan sejenisnya) yang dapat dipastikan akurasi dan kepastiannya. Akad semacam ini sah untuk dilakukan, oleh dua orang yang berakad baik keduanya mampu berbicara maupun tidak (bisu), keduanya hadir pada waktu akad ataupun tidak hadir ( dititipkan lewat orang kepercayaannya), dengan bahasa yang dapat dipahami oleh kedua orang yang berakad. Hal ini selaras dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi: ‫ب‬ ِ ‫اَ ْل ِكتَبا بَةُ كَا ْل ِخ َطا‬ “ Tulisan sama kekuatan hukumnya dengan ucapan”. 3. Akad b Al-Isyarat (Akal dengan Isyarat) Bahasa isyarat yang digunakan oleh orang bisu untuk menyampaikan kehendaknya dapat diterima sebagai salah satu bentuk akad atau transaksi, dengan catatan bahasa isyarat tersebut dapat dimengerti dan difahami oleh kedua belah pihak yang melakukan akad. Jika seseorang tidak mampu berbicara maupun menulis, maka bahasa isyarat yang dapat dipahami oleh kedua belah pihak sama nilainya dengan lisan. Hal ini sesuai dengan kesepakatan para fukaha’ dan sesuai dengan kaedah fiqhiyah ang berbunyi: ‫ان‬ َ ‫ان بِ ِالل‬ َ ‫ا َ ْ ِإلش‬ ِ ‫س‬ ِ َ‫َاراتُ ا ْلعُ ُه ْو َدةُ ِل ْلألَ ْخ َر ِس كَا ْل َبي‬

” Isyarat perjanjian (akad) dari orang bisu seperti penjelasan dengan lisan.”

Perbedaan antara Akad, Tasharruf dan Ilzam Thasharruf menurut istilah ulama fikih adalah; setiap yang keluar dari seseorang yang mumayyiz dengan kehendak sendiri dan dengannya syara’ menetapkan beberapa konsekwensi, baik berupa ucapan, atau yang setingkat dengan ucapan berupa perbuatan atau isyarat. Dengan pengertian ini maka dapat dikatakan bahwa thasharruf lebih umum cakupannya dibandingkkan akad. Akad merupakan bagian dari thasharruf yang bersifat ucapan (Thasharruf Qauli), sedangkan thasharruf masuk di dalamnya berbagai macam bentuk perjanjian, komitmen, mengembalikan barang yang dijual dengan khiyar syarat, khiyar ‘Aib maupun khiyar Majlis (akan dibahas dalam tema tersendiri dalam kaitannya dengan jual-beli). Dengan kata lain, semua akad dapat dinamakan thasharruf, namun tidak semua thasharrf dinamakan akad. Sedangkan iltizam adalah; sebuah thasharruf (perbuatan) yang mengandung keinginan untuk melahirkan satu hak atau mengakhiri satu hak atau menggugukannya baik datang dari satu pihak seperti thalak atau datang dari kedua belah pihak seperti akad jual beli dan sewa menyewa. Dari uraian panjang di atas dapat disimpulkan dalam tiga hal, yaitu: Pertama: Bahwa akad merupakan salah satu syarat sahnya berbagai transaksi mu’amalah dalam Islam. Kedua: Akad dapat dilakukan baik dengan ucapan, perbuatan, tulisan dan isyarat yang dapat dipahami dan memberikan kepastian terhadap sesuatu yang diakadkan. Ketiga: Akad yang berbentuk ucapan (Thasharruf Qauli) tidak diharuskan dengan redaksi tertentu dan bahasa tertentu, namun dapat dilakukan dengan berbagai redaksi yang dapat dipahami n menunjukkan sesuatu yang diakadkan. (Wallahu a’lam bi al-Shawab) Sebagaimana dikemukakan dalam artikel “Prinsip Dasar Fikih Mu’amalah”, bahwa Islam merupakan ajaran Ilahi yang bersifat integral (menyatu) dan komprehensif (mencakup segala aspek kehidupan). Oleh sebab itu Islam harus dilihat dan diterjemahkan dalam kehidupan sehari hari secara komprenhensif pula. Bekerja (berusaha) dalam Islam harus tetap dalam bingkai akidah dan syari’ah (hukum-hukum agama). Bekerja dalam bingkai akidah maknanya; usaha yang dilakukan oleh seorang muslim harus diniatkan dalam rangka beribadah (ibadah ‘aam) kepada Allah dengan penuh keihklasan, kesabaran dan isti’anah (memohon pertolongan Allah) baik dengan shalat maupun berdo’a. Sehingga segala usaha yang dilakukannya tidak pernah terputus hubungannya dengan Allah swt.

Hal ini selaras dengan firman Allah swt.:

ۡ ْ‫يَ ٰـٰٓأَيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُوا‬ ١٥٣- َ‫ص ٰـ ِب ِرين‬ َّ ‫ٱَّللَ َم َع ٱل‬ َّ ‫ٱست َ ِعينُواْ ِبٱلص َّۡب ِر َوٱل‬ َّ َّ‫صلَ ٰو ِةۚ ِإن‬ “Wahai orang-orang yang beriman, mohon pertolonganlah kamu sekalian dengan penuh kesabaran dan (dengan) shalat, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 153) Sedangkan bekerja dalam bingkai syari’ah (hukum-hukum agama) maknanya; dalam bekerja seseorang harus melihat sisi kehalalan dan keharamannya. Apakah usaha yang dijalankan sesuai dengan aturan agama ataukah tidak. Sehingga dalam bekerja (berusaha) seorang muslim harus menjauhi sikap-sikap Machivelian yang menghalalkan segala cara asal tujuan tercapai (alghayah tubalighul washilah). Begitu pula halnya, dalam bekerja (berusaha) seorang muslim hendaknya berniat dalam hatinya bahwa apa yang dilakukannya diniatkan sebagai salah satu bentuk kewajiban berikhtiar secara syar’i serta manifestasi (perwujudan) dari fungsi dan misi kekhalifahannya di muka bumi ini. Dengan kata lain, bisnis atau bekerja yang bertauhid adalah bekerja yang dilakukan dengan niat ibadah serta mentaati aturan-aturan hukum yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Menjauhkan diri dari segala praktek yang diharamkan oleh agama. Sebab dalam Islam, aktifitas hidup seorang muslim baik yang bersifat komersial maupun sosial seluruhnya akan dimintai pertanggungan jawab dan menjadi modal di hari kiamat kelak. Terlebih lagi dalam konsep Islam, persoalan harta (hasil usaha) seseorang akan dimintai pertanggungan jawab baik menyangkut sumber (cara mendapatkan) maupun pendistribusiannya, sebagaimana dijelaskan dalam hadis Nabi SAW: ‫ع ُم ِر ِه ِفي َما أَ ْفنَا ُه‬ َ ‫سلَّ َم َال ت َ ُزو ُل قَ َد َما‬ َ ُ‫َّللا‬ ُ ‫سأ َ َل ع َْن‬ َ ِ‫َّللا‬ ْ ُ‫ع ْب ٍد يَ ْو َم ا ْل ِقيَا َم ِة َحتَّى ي‬ ْ َ ‫ع َْن أَبِي بَ ْر َزةَ ْاأل‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬ َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫سلَ ِمي ِ قَا َل َقا َل َر‬ ‫رواه الترميذي‬- ‫سن ص َِحيْح‬ ْ ‫سبَهُ َوفِي َم أ َ ْنفَقَهُ َوع َْن ِج‬ َ ‫س ِم ِه فِي َم أَب َْالهُ قَا َل َهذَا َحدِيث َح‬ َ َ ‫َوع َْن ِع ْل ِم ِه فِي َم فَعَ َل َوع َْن َما ِل ِه ِم ْن أ َ ْينَ ا ْكت‬ “Dari Abu Barzah al-Aslamy berkata; Rasulullah saw bersabda: tidak (bisa) melangkah kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat sehingga ia ditanya tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang ilmunya untuk apa ia lakukan (manfaatkan), dan tentang hartanya darimana ia dapatkan dan untuk apa ia nafkahkan dan tentang fisiknya untuk apa ia pergunakan.” (HR. Tirmidzi: hadis ini termasuk hadis hasan shahih)

Dalam hadis lain yang sangat terkenal juga dijelaskan: ‫َّللاَ أ َ َم َر ا ْل ُمؤْ ِمنِينَ بِ َما أ َ َم َر‬ َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ َّ‫َّللاَ َطيِب َال يَ ْقبَ ُل إِ َّال َطيِبًا َوإِن‬ َّ َّ‫اس إِن‬ َّ ‫صلَّى‬ َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫ع َْن أَبِي ه َُري َْرةَ َقا َل َقا َل َر‬ ُ َّ‫سلَّ َم أَيُّهَا الن‬ ‫ع ِليم َو َقا َل يَا أَ ُّيهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ُكلُوا ِم ْن‬ َ َ‫ت َوا ْع َملُوا صَا ِل ًحا ِإنِي ِب َما تَ ْع َملُون‬ ِ ‫س ُل ُكلُوا ِم ْن ال َّط ِيبَا‬ َ ‫ِب ِه ا ْل ُم ْر‬ ُ ‫الر‬ ُّ ‫س ِلينَ فَقَا َل يَا أَيُّهَا‬ َ َ ْ َ ْ ُ ْ َ َ َ َ ْ ‫سف َر أ‬ ‫ب َو َمط َع ُمهُ ح ََرام َو َمش َْربُهُ ح ََرام‬ ِ ‫َطيِبَا‬ ِ ‫س َم‬ َّ ‫شعَث أغبَ َر يَ ُم ُّد َي َد ْي ِه إِلى ال‬ َّ ‫الر ُج َل يُ ِطي ُل ال‬ َّ ‫ت َما َر َزقنا ُك ْم ث َّم ذك ََر‬ ِ ‫ب َيا َر‬ ِ ‫اء يَا َر‬ ُ ‫سهُ ح ََرام َو‬ ‫رواه مسلم‬- َ‫َاب ِلذَ ِلك‬ ْ ُ‫ِي ِبا ْلح ََر ِام فَأ َ َّنى ي‬ ُ َ‫َو َم ْلب‬ ُ ‫ستَج‬ َ ‫غذ‬ “Dari Abi Hurairah berkata; Rasulullah saw. bersabda: Wahai sekalian manusia sesungguhnya Allah itu baik, tidak menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan orang-orang yang beriman (sesuai) dengan apa yang telah diperintahkan kepada para rasul.

Lalu Rasulullah saw. bersabda (membaca ayat); Wahai para rasul makanlah kamu sekalian dari sesuatu yang baik-baik dan kerjakanlah perbuatan yang baik, sesungguhnya Aku maha mengetahui apa saja yang kamu sekalian lakukan.” Dan beliau bersabda (membaca ayat): Wahai orang-orang yang beriman makanlah kamu sekalian dari sesuatu yang baik-baik yang telah Kami anugerahkan kepadamu, lalu beliau menyebutkan (bercerita) tentang seorang lakilaki yang bepergian jauh, kusut lagi berdebu, ia membentangkan tangannya ke langit seraya berdoa’ wahai tuhanku, wahai tuhanku, dan (namun) makanannya haram, dan minumannya haram, dan pakaiannya haram, dan diberi makan dengan sesuatu yang haram, maka mana mungkin doa’nya diterima karena hal itu.” (HR. Muslim) Selaras dengan itu pula, patut direnungkan pernyataan ulama’ yang menjelaskan tentang pentingnya niat (motivasi) dan cara yang baik untuk menghasilkan sesuatu yang positif, sebagaimana termuat dalam literatur kitab fikih klasik yang pernah penulis baca belasan tahun yang lalu; ‫اْلخ َر ِة‬ َ ‫ َو َك ْم ِم ْن‬،‫س ِن النِيَّ ِة‬ َ ‫َك ْم ِم ْن‬ ِ ‫ص ْو َر ِة أَ ْع َما ِل‬ ُ ‫ع َم ٍل يَتَص ََّو ُر ِب‬ ِ ‫ص ْو َر ِة أ َ ْع َما ِل ال ُّد ْنيَا فَيَ ِصي ُْر ِم ْن أ َ ْع َما ِل‬ ُ ‫ع َم ٍل يَتَص ََّو ُر ِب‬ ْ ‫اْلخ َر ِة ِب ُح‬ َ َ ْ ْ ‫النيَّ ِة‬ ِ ‫س ْو ِء‬ ُ ِ‫فيَ ِصي ُْر ِمن أ ْع َما ِل ال ُّدن َيا ب‬. “Betapa banyak dari perbuatan-perbuatan yang sepintas lalu terlihat seperti perbuatan dunia (contoh: bekerja, makan, olah raga dan lainnya), lalu berubah (nilainya) menjadi perbuatan akhirat (perbuatan yang dinilai ibadah dan berpahala) karena niat yang baik. Dan betapa banyak perbuatan yang sepintas terlihat seperti perbuatan akhirat (contoh: shalat, zakat, puasa dan lainnya), kemudian berubah (nilainya) menjadi perbuatan dunia (tidak berpahala) karena niat yang jelek.” Karena itulah terkait dengan bekerja, berbisnis, berusaha atau apapun istilahnya, dalam Islam harus dilandasi oleh niat atau motivasi yang baik (sesuai aturan agama) serta dibangun di atas pondasi (asas) dan etika bisnis Islam, agar segala usaha yang dijalankan bernilai ibadah dan berpahala. Adapun yang dimaksud dengan asas berusaha (berbisnis) dalam Islam di sini adalah nilai-nilai dasar yang dijadikan sebagai pondasi dalam membangun dan menegakkan berbagai bentuk bangunan usaha yang dijalankan oleh manusia dalam kehidupannya sehari-hari. Sedangkan yang dimaksud dengan etika bisnis (berusaha) adalah; seperangkat norma yang bertumpu pada aqidah, syari’ah dan akhlak yang diambil dari al-qur’an dan as-Sunnah yang digunakan sebagai tolok ukur atau barometer kebolehan atau kehalalan suatu usaha dan berbagai hal yang berhubungan dengannya.

Asas-Asas Berusaha (Berbisnis) dalam Islam Bekerja, berusaha (berbisnis) dalam Islam memiliki pondasi yang sangat jelas dan kokoh sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an maupun hadis Nabi saw. Hal tersebut dimaksudkan agar umat Islam menjadikannya sebagai pondasi bangunan ekonomi yang digelutinya, dalam

rangka melahirkan kemaslahan yang bersifat universal bagi setiap orang. Asas-asas tersebut adalah sebagai berikut: 1. Asas Tauhid (at-Tauhid) 4-1 :‫اإلخالص‬- ‫ َولَ ْم يَك ُْن لَهُ ُكفُ ًوا أَ َح ُد‬.ْ‫ لَ ْم يَ ِل ْد َولَ ْم يُ ْو َلد‬.ُ‫ص َمد‬ َّ ‫ هللاُ ال‬.ُ‫قُ ْل ه َُو هللاُ أ َ َحد‬ “Katakanlah: Dia-lah Allah yang maha esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan-Nya (QS. Al-Ikhlash: 1-4) Dalam konteks berusaha atau bekerja, surat al-Ikhlas dapat memberikan spirit kepada seseorang, bahwa segala bentuk usaha yang dilakukan manusia harus tetap bergantung kepada Allah swt. dengan cara memaksimalkan ibadah dan do’a, sehingga tertutup peluang untuk menempuh caracara yang haram seperti penipuan, kezaliman dan lain sebagainya. Bukankah berikhtiar merupakan sebuah kewajiban, dan menjadikan Allah swt sebagai tempat menggantungkan nasib dan harapan juga sebuah kewajiban. Karena itu, melakukan suatu kewajiban (ikhtiar) tidak boleh dilakukan dengan meninggalkan kewajiban yang lain (ketaatan kepada Allah). Terlebih lagi, dengan mengimani Allah sebagai tuhan yang wajib disembah, ditaati dan tempat bergantung, maka hal itu sekaligus menunjukkan kepada manusia bahwa segala perbuatan (usaha) yang dilakukannya pasti akan dimintai pertanggungan jawab di hadapan Allah swt. Sikap hidup semacam ini akan melahirkan optimisme dalam menghadapi setiap problem dan hasil dari suatu usaha yang dijalankan. Karena dalam hidup manusia, tidak semua harapan sesuai dengan kenyataan, dan Allah seringkali memberikan apa yang kita butuhkan daripada apa yang kita minta. Karena Allah swt maha tahu dan maha bijaksana dalam setiap keputusannya. Dengan spirit surat al-Ikhlas, seorang muslim mengalami “kegagalan” dalam usahanya, niscaya ia akan tetap optimis (tidak putus asa) untuk mencari faktor kegagalan seraya mencari solusinya. Begitu pula ketika mengalami kesuksesan ia tetap rendah hati (tidak sombong), karena adanya kesadaran spiritual bahwa semua yang dimiliki merupakan amanah Allah swt. 2. Asas Amanah (al-Amanah) Amanah merupakan lawan dari khianat. Amanah melahirkan ketentraman, saling percaya dan keharmonisan. Sedangkan khianat menimbulkan keresahan, saling curiga dan permusuhan. Oleh sebab itu, kemaslahatan dalam hidup bermasyarakat akan terealisir jika mu’amalah (interaksi/transaksi) antar sesama dilakukan dengan penuh amanah dan saling percaya. Allah swt berfirman: ُ ‫سفَر َولَ ْم ت َ ِجد ُْوا كَاتِبًا فَ ِر َهان َم ْقبُضَة َف ِإ ْن أ َ ِمنَ بَ ْع‬ ‫ق هللا َربَّهُ َوالَ تَ ْكت ُ ُم ْوا‬ َ ‫َوإِ ْن ُك ْنت ُ ْم‬ َ ‫علَى‬ ِ َّ‫ض ُك ْم بَ ْعضًا َف ْليُؤ َِد ا َّلذِى ؤْ ت ُِمنَ أ َ َمنَتَهُ َو ْليَت‬ 283 :‫البقرة‬- .‫ع ِليْم‬ َ َ‫شهَا َدةَ َو َم ْن يَ ْكت ُ ْمهَا فَ ِإنَّهُ آثِم َق ْلبُهُ َوهللاُ ِب َما ت َ ْع َملُن‬ َّ ‫ال‬

“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqarah: 283) Terkait dengan pentingnya sikap amanah ini pula Rasulullah SAW. bersabda: َ ‫ق ثَ َالث إِذَا َحد‬ ‫ب َوإِذَا اؤْ ت ُِمنَ َخانَ َوإِذَا‬ َ ُ‫َّللا‬ َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ َ‫َّث َكذ‬ َّ ‫ص َّلى‬ َّ ‫سو َل‬ ُ ‫ع ْنهُ أَنَّ َر‬ َّ ‫ع َْن أَبِي ه َُري َْرةَ َر ِض َي‬ ِ ِ‫سلَّ َم قَا َل آيَةُ ا ْل ُمنَاف‬ ‫رواه البخاري ومسلم‬- ‫ف‬ َ ‫َو‬ َ َ‫ع َد أ َ ْخل‬ “Dari Abi Hurairah ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda; ciri-ciri orang munafik itu ada tiga, apabila berbicara ia berdusta, apabila dipercaya (diberikan kepercayaan) ia khianat, dan apabila berjanji ia mengingkari janjinya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim) 3. Asas Kejujuran (ash-Shiddiq) Kejujuran merupakan mutiara akhlak yang sangat mahal dan hampir langka dalam kehidupan sosial manusia. Sebaliknya kebohongan dan penipuan seringkali bisa dijumpai dalam berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk di bidang usaha (bisnis) yang dijalankannya. Jenis penipuan sebagai salah satu bentuk ketidakjujuran yang dilakukan manusiapun sangat beragam, mulai dari penipuan gaya lama hingga penipuan gaya modern, penipuan kecil-kecilan hingga penipuan besar-besaran, penipuan secara individual hingga penipuan secara berjama’ah. Padahal Allah swt. Telah memerintahkan orang beriman untuk bersifat jujur bersamaan dengan perintah untuk bertakwa, sebagaimana tertera dalam surat at-taubah ayat; 119: 119 :‫التوبة‬- َ‫يَآيُّهَاا َّل ِذ ْينَ آ َمنُ ْوا اتَّقُوا هللاَ َوك ُْونُ ْوا َم َع الصَّا ِدقِ ْين‬ “Hai orang-orang yang beriman, bertaq walah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar”. (QS. Al-Baqarah: 119) Perintah bertakwa dan bersikap jujur secara bersamaan menunjukkan bahwa salah satu ciri orang yang bertakwa adalah bersifat jujur. Maka tidak bisa dikatakan bertakwa orang yang masih suka berbohong, menipu dan berbuat kecurangan. Bahkan Rasulullah saw. memberikan apresiasi yang sangat besar terhadap orang-orang yang jujur, ia akan dimasukkan ke dalam syurga bersama para nabi dan orang yang mati syahid, sebagaimana dijelaskan dalam hadis berikut ini; ‫رواه الترمذى‬- ‫َاء‬ ُّ ‫لص ِد ْي ِق ْينَ َوال‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬ ُ ‫صد ُْو‬ َّ ‫اج ُر ال‬ َ ِ ‫س ِع ْي ٍد ع َِن النَّ ِبي‬ ِ ‫ش َهد‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫ع َْن أ َ ِبى‬ ِ ‫ق األ َ ِم ْينُ َم َع النَّ ِب ِي ْينَ َو‬ ِ َّ‫ الت‬:َ‫سلَّ َم َقال‬ “Dari Abi Sa’id, dari Nabi saw bersabda: Pedagang yang jujur dan terpercaya bersama para Nabi, orang-orang yang jujur dan syuhada’”. (HR. Tirmidzi) 4. Asas Keadilan (al-‘Adalah)

Dalam terminologi fikih, adil adalah meletakkan sesuatu pada porsinya (wadh’us syai’ fi mahallihi). Dalam makna aplikatifnya, adil atau keadilan bisa dimaknai sebagai keseimbangan atau kesesuaian antara hak dan kewajiban, antara kebutuhan dunia dan akhirat, antara kebutuhan fisik dan rohani, antara harga dan kualitas barang dan lain sebagainya. Sedangkan lawan dari keadilan adalah kezaliman. Keadilan maupun kezaliman bisa dilakukan oleh seseorang terhadap diri sendiri maupun orang lain. Contoh orang yang tidak adil (zalim) terhadap diri sendiri adalah seseorang yang hanya mengejar sisi dunia namun meninggalkaan sisi akhiratnya, sibuk mengejar kebutuhan fisik semata namun ia luapakan kebutuhan rohaninya. Termasuk kategori kezaliman terhadap diri sendiri adalah melanggar aturan agama dengan melakukan sesuatu yang diharamkannya. Perintah tentang berlaku adil dapat ditemukan dalam banyak ayat dan hadis Nabi SAW antara lain: َ ‫شنَآنُ قَ ْو ٍم‬ َ ‫س ِط َوالَ يَجْ ِر َمنَّ ُك ْم‬ ُ ِ‫يآيُّهَا ا َّل ِذ ْينَ آ َمنُ ْوا ك ُْونُ ْوا قَ َّو ِم ْينَ هلل‬ ْ ‫ش َهدَا َء ِبا ْل ِق‬ ُ ‫علَى أَالَّ ت َ ْع ِدلُ ْوا اِ ْع ِدلُ ْوا ُه َو أَ ْق َر‬ َ‫ب ل ِلتَّ ْق َوى َواتَّقُ ْوا هللا‬ ُ َ َ 8 :‫المائدة‬- َ‫إِنَّ هللاَ خبِيْر بِ َما ت ْع َمل ْون‬ “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Ma’idah: 8) ُ ‫َاء َوا ْل ُم ْنك َِر َوا ْلبَ ْغي ِ يَ ِع‬ ‫النحل‬- . َ‫ظ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَذَك َُّر ْون‬ ِ ‫اء ذِى ا ْلقُ ْر َبى َويَ ْنهَى ع َِن ا ْل َف ْخش‬ ِ َ ‫ان َو ِإ ْيت‬ َ ْ‫اإلح‬ ِ ‫س‬ ِ ‫ ِإنَّ هللاَ يَا ْ ُم ُر ِبا ْل َع ْد ِل َو‬: 90 “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepda kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”. (QS. An-Nahl: 90) 5. Asas Kebolehan (al-Ibahah) Kaidah dalam persoalan ibadah mahdah sangat berbeda dengan kaidah dalam mu’amalah. Dalam persoalan ibadah berlaku hukum keharaman untuk melakukan suatu ibadah jika tidak ada landasannya dalam agama (al-Qur’an dan hadis). Sebab suatu ibadah harus dilakukan berdasarkan tuntunan al-Qur’an dan hadis. Kaidah dalam persoalan ibadah adalah; ‫اَلتَّحْ ِر ْي ُم‬/ ُ‫ص ُل فِى ا ْل ِعبَا َد ِة ا َ ْلبَ ْطالَن‬ ْ َ ‫اَأل‬ “Pada dasarnya dalam (masalah) Ibadah itu haram dilaksanakan (kecuali jika ada perintah tentang hal tersebut)” Sedangkan dalam persoalan mu’amalah berlaku kaidah;

ْ َ‫ص ُل فِى ْاأل‬ ‫علَى ِخالَفِ ِه‬ َ ‫ ِإالَّ َما َد َّل ال َّد ِل ْي ُل‬،ُ‫اإلبَاحَة‬ ْ َ ‫اَأل‬ ِ َ‫شي‬ ِ )ِ‫اء (فِى ا ْل ُمعَا َمالَت‬ “Pada dasarnya (asalnya) pada segala sesuatu (pada persoalan mu’amalah) itu hukumnya mubah, kecuali jika ada dalil yang menunjukkan atas makna lainnya.” Kaidah ini lahir dari pemahaman terhadap ayat al-Qur’an dan hadis Nabi SAW., antara lain: 22 :‫البقرة‬- ‫ق لَ ُك ْم‬ ِ ‫اء َما ًء فَأ َ ْخ َر َج بِ ِه ِمنَ الثَّ َم َرا‬ ً ‫ت ِر ْز‬ ِ ‫س َم‬ َّ ‫س َما َء بِنَا ًء َوأ َ ْن َز َل ِمنَ ال‬ َّ ‫اَلَّذِى َجعَ َل لَ ُك ُم األ َ ْرضَ فِ َرشًا َوال‬ “Dialah yang telah menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buahbuahan sebagai rizki untukmu”. (QS.al-Baqarah: 22) Dan ayat al-Qur’an surat al-Baqarah: 29; 29 :‫البقرة‬- .‫ع ِليْم‬ َ ‫ش ْي ٍئ‬ َ ‫ت َوه َُو ِبك ُِل‬ ِ ‫س َم َوا‬ َ َ‫ه َُو الَّذِى َخل‬ ِ ‫س َم‬ ْ ‫ض ج َِم ْي ًعا ث ُ َّم ا‬ َ ‫س ْب َع‬ َ َّ‫س َّواهُن‬ َ َ‫اء ف‬ َّ ‫ست َ َوى ِإلَى ال‬ ِ ‫ق لَ ُك ْم َما فِى األ َ ْر‬ “Dia-lah Allah yang menjadikan segala yang ada di muka bumi untuk kamu dan Dia berkehendak menuju langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia maha mengetahui segala sesuatu”. (QS.al-Baqarah: 29) Kedua ayat dan kaidah mu’amalah di atas menjelaskan bahwa segala sesuatu yang dikerjakan oleh seorang muslim haruslah sesuatu yang diperbolehkan oleh agama, dan bukan sesuatu yang diharamkan. 6. Asas Saling Tolong-Menolong (at-Ta’awun) Bekerja atau berusaha dalam Islam tidak hanya semata-mata untuk mencari keuntungan vinansial, namun juga harus memiliki aspek ta’awwun (saling tolong menolong). Karena itu, dalam setiap usaha seseorang disamping menggarap aspek komersialnya namun juga aspek sosialnya. Hal ini didasarkan pada ayat al-Qur’an dan hadis Nabi berikut ini; 2 :‫المائدة‬- .‫ب‬ َ َ‫ان َواتَّقُ ْوا هللاَ ِإنَّ هللا‬ َ ‫ع َلى ا ْل ِب ِر َوالت َّ ْق َوى َوالَتَعَ َونُ ْوا‬ َ ‫اونُ ْوا‬ َ َ‫َوتَع‬ ِ ‫ش ِد ْي ُد ا ْل ِع َقا‬ ِ ‫اإلثْ ِم َوا ْلعُد َْو‬ ِ ‫علَى‬ “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”. (QS. Al-Ma’idah: 2) ‫ع َْن أَبِى ه َُري َْرةَ قَا َل‬: ‫رواه مسلم‬-…‫هللاُ فِى ع َْو ِن ا ْل َع ْب ِد َماكَانَ ا ْلعَ ْب ُد ِفى ع َْو ِن أ َ ِخ ْي ِه‬,…:‫سلَّ َم‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬ َ ِ‫س ْو ُل هللا‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ُ ‫َقا َل َر‬ “Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah saw bersabda:…dan Allah selalu menolong hambahamba-Nya selama hamba-hamba-Nya suka menolong saudaranya. (HR. Muslim) 7. Asas Kemaslahatan (al-Maslahah) Dalam bekerja dan berusaha, seorang muslim harus memperhatikan dampak positif maupun negatif dari setiap aktifitas yang dijalankannya, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Karena

itu, seorang muslim dilarang melakukan berbagai aktifitas yang dapat mendatangkan mafsadah (kerusakan) atau kemudharatan. ‫رواه أحمد وابن ماجة‬- .‫ار‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬ ِ ‫َام‬ َ ِ‫س ْو َل هللا‬ ِ ‫ع َْن عُبا َ َدةَ اب ِْن ص‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ُ ‫ت أَنَّ َر‬ َ ‫سلَّ َم َقضَى أَ ْن الَ ض ََر َر َوالَ ِض َر‬ “Dari Ubadah bin Shamit; bahwasanya Rasulullah saw menetapkan tidak boleh berbuat kemudharatan dan tidak boleh pula membalas kemudharatan”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah) Bahkan dalam konsep Islam, kreteria manusia terbaik adalah sejauh mana kehadirannya dapat memberikan manfaat bagi orang lain (khirun naas anfa’uhum linnas). Hal ini sekaligus sebagai bukti bahwa Islam hadir sebagai rahmat bagi semesta alam. 107 :‫األنبياء‬- َ‫س ْلنَاكَ إِالَّ َرحْ َمةً ِل ْلعَالَ ِم ْين‬ َ ‫َو َما أ َ ْر‬ “Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) bagi semesta alam”. (QS. AlAnbiya’: 107) 8. Asas Saling Kerelaan (at-Taradli) Dalam berinteraksi (bekerja atau berbisnis) dengan orang lain harus dilakukan atas dasar suka sama suka atau sukarela dan bukan dengan pemaksaan. Orang yang melakukan pemaksaan terhadap orang lain berarti ia telah melakukan kezhaliman dan kebathilan. - .‫س ُك ْم إِنَّ هللاَ كَانَ ِب ُك ْم َر ِح ْي ًما‬ ٍ ‫َارةً ع َْن ت َ َر‬ ِ َ‫يآيُّهَا ا َّل ِذ ْينَ آ َمنُ ْوا الَ تَأ ْ ُكلُ ْوا أ َ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم ِبا ْلب‬ َ ُ‫ض ِم ْن ُك ْم َوالَ ت َ ْقتُلُ ْوا أ َ ْنف‬ َ ‫اط ِل إِالَّ أ َ ْن تَك ُْونَ تِج‬ 29 :‫النساء‬ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh diri kamu sekalian, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa’: 29) 9. Asas Kesopanan (al-Akhlak al-Karimah) Akhlak terpuji (al–akhlak al-karimah) merupakan misi mulia diutusnya para nabi dan rasul. Bahkan kesempurnaan iman seseorang dilihat dari kebaikan akhlaknya. Oleh sebab itu akhlak mulia hendaknya dijadikan sebagai perhiasan (sesuatu yang diterapkan) dalam setiap aktifitas mu’amalah yang dilakukan oleh orang yang beriman, sebagaimana dijelaskan dalam banyak ayat dan hadis Nabi saw., antara lain: َ ُ‫ص َدقَ ٍة َيتْ َبعُهَا أَذًى َو هللا‬ 263 :‫البقرة‬- .‫غ ِن ٌّي َح ِليْم‬ َ ‫قَ ْول َم ْع ُر ْوف َو َم ْغ ِف َرة َخيْر ِم ْن‬ “Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun. (QS. AlBaqarah: 263)

ْ ‫ع َو ِإذَا ا‬ ‫سلَّ َم قَا َل‬ َ ‫صلَّى هللا‬ َ ‫ع ْب ِد هللا َر ِض َي هللا‬ َ ‫ع َْن جَا ِب ِر اب ِْن‬: ‫شت َ َرى َو ِإذَا‬ َ ‫س ْم ًحأ ِإذَا بَا‬ َ ‫س ْو َل هللا‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ً‫َر ِح َم هللا َر ُجال‬ ُ ‫ع ْن ُه َما أَنَّ َر‬ ْ ‫رواه البخارى‬- .‫اقتَضَى‬ “Dari Jabir ibn Abdullah r.a.; bahwasanya Rasulullah saw bersabda: Allah mengasihi seseorang yang berbuat baik dalam menjual dan membeli serta dalam memberikan keputusan”. (HR. Bukhari) Sebelum membahas berbagai aspek hukum yang berkaitan dengan fikih mu’amalah, dalam tulisan ini terlebih dahulu akan dibahas tentang pengertian fikih mu’amalah, ruang lingkup pembahasan dan berbagai hal yang terkait dengannya. Dengan demikian para pembaca akan mendapatkan pengetahuan dan pemahaman yang memadai dan lebih terstruktur (sistematis) seputar fikih mu’amalah. Hal ini penting dilakukan agar seseorang dapat membedakan apakah suatu persoalan masuk dalam dimensi akidah, ibadah ataukah mu’amalah. Sebab masing-masing persoalan tersebut memiliki kekhasan, “aturan main” dan pendekatan yang tidak selalu sama. Namun hal ini tidak berarti bahwa ajaran Islam itu terkotak-kotak (dikotomis) antara satu dengan lainnya dan tidak memiliki interkoneksi (keterkaitan antara satu dengan lainnya). Tetapi justru sebaliknya bahwa Islam merupakan ajaran ilahi yang bersifat integral (menyatu) dan komprehensif (mencakup segala aspek kehidupan). Oleh sebab itu Islam tidak boleh dilihat hanya dari satu aspek dan menafikan aspek lainnya. Seseorang tidak boleh hanya melihat Islam dari sudut akidah saja dan meninggalkan aspek ibadah dan mu’amalahnya, begitu pula sebaliknya.

Pengertian Fikih Mu’amalah Fikih menurut bahasa berarti (‫ )ا َ ْلفَ ْه ُم‬pemahaman. Istilah fikih dengan pengertian seperti ini seringkali dapat ditemukan dalam ayat maupun hadis Nabi saw., antara lain: ‫ِين َو ِليُ ْنذ ُِروا قَ ْو َم ُه ْم إِذَا َر َجعُوا إِلَي ِْه ْم لَعَلَّ ُه ْم‬ ِ ‫َو َما كَانَ ا ْل ُمؤْ ِمنُونَ ِليَ ْن ِف ُروا كَافَّةً فَلَ ْو َال نَ َف َر ِم ْن ك ُِل فِ ْرقَ ٍة ِم ْن ُه ْم َطائِ َفة ِليَتَفَقَّ ُهوا فِي الد‬ 122 :‫التوبة‬- َ‫يَحْ ذَ ُرون‬ “Dan tidak sepatutnya bagi mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pemahaman (pengetahuan) mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At-Taubah: 122)

Kata fikih dalam pengertian pemahaman juga dapat dijumpai dalam surat al-A’raf ayat; 179, dan surat an-Nisa’ ayat; 78, dan juga dalam hadis Nabi saw: ‫ِين …–رواه البخاري ومسلم‬ َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫سلَّ َم َم ْن يُ ِر ْد‬ َّ ‫ص َّلى‬ َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫قَا َل َر‬ ِ ‫َّللاُ بِ ِه َخي ًْرا يُفَ ِق ْههُ فِي الد‬

“Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah akan suatu kebaikan, niscaya Allah akan memberikan kepadanya pemahaman dalam (masalah) agama.” (HR. alBukhari dan Muslim)

Adapun pengertian fikih menurut istilah sebagaimana dikemukakan oleh para ulama ialah sebagai berikut; ‫ج ِف ْي ِه ِإلَى النَّ َظ ِر َوالتَّأ َ ُّم ِل‬ ُ ‫اإلجْ ِتهَا ِد َويُحْ تَا‬ ْ ‫ا َ ْل ِع ْل ُم ِباالَحْ ك َِام الش َّْر ِع َّي ِة ا ْل َع َم ِل َّي ِة ِم ْن ا َ ِدلَّ ِتهَا التَّ ْف ِص ْي ِل َّي ِة َوه َُو ِع ْلم ُم‬ َّ ‫ست َ ْن َبط ِب‬ ِ ‫الرأْي ِ َو‬ ‫(الجرجانى الحنفي‬ “Ilmu yang menerangkan hukum-hukum syariat yang bersifat amaliyah (aplikatif) yang diambil dari dalil-dalilnya yang terperinci, dan disimpulkan lewat ijtihad yang memerlukan analisa dan perenungan.”

Pengertian senada juga dikemukakan oleh ulama’ lainnya, yaitu: ‫سنَّ ِة‬ ُّ ‫ب َوال‬ ِ ‫اإلبَا َح ِة َو ِه َي ُمتَلَقَّاة ِمنَ ا ْل ِكتَا‬ ِ ‫ب َوا ْل َح َظ ِر َوالنَّ ْد‬ ِ ‫ا َ ْل ِف ْقهُ َم ْع ِرفَةُ اَحْ ك َِام هللا ت َ َعالَى فِى اَ ْفعَا ِل ا ْل ُم َك َّل ِف ْينَ بِا ْل ُو ُج ْو‬ ِ ‫ب َوا ْلك ََرا َه ِة َو‬ َ ‫ست ُْخ ِر َجتْ االَحْ كَا ُم قِ ْي َل لَهَا ِف ْقه‬ ُ ‫صبَهُ الشَّّ ِار‬ َ َ‫َو َما ن‬ ْ ‫ع ِل َم ْع ِرفَتِهَا ِمنَ األ ِدلَّ ِة فَ ِإذَا ا‬ “Ilmu yang dengannya diketahui segala hukum Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf, berupa hal yang diwajibkan, dilarang, disunnahkan, dimakruhkan, dibolehkan, yang disimpulkan dari al-qur’an dan as-sunnah dan apa saja yang disandarkan oleh syari’ untuk diketahui dari dalil-dalil tertentu, maka apabila hukum itu dapat dikeluarkan (ditentukan/disimpulkan), itulah yang dinamakan fikih .” Dari kedua istilah tersebut dapat difahami bahwa secara aplikatif, bahwa kata fikih memiliki pengertian yang sama (sinonim) dengan istilah hukum. Hal itu dapat dilihat penggunaannya oleh para ulama ketika membahas persoalan hukum tertentu, seperti; fikih shalat (hukum shalat), fikih zakat (hukum zakat), fikih shiam (hukum puasa) dan lain sebagainya. Sedangkan pengertian muamalah adalah; segala bentuk kegiatan dan transaksi serta perilaku manusia dalam kehidupannya. Dengan demikian, fiqih muamalah dapat diartikan sebagai pengetahuan tentang kegiatan atau transaksi yang berdasarkan hukum-hukum syariat ( yang bersumber dari al-qur’an dan hadis), mengenai perilaku manusia dalam kehidupannya yang diperoleh dari dalil-dalil syari’at secara terperinci. Dalam pengertian yang lebih rinci, fikih mu’amalah adalah hukum Islam yang mengatur hubungan antara satu individu dengan individu lainnya, yang bertujuan untuk menjaga hak-hak manusia, merealisasikan keadilan, rasa aman, serta terwujudnya keadilan dan persamaan antara individu dalam masyarakat (kemaslahatan) serta menjauhkan segala kemudaratan yang akan menimpa mereka.

Prinsip-Prinsip (Fikih) Mu’amalah a. Pada dasarnya segala bentuk muamalah adalah mubah. ْ َ ‫ص ُل فِى ْاأل‬ ‫علَى ِخالَفِ ِه‬ َ ‫ إِالَّ َما َد َّل ال َّد ِل ِّ ْي ُل‬،ُ‫اإلبَاحَة‬ ْ َ ‫اَأل‬ ِ َ‫شي‬ ِ )ِ‫اء (فِى ا ْل ُمعَا َمالَت‬ “Pada dasarnya (asalnya) pada segala sesuatu (pada persoalan mu’amalah) itu hukumnya mubah, kecuali jika ada dalil yang menunjukkan atas makna lainnya.”

b. Mumalalah dilakukan atas dasar sukarela, tanpa mengandung unsur-unsur paksaan. - .‫س ُك ْم ِإنَّ هللاَ كَانَ ِب ُك ْم َر ِح ْي ًما‬ ٍ ‫َارةً ع َْن ت َ َر‬ ِ َ‫يآيُّهَا ا َّل ِذ ْينَ آ َمنُ ْوا الَ تَأ ْ ُكلُ ْوا أ َ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم ِبا ْلب‬ َ ُ‫ض ِم ْن ُك ْم َوالَ ت َ ْقتُلُ ْوا أ َ ْنف‬ َ ‫اط ِل ِإالَّ أ َ ْن تَك ُْونَ تِج‬ 29 :‫النساء‬ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh diri kamu sekalian, sesungguhnya Allah adalah maha penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa’: 29) c. Muamalah dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindari mudharat dalam bermasyarakat. ‫رواه أحمد وابن ماجة‬- .‫ار‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬ ِ ‫َام‬ َ ِ‫س ْو َل هللا‬ ِ ‫ع َْن عُبا َ َدةَ اب ِْن ص‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ُ ‫ت أَنَّ َر‬ َ ‫سلَّ َم قَ َّ ضَى أَ ْن الَ ض ََر َر َوالَ ِض َر‬ “Dari Ubadah bin Shamit; bahwasanya Rasulullah saw menetapkan tidak boleh berbuat kemudharatan dan tidak boleh pula membalas kemudharatan”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah) Dalam kaidah fiqhiyah juga disebutkan;

َ ُ‫اَلض ََّر ُر ي‬ ‫ـزا ُل‬ “Kemudharatan harus dihilangkan”

d. Muamalah dilaksanakan dengan memelihara nilai-nilai keadilan, menghindari unsurunsur penganiayaan dalam pengambilan kesempatan. 279 :‫البقرة‬- . َ‫س أَ ْم َوا ِل ُك ْم الَ ت َ ْظ ِل ُم ْونَ َوالَ ت ُ ْظلَ ُم ْون‬ ُ ‫ب ِمنَ هللاِ َو َر‬ ٍ ‫فَ ِإ ْن لَ ْم ت َ ْف َعلُ ْوا فَأْذَنُ ْوا بِح َْر‬ ُ ‫س ْو ِل ِه َوإِ ْن ت ُ ْبت ُ ْم َفلَ ُك ْم ُرؤ ُْو‬ “Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari mengambil riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. (QS. Al-Baqarah: 279)

Ruang Lingkup dan Cabang-Cabang Fikih Mu’amalah Fikih Islam mengatur seluruh aspek kehidupan baik secara vertikal maupun secara horizontal, baik yang berkaitan dengan individu, keluarga, masyarakat, bahkan yang berhubungan dengan negara baik saat damai maupun perang. Karena itu, secara garis besar, para fukaha’ (ulama’ fikih) membagi fikih menjadi dua macam, yaitu: fikih ibadah yang mengatur hubungan manusia secara vertikal dengan Allah dan fikih mu’amalah yang mengatur hubungan sosial antar sesama manusia. Ruang lingkup fikih muamalah meliputi seluruh kegiatan muamalah manusia berdasarkan hukum-hukum Islam baik berupa perintah maupun larangan-larangan hukum yang terkait dengan hubungan manusia dengan manusia lainnya. sedangkan cabang-cabang fikih mu’amalah antara lain: Pertama: Hukum yang mengatur hubungan antara satu pribadi dengan yang lainnya, baik yang menyangkut aturan sipil, perdagangan, keluarga, gugatan hukum, dan lain sebagainya. Contoh yang terkait dengan persoalan ini, antara lain; pembahasan tentang harta, baik dari aspek cara mendapatkan dan mendistribusikannya, maupun dari aspek hakekat dan konsep kepemilikan dalam Islam. Pembahasan tentang akad atau transaksi, hukum keluarga (al-ahwal asysyakhsiyah) seperti; nikah, talak, hak-hak anak, hukum waris, wasiat, wakaf, dan berbagai hal yang berhubungan dengan hukum murafa’at (gugatan). Kedua; hukum yang mengatur hubungan pribadi dengan negara (Islam), serta hubungan bilateral antara negara Islam dengan negara lain. Contoh-contoh kitab fikih yang berbicara tentang persoalan ini antara lain; Al-Ahkam as-sulthaniyah oleh Imam al-Mawardi dan Abu Ya’la alFarra’, As-Siyasah as-Syar’iyyah oleh Ibnu Taimiyah, Ath-Thuruq al-Hukmiyyah oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Al-Kharaj yang ditulis oleh Abu Yusuf dan Yahya bin Adam al-Quraisyi, dan lainnya. Cabang-cabang fikih mu’amalah tersebut di atas itulah yang akan menjadi topik pembahasan dalam ulasan-ulasan berikut secara lebih rinci dan aplikatif dalam edisi-edisi berikutnya. Selamat mengikuti. Perilaku yang harus dimiliki oleh aqid (orang yang berakad), adalah berlaku benar (lurus), menepati amanat, dan jujur

Manusia dijadikan Allah sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan antara satu dengan yang lain. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia harus berusaha untuk mencari karunia Allah di muka bumi ini. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Qashash (28) ayat 77 berikut: َ ‫نس نَ ِصيبَكَ ِمنَ ٱلد ُّۡن َياۖ َوأ َ ۡحسِن‬ ‫ٱَّللَ َال‬ َ َ‫ٱَّللُ إِلَ ۡيكَ ۖ َو َال ت َ ۡب ِغ ۡٱلف‬ َ ‫ڪ َما ٰٓ أ َ ۡح‬ َّ َّ‫ضۖ إِن‬ ِ ‫سا َد فِى ۡٱألَ ۡر‬ َّ َ‫سن‬ َّ َ‫َو ۡٱبتَ ِغ فِي َما ٰٓ َءات َ ٰٮك‬ َ َ ‫َّار ۡٱأل َ ِخ َرةَۖ َو َال ت‬ َ ‫ٱَّللُ ٱلد‬ ۡ ۡ َ‫ين‬ ٧٧ ‫س ِد‬ ِ ‫ب ٱل ُمف‬ ُّ ‫يُ ِح‬ Dan carilah pada apa yang telah di-anugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (Qs. al-Qashash/28: 77) Dalam muamalah dimulai dengan adanya akad. Akad adalah salah satu sebab yang ditetapkan syara’ yang karenanya timbullah beberapa hukum. Akad adalah perbuatan yang disengaja dibuat oleh dua orang atau lebih, berdasarkan persetujuan masing-masing. Akad itu mengikat pihak-pihak dengan beberapa hukum syara’, yaitu hak dan iltizam (memenuhi suatu ketentuan) yang diwujudkan dengan adanya akad itu.

Rukun-Rukun Akad 1. Aqid, yaitu orang yang berakad bisa dua orang atau lebih. Aqid ini bisa orang yang mempunyai hak sendiri (aqid asli) atau orang yang diberi kuasa (wakil). 2. Mahallul ‘aqdi, atau ma’qud ‘alaihi, sesuatu barang yang menjadi objek akad, seperti barang dagangan dalam akad jual beli, mauhub (benda hibah) dalam akad hibah, marhun (benda gadai) dalam akad rahn (gadai), hutang yang dijamin dalam akad kafalah (penjaminan hutang). 3. Maudhul’ul ‘aqdi ialah tujuan akad atau maksud pokok mengadakan akad tersebut. Maudhu’ dalam akad jual beli ialah memindahkan barang dari si penjual kepada pembeli dengan harga tertentu yang sudah disepakati. Dalam akad hibah, maudhu’nya mengalihkan kepemilikan barang kepada si mauhub atau yang diberi hibah. 4. Ijab dan Qabul (shighatul ‘aqdi) ialah ucapan yang menunjukkan kepada kehendak para pihak. Shighatul ‘aqdi memerlukan tiga syarat: 1. Harus jelas pengertiannya. 2. Harus bersesuaian antara ijab dan qabul. 3. Memperlihatkan kesungguhan dari pihak yang bersangkutan.

Lafadz yang dipakai dalam ijab qabul itu harus jelas pengertiannya menurut ‘urf (kebiasaan). Haruslah qabul itu sesuai ijab dalam segala segi. Apabila qabul menyalahi ijab, maka tidak sah, karena harus adanya persesuaian antara dua pernyataan itu. Haruslah shighat ijab qabul memperlihatkan kesungguhan, tidak diucapkan secara ragu-ragu. Apabila shighatul ‘aqdi tidak menunjukkan kesungguhan, akad itu tidak sah. Mengucapkan dengan lidah bukanlah satu-satunya jalan yang harus ditempuh dalam mengadakan akad. Ada beberapa cara untuk memperlihatkan kesungguhan dalam mengadakan akad tersebut. Para fuqaha menerangkan berbagai cara yang bisa ditempuh dalam mengadakan akad, yaitu: 1. Tertulis (kitabah), yaitu akad yang tertulis antara pihak aqid yang berjauhan atau tidak dapat hadir, sama dengan ucapan lidah yang dilakukan oleh mereka yang hadir. Bahkan dalam akad tertentu, yaitu hutang piutang, Allah memerintahkan untuk ditulis. Disebutkan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah (2): 283. ٍ۬ ۡ ۡ ً ٍ۬ ‫ضكُم بَ ۡع‬ ُ ‫سفَ ٍ۬ ٍر َولَمۡ ت َ ِجدُواْ كَاتِ ٍ۬بًا فَ ِر َهـ ٍٰ۬ن َّم ۡقبُوضَةۖ َف ِإ ۡن أ َ ِمنَ بَ ۡع‬ ‫ٱَّللَ َربَّهُۥ‬ َ ۡ‫َوإِن كُنت ُم‬ َ ‫علَ ٰى‬ َّ ‫ق‬ ِ َّ‫ضا َفليُؤ َِد ٱلَّذِى ۡٱؤت ُِمنَ أ َ َم ٰـنَتَهُۥ َوليَت‬ ۡ َ‫ش َه ٰـ َدةَۚ َو َمن ي‬ ‫ع ِل ٍ۬يم‬ َ َ‫ٱَّللُ بِ َما ت َ ۡع َملُون‬ َّ ‫َو َال ت َ ۡكت ُ ُمواْ ٱل‬ َّ ‫ڪت ُۡمهَا فَ ِإنَّهُۥۤ َءاثِ ٍ۬م قَ ۡلبُهُۥ َو‬ Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh se-orang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan per-saksian. dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (Qs. al-Baqarah/2: 283). 2. Isyarat, bagi orang yang bisu. 3. Ta’athi, ialah sebagai yang berlaku sekarang ini. Kita berikan harga, kita ambil barang, tak pernah dikatakan, saya jual ini kepada anda dan saya beli ini dari anda, walaupun oleh sebagian fuqaha tidak dibenarkan. 4. Lisanul hal, apabila seseorang meninggalkan barang-barangnya dihadapan kita, kemudian dia pergi, kemudian kita ambil barang-barang itu, para fuqaha memandang telah ada akad titipan. Syarat-syarat umum yang harus terpenuhi dalam segala macam akad: 1. Para pihak yang berakad (aqid) cakap berbuat. 2. Yang dijadikan objek akad dapat menerima hukumnya. 3. Akad itu diizinkan oleh syara’, dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukannya dan melaksanakannya, walaupun dia bukan aqid sendiri. 4. Akad itu memberikan manfaat. 5. Ijab itu berjalan terus tidak dicabut sebelum qabul batallah biija.

6. Bertemu di majelis akad. Ketentuan nomor 6 ini sesuai pendapat Imam Syafi’i.

Perilaku Orang Berakad Perilaku yang harus dimiliki oleh aqid (orang yang berakad), adalah sebagai berikut: 1. Berlaku benar (lurus) Berperilaku benar merupakan ruh keimanan dan ciri utama orang yang beriman. Sebaliknya, dusta merupakan perilaku orang munafik. Seorang muslim dituntut untuk berlaku benar, seperti dalam jual beli, baik dari segi promosi barang atau penetapan harganya. Oleh karena itu, salah satu karakter pedagang yang terpenting dan diridhai Allah adalah berlaku benar. Dusta dalam berdagang sangat dicela terlebih jika diiringi sumpah atas nama Allah. “Empat macam manusia yang dimurkai Allah, yaitu penjual yang suka bersumpah, orang miskin yang congkak, orang tua renta yang berzina, dan pemimpin yang zalim.” (HR. Nasai, dan Ibnu Hibban). 2. Menepati Amanat Menepati amanat merupakan sifat yang sangat terpuji. Yang dimaksud amanat adalah mengembalikan hak apa saja kepada pemiliknya. Orang yang tidak melaksanakan amanat dalam Islam sangat dicela. Hal-hal yang harus disampaikan ketika berdagang adalah penjual atau pedagang menjelaskan ciri-ciri, kualitas, dan harga barang dagangannya kepada pembeli tanpa melebih-lebihkannya. Hal itu dimaksudkan agar pembeli tidak merasa tertipu dan dirugikan. 3. Jujur Selain benar dan memegang amanat, seorang pedagang harus berlaku jujur. Kejujuran merupakan salah satu modal yang sangat penting dalam jual beli karena kejujuran akan menghindarkan diri dari hal-hal yang dapat merugikan salah satu pihak. Sikap jujur dalam hal timbangan, ukuran kualitas dan kuantitas barang yang diperjualbelikan adalah perintah Allah swt. Firman Allah dalam al-Qur’an surat al-A’raf ayat 85). ٍ۬ ۡ ‫شعَ ۡي ٍ۬ ًبا َقا َل يَ ٰـقَ ۡو ِم‬ َ ‫ٱَّللَ َما لَڪُم ِم ۡن إِلَ ٰـ ٍه‬ َ ‫ڪ ۡي َل َو ۡٱل ِم‬ َ ‫غ ۡي ُرهُ ۖۥ قَ ۡد َجا ٰٓ َء ۡتڪُم بَيِنَة ِمن َّربِڪُمۡ ۖ فَأ َ ۡوفُواْ ۡٱل‬ َ‫يزان‬ ُ ۡ‫َوإِلَ ٰى َم ۡديَنَ أَ َخاهُم‬ َّ ْ‫ٱعبُدُوا‬ ۡ ِ‫ض بَ ۡع َد إ‬ ٨٥ َ‫صلَـ ِٰحهَاۚ ذَٲ ِلڪُمۡ َخ ۡي ٍ۬ر لَّكُمۡ إِن ڪُنت ُم ُّم ۡؤ ِمنِين‬ ِ ‫اس أ َ ۡشيَا ٰٓ َءهُمۡ َو َال ت ُۡف‬ ِ ‫سدُواْ فِى ۡٱأل َ ۡر‬ ُ ‫َو َال ت َ ۡب َخ‬ َ َّ‫سواْ ٱلن‬ Dan (kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan saudara mereka, Syu’aib. Ia berkata: hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang dan timbangannya,

dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman. (Qs. al-A’raf /7: 85). Sikap jujur pedagang dapat dicontohkan seperti dengan menjelaskan cacat barang dagangan. Baik yang diketahui maupun yang tidak diketahui. Sabda Nabi Muhammad saw. yang artinya: “Muslim itu adalah saudara muslim, tidak boleh seorang muslim apabila ia berdagang dengan saudaranya dan menemukan cacat, kecuali diterangkannya.” Lawan sifat jujur adalah menipu atau curang, seperti: mengurangi takaran, timbangan, kualitas, kuantitas atau menonjolkan keunggulan barang tetapi menyembunyikan cacatnya. Hadits lain meriwayatkan, dari Umar bin Khattab r.a. berkata, seorang lelaki mengadu kepada Rasulullah saw.: “Katakanlah kepada si penjual, jangan menipu! Maka sejak itu apabila dia melakukan jual beli, selalu diingatkannya jangan menipu”. (HR. Muslim).

Hukum Islam memandang harta mempunyai nilai yang sangat strategis. Hal ini disebabkan karena harta merupakan alat dan sarana untuk memperoleh berbagai manfaat dan mencapai kesejahteraan hidup manusia sepanjang waktu.

Hubungan manusia dengan harta sangat erat. Demikian eratnya hubungan tersebut sehingga naluri manusia untuk memilikinya menjadi satu dengan naluri mempertahankan hidup manusia itu sendiri. Justru, harta termasuk salah satu hal penting dalam kehidupan manusia. Sebab, harta termasuk unsur lima asas yang wajib dilindungi bagi setiap manusia (al-dharuriyyat al-khamsah) yaitu jiwa, akal, agama, harta dan keturunan. Dalam al-Qur’an terdapat 82 kata harta (al-mal, amwalukum, amwa-lahum, malukum). Dalam ayat-ayat tentang harta itu menunjukkan bahwa harta benda itu meskipun milik/dimiliki perseorangan tetapi berfungsi sosial.

A. Syarat Kepemilikan Yang harus diperhatikan dalam hal kepemilikan harta adalah 1. Distributif Jangan sampai kepemilikan harta terkonsentrasi di tangan aghniya’. Harta harus disalurkan kepada bidang produktif, sehingga ada kerjasama antara agh-niya’ dengan golongan ekonomi

lemah. Dengan modalnya, kaum aghniya’ dapat memberi lapangan kerja kepada golongan ekonomi lemah. Firman Allah Q.s. al-Hasyr/59: 7

َ‫سبِي ِل ك َۡى َال َيكُونَ دُولَ َۢةَ بَ ۡين‬ َ ُ‫ٱَّلل‬ َّ ‫ين َو ۡٱب ِن ٱل‬ َ ‫سو ِل َو ِلذِى ۡٱلقُ ۡر َب ٰى َو ۡٱليَت َ ٰـ َم ٰى َو ۡٱل َم‬ ُ ‫لر‬ ُ ‫علَ ٰى َر‬ َّ ‫َّما ٰٓ أَفَا ٰٓ َء‬ َّ ‫سو ِل ِۦه ِم ۡن أ َ ۡه ِل ۡٱلقُ َر ٰى فَ ِللَّ ِه َو ِل‬ ِ ‫س ٰـ ِك‬ ۡ ۡ ۡ ۡ َ َ َ ‫ب‬ َ َ‫ٱَّلل‬ َّ َّ‫ٱَّللَۖ إِن‬ َّ ْ‫سو ُل ف ُخذُوهُ َو َما نَ َہ ٰٮكُمۡ عَنهُ فٱنت َ ُهواْۚ َوٱتَّقُوا‬ ُ ‫ٱلر‬ َّ ‫ٱألغنِيَا ِٰٓء ِمنكُمۡ ۚ َو َما ٰٓ َءات َ ٰٮ ُك ُم‬ ِ ‫شدِي ُد ٱل ِع َقا‬

Terjemah: Apa saja harta rampasan (fa’i -berupa harta benda) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota, adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan (ibnu sabil), agar harta itu jangan beredar saja di antara orang-orang kaya dari kalanganmu. Apa saja yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah, dan apa saja yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah itu amat keras hukumannya.

2. Berkembang Harta itu dirasakan oleh orang banyak sehingga pemilik harta menjauhi sifat tamak dan kikir, serta menggunakan hartanya untuk kepentingan sosial seperti infak, zakat dan shadaqah. Firman Allah Q.s. Ali Imran/3: 180

ۡ َ‫ٱَّللُ ِمن ف‬ ‫سيُ َط َّوقُونَ َما بَ ِخلُواْ ِب ِۦه يَ ۡو َم ۡٱل ِقيَ ٰـ َم ِة‬ َ ۖ ۡ‫ض ِل ِۦه ه َُو َخ ۡي ٍ۬ ًرا َّل ُهمۖ َب ۡل ه َُو ش ٍ۬ ٌَّر لَّ ُهم‬ َ ‫َو َال يَ ۡح‬ َّ ‫سبَنَّ ٱلَّ ِذينَ يَ ۡب َخلُونَ ِب َما ٰٓ َءاتَ ٰٮ ُه ُم‬ ُ ‫ير‬ ‫ٱَّللُ ِب َما ت َ ۡع َملُونَ َخ ِب ٍ۬ير‬ ِ ‫س َمـ َٰوٲ‬ َّ ‫ٲث ٱل‬ َّ ‫ض َو‬ ِ ‫ت َو ۡٱأل َ ۡر‬ َ ‫َو ِ ََّّللِ ِم‬

Terjemah: Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya, kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu kelak akan dikalungkan di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. 3. Efektif

Sebagai modal, harta harus berperan dalam berbagai lapangan produktif yang akhirnya akan tersalur dalam berbagai lapangan usaha secara distributif yang dapat menampung dan menjalankan produktivitas dan efektivitas ekonomi dan menghindari terjadinya penimbunan harta.

Firman Allah Q.s. al-Taubah/9: 34.

َ َّ‫۞ َي ٰـٰٓأ َ ُّي َہا ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُ ٰٓواْ ِإن‬ ُ ‫اس ِب ۡٱل َبـ ِٰط ِل َو َي‬ ِ‫ٱَّلل‬ َ ‫صدُّونَ عَن‬ َّ ‫س ِبي ِل‬ ِ َّ‫ان لَ َي ۡأ ُك ُلونَ أَ ۡم َوٲ َل ٱلن‬ ُّ ‫يرا ِمنَ ۡٱأل َ ۡح َب ِار َو‬ ً ٍ۬ ‫ڪ ِث‬ ِ ‫ٱلر ۡه َب‬ ‫يم‬ َ ‫ب َو ۡٱل ِفضَّةَ َو َال يُن ِفقُونَ َہا ِفى‬ َّ ‫س ِبي ِل‬ َ ‫َوٱلَّ ِذينَ َي ۡك ِن ُزونَ ٱلذَّ َه‬ ٍٍ۬ ‫ب أَ ِل‬ ٍ ‫ٱَّللِ فَ َبش ِۡرهُم ِب َعذَا‬ Terjemah: Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.

B. Karakteristik Harta Secara umum, karakteristik harta dalam Islam adalah sebagai berikut. 1. Ilahiyah Titik berangkat kita dalam kepemilikan maupun pengembangan harta kita adalah dari Allah. Tujuannya adalah mencari ridha Allah dan cara caranya juga tidak bertentangan dengan syari’atNya. Kegiatan produksi, konsumsi, penukaran dan distribusi diikatkan pada prinsip Ilahiyah dan tujuan Ilahi. Seorang Muslim melakukan kegiatan produksi, disamping memenuhi hajat hidupnya, keluarga dan masyarakatnya juga karena melaksanakan perintah Allah.

Firman Allah Q.s. al-Mulk/67:15.

ٍ۬ ‫ُور‬ ُ ‫ه َُو ٱلَّذِى َجعَ َل لَ ُك ُم ۡٱأل َ ۡرضَ ذَلُوالً َف ۡٱمشُواْ فِى َمنَا ِكبِ َہا َو ُكلُواْ ِمن ِر ۡز ِق ِۦهۖ َوإِلَ ۡي ِه ٱلنُّش‬

Terjemah: Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan. Ketika seorang muslim mengkonsumsi dan memakan dari sebaik-baiknya rizki dan yang halal, ia merasa sedang melaksanakan perintah Allah. Firman Allah Q.s. al-Baqarah/2: 168.

ُ ‫ض َحلَ ٰـ ٍ۬الً َط ِي ٍ۬ ًبا َو َال تَت َّ ِبعُواْ ُخ‬ ‫عد ٍ۬ ٌُّو ُّم ِبين‬ َ ۡ‫ت ٱلش َّۡي َطـ ِٰنۚ ِإنَّهُۥ لَكُم‬ ِ ‫ط َوٲ‬ ِ ‫اس ُكلُواْ ِم َّما فِى ۡٱأل َ ۡر‬ ُ ‫يَ ٰـٰٓأَيُّهَا ٱل َّن‬

Terjemah: Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. Ia menikmatinya dalam batas kewajaran dan bersahaja, sebagai bukti ketundukannya kepada perintah Allah. Firman Allah Q.s. al-A’raf/7 :31.

ۡ ‫ڪلُواْ َو‬ َ‫ب ۡٱل ُم ۡس ِرفِين‬ ُ ‫۞ يَ ٰـبَنِ ٰٓى َءا َد َم ُخذُواْ ِزينَتَكُمۡ ِعن َد ك ُِل َم ۡس ِج ٍ۬ ٍد َو‬ ُّ ‫ٱش َربُواْ َو َال ت ُۡس ِرفُ ٰٓواْۚ ِإنَّهُۥ َال يُ ِح‬

Terjemah: Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. Keterangan: ayat ini memerintahkan untuk memakai pakaian yang indah tiap akan mengerjakan sembahyang atau thawaf keliling ka’bah atau ibadah-ibadah yang lain. Namun demikian, janganlah meampaui batas yang dibutuhkan oleh tubuh dan jangan pula melampaui batas-batas makanan yang dihalalkan.

Ketika melakukan usaha, ia tidak akan berusaha dengan sesuatu yang haram, tidak akan melakukan kegiatan riba dan menimbun barang, tidak akan berlaku dhalim, tidak akan menipu, mencuri, korupsi, kolusi dan tidak akan pula melakukan praktik suap menyuap. Firman Allah Q.s. al-Baqarah/2: 188.

ٍ۬ َّ ‫َو َال ت َ ۡأ ُكلُ ٰٓواْ أ َ ۡم َوٲلَكُم بَ ۡينَكُم ِب ۡٱلبَـ ِٰط ِل َوت ُۡدلُواْ ِب َها ٰٓ إِلَى ۡٱل ُح‬ َ‫ٱإل ۡث ِم َوأَنتُمۡ تَ ۡعلَ ُمون‬ ُ ‫ڪ ِام ِلتَ ۡأ‬ ِ َّ‫ڪلُواْ فَ ِري ًقا ِم ۡن أَ ۡم َوٲ ِل ٱلن‬ ِ ۡ ‫اس ِب‬ Terjemah: Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. Ketika memiliki harta, seorang muslim tidak akan menahannya karena kikir, tidak akan membelanjakannya secara boros. Ia merasa bahwa hartanya itu milik Allah dan amanah Allah untuk diman-faatkan sesuai dengan ketentuan-Nya dan dikeluarkan zakatnya. Dalam pandangan Islam harta bukanlah tujuan, melainkan semata-mata sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi dan sarana penunjang bagi realisasi akidah dan syariat-Nya. 2. Akhlaq Kesatuan antara kegiatan ekonomi dengan akhlak ini semakin jelas pada setiap langkah. Akhlak adalah bingkai bagi setiap aktivitas ekonomi. Jack Aster, pakar ekonomi Perancis, menyatakan bahwa Islam adalah sistem hidup yang aplikatif dan secara bersamaan mengandung nilai-nilai akhlaq yang tinggi. Yusuf Qardhawi menyatakan bahwa Ekonomi Islam adalah ekonomi yang mengambil kekuatan dari wahyu al-Qur’an, dan karena itu pasti berakhlak. Akhlak memberikan makna baru terhadap konsep nilai dan mampu mengisi kekosongan pikiran yang nyaris muncul akibat era industrialisasi.

3. Kemanusiaan Ekonomi Islam adalah ekonomi kemanusiaan. Artinya, ekonomi yang me-mungkinkan manusia memenuhi kebutuhan hidup, baik yang bersifat kebendaan maupun kejiwaan. Manusia merupakan tujuan antara, kegiatan ekonomi dalam Islam, sekaligus merupakan sarana dan pelakunya dengan memanfaatkan ilmu yang telah diajarkan oleh Allah kepadanya dan anugerah serta kemampuan yang diberikan-Nya.

Di antara kegiatan yang menonjol dalam segala aktivitas yang diperintahkan ajaran Islam adalah keadilan, persaudaraan, saling mencinta, saling membantu, dan tolong-menolong. Karena harta bukan hanya berkembang dikelompok orang kaya saja. Firman Allah Q.s. al-Hasyr/59: 7.

َ‫س ِبي ِل ك َۡى َال يَكُونَ دُولَ َۢةَ بَ ۡين‬ َ ُ‫ٱَّلل‬ َّ ‫ين َو ۡٱب ِن ٱل‬ َ ‫سو ِل َو ِلذِى ۡٱلقُ ۡر َب ٰى َو ۡٱليَت َ ٰـ َم ٰى َو ۡٱل َم‬ ُ ‫لر‬ ُ ‫علَ ٰى َر‬ َّ ‫َّما ٰٓ أ َفَا ٰٓ َء‬ َّ ‫سو ِل ِۦه ِم ۡن أ َ ۡه ِل ۡٱلقُ َر ٰى فَ ِللَّ ِه َو ِل‬ ِ ‫س ٰـ ِك‬ ۚ ۡ‫ۡٱأل َ ۡغ ِن َيا ِٰٓء ِمنكُم‬ ‫ب‬ َ َ‫ٱَّلل‬ َّ َّ‫ٱَّللَۖ ِإن‬ َّ ْ‫سو ُل فَ ُخذُو ُه َو َما َن َہ ٰٮكُمۡ ع َۡنهُ فَٱنت َ ُهواْۚ َوٱتَّقُوا‬ ُ ‫ٱلر‬ َّ ‫َو َما ٰٓ َءات َ ٰٮ ُك ُم‬ ِ ‫شدِي ُد ۡٱل ِع َقا‬

Terjemah: Apa saja harta rampasan (fai) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Makkah adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anakanak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesung-guhnya Allah sangat keras hukumannya. Adanya kesadaran bahwa pada setiap harta yang manusia miliki terdapat hak orang lain. Firman Allah Q.s. Al-Ma’arij/70: 24-25.

ٍ۬ ٍ۬ ُ‫ق َّم ۡعل‬ ‫وم‬ ٌّ ‫( َوٱلَّ ِذينَ ِف ٰٓى أ َ ۡم َوٲ ِل ِهمۡ َح‬25)٥ َّ ‫) ِلل‬24( ‫وم‬ ِ ‫سا ٰٓ ِٕٮ ِل َو ۡٱل َم ۡح ُر‬

Terjemah: Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu. Bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta). Kesadaran ini tercermin dalam pelaksanaan zakat, infak, sadaqah yang dikeluarkan untuk diberikan kepada yang berhak menerima (dhuafa’ dan masakin) maupun untuk kegiatan fi sabilillah. Beberapa ketentuan Allah yang tidak diperbolehkan/diharamkan dalam mencari harta, diantaranya adalah:

1. 2. 3. 4.

Adanya Riba, karena hal ini merupakan larangan Allah. Maisir/perjudian untung-untungan. Ketidakadilan, hanya menguntungkan salah satu pihak dan merugikan pihak lain. Gharar, ketidakpastian yang mengandung unsur jahalah (pembodohan), mukhatarah (spekulasi), qumaar (pertaruhan) 5. Ghasiy, kecurangan. 6. Menyalahi hukum Islam, misalnya hukum waris. Jika berbicara mengenai etika, maka yang terlintas adalah apa yang boleh dan apa yang dilarang. Untuk itu hal-hal yang dilarang dalam bisnis adalah sebagai berikut: 1.Menyembunyikan harga kini Dalam hal ini Rasulullah bersabda yang artinya: “dari Thowus, dari Ibnu Abbas RA berkata: Bersabda Rasullullah SAW “Janganlah kamu menjemput para pedagang yang membawa dagangan mereka sebelum diketahui harga pasaran dan janganlah orang kota menjual barang yang diketahui orang desa”.Aku bertanya kepada Ibnu Abbas: “Apa yang dimaksud dari sabda Rosul? Jawab Ibnu Abbas,”Maksudnya,janganlah orang kota menjadi perantara bagi orang desa”. 2.Riba Dalam berbisnis hendaklah harus bersih dari unsur-unsur riba yang telah jelas-jelas dilarang oleh Allah.sebaliknya menggalakkan jual beli dan investasi. 3.Menipu Islam mengharamkan penipuan dalam semua aktivitas manusia,termasuk dalm kegiatan bisnis dan jual beli.memberikan informasi yang tidak benar, mencampur barang yang baik dengan buruk termasuk dalam kategori penipuan. 4.Mengurangi timbangan dan takaran Salah satu cermin keadilan adalah menyempurnakan timbangan dan takaran.inilah yang sring diulang dalan Al-Quran”Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar,dan timbanglah dengan neraca yang benar itulah lebih utama bagimu dan baik akibatnya.” 5. Mengukur Pembayaran Utang Islam yang mewajibkan sikap adil dengan melunasi utang jika sudah sanggup membayarnya,agar terlepas tanggungjawabnya.Jika seseorang mampu membiayai utang tetapi ia tidak melakukannya maka ia bertindak zalim. 6.Menjual Belikan yang Haram Barang yang diperjual belikan haruslah barang yang halal baik zat maupun sifat-sifatnya,bukan memperdagangkan barang-barang yang telah diharamkan oleh Allah. 7.Ihtikar Islam memberikan jaminan kebebasan pasar dan kebebasan individu untuk melakukan bisnis,namun islam melarang perilaku mementingkan diri sendiri,mengeksploitasi keadaan yang umumnya didorong oleh sifat tamak sehingga menyulitkan dan menyusahkan orang banyak. 8.Memakai sistem ijon Akad jual beli yang mengandung unsur-unsur gharar dapat menimbulkan perselisihan,karena

barang yang diperjualbelikan tidak diketahui dengan baik sehingga dapat dimungkinkan mengandung unsur penipuan

Para ahli fiqh islam telah membahas masalah riba dan jenis barang ribawi dengan panjang lebar dalam kitab-kitab mereka. Dalam kesempatan ini akan disampaikan kesimpulan umum dari pendapat mereka yang intinya bahwa barang ribawi meliputi : 1. Emas dan perak, baik itu dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lainya. 2. Bahan makanan pokok, seperti beras, gandum, dan jagung, serta bahan makan tambahan, seperti sayr-sayuran dan buah-buahan. Hal-hal Yang Menimbulkan Riba Jika seseoarang menjual benda yang mungkin mendatangkan riba menurut jenisnya seperti seseorang menjual salah satu dari macam mata uang yaitu emas dan perak dengan yang sejenis atau bahan makanan seperti beras dengan beras, gabah dengan gabah dan yang lainya, maka disyaratkan: a) Sama nilainya (tamasul) b) Sama ukurannya menurut syara’, baik timbangannya, takaranya maupun ukurannya. c) Sama-sama tunai (taqabuth) di majelis akad.

PENDAHULUAN Islam merupakan agama Universal, komprehensif, membawa nilai perdamaian, keadilan, sistem kehidupan yang mana dengan menyeluruhnya nilai-nilai yang ada pada Islam itu sendiri ia mampu mencakup segala aspek kehidupan manusia. Nilai universal itu antara lain kegiatan politik, ekonomi, maupun sosial. Dewasa ini kegiatan ekonomi sudah menjadi sorotan bagi semua kalangan, dan tak sedikit pula problem-problem ekonomi yang muncul dan perlu adanya evaluasi serta penganalisaan terhadap problem dewasa ini. Tidak jauh dari satu kesatuan agama Islam proses muamalah adalah kegiatan yang sangat penting untuk dianalisa, sebagaimana telah diatur dalam syariat Islam, mengenai konsep, etika atau adab maupun metodologinya yang mana harus sesuai dengan tujuan semua umat muslim yaitu mampu menyeimbangkan urusan dengan sesama makhluknya maupun urusan dengan tuhannya yang populer dengan kata HabluminaAllah dan Habluminannass. Kebahagiaan merupakan tujuan utama semua umat manusia baik itu kebahagiaan material maupun spiritual (duniawi-ukhrawi). Dalam proses pencapaian kebahagiaan itu manusia perlu tahu dan paham betul apa saja yang sudah tercantum dalam pedoman dasar hidupnya (AlQur’an) yakni unsur-unsur pokok yaitu Akidah, Syariah, dan Akhlaq. Dimana ketiga unsur ini jika

berjalan secara berkesinambungan dan seimbang akan mengantarkan kita pada pintu kebahagiaaan yang sesungguhnya (Falah) bahagia dunia dan akhirat. Sebagaimana mestinya seorang muslim berkewajiban memahami betul sebelum meluruskan hal-hal apa saja yang menjadi problematika perekonomian kita terutama dalam aspek etika, dan untuk itu perlu dikaji lebih dalam mengenai masalah-masalah kontemporer saat ini. Adapun rumusan masalah dari tema pembahasan kami antara lain : Konsep etika dalam berwirausaha atau berbisnis Keutamaan dan Etika bisnis menurut Al-Qur’an dan Hadist. Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam usaha Islam. PEMBAHASAN KONSEP ETIKA BERWIRAUSAHA DALAM ISLAM Filosofis dasar untuk seorang pebisnis bahwa setiap gerak langkah aktivitas manusia merupakan konsepsi penting hubungan manusia dengan sesama makhluknya maupun dengan Tuhannya. Begitu pula dengan kegiatan berbisnis atau muamalah yang menjadi paradigma agama universal, dengan kata lain kegiatan berbisnis tidak hanya semata-mata mengejar materi saja tetapi spiritual juga (semata-mata untuk beribadah kepada Allah). Dengan landasan inilah seorang pebisnis muslim terutama akan merasa datang kehadiran sosok ketiga dalam kehidupannya, yaitu TUHAN (Allah) dalam aspek kehidupannya yang menjadi bagian integral setiap muslim. Hal ini karena bisnis Islam tidak semata-mata mencari kesenangan dunia tetapi kesenangan ukhrawi terpenuhi pula. Etika dan bisnis dalam ekonomi Islam tidak semata-mata dipandang sebagai dua hal yang bertolak belakang, jika kita bedah kembali dengan sudut pandang Islam bisnis merupakan simbol urusan dunia, dimana kegiatannya lebih terfokus pada pencapaian materi sedangkan etika merupakan Investasi akhirat maksudnya adalah jika berbisnis dengan memakai etika dan semata-mata niat karena Allah SWT maka, diantara keduanya merupakan dua hal yang saling berkesinambungan dan tak terpisahkan, sejalan dengan kaidah dan moral yang berlandaskan keimanan kepada akhirat. Dengan etika bisnis akan berjalan lancar materi dapat didapat tanpa etika dalam berbisnis maka terjerumuslah dilubang hitam. Zaman sekarang, manusia beranggapan bahwa dengan hadirnya keyakinan (Tuhan) yang menjadi bagian integral kita bahwasanya tujuan akhiratlah yang penting untuk dicapai sedang kehidupan dunia tidak diperdulikan, ini merupakan bentuk implementasi yang salah dalam memahami teks Al-Qur’an. Bahkan hal ini juga menjadi bahan kajian oleh salah satu tokoh muslim kita yaitu Ibnu Arabi yang mana ia mengemukakan statementnya: “Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjelaskan (hukum) Al-Qur’an, injil, taurat maupun zabur yang diterapkan kepadanya oleh tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makna dari atas mereka (akhirat) dan dari bawah kaki mereka (dunia). Yang kemudian diperkuat dengan perkataan Ali bin Ali Tholib yang merupakan kholifah keempat setelah wafatnya Rasul yang berbunyi: ‫َم ْن أ َ َرا َد ال ُّد ْن َيا فَ َعلَ ْي ِه ِبال ِع ْل ِم َو َم ْن أ َ َرا َد األ َ ِخ َرة َ فَ َعلَ ْي ِه ِبال ِع ْل ِم َو َم ْن أ َ َرا َد ُه َما فَ َعلَ ْي ِه ِبال ِع ْل ِم‬ Artinya: “Barang siapa yang menginginkan dunia maka hendaknya ia berilmu, dan barang siapa yang

menginginkan akhirat maka hendaknya ia berilmu, barang siapa menginginkan keduanya maka hendaknya berilmu” Isyarat dari Ali bin Tholib itu bahwa selain etika yang diperlukan dalam berbisnis ada faktor lain sebagai penunjang keberhasilan tersebut yaitu Skill dan Pengetahuan tentang etika itu sendiri. KEUTAMAAN dan ETIKA BISNIS MENURUT AL-QUR’AN dan HADIS Secara global, moral merupakan perilaku yang dapat diterima oleh masyarakat baik itu benar atau tidaknya, dan dalam masyarakat filosofis standar suatu moral itu dapat diasumsikan berbeda-beda, dan alasan inilah yang dikenal dengan istilah etika, suatu perilaku yang dianggap rasioanal oleh paham konven dan dianggap tidak rasional oleh paham Islam, begitu pula sebaliknya. Allah juga telah menjelaskan dalam surat Al-Jumu’ah (62) : 9 bahwa berdagang esensinya bukan hanya untuk selalu menghabiskan waktu kesehariannya dengan perdagangan yang dia lakukan akan tetapi ketika datang waktu sholat maka, hendaklah sang pebisnis tersebut berhenti dari pekerjaanya dan melaksanakan sholat. Hal ini merupakan wadah dimana manusia berkomunikasi dengan Tuhannya dan beribadah kepadaNya. Bunyi ayatnya : َ‫صالَةِ ِم ْن َي ْو ِم ال ُج ُم َع ِة فَا ْس َع ْوا اِلَى ِذ ْك ِر هللاِ َوذَ ُروا ال َب ْي َع ذَ ِل ُك ْم َخي ٌْر لَّ ُك ْم ا ِْن ُك ْنت ُ ْم تَ ْع َل ُم ْون‬ َّ ‫ِي ِلل‬ َ ‫َياأ َ ُّي َهاالَّ ِذيْنَ أ َ َمنُ ْوا اِذَا نُ ْود‬ Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila telah diseru untuk melaksanakan sholat pada hari jumat, maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahuinya.” Ibnu katsir menafsirkan ayat diatas : “Allah melarang kaum muslimin berdagang pada saat sholat jum’at ditunaikan, allah mengizinkan kita untuk mencari karunia allah yang berupa rezeqi yang diberikan Allah lagi setelah shalat jum’at selesai dilaksanakan”. Allah Swt berfirman dalam surat At-Taubah (9): 111 : ِ‫سبِ ْي ِل هللاِ فَيَ ْقتُلُ ْونَ َويُ ْقتَلُ ْونَ َو ْعدًا َعلَ ْي ِه َحقًّا فِي الت َْو َراة‬ َ ‫س ُه ْم َوا َ ْم َوالَ ُه ْم بِأ َ َّن لَ ُه ُم ال َجنَّةَ يُقَاتَلُ ْونَ فِي‬ َ ُ‫ا َِّن هللاَ ا ْشت ََرى ِمنَ ال ُمؤْ ِمنِيْنَ ا َ ْنف‬ ‫اإل ْن ِج ْي ِل َوالقُ ْرأ َ ِن َو َم ْن أ َ ْوفَى بِعَ ْه ِد ِه ِمنَ هللاِ فَا ْست َ ْب ِش ُروا بِبَ ْي ِع ُك ُم الَّذِي بَايَ ْعت ُ ْم بِ ِه َوذَلِكَ ه َُو الفَ ْو ُز العَ ِظ ْي ُم‬ ِ ‫َو‬ Artinya: “Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berpegang kepada jalan Allah lalu mereka membunuh atau terbunuh. Itu telahmenjadi janji yang benar dari Allah di dalam taurat, injil, dan al quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya selain daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang kamu lakukan itu. Dan itulah kemenangan yang besar.” Penjelasan ayat diatas bahwa mereka ingin melakukan aktivitas kehidupannya kecuali apabila memperoleh keuntungan semata, ditantang oleh Al-Qur’an dengan menawarkan bursa yang tidak mengenal kerugian dan penipuan. Dan ada beberapa hal yang menjadi pedoman bagi semua kegiatan umat manusia yaitu : iman, islam dan taqwa. Ketiga pedoman ini guna menjadi tempat berkaca dan mengevaluasi kembali etika kita sudah sesuai atau belum dengan pedomannya. Sedangkan menurut hadis, etika bisnis islami ada 4 yaitu:

Jujur Dalam sebuah transaksi ekonomi, sangat diperlukan keterbukaan dalam semua hal yang bersangkutan. Tak heran jika diantara kedua belah pihak terjadi kecurangan dikarenakan tidak adanya keterbukaan tentang hal yang bersangkutan. Banyak usaha atau pebisnis yang bangkrut karena tidak ada sistem keterbukaan dalam operasional kegiatannya. Konsep transaksi dalam Islam sangat menguntungkan kedua belah pihak. Begitu juga dengan etika, etika dalam berbisnis diantaranya adalah jujur. Etika tersebut mungkin sering diremehkan banyak pelaku bisnis, padahal jika kita melakukan kejujuran atas apa yang kita lakukan maka semua operasional transaksi akan berjalan dengan lancar. Hasilnya adalah tidak ada kecurangan, antara kedua belah pihak menciptakan suasana transaksi yang baik, terjadinya konsep ridho bi ridho, dan yang pasti tidak menimbulkan penyesalan di akhir transaksi. Jujur dalam alquran sering disebutkan. Karena Rasulullah sendiri adalah pelaku bisnis yang dari sifat kejujurannya itu menimbulkan etika dalam berbisnis islam. Berikut dalam alquran surat AlAhzab (33) : 70-71 yang berbunyi : ‫س ْولَهُ فَقَ ْد فَازَ فَ ْو ًزا‬ ُ ‫صلِحْ لَ ُك ِم ا َ ْع َمالَ ُك ْم َويَ ْغ ِف ْر لَ ُك ْم ذُنُ ْو َب ُك ْم َو َم ْن ي ُِطعِ هللاَ َو َر‬ ْ ُ‫) ي‬70( ‫س ِد ْيدًا‬ َ ً‫يَأَيُّ َها الَّ ِذيْنَ أ َ َمنُ ْوا اتَّقُوا هللاَ َوقُ ْولُ ْوا قَ ْوال‬ ‫( َع ِظ ْي ًما‬71) Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Al;lah dan ucapkanlah perkataan yang benar.”niscaya Allah akan memperbaiki amal-amalmu dan mengampuni dosa –dosamu. Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh dia menang dengan kemenangan yang agung.” Dalam surat Al-Isra (17) : 53 juga dijelaskan tentang kejujuran. Bunyi ayatnya adalah: ُ َ‫طانَ َي ْنز‬ َ ‫ش ْي‬ َ ‫ش ْي‬ ِ ‫طانَ َكانَ ِل‬ ‫ان َعد ًُّوا ُم ِب ْينًا‬ َ ‫غ َب ْينَ ُه ْم ِإ َّن ال‬ َ ‫سنُ ِإ َّن ال‬ َ ‫ال ْن‬ َ ْ‫ِي أَح‬ ِ ‫س‬ َ ‫َوقُ ْل ِل ِع َبادِي َيقُوالُوا الَّتِي ه‬ Artinya: “Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sungguh setan itu selalu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sungguh setan adalah musuh yang nyata bagi manusia.” Di atas sudah dijelaskan bahwasanya hendaklah manusia berkata perkataan yang baik lagi benar. Karena dengan perkataan yang baik lagi benar maka, akan terjadi sebuah perdamaian diantara mereka. Tidak hanya dalam al quran saja telah diterangkan banyak masalah jujur, dan berkata baik. Tetapi, dalam hadist Nabi Muhammad SAW juga di jelaskan yang bunyinya: ‫ق فَإِنَّهُ َم َع البِ ِ ِّر َو ُه َما فِي ال َجنَّ ِة‬ ُ ‫ قَا َل َر‬: ‫ي هللاُ َع ْنهُ قَا َل‬ ِّ ِ ِ‫ َعلَ ْي ُك ْم ب‬: ‫سلَّ َم‬ َّ ‫َع ْن أَبِي بَ ْك ِر ال‬ َ ‫صلَى هللا َعلَي ِه َو‬ ِ ‫ق َر‬ َ ‫سو ُل هللا‬ ِ ‫الص ْد‬ ِ ‫ص ِد ْي‬ َ ‫ض‬ )‫ار (ابن حبان في صحيحه‬ َ ‫َو ِإيَّا ُك ْم َوال َكذ‬ ِ َّ‫ور َو ُه َما فِي الن‬ ِ ‫ِب فَإِنَّهُ َم َع الفُ ُج‬ Artinya: “Dari Abu Bakar As-Shidiq RA ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: wajib atasmu berlaku jujur, karena jujur itu bersama kebaikan, dan keduanya di surga. Dan jauhkanlah dirimu dari dusta, karena dusta itu bersama kedurhakaan, dan keduanya di neraka.” (HR Ibnu Hibban di dalam shohihnya) Dalam bertransaksi jual beli dalam islam juga bersifat berdakwah mengajak kebaikan. Dalam hadist disebutkan yang artinya:

“Orang yang melakukan jual beli masing-masing memiliki hak khiyar (membatalkan atau mlanjutkan transaksi) selama keduanya belum terpisah. Jika keduanya jujur dan terbuka, maka keduanya akan mendapatkan keberkahan dalam jual beli, tapi jika keduanya berdusta dan tidak terbuka, maka keberkahan jual beli antara keduanya akan hilang. (Muttafaqun ‘Alaihi)” Amanah Dalam melaksanakan sebuah transaksi jual beli, maka seorang pelaku bisnis membawa amanah yang akan dipertanggung jawabkan. Karena semua hal dunia yang dilakukan pasti ada pertanggungjawabannya. Amanah dalam jual beli diartikan bahwa seorang penjual dapat dipercaya baik perkataannya maupun perbuatannya. Dalam hadits Nabi disebutkan: ُ ‫صد‬ َ‫ص ِد ْي ِقيْن‬ ُ ‫َع ْن َع ْب ِد هللا اب ِْن‬ ُ ‫ قَا َل َر‬:َ‫ي هللاُ َعنهُ قَال‬ َّ ‫ُوق األ َ ِم ْينُ َم َع النَّبِ ِِّييْنَ َوال‬ ِ َّ ‫ الت‬: ‫سلَّ َم‬ َ ‫صلَّى هللا َعلَ ْي ِه َو‬ ِ ‫ع َم َر َر‬ َ ‫اج ُر ال‬ َ ‫س ْو ُل هللا‬ َ ‫ض‬ ُّ ‫اء يَ ْو َم ال ِقيَا َم ِة‬ ‫)رواه ابن ماجه والدارقطني‬ ِ ‫وغيرهم(والش َه َد‬ َ Artinya: “Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seorang pedagang muslim yang jujur dan amanah (terpercaya) akan (dikumpulkan) bersama para Nabi, orang-orang shiddiq dan orang-orang yang mati syahid pada hari kiamat (nanti).” Dari penjabaran ayat di atas dijelaskan bahwasanya seorang pedagang yang dia jujur lagi dapat dipercaya maka kelak akan berada disisi Nabi, orang-orang shiddiq dan orang-orang yang mati syahid. Murah Hati Sifat murah hati dalam transaksi jual beli sangat dibutuhkan, selain untuk memberikan pelayanan yang baik dan nyaman bagi pelanggan, sifat murah hati dapat memberikan keuntungan juga pada penjual. Karena dengan sifat murah hatinya dapat menarik pelanggan lebih banyak, sehingga tidak hanya materi yang di dapat tetapi dia juga telah melakukan perbuatan baik. Dalam suatu hadits disebutkan yang artinya: “Sesungguhnya sebaik-baik penghasilan ialah penghasilan para pedagang yang mana apabila berbicara tidak bohong, apabila diberi amanah tidak khianat, apabila berjanji tidak mengingkarinya, apabila membeli tidak mencela, apabila menjual tidak berlebihan (dalam menaikkan harga), apabila berhutang tidak menunda-nunda pelunasan dan apabila menagih hutang tidak memperberat orang yang sedang kesulitan.” (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi di dalam Syu’abul Iman, Bab Hifzhu Al-Lisan IV/221). Tidak Melupakan Akhirat Hidup di dunia bagi manusia adalah sebuah anugerah yang sangat dalam yang pantas disyukuri kepada Tuhannya. Interaksi sosial antara sesama manusia menjadikan adanya sebuah muamalah baik dalam ekonomi maupun yang lainnya. Adanya kesibukan ekonomi itulah yang sering menjadikan manusia lupa akan akhiratnya. Dalam islam dijelaskan bahwa keseimbangan antara dunia dan akhirat sangat diperlukan. Selain untuk bekal nanti kita juga akan dirahmati oleh Allah. Sehingga dalam bisnis dunia manusia dilarang melupakan Akhiratnya. Dalam hadits disebutkan: ٌ ‫ُصيْبُ ِم ْن ُه َما َج ِم ْيعًا فَا َِّن ال َّد ْنيَا بَ َال‬ ‫الخ َرةِ َو َالتَ ُك ْونُ ْوا َك ًّل َعلَى‬ ِ ْ‫غ اِلَى ا‬ ِ َ‫ْس ِب َخي ِْر ُك ْم َم ْن ت ََركَ ُد ْنيَاهُ ِال ِخ َرتِ ِه َوال‬ ِ ‫اخ َرتَهُ ِل ُد ْنيَاهُ َحتِّى ي‬ َ ‫لَي‬ ‫اس‬ ِ َّ‫الن‬

Artinya: “Dari Anas ra, bahwasannya Rasulullah Saw. telah bersabda, Bukanlah yang terbaik diantara kamu orang yang meninggalkan urusan dunianya karena (mengejar) urusan akhiratnya, dan bukan pula (orang yang terbaik) oarang yang menhinggalkan akhiratnya karena mengejar urusan dunianya, sehingga ia memperoleh kedua-duanya, karena dunia itu adalah (perantara) yang menyampaikan ke akhirat, dan janganlah kamu menjadi beban orang lain." SYARAT-SYARAT YANG HARUS DIPENUHI DALAM USAHA ISLAM Dalam islam diterangkan, bahwasanya dalam berwirausaha memiliki aturan, prinsip dan syarat yang harus dipenuhi oleh sang pelaku bisnis islam. Syarat serta prinsip yang diterangkan memiliki sebab tertentu mengapa syarat itu ada dalam bisnis islam. Jika berbicara masalah konsep bisnis islam maka akan menyinggung masalah kesejahteraan dalam artian sama sama untung tidak ada yang dirugikan. Bisnis islam sendiri berprinsip bahwa jika terjadi sebuah transaksi ekonomi maka, diantara kedua belah pihak tidak ada tekanan yang berarti harus sama sama ridho. Sehingga konsep yang terjadi adalah keterbukaan tidak ada yang ditutupi segala hal yang mencangkup kegiatan transaksi tersebut. Dalam pembahasan ini terdapat beberapa syarat dalam transasi dengan kata lain islam mengajarkan prinsip moral sebagai berikut: Jujur dalam menakar dan menimbang. Dalam transaksi jual beli seorang pedagang diharuskan jujur dalam operasional kegiatannya. Ketika dia melakukan penimbangan atau penakaran maka, tidaklah seorang pedagang melebihkan atau mengurangi takarannya karena dalam islam sudah dijelaskan bahwasanya apabila terjadi suatu penambahan dalam takaran, maka disebut dengan riba. Dan Allah sendiri sudah melarang adanya riba. Menjual barang yang halal. Konsep bisnis dalam islam menerangkan bahwa sesuatu yang boleh diperjualbelikan adalah sesuatu yang bersifat halal baik sistem maupun barang yang akan diperjualbelikan. Dalam islam memakan makanan yang haram tidak diperbolehkan apalagi menjualnya. Dalam hukum positif juga telah dipaparkan. Menjual barang yang baik mutunya. Penjelasan mengenai baik mutunya adalah barang yang sekiranya layak untuk diperjualbelikan. Contoh dilarang menjual buah yang busuk atau makanan yang sudah basi. Karena mutu dari makanan itu sendiri dapat mencelakai para konsumen. Jadi yang dimaksud disini adalah buakn mutu dari merk akan tetapi lebih menekan kepada kelayakannya. Tidak menyembunyikan cacat barang. Keterbukaan dalam sebuah transaksi ekonomi sangat diperlukan. Manfaatnya sebagai salah satu hal untuk menjadikan para konsumen puas akan adanya transaksi tersebut. Barang yang akan diperjualbelikan tentunya harus dipaparkan dari awal. Mengenai masalah kekurangan serta kelebihannya. Hal ini ditujukan supaya antara kedua belah pihak tidak ada yang dirugikan. Sehingga semua berjalan lancar dan tidak ada penyesalan di kemudian hari. Tidak melakukan sumpah palsu. Dalam hal jual beli tawar menawar merupakan hal yang lumrah dilakukan, sehingga dalam hal

ini kebanyakan para penjual melakukan segala cara untuk meyakinkan pelanggan bahwa dagangannya layak untuk dibeli dan penjual yang curang melakukan sumpah palsu untuk menarik para pelanggan. Hal ini tentunya merugikan pelanggan, dan secara tidak langsung pula merugikan penjual karena hal tersebut menimbulkan isu-isu negatif terhadap si penjual. Longgar dan murah hati. Hal ini dilmaksudkan bahwa si penjual mengayomi pelanggannya dengan baik, ramah, serta senantiasa mengaplikasikan sistem tawar menawarnya ketika terjadi sebuah akad dalam transaksi. Tidak melakukan riba. Adapun Riba sudah di larang dalam islam sebagaimana sudah di jelaskan dalam hadits dan ayat al-quran. Konsep riba atau tambahan yang sudah ditentukan di awal sangatlah merugikan para konsumennya. Itu mengapa dalam Islam riba tidak diperbolehkan. Karena dengan konsep riba, yang kaya akan semakin kaya dan yang miskin akan semakin miskin. Karna riba termasuk dalam sistem ekonomi kapitalis. Melakukan zakat. Zakat sendiri merupakan salah satu rukun islam yang keempat tentunya hal ini merupakan sesuatu yang penting. Dan sudah dinisabkan juga tentang peraturan zakat. Konsep pada zakat sangatlah bermanfaat bagi manusia di dunia. Jika satu orang kaya mengeluarkan zakatnya kepada para fakir miskin, maka pengangguran di negara ini akan berkurang. Tidak hanya itu bagi yang berzakat akan diganti hartanya oleh Allah SWT dengan melipat gandakan harta yang dikeluarkannya dengan ikhlas dan semata-mata diniatkan hanya karena Allah SWT. Dalam uraian diatas dijelaskan bahwa jika semua itu dialkukan oleh para pelaku ekonomi maka akan memperoleh keberkahan dunia dan akhirat. Keuntungan dunia berupa relasi yang baik dan menyenangkan sedangkan keuntungan akhirat berupa nilai ibadah karena perdagangan dilakukan dengan kejujuran. Dalam islam pasar merupakan wahana transaksi ekonomi yang ideal karena islam menciptakan suatu keadaan pasar yang dibingkai oleh nilai-nilai syariah, meskipun tetap dalam suasana bersaing artinya konsep pasar dalam islam adalah pasar yang ditumpuhi nilai syariat seperti keadilan, keterbukaan, kejujuran, dan persaingan sehat yang merupakan nilai-nilai universal bukan hanya untuk muslim melainkan nonmuslim juga. KESIMPULAN Konsep dalam berbisnis menurut Islam ialah antara kepentingan dunia dan akhirat harus seimbang. Dalam artian bahwa tidak hanya kehidupan dunia yang dikejar, tetapi kehidupan ukhrawi juga. Sehingga seorang pebisnis muslim akan mendapatkan keuntungan dunia dan akhirat, yamg disebut falah. Selain dalam konsep, adakalanya kita mementingkan masalah moral atau etika dalam bermuamalah. Transaksi jual belipun ada etika tersendiri, diantaranya tidak melupakan urusan akhirat ataupun melupakan urusan dunia, melainkan keseimbanrgan antara keduanya, jujur dalam urusan operasional kegiatan ekonominya, dan dapat dipercaya. Semuanya itu jika dilakukan dengan maksimal maka kegiatan bisnis islam kita akan senantiasa dalam aturan hukum yang benar dan sesuai dengan apa yang di syariatkan. Diantara transaksi dalam ekonomi ada dalam islam yang itu dilarang, ada larangan tentang

penambahan atau masalah riba, serta dilarang menyembunyikan cacat barang yang diperjualbelikan. Bagi para pebisnis hendaknya juga mengeluarkan sebagian hartanya yang biasa disebut dengan zakat sebagian hartanya. Bersikap ramah dan murah hati terhadap konsumennya serta dapat dipercaya. Kesemuanya itu merupakan syarat dalam usaha menurut ajaran islam. Inilah kiranya pembahasan dari sebuah etika dalam usaha menurut islam yang berlandaskan pada Alquran dan hadits Nabi Muhammad SAW. Perlu ditinjau lebih dalam bahwasanya seorang muslim haruslah mentaati aturan hukum islam yang sudah dipaparkan di dalam Alquran dan hadits Nabi Muhammad SAW. Beretika dalam bisnis juga termasuk dalam aturan islam yang berkenaan dalam bidang ekonomi. Islam tidak memberi kesulitan bagi para umatnya dalam bermuamalah, melainkan islam mengatur sedemikian rupa karena untuk manfaat manusia itu sendiri.

W.F Schoell menyatakan bahwa “Some Philosophers say that behaviour is ethical if it follows the will of GOD” (Schoell, 1993:46). Dengan kata lain dunia bisnis yang baik yang ingin dapat ridho Allah haruslah menjunjung nilai-nilai etika dan moral sehingga usaha dan hasil dari usaha yang ia lakukan merupakan hasil yang bersih dan mendapat berkah baik dunia maupun akhirat. Berbisnis merupakan aktifitas yang sangat dianjurkan dalam ajaran islam. Bahkan, Rasulullah SAW sendiri telah menyatakan, bahwa 9 dari 10 pintu rezeki adalah melalui pintu berdagang (hadist) artinya, melalui jalan perdagangan inilah, pintu-pintu rezeki akan dapat dibuka, sehingga karunia Allah SWT. Terpancar dari padanya. Jual beli merupakan sesuatu yang diperbolehkan, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 275 Mengenai etika bisnis dalam Islam, Sudarsono dalam bukunya yang berjudul Etika Islam tentang Kenakalan Remaja, mengatakan bahwa, etika Islam adalah doktrin etis yang berdasarkan ajaran-ajaran agama Islam yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW., yang di dalamnya terdapat nilai-nilai luhur dan sifat-sifat yang terpuji (mahmudah). Dalam agama Islam, etika ataupun perilaku serta tindak tanduk dari manusia telah diatur sedemikian rupa sehingga jelas mana perbuatan atau tindakan yang dikatakan dengan perbuatan atau tindakan asusila dan mana tindakan atau perbuatan yang disebut bermoral atau sesuai dengan arturan agama. Berkaitan dengan nilai-nilai luhur yang tercakup dalam Etika Islam

dalam kaitannya dengan sifat yang baik dari perbuatan atau perlakuan yang patut dan dianjurkan untuk dilakukan sebagai sifat terpuji, lebih jauh Sudarsono menyebutkan, antara lain : ’’Berlaku jujur (Al Amanah), berbuat baik kepada kedua orang tua (Birrul Waalidaini), memelihara kesucian diri (Al Iffah), kasih sayang (Ar Rahman dan Al Barry), berlaku hemat (Al Iqtishad), menerima apa adanya dan sederhana (Qona’ah dan Zuhud), perikelakuan baik (Ihsan), kebenaran (Shiddiq), pemaaf (‘Afu), keadilan (‘Adl), keberanian (Syaja’ah), malu (Haya’), kesabaran (Shabr), berterima kasih (Syukur), penyantun (Hindun), rasa sepenanggungan (Muwastt), kuat (Quwwah)’’.

Dalam etika Islam, ukuran kebaikan dan ketidakbaikan bersifat mutlak, yang berpedoman kepada Al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad Saw. Dipandang dari segi ajaran yang mendasar, etika Islam tergolong Etika Theologis. Menurut Hamzah Ya’qub, bahwa yang menjadi ukuran etika theologis adalah baik buruknya perbuatan manusia didasarkan atas ajaran Tuhan. Segala perbuatan yang diperintahkan Tuhan itulah yang baik dan segala perbuatan yang dilarang oleh Tuhan itulah perbuatan yang buruk, yang sudah dijelaskan dalam kitab suci. Etika Islam mengajarkan manusia untuk menjalain kerjasama, tolong menolong, dan menjauhkan sikap iri, dengki dan dendam. Mempelajari etika ekonomi menurut Al-Qur’an adalah bahagian normatif dari ilmu

ekonomi,

bahagian

ilmu

positifnya

akan

lahir

apabila

telah

dilakukan

penyelidikanpenyelidikan empiris mengenai yang sesungguhnya terjadi, sesuai atau tidak sesuai dengan garis Islam. Ekonomi merupakan bagian dari kehiupan. Namun, ia bukan pondasi bangunannya dan bukan tujuan risalah Islam. Ekonomi juga bukan lambang peradaban suatu umat. Ekonomi Islam adalah bertitik tolak dari Tuhan dan memiliki tujuan akhir pada Tuhan. Tujuan ekonomi ini membantu manusia untuk menyembah Tuhannya yang telah memberi makan kepada mereka untuk menghilangkan lapar serta mengamankan mereka dari ketakutan. Juga untuk menyelamatkan manusia dari kemiskinan yang bisa mengkafirkan dan kelaparan yang bisa mendatangkan dosa. Juga untuk merendahkan suara orang zalim di atas suara orang-orang beriman. Manusia muslim, individu maupun kelompok dalam lapangan ekonomi atau bisnis, di satu sisi diberi kebebasan untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya. Namun di sisi lain, ia terikat dengan iman dan etika (moral) sehingga ia tidak bebas mutlak dalam menginvestasikan modalnya atau membelanjakan hartanya. Ia harus melakukan kegiatan usahanya sesuai dengan

prinsip-prinsip nilai-nilai kejujuran, keadilan, dan kebenaran, serta kemanfaatan bagi usahanya. Di samping itu, ia harus mepedomani norma-norma, kaidah-kaidah yang berlaku dan terdapat dalam sistem hukum Islam secara umum. C.

Visi Al-Qur’an tentang Etika Bisnis Visi adalah kemampuan atau daya untuk melihat pada inti persoalan dengan pandangan yang luas. Visi etika dan bisnis Al-Qur’an dengan demikian merupakan kemampuan, kekuatan dan cara pandang yang dimiliki oleh Al-Qur’an dalam memandang persoalan etika dan bisnis. AlQur’an dalam mengajak manusia untuk mempercayai dan mengamalkan tuntutan-tuntutannya dalam segala aspek kehidupan seringkali menggunakan istilah-istilah yang dikenal dalam dunia bisnis, seperti jual beli, sewa menyewa, untung rugi, dan sebagainya. Dalam konteks ini, Allah Swt. dalam firman-Nya, Al-Qur’an surat At- Taubah ayat (111) yang artinya (lebih kurang) : ’’Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin harta dan jiwa mereka dan sebagai imbalannya mereka memperoleh syurga. Siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) Allah, maka gembiralah dengan jual beli yang kamu lakukan itu. Itulah kemenangan yang besar’’. Ayat tersebut di atas, memberikan penjelasan bahwa mereka yang tidak ingin melakukan aktivitas kehidupannya kecuali bila memperoleh keuntungan semata, dilayani (ditantang) oleh AlQur’an dengan menawarkan satu bursa yang tidak mengenal kerugian dan penipuan. Dengan demikinan, prinsip dasar yang ditekankan Al-Qur’an adalah kerja dan kerja keras. Pandangan Islam mengenai visi tentang etika bisnis harus berlandaskan pada tiga tema kunci utama yang juga merupakan pedoman bagi semua kegiatan umat Islam. Ketiga tema kunci utama itu adalah Iman, Islam, dan Taqwa. Dalam Al-Qur’an terdapat terma-terma atau istilah-istilah yang dapat mewakili apa yang dimaksud dengan etika maupun bisnis. Di antara terma-terma bisnis dalam Al-Qur’an terdapat terma al-tijarah, al-bai’u, tadayantum dan isytara. Masing-masingnya dapat dijelaskan sebagai berikut. Terma tijarah, berawal dari kata t-j-r, tajara, tajran wa tijaratan, yang bermakna berdagang, berniaga. Menurut ar-Raqib al-Asfahani dalam al-Mufradat fi qharib al-Qur’an, attijarah, bermakna pengelolaan harta benda untuk mencari keuntungan. Dengan demikian, dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, berjihad dengan harta dan jiwa adalah termasuk bisnis, yakni bisnis sesungguhnya yang pasti mendapat keuntungan hakiki.

Sedangkan al-bai’ berasal dari kata bai’a, yang terdapat dalam Al-Qur’an dalam berbagai variasinya. Al-bai’u, berarti menjual, lawan kata dari isytara atau memberikan sesuatu yang berharga dan mengambil (menetapkan) dari padanya suatu harga dan keuntungannya. Terma bai’un dalam Al-Qur’an digunakan dalam dua pengertian, (1) jual beli dalam konteks tidak ada jual beli pada hari qiamat, karena itu, Al-Qur’an menyeru agar membelanjakan, mendayagunakan dan mengembangkan harta benda berada dalam proses dan tujuan yang tidak bertentangan dengan keimanan, (2) al-bai’ dalam pengertian jual beli yang halal, dan larangan untuk memperoleh atau mengembangkan harta benda dengan jalan riba.Demikian pula mengenai kata baya’tum, bibai’ikum dan tabaya’tum, digunakan dalam pengertian jual beli yang dilakuan oleh kedua belah pihak harus dilakuan dengan ketelitian dan dipersaksikan (dengan cara terbuka dan dengan tulisan). Kemudian Al-Qur’an menggunakan terma isytara sebagaimana terdapat dalam surat AtTaubah (9) ayat (111), digunakan dalam pengertian membeli yaitu dalam konteks Allah membeli diri dan harta orang-orang mukmin. Dengan demikian, istilah isytara dan derivasinya lebih banyak mengandung makna transaksi antara manusia dengan Allah atau transaksi sesama manusia yang dilakukan karena dan untuk Allah, juga transaksi dengan tujuan keuntungan manusia walaupun dengan menjual ayat-ayat Allah. Transaksi Allah dengan manusia terjadi bila manusia berani mengorbankan jiwa dan hartanya untuk mencari keridhoan Allah dan Allah menjanjikan balasannya, membeli dari orang-orang mukmin tersebut dengan kenikmatan dan keuntungan yang tiada terhitung yaitu syurga. Selain itu, Al-Qur’an menggunakan juga istilah tadayantum yang disebutkan satu kali, yaitu pada Al-Qur’an surat Al-Baqarah (2) ayat (282), digunakan dalam pengertian mua’malah yakni jual beli, utang piutang, sewa menyewa dan lain sebagainya. Ayat Al-Quran surat Al-Baqarah (2) ayat (282) tersebut berbunyi, yang artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu melakukan mua’malah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan hendaklah kamu menulisnya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.... (Q.s. (2): 282). Selain istilah-istilah di atas, dalam Al-Qur’an terdapat pula istilah yang berdekatan dengan kandungan bisnis. Di antaranya adalah, anfaqa dan la ta’kulu amwalakum. Sedangkan yang berhubungan dengan etika secara langsung adalah al-khuluq, yang berasal dari kata dasar khaluqakhuluqan, yang berarti tabi’at, budi pekerti, kebiasaan, kesatriaan, keprawiraan. Etika Al-Qur’an

mempunyai sifat humanistik dan rasionalistik. Sifat humanistik dalam pengertian mengarahkan manusia pada pencapaian hakikat kemanusiaan yang tertinggi dan tidak bertentangan dengan fitrah manusia itu sendiri. Sifat rasionalistik, bahwa semua pesan-pesan yang diajarkan oleh Al-Qur’an terhadap manusia sejalan dengan prestasi rasionalitas manusia yang tertuang dalam karya-karya para filosof. Pesan-pesan Al- Qur’an seperti ajakan kepada kebenaran, keadilan, kejujuran, kebersihan, menghormati orang tua, bekerja keras, cinta ilmu, semuanya tidak ada yang berlawanan dengan kedua sifat di atas. Oleh karena itu, harus menjadi pedoman atau perhatian oleh para pengusaha muslim dalam kegiatan bisnisnya.

D.

Fungsi Etika Bisnis Islam Sebagaimana diungkapkan oleh Dr. Syahata, bahwa etika bisnis Islam mempunyai fungsi yang membekali para pelaku bisnis, beberapa hal sebagai berikut:

1.

Membangun kode etik islami yang mengatur, mengembangkan dan menancapkan metode berbisnis dalam kerangka ajaran agama. Kode etik ini juga menjadi simbol arahan agar melindungi pelaku bisnis dari resiko.

2.

Kode ini dapat menjadi dasar hukum dalam menetapkan tanggungjawab para pelaku bisnis, terutama bagi diri mereka sendiri, antara komunitas bisnis, masyarakat, dan diatas segalanya adalah tanggungjawab di hadapan Allah SWT.

3.

Kode etik ini dipersepsi sebagai dokumen hukum yang dapat menyelesaikan persoalan yang muncul, daripada harus diserahkan kepada pihak peradilan.

4.

Kode etik dapat memberi kontribusi dalam penyelesaian banyak persoalan yang terjadi antara sesama pelaku bisnis dan masyarakat tempat mereka bekerja.

5.

Sebuah hal yang dapat membangun persaudaraan (ukhuwah) dan kerja sama antara mereka semua. Secara konkrit dapat diilustrasikan, jika seorang pelaku bisnis peduli pada etika, maka bisa diprediksi ia akan bersikap jujur, amanah, adil, selalu melihat kepentingan orang lain. Sebaliknya, bagi mereka yang tidak mempunyai kesadaran akan etika, dimanapun dan kapanpun, mereka akan selalu memiliki sikap kontraproduktif dengan sikap mereka yng perduli terhadap etika. Seorang pengusaha dalam pandangan etika Islam,bukan sekedar mencari keuntungan, melainkan juga keberkahan yaitu kemantapan dari usaha itu dengan memperoleh keuntungan yang

wajar dan diridhai oleh Allah swt. Ini berarti, yang harus diraih oleh seorang pebisnis muslim adalah bukan sekedar keuntungan materiil (bendawi), tetapi yang terpenting adalah keuntungan immaterial (ukhrawi). Kebendaan yang profane ((intransenden) baru bermakna apabila diimbangi dengan kepentingan spiritual yang transenden (ukhrawi).

E.

Nilai Dasar dan Prinsip-Prinsip Etika Bisnis Islam Etika bisnis Islam merupakan etika bisnis yang mengedepankan nilai-nilai al Qur’an. Oleh karena itu, beberapa nilai dasar dalam etika bisnis Islam yang disarikan dari inti ajaran Islam itu sendiri adalah, antara lain :

1.

Kesatuan (Tauhid/Unity) Dalam hal ini adalah kesatuan sebagaimana terefleksikan dalam konsep tauhid yang memadukan keseluruhan aspek-aspek kehidupan muslim baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial menjadi keseluruhan yang homogen, serta mementingkan konsep konsistensi dan keteraturan yang menyeluruh. Dari konsep ini maka islam menawarkan keterpaduan agama, ekonomi, dan sosial demi membentuk kesatuan. Atas dasar pandangan ini pula maka etika dan bisnis menjadi terpadu, vertikal maupun horisontal, membentuk suatu persamaan yang sangat penting dalam sistem Islam. Jika konsep tauhid diaplikasikan dalam etika bisnis, maka seyogyanya, seorang pengusaha muslim tidak akan :

a.

Berbuat diskriminatif terhadap pekerja, pemasok, pembeli, atau siapapun dalam bisnis atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin atau agama.

b.

Dapat dipaksa untuk berbuat tidak etis, karena ia hanya takut dan cinta kepada Allah swt. Ia selalu mengikuti aturan prilaku yang sama dan satu, dimanapun apakah itu di masjid, ditempat kerja atau aspek apapun dalam kehidupannya.

c.

Menimbun kekayaan dengan penuh keserakahan. Konsep amanah atau kepercayaan memiliki makna yang sangat penting baginya karena ia sadar bahwa semua harta dunia bersifat sementara dan harus dipergunakan secara bijaksana.

2.

Keseimbangan (Equilibrium/Adil) Islam sangat mengajurkan untuk berbuat adil dalam berbisnis, dan melarang berbuat curang atau berlaku dzalim. Rasulullah diutus Allah untuk membangun keadilan. Kecelakaan besar

bagi orang yang berbuat curang, yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain meminta untuk dipenuhi, sementara kalau menakar atau menimbang untuk orang selalu dikurangi. Kecurangan dalam berbisnis pertanda kehancuran bisnis tersebut, karena kunci keberhasilan bisnis adalah kepercayaan. Al-Qur’an memerintahkan kepada kaum muslimin untuk menimbang dan mengukur dengan cara yang benar dan jangan sampai melakukan kecurangan dalam bentuk pengurangan takaran dan timbangan. ‫واوفوا الكيل اذا كلتم وزنوا بالقسطاس المستقيم ذالك خير وأحسن تأويال‬ “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan

timbanglah

dengan

neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (Q.S. al-Isra’:35).

Dalam beraktivitas di dunia kerja dan bisnis, Islam mengharuskan untuk berbuat adil,tak terkecuali pada pihak yang tidak disukai. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat Al-Maidah : 8 ُ ِ‫يَاأَيُّ َها الَّذِينَ َءا َمنُوا ُكونُوا قَ َّو ِامينَ هلل‬ ‫ْط َوالَ يَجْ ِر َم َّن ُك ْم َشنَئ َانُ قَ ْو ٍم َعلَى أَالَّ ت َ ْع ِدلُوا ا ْع ِدلُوا ه َُو أ َ ْق َربُ ِللت َّ ْق َوى َواتَّقُوا هللاَ إِ َّن‬ ِ ‫ش َهدَآ َء بِ ْال ِقس‬ َ‫يرُُ بِ َما تَ ْع َملُون‬ ُ ِ‫هللاَ َخب‬ artinya : “Hai orang-orang beriman,hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah SWT,menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekalisekali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.Berlaku adillah karena adil lebih dekat dengan takwa”.

3.

Kehendak Bebas (Free Will) Kebebasan merupakan bagian penting dalam nilai etika bisnis islam, tetapi kebebasan itu tidak merugikan kepentingan kolektif. Kepentingan individu dibuka lebar. Tidak adanya batasan pendapatan bagi seseorang mendorong manusia untuk aktif berkarya dan bekerja dengan segala potensi yang dimilikinya. Kecenderungan manusia untuk terus menerus memenuhi kebutuhan pribadinya yang tak terbatas dikendalikan dengan adanya kewajiban setiap individu terhadap masyarakatnya melalui zakat, infak dan sedekah.

4.

Tanggungjawab (Responsibility)

Kebebasan tanpa batas adalah suatu hal yang mustahil dilakukan oleh manusia karena tidak menuntut adanya pertanggungjawaban dan akuntabilitas. untuk memenuhi tuntunan keadilan dan kesatuan, manusia perlu mempertaggungjawabkan tindakanya secara logis prinsip ini berhubungan erat dengan kehendak bebas. Ia menetapkan batasan mengenai apa yang bebas dilakukan oleh manusia dengan bertanggungjawab atas semua yang dilakukannya.

5.

Kebenaran: kebajikan dan kejujuran Kebenaran dalam konteks ini selain mengandung makna kebenaran lawan dari kesalahan, mengandung pula dua unsur yaitu kebajikan dan kejujuran. Dalam konteks bisnis kebenaran dimaksudkan sebagia niat, sikap dan perilaku benar yang meliputi proses akad (transaksi) proses mencari atau memperoleh komoditas pengembangan maupun dalam proses upaya meraih atau menetapkan keuntungan. Dengan prinsip kebenaran ini maka etika bisnis Islam sangat menjaga dan berlaku preventif terhadap kemungkinan adanya kerugian salah satu pihak yang melakukan transaksi, kerjasama atau perjanjian dalam bisnis. Menurut al Ghazali, terdapat enam bentuk kebajikan :

a.

Jika seseorang membutuhkan sesuatu, maka orang lain harus memberikannya dengan mengambil keuntungan sesedikit mungkin. Jika sang pemberi melupakan keuntungannya, maka hal tersebut akan lebih baik baginya.

b.

Jika seseorang membeli sesuatu dari orang miskin, akan lebih baik baginya untuk kehilangan sedikit uang dengan membayarnya lebih dari harga sebenarnya.

c.

Dalam mengabulkan hak pembayaran dan pinjaman, seseorang harus bertindak secara bijaksana dengan member waktu yang lebih banyak kepada sang peminjam untuk membayara hutangnya

d.

Sudah sepantasnya bahwa mereka yang ingin mengembalikan barang-barang yang sudah dibeli seharusnya diperbolehkan untuk melakukannya demi kebajikan

e.

Merupakan tindakan yang baik bagi si peminjam untuk mengembalikan pinjamannya sebelum jatuh tempo, dan tanpa harus diminta

f.

Ketika menjual barang secara kredit, seseorang harus cukup bermurah hati, tidak memaksa orang untuk membayar ketika orang belum mampu untuk membayar dalam waktu yang sudah ditetapkan.

Rasululah SAW sangat banyak memberikan petunjuk mengenai etika bisnis yang dijadikan sebagai prinsip, di antaranya ialah: 1.

Bahwa prinsip esensial dalam bisnis adalah kejujuran. Dalam doktrin Islam, kejujuran merupakan syarat paling mendasar dalam kegiatan bisnis. Rasulullah sangat intens menganjurkan kejujuran dalam aktivitas bisnis. Dalam hal ini, beliau bersabda:“Tidak dibenarkan seorang muslim menjual satu jualan yang mempunyai aib, kecuali ia menjelaskan aibnya” (H.R. AlQuzwani). “Siapa yang menipu kami, maka dia bukan kelompok kami” (H.R. Muslim). Rasulullah sendiri selalu bersikap jujur dalam berbisnis. Beliau melarang para pedagang meletakkan barang busuk di sebelah bawah dan barang baru di bagian atas.

2.

Kesadaran tentang signifikansi sosial kegiatan bisnis. Pelaku bisnis menurut Islam, tidak hanya sekedar mengejar keuntungan sebanyak-banyaknya, sebagaimana yang diajarkan Bapak ekonomi kapitalis, Adam Smith, tetapi juga berorientasi kepada sikap ta’awun (menolong orang lain) sebagai implikasi sosial kegiatan bisnis. Tegasnya, berbisnis, bukan mencari untung material semata, tetapi didasari kesadaran memberi kemudahan bagi orang lain dengan menjual barang.

3.

Tidak melakukan sumpah palsu. Nabi Muhammad saw sangat intens melarang para pelaku bisnis melakukan sumpah palsu dalam melakukan transaksi bisnis Dalam sebuah hadis riwayat Abu Dawud, dari Abu Hurairah bahwanya saya mendengar Rasulullah saw bersabda, “Sumpah itu melariskan dagangan tetapi menghapuskan keberkahan”. Praktek sumpah palsu dalam kegiatan bisnis saat ini sering dilakukan, karena dapat meyakinkan pembeli, dan pada gilirannya meningkatkan daya beli atau pemasaran. Namun, harus disadari, bahwa meskipun keuntungan yang diperoleh berlimpah, tetapi hasilnya tidak berkah.

4.

Ramah-tamah. Seorang pelaku bisnis, harus bersikap ramah dalam melakukan bisnis. Nabi Muhammad Saw mengatakan, “Allah merahmati seseorang yang ramah dan toleran dalam berbisnis” (H.R. Bukhari dan Tarmizi).

5.

Tidak boleh berpura-pura menawar dengan harga tinggi, agar orang lain tertarik membeli dengan harga tersebut. Sabda Nabi Muhammad, “Janganlah kalian melakukan bisnis najsya (seorang pembeli tertentu, berkolusi dengan penjual untuk menaikkan harga, bukan dengan niat untuk membeli, tetapi agar menarik orang lain untuk membeli).

6.

Tidak boleh menjelekkan bisnis orang lain, agar orang membeli kepadanya. Nabi Muhammad Saw bersabda, “Janganlah seseorang di antara kalian menjual dengan maksud untuk menjelekkan apa yang dijual oleh orang lain” (H.R. Muttafaq ‘alaih).

7.

Tidak melakukan ihtikar. Ihtikar ialah (menumpuk dan menyimpan barang dalam masa tertentu, dengan tujuan agar harganya suatu saat menjadi naik dan keuntungan besar pun diperoleh). Rasulullah melarang keras perilaku bisnis semacam itu.

8.

Takaran, ukuran dan timbangan yang benar. Dalam perdagangan, timbangan yang benar dan tepat harus benar-benar diutamakan. Firman Allah: Celakalah bagi orang yang curang, yaitu orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi” ( QS. 83: 112).

9.

Bisnis tidak boleh menggangu kegiatan ibadah kepada Allah. Firman Allah, “Orang yang tidak dilalaikan oleh bisnis lantaran mengingat Allah, dan dari mendirikan shalat dan membayar zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang hari itu, hati dan penglihatan menjadi goncang”.

10. Membayar upah sebelum kering keringat karyawan. Nabi Muhammad Saw bersabda, “Berikanlah upah kepada karyawan, sebelum kering keringatnya”. Hadist ini mengindikasikan bahwa pembayaran upah tidak boleh ditunda-tunda. Pembayaran upah harus sesuai dengan kerja yang dilakukan. 11. Tidak monopoli. Salah satu keburukan sistem ekonomi kapitalis ialah melegitimasi monopoli dan oligopoli. Contoh yang sederhana adalah eksploitasi (penguasaan) individu tertentu atas hak milik sosial, seperti air, udara dan tanah dan kandungan isinya seperti barang tambang dan mineral. Individu tersebut mengeruk keuntungan secara pribadi, tanpa memberi kesempatan kepada orang lain. Ini dilarang dalam Islam. 12. Tidak boleh melakukan bisnis dalam kondisi eksisnya bahaya (mudharat) yang dapat merugikan dan merusak kehidupan individu dan sosial. Misalnya, larangan melakukan bisnis senjata di saat terjadi chaos (kekacauan) politik. Tidak boleh menjual barang halal, seperti anggur kepada produsen minuman keras, karena ia diduga keras, mengolahnya menjadi miras. Semua bentuk bisnis tersebut dilarang Islam karena dapat merusak esensi hubungan sosial yang justru harus dijaga dan diperhatikan secara cermat. 13. Komoditi bisnis yang dijual adalah barang yang suci dan halal, bukan barang yang haram, seperti babi, anjing, minuman keras, ekstasi, dsb. Nabi Muhammad Saw bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan bisnis miras, bangkai, babi dan “patung-patung” (H.R. Jabir). 14. Bisnis dilakukan dengan suka rela, tanpa paksaan. Firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil, kecuali dengan jalan bisnis yang berlaku dengan suka-sama suka di antara kamu” (QS. 4: 29).

15. Segera melunasi kredit yang menjadi kewajibannya. Rasulullah memuji seorang muslim yang memiliki perhatian serius dalam pelunasan hutangnya. Sabda Nabi Saw, “Sebaik-baik kamu, adalah orang yang paling segera membayar hutangnya” (H.R. Hakim). 16. Memberi tenggang waktu apabila pengutang (kreditor) belum mampu membayar. Sabda Nabi Saw, “Barang siapa yang menangguhkan orang yang kesulitan membayar hutang atau membebaskannya, Allah akan memberinya naungan di bawah naunganNya pada hari yang tak ada naungan kecuali naungan-Nya” (H.R. Muslim). 17. Bahwa bisnis yang dilaksanakan bersih dari unsur riba. Firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, tinggalkanlah sisa-sisa riba jika kamu beriman (QS. al-Baqarah:: 278) Pelaku dan pemakan riba dinilai Allah sebagai orang yang kesetanan (QS. 2: 275). Oleh karena itu Allah dan Rasulnya mengumumkan perang terhadap riba. 18. Membangun hubungan baik antar kolega. Islam menekankan hubungan konstruktif dengan siapapun antar sesame pelaku bisnis. Islam tidak menghendaki dominasi pelaku yang satu atas pelaku yang lainnya baik dalam bentuk monopoli, oligopoly, maupun bentuk-bentuk lain yang tidak mencerminkan nilai keadilan atau pemerataan pendapatan. 19. Menetapkan harga dengan transparan. Harga yang tidak transparan bisa mengandung penipuan. Untuk itu menetapkan harga secara terbuka dan wajar sangat dihormati dalam Islam agar tidak terjerumus dalam Riba. Kendati dalam bisnis kita sangat ingin memperoleh keuntungan, tetapi hak-hak pembeli harus tetap dihormati. 20. Tertib administrasi. Dalam dunia perdagangan wajar terjadi praktik pinjam meminjam. Dalam hubungan ini al Qur’an mengajarkan perlunya administrasi hutang piutang tersebut agar manusia terhindar dari kesalahan yang mungkin terjadi.

Rafik Issa Beekn, mengemukakan Sembilan pedoman etika umum dalam bisnis, yaitu : 1) Jujur dan berkata benar; 2) menepati janji; 3) mencintai Allah lebih dari mencintai perniagaan;4) berbisnis dengan muslim sebelum dengan non muslim; 5) rendah hati dalam menjalani hidup; 6) menjalankan musyawarah dalam semua masalah; 7) tidak terlibat dalam kecurangan; 8) tidak boleh menyuap;dan 9) berbisnis secara adil.

F.

Binis-Bisnis yang Sesuai dengan Hukum Islam

Mengenai bisnis yang sesuai dengan hukum Islam adalah semua aspek kegiatan untuk menyalurkan barang-barang melalui saluran produktif, dari membeli barang mentah sampai menjual barang jadi. Pada pokoknya kegiatan bisnis meliputi : (1) Perdagangan, (2) Pengangkutan, (3) Penyimpanan, (4) Pembelanjaan, (5) Pemberian informasi. Islam adalah agama yang mengatur tatanan hidup manusia dengan sempurna, kehidupan individu dan masyarakat, baik aspek rasio, materi maupun spiritual yang didampingi oleh ekonomi, sosial dan politik. Ekonomi adalah bagian dari tatanan Islam yang perspektif. Pengusaha Islam adalah manusia Islam yang bertujuan untuk mendapatkan kebutuhan hidupnya melalui usaha perdagangan, dan selanjutnya memberikan pelayanan kepada masyarakat melalui perdagangan tersebut. Aspek penting tentang aktivitas pengusaha dalam masyarakat Islam bertumpu pada tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang memuaskan, malayani masyarakat dan mengamalkan sikap kerja sama. Manusia dalam perspektif Islam adalah sebagai “Ummatan-Waahidatan”, kelompok yang bersatu pada dalam kesatuan atau entitas yang utuh. Sebagaimana diketahui bahwa, ekonmoi adalah suatu ilmu yang mempelajari perilaku manusia sebagai hubungan antara berbagai tujuan dan alat-alat untuk mencapai tujuan yang langka adanya dan karena itu mengandung alternatif dalam penggunaanya. Apabila perilaku manusia yang dipengaruhi oleh nilai-nilai moral Islam itu ternyata manghasilkan perilaku ekonomi yang berbeda atau khusus, maka akulmulasi pengetahuan atau pengalaman dalam menerapkan prinsip-prinsip moral atau suatu ketika, apabila telah disusun secara sistematis, akan menghasilkan suatu pengetahuan khusus dan itulah yang disebut dengan ilmu ekonomi Islam. Hal inilah yang terlihat jelas dalam sistem ekonomi yang dianut oleh paham Ketuhanan, yaitu perasaan yang selalu ada yang mengawasi (dhamir). Munculnya wacana pemikiran etika bisnis, didorong oleh realitas bisnis yang mengabaikan nilai-nilai moral atau akhlak. Bagi sementara pihak, bisnis adalah aktivitas ekonomi manusia yang bertujuan mencari laba semata-mata. Karena itu, cara apapun boleh dilakukan demi meraih tujuan tersebut. Konsekuensinya bagi pihak ini, aspek moral tidak bisa dipakai untuk menilai bisnis. Aspek moral dalam persaingan bisnis, dianggap akan menghalangi kesuksesannya. Pada satu sisi, aktivitas bisnis dimaksudkan untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya, sementara prinsip-prinsip moral “membatasi” aktivitas bisnis.

Berlawanan dengan kelompok pertama, kelompok kedua berpendapat bahwa bisnis bisa disatukan dengan etika. Kalangan ini beralasan bahwa etika merupakan alasan-alasan rasional tentang semua tindakan manusia dalam semua aspek kehidupan, tidak terkecuali aspek bisnis. Secara umum, bisnis merupakan suatu kegiatan usaha individu yang terorganisir untuk menghasilkan dan menjual barang dan jasa guna mendapatkan keuntungan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat, atau juga sebagai suatu lembaga yang menghasilkan barang atau jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Ide mengenai etika bisnis bagi banyak pihak termasuk ahli ekonomi merupakan hal yang problematik. Problematikanya terletak pada kesangsian apakah moral atau akhlak mempunyai tempat dalam kegiatan bisnis dan ekonomi pada umumnya. Dari kalangan yang menyangsikan kemudian muncul istilah “mitos bisnis amoral”. Menurut Ricard T. De George dalam Business Ethic, mitos bisnis amoral berkeyakinan bahwa perilaku tidak bisa dibarengkan dengan aspek moral. Antara bisnis dan moral tidak ada kaitan apa-apa dan karena itu, merupakan kekeliruan jika aktivitas bisnis dinilai dengan menggunakan tolak ukur moralitas. Selain itu, dalam realitas bisnis kekinian terdapat kecenderungan bisnis yang mengabaikan etika. Persaingan dalam dunia bisnis adalah persaingan kekuatan modal. Pelaku bisnis dengan modal besar berusaha memperbesar jangkauan bisnisnya, sehingga para pengusaha kecil (pemoda kecil) semakin terseret. Demikian juga praktek Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN) telah memainkan peranan penting dalam proses tersebut. Krisis moneter yang berkepanjangan di Indonesia, pada kenyataannya tidak bisa dilepaskan dari proses kegiatan perekonomian yang demikian, yakni menipisnya nilai-nilai moral dalam aktivitasnya. Dari realitas inilah yang melahirkan anggapan bahwa bisnis adalah “dunia hitam”. Sementara itu, pemikiran etika bisnis dalam Islam muncul ke permukaan, dengan landasan bahwa Islam adalah agama yang sempurna. Ia merupakan kumpulan aturam-aturan ajaran (doktrin) dan nilai-nilai yang dapat menghantarkan manusia dalam kehidupannya menuju tujuan kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akhirat. Islam merupakan agama yang memberikan cara hidup terpadu mengenai aturan-aturan aspek sosial, budaya, ekonomi, sipil dan politik. Ia juga merupakan suatu sistem untuk seluruh aspek kehidupan, termasuk sistem spiritual maupun sistem perilaku ekonomi dan politik. Namun, dalam perkembangannya etika bisnis Islam tidak sedikit dipahami sebagai representasi dan pengejewantahan dari aspek hukum. Misalnya, keharaman jual beli (gharar), menimbun, mengurangi timbangan, dan lain-lain. Pada tataran ini, etika bisnis Islam, tidak jauh berbeda dengan pengejawantahan hukum dalam fiqih muamalah. Dengan kondisi

demikian, maka pengembangan etika bisnis Islam yang mengedepankan etika sebagai landasan filosofisnya merupakan agenda yang signifikan untuk dikembangkan. Menurut Quraish Shihab, dalam Muhammad Fauroni R Lukman, secara normatif, AlQur’an relatif lebih banyak memberikan prinsip-prinsip mengenai bisnis yang bertumpu pada kerangka penanganan bisnis sebagai pelaku ekonomi dengan tanpa membedakan kelas. Dalam mengajak dan mengamalkan tuntutan tuntutannya, Al-Qur’an seringkali menggunakan istilahistilah yang dikenal dalam dunia bisnis, seperti jual beli, sewa menyewa, utang-piutang, dan lain sebagainya. Al-Qur’an merupakan wahyu yang diturunkan dengan berbagai tujuan. Di antara tujuan tersebut adalah untuk membasmi kemiskinan material dan spiritual, kebodohan, penyakit dan penderitaan hidup lainnya, serta pemerasan manusia atas manusia dalam bidang sosial, ekonomi, politik, hukum dan agama. Selain tiu, Al-Qur’an juga merupakan sumber ajaran agama Islam yang menyangkut semua dimensi kehidupan manusia. Dengan tujuan dan eksistensinya, Al-Qur’an merupakan sumber ajaran yang memuat nilai-nilai dan normanorma yang mengatur aktivitasaktivitas manusia termasuk aktivitas ekonomi dan bisnis. Dengan demikian, diharapkan etika bisnis menurut Al-Qur’an melalui kajian yang mendalam dapat menghasilkan atau memberikan konstribusi positif bagi pengembangan etika bisnis Islam yang bersih dan sehat. Di Indonesdia, semangat pengembangan pemikiran ekonomi Islam sedang giat-giatnya digalakkan oleh berbagai kalangan, baik melaui lembaga pendidikan tinggi formal maupun non formal. Pemberlakuan sistem perbankan syari’ah oleh Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1991, kemudian Bank Syari’ah Mandiri (BSM) dan Bank Negara Indonesia Syari’ah (BNI Syari’ah) yang didukung oleh Undang-Undang Perbankan No. 10 Tahun 1998 yang telah dirubah dengan Undang-Undang Perbankan Syari’ah No. 23 Tahun 2008, merupakan momentum dan bukti adanya upaya-upaya pengembangan konsep ekonomi Islam (syari’ah) dalam wilayah praktis.

Entrepreneur gaya surga adalah entrepreneur yang dalam berbisnis mengikuti ketentuan yang digariskan oleh Allah dan Rasulnya. Entrepreneur tersebut tidak hanya berpikir keuntungan dunia saja, tetapi lebih dari itu memikirkan keuntungan akhirat. Dalam Al Qur’an surat Ash Shaff ayat 10 – 12, Allah berfirman: Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan (bisnis) yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (yaitu) beriman kepada Allah dan Rasul-Nya-lah dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya. Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam surga ’Adn. Itulah keberuntungan yang besar. Salah seorang entrepreneur gaya surga tersebut adalah Ali bin Thalib. Diriwayatkan Ali bin Abi Thalib pulang ketemu istrinya di rumah kemudian bertanya kepada istrinya. ”Wahai wanita, apakah kamu mempunyai sesuatu yang bisa dimakan suamimu?” tanya Ali kepada istrinya Fatimah. ”Demi Allah aku tidak mempunyai sesuatu sedikitpun, Namun ini ada uang 6 dirham dari hasil upahku memintal bulu. Uang tersebut akan aku belikan makanan untuk Hasan dan Husain” jawab Fatimah. ”Wahai wanita yang mulia, berikan uang 6 dirham itu kepadaku” kata Ali. Fatima lalu memberikan uang 6 dirham itu kepada Ali bin Abi Thalib. Sesudah uang diterima, Ali ke luar rumah dengan maksud membeli makanan untuk kedua putranya. Tiba-tiba di tengah jalan ia bertemu seorang yang berkata ‘Siapa yang mau meminjami Allah, Dzat Yang Menguasai dan pasti Dia akan menepati Janji-Nya’. Akhirnya Ali mendekati orang tersebut dengan menyerahkan uang 6 dirham yang dibawanya dari rumah yang sedianya dibelikan makan untuk anaknya. Setelah uang diberikan Ali langsung pulang. Ketika Fatimah mengetahui kepulangan suaminya ke rumah tanpa membawa makanan apa-apa, ia terus menangis. Melihat istrinya menangis, Ali langsung bertanya ”Wahai wanita mulia, apa yang menyebabkan engkau menangis?”. ”Wahai putra paman Rasulullah, aku melihat engkau pulang dengan tanpa membawa makanan sedikitpun” jawab Fatimah. ”Wahai wanita mulia, aku telah mengutangkan uang 6 dirham tadi kepada Allah” kata Ali. ”Kalau itu yang engkau lakukan aku setuju” kata Fatimah. Kemudian Ali bin Abi Thalib keluar hendak menuju ke tempat Rasulullah Saw, tiba-tiba di tengah jalan ia bertemu seorang Badui yang sedang menuntun unta. Ali lalu mendekati Badui tersebut, maka Badui itu berkata, ”Wahai ayah Hasan, belilah unta ini”. ”Aku tidak mempunyai uang sepeserpun untuk membeli untamu itu,” kata Ali. Badui : ”Aku menjual unta ini dengan cara diutangkan”. Ali: ”Kalau begitu, berapa harga unta ini kamu jual?”. Badui: ”Aku menjualnya dengan harga 100 dirham”. Ali: ”Baiklah, unta ini aku beli, namun pembayarannya nanti saja setelah aku mendapatkan uang”. Setelah itu Ali bin Abi Thalib menuntun unta yang baru dibelinya. Tetapi tidak begitu jauh Ali dihadang oleh seorang Badui lain, yang bertanya kepadanya ”Wahai ayah Hasan, apakah kamu hendak menjual unta yang kamu tuntun itu?”. Ali: ”Benar, aku hendak menjual unta ini”. Badui: ”Berapa harganya?”. Ali: ”Harga unta ini 300 dirham”. Badui: ”Baiklah, aku beli untamu dengan harga tersebut”.

Setelah orang Badui itu menyetujui harganya, ia langsung membayar 300 dirham secara tunai kepada Ali. Sesudah menerima pembayaran tersebut, Ali menyerahkan kendali untanya kepada orang Badui tadi. Kemudian ia pulang ke rumahnya. Tatkala Fatimah mengetahui suaminya datang, ia menyambutnya dengan senyum kasih sayang, sebagaimana kebiasaan yang ia lakukan setiap kali menyambut kedatangan suaminya. Fatimah lalu bertanya ”Wahai ayah Hasan, apa yang engkau bawa hari ini?”. ”Wahai putri Rasulullah, aku telah membeli seekor unta dengan diutang cara pembayarannya seharga 100 dirham. Aku lalu menjual unta tersebut dengan harga 300 dirham secara tunai,” jawab Ali. ”Aku setuju saja terhadap apa yang kamu lakukan asalkan membawa kemanfaatan dan kemaslahatan” kata Fatimah. Sesudah berbincang-bincang dengan Fatimah dirasa cukup, ia keluar rumah lagi menuju tempat Rasulullah. Pada saat ia memasuki pintu masjid Rasulullah Saw melihatnya dengan tersenyum dan ketika Ali sudah mendekat, beliau berkata ”Wahai ayah Hasan, apakah kamu yang bercerita kepadaku, ataukah aku yang memberi kabar kepadamu?”. ”Engkau saja yang memberi kabar kepadaku,” jawab Ali. Rasulullah berkata ”Wahai ayah Hasan, apakah kamu sudah mengerti, siapa sebenarnya Badui yang menjual unta kepadamu itu, dan siapa Badui kedua yang membelinya?”. Ali: ”Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Rasulullah: ”Beruntung sekali kamu wahai Ali, kamu telah mengutangi Allah dengan 6 dirham, maka Allah memberimu 300 dirham sebagai pengganti setiap dirham mendapat 50 dirham. Adapun orang Badui yang pertama adalah Jibril, sedangkan yang kedua adalah Israfil”. Menurut riwayat lain menyebutkan bahwa orang pertama yang menjual unta adalah Jibril, sedangkan yang kedua adalah Mikail. Jual beli apapun pada asalnya adalah boleh kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Allah ta’ala telah berfirman : ‫اض م ْن ُك ْم‬ ٍ ‫َارةً عَن ت َ َر‬ ِ َ‫يَا أَيهَا ال ِذينَ آ َمنُواْ الَ تَأ ْ ُكلُ َواْ أ َ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِا ْلب‬ َ ‫اط ِل إِال أَن تَكُونَ تِج‬

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. [QS. An-Nisaa’ : 29]. ‫ذَ ِلكَ ِبأَن ُه ْم َقالُ َواْ ِإن َما ا ْلبَ ْي ُع ِمثْ ُل الربَا َوأَحَل َّللاُ ا ْلبَ ْي َع َوحَر َم الربَا‬

Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. [QS. Al-Baqarah : 275]. Dua ayat di atas berlaku umum untuk semua jenis jual beli, termasuk jual beli secara kredit. Sampai ayat ini, para ulamamu’tabar tidak berbeda pendapat mengenai jual beli kredit. Hal itu dikarenakan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallamsendiri pernah melakukan jual beli dengan menunda waktu pembayaran sebagaimana terdapat dalam hadits : ْ ‫سلَّ َم ا‬ ‫شتَ َرى َط َعاما ً ِم ْن يَ ُهو ِدي ٍ ِإ َلى أَ َج ٍل َو َر َهنَهُ د ِْرعا ً ِم ْن َحدِي ٍد‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬ َ ‫عن عائشة رضى هللا تعالى عنها أَنَّ النَّ ِب َّي‬ َ ‫علَي ِه َو‬ ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa : “Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan pembayaran tertunda dan menggadaikan baju besinya sebagai boroh atau gadai” [HR. Bukhari no. 2068, 2096, Dari

2200, 2251, 2252, 2386, 2509, 2513, 2916, 4467; Muslim no. 1603; An-Nasa’i no. 4609, 4650; Ibnu Majah no. 2436; dan Ahmad no. 23626, 24746, 25403, 25467]. Kemudian, para ulama berselisih pendapat mengenai hukum jual beli dengan penundaan waktu pembayaran plus penambahan harga. Ringkasnya, hal itu terbagi menjadi 2 (dua) kelompok besar pendapat : 1.

Mengharamkannya

2.

Membolehkannya Pendapat pertama merupakan pendapat sebagian ulama, dan pendapat kedua merupakan pendapat jumhur ulama. Makna Dua Jual Beli dalam Satu Jual Beli (‫)بيعتان في بيعة‬ ‫سلَّ َم ع َْن َب ْي َعتَي ِْن فِي بَ ْيعَ ٍة‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬ َ ِ‫سو ُل هللا‬ َ ‫علَي ِه َو‬ ُ ‫ نَهَى َر‬: ‫عن أبي هريرة َقا َل‬ Dari Abu Hurairah radliyallaahu ’anhu ia berkata : ”Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam melarang dua jual beli dalam satu jual beli (baca : dua jual beli dalam satu akad/transaksi – Abul-Jauzaa’) [HR. Tirmidzi no. 1231, Ahmad no. 9582, 10153; An-Nasa’i no. 4632; Ad-Daarimi no. 1379; Ibnul-Jarud no. 600; Abu Ya’la no. 6124; Ibnu Hibban no. 4973; Al-Baihaqi 5/343; dan Al-Baghawiy no. 21111 - shahih). " ‫ " صفقتان في صفقة ربا‬: ‫قال ابن مسعود‬ Ibnu Mas’ud berkata : ”Transaksi dalam dua penjualan adalah riba” [HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 8/192/2; Ahmad no. 3783, dan Ibnu Hibban no. 1053 – shahih. Lihat Irwaaul-Ghalil 5/148-149].

1.

Pendapat yang mengharamkannya memaknai hal itu sebagaimana perkataan : “Aku jual barang ini kepadamu, secara kontan 10 ribu rupiah dan jika secara angsuran (kredit) 12 ribu rupiah”. Dan inilah kredit pada umumnya sebagaimana yang lazim di jaman sekarang.

2.

Pendapat yang membolehkannya memaknai hal itu dengan dua inti perkataan, yaitu :

a.

“Aku jual kepadamu baju ini secara kontan seharga 50 ribu rupiah, dan secara kredit 55 ribu rupiah”; namun ketika berpisah ia tidak bersepakat dalam satu harga, apakah akan mengambil yang kontan atau secara kredit. Jadi antara penjual dan pembeli bersepakat dalam transaksi tanpa menentukan penjualan mana yang akan diambil (kontan atau kredit).

b.

“Aku jual sepeda ini padamu seharga 100 ribu dengan syarat kamu menjual kambingmu”. Atau sebaliknya : “Aku jual sepeda ini padamu dengan syarat kamu menjual kambingmu seharha 200 ribu”. Ketika pembeli menyepakati, maka otomatis berlangsung dua akad jual beli dalam satu jual beli. Transaksi ini sangat rentan terhadap kedhaliman pada harta. Maka, di sini jumhur ulama mengatakan bahwa jual-beli secara kredit sebagaimana lazimnya tidak termasuk dalam larangan di atas (kecuali jika sampai berpisah penjual dan

pembeli bersepakat namun tidak menentukan jenis pembayaran yang akan dilakukan – sebagaimana telah dijelaskan). Inti perkataan tersebut saya modifikasi dari contoh yang dikemukakan Al-Imam AtTirmidzi dalam Sunan-nya (no. 1231) [1].

Mana Yang Lebih Kuat ? InsyaAllah yang

lebih kuat adalah Pendapat Kedua (yang membolehkannya). Sebagaimana yang telah disinggung, jual beli kredit yang berlangsung seperti sekarang bukanlah dua jual beli dalam satu transaksi. Sebab, ketika berpisah, mereka umumnya telah menyepakati jenis pembayaran yang akan dilakukan (yaitu bersepakat dengan akad kredit).Maka pada akhirnya di sini hanya ada satu jual beli saja dalam satu transaksi. Adapun contoh perkataan dari pendapat kedua (yang membolehkan kredit), maka sangat jelas bahwa akhir transaksi terdapat dua jual beli dalam satu transaksi dari pihak penjual maupun pembeli yang penuh gharar (ketidakjelasan) dan manipulasi. Bagaimana dengan Pernyataan : Tafsiran Perawi Lebih Didahulukan daripada Selainnya ? Hujjah di atas adalah hujjah yang dipakai oleh para ulama yang mengharamkan kredit dengan tambahan harga, sebab terdapat perkataan perawi hadits larangan dua jual beli dalam satu transaksi. Simmak bin Harb - perawi hadits – telah membawakan tafsiran tentang larangan dua jual beli dalam satu transaksi dengan perkataan : [ ‫إن كان بنقد فبكذا و‬ ‫ و إن كان إلى أجل فبكذا و كذا‬, ‫“ ]كذا‬Apabila dibayar secara kontan maka sekian, dan apabila secara kredit sekian”. Selain dari apa yang telah dijawab di atas, maka hal itu dapat dijawab sebagai berikut : 1.

Tafsiran seorang perawi tidaklah mutlak didahulukan, sebab belum tentu yang membawakan hadits itu lebih paham daripada yang disampaikan. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda : ُ‫َام ِل َف ْق ٍه إِلَى َم ْن ه َُو أفقَهُ ِم ْنه‬ ِ ‫بح‬ َ ً ‫ام َرأ‬ َّ ‫ فَ ُر‬،‫س ِم َع َمقَالَتِي فَوعَا َها َو َح ِف َظهَا َو َبلَّغَهَا‬ ْ ُ‫نَض ََّر هللا‬

“Semoga Allah memberikan cahaya kepada wajah orang yang mendengar perkataanku, kemudian ia memahaminya, menghafalkannya, dan menyampaikannya. Betapa banyak orang yang membawa fiqh kepada orang yang lebih paham daripadanya” [HR. Tirmidzi no. 2658; shahih].

Hadits di atas menjelaskan bahwa kedudukan pembawa hadits (rawi) tidak mutlak selalu lebih unggul dalam pemahaman dibandingkan orang yang disampaikan. 2.

Madzhab jumhur ulama ushul-fiqh adalah tidak bertaqlid kepada pendapat shahabat. Kalau seorang shahabat memberi kekhususan pada sebuah nash umum atau menafsirkan nash yang masih global pengertiannya dengan salah satu kemungkinan penafsirannya tanpa penjelasan sebab adanya pengkhususan dan penafsiran tersebut, maka pendapatnya tidak bisa dijadikan hujjah dalam mengkhususkan nash umum tersebut atau dalam penafsiran nash yang masih penuh kemungkinan tersebut. Apabila demikian halnya yang berlaku pada shahabat dengan segala kemuliaan dan keutamaannya, tentu

bagi seorang tabi’in atau orang sesudah mereka lebih jelas lagi. Dan sebagai catatan, Simmak bin Harb ini adalah seorang tabi’i, bukan seorang shahabat. Perkataan seorang perawi dapat didahulukan jika memang terdapat qarinah yang jelas bahwa perkataannya tersebut merupakan penjelasan yang bersumber pada ujung sanad (dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam atau shahabat untuk kasus hadits mauquf). Contohnya adalah tentang masalah berdzikir dengan tangan kanan : ‫حدثنا عبيد هللا بن عمر بن ميسرة ومحمد بن قدامة في آخرين قالوا ثنا عثام عن األعمش عن عطاء بن السائب عن أبيه عن‬ ‫عبد هللا بن عمرو قال رأيت رسول هللا صلى هللا عليه وسلم يعقد التسبيح قال بن قدامة بيمينه‬ Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidillah bin ‘Umar bin Maisarah dan Muhammad bin Qudamah dan yang lainnya mereka berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Atsaam dari Al-‘Amasy dari ‘Atha’ bin Saib dari ayahnya dari Abdillah bin ‘Amru ia berkata : “Aku melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menghitung bacaan tasbihnya”. Berkata Muhammad bin Qudamah (perawi hadits) : “Yaitu dengan tangan kanannya” [HR. Abu Dawud no. 1502]. Perkataan perawi (Muhammad bin Qudamah) : “Yaitu dengan tangan kanannya” tidaklah mungkin hanyalah penafsirannya semata. Penjelasan itu didapatkan dari penjelasan rawi di atasnya sampai di ujung sanad yang merupakan penjelasan dari orang yang melihat fi’il Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam (yaitu Abdullah bin ‘Amru radliyallaahu ‘anhuma). Hadits tersebut dibawakan oleh Abdullah bin ‘Amr dengan apa yang dilihat, bukan sekedar interpretasi semata. Sehingga, dari apa yang dilihat tersebut dikatakan/dijelaskan kepada perawi selanjutnya (murid-muridnya).

Bagaimana Penjelasan Hadits Abu Hurairah ? Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : ‫من باع بيعتين في بيعة فله أوكسهما أو الربا‬

Barangsiapa yang menjual dengan dua penjualan dalam satu transaksi, maka baginya harga yang terendah atau riba [HR. Abu Dawud no. 3461, Ibnu Hibban no. 4974, AlHaakim no. 2292, dan Al-Baihaqi 3/343; dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahiihah no. 2326].[2]

Adapun pengertiannya adalah bahwa hadits Abu Hurairah (yang terdapat keharusan memilih harga terendah) merupakan jual-beli ‘ienah yang memang termasuk riba. IbnulQayyim dalam Tahdzibus-Sunan (9/240) mengatakan : “Makna kalimat dalam hadits terdahulu : ‘…barangsiapa yang melakukan dua jual beli dalam satu jual beli, hendaknya ia mengambil yang termurah, bila tidak ia memakan riba’ ; yaitu seperti jual beli ‘ienah. Demikian yang dijelaskan oleh Syaikh Al-Khaththabi. Karena itu artinya dua jual beli dalam satu jual beli. Yang termurah adalah harga kontan. Apabila yang diambil adalah yang lebih mahal, yaitu pembayaran berjangka, maka ia telah mengambil harta riba. Kemungkinan yang terjadi hanya salah satu dari dua : mengambil harga termurah atau memakan riba. Itu hanya terjadi pada jual beli ‘ienah” Jual beli ‘ienah gambarannya adalah sebagai berikut :

Si (A) menjual mobil kepada si (B) dengan pembayaran tempo (5 tahun) seharga 50 juta. Mobil diterima si (B). Kemudian si (A) mensyaratkan untuk membeli kembali mobil tersebut seharga 40 juta secara kontan dari si (B). Maka di sini terdapat unsur manipulasi dan riba. Si (A) sebenarnya tidak berkeinginan untuk menjual mobil kepada si (B), melainkan ia hanya ingin “menggandakan” uangnya yang 40 juta itu menjadi 50 juta (ada tambahan 10 juta) dalam tempo 5 tahun. Ini riba. Sedangkan si (B) tujuannya tidaklah ingin membeli mobil si (A), melainkan hanya menginginkan uang kontan 40 juta dengan konsekuensi ia harus mengembalikan sebesar 50 juta di tahun kelima. Jadi sebenarnya ini hanya manipulasi riba yang dibungkus atas label jual-beli. Dalam jual beli ini terdapat dua jual beli dalam satu jual beli. Jika penjual dan pembeli memilih harga terendah (yaitu 40 juta kontan), maka jual beli itu adalah mubah dan terbebas dari riba. Namun jika yang disepakati seperti di atas, maka itulah larangan dalam hadits Abu Hurairah. Wallaahu a’lam. Kesimpulan : 1.

Jual beli kredit pada asalnya adalah boleh.

2.

Walaupun boleh, namun sudah selayaknya kita menghindarinya untuk menghindari perselisihan yang ada. Harus diakui bahwa hujjah ulama yang mengharamkannya pun terbilang cukup “kuat”. Apalagi hal itu didukung oleh para ulama-ulama Ahlus-Sunnah yang terkenal seperti Ibnu Sirin, Simak bin Harb, Ats-Tsauri, Ibnu Qutaibah, An-Nasa’i, Ibnu Hibban, dan yang lainnya.

3.

Selayaknya bagi kita untuk menghindari kredit (jangan menggampangkannya), karena pada hakekatnya kredit itu adalah hutang. Jika kita mati dan tunggakan kredit itu masih ada, maka statusnya adalah seperti hutang dimana kita tetap “tertahan” sampai kredit kita tersebut terselesaikan.

4.

Bersikap zuhud dan wara’ adalah utama. Beli kalau ada uang, dan tidak membeli kalau memang tidak ada uang. Semoga ada manfaatnya. Pesan utama Al-Qur’an dalammu’amalah keuangan atau aktivitas ekonomi adalah:

‫اط ِل‬ ِ َ‫َو َال تَأ ْ ُكلُوا أَ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم ِب ْالب‬

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan atau melakukan interaksi keuangan di antara kamu secara bathil…” (QS Al-Baqarah [2]: 188). Jual Beli

ُ َّ‫الربَا َال يَقُو ُمونَ إِ َّال َك َما يَقُو ُم الَّذِي يَت َ َخب‬ َ ‫ش ْي‬ َّ ‫طهُ ال‬ ُ ‫ط‬ ‫الربَا‬ ِ ‫ان ِمنَ ْال َم ِس ذَلِكَ بِأَنَّ ُه ْم قَالُوا إِنَّ َما ْالبَ ْي ُع ِمثْ ُل‬ ِ َ‫الَّذِينَ يَأ ْ ُكلُون‬ َ ‫الربَا فَ َم ْن َجا َءهُ َم ْو ِع‬ َّ ‫ف َوأ َ ْم ُرهُ إِلَى‬ َّ ‫َوأ َ َح َّل‬ َ‫عادَ فَأُولَئِك‬ َ ‫ّللاِ َو َم ْن‬ َ ‫ظةٌ ِم ْن َربِ ِه فَا ْنت َ َهى فَلَهُ َما‬ ِ ‫ّللاُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم‬ َ َ‫سل‬ َّ ‫ت َو‬ َّ ‫﴾ يَ ْم َح ُق‬٢۷٥﴿ َ‫ار ُه ْم فِي َها خَا ِلدُون‬ ﴾٢۷٦﴿ ‫ار أَثِ ٍيم‬ ِ ‫صدَقَا‬ ُ ‫ص َح‬ ْ َ‫أ‬ َّ ‫الربَا َوي ُْر ِبي ال‬ ٍ َّ‫ّللاُ َال ي ُِحبُّ ُك َّل َكف‬ ِ ُ‫ّللا‬ ِ َّ‫اب الن‬

“Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama

dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barang siapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. barang siapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, kekal di dalamnya.”(275) ”Allah memusnahkan riba sedikit demi sedikit dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang berulang-ulang melakukan kekufuran, dan selalu berbuat banyak dosa.” Firman Allah SWT., ‫الر َبا‬ َ‫“الَّذِينَ َيأ ْ ُكلُون‬Orang-orang yang makan (mengambil) ِ riba.” Pada ayat ini, kata mengambil diibaratkan dengan memakan, karena maksud sebenarnya dari pengambilan riba memang untuk dimakan.[3] Kata riba menurut etimologi bahasa maknanya adalah mutlak penambahan, maknanya: jika bertambah. Di antara makna menurut bahasa ini adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim: “Demi Tuhan, tidak satupun dari suapan yang kita makan kecuali terus bertambah dari bawahnya.” Yakni makanan yang telah didoakan oleh Nabi saw. agar penuh keberkahan. Kemudian, makna secara syari’at telah dipalingkan dari makna yang mutlak seperti ini (yakni penambahan), dan meminimalisir maksudnya secara keseluruhan. AlQur’an terkadang menyebutkannya untuk makna penghasilan yang haram, seperti pada firman Allah SWT. kepada orang-orang Yahudi: ُ‫ع ْنه‬ َ ‫الربَا َوقَ ْد نُ ُهوا‬ ِ ‫“ َوأ َ ْخ ِذ ِه ُم‬Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya” (QS. anNisaa’: 161). Namun yang dimaksud dengan riba pada ayat ini tidak sama dengan riba yang dikenal dalam syari’at Islam, yang dimaksud riba pada ayat ini adalah harta yang diharamkan secara keseluruhan, seperti pada firman Allah SWT. pada ayat lain: َ‫س َّماعُون‬ َ ْ َ ُ ‫ت‬ ِ ْ‫ب أ َّكالونَ ِللسُّح‬ ِ ‫“ ِلل َك ِذ‬Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram.” (QS. al-Maaidah: 42) Yakni memakan harta yang haram, seperti misalnya dengan cara menipu, atau menyogok, atau juga dengan cara menghalalkan harta orang-orang ummi, dimana mereka mengatakan: ‫سبِي ٌل‬ َ ‫ْس‬ َ َ‫علَ ْينَا فِي ْاْل ُ ِميِين‬ َ ‫“لَي‬Tidak ada dosa bagi kami terhadap orangorang ummi” (QS. Aali ‘Imraan: 75). Dengan demikian, maka kata riba sebelum Islam adalah segala harta yang haram, yang didapatkan dari cara apapun. Riba dalam syari’at Islam adalah seperti kebanyakan yang dilakukan oleh orang arab. Misalnya saja seperti perkataan mereka ketika menagih uang pinjaman: apakah kamu mau menambah waktunya dengan menambahkan prosentase bunganya? Lalu setelah itu karena orang yang berutang tidak mampu membayar maka ia terpaksa menambah jumlah utangnya (sedangkan ia tidak menerima pinjaman kecuali di awalnya saja). Dan ini adalah haram seperti yang disepakati oleh seluruh umat sepanjang zaman.[4] Firman Allah SWT., ‫الربَا‬ ِ ‫“ ِإنَّ َما ْال َب ْي ُع ِمثْ ُل‬Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba.” Yakni: sesungguhnya penambahan ketika datangnya jangka waktu terakhir untuk membayar sebuah utang adalah sama dengan harga asli pada awal jual beli. Hal ini dikarenakan orang arab tidak mengenal riba kecuali yang seperti ini. yaitu: ketia datang

saat orang yang berutang untuk membayar utangnya, maka orang yang diutangi akan mengatakan: “apakah engkau akan membayar, atau engkau ingin riba?” yakni: menambahkan prosentase pada utangnya. Lalu Allah SWT. mengharamkan perilaku seperti ini, dan membantah perkataan َّ ‫َوأ َ َح َّل‬ mereka yang menyamakan riba dengan jual beli melalui firman-Nya: ‫ح َّر َم‬ َ ‫ّللاُ ْالبَ ْي َع َو‬ ‫الربَا‬ ِ “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” Allah SWT. juga menjelaskan bahwa ketika saat membayyat telah tiba, namun orang yang berutang belum juga mampu membayarnya, maka disarankan bagi yang mengutanginya untuk memberikan waktu tenggang hingga orang yang berutang itu mempunyai kelapangan untuk membayar. Huruf alif dan laam pada kata ‫ ْال َب ْي َع‬berguna untuk keterangan jenis, karena tidak ada penyebutan kata ini sebelumnya yang dapat dijadikan sandaran tempat kembalinya. Lalu, setelah terbukti bahwa kata ‫ ْالبَ ْي َع‬adalah untuk menerangkan keumuman ayat, maka yang menjadi pengkhususannya adalah kata riba dan juga transaksi lainnya yang dilarang dan tidak diperbolehkan, seperti jual beli khamer, perdagangan bangkai, transaksi sesuatu yang belum ada kejelasannya, dan jual beli lainnya yang telah ditetapkan larangannya dalam hadits maupun ijma’ para ulama. Ini adalah pendapat dari kebanyakan para ulama. Sedangkan beberapa ulama lainnya berpendapat bahwa ayat ini termasuk mujmal Al-Qur’an, yang lalu dibagi-bagi menjadi jual beli yang halal dan jual beli yang haram. Oleh karena itu ayat ini tidak dapat digunakan untuk penghalalan jual beli secara keseluruhan ataupun pengharamannya secara keseluruhan, kecuali disertai dengan penelasan dari hadits Rasulullah SAW. yang menunjukkan pembolehan jual beli secara keseluruhan tanpa pembagi-bagian.[5] Kata (‫ )يمحق‬yamhaq yang ditejemahkan dengan memusnahkan, dipahami oleh pakar-pakar bahasa dalam arti mengurangi sedikit demi sedikit hingga habis, sama halnya dengan sinar bulan setelah purnama, berkurang sedikit demi sedikit, sehingga lenyap dari pandangan. Demikian juga riba. Penganiayaan yang timbul karena praktek riba menimbulkan kedengkian di kalangan masyarakat, khususnya kaum lemah. Kedengkian tersebut sedikit demi sedikit bertambah dan bertambah, sehingga pada akhirnya menimbulkan bencana yang membinasakan. Jangan menduga bahwa kebinasaan dan keburukan riba hanya tercermin pada praktek-praktek amoral yang dilakukan oleh para lintah darat, tetapi kebinasaan itu juga menimpa bidang ekonomi, pada tingkat individu dan masyarakat. Banyak pengalaman dalam kedua tingkat itu yang dapat dijadikan contoh. Banyak peristiwa yang membuktikan, betapa mereka yang melakukan transaksi riba pada akhirnya terjerumus dalam kemiskinan. Demikianlah Allah memusnahkan riba sedikit demi sedikit, tidak terasa oleh pelakunya, kecuali setelah nasi menjadi bubur. Lawan riba adalah sedekah. Tidak heran jika Allah menyuburkan sedekah. Dari segi material, sedekah mengembangkan dan menambah harta. Buktinya, seseorang yang bersedekah tulus akan merasakan kelezatan dan kenikmatan membantu, dan ini pada

gilirannya melahirkan ketenangan dan ketenteraman jiwa yang dapat mendorongnya untuk lebih berkonsentrasi dalam usahanya. Di sisi lain, penerima sedekah dan infak, dengan bantuan yang diterimanya akan mampu mendorong terciptanya daya beli dan penambahan produksi. Itu sedikit dari fungsi sedekah dan infak dalam pengembangan harta. Allah tidak menyukai, yakni tidak mencurahkan rahmat, kepada setiap orang yang berulang-ulang melakukan kekufuran, dan selalu berbuat banyak dosa. Ayat ini sekali lagi mengisyaratkan kekufuran orang-orang yang mempraktekkan riba, bahkan kekufuran berganda, sebagaimana dipahami dengan penggunaan kata (‫ )كفار‬kaffar bukan kafir. Kekufuran berganda itu adalah sekali, ketika mereka mempersamakan riba dengan jual beli sambil menolak ketetapan Allah, di kali kedua, ketika mempraktekkan riba, dan di kali ketiga, ketika tidak mensyukuri nikmat kelebihan yang mereka miliki, bahkan menggunakannya untuk menindas dan menganiaya. Orang yang melakukannya selalu berbuat banyak dosa, karena penganiayaan yang dilakukannya bukan hanya menimpa satu orang, tetapi menimpa banyak orang, bukan hanya anggota keluarga yang kepala keluarganya terpaksa melakukan transaksi riba, bahkan menimpa seluruh masyarakat.[6]

َّ ‫ص َالةِ َوإِيت َِاء‬ َّ ‫ع ْن ِذ ْك ِر‬ ‫ار‬ ُ ُ‫ب فِي ِه ْالقُل‬ ُ َّ‫الز َكاةِ يَخَافُونَ يَ ْو ًما تَتَقَل‬ َّ ‫ّللاِ َوإِقَ ِام ال‬ ُ ‫ص‬ َ ‫ارة ٌ َو َال بَ ْي ٌع‬ َ ‫وب َو ْاْل َ ْب‬ َ ‫ِر َجا ٌل َال ت ُ ْل ِهي ِه ْم تِ َج‬ ﴾٣۷﴿ “Orang yang tidak dilalaikan oleh perdagangan dan tidak (pula) oleh jual beli dari dzikrullah, dan melaksanakan shalat serta menunaikan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (ketika itu) hati dan penglihatan menjadi guncang (hari Kiamat).”An-Nur/24:37 Ayat di atas menggunakan kata (‫ )تجارة‬tijarah dan (‫ )بيع‬bai’. Keduanya biasa diterjemahkan jual beli. Sementara ulama memahami kata (‫ )تجارة‬tijarahdalam arti membeli dan (‫ )بيع‬bai’ dalam arti menjual. Ada juga yang membedakannya dengan menyatakan bahwa kata bai’ biasa digunakan untuk menggambarkan telah terjadinya transaksi dan diperolehnya keuntungan, sedangkan kata tijarah menggambarkan profesi jual beli. Dengan demikian seseorang yang tidak dilengahkan oleh tijarah belum tentu ia tidak dilengahkan oleh bai’. Thabathaba’i berpendapat bahwa kata tijarah jika diperhadapkan dengan bai’ maka ia berarti kesinambungan dalam upaya mencari rezeki dengan jalan jual beli, sedang bai’ adalah upaya jual beli yang menghasilkan keuntungan riil yang sifatnya langsung. Dengan demikian penggalan ayat ini bagaikan menyatakan bahwa manusia-manusia itu tidak pernah lengah dari mengingat Allah sepanjang upaya mereka yang bersinambung guna mencari keuntungan, dan tidak juga pada saat mereka sedang melakuan jual beli dan meraih keuntungan. Ibn ‘Asyur memahami kata tijarah dalam arti mendatangkan barang untuk memperoleh keuntungan dengan jalan menjualnya, sedangkan bai’ adalah menjual sesuatu karena kebutuhan akan harganya.[7]

Kata ‫( ْالبَ ْي َع‬jual beli) dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar dari kata baa’a, yang artinya membeli ini dengan itu, yakni menyerahkan sesuatu dan mengambil penggantinya. Oleh karena itu, jual beli memerlukan adanya seorang pemilik sesuatu yang disebut penjual, ataupun kata lainnya yang serupa dengan makna penjual. Jual beli juga memerlukan adanya seorang pemilik uang yang disebut pembeli, ataupun kata lainnya yang serupa dengan makna pembeli. Jual beli juga memerlukan adanya suatu barang berharga yang disebut barang dagangan, ataupun yang sejenisnya, yang ingin ditukar dengan sejumlah uang. Jual beli juga memerlukan adanya sejumlah uang yang disebut dengan harga ataupun yang sejenisnya, yang ingin ditukar dengan suatu barang tertentu. Dengan demikian, maka rukun jual beli itu ada empat perkara: yaitu, penjual, pembeli, harga (uang), dan benda (barang) yang dihargai.[8] 2. Kewajiban Mendatangkan Saksi dalam segala bentuk Transaksi

ٌ ‫سفَ ٍر َولَ ْم ت َِجد ُوا َكاتِبًا فَ ِره‬ َّ ‫ق‬ ً ‫ض ُك ْم بَ ْع‬ ُ ‫ضةٌ فَإ ِ ْن أ َ ِمنَ بَ ْع‬ َ ‫َان َم ْقبُو‬ َ ‫َو ِإ ْن ُك ْنت ُ ْم‬ َ‫ّللا‬ َ ‫علَى‬ ِ َّ ‫ضا فَ ْلي َُؤ ِد الَّذِي اؤْ ت ُ ِمنَ أ َ َمانَتَهُ َو ْليَت‬ ْ ُ َّ ‫َربَّهُ َو َال ت َ ْكت ُ ُموا ال‬ َّ ‫ش َهادَة َ َو َم ْن يَ ْكت ُ ْم َها فَإِنَّهُ آثِ ٌم قَلبُهُ َو‬ ﴾٢٨٣﴿ ‫ع ِلي ٌم‬ َ َ‫ّللاُ ِب َما ت َ ْع َملون‬

“Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang. Tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya. Dan janganlah kamu menyembunyikan kesaksian, karena barang siapa menyembunyikannya, sungguh, hatinya kotor (berdosa). Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (al-Baqarah/1: 283) Ayat ini menerangkan tentang muamalah (transaksi) yang dilakukan tidak secara tunai, yang dilakukan dalam perjalanan dan tidak ada juru tulis yang akan menuliskannya. Dalam hal muamalah yang tidak tunai, yang dilakukan dalam perjalanan dan tidak ada seorang juru tulis yang akan menuliskannya, maka hendaklah ada barang tanggungan (agunan/jaminan) yang diserahkan kepada pihak yang berpiutang. Kecuali jika masing-masing saling mempercayai dan menyerahkan diri kepada Allah, maka muamalah itu boleh dilakukan tanpa menyerahkan barang jaminan.[9] ٌ ‫“فَ ِره‬Maka hendaklah ada barang tanggungan yang Firman Allah SWT., ٌ‫ضة‬ َ ‫َان َم ْقبُو‬ dipegang (oleh yang berpiutang).” Abu Umar dan Ibnu Katsir membacanya: faruhunun (menggunakan harakat dhammah pada huruf ra’ dan ha’). Ath-Thabari mengatakan: sebagian kalangan berpendapat bahwa kata ‫ره ٌُن‬adalah ُ bentuk jamak dari ‫رهان‬, dan kata ‫رهان‬ini adalah bentuk jamak dari‫ر ْه ٌن‬. َ Dengan demikian maka kata ‫ره ٌُن‬adalah bentuk jamak dari sebuah kata jamak. ُ Makna dari kata ‫(ر ْه ٌن‬barang gadaian) menurut para ulama adalah: penyerahan َ suatu benda yang dimiliki oleh orang yang berutang sebagai jaminan, agar benda tersebut dapat dimanfaatkan ketika ada alasan tertentu dari orang yang berutang hingga ia tidak dapat mengembalikan pinjamannya. Begitulah makna yang disampaikan oleh

para ulama. Sedangkan dalam etimologi bahasa, kata ‫ر ْه ٌن‬ini artinya adalah: selalu dan َ terus menerus. Ibnu Athiyah mengatakan: Ada juga yang mengatakan bahwa makna kata ‫ر ْه ٌن‬adalah jaminan itu sendiri. Kata asalnya adalahً ‫ارهاَنا‬ ْ ُ‫ أ َ ْرهَنَ ي ُْر ِهن‬. Sedangkan Abu َ Ali berpendapat bahwa َ‫أَ ْرهَن‬sebagai akar kata ‫ر ْه ٌن‬digunakan untuk jual beli dan utang َ piutang biasa adalah ‫ر ْهن‬. Berbeda lagi dengan pendapat Abu Zaid yang mengatakan bahwa kata ‫أ ُ ْرهِن‬justru digunakan khusus pada barang yang mahal dan mewah. Sedangkan Az-Zujaj berpendapat bahwa kedua kata ini dapat digunkan pada makna yang sama. Pendapat ini juga didukung oleh Ibnu Al A’rabi dan Al Akhfasy. Lalu Ibnu Athiyah mengatakan: para ulama bahasa sepakat bahwa kata ‫الر ْهن‬digunaka untuk jual beli dan utang piutang. Selanjutnya mashdar ini disebutkan untuk barang yang telah dibayarkan. Abu Ali mengatakan: Karena menurut bahasa kata ‫الر ْهن‬itu berarti tetap dan terus menerus, maka dari sini para ulama fikih mengambil kesimpulan bahwa jika barang yang digadaikan telah berpindah dari tangan murtahin (orang yang menerima barang gadaian itu) ke tangan rahin (orang yang menggadaikan) dengan bentuk apapun juga. Al-Qurthubi berkata: inilah yang paling diunggulkan dalam madzhab kami, yaitu bahwa ketika barang gadaian itu dipulangkan kepada rahin dengan kemauan si murtahin sendiri, maka pegadaian pun telah terhenti sampai disitu. Pendapat ini juga diamini oleh Abu Hanifah, namun ia menambahkan: Jika orang tersebut memulangkan barangnya dengan niat meminjamkan atau menitipkan maka pegadaian masih terus berjalan.[10] 3. Takaran dan Timbangan

ُ َ ‫س ُن َحتَّى يَ ْبلُ َغ أ‬ ‫سا ِإ َّال ُو ْس َع َها‬ ِ ‫شدَّهُ َوأ َ ْوفُوا ْال َك ْي َل َو ْال ِميزَ انَ ِب ْال ِقس‬ ً ‫ف نَ ْف‬ ُ ‫ْط َال نُ َك ِل‬ َ ْ‫ِي أَح‬ َ ‫َو َال ت َ ْق َربُوا َما َل ْال َيتِ ِيم ِإ َّال ِبالَّتِي ه‬ َّ ‫َو ِإذَا قُ ْلت ُ ْم فَا ْع ِدلُوا َولَ ْو َكانَ ذَا قُ ْر َبى َو ِب َع ْه ِد‬ ﴾١٥٢﴿ َ‫صا ُك ْم بِ ِه لَ َعلَّ ُك ْم تَذَ َّك ُرون‬ َّ ‫ّللاِ أ َ ْوفُوا ذَ ِل ُك ْم َو‬

“Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, sampai dia mencapai (usia) dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya. Apabila kamu berbicara, bicaralah sejujurnya, sekalipun dia kerabat(mu) dan penuhilah janji Allah. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu ingat.” Al-An’am/6: 152 Ayat di atas menggunakan bentuk perintah – bukan larangan – menyangkut takaran dan timbangan (‫ْط‬ ِ ‫ ) َوأ َ ْوفُوا ْال َك ْي َل َو ْال ِميزَ انَ ِب ْال ِقس‬wa aufu al-kaila wa al-mizana bi al-qisth/ dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil.Ini menurut Thahir Ibn ‘Asyur untuk mengisyaratkan bahwa mereka dituntut untuk memenuhi secara sempurna timbangan dan takaran, sebagaimana dipahami dari kata (‫ )أ َ ْوفُوا‬aufu yang berarti sempurnakan, sehingga perhatian mereka tidak sekadar pada upaya tidak mengurangi, tetapi pada penyempurnaannya. Apalagi ketika itu alat-alat ukur masih sangat sederhana. Kurma dan anggur pun mereka ukur bukan dengan timbangan dan takaran. Hanya emas dan perak yang mereka timbang. Perintah menyempurnakan ini juga mengandung dorongan untuk meningkatkan kemurahan hati dan kedermawanan yang

merupakan salah satu yang mereka akui dan banggakan sebagai sifat terpuji. Seakanakan ayat ini – tulis Ibn ‘Asyur – mengatakan pada mereka: “Dimanakah kedermawanan kalian yang kalian berlomba untuk menampakkkannya. Bukankah sebaiknya sifat terpuji itu kalian nampakkan pada saat menakar dan menimbang, sehingga kalian melebihkannya dari sekadar berlaku adil, bukan justru mengurangi dan mencurinya. Kata (‫ْط‬ ِ ‫ ) ْال ِقس‬al-qisth mengandung makna rasa senang kedua pihak yang bertransaksi, karena itu ia bukan sekadar berarti adil, apalagi jika ada keadilan yang tidak dapat menyenangkan salah satu pihak. Yang menganiaya tidak akan senang menerima, walau sanksi yang adil. Qisthbukan hanya adil, tetapi sekaligus menjadikan kedua belah pihak senang dan rela. Timbangan dan takaran harus menyenangkan kedua pihak, karena itu ayat di atas di samping memerintahkan untuk menyempurnakan takaran dan timbangan, juga memerintahkan penyempurnaan itu bi al-qisth, bukan sekadar bi al-‘adl/ dengan adil. Perintah menyempurnakan takaran disusul dengan kalimat: Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sesuai kemampuannya. Ini dikemukakan untuk mengingatkan bahwa memang dalam kehidupam sehari-hari tidak mudah mengukur apalagi menimbang, yang benar-benar mencapai adar adil yang pasti, tetapi kendati demikian, penimbang dan penakar hendaknya berhati-hati dan senantiasa melakukan penimbangan dan penakaran itu semampu mungkin. Bahwa ayat ini merupakan perintah kepada penjual atau pemberi barang, karena pembeli atau penerima tidak selalu awas, apalagi saat disertai keinginan yang besar untuk memperoleh barang itu. Juga karena takaran dan timbangan itu biasanya berada ditangan pemberi barang bukan penerima atau pembelinya. Perintah memenuhi (‫‘ )عهد هللا‬ahd Allah/ janji Allah. Rangkaian kedua kata ini dapat berarti apa yang ditetapkan oleh Allah atas kamu menyangkut perjanjian, yang dalam hal ini adalah syariat agama; bisa juga dalam arti apa yang kamu telah janjikan kepada Allah untuk melakukannya dan yang telah kamu akui, atau bisa jadi juga ia berarti perjanjian yang Allah perintahkan untuk dipelihara dan dipenuhi. Kesemua makna ini benar lagi diperintahkan Allah SWT. dan juga dapat ditampung oleh redaksi tersebut. Bahwa ia dinamai perjanjian Allah, karena perjanjian itu disaksikan oleh Allah lagi biasanya disepakati atas nama Allah SWT.[11]

IV.

KESIMPULAN Pengertian “Jual beli” menurut bahasanya, ialah suatu bentuk akad penyerahan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Sedangkan menurut syara’, maka pengertian jual beli yang paling tepat ialah memiliki sesuatu harta (uang) dengan mengganti sesuatu atas dasar ijin syara’, atau sekedar memiliki manfaatnya saja yang diperbolehkan syara’. Dalam al-Qur’an terdapat kata (‫ )تجارة‬tijarah dan (‫ )بيع‬bai’. Keduanya biasa diterjemahkan jual beli. Sementara ulama memahami kata (‫ )تجارة‬tijarah dalam

artimembeli dan (‫ )بيع‬bai’ dalam arti menjual. Ada juga yang membedakannya dengan menyatakan bahwa kata bai’ biasa digunakan untuk menggambarkan telah terjadinya transaksi dan diperolehnya keuntungan, sedangkan kata tijarah menggambarkan profesi jual beli. Dengan demikian seseorang yang tidak dilengahkan oleh tijarah belum tentu ia tidak dilengahkan oleh bai’. Jual Beli Oleh: Muhammad Imaduddin*

Dalam

Pandangan

Islam

Dalam Qur’an Surat Al Baqoroh ayat 275, Allah menegaskan bahwa: “...Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...”. Hal yang menarik dari ayat tersebut adalah adanya pelarangan riba yang didahului oleh penghalalan jual beli. Jual beli (trade) adalah bentuk dasar dari kegiatan ekonomi manusia. Kita mengetahui bahwa pasar tercipta oleh adanya transaksi dari jual beli. Pasar dapat timbul manakala terdapat penjual yang menawarkan barang maupun jasa untuk dijual kepada pembeli. Dari konsep sederhana tersebut lahirlah sebuah aktivitas ekonomi yang kemudian berkembang menjadi suatu sistem perekonomian.

BAB II PEMBAHASAN 1. Jual Beli Secara etimologis, jual beli berarti menukar harta dengan harta. Sedangkan, secara terminologi, jual beli memiliki arti penukaran selain dengan fasilitas dan kenikmatan. Menjual adalah memindahkan hak milik kepada orang lain dengan harga, sedangkan membeli yaitu menerimanya. Berdasarkan pendapat di atas dapat penulis simpulkan bahwa jual beli adalah suatu akad yang dilakukan oleh pihak penjual dan pembeli.

b. Dasar Hukum Jual beli disyariatkan di dalam Alquran, sunnah, ijma, dan dalil akal. Allah SWT berfirman: “Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” c. Klasifikasi Jual Beli Jual beli dibedakan dalam banyak pembagian berdasarkan sudut pandang. Adapun pengklasifikasian jual beli adalah sebagai berikut: 1. Berdasarkan Objeknya Jual beli berdasarkan objek dagangnya terbagi menjadi tiga jenis, yaitu:  Jual beli umum, yaitu menukar uang dengan barang.  Jual beli as-Sharf (Money Changer), yaitu penukaran uang dengan uang. Jual beli muqayadhah (barter), yaitu menukar barang dengan barang. 2. Berdasarkan Standardisasi Harga a) Jual Beli Bargainal (tawar menawar), yaitu jual beli di mana penjual tidak memberitahukan modal barang yang dijualnya. b) Jual Beli Amanah, yaitu jual beli di mana penjual memberitahukan modal barang yang dijualnya. Dengan dasar ini, jual beli ini terbagi menjadi tiga jenis: 1. Jual beli murabahah, yaitu jual beli dengan modal dan keuntungan yang diketahui. 2. Jual beli wadhi’ah, yaitu jual beli dengan harga di bawah modal dan kerugian yang diketahui. 3. Jual beli tauliyah, yaitu jual beli dengan menjual barang sama dengan harga modal, tanpa keuntungan atau kerugian. 2. Jual Beli dalam Pandangan Islam Dalam ajaran Islam terdapat berbagai aturan terkait Muamalah atau Jual - Beli , bahkan ada empat macam yang digolongkan sebagai jual - beli yang 'terlarang' dalam Islam yakni : terlarang sebab ahliah, terlarang dari shigat, terlerang sebab ma’qud ‘alaih, dan terlarang sebab syara’. Untuk mengenal lebih jauh mengenai empat macam jual - beli yang terlarang , antara lain : 1. Terlarang sebab ahliah (ahli akad) Ulama’ sepakat bahwa jual beli dikategorikan shahih apabila dilakukan oleh orang yang baligh, berakal, dapat memilih, dan mampu bertasharruf secara bebas dan baik. Mereka yang dipandang tidak sah jual beli belinya adalah sebagai berikut. a. Jual beli orang gila Ulama’ fiqih sepakat bahwa jual beli orang gila tidak sah. Begitu pula sejenisnya, seperti orang mabuk.

b. Jual beli anak kecil Ulama’ fiqih juga sepakat bahwa jual belinya anaka kecil (belum mumayyiz) dipandang tidak sah, kecuali dalam perkara-perkara yang ringan atau sepele. Menurut ulama’ Syafi’iyah, jual beli anak mumayyiz yang belum baligh tidak sah karena tidak ada ahliah. Adapun menurut ulama’ Malikiyah, Hanafiyah, dan Hanbaliyah jual belinya anak kecil dipandang sah jika diizinkan oleh walinya. Mereka antara lain beralasan, salah satu cara untuk melatih kedewasaan adalah dengan memberikan keluasan unuk jual beli. c. Jual beli orang buta Jual beli orang buta dikategorikan shahih menurut jumhur ulama’ jika barang yang dibelinya diberi sifat (diterangkan sifat-sifatnya). Adapun menurut ulama’ syafi’iyah, jual beli orang buta itu tidak sah sebab ia tidak dapat membedakan barang yang jelek dan yang baik. d. Jual beli terpaksa Menurut ulama’ Hanafiyah, jual beli orang terpaksa seperti jual beli fudhul (jual beli tanpa seizin pemiliknya), yakni ditangguhkan (mauquf). Oleh karena itu, keabsahan ditangguhkan sampain rela (hilang rasa terpaksa). Menurut ulama’ Malikiyah, tidak lazim baginya ada khiyar. Adapun menurut ulama’ Syafi’iyah dan Hanbaliyah jual beli tersebut tidak sah. Sebab tidak ada keridhoan ketika akad. e. Jual beli fudhul Adalah jual beli milik orang tanpa seizin pemiliknya. Menurut ulama’ Hanafiyah dan Malikiyah, jual beli ditangguhkan sampai ada izin pemiliknya. Adapun menurut Hanbaliyah dan Syafi’iyah, jual beli fudhul tidak sah. f. Jual beli orang yang terhalang Maksud terhalang disini adalah terhalang karena kebodohan, bangkrut, dan sakit. Menurut jumhur ulama’ selain Malikiyah, jual beli orang sakit parah yang mendekati kematian hanya dibolehkan sepertiga dari hartanya, dan bila ingin lebih dari sepertiga jual beli tersebut ditangguhakan kepada izin ahli waris. Menurut ulama’ Malikiyah seperti dari hartanya hanya dibolehkan pada harta yang tidak bergerak seperti rumah, tanah, dll. g. Jual beli malja’ Yaitu jual beli orang yang sedang dalam keadaan bahaya, yakni untuk menghindar dari perbuatan zhalim. Jual beli tersebut fasid menurut ulama’ Hanafiyah dan batal menurut Hanbaliyah. Pada poin a , b , dan c diatas saya rasa jelas untuk melarangnya , bahkan dalam konstitusi HAM tindakan trafficking atau perdagangan manusia itu dilarang . Namun konteks poin a,b, dan c diatas pada zaman Jahiliyah yang masih mengenal sistem jual -beli budak . Untuk poin d , e , dan f adalah jual - beli yang dilakukan orang lain terhadap barang orang lain . Hal ini terkait jual - beli yang seringkali terjadi bila kita masih menganggap

mempunyai ikatan darah dengan pemilik barang , dan kita boleh untuk menjualnya. Saya menganggap pemikiran tersebut salah , hal ini jelas dilarang karena walaupun kita mempunyai hubungan darah misalnya saja barang milik Ibu kita menjualnya maka hasil dari penjualan tersebut bila tanpa seizin yang bersangkutan hukumnya haram. Sedangkan poin g lebih mengena pada orang yang sedang di timpa masalah hutang , seringkali bahkan orang ini menjual barang - barangnya untuk membayar hutang . Tapi masih diperdebatkan bagaimana status barang yang kita beli dari orang yang menjualnya karena terpaksa apakah halal atau haram. 2. Terlarang dari shigat Ulama’ fiqih telah sepakat atas sahnya jual beli yang didasarkan pada keridloan diantara pihak yang melakukan akad, ada kesesuaian diantara ijab qabul, berada diantara satu tempat dan tidak berpisah oleh suatu pemisah. Jual beli yang tidak memenuhi ketentuan tersebut dipandang tidak sah. Berikut ini beberapa jual beli yang dipandang tidak sah atau masih diperdebatkan oleh para ulama’. a. Jual beli Mu’athah Yaitu jual beli yang telah disepakati oleh pihak akad, berkenaan dengan barang maupun harganya, tetapi tidak memakai ijab qabul. Jumhur ulama’ menyatakan shahih apabila ada ijab qabul dari salah satunya. Begitupula dibolehkannya ijab qabul dengan isyarat, perbuatan atau cara lain yang menunjukkan keridloan. Memberikan barang dan menerima uang dipandang sebagai shigat dengan perbuatan atau isyarat. b. Jual beli melalui surat atau utusan Jual beli melalui surat atau utusan adalah sah apabila. Adapun tempat berakadnya adalah sampainya surat atau utusan dari aqid pertama kepada aqid kedua. Jika qabul melebihi tempat akad dipandang tidak sah, seperti surat tidak sampai ke tangan yang dimaksud. c. Jual beli dengan isyarat atau tulisan Disepakati keshahihan akad dengan isyarat atau tulisan khsususnya bagi yang uzur sebab sama dengan ucapan. Selain itu isyarat juga menunjukkan apa yang ada dalam aqid. Apabila isyarat tidak dapat dipahami dan tulisannya jelek (tidak dapat dibaca), akad tidak sah. d. Jual beli barang yang tidak ada ditempat akad Ulama’ fiqih sepakat bahwa jual beli atas barang yang tidak ada di tempat adalah tidak sah sebab tidak memenuhi syarat akad. e. Jual beli bersesuaian antara ijab dan qabul Hal ini dipandang tidak sah menurut kesepakatan ulama’. Akan tetapi jika lebih baik seperti meninggikan harta, ulama Hanafiyah membolehkannya, sedangkan ulama’ Syafi’iyah menganggapnya tidak sah.

f. Jual beli Munjiz Yaitu jual beli yang dikaitkan dengan syarat atau ditangguhkan pada waktu yang akan datang. Jual beli ini dipandang fasid menurut ulama’ Hanafiyah, dan batal menurut jumhur ulama’. 3. Terlarang sebab Ma’qud ‘alaih (barang jualan) Secara umum ma’qud alaih adalah harta yang dijadikan alat pertukaran oleh orang yang berakad, yang biasanya disebut mabi’ (barang jualan) dan harga. Ulama’ fiqih sepakat bahwa jual beli dianggap sah apabila ma’qud alaih adalah barang yang tetap atau bermanfaat, berbentuk, dapat diserahkan, dapat dilihat oleh orang-orang yang akad, tidak bersangkutan dengan miliki orang lain, dan tidak ada larangan dari syariat. Diantara jual beli terlarang sebab ma’qud alaih antara lain sebagai berikut : a. Jual beli benda yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada Jumhur ulama’ sepakat bahwa jual beli barang yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada adalah tidak sah. b. Jual beli barang yang tidak dapat diserahkan, Contohnya menjual burung yang ada diudara, dan ikan yang ada di air. Semua ini tidak berdasarkan syariat. c. Jual beli gharar, Yaitu jual beli barang yang mengandung kesamaran. Menurut Ibnu Jazi Al-Maliki, gharar yang dilarang ada 10 macam: 1. Tidak dapat diserahkan, seperti menjual anak hewan yang masih dalam kandungan induknya. 2. Tidak diketahui harga dan barang. 3. Tidak diketahui sifat barang dan harganya 4. Tidak diketahui ukuran barang dan harga 5. Tidak diketahui masa yang akan datang, misalnya ungkapan “Saya jual barang ini kepadamu, jika Zaid datang”. 6. Menghargakan 2 kali pada satu barang 7. Menjual barang yang dihargakan selamat 8. Jual beli Husha’, misalnya pembeli memegang tongkat, jika tongkat jatuh maka wajib membeli. 9. Jual beli munabadzah, yaitu jual beli dengan cara lempar melempar. Seperti seorang melempar bajunya, kemudian yang lain pun melempar bajunya, maka jadilah jual beli. 10. Jual beli mulasamah, yaitu apabila mengusap baju atau kain, maka wajib membelinya.

d. Jual beli barang yang na’jis atau terkena na’jis Ulama’ sepakat tentang larangan jual beli barang yang na’jis seperti khamar. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat tentang barang yang terkena na’jis yang tidk mungkin dihilangkan. Seperti minyak yang terkena bangkai tikus. Ulama’ Hanafiyah membolehkan untuk barang yang tidak dimakan, dan ulama’ Malikiyah membolehkannya setelah dibersihkan. e. Jual beli air Disepakati oleh jumhur ulama’ empat bahwa dibolehkan jual beli air yang dimiliki seperti air sumur atau air yang disimpan ditempat pemiliknya. Sebaliknya ulama’ Zhahiriyah melarang secara mutlak. f. Jual beli barang yang tidak jelas (majhul). Ketidak jelasan nya dapat disebabkan karena barang yang dijual itu belum sempurna milikinya. g. Jual beli sesuatu yang belum dipegang Ulama’ Hanafiyah melarang jual beli barang yang dapat dipindahkan sebelum dipegang, tetapi untuk barang yang tetap diperbolehkan. Ulama’ Syafi’iyah melarang secara mutlak. Malikiyah melarang atas makanan dan Hanbaliyah atas makanan yang diukur. h. Jual beli buah-buahan atau tumbuhan Apabila belum terdapat buah, disepakati tidak ada akad. Setelah ada buah, tetapi belum matang, akadnya fasid dan batal menurut jumhur ulama’. 4. Terlarang sebab syara’ - Jual beli riba, Riba nasiah dan riba fadhl adalah fasid menurut ulama’ Hanafiyah, tetapi batal menurut jumhur ulama’ - Jual beli barang dari uang yang diharamkan - Jual beli barang dari hasil pencegatan barang, yakni mencegat pedagang dalam perjalanan menuju tempat yang dituju sehingga orang yang mencegatnya akan memperoleh keuntungan. Ulama’ Malikiyah berpendapat jual beli seperti itu fasid. - Jual beli waktu adanya azan jum’at, yakni bagi laki-laki yang berkewajiban melaksanakan shalat jum’at. - Jual beli anggur untuk dijadikan khamar. Menurut ulama’ Hanafiyah dan Syafi’iyah zahirnya shahih, tetapi makruh. Sedangkan menurut ulama’ Malikiyah dan Hanbaliyah adalah batal. - Jual beli induk tanpa anaknya yang masih kecil. Hal ini dilarang sampai anaknya besar dan dapat mandiri. - Jual beli barang yang sedang dibeli orang lain. Seseorang telah sepakat akan membeli suatu barang, namun masih dalam khiyar. Kemudian datang orang lain yang menyuruh untuk membatalkan sebab ia akan membelinya dengan harga yang tinggi. - Jual beli dengan syarat. Menurut ulama Hanafiyah sah jika isyarat tersebut baik. Seperti ungkapan “ Saya akan membeli baju ini dengan syarat bagian yang rusak dijahit dulu”.

Begitu pula dengan Malikiyah dan Syafi’iyah dibolehkan jika syarat maslahat bagi salah satu pihak yang melangsungkan akad. Sebaliknya menurut Hanbaliyah tidak dibolehkan jika hanya bermanfaat bagi salah satu pihak yang melakukan akad. Tentunya setelah membaca artikel tentang Jual - Beli yang terlarang dalam Islam kita dapat menghindari hal - hal tersebut , walaupun kita sudah pernah melakukannya hal itu dikarenakan ketidaktahuan kita atas perihal tersebut . Demikian dari pembahasan kami semoga berguna bagi anda , dan tetap ber-muamalah dengan jujur. AYAT YANG MENJELASKAN TENTANG JUAL BELI 1. Nash Ayat Allah SWT telah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 275, 276, 278 yang berbunyi : ُ َّ‫الربَا الَ يَقُو ُمونَ ِإالَ َك َما يَقُو ُم ا َّلذِي يَت َ َخب‬ َ ‫ش ْي‬ َّ ‫طهُ ال‬ ‫ّللاُ ْالبَ ْي َع‬ َّ ‫الربَا َوأَ َح َّل‬ ِّ ِ ‫س َذلِكَ ِبأَنَّ ُه ْم قَالُوا ِإنَّ َما ْالبَ ْي ُع ِمثْ ُل‬ ِّ ِ َ‫ا َّلذِينَ يَأ ْ ُكلُون‬ ِّ ِ ‫طانُ ِمنَ ْال َم‬ َ ‫الربَا فَ َم ْن َجا َءهُ َم ْو ِع‬ ِ َّ ‫ف َوأ َ ْم ُره ُ إِلَى‬ َ‫ار ُه ْم فِي َها خَا ِلدُون‬ ْ َ ‫عا َد فَأُولَئِكَ أ‬ ِّ ِ ‫(و َح َّر َم‬27 َ ‫ّللا َو َم ْن‬ َ ‫ظةٌ ِم ْن َربِِّ ِه فَا ْنت َ َهى فَلَه ُ َما‬ َ َ‫سل‬ ِ َّ‫ص َحابُ الن‬ َ َ ُ َ َ َ ُ ُ َ 5)‫ّللاُ الَ ي ُِحبُّ ُك َّل َكفَّار أَ ِثيم‬ ‫و‬ ‫ت‬ ‫ا‬ ‫ق‬ ‫د‬ ‫ص‬ ‫ال‬ ‫ي‬ ‫ب‬ ‫ُر‬ ‫ي‬ ‫و‬ ‫ا‬ ‫ب‬ ‫الر‬ ‫ّللا‬ ‫ق‬ ‫ح‬ ‫م‬ ‫ي‬ (276) ‫ا‬ ‫ء‬ ‫و‬ ‫ة‬ ‫ال‬ ‫ص‬ ‫ال‬ ‫وا‬ ‫م‬ ‫ا‬ ‫ق‬ ‫أ‬ ‫و‬ ‫ت‬ ‫ا‬ ‫ح‬ ‫ل‬ ‫ا‬ ‫ص‬ ‫ال‬ ‫وا‬ ‫ل‬ ‫م‬ ‫ع‬ ‫و‬ ‫وا‬ ‫ن‬ ‫م‬ ‫ا‬ ‫ء‬ ‫ذ‬ َِ َ َّ َ ِ َ َّ ُ َ ِ َ ِ َّ ِ ْ َ َ ِّ ِ ُ َّ َ ْ َ َ َ َ‫ِإ َّن الَّ ِين‬ َ َ َّ َّ ‫(ت َُوا‬277)‫الربَا ِإ ْن‬ َ‫ف َعلَ ْي ِه ْم َوالَ ُه ْم يَحْ زَ نُون‬ ِّ ِ َ‫ي ِمن‬ ٌ ‫الزكَاة َ لَ ُه ْم أَجْ ُر ُه ْم ِع ْن َد َربِِّ ِه ْم َوالَ خ َْو‬ َ َّ ‫يَاأَيُّ َها الَّذِينَ َءا َمنُوا اتَّقُوا‬ َ ‫ّللا َوذَ ُروا َما بَ ِق‬ ُ ُ َ‫( ك ْنت ْم ُمؤْ ِمنِين‬278) Artinya : Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya (275) Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.( 276) Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.(277) Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.(278) 2. Sebab turunnya ayat Kaum Tsaqif, penduduk kota Taif telah membuat kesepakatan dengan Rasulullah SAW bahwa semua hutang mereka demikian juga piutang ( tagihan) yang berdasarkan riba agar dibekukan dan dikembalikan hanya pokoknya saja. Setelah Fathu Makkah, Rasulullah SAW menunjuk ‘Itab ibn Usaid sebagai gubernur Makkah yang juga meliputi kawasan Thaif. Bani Amr ibn Umar

adalah orang yang biasa meminjamkan uang secara riba kepada bani Mughirah sejak zaman jahiliyah dan Bani Mughiroh senantiasa membayarkannya. Setelah kedatangan Islam, mereka memiliki kekayaan yang banyak. Karennya, datanglah Bani Amer untuk menagih hutang dengan tambahan riba, tetapi Bani Mughirah menolak. Maka diangkatlah masalah itu kepada Gubernur ‘Itab ibn Usaid dan beliau menulis kepada Rasulullah SAW. Maka turunlah ayat ini. Rasulullah Saw lalu menulis surat balasan yang isinya “ Jika mereka ridha atas ketentuan Allah SWT diatas maka itu baik, tetapi jika mereka menolaknya maka kumandangkanlah ultimatum perang kepada mereka. Ayat Ayat yang menjelaskan tentang Jual Beli

4Ó®Lym ß`|¡ômr& }‘Ïd ÓÉL©9$$Î/ žwÎ) ÉOŠÏKuŠø9$# tA$tB (#qç/t•ø)s? Ÿwur ÅÝó¡É)ø9$$ tb#u”•ÏJø9$#ur Ÿ@ø‹x6ø9$# (#qèù÷rr&ur ( ¼çn£‰ä©r& x÷è=ö7tƒ (#qä9ωôã$$sù óOçFù=è% #sŒÎ)ur ( $ygyèó™ãr žwÎ) $²¡øÿtR ß#Ïk=s3çR Ÿw ( Î/ Nä38¢¹u öNà6Ï9ºsŒ 4 (#qèù÷rr& «!$# ωôgyèÎ/ur ( 4’n1ö•è% #sŒ tb%Ÿ2 öqs9ur ÇÊÎËÈ šcrã•©.x‹s? ÷/ä3ª=yès9 ¾ÏmÎ/ r 152. dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. dan apabila kamu berkata, Maka hendaklah kamu Berlaku adil, Kendatipun ia adalah kerabat(mu)[519], dan penuhilah janji Allah[520]. yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat. [519] Maksudnya mengatakan yang sebenarnya meskipun merugikan Kerabat sendiri. [520] Maksudnya penuhilah segala perintah-perintah-Nya.

ÇÊÑÊÈ z`ƒÎŽÅ£÷‚ßJø9$# z`ÏB (#qçRqä3s? Ÿwur Ÿ@ø‹s3ø9$# (#qèù÷rr& * 181. sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu Termasuk orang- orang yang merugikan;

ÇÊÑËÈ ËLìÉ)tFó¡ßJø9$# Ĩ$sÜó¡É)ø9$$Î/ (#qçRΗur 182. dan timbanglah dengan timbangan yang lurus.

ÇÑÈ Èb#u”•ÏJø9$# ’Îû (#öqtóôÜs? žwr& 8. supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu.

!#sŒÎ*sù 4 öNà6În/§‘ `ÏiB WxôÒsù (#qäótGö;s? br& îy$oYã_ öNà6ø‹n=tã }§øŠs9 ÏQ#t• Ì•yèô±yJø9$# y‰YÏã ©!$# (#rã•à2øŒ$$sù ;M»sùt•tã ïÆÏiB OçFôÒsùr& z`ÏJs9 ¾Ï&Î#ö7s% `ÏiB OçFZà2 bÎ)ur öNà61y‰yd $yJx. çnrã•à2øŒ$#ur ( ysø9$# ÇÊÒÑÈ tû,Îk!!$žÒ9$# 198. tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari 'Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy'arilharam[125]. dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan Sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar Termasuk orangorang yang sesat. [125] Ialah bukit Quzah di Muzdalifah. Ibnu Katsir menerangkan ayat di atas bahwa Imam Bukhari rh berkata bahwa telah menceritakan kepada kami Muhammad, telah menceritakan kepadaku Ibnu Uyainah, dari Amr, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa di masa jahiliyah, Ukaz, Majinnah dan Zul-Majaz merupakan pasar-pasar tahunan. Mereka merasa berdosa bila melakukan perniagaan dalam musim haji. (Tafsir Ibnu Katsir)

ç ”Ï%©!$# ãPqà)tƒ $yJx. žwÎ) tbqãBqà)tƒ Ÿw (#4qt/Ìh•9$# tbqè=à2ù'tƒ šúïÏ%©!$# $yJ (#þqä9$s% öNßg¯Rr'Î/ y7Ï9ºsŒ 4 Äb§yJø9$# z`ÏB ß`»sÜø‹¤±9$# mäܬ6y‚tFtƒ (# tP§•ymur yìø‹t7ø9$# ª!$# ¨@ymr&ur 3 (#4qt/Ìh•9$# ã@÷WÏB ßìø‹t7ø9$# ¯RÎ) $t ¼ã&s#sù 4‘ygtFR$$sù ¾ÏmÎn/§‘ `ÏiB ×psàÏãöqtB ¼çnuä!%y` `yJsù 4 4qt/Ìh•9$# Í‘$ Ü=»ysô¹r& y7Í´¯»s9'ré'sù yŠ$tã ïÆtBur ( «!$# ’n<Î) ÿ¼çnã•øBr&ur y#n=y™ B šcrà$Î#»yzÇËÐÎÈ $pkŽÏù öNèd ( ¨Z9$# 275. orang-orang yang Makan (mengambil) riba[174] tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila[175]. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu[176] (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. [174] Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini Riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah. [175] Maksudnya: orang yang mengambil Riba tidak tenteram jiwanya seperti orang kemasukan syaitan. Mereka berkata, “sesungguhnya jual beli sama dengan riba”. Hal ini jelas merupakan pembangkangan terhadap hukum syara` yakni menyamakan yang halal dan yang haram. Kemudian firman Allah Swt, “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. Ibnu Katsir rh berkata tentang ayat ini bahwa ayat ini untuk menyanggah protes yang mereka katakan, padahal mereka mengetahui bahwa Allah membedakan antara jual beli dan riba secara hukum. (Tafsir Ibnu Katsir)

2. As-Sunnah Nabi Saw ditanya tentang mata pencaharian yang paling baik. Beliau Saw menjawab, “Seseorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual beli yang mabrur”. (HR. Bazzaar, dishahihkan oleh Hakim dari Rifa`ah ibn Rafi`) Maksud mabrur dalam hadits di atas adalah jual beli yang terhindar dari usaha tipu menipu dan merugikan orang lain. Rasulullah Saw bersabda, “Jual beli harus dipastikan saling meridhai”. (HR Baihaqi dan Ibnu Majah). Rasulullah Saw bersabda, “Jual beli harus dengan suka sama suka (saling ridha) dan khiyar adalah sesudah transaksi, dan tidak halal bagi seorang muslim menipu muslim lainnya”. (HR Ibnu Jarir). Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Ibnu Abbas ra, ia berkata, “Pasar Ukadz, Mujnah dan Dzul Majaz adalah pasar-pasar yang sudah ada sejak zaman jahiliyah. Ketika datang Islam, mereka membencinya lalu turunlah ayat : “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu…”. (Q.S. AlBaqarah 2 : 198) dan Nabi Saw bersabda, “Penjual dan pembeli mempunyai hak khiyar selama mereka belum berpisah”. (Muttafaq ‘alaih)

Rasulullah Saw bersabda, “Pedagang yang jujur (terpercaya) bersama (di akhirat) dengan para nabi, Shiddiqin dan syuhada”. (HR Tirmidzi) 3. Ijma Para ulama telah sepakat bahwa hukum jual beli itu mubah (dibolehkan) dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai. Hukumnya berubah menjadi haram kalau meninggalkan kewajiban karena terlalu sibuk sampai dia tidak menjalankan kewajiban ibadahnya. Allah Swt berfirman, “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli[1475]. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”. (Q.S. Al-Jumu`ah 62 : 9-10) [1475]. Maksudnya: apabila imam telah naik mimbar dan muazzin telah azan di hari Jum’at, maka kaum muslimin wajib bersegera memenuhi panggilan muazzin itu dan meninggalkan semua pekerjaannya. Hukumnya berubah menjadi haram apabila melakukan jual beli dengan tujuan untuk membantu kemaksiatan atau melakukan perbuatan haram. Allah Swt berfirman, “Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”. (Q.S. Al-Ma`idah 5 : 2) Menurut Imam asy-Syatibi (ahli fiqih bermadzhab Maliki), hukumnya bisa berubah menjadi wajib dalam kondisi tertentu seperti kalau terjadi ihtikar (penimbunan barang) sehingga persediaan barang hilang dari pasar dan harga melonjak naik. -

See more at: http://kmplnmakalah.blogspot.co.id/2012/10/makalah-tafsir-jualbeli.html#sthash.ydzfTDMI.dpufMacam-Macam Jual Beli yang Dilarang dan yang Sah

“Wahai orang-orang yang beriman. Janganlah sebagian dari kamu memakan (mengambil) harta milik sebagian di antaramu dengan cara yang tidak benar (batil), kecuali jika dengan jalan perniagaan yang didasarkan atas kerelaan antara kedua belah pihak diantara kamu. Janganlah kamu membunuh dirimu sendiri, sesungguhnya Allah Maha Kekal rahmat-Nya.”( An-Nisa' : 29 ) Jual beli dalam bahasa arab disebut ba’i yang secara bahasa adalah tukar menukar, sedangkan menurut istilah adalah tukar menukar atau peralihan kepemilikan dengan cara pergantian menurut bentuk yang diperbolehkan oleh syara’ atau menukarkan barang dengan barang atau barang dengan uang, dengan jalan melepaskan hak milik dari seseorang terhadap orang lainnya atas kerelaan kedua belah pihak. Hukum melakukan jual beli adalah boleh (‫ )جواز‬atau (‫)مباح‬, sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 275:

(#4qt/Ìh•9$# tP§•ymur yìø‹t7ø9$# ª!$# ¨@ymr&ur ”Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” Dan hadist Nabi yang berasal dari Ruf’ah bin Rafi’ menurut riwayat al-Bazar yang disahkan oleh al-Hakim: ‫أن النبى صلى هللا عليه وسلم سئل أى الكسب أطيب قال عمل الرجل بيده وكل بيع مبرور‬

“Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW, pernah ditanya tentang usaha apa yang paling baik; nabi berkata: “Usaha seseorang dengan tangannya dan jual beli yang mabrur”. Jual beli berdasarkan pertukarannya secara umum dibagi menjadi empat macam :

1. Jual beli salam (pesanan) Yaitu jual beli dengan cara menyerahkan terlebih dahulu uang muka kemudian barangnya diantar belakangan. 2. Jual beli Muqayyadah (barter) Yaitu jual beli dengan cara menukar barang dengan barang. 3. Jual beli Muthlaq Yaitu jual beli barang dengan sesuatu yang telah disepakati sebagai alat penukaran. 4. Jual beli alat penukar dengan alat penukar Yaitu jual beli barang yang biasa dipakai sebagai alat penukar dengan alat penukar lainnya, seperti uang perak dengan uang emas.[1] "Orang-orang yang makan (bertransaksi dengan) riba, tidak dapat berdiri malainkan seperti berdirinya orang yang dibingungkan oleh setan sehingga ia tak tahu arah disebabkan oleh sentuhan(nya). Keadaan mereka yang demikian itu disebabkn karena mereka berkata 'jual beli tidak lain kecuali sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Maka barang siapa yang telah sampai kepadanya peringatan dari tuhannya (menyangkut riba), lalu berhenti (dari praktik riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (kembali) kepada allah. Adapun yang kembali (bertransaksi riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya"(Q.S. Al-Baqarah : 275) Dalam ayat ini tidak hanya melarang praktek riba, tetapi juga sangat mencela pelakunya, bahkan mengancam mereka. Orang-orang yang makan, yakni bertransaksi dengan riba, baik dalam bentuk memberi ataupun mengambil, tidak dapat berdiri, yakni melakukan aktivitas, melainkan seperti berdrinya orang yang dibingungkan oleh setan sehingga ia tak tahu arah disebabkan oleh sentuhan(nya). Tidak menutup kemungkinan mamahaminya sekarang dalam kehidupan dunia.Mereka yang melakukan praktik riba, hidup dalam situasi gelisah, tidak tentram, selalu bingung, dan berada dalam ketidakpastian disebabkan pikiran mereka yang tertuju kepada materi dan penambahannya. Lihatlah keadaan manusia dewasa ini. Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi sedemikian pesat, tetapi lihat juga kehidupan masyarakat, lebih-lebih yang mempraktikkan riba. Di sana mereka hidup dalam kegelisahan, tidak tahu arah, bahkan aktivitas yang tidak rasional mereka lakukan. Bagaimana dengan perumpamaan yang dilukiskan sebagai sentuhan setan terhadap mereka ?Ada dua ulama yang memahami ayat ini sebagai berbicara tentang manusia yang kesurupan sambil menguatkan pandangannya dengan berbagai ayat dan hadits yang intinnya menyatakan bahwa ada setan yang selalu mendampingi manusia. Tidakkah Anda pernah melihat kata mereka seseorang yang menjadi demikian kuat berbicara dengan berbagai bahasa asing, tetapi dalam keadaan normalnya lemah dan tidak mengerti, kecuali bahasa ibunya ? Apakah yang menjadikan dia mampu kalau bukan jin yang telah merasuk kedalam tubuhnya ? Ibn 'Abbas meriwayatkan bahwa seseorang wanita membawa anaknya kepada Rasulullah saw seraya berkata, "Sesungguhnya putraku menderita gangguan ( gila ) yang menimpanya setiap kami makan siang dan malam," maka Rasulullah saw mengusap dadanya, dan berdoa untuk

kesembuhannya. Ia kemudian muntah dan keluarlah sesuatu seperti anjing hitam. Dan sembuhlah ia" ( HR. Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi) Kalau air dan makanan dapat masuk kedalam tubuh manusia, sedang tingkat kehalusan jin, apa yang menghalangi jin masuk ? Bukankah angin pun dapat masuk ke tubuh manusia ?Demikian dalil atau dalih mereka yang memahami ayat dan hadits-hadits di atas dalam arti hakiki.[2] Jual beli yang dilarang dalam islam sangatlah banyak. Jumhur ulama tidak membedakan antara fasid dan batal. Dengan kata lain, menurut Jumhur Ulama, hukum jual-beli terbagi menjadi dua, yaitu jual beli shahih dan jual beli fasid. Jual beli yang diharamkan dalam islam adalah sebagai berikut : 1. Menjual barang yang sudah dibeli oleh orang lain. 2. Menjual minuman keras dan yang sejenisnya (narkoba). 3. Menjual barang najis. 4. Gharar, yaitu jual beli yang tidak jelas, mengandung unsur ketidak pastian/spekulasi dan penipuan. Diantaranya : a. Hashat, jual beli tanah yang tidak jelas luasnya b. Nitaj, jual beli hasil binatang ternak sebelum memberikan hasil c. Mulamasah dan Munabadzah d. Muhaqolah dan Muzabanah e. Mukhadarah f. Habalil Habalah, jual beli anak unta yang masih dalam perut induknya g. Talqi Jabal, petani membawa hasil panen kekota, kemudian orang kota menjual dengan harga yang ditetapkan sendiri h. Hadir al-Ibad, monopoli dengan tujuan harga yang tinggi i. Najsy, menjual barang karena mendengar akan naik lalu dijual dengan harga yang tinggi ketika harga sudah naik. j. Ikhtikar, penimbunanbaranghanyauntukmenaikkanhargadengansengaja.[3] 5. Menentukan dua harga untuk satu barang yang diperjualbelikan 6. Jual beli dengan syarat (iwadh mahjul) 7. Jual beli dengan mengecualikan sebagian benda yang dijual 8. Larangan menjual makanan hingga dua kali ditakar[4] 9. Dua perjanjian dalam satu transaksi jual beli 10. Menawar barang yang sedang ditawar orang lain 11. Berjualan ketika adzan jumat dikumandangkan 12. Berdagang alat-alat musik dan hiburan[5] B. Asas-Asas Jual Beli Transaksi ekonomi maksudnya adalah perjanjian atau akad dalam bidang ekonomi. Misalnya pada kegiatan jual beli, sewa menyewa, upah mengupah, ataupun kerjasama di bidang pertanian dan perdagangan. Dalam buku Ensiklopedia Islam jilid 3, halaman 246 dijelaskan bahwa dalam setiap transaksi ada beberapa prinsip dasar yang diterapkan oleh Syara'(hukum islam), yaitu : 1. Setiap transaksi pada dasarnya mengikat orang (pihak) yang melakukan transaksi. Kecuali apabila transaksi itu menyimpang dari hukum syara' misalnya adalah memperdagangkan barang haram.

Pihak-pihak yang bertransaksi harus memenuhi kewajiban yang telah disepakati dan tidak boleh saling mengkhianati. (Dalam Q.S. Al-Ma'idah, 5: 1)

2. 3.

4.

5.

“ Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu[388]. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya “. Syarat-syarat transaksi dirancang dan dilaksanakan secara bebas tetapi penuh dengan tanggung jawab, dan tidak menyimpang dari hukum syara' dan adab sopan santun. Setiap transaksi dilakukan dengan sukarela, tanpa ada paksaan dari pihak manapun. (Dalam Q.S. An-Nisa' 4: 29) 29. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu[287]; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Islam mewajibkan agar setiap transaksi dilandasi denagn niat yang baik dan ikhlas karena Allah SWT, shingga terhindar dari segala bentuk penipuan dan kecurangan. Nabi Muhammad SAW menyebutkan bahwa: “Aku (Raslullah) melarang jual beli yang mengandung unsur penipuan.”(H.R Muslim) 'Urf (adat kebiasaan) yang tidak menyimpang dari hukum syara' boleh digunakan untuk menentukan batasan atau kriteria-kriteria dalam transaksi. Misalnya dalam akad sewa-menyewa rumah. Menurut kebiasaan setempat, kerusakan rumah sewaan merupakan tanggung jawab penyewa. Maka dari itu,pihak yang menyewakan boleh menuntut penyewa untuk memperbaiki rumah sewaannya. Tapi, pada saat transaksi atau terjadinya akad, kedua belah pihak telah samasama mengetahui kebiasaan tersebut dan menyepakatinya.[6]

C. Etika Jual Beli “jika mereka merusak (melanggar) perjanjian-perjanjian sesudah mereka buat serta mencela (menjelek-jelekkan) agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang kafir itu. Sebenarnya mereka itu tidak ada harganya (nilainya). Semoga mereka berhenti dari kekafiran” (Q.S AtTaubah : 12) Jika mereka merusak atau melanggar perjanjian (seperti perjanjian Hudaibiah), yang telah dibuatnya, mencela dan memperolok-olok agamamu, serta menghambat manusia mengikuti jalan Allah, maka mereka itu wajib diperangi, agar kembali insaf. Merekalah gembong-gembong kufur dan pemimpin-pemimpinnya. Mereka memang telah mencacat Al-Quran dan memburuk-burukkan Nabi seperti apa yang telah dilakukan oleh ahli-ahli syair dari kelompoknya, sehingga karenanya mereka menjadi bingung. Perjanjian-perjanian yang mereka buat itu tidak ada harganya. Sebab perjanjian itu bersifat tipuan semata. Mereka tidak bermaksud menepatinya. Perangilah mereka dengan pengharapan supaya menghentikan kekafirannya, dan tidak lagi suka melanggar perjanjian, ini memberi pengertian bahwa memerangi mereka bukanlah atas dasar mengikuti hawa nafsu atau untuk mencari keuntungan dunia.[7]

Dari Abu Hurairah radhiallahu‘anhu dia berkata:

َ ‫صب َْر ِة‬ ْ َ‫ط َع ٍام فَأ َ ْد َخ َل َيدَهُ ِفي َها فَنَال‬ َّ ‫صلَّى‬ َّ ‫سو َل‬ ‫صا ِبعُهُ َبلَ ًال فَقَا َل َما‬ ُ ‫أ َ َّن َر‬ ُ ‫علَى‬ َ ‫سلَّ َم َم َّر‬ َ ُ‫ّللا‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ َ‫ت أ‬ َ ِ‫ّللا‬ َّ َ‫ّللاِ قَا َل أَفَ َال َج َع ْلتَهُ فَ ْوق‬ َّ ‫ب‬ َّ ‫سو َل‬ ‫َش‬ َّ ‫صابَتْهُ ال‬ ِ ‫ص‬ ُ ‫س َما ُء َيا َر‬ َّ ‫اس َم ْن غ‬ ُ َّ‫الط َع ِام َك ْي َي َراهُ الن‬ َ ‫اح‬ َ َ ‫الط َع ِام قَا َل أ‬ َ ‫َهذَا َيا‬ ‫ْس ِم ِني‬ َ ‫فَلَي‬ “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melewati setumpuk makanan, lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya, kemudian tangan beliau menyentuh sesuatu yang basah.Maka beliaupun bertanya, “Apa ini wahai pemilik makanan?”Dia menjawab, “Makanan tersebut terkena air hujan wahai Rasulullah.”Beliau bersabda, “Mengapa kamu tidak meletakkannya di bagian atas agar manusia dapat melihatnya?!Barangsiapa yang menipu maka dia bukan dari golonganku.”(HR. Muslim no. 102) Dari Hakim bin Hizam radhiallahu’anhu dari Nabi Shallallu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda:

‫ُوركَ لَ ُه َما فِي بَ ْي ِع ِه َما َوإِ ْن َكذَبَا َو َكت َ َما ُم ِحقَ بَ َر َكةُ بَ ْي ِع ِه َم‬ َ ‫ار َما لَ ْم يَتَفَ َّرقَا فَإ ِ ْن‬ ِ ‫صدَقَا َوبَيَّنَا ب‬ ِ َ‫ان بِ ْال ِخي‬ ِ َ‫ْالبَيِع‬

“Kedua orang yang bertransaksi jual beli berhak melakukan khiyar selama keduanya belum berpisah. Jika keduanya jujur dan terbuka, maka keduanya akan mendapatkan keberkahan dalam jual beli. Tapi jika keduanya berdusta dan tidak terbuka, maka keberkahan jual beli antara keduanya akan dihapus.”(HR. Al-Bukhari no. 1937 dan Muslim no. 1532) Abu Hurairah radhiallahu‘anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

‫ف ُمن َِفقَةٌ ِللس ِْل َع ِة ُم ْم ِحقَةٌ ِل ْلبَ َر َك ِة‬ ُ ‫ْال َح ِل‬

“Sumpah itu (memang biasanya) melariskan dagangan jual beli namun bisa menghilangkan berkahnya”.(HR. Al-Bukhari no. 1945 dan Muslim no. 1606) Dari Abu Qatadah Al-Anshari radhiallahu anhu, bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

‫ف فِي ْالبَيْعِ فَإِنَّهُ يُن َِف ُق ث ُ َّم يَ ْم َح ُق‬ ِ ‫ِإيَّا ُك ْم َو َكثْ َرة َ ْال َح ِل‬

1. 2. 3. 4.

5.

“Jauhilah oleh kalian banyak bersumpah dalam berdagang, karena dia (memang biasanya) dapat melariskan dagangan tapi kemudian menghapuskan (keberkahannya).”(HR. Muslim no. 1607) Salah satu profesi yang dianjurkan dalam Islam bahkan sering tersebut dalam Al-Qur`an dan AsSunnah adalah profesi petani dan pedagang. Karenanya banyak sekali sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berprofesi menjadi petani atau pedagang. Hanya saja, di dalam Islam setiap profesi yang dibenarkan untuk ditempuh tujuannya bukan semata-mata untuk menghasilkan uang atau meraih kekayaan. Akan tetapi yang jauh lebih penting daripada itu adalah untuk mendapatkan keberkahan dari hasil jerih payahnya. Dan keberkahan dari harta bukan dinilai dari kuantitasnya akan tetapi dinilai dari kualitas harta tersebut, darimana dia peroleh dan kemana dia belanjakan. Karenanya, dalam perdagangan dan jual beli, Islam menuntunkan beberapa etika diantaranya: Tidak boleh curang dalam jual beli. Tidak boleh menutupi cacat barang dagangan dari para pembeli. Menjelaskan dengan sejelas-jelasnya kebaikan dan kekurangan barang yang dia jual. Tidak boleh terlalu banyak bersumpah (walaupun sumpahnya benar) dengan tujuan melariskan dagangannya. Karena terlalu sering menyebut nama Allah pada jual beli atau pada hal-hal sepele menunjukkan kurangnya pengagungan dia kepada Allah. Haramnya bersumpah dengan sumpah dusta, hanya untuk melariskan dagangannya. [8]

D. Akad Transaksi dalam Etika Jual Beli

“Hai orang-orang yang beriman.Sempurnakanlah segala rupa akad yang telah kamu lakukan. Telah dihalalkan bagimu binatang-binatang berkaki empat (unta, sapi, kerbau, kambing, biri-biri dan sebagainya), kecuali apa yang akan dibacakan (akan deterangkan satu persatu) tentang keharamannya pada waktu kamu tidak hala berburu dan kamu dalam keadaan ihram. Sesungguhnya Allah menetapkan apa yang dikehendaki”(Q.S Al-Maidah : 1) Sempurnakanlah berbagai bentuk akad (janji, kontrak) yang telah kamu akadkan dengan Allah, atau antara kamu dengan dirimu sendiri, atau antara kamu dengan sesama manusia. Baik berupa perintah maupun larangan syara’ atau akad diantara kamu, seperti jual beli dan pernikahan. Dasar semua akad dalam islam adalah firman “aufu bil ‘uqudi” yang artinya sempurnakanlah semua rupa akad. Maka wajib bagi tiap mukmin menyempurnakan akad dan menepati janji, sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan.Yang penting, akad tidak berlawanan dengan kehendak syara’.[9] Bila kita memperhatikan tujuan atau maksud berbagai akad yang terjadi antara dua orang atau lebih, maka kita dapat membagi berbagai akad tersebut menjadi tiga macam Pertama: Akad yang bertujuan untuk mencari keuntungan materi, sehingga setiap orang yang menjalankan akad ini senantiasa sadar dan menyadari bahwa lawan akadnya sedang berusaha mendapatkan keuntungan dari akad yang ia jalin. Pada akad ini biasanya terjadi suatu proses yang disebut dengan tawar-menawar. Sehingga setiap orang tidak akan menyesal atau terkejut bila dikemudian hari ia mengetahui bahwa lawan akadnya berhasil memperoleh keuntungan dari akad yang telah terjalin dengannya. Syari’at Islam pada prinsipnya membenarkan bagi siapa saja untuk mencari keuntungan melalui akad macam ini. Contoh nyata dari akad macam ini ialah akad jual-beli, sewa-menyewa, syarikat dagang, penggarapan tanah (musaqaah), dll. Kedua: Akad yang bertujuan untuk memberikan perhargaan, pertolongan, jasa baik atau uluran tangan kepada orang lain. Dengan kata lain, akad-akad yang bertujuan mencari keuntungan non materi. Biasanya yang menjalin akad macam ini ialah orang yang sedang membutuhkan bantuan atau sedang terjepit oleh suatu masalah. Oleh karena itu, orang yang menjalankan akad ini tidak rela bila ada orang yang menggunakan kesempatan dalam kesempitannya ini, guna mengeruk keuntungan dari bantuan yang ia berikan. Karena tujuan asal dari akad jenis ini demikian adanya, maka syari’at Islam tidak membenarkan bagi siapapun untuk mengeruk keuntungan darinya.

‫ار أَثِ ٍيم‬ ِ ‫صدَقَا‬ َّ ‫يَ ْم َح ُق ّللاُ ْال ِربَا َوي ُْربِي ال‬ ٍ َّ‫ت َوّللاُ الَ ي ُِحبُّ ُك َّل َكف‬

“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.” (Qs. Al-Baqarah: 276) Pada ayat ini Allah Ta’ala mengancam para pemakan riba dan kemudian dilanjutkan dengan menyebutkan ganjaran yang akan diterima oleh orang yang bersedekah. Ini adalah isyarat bagi kita bahwa praktek riba adalah lawan dari shadaqah. Isyarat ini menjadi semakin kuat bila kita mencermati ayat-ayat selanjunya:

‫سو ِل ِه َوإِن ت ُ ْبت ُ ْم‬ ُ ‫ب ِمنَ ّللاِ َو َر‬ ٍ ‫ فَإِن لَّ ْم ت َ ْف َعلُواْ فَأْذَنُواْ ِب َح ْر‬. َ‫الربَا ِإن ُكنتُم ُّمؤْ ِمنِين‬ ِ َ‫ي ِمن‬ َ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُواْ اتَّقُواْ ّللاَ َوذَ ُرواْ َما بَ ِق‬ ْ ُ ‫وس أ َ ْم َوا ِل ُك ْم الَ ت َْظ ِل ُمونَ َوالَ ت‬ ‫صدَّقُواْ َخي ٌْر لَّ ُك ْم‬ ُ ‫ َو ِإن َكانَ ذُو‬. َ‫ظلَ ُمون‬ ُ ُ‫فَلَ ُك ْم ُرؤ‬ َ ‫عس َْرةٍ فَن َِظ َرة ٌ ِإلَى َم ْي‬ َ َ ‫س َرةٍ َوأَن ت‬ ‫ِإن ُكنت ُ ْم ت َ ْعلَ ُمون‬ “Hai orang-orang yag beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan

(meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasulnya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan.Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (Qs. Al-Baqarah: 278-280) Oleh karena itu dinyatakan dalam satu kaidah yang sangat masyhur dalam ilmu fiqih: ‫كل قرض جر نفعا فهو ربا‬ “Setiap piutang yang mendatangkan keuntungan, maka itu adalah riba.” Contoh nyata dari akad macam ini ialah: akad hutang-piutang, penitipan, peminjaman, shadaqah, hadiyah, pernikahan, dll. Ketiga: Akad yang berfungsi sebagai jaminan atas hak yang terhutang. Dengan demikian, akad ini biasanya diadakan pada akad hutang-piutang, sehingga tidak dibenarkan bagi pemberi piutang (kreditur) untuk mengambil keuntungan dari barang yang dijaminkan kepadanya. Bila kreditur mendapatkan manfaat atau keuntungan dari piutang yang ia berikan, maka ia telah memakan riba, sebagaimana ditegaskan pada kaidah ilmu fiqih di atas. Ditambah lagi, harta beserta seluruh pemanfaatannya adalah hak pemiliknya, dan tidak ada seseorangpun yang berhak untuk menggunakannya tanpa seizin dan kerelaan dari pemiliknya.

‫ وصححه الحافظ واْللباني‬،‫ رواه أحمد والدارقطني والبيهقي‬.‫ال يحل مال امرئ مسلم إال بطيب نفس منه‬ “Tidaklah halal harta seorang muslim kecuali dengan dasar kerelaan jiwa darinya.” (Riwayat Ahmad, Ad Daraquthny, Al Baihaqy dam dishahihkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar dan Al Albany) Dikecualikan dari keumuman hukum ini, bila keuntungan tersebut dipersyaratkan ketika akad jual beli atau sewa-menyewa atau akad serupa dengan keduanya [2] yang dilakukan dengan pembayaran dihutang. (Baca Majmu’ Fatwa Al Lajnah Ad Daimah 14/176-177, fatwa no: 20244) Misalnya: Bila A menjual mobil kepada B seharga Rp 50.000.000,- dan dibayarkan setelah satu tahun, dengan jaminan sebuah rumah. Dan ketika akad penjualan sedang berlangsung, A mensyaratkan agar ia menempati rumah tersebut selama satu tahun hingga tempo pembayaran tiba, dan B menyetujui persyaratan tersebut, maka A dibenarkan untuk menempati rumah milik B yang digadaikan tersebut. Karena dengan cara seperti ini, sebenarnya A telah menjual mobilnya dengan harga Rp 50.000.000,- ditambah ongkos sewa rumah tersebut selama satu tahun. Adapun bila akad penjualan telah selesai ditandatangani, maka tidak dibenarkan bagi A untuk menempati rumah tersebut, baik seizin B atau tanpa seizin darinya, sebab bila ia memanfaatkan rumah tersebut, berarti ia telah mendapat keuntungan dari piutang dan itu adalah riba, sebagaimana ditegaskan pada kaedah ilmu fiqih di atas. Diantara akad yang tergolong kedalam kelompok ini ialah akad pegadaian (rahnu), jaminan (kafalah), persaksian (syahadah) dll.[10] E. Hadits Tentang Larangan jual beli Mulamasah, Mudzabanah, dan Muhakolah

‫ نهى رسول هللا ص م عن المالمسة والمنابداة فى البيع و المالمسة لمس الرجل ثوب‬: ‫و عن ابى سعيد قال‬ ‫االخر بيده باليل او بالنهار وال يقلبه و المنابدة ان ينبد الرجل الى الرجل بثوبه وينبد االخر بثوبه ويكون دلك‬ ‫بيعهما من غير فظر وال تراض‬ “Rasulullah melarang jual beli barang secara mulamasah dan munabazah. Mulamasah, pembeli hanya memegang kain (baik di siang maupun di malam hari) tanpa dibolak-balik terlebih dahulu. Munabazah, penjual melemparkan kain kepada pembeli, dan kemudian kembali dilempar kepada

penjual. Penjualnya hanya didasarkan atas saling percaya”. (HR. Al-Bukhary, Muslim; AlMuntqa II: 319). “Rasulullahmelarangkitadarimuhaqalah (menjualbuah yang masihdalamtandannya), mukhasarah (menjualbuah-buahan yang belumdapatdimakan), munabazah, mulamasahdanmuzabanah (menjualbuah-buahandengankurmasecarasukatan)” Hadits tersebut menunjukkan bahwa cara penjualan muhaqalah, mukhalash, munabazah, mulamasah dan mubazanah dilarang. Penjualan gharar (yang mengandung unsur tipuan), seperti menjual ikan yang masih dalam kolam, menjual burung yang masih berada di angkasa. Hal ini disepakati masuk kedalam bagian menjual barang yang belum ada, menjual sesuatu yang belum diketahui, menjual budak yang belum dilihat dan setiap penjualan yang mungkin dapat menipu pembeli.[11] F. Jual Beli Ijon ‫ نهى البائع والمبتاع‬.‫عن ابى عمر ان النبى ص م نهى عن بيع التجارحتى يبدو صالحها‬ “Bahwasanya Nabi saw melarang kita menjual buah-buahan sebelum nyata baik (matang)nya. Larangan tersebut berlaku terhadap sipenjual dan sipembeli”. (HR. Al-Jamaah selain AtTurmudzy; Al-Muntaqa II:331) ‫ وقال ادا منع هللا الثمرة فبم تستحل‬."‫ وما تزهى ؟ قال "تحمر‬: ‫ قالوا‬.‫ ان النبى ص م نهى عن بيع الثمرة حتى تزهى‬,‫و عن انس‬ ‫مال اخيك ؟‬ “Bahwasanya Nabi saw melarang kita menjual buah-buahan (korma) sehinggaberwarna merah. Para sahabat bertanya tentang arti izhak, maka Nabi menjawab “berwarna merah”. Dan Nabi bersabda pula :apabila Allah menimpakan bencanaatas buah itu, maka dengan apa engkau menghalalkan harta saudaraengkau”. (HR. Al-Bukharydan Muslim; Al-Muntaqa II: 331) Hadis tersebut menyatakan bahwa tidak boleh menjual buah-buahan sebelum nyata merahnya. Karena apabila kemudian ternyata buah-buahan tersebut gagal menjadi buah (busuk) tentulah akan menimbulkan kerugian bagi pihak pembeli. Dhahir hadis ini menyatakan bahwa menjual sesudah buahnya baik (matang) adalah sah. Baik disyaratkan buah itu tetap dibatangnya sampai dipetiknya ataupun tidak. Larangan menjual sesuatu dengan memakai syarat tidak dapat diterapkan disini. Bahkan hadits sendiri menandaskan bahwa yang demikian itu boleh, jika disyaratkan oleh pembeli maupun penjual. Mengenai memperjualbelikan tanaman yang sudah hijau, asal disyaratkan bahwa tanaman itu dipotong oleh pembeli dibolehkan. Ibnu Hazm membolehkannya tanpa syarat, karena larangan hanya mengenai bijibijian seperti padi. Jelasnya,hadis ini melarang kita menjual biji seperti padi sebelum keras bijinya dan menjual tungkul berwarna putih.[12] G. Jual Beli Wafa' 1. Pengertian Jual Beli Wafa’

Jual beli dengan peryaratan saling mengembalikan hak pihak lain. Yakni disaat penjual mengembalikan uang si pembeli, si pembeli juga akan mengembalikan barang si penjual. Disebut sebagai jual beli wafa’ (pelunasan), karena ada semacam perjanjian dari si pembeli untuk melunasi hak penjual, yakni mengembalikan barangnya, kalau si penjual mengembalikan uang bayarannya. Dalam jual beli ini terdapat hukum-hukum jual beli, misalnya si pembeli boleh memanfaatkan barang dagangannya dengan penggunaan dan pemanfaatkan yang benar. Ia bisa menggunakannya untuk diri sendiri dan memanfaatkannya untuk disewakan tanpa izin si penjual. Jual beli ini juga mengandung hukum pegadaian. 2. Hukum dari jual beli wafa’ Para ulama berbeda pendapat tentang hukum jual beli wafa’ ini. Diantara ulama ada yang menganggapnya sebagai jual beli yang sah, karena ia dibutuhkan. Kebutuhan kadang bisa menempati kedudukan (sama hukumnya dengan) kondisi darurat. Diantara mereka ada yang menganggapnya sebagai pegadaian yang sah, sehingga hukumhukum pegadaian berlaku didalamnya. Diantara ulama ada juga yang menganggapnya sebagai jual beli yang rusak, karena adanya syarat saling mengembalikan. Ada juga diantara ulama yang memandangnya sebagai jual beli model baru yang menggabungkan antara jual beli sah, jual beli rusak dan pegadaian.Namun tetap dianggap sebagai jual beli yang disyariatkan karena kebutuhan. Yang benar, bahwa jual beli semacam itu tidak dibenarkan, karena tujuan yang sebenarnya adalah riba, yakni dengan cara memberikan uang untuk dibayar secara tertunda, sementara fasilitas penggunaan barang yang digunakan dalam perjanjian dan sejenisnya adalah keuntungannya.[13] H. Jual Beli Ghoror Jualbeli ghoror adalah jual-beli barang itu dilarang dalam Islam sebab Rosulullah bersabda:

yang

mengandung kesamaran.

Hal

‫ال تشترو االسمك فى الماء فاءنه غرور‬ “ janganlah kamu membeli ikan di dalam air, karena jual beli sepertui itu termasuk gharar( menipu )” ( HR.Ahmad) Menurut Ibn Jazi Al-Maliki, gharar yang dilarang ada 10 (sepuluh) macam, yaitu : 1. Tidak dapat diserahkan, seperti menjual anak hewan yang masih dalam kandungannya. 2. Tidak diketahui harga dan barang. 3. Tidak diketahui sifat barang atau harganya. 4. Tidak diketahui ukuran barang dan harganya. 5. Tidak diketahui masa yang akan datang, seperti “saya jual kepadamujika Zaed datang”. 6. Menghargakan dua kali pada satu barang. 7. Menjual barang yang diharapkan selamat. 8. Jual-beli husha’, misalnya pembeli memegang tongkat, jikatongkatnya jatuh maka wajib membeli. 9. Jual-beli munabadzanah, yaitu jual-beli dengan cara lempar-melempari, seperti seseorang melempar bajunya, maka jadilah jual-beli. 10. Jual-beli mulamasah apabila mengusap baju atau kain, maka wajibmembelinya.[14]

Hadits ke-1 Dari Rifa'ah Ibnu Rafi' bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah ditanya: Pekerjaan apakah yang paling baik?. Beliau bersabda: "Pekerjaan seseorang dengan tangannya dan setiap jual-beli yang bersih." Riwayat al-Bazzar. Hadits shahih menurut Hakim.

Hadits ke-2 Dari Jabir Ibnu Abdullah Radliyallaahu 'anhu bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda di Mekkah pada tahun penaklukan kota itu: "Sesungguhnya Allah melarang jual-beli minuman keras, bangkai, babi dan berhala." Ada orang bertanya: Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat baginda tentang lemak bangkai karena ia digunakan untuk mengecat perahu, meminyaki kulit dan orang-orang menggunakannya untuk menyalakan lampu?. Beliau bersabda: "Tidak, ia haram." Kemudian setelah itu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Allah melaknat orang-orang Yahudi, karena ketika Allah mengharamkan atas mereka (jual-beli) lemak bangkai mereka memprosesnya dan menjualnya, lalu mereka memakan hasilnya." Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-3 Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila dua orang yang berjual beli berselisih, sedang di antara mereka tidak ada keterangan yang jelas, maka perkataan yang benar ialah apa yang dikatakan oleh pemilik barang atau mereka membatalkan transaksi." Riwayat Imam Lima. Hadits shahih menurut Hakim.

Hadits ke-4 Dari Abu Mas'u al-Anshory Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang mengambil uang penjualan anjing, uang pelacuran, dan upah pertenungan. Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-5 Dari Jabir Ibnu Abdullah Radliyallaahu 'anhu bahwa ia menumpang untanya yang sudah lemah dan ia ingin membiarkannya. Ia berkata: Aku bertemu Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, lalu beliau berdoa untukku dan memukul untaku. Kemudian unta itu berjalan tidak seperti biasanya. Lalu beliau bersabda: "Juallah ia padaku dengan satu uqiyyah." Aku berkata: Tidak. Beliau bersabda lagi: "Juallah ia

padaku." Lalu aku menjualnya dengan satu uqiyyah, namun dengan syarat aku membawanya dahulu pada keluargaku. Setelah aku melakukannya aku datang pada beliau dengan unta itu dan beliau membayar harganya kepadaku. Kemudian aku pulang dan beliau mengirim seseorang membuntutiku. Lalu beliau bersabda: "Apakah engkau mengira aku menawarmu untuk mengambil untamu? Ambillah untamu dan uangmu, ia hadiah untukmu." Muttafaq Alaihi. Susunan kalimat ini menurut riwayat Muslim.

Hadits ke-6 Dia berkata: Seseorang di antara kami berwasiat memerdekakan seorang budak miliknya setelah ia meninggal dunia, padahal ia tidak memiliki harta selain budak tersebut. Lalu Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memanggil budak itu dan menjualnya. Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-7 Dari Maimunah istri Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bahwa ada seekor tikus yang jatuh ke dalam samin (sejenis mentega), lalu mati. Kemudian hal itu ditanyakan kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan beliau menjawab: "Buanglah tikus dan samin yang ada di sekitarnya, dan makanlah (samin yang tersisa)." Riwayat Bukhari. Ahmad dan Nasa'i menambahkan: Dalam samin yang beku.

Hadits ke-8 Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila tikus jatuh ke dalam samin, maka buanglah tikus dan sekitarnya jika samin itu beku dan janganlah mendekatinya bila samin itu cair." Riwayat Ahmad dan Abu Dawud. Bukhari dan Abu Hatim menyatakan bahwa hadits ini keliru.

Hadits ke-9 Abu al-Zubair berkata: Aku bertanya Jabir Radliyallaahu 'anhu tentang harga kucing dan anjing. Ia berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang hal itu. Riwayat Muslim dan Nasa'i dengan tambahan: Kecuali anjing pemburu.

Hadits ke-10 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu berkata: Barirah datang kepadaku seraya berkata: Aku telah ber-mukatabah (perjanjian antara seorang budak dengan majikannya bahwa budak tersebut akan merdeka bila dapat membayar sejumlah uang yang mereka sepakati) dengan majikanku sebesar sembilan uqiyyah, setiap tahun satu uqiyyah, maka tolonglah aku. Aku berkata: Jika majikanmu bersedia aku membayarnya kepadanya dengan syarat wala'-nya (harta warisan bagi yang

memerdekakan budak) nanti untukku, maka aku akan menolongmu. Kemudian Barirah menghadap majikannya dan mengungkapkan hal itu, namun majikannya menolak. Ia datang lagi sewaktu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam sedang duduk seraya berkata: Aku telah menyampaikannya kepadanya, tetapi ia menolak kecuali jika wala' itu tetap miliknya. Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mendengar dan 'Aisyah memberitahukan hal itu kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, lalu beliau bersabda: "Ambillah dan berilah persyaratan wala' itu kepadanya, sebab wala' itu hanya bagi orang yang memerdekakan." Lalu 'Aisyah melakukan hal itu. Kemudian Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam berdiri di hadapan orang-orang dan setelah memuji Allah dan menyanjung-Nya beliau bersabda: "Amma ba'du, mengapa ada orang-orang yang memberikan persyaratan yang tidak ada dalam al-Qur'an?. Setiap syarat yang tidak tercantum dalam al-Qur'an adalah batil, walaupun seratus syarat. Ketetapan Allah itu lebih hak dan syarat (yang ditetapkan) Allah itu lebih kuat, dan wala' itu hanya bagi orang yang memerdekakan." Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut riwayat Bukhari. Menurut riwayat Muslim: "Belilah dan merdekakanlah, dan berilah persyaratan wala' kepadanya."

Hadits ke-11 Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Umar melarang menjual budakbudak yang memiliki anak (dari hasil dengan majikannya), ia berkata: Tidak boleh dijual, diberikan, dan diwariskan. Ia boleh menikmati sekehendaknya, dan jika ia (majikan) meninggalkan ia merdeka. Riwayat Malik dan Baihaqi, dan ia menyatakan bahwa sebagian perawi menganggapnya marfu' tapi ia keliru.

Hadits ke-12 Jabir Radliyallaahu 'anhu berkata: Kami biasa menjual budak-budak wanita kami, ibu dari anak-anak dan Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam masih hidup. Beliau tidak mempermasalahkannya. Riwayat Nasa'i, Ibnu Majah, dan Daruquthni. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban.

Hadits ke-13 Jabir Ibnu Abdullah berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang menjual sisa kelebihan air. Riwayat Muslim. Dalam suatu riwayat ia menambahkan: Dan mengupahkan persetubuhan unta jantan.

Hadits ke-14 Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang mengupahkan persetubuhan binatang jantan. Riwayat Bukhari.

Hadits ke-15 Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang menjual-belikan hewan yang akan dikandung oleh hewan yang masih dalam kandungan. Ini adalah jual-beli yang dilakukan masyarakat jahiliyyah, yaitu seseorang membeli unta yang akan dibayar nanti bila ia melahirkan, kemudian anak yang masih berada dalam perut itu juga melahirkan. Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut riwayat Bukhari.

Hadits ke-16 Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang menjual-belikan wala' dan menghadiahkannya. Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-17 Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang jual-beli dengan cara melempar batu dan jual-beli gharar (yang belum jelas harga, barang, waktu dan tempatnya). Riwayat Muslim.

Hadits ke-18 Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa membeli suatu makanan maka janganlah ia menjualnya sebelum menerima sukatannya." Riwayat Muslim.

Hadits ke-19 Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang dua jual-beli dalam satu transaksi jual-beli. Riwayat Ahmad dan Nasa'i. Hadits shahih menurut Tirmidzi.

Hadits ke-20 Menurut riwayat Abu Dawud: Barangsiapa melakukan dua jual-beli dalam satu transaksi, maka baginya harga yang murah atau ia termasuk riba'.

Hadits ke-21 Dari Amar Ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak dihalalkan meminjam dan menjual, dua syarat dalam satu transaksi jual-beli, keuntungan yang belum dapat dijamin, dan menjual sesuatu yang tidak engkau miliki." Riwayat Imam Lima. Hadits shahih menurut Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah dan Hakim.

Hadits ke-22 Amar Ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang jual-beli 'urban (memberikan panjar/persekot terlebih dahulu dan jika jual-beli itu tidak jadi maka uang panjar tersebut hangus)". Riwayat Malik. Ia berkata: Aku menerimanya dari Amar Ibnu Syu'aib.

Hadits ke-23 Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku pernah membeli minyak di pasar dan ketika minyak itu telah menjadi hak milikku aku bertemu dengan seseorang yang akan membelinya dengan keuntungan yang baik. Ketika aku hendak mengiyakan tawaran orang tersebut, ada seseorang dari belakang yang memegang lenganku. Aku berpaling dan ternyata ia adalah Zaid Ibnu Tsabit. Lalu ia berkata: Jangan menjualnya di tempat engkau membeli, sampai engkau membawanya ke tempatmu, sebab Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang menjual barang di tempat barang itu dibeli sampai para pedagang membawanya ke tempat mereka. Riwayat Ahmad dan Abu Dawud dengan lafadz menurutnya. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan Hakim.

Hadits ke-24 Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku berkata, wahai Rasulullah, aku menjual unta di Baqi'. Aku menjual dengan dinar tapi aku menerima dirham, aku menjual dengan dirham tapi aku menerima dinar, aku mengambil ini dari ini tapi aku menerima itu dari itu. Lalu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak apa-apa engkau mengambilnya dengan harga pada hari itu selama engkau berdua belum berpisah dan antara kamu berdua tidak masalah." Riwayat Imam Lima. Hadits shahih menurut Hakim.

Hadits ke-25 Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang berjualan dengan najasy (memuji barang dagangan secara berlebihan). Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-26 Dari Jabir Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang jual-beli dengan cara muhaqalah (menjual biji atau tanaman dengan borongan yang masih samar ukurannya), muzabanah (menjual buah yang masih segar dengan yang sudah kering dengan sukatan), mukhobarah (menyewakan tanah untuk ditanami tumbuhan dengan syarat si pemilik tanah mendapat keuntungan setengah atau lebih dari hasilnya), dan tsunaya (penjualan dengan memakai pengecualian), kecuali jika ia jelas. Riwayat Imam Lima kecuali Ibnu Majah. Hadits shahih menurut Tirmidzi.

Hadits ke-27 Anas berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang jual-beli dengan cara muhaqalah, muhadlarah (menjual buah-buahan yang belum masak yang belum tentu bisa dimakan), mulamasah (menjual sesuatu dengan hanya menyentuh), munabadzah (membeli sesuatu dengan sekedar lemparan), dan muzabanah. Riwayat Bukhari.

Hadits ke-28 Dari Thawus, dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Janganlah engkau menghadang kafilah di tengah perjalanan (untuk membeli barang dagangannya), dan janganlah orang kota menjual kepada orang desa." Aku bertanya kepada Ibnu Abbas: Apa maksud sabda beliau "Janganlah orang kita menjual kepada orang desa?". Ibnu Abbas menjawab: Janganlah menjadi makelar (perantara). Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut riwayat Bukhari.

Hadits ke-29 Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Janganlah menghadang barang dagangan dari luar kota. Barangsiapa di hadang, kemudian sebagian barangnya dibeli, maka jika pemilik barang telah datang ke pasar, ia boleh memilih (antara membatalkan atau tidak)." Riwayat Muslim.

Hadits ke-30 Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang orang kota menjual kepada orang desa, jangan melakukan jualbeli dengan najasy, janganlah seseorang menjual sesuatu yang dijual oleh orang lain, dan janganlah seorang perempuan meminta thalaq saudaranya agar ia menjadi gantinya." Muttafaq Alaihi. Menurut riwayat Muslim: "Janganlah seorang muslim menawar atas tawaran saudaranya."

Hadits ke-31 Abu Ayyub al-Anshory Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa memisahkan antara seorang ibu dan anaknya, Allah akan memisahkan dia dari kekasihnya pada hari kiamat." Riwayat Ahmad. Hadits shahih menurut Tirmidzi dan Hakim, namun sanadnya masih dipertentangkan dan ia mempunyai saksi.

Hadits ke-32 Ali Ibnu Abu Thalib Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah menyuruhku untuk menjual dua orang budak kecil bersaudara. Lalu aku menjualnya secara terpisah dan aku beritahukan hal itu kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam Beliau bersabda: "Susullah dan ambillah kembali, dan jangan menjual mereka kecuali dengan bersama-sama." Riwayat Ahmad dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya. Hadits shahih menurut Ibnu Khuzaimah, Ibnu alJarud, Ibnu Hibban, Hakim, Thabrani, dan Ibnu al-Qothan.

Hadits ke-33 Anas Ibnu Malik berkata: Pada zaman Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah terjadi kenaikan harga barang-barang di Madinah. Maka orang-orang berkata: Wahai Rasulullah, harga barang-barang melonjak tingi, tentukanlah harga bagi kami. Lalu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya Allahlah penentu harga, Dialah yang menahan, melepas dan pemberi rizki. Dan aku berharap menemui Allah dan berharap tiada seorangpun yang menuntutku karena kasus penganiayaan terhadap darah maupun harta benda." Riwayat Imam Lima kecuali Nasa'i. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban.

Hadits ke-34 Dari Ma'mar Ibnu Abdullah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak akan menimbun (barang) kecuali orang yang berdosa." Riwayat Muslim.

Hadits ke-35 Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Janganlah menahan susu unta dan kambing. Barangsiapa membelinya ia boleh memilih yang lebih baik antara dua hal, setelah memeras susunya; yaitu jika ia mau, ia boleh menahannya dan jika tidak ia boleh mengembalikannya dengan satu sho' kurma." Muttafaq Alaihi. Menurut riwayat Muslim: "Ia boleh memilih selama tiga hari." Menurut riwayatnya yang dikomentari oleh Bukhari: "Ia mengembalikannya beserta satu sho' makanan tanpa gandum." Bukhari berkata: Dan kurma itu lebih banyak.

Hadits ke-36 Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu berkata: Barangsiapa membeli seekor kambing yang penuh susunya (tidak diperas), lalu ia mengembalikannya, maka hendaknya ia mengembalikannya beserta satu sho'. Riwayat Bukhari. Al-Isma'ily menambahkan: (Satu sho' kurma.

Hadits ke-37 Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah melewati sebuah tumpukan makanan. Lalu beliau memasukkan tangannya ke dalam tumpukan tersebut dan jari-jarinya basah. Maka beliau bertanya: "Apa ini wahai penjual makanan?". Ia menjawab: Terkena hujan wahai Rasulullah. Beliau bersabda: "Mengapa tidak engkau letakkan di bagian atas makanan agar orang-orang dapat melihatnya? Barangsiapa menipu maka ia bukan termasuk golonganku." Riwayat Muslim.

Hadits ke-38 Dari Abdullah Ibnu Buraidah, dari ayahnya bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa membiarkan anggurnya pada musim panen untuk dijual kepada orang-orang yang membuat minuman keras, maka sesungguhnya ia telah menempuh api neraka dengan sengaja." Riwayat Thabrani dalam kitab alAusath dengan sanad Hasan.

Hadits ke-39 Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Pengeluaran itu dengan tanggungan." Riwayat Imam Lima. Hadits dlo'if menurut Bukhari dan Abu Dawud. Hadits shahih menurut Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu al-Jarud, Ibnu Hibban, Hakim, dan Ibnu al-Qotthon.

Hadits ke-40 Dari Urwah al-Bariqy Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah memberinya satu dinar untuk dibelikan seekor hewan kurban atau kambing. Ia membeli dengan uang tersebut dua ekor kambing dan menjual salah satunya dengan harga satu dinar. Lalu ia datang kepada beliau dengan seekor kambing dan satu dinar. Beliau mendoakan agar jual-belinya diberkahi Allah, sehingga kalaupun ia membeli debu, ia akan memperoleh keuntungan. Riwayat Imam Lima kecuali Nasa'i. Bukhari meriwayatkan hadits tersebut dalam salah satu riwayatnya, namun lafadznya tidak seperti itu Hadits ke-41 Tirmidzi juga mengeluarkan satu saksi dari hadits Hakim Ibnu Hizam.

Hadits ke-42 Dari Abu Said al-Khudry Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang melakukan jual-beli anak yang masih berada dalam kandungan hewan sebelum dilahirkan, susu yang masih berada dalam teteknya, seorang hamba yang melarikan diri, harta rampasan yang belum dibagi, zakat yang belum diterima, dan hasil seorang penyelam. Riwayat Ibnu Majah dan al-Bazzar. Daruquthni juga meriwayatkan dengan sanad lemah.

Hadits ke-43 Dari Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Janganlah membeli ikan dalam air karena ia tidak jelas." Riwayat Ahmad. Ia memberi isyarat bahwa yang benar hadits ini mauquf.

Hadits ke-44 Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang menjual buah-buahan hingga masak, bulu yang masih melekat di punggung (hewan hidup), dan susu dalam tetek. Riwayat Thabrani dalam kitab alAusath. dan Daruquthni. Abu Dawud meriwayatkan dalam hadits-hadits mursal ikrimah, ia juga meriwayatkan secara mauquf dari Ibnu Abbas dengan sanad kuat yang diperkuat oleh Baihaqi.

Hadits ke-45 Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang jual-beli anak hewan dalam kandungan dan mani ternak jantan. Riwayat al-Bazzar dengan sanad lemah.

Hadits ke-46 Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa membebaskan jual-beli seorang muslim, Allah akan membebaskan kesalahannya." Riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan Hakim.

Hadits ke-47 Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila dua orang melakukan jual-beli, maka masing-masing orang mempunyai hak khiyar (memilih antara membatalkan atau meneruskan jualbeli) selama mereka belum berpisah dan masih bersama; atau selama salah seorang di antara keduanya tidak menentukan khiyar pada yang lain, lalu mereka berjual-beli atas dasar itu, maka jadilah jual-beli itu. Jika mereka berpisah setelah melakukan jual-beli dan masing-masing orang tidak mengurungkan jual-beli, maka jadilah jualbeli itu." Muttafaq Alaihi. Dan lafadznya menurut riwayat Muslim.

Hadits ke-48 Dari Amar Ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Penjual dan pembeli mempunyai hak khiyar sebelum keduanya berpisah, kecuali telah ditetapkan khiyar dan masingmasing pihak tidak diperbolehkan pergi karena takut jual-beli dibatalkan." Riwayat Imam Lima kecuali Ibnu Majah, Daruquthni, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu al-Jarus. Dalam suatu riwayat: "Hingga keduanya meninggalkan tempat mereka."

Hadits ke-49 Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Ada seseorang mengadu kepada Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bahwa ia tertipu dalam jual beli. Lalu beliau bersabda: "Jika engkau berjual-beli, katakanlah: Jangan melakukan tipu daya." Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-50 Jabir Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melaknat pemakan riba, pemberi makan riba, penulisnya, dan dua orang saksinya. Beliau bersabda: "Mereka itu sama." Riwayat Muslim.

Hadits ke-51 Bukhari juga meriwayatkan hadits semisal dair Abu Juhaifah.

Hadits ke-52 Dari Abdullah Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Riba itu mempunyai 73 pintu, yang paling ringan ialah seperti seorang laki-laki menikahi ibunya dan riba yang paling berat ialah merusak kehormatan seorang muslim." Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan ringkas dan Hakim dengan lengkap, dan menurutnya hadits itu shahih.

Hadits ke-53 Dari Abu Said Al-Khudry Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Janganlah menjual emas dengan emas kecuali yang sama sebanding dan jangan menambah sebagian atas yang lain; janganlah menjual perak dengan perak kecuali yang sama sebanding dan jangan menambah sebagian atas yang lain, dan janganlah menjual perak yang tidak tampak dengan yang tampak." Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-54 Dari Ubadah al-Shomit bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "(Diperbolehkan menjual) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya'ir dengan sya'ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, sama sebanding, sejenis, dan ada serah terima." Riwayat Muslim.

Hadits ke-55 Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "(Diperbolehkan menjual) emas dengan emas yang sama timbangannya dan sama sebanding, dan perak dengan perak yang sama timbangannya

dan sama sebanding. Barangsiapa menambah atau meminta tambahan maka itu riba." Riwayat Muslim.

Hadits ke-56 Dari Abu Said al-Khudry dan Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mengangkat seorang amil zakat untuk daerah Khaibar. Ia kemudian membawa kepada beliau kurma yang bagus; Lalu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bertanya: "Apakah setiap kurma khaibar seperti ini?". Ia menjawab: Demi Allah tidak, wahai Rasulullah. Kami menukar satu sho' seperti ini dengan dua sho', dan dua sho' dengan tiga sho'. Lalu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Jangan lakukan itu, juallah semuanya dengan dirham, kemudian belilah kurma yang bagus dengan dirham tersebut." Beliau bersabda: " Demikian juga dengan benda-benda yang ditimbang." Muttafaq Alaihi. Menurut riwayat Muslim: "Demikian pula benda-benda yang ditimbang."

Hadits ke-57 Jabir Ibnu Abdullah Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang jual-beli setumpuk kurma yang tidak diketahui takarannya dengan kurma yang diketahui takarannya. Riwayat Muslim.

Hadits ke-58 Ma'mar Ibnu Abdullah Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Makanan dengan makanan yang sama sebanding." Makanan kami pada hari itu adalah sya'ir. Riwayat Muslim.

Hadits ke-59 Fadlalah Ibnu Ubaid Radliyallaahu 'anhu berkata: Pada hari perang Khaibar aku membeli kalung emas bermanik seharga dua belas dinar. Setelah manikmanik itu kulepas ternyata ia lebih dari dua belas dinar. Lalu aku beritahukan hal itu kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, dan beliau bersabda: "Tidak boleh dijual sebelum dilepas." Riwayat Muslim.

Hadits ke-60 Dari Samurah Ibnu Jundab bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang jual-beli hewan dengan hewan penundaan. Riwayat Imam Lima. Hadits shahih menurut Tirmidzi dan Ibnu al-Jarud. Hadits ke-61 Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Jika engkau sekalian berjual-beli dengan 'inah (hanya sekedar mengejar keuntungan materi belaka), selalu membuntuti ekor-ekor sapi, hanya puas menunggui tanaman, dan meninggalkan jihad maka Allah akan meliputi dirimu dengan suatu kehinaan yang tidak akan dicabut sebelum kamu kembali kepada agamamu." Diriwayatkan oleh Abu

Dawud dari Nafi', dan dalam sanadnya ada pembicaraan. Ahmad meriwayatkan dari Atho' dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya dan dinilai shahih oleh Ibnu Qoththon.

Hadits ke-62 Dari Abu Umamah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa memberi syafa'at (menjadi perantara untuk suatu kebaikan) kepada saudaranya, lalu ia diberi hadiah dan diterimanya, maka ia telah mendatangi sebuah pintu besar dari pintu-pintu riba." Riwayat Ahmad dan Abu Dawud, dan dalam sanadnya ada pembicaraan.

Hadits ke-63 Dari Abdullah Ibnu Amar Ibnu al-'Ash Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melaknat orang yang memberi dan menerima suap. Riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi. Hadits shahih menurut Tirmidzi.

Hadits ke-64 Dari Abdullah Ibnu Amar Ibnu al-'Ash Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menyuruhnya untuk menyiapkan pasukan tentara, tetapi unta-unta telah habis. Lalu beliau menyuruhnya agar menghutang dari unta zakat. Ia berkata: Aku menghutang seekor unta akan dibayar dengan dua ekor unta zakat. Riwayat Hakim dan Baihaqi dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya.

Hadits ke-65 Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang jual-beli muzabanah, yaitu seseorang yang menjual buah kebunnya, jika kurma basah dijual dengan kurma kering bertakar, anggur basah dijual dengan anggur kering bertakar, dan tanaman kering dijual dengan makanan kering bertakar. Beliau melarang itu semua. Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-66 Sa'ad Ibnu Abu waqqash Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam ditanya tentang hukumnya membeli kurma basah dengan kurma kering. Beliau bersabda: "Apakah kurma basah itu berkurang jika mengering?". Ia menjawab: Ya. Lalu beliau melarang hal itu. Riwayat Imam Lima. Hadits shahih menurut Ibnu al-Madiny, Tirmidzi, Ibnu Hibban, dan Hakim.

Hadits ke-67 Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang jual-beli yang kemudian dengan yang kemudian, yakni hutang dengan hutang. Riwayat Ishaq dan al-Bazzar dengan sanad lemah.

Hadits ke-68 Dari Zaid Ibnu Tsabit Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memberi keringanan dalam ariyah (pohon yang diserahkan perawatannya pada orang lain untuk diambil buahnya); untuk dijual buahnya dengan tangkainya dengan menggunakan takaran. Muttafaq Alaihi. Menurut riwayat Muslim Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memberi keringanan dalam ariyah, yaitu penghuni rumah (pemilik pohon yang menyerahkan perawatan pohon tersebut kepada orang lain) boleh memberi kurma basah dengan kurma kering agar mereka dapat memakan kurma basah.

Hadits ke-69 Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memberi keringanan menjual buah kurma ariyah yang masih ditangkainya (basah) dengan kurma kering selama masih kurang dari lima wasaq (1 wasaq : 21 kg). Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-70 Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang menjual buah-buahan yang belum kelihatan baik. Beliau melarang penjual dan pembeli. Muttafaq Alaihi. Dalam suatu riwayat: Apabila beliau ditanya tentang buah yang baik, beliau bersabda: "Sampai penyakitnya hilang." Hadits ke-71 Dari Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang menjual buah-buahan sehingga baik. Ada orang yang bertanya: Apa pertanda baiknya? Beliau menjawab: "Memerah atau menguning." Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Bukhari.

Hadits ke-72 Dari Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang menjual buah anggur hingga berwarna hitam dan menjual bijibijian hingga keras. Riwayat Imam Lima kecuali Nasa'i. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan Hakim.

Hadits ke-73 Dari Jabir Ibnu Abdullah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Seandainya engkau menjual kurma kepada saudaramu, kemudian ia membusuk, maka tidak halal engkau mengambil apapun darinya. Dengan jalan apa engkau boleh mengambil harta saudaramu secara tidak

hak?." Riwayat Muslim. Dalam suatu riwayatnya yang lain: Bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memerintahkan untuk meletakkan (tidak menjual) kurma yang busuk.

Hadits ke-74 Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa menjual pohon kurma setelah dikawinkan, maka buahnya adalah pemilik penjual pohon tersebut, kecuali jika pembeli memberikan persyaratan dahulu." Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-75 Ibnu Abbas berkata: Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam datang ke Madinah dan penduduknya biasa meminjamkan buahnya untuk masa setahun dan dua tahun. Lalu beliau bersabda: "Barangsiapa meminjamkan buah maka hendaknya ia meminjamkannya dalam takaran, timbangan, dan masa tertentu." Muttafaq Alaihi. Menurut riwayat Bukhari: "Barangsiapa meminjamkan sesuatu."

Hadits ke-76 Abdurrahman Ibnu Abza dan Abdullah Ibnu Aufa Radliyallaahu 'anhu berkata: Kami menerima harta rampasan bersama Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam Dan datanglah beberapa petani dari Syam, lalu kami beri pinjaman kepada mereka berupa gandum, sya'ir, dan anggur kering -dalam suatu riwayat- dan minyak untuk suatu masa tertentu. Ada orang bertanya: Apakah mereka mempunyai tanaman? Kedua perawi menjawab: Kami tidak menanyakan hal itu kepada mereka. Riwayat Bukhari.

Hadits ke-77 Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa mengambil harta orang dengan maksud mengembalikannya, maka Allah akan menolongnya untuk dapat mengembalikannya; dan barangsiapa mengambilnya dengan maksud menghabiskannya, maka Allah akan merusaknya." Riwayat Bukhari.

Hadits ke-78 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku berkata, wahai Rasulullah, sesungguhnya barang-barang pakaian telah datang pada si Fulan dari Syam. Seandainya baginda mengutus seseorang kepadanya, baginda akan dapat mengambil dua buah pakaian dengan pembayaran nanti pada saat kemudahan. Lalu beliau mengutus seseorang kepadanya, namun pemiliknya menolak. Dikeluarkan oleh Hakim dan Baihaqi dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya.

Hadits ke-79 Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Punggung hewan yang digadaikan boleh dinaiki dengan membayar dan susu hewan yang digadaikan boleh diminum dengan membayar. Bagi orang yang menaiki dan meminumnya wajib membayar." Riwayat Bukhari.

Hadits ke-80 Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barang gadaian tidak menutup pemilik yang menggadaikannya, keuntungan untuknya dan kerugiannya menjadi tanggungannya." Riwayat Daruquthni dan Hakim dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya. Namun yang terpelihara bagi Abu Dawud dan lainnya hadits itu mursal.

Hadits ke-81 Dari Abu Rafi' Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah meminjam unta muda dari seseorang. Kemudian beliau menerima unta zakat, lalu beliau menyuruh Abu Rafi' untuk mengembalikan hutang untanya kepada orang tersebut. Abu Rafi' berkata: Aku hanya menemukan unta berumur empat tahun. Beliau bersabda: "Berikanlah kepadanya, karena sebaik-baik orang ialah yang paling baik melunasi hutang." Riwayat Muslim.

Hadits ke-82 Dari Ali Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah saaw. bersabda: "Setiap hutang yang menarik manfaat adalah riba." Riwayat Harits Ibnu Abu Usamah dan sanadnya terlalu lemah.

Hadits ke-83 Menurut riwayat Baihaqi ada saksi lemah dari Fadlalah Ibnu Ubaid.

Hadits ke-84 Ada hadits lain yang diriwayatkan Bukhari secara mauquf dari Abdullah Ibnu Salam.

Hadits ke-85 Dari Abu Bakar Ibnu Abdurrahman bahwa Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa menemukan barangnya benar-benar berada pada orang yang jatuh bangkrut (pailit), maka ia lebih berhak terhadap barang tersebut daripada orang lain." Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-86 Abu Dawud dan Malik meriwayatkan dari Abu Bakar Ibnu Abdurrahman secara mursal dengan lafadz: "Jika ada orang yang menjual barang, kemudian pembeli barang tersebut jatuh miskin padahal ia belum membayar apapun dari harganya, sedang penjual masih mendapatkan barangnya utuh, maka ia lebih berhak terhadap barang tersebut; jika pembelinya meninggal dunia maka barang tersebut menjadi milik orang-orang yang memberi hutang." Menurut Baihaqi hadits tersebut maushul, dan dha'if karena mengikuti Abu Dawud.

Hadits ke-87 Abu Dawud dan Ibnu Majah meriwayatkan hadits dari Umar Ibnu Kholadah bahwa ia berkata: Kami datang kepada Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu menanyakan tentang teman kami yang bangkrut, lalu ia berkata: Aku berikan kepadamu suatu ketetapan hukum dari Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, yaitu: "Barangsiapa bangkrut atau meninggal dunia, lalu orang itu mendapatkan barangnya masih utuh, maka ia lebih berhak atas barang tersebut." Hadits shahih menurut Hakim dan dha'if menurut Abu Dawud. Abu Dawud juga menilai dha'if keterangan tentang "meninggal dunia" pada hadits ini.

Hadits ke-88 Dari Amar Ibnu al-Syarid, dari ayahnya Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Orang mampu yang menangguhkan pembayaran hutang dihalalkan kehormatannya dan siksanya." Riwayat Abu Dawud dan Nasa'i. Hadits mu'allaq menurut Bukhari dan shahih menurut Ibnu Hibban.

Hadits ke-89 Abu Said Al-Khudry Radliyallaahu 'anhu berkata: Pada zaman Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam ada seseorang terkena musibah pembusukan pada buahbuahan yang dibelinya, lalu hutangnya menumpuk dan bangkrut. Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam lalu bersabda: "Bersedekahlah kepadanya." Lalu orangorang bersedekah kepadanya, namun belum cukup melunasi hutangnya. Maka bersabdalah Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam kepada orang-orang yang menghutanginya: "Ambillah apa yang kalian dapatkan karena hanya itulah milik kalian." Riwayat Muslim.

Hadits ke-90 Dari Ibnu Ka'ab Ibnu Malik, dari ayahnya Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah menahan harta benda milik Muadz dan menjualnya untuk melunasi hutangnya. Riwayat Daruquthni. Hadits shahih menurut Hakim dan mursal menurut tarjih Abu Dawud.

Hadits ke-91 Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku dihadapkan pada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam waktu perang Uhud ketika aku berumur 14 tahun, namun beliau belum membolehkanku (untuk ikut berperang). Aku dihadapkan lagi pada waktu perang khandaq ketika aku berumur 15 tahun dan beliau membolehkanku. Muttafaq Alaihi. Dalam suatu riwayat Baihaqi: Beliau belum membolehkanku dan belum menganggapku telah dewasa. Hadits shahih menurut Ibnu Khuzaimah.

Hadits ke-92 Athiyyah al-Quradhy Radliyallaahu 'anhu berkata: Kami dihadapkan pada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam waktu perang quraidhoh. Lalu orang yang telah tumbuh bulunya dibunuh dan yang belum tumbuh bulunya dibebaskan, sedang aku termasuk orang yang belum tumbuh bulunya, maka aku dibebaskan. Riwayat Imam Empat. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan Hakim, ia berkata: Hadits tersebut menurut persyaratan Bukhari-Muslim.

Hadits ke-93 Dari Amar Ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak diperbolehkan bagi seorang istri memberikan sesuatu kecuali dengan seizin suaminya." Dalam suatu lafadz: "Tidak diperbolehkan bagi seorang istri mengurus hartanya yang dimiliki oleh suaminya." Riwayat Ahmad dan para pengarang kitab al-Sunan kecuali Tirmidzi. Hadits shahih menurut Hakim.

Hadits ke-94 Dari Qabishoh Ibnu Mukhoriq Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya minta-minta tidak dihalalkan kecuali bagi salah seorang di antara tiga macam orang, yaitu: Orang yang menanggung hutang orang lain, ia boleh meminta-minta hingga dapat melunasinya, kemudian ia berhenti; orang yang terkena musibah yang menghabiskan hartanya. Ia boleh meminta-minta hingga mendapatkan sandaran hidup; dan orang yang ditimpa kefakiran hingga tiga orang yang mengetahuinya dari kalangan kaumnya berkata: Si Fulan telah ditimpa kefakiran, ia dibolehkan meminta-minta." Riwayat Muslim.

Hadits ke-95 Dari Amar Ibnu Auf al-Muzany Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah saaw. bersabda: "Perdamaian itu halal antara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan hal yang haram atau menghalalkan hal yang haram. Kaum muslim wajib berpegang pada syarat-syarat mereka, kecuali syarat yang mengharamkan hal yang halal atau menghalalkan yang haram." Hadits shahih riwayat Tirmidzi. Namun banyak yang mengingkarinya karena seorang perawinya yang bernama Katsir Ibnu

Abdullah Ibnu Amar Ibnu Auf adalah lemah. Mungkin Tirmidzi menganggapnya baik karena banyak jalannya.

Hadits ke-96 Ibnu Hibban menilainya shahih dari hadits Abu Hurairah r.a.

Hadits ke-97 Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Janganlah seseorang melarang tetangganya memasang kayu galangan pada temboknya." Kemudian Abu Hurairah berkata: Kenapa aku lihat kalian berpaling darinya? Demi Allah, aku benar-benar akan menaruh kayu-kayu itu di atas pundakmu. Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-98 Dari Abu Humaid al-Sa'idy Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak halal bagi seseorang mengambil tongkat saudaranya dengan tanpa ridlonya." Riwayat Ibnu Hibban dan Hakim dalam kitab shahih mereka.

Hadits ke-99 Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Penangguhan (pembayaran hutang) orang kaya itu suatu kesesatan. Apabila seseorang di antara kamu hutangnya dipindahkan kepada orang yang mampu, hendaknya ia menerima." Muttafaq Alaihi. Menurut suatu riwayat Ahmad: "Barangsiapa (hutangnya) dipindahkan, hendaknya ia menerima."

Hadits ke-100 Jabir Radliyallaahu 'anhu berkata: Ada seorang laki-laki di antara kami meninggal dunia, lalu kami memandikannya, menutupinya dengan kapas, dan mengkafaninya. Kemudian kami mendatangi Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan kami tanyakan: Apakah baginda akan menyolatkannya?. Beliau melangkan beberapa langkah kemudian bertanya: "Apakah ia mempunyai hutang?". Kami menjawab: Dua dinar. Lalu beliau kembali. Maka Abu Qotadah menanggung hutang tersebut. Ketika kami mendatanginya; Abu Qotadah berkata: Dua dinar itu menjadi tanggunganku. Lalu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Betul-betul engkau tanggung dan mayit itu terbebas darinya." Ia menjawab: Ya. Maka beliau menyolatkannya. Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa'i. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan Hakim.

Hadits ke-101 Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bila didatangkan kepada beliau orang meninggal yang menanggung hutang, beliau bertanya: "Apakah ia meninggalkan sesuatu untuk melunasi hutangnya?". Jika dikatakan bahwa ia meninggalkan sesuatu untuk melunasi hutangnya, beliau menyolatkannya. Jika tidak, beliau bersabda: "Sholatlah atas temanmu ini." Tatkala Allah telahg memberikan beberapa kemenangan kepadanya, beliau bersabda: "Aku lebih berhak pada kaum mukminin daripada diri mereka sendiri. Maka barangsiapa meninggal dan ia memiliki hutang, akulah yang melunasinya." Muttafaq Alaihi. Menurut suatu riwayat Bukhari: "Maka barangsiapa mati dan tidak meninggalkan harta pelunasan....".

Hadits ke-102 Dari Amar Ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak ada tanggungan, dalam pelaksanaan had." Riwayat Baihaqi dengan sanad lemah.

Hadits ke-103 Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Allah berfirman: Aku menjadi orang ketiga dari dua orang yang bersekutu selama salah seorang dari mereka tidak berkhianat kepada temannya. Jika ada yang berkhianat, aku keluar dari (persekutuan) mereka." Riwayat Abu Dawud dan dinilai shahih oleh Hakim.

Hadits ke-104 Dari al-Saib al-Mahzumy Radliyallaahu 'anhu bahwa ia dahulu adalah sekutu Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam sebelum beliau diangkat menjadi Rasul. Ketika ia datang pada hari penaklukan kota Mekkah, beliau bersabda: "Selamat datang wahai saudaraku dan sekutuku." Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah.

Hadits ke-105 Abdullah Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku, Ammar, dan Sa'ad bersekutu dalam harta rampasan yang akan kami peroleh dari perang Badar. Hadits riwayat Nasa'i.

Hadits ke-106 Jabir Ibnu Abdullah Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku akan keluar menuju Khaibar, lalu aku menghadap Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan beliau bersabda: "Jika engkau menemui wakilku di Khaibar, ambillah darinya 15 wasaq." Hadits shahih riwayat Abu Dawud.

Hadits ke-107 Dari Urwah al-Bariqy Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah mengutusnya dengan uang satu dinar untuk membelikan beliau hewan qurban. Hadits Bukhari meriwayatkannya di tengah-tengah suatu hadits sebagaimana tersebut dalam hadits dahulu (no.40).

Hadits ke-108 Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mengutus Umar untuk mengambil zakat. Hadits. Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-109 Dari Jabir Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menyembelih 63 ekor dan menyuruh Ali Radliyallaahu 'anhu untuk menyembelih sisanya. Hadits diriwayatkan oleh Muslim.

Hadits ke-110 Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu tentang kisah pelaku (zina), Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Pergilah, wahai Unais, menemui perempuan orang ini. Jika ia mengaku, rajamlah ia." Hadits. Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-111 Abu Dzar Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda kepadaku: "Katakanlah yang benar walaupun ia pahit." Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dari hadits yang panjang."

Hadits ke-112 Dari Samurah Ibnu Jundab bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tangan bertanggung jawab terhadap apa yang ia ambil sampai ia mengembalikannya." Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits shahih menurut Hakim.

Hadits ke-113 Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tunaikanlah amanat kepada orang yang memberimu amanat dan janganlah berkhianat kepada orang yang menghianatimu." Riwayat Tirmidzi dan Abu Dawud. Hadits hasan menurut Abu Dawud, shahih menurut Hakim, dan munkar menurut Abu Hatim Ar-Razi. Hadits itu diriwayatkan juga oleh segolongan huffadz. Ia mencakup masalah pinjaman.

Hadits ke-114 Ya'la Ibnu Umayyah Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda kepadaku: "Apabila utusanku datang kepadamu, berikanlah kepada mereka tiga puluh baju besi." Aku berkata: Wahai Rasulullah, apakah pinjaman yang ditanggung atau pinjaman yang dikembalikan? Beliau bersabda: "Pinjaman yang dikembalikan." Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa'i. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban.

Hadits ke-115 Dari Shofwan Ibnu Umayyah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam meminjam darinya beberapa baju besi sewaktu perang Hunain. Ia bertanya: Apakah ia rampasan, wahai Muhammad. beliau menjawab: "Tidak, ia pinjaman yang ditanggung." Riwayat Abu Dawud, Ahmad, dan Nasa'i. Hadits shahih menurut Hakim.

Hadits ke-116 Hakim juga meriwayatkannya dengan saksi lemah dari Ibnu Abbas r.a.

Hadits ke-117 Dari Said Ibnu Zaid Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa mengambil sejengkal tanah dengan dlalim, Allah akan mengalungkan kepadanya dari tujuh lapis bumi." Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-118 Dari Anas Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam sedang berada di rumah salah seorang istrinya. Lalu salah satu istrinya yang lain mengutus seorang pelayan membawa sebuah piring yang berisi makanan. Kemudian ia (istri yang serumah dengan beliau) memukul dengan tangannya dan pecahlah piring tersebut. Beliau menangkupkan piring itu dan meletakkan makanan di atasnya, lalu bersabda: "Makanlah." Kemudian beliau mengembalikan piring yang baik kepada pesuruh itu dan menyimpan piring yang pecah. Riwayat Bukhari dan Tirmidzi, dan dia menyebut pemukul tersebut adalah 'Aisyah, dan menambahkan: Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Makanan diganti makanan dan bejana diganti bejana." Hadits shahih menurutnya.

Hadits ke-119 Dari Rafi' Ibnu Khodij Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa menanam di atas tanah suatu kaum tanpa seizin mereka, maka ia tidak memiliki apapun dari tanaman itu, namun ia mendapat nafkah (belanja)." Riwayat Ahmad dan Imam Empat kecuali Nasa'i. Hadits hasan menurut Tirmidzi. Dikatakan bahwa Bukhari menilainya hadits dha'if.

Hadits ke-120 Dari Urwah Ibnu al-Zubair Radliyallaahu 'anhu bahwa seorang sahabat Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam berkata: Ada dua orang bertengkar mengadu kepada Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam masalah tanah. Salah seorang di antara mereka telah menanam pohon kurma di atas tanah milik yang lain. Lalu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memutuskan tanah tetap menjadi milik siempunya dan menyuruh pemilik pohon kurma untuk mencabut pohonnya, dan beliau bersabda: "Akar yang dlalim tidak punya hak." Riwayat Abu Dawud dan sanadnya hasan Hadits ke-121 Akhir hadits itu menurut pengarang-pengarang kitab al-Sunan dari riwayat Urwah, dari Said Ibnu Zaid. Tentang maushul dan mursalnya hadits tersebut serta penentuan para perawinya masih ada pertentangan.

Hadits ke-122 Dari Abu Bakrah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda pada khutbahnya hari raya Kurba di Mina: "Sesungguhnya darahmu dan hartamu adalah haram atasmu sebagaimana haramnya harimu ini, pada bulanmu ini, di negerimu ini." Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-123 Jabir Ibnu Abdullah Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam telah menetapkan berlakunya syuf'ah (hak membeli bagian dari dua orang yang bersekutu) pada setiap sesuatu yang belum dibagi. Apabila telah dibatasi dan telah diatur peraturannya, maka tidak berlaku syuf'ah. Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Bukhari.

Hadits ke-124 Menurut riwayat Muslim: Syu'fah itu berlaku dalam setiap persekutuan, baik dalam tanah, kampung, atau kebun. Tidak boleh - dalam suatu lafadz- tidak halal menjualnya hingga ditawarkan kepada sekutunya. Menurut riwayat Thahawi: Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menetapkan berlakunya Syuf'ah dalam segala sesuatu. Para perawinya dapat dipercaya.

Hadits ke-125 Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tetangga sebelah rumah lebih berhak terhadap rumah itu." Riwayat Nasa'i, dinilai shahih oleh Ibnu Hibban, dan ia mempunyai illah.

Hadits ke-126 Dari Abu Rafi' Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tetangga itu lebih berhak karena kedekatannya." Riwayat Bukhari dan Hakim. Hadits tersebut mempunyai kisah.

Hadits ke-127 Dari Jabir Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tetangga itu lebih berhak dengan syuf'ah tetangganya, ia dinanti walaupun sedang pergi- jika jalan mereka satu." Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Para perawinya dapat dipercaya.

Hadits ke-128 Dari Ibnu Umar bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Syuf'ah itu laksana melepaskan unta." Riwayat Ibnu Majah dan al-Bazzar dengan tambahan: "Tidak ada syuf'ah bagi orang yang pergi." Sanadnya lemah.

Hadits ke-129 Dari Shuhaib Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tiga hal yang didalamnya ada berkah adalah jual-beli bertempo, ber-qiradl (memberikan modal kepada seseorang hasil dibagi dua), dan mencampur gandum dengan sya'ir untuk makanan di rumah, bukan untuk dijual." Riwayat Ibnu Majah dengan sanad lemah.

Hadits ke-130 Dari Hakim Ibnu Hizam bahwa disyaratkan bagi seseorang yang memberikan modal sebagai qiradl, yaitu: Jangan menggunakan modalku untuk barang yang bernyawa, jangan membawanya ke laut, dan jangan membawanya di tengah air yang mengalir. Jika engkau melakukan salah satu di antaranya, maka engkaulah yang menanggung modalku. Riwayat Daruquthni dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya. Malik berkata dalam kitabnya al-Muwattho', dari Ala' Ibnu Abdurrahman Ibnu Ya'qub, dari ayahnya, dari kakeknya: Bahwa ia pernah menjalankan modal Utsman dengan keuntungan dibagi dua. Hadits mauquf shahih Hadits ke-131 Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah mempekerjakan penduduk Khaibar dengan memperoleh setengah dari hasilnya berupa buah-buahan dan tanaman. Muttafaq Alaihi. Dalam suatu riwayat Bukhari-Muslim: Mereka meminta beliau menetapkan mereka mengerjakan tanah (Khaibar) dengan memperoleh setengah dari hasil kurma, maka Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Kami tetapkan kalian dengan ketentuan seperti itu selama kami menghendaki." Lalu mereka mengakui dengan ketetapan itu samapi Umar mengusir mereka. Menurut riwayat Muslim: Bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memberikan pohon kurma dan tanah Khaibar kepada kaum Yahudi di Khaibar dengan perjanjian mereka mengerjakan dengan modal mereka dan bagi mereka setengah dari hasil buahnya.

Hadits ke-132 Hanzholah Ibnu Qais Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku bertanya kepada Rafi' Ibnu Khadij tentang menyewakan tanah dengan emas dan perak. Ia berkata: Tidak apa-apa. Orang-orang pada zaman Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menyewakan tanah dengan imbalan pepohonan yang tumbuh di tempat perjalanan air, pangkal-pangkal parit, dan aneka tumbuhan. Lalu dari tetumbuhan itu ada yang hancur dan ada yang selamat, sedang orang-orang tidak mempunyai sewaan lainnya kecuali ini. Maka Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang hal itu. Adapun imbalan dengan barang yang nyata dan terjamin, maka tidak apa-apa. Riwayat Muslim. Dalam hadits ini ada penjelasan menyeluruh tentang larangan menyewakan tanah dalam hadits Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-133 Dari Tsabit Ibnu ad-Dlahak Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang muzara'ah (sama dengan musaqat, yaitu memberikan tanah garapan kepada orang lain dengan bagi hasil menurut perjanjian) dan memerintahkan sewa-menyewakan. Riwayat Muslim.

beberapa kutipan dari tulisan DR. Yusuf Qardhawi dalam bukunya ”Sistem Ekonomi Islam”. 1. “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah di muka bumi, dan carilah karunia Allah.” (QS. al Jumu’ah :10) 2. “Sungguh seandainya salah seorang diantara kalian mengambil beberapa utas tali, kemudian pergi ke gunung kemudian kembali memikul seikat kayu bakar dan menjualnya, kemudian dengan hasil itu Allah mencukupkan kebutuhan hidupmu, itu lebih baik dari pada meminta-minta kepada sesama manusia, baik mereka memberi maupun tidak.” (HR Bukhari) 3. Suatu saat Rasulullah pernah ditanya oleh para sahabat, “Pekerjaan apa yang paling baik ya Rasulullah?” Beliau menjawab; ”seorang bekerja dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang bersih.” (HR al Bazzar) 4. “Pedagang yang jujur lagi terpercaya adalah bersama-sama nabi, orang-orang shiddiqin, dan para syuhada.” (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah) 5. “Perhatikan olehmu sekalian, sesungguhnya perdagangan itu di dunia ini adalah sembilan dari sepuluh pintu rezeki.” (HR Ahmad) 6. “Bekerja mencari yang halal itu suatu kewajiban sesudah kewajiban beribadah.” (HR ath Thabrani dan Baihaqi) 7. Barang siapa yang mengacungkan senjatanya (memberontak) kepada kami, bukanlah dari golongan kami dan barang siapa berlaku curang kepada kami (dalam berjual beli) bukanlah golongan kami. (HR Muslim)

Allah mengasihi seseorang yang murah dalam menjual, mudah dalam membeli, dan lapang dada dalam menagih hutang. (HR Bukhari) 9. Hai Muhammad, aku berikan untuk semua manusia 10 pintu rezeki. Sembilan pintu untuk orang yang berdagang, satu pintu lagi buat yang lain. (Hadis Qudsi) 10. Sesungguhnya Allah mencintai hamba-Nya yang bekerja dan terampil. Barang siapa yang bersusah payah mencari nafkah untuk keluarganya maka dia serupa dengan seorang mujahid di jalan Allah Swt. (HR Ahmad) 11. Allah sungguh sangat mencintai orang yang berjerih payah untuk mencari yang halal. (HR al Dailami) 12. Sesungguhnya Allah mencintai hamba-Nya yang bekerja. Barang siapa bersusah payah mencari nafkah untuk keluarganya, maka ia laksana seorang yang bertempur di medan perang membela agama Allah. (HR Ahmad) 13. Barang siapa yang pulang ke rumahnya di sore hari dan merasakan kelelahan karena kedua tangannya bekerja di siang hari maka pada malam itu dia akan mendapatkan ampunan Allah Swt. (HR ath Thabrani) 14. “Carilah pahala akhirat. Jangan lupa bagianmu di dunia.” (QS.an Naml[27]:77) 15. “Pedagang yang jujur dan amanah (akan ditempakan) di surga bersama para nabi, shiddiqin dan syuhada.” (HR. Tturmudzi) 16. “Kalau dia bekerja untuk menghidupi anak-anaknya yang masih kecil itu adalah fi sabilillah; kalau ia bekerja untuk menghidupi kedua orang tuanya yang lanjut usia, itu adalah fisabilillah; kalau ia bekerja untuk kepentingan dirinya sendiri agar tidak meminta-minta itu juga fi sabilillah. (HR. Thabrani) 17. “Semua nabi yang terdahulu, sebelum aku, menyibukkan diri mereka dengan berburu dan bepergian(di gurun pasir dan hutan-hutan) karena dengan jalan ini mereka dapat memperoleh penghidupan.... Hendakah kamu berusaha untuk memperoleh nafkah yang halal bagi keluargamu, sebab itu sama dengan berjuang di jalan Allah. (HR. ath Thabrani) 8.

18. 19. 20.

A. Jual Beli

21. 1)

Larangan jual beli ijon

PEMBAHASAN

‫ّللَا صلى‬ ِ ‫سو ُل َ ه‬ ُ ‫ ( نَ َهى َر‬:‫َوع َْن أَنَ ٍس رضي هللا عنه قَا َل‬ َ ‫ َوا ْل ُم َخا‬,‫هللا عليه وسلم ع َِن ا َ ْل ُم َحاقَلَ ِة‬ ,‫س ِة‬ َ ‫ َوا ْل ُم ََل َم‬,‫ض َر ِة‬ ‫ َوا ْل ُم َزابَنَ ِة ) َر َواهُ اَ ْلبُ َخ ِاري‬,‫َوا ْل ُمنَابَ َذ ِة‬ 23. a.

.22

Terjemah

24. Anas berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang jual-beli dengan cara muhaqalah, muhadlarah (menjual buah-buahan yang belum masak yang belum tentu bisa dimakan), mulamasah (menjual sesuatu dengan hanya menyentuh), munabadzah (membeli sesuatu dengan sekedar lemparan), dan muzabanah. (Hadits Riwayat Bukhari)[1]. 25. b.

Penjelasan dan Analisis:

26. Di atas, Rasulullah melarang jual beli salah satunya yaitu larangan jual beli ijon atau muhadlarah (menjual buah-buahan yang belum masak yang belum tentu bisa dimakan). Karena salah satu syarat barang yang boleh dijualbelikan yaitu diketahui keadaanya.[2] karen jual beli sepereti ini bisa merugikan si pembeli, karena hanya mengira- ngira tanpa tahu hasil dan manfaat yang dihasilkan. Seperti pada penjualan Buah yang masih belum matang yang masih ada dalam tangkainya, ataupun membeli anak hewan yang masih ada dalam kandungan. Seperti pada penjelasan hadits Riwayat Thabrani dibawah ini[3]:

‫سو ُل‬ َ ُ‫ّللَا‬ َ ‫َوع َِن اِ ْب ِن‬ ٍ ‫عبه‬ ُ ‫ ( نَ َهى َر‬:‫ قَا َل‬-‫ع ْن ُه َما‬ ‫ي َه‬ َ ‫ َر ِض‬- ‫اس‬ ‫ َو ََل‬,‫ع ث َ َم َرةٌ َحتهى ت ُ ْطعَ َم‬ َ ‫ّللَا صلى هللا عليه وسلم أ َ ْن تُبَا‬ ِ‫َ ه‬ َ ‫ َو ََل لَبَ ٌن فِي‬,‫علَى َظه ٍْر‬ ‫ع) َر َوا ُه‬ َ ‫وف‬ َ ‫يُبَا‬ ُ ‫ع‬ ٌ ‫ص‬ ٍ ‫ض ْر‬ ‫اَل ه‬ ‫َاو َد ِفي‬ َ ‫طبَ َرا ِني ِفي اَ ْْل َ ْو‬ ُ ‫هارقُ ْط ِني َوأ َ ْخ َر َجهُ أَبُو د‬ َ ‫س ِط َواَلد‬ ً ‫ َوأ َ ْخ َر َجهُ أ َ ْيضا ً َم ْوقُوفا‬.‫اج ُح‬ ِ ‫ا َ ْل َم َرا‬ ‫ َو ُه َو ا َ ه‬,َ‫سي ِل ِل ِع ْك ِر َمة‬ ِ ‫لر‬ ‫ َو َر هج َحهُ ا َ ْلبَ ْي َه ِقي‬,ٍ‫سنَا ٍد قَ ِوي‬ َ ‫علَى اِ ْب ِن‬ َ ْ ‫اس بِ ِإ‬ ٍ ‫عبه‬

.27

28. Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang menjual buahbuahan hingga masak, bulu yang masih melekat di punggung (hewan hidup), dan susu dalam tetek. (Riwayat Thabrani dalam kitab al-Ausath. dan Daruquthni. Abu Dawud meriwayatkan dalam haditshadits mursal ikrimah, ia juga meriwayatkan secara mauquf dari Ibnu Abbas dengan sanad kuat yang diperkuat oleh Baihaqi).

‫سو ُل‬ َ ُ‫ّللَا‬ ُ ‫َوع َْن ِا ْب ِن‬ ُ ‫ ( نَ َهى َر‬:‫ قَا َل‬-‫ع ْن ُه َما‬ ‫ي َه‬ َ ‫ َر ِض‬- ‫ع َم َر‬ ‫ّللَا صلى هللا عليه وسلم ع َِن ا ْل ُم َزابَنَ ِة; أ َ ْن يَ ِبي َع ثَ َم َر‬ ِ‫َ ه‬ ُ‫َان ك َْرما ً أ َ ْن يَ ِبيعَه‬ َ ‫ َو ِإ ْن ك‬,ً‫َان نَ ْخَلً ِبت َ ْم ٍر َك ْيَل‬ َ ‫َحائِ ِط ِه ِإ ْن ك‬ َ ‫ َو ِإ ْن ك‬,ً‫ب َك ْيَل‬ ‫ نَ َهى‬,‫َان َز ْرعا ً أ َ ْن يَ ِبيعَهُ ِب َك ْي ِل َطعَ ٍام‬ ٍ ‫ِب َز ِبي‬ ‫علَ ْي ِه‬ َ ‫ق‬ ٌ َ‫ع َْن َذ ِل َك ك ُِلهُ ) ُمتهف‬

.29

30. Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang jual-beli muzabanah, yaitu seseorang yang menjual buah kebunnya, jika kurma basah dijual dengan kurma kering bertakar, anggur basah dijual dengan anggur kering bertakar, dan tanaman kering dijual dengan makanan kering bertakar. Beliau melarang itu semua. (Muttafaq Alaihi). 31. Dalam hadits di atas menjelaskan dalam jual beli tersebut adalah batasan buah yang masih ada di pohonnya bisa dijual adalah jika sudah layak dimakan. Tanda-tanda buah itu sudah bisa dimakan berbeda-beda sesuai dengan jenis buahnya. Hal itu telah diisyaratkan di dalam riwayat Anas bin Malik ra.: 32.

ِ َّ ‫سو َل‬ ‫ب‬ ُ ‫أ َ َّن َر‬ ِ َ‫ع ْن َبي ِْع ْال ِعن‬ َ ‫ّللا صلى هللا عليه وسلم نَ َهى‬ ‫ب َحتَّى يَ ْشت َ َّد‬ ِ ِّ ‫َحتَّى يَ ْس َو َّد َو َع ْن بَي ِْع ْال َح‬

.33

34. Rasulullah saw. melarang menjual anggur hitam hingga warnanya menghitam dan menjual biji-bijian hingga sudah keras (HR Abu Dawud). 35. Dalam hal buah-buahan, secara umum terdapat dua jenis. Pertama: buah-buahan yang ketika sudah tua/cukup umur bisa dipetik dan selanjutnya bisa masak, seperti mangga, pisang, dan pepaya. Jika sudah ada semburat warna merah atau kuning yang menandakan sudah cukup tua, buah itu bisa dipetik dan nantinya akan masak. Jika belum tampak tanda-tanda seperti itu buah dipetik maka tidak bisa masak. Buahbuahan jenis ini, jika sudah tampak tanda-tanda perubahan warna itu, yakni sudah cukup tua untuk dipetik, maka sudah boleh dijual meski masih di pohonnya. 36. Kedua, buah-buahan yang harus dipetik ketika sudah masak seperti semangka, jambu, salak, jeruk, anggur, rambutan dan sejenisnya. Jika sudah seperti itu maka buah yang masih dipohonnya boleh dijual. Batas tersebut bisa diketahui dengan mudah oleh orang yang berpengalaman tentangnya. 37. Ada juga tanaman yang kebanyakan dari jenis sayuran seperti ketimun, buncis, dan kacang panjang, yang jika bunganya sudah berubah menjadi buah, maka saat itu sudah mulai layak untuk dikonsumsi. Buah tanaman sejenis ini, jika bunga sudah berubah menjadi buah, sudah boleh dijual. Adapun jenis biji-bijian, seperti padi, kedelai, jagung dan sebagainya, maka sesusai hadis Anas di atas, sudah boleh dijual ketika sudah keras. 38. Tampaknya kelayakan buah untuk dikonsumsi itu tidak harus terpenuhi pada seluruh buah di kebun. Hal itu adalah sangat sulit. Sebabnya, buah di satu kebun bahkan satu pohon memang tidak memiliki tingkat ketuaan yang sama dan tidak bisa masak secara bersamaan. Ketuaan dan menjadi masak itu terjadi secara bertahap hingga seluruh buah di kebun menjadi tua/masak. Karena itu, maksud yabduwa shalâhuhu itu adalah jika ada sebagian buah sudah layak dikonsumsi, maka buah yang sama di satu kebun itu boleh dijual semuanya, baik yang sudah mulai masak maupun yang belum. 39. Batas mulai layak dikonsumsi itu bergantung pada masing-masing jenis buah. Misalnya jika sudah ada sebagian mangga yang masak maka semua mangga yang ada di satu kebun itu boleh dijual. Jika ada sebagian semangka yang sudah layak dikonsumsi maka seluruh semangka jenis yang sama di kebun itu boleh dijual, termasuk yang masih muda. Jika sudah ada sebagian bunga ketimun yang berubah menjadi buah maka semua ketimun di seluruh kebun itu boleh dijual. Jika ada sebagian tongkol jagung manis sudah layak dipetik maka seluruh jagung manis di kebun itu boleh dijual. 40. Jika buah yang masih di pohon itu dijual, lalu terjadi bencana cuaca seperti hujan, angin, hawa dingin, angin kering/panas, dsb, maka penjual wajib menarik diri dari harga buah yang mengalami cacat atau rusak dan mengembalikannya kepada pembeli. 41. c. Aplikasi dalam kehidupan 42. Aplikasi berdasarkan hadits jual beli di atas dalam kehidupan ini dapat di contohkan seperti kasus seorang pemborong jambu ia memborong jambu yang masih mengkal dipohonnya. Sedangkan buah jambu yang terdapat pada pohon tersebut belum jelas takarannya, sehingga dapat merugikan sebelah pihak.

43. Ada hal yang menarik yang bisa kita ambil pelajaran moralnya dari perilaku semacam ini. Kita haruslah sabar dalam menjalani hidup, jangan terlena dengan angan-angan atau perkiraan-perkiraan yang menawarkan mendapatkan keuntungan secara instan. Biarlah berjalan sesuai dengan prosesnya. Bila dipaksakan sebelum waktunya, maka akan terasa pahit, seperti memakan buah yang belum matang langsung dimakan. Maka pasti akan terasa pahit di lidah. Namun, bila kita bersabar sampai datang waktunya, maka akan terasa manis, terjauh dari kemungkinan rugi, seperti kita makan buah yang sudah matang, maka akan terasa enak di lidah. 44. 2) Kehalalan hasil jual beli anjing dan upah pelacur

‫ي َوع َْن ُح ْل َوا ِن‬ ِ ‫س ْو ُل‬ ْ ‫ع َْن أ َ ِب ْي َم‬ ُ ‫سعُ ْو ٍد قَا َل نَ َهى َر‬ ِ ‫ ع َْن ث َ َم ِن ا ْل َك ْل‬:‫هللا ص م‬ ‫ب َو ع َْن َمه ِْر ا ْل َب ِغ ه‬ )‫ا ْلكَا ِه ِن (الحرجه الستة‬ 46. 47.

.45

a. Terjemah Ibnu Mas’ud menceritakan bahwa “Rasulullah Saw, melarang hasil uang penjualan anjing, upah pelacur, dan hadiah yang diberikan kepada dukun”. (H.R Bukhari, muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majjah)[4]

48. b.

Penjelasan dan Analisis:

49. Menjelaskan bahwa Rosullah melarang pada hasil penjualan barang najis diantaranya anjing, upah dari pelacur, dan hadiah yang diberikan kepada dukun. Jenis transaksi ini haram dilakukan, karena kemudharatan yang dihasilkan. Anjing adalah salah satu barang najis yang dilarang oleh islam seperti dalam Qs. Al-maidah:

...‫ّللَا‬ َ ْ‫ُح ِر َمت‬ ِ ‫ير َو َما أ ُ ِه هل ِلغَي ِْر ه‬ ِ ‫علَ ْي ُك ُم ا ْل َم ْيتَةُ َوال هد ُم َولَحْ ُم ا ْل ِخ ْن ِز‬

.50

51. Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, 52. Dalam kata “daging babi “ dikiaskan dengan anjing sperti, penjelasan dalam hadits dibawah ini[5]:

ُ‫س ْولُه‬ ُ ‫هللا َو َر‬ ُ ‫ع ْن َجابِ ْر رض أ َ َّن َر‬ َ َ ‫س ْو ُل هللا ص م قَا َل ِإ َّن‬ ‫صن َِام (رواه‬ ْ َ ‫َح َر َم بَ ْي َع ْالخ َْم ِر َو ْال َم ْيت َ ِة َو ْال ِخ ْن ِزي ِْر َواأل‬ )‫بخرى والمسلم‬

.53

54. Dari Jabir r.a Rasulullah Saw bersabda “Sesungguhnya Allah dan Rasulnya telah mengharamkan jual arak, bangkai, bangkai, babi, dan berhala” (H.R Muttafakun alaih) 55. Selain diharamkan jual beli anjing, rasulullah juga mengharamkan pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan melacur karena melacur/berzina merupakan perilaku yang diharamkan oleh Allah. Selain dari itu, Rasulullah juga melaknat wanita yang ditato dan juga orang yang mentato seperti dalam hadis dibawah ini :

‫س ْو َل هللا ص‬ ِ ‫َو ِفى َح ِد ْي‬ ُ ‫ نَ َهى َر‬: ‫ب َِ ْي ُج َح ْيفَ َة قَا َل‬ ِ ََ َ ‫ث أ‬ ‫ش َم ِة‬ ْ ‫ش َمةَ َو ال ُم‬ ْ ‫م ع َْن َك‬ ِ ‫ست َ ْو‬ ِ ‫ي َو لَعَ َن ا ْل َوا‬ ِ ‫س‬ ‫ب ا ْلبَ ِغ ه‬ )‫(اخرجه البخري‬ 57.

.56

Dalam hadits Abu Juhaifah, dikatakan bahwa “Rasulullah Saw, melarang pendapatan dari melacur dan melaknat wanita yang di tato dan wanita yang meminta untuk di tato pada tubuhnay.,”. (H.R Bukhari dan Abu Daud)[6]

‫ّللَا‬ َ ُ‫ي هللا‬ ِ ‫س ْو َل‬ ُ ‫ نَ َهى َر‬: ‫ع ْنهُ قَا َل‬ َ ‫َوع َْن ا َ ِب ْي ُه َر ْي َرةَ َر ِض‬ ‫اء‬ ِ ‫اْلل َم‬ ْ ‫ص م ع َْن َك‬ ِ ‫س‬ ِْ ‫ب‬ )‫(اخرجه البخري و أبو داود‬ 60. 61.

64. 65.

66.

67. 68. 69.

.59

Abu Hurairah r.a menceritakan, “Rasulullah melarang pendapatan dari budak wanita yang dipaksa tuanya untuk melacur”.[7] Dari hadis kedua diatas, Rasulullah juga melaknat dan juga mengharamkan pendapatan bagi orang yang memaksa orang lain untuk melacur. Karena hal ini merupakan tindakan dzolim dan merusak kehidupan orang lain.

َ ‫عفه‬ َ ‫عثْ َم‬ ‫ َلَ تُك َِلفٌ ْوا‬: ‫ب يَقُ ْو ُل‬ َ ‫ان ْب ِن‬ ُ ‫َو ع َْن‬ ُ ‫ان َو ُه َو يَ ْخ َط‬ َ ‫اْل َ َم َة‬ ‫س َب فَإَنه ُك ْم َمتَى َكله ْفت ُ ُم ْو َها َذا ِل َك‬ ِ ‫غ ْي َر َذا‬ ‫ت ال ه‬ ْ ‫ص ْن َع ِة ا ْل َك‬ ‫ب فَ ِإنههُ ِإ َذا لَ ْم يَ ِج ْد‬ َ ‫سبَتْ ِبفَ ْر ِج ِها َوَلَت ُ َك ِلفُ ْواا ْل‬ ْ ‫ص ِغ ْي َرا ْل َك‬ َ ‫َك‬ َ ‫س‬ ‫علَ ْي ُك ْم ِم َن ا ْل َم َطا ِع ِم َِ ِب َما َطا‬ َ ‫عفه ُك ْم هللا َو‬ َ َ ‫ق َو ِعف ْوا ِإ ْذ أ‬ َ ‫س َر‬ َ )‫ب ِم ْن َها (اخرجه مالك‬ َ 63.

.58

.62

Diriwayatkan bahwa pada suatu ketika, Utsman berkhutbah, “Janganlah kalian membebani bydak wanita yang tidak mampu bekerja untuk bekerja karena engkau memaksanya bekerja, ia akan bekerja dengan menjual dirinya. Janganlah kalian memaksa anak-anak kecil kalian sebab jika engkau memaksanya bekerja dan ia tidak bisa bekerja, ia akan mencuri. Tinggalkanlah pekerjaan yang buruk dan bersabarlah atasnya karena Allah akan memberikan jalan untuk menghindarkan diri dari yang haram dan buruk dengan kekayaan. Dan hendaklah kalian mencari sesuap nasi (pangan) dengan jalan yang halal”. (H.R Malik) Jual beli menurut bahasa berarti Al-ba’i, Al-tijarah dan Al-mubadalah, sebagaimana Allah SWT berfirman dalam QS.Al fatir: 29 yang artinya mereka mengharapkan tijarah (perdagangan) yang tidak akan rugi. Menurut istilah yang dimaksud dengan jual beli ialah menukar barang dengan barang, atau menukar barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lainya. Jual beli menurut ulama Malikiyah ada 2 macam yaitu jual beli yang bersifat umum dan jual beli yang bersifat khusus. Jual beli dalam arti umum ialah suatu peroikatan tukar menukar sesuatu yang bukan pemanfaatan yang kenikmatan. Perikatan adalah akad yang mengikat dua belah pihak. Sedangkan tukar menukar yaitu salah satu pihak menyerahkan ganti penukaran atas sesuatu yang ditukarkan oleh pihak lain. Jual beli dalam arti khusus ialah ikatan tukar menukar sesuatu yang bukan kemanfaatan dan bukan pula kelezatan yang mempunyai daya tarik.[8] Dalam jual beli itu terdapat rukunnya, yaitu: [9] 1. Penjual dan pembeli - Berakal ُ ‫ار ُزقُو‬ )5 :‫ (النساء‬...‫ه ْم فِي َها‬ ُّ ‫ َوال تُؤْ تُوا ال‬.70 َّ ‫سفَ َها َء أ َ ْم َوالَ ُك ُم الَّتِي َج َع َل‬ ْ ‫ّللاُ لَ ُك ْم قِ َيا ًما َو‬

71.

72. 73. 74. 75.

“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.Berilah mereka belanja...” - Kehendak sendiri atau tanpa paksaan - Tidak mubazir - Baligh 2. Uang dan benda yang dibeli

76. 77. -

Suci ada manfaatnya

78. 79. -

barang itu dapat diserahkan (barangnya nyata) barang tersebut benar-benar milik sipenjual

)‫آلَبَ ْي َع ِإالَّفِ ْي َما يُ ْملَ َك (رواه ابوداودوالترمدى‬

.80

81. 82. “Tidak sah jual beli kecuali barang yang dimiliki sendiri”. (H.R Abu Dawud dan Tirmidzi) 83. 84. 3.

lapadz ijab qabul

)‫ (رواه إبن حبان‬.‫اض‬ ٍ ‫ِإنه َما ا ْلبَ ْي َع ع َْن ت َ َر‬

.85

86. “Sesungguhnya jual beli itu hanya sah jika saling suka”. (H.R Ibnu Hibban) 87. 88. c.

Aplikasi dalam kehidupan

89. Di zaman sekarang ini banyak kita temui hal yang haram, namun dianggap halal karena sudah menjadi kebiasaan. Janganlah campur adukan hal yang halal dengan yang haram. Seperti contohnya, kita menjual anjing untuk mendapatkan uang yang akan digunakan untuk kelangsungan hidup atau kegiatan amal yang lain. Maka, walaupun alasannya untuk menafkahi keluarga, seberapa mepetnya pun, dalam pandangan Islam tetap dianggap haram, walaupun hasilnya akan digunakan untuk sesuatu yang baik secara agama. 90. 91.

B. Riba

‫ّللَا صلى‬ ِ ‫سو ُل َ ه‬ ُ ‫ ( لَعَ َن َر‬:‫ع َْن َجا ِب ٍر رضي هللا عنه قَا َل‬ ,‫ َوشَا ِه َد ْي ِه‬,ُ‫ َوكَاتِبَه‬,ُ‫ َو ُمو ِكلَه‬,‫هللا عليه وسلم آ ِك َل ا َ ِلربَا‬ ‫س ِل ٌم َو ِل ْلبُ َخ ِاري ِ نَحْ ُوهُ ِم ْن‬ ْ ‫س َوا ٌء ) َر َواهُ ُم‬ َ ‫ ُه ْم‬:‫َوقَا َل‬ ‫ث أَ ِبي ُج َح ْيفَة‬ ِ ‫َح ِدي‬ 93. a.

.92

Terjemah

94. Jabir Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melaknat pemakan riba, pemberi makan riba, penulisnya, sama." (Hadits Riwayat Muslim).

dan

dua

orang

saksinya. Beliau

bersabda:

"Mereka

‫سعُو ٍد رضي هللا عنه ع َْن اَلنه ِبي ِ صلى‬ َ ‫َوع َْن‬ ِ ‫ع ْب ِد َ ه‬ ْ ‫ّللَا ْب ِن َم‬ َ ُ‫س ْبع‬ ‫س ُر َها‬ َ ‫ون بَابًا أ َ ْي‬ َ ‫ ( ا َ ِلربَا ث َ ََلثَةٌ َو‬:‫هللا عليه وسلم قَا َل‬

.95

itu

‫لر ُج ِل‬ ُ ‫ َو ِإ هن أ َ ْربَى ا َ ِلربَا ِع ْر‬,ُ‫لر ُج ُل أ ُ همه‬ ‫ض اَ ه‬ ‫ِمثْ ُل أ َ ْن يَ ْن ِك َح ا َ ه‬ ‫ام ِه‬ َ َ ‫س ِل ِم ) َر َواهُ اِ ْب ُن َما َج ْه ُم ْخت‬ ْ ‫ا َ ْل ُم‬ ِ ‫ َوا ْل َحا ِك ُم بِتَ َم‬,ً‫صرا‬ ُ‫ص هح َحه‬ َ ‫َو‬ 96. Dari Abdullah Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Riba itu mempunyai 73 pintu, yang paling ringan ialah seperti seorang laki-laki menikahi ibunya dan riba yang paling berat ialah merusak kehormatan seorang muslim." (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan ringkas dan Hakim dengan lengkap, dan menurutnya hadits itu shahih).

a. Penjelasan dan analisis : 98. Riba menurut bahasa arab ialah lebih (bertambah). Adapun yang dimaksud disini istilah syara’ adalah akad yang terjadi dengan penukaran yang tertentu, tidak diketahui sama atau terlambat menerimanya. Beberapa macam riba: 99. Riba Fadli (menukarkan dua barang yang sejenis dengan yang tidak sama) 100. Riba qardi (utang dengan syarat ada keuntungan bagi yang memberi utang) 101. Riba yad (berpisah dari tempat akad sebelum timbang terima) 102. Riba nasa’ (disyaratkan salah satu dari kedua berang yang dipertukarkan ditangguhkan penyerahannya)[10] 103. Hukum dari memakan riba itu sendiri adalah haram dan Allah melaknat orang yang memakan riba beserta orang yang menjadi saksi dalam pelaksanaannya. 104. Dalam pembahasan kita kali ini adalah riba fadli. Riba fadhli atau Riba Fadhal ialah berlebihan salah satu dari dua pertukaran yang diperjualbelikan. Bila yang diperjualbelikan sejenis, berlebih timbangan nya pada barang-barang yang ditimbang, berlebih takarannya pada barang-barang yang ditakar, dan berlebih ukurannya pada barang-barang yang diukur.[11] 97.

‫ّللَا‬ ِ ‫سو َل َ ه‬ َ ‫َوع َْن أ َ ِبي‬ ُ ‫س ِعي ٍد ا َ ْل ُخ ْد ِري ِ رضي هللا عنه أ َ هن َر‬ ‫ب ِإ هَل‬ َ ‫ ( ََل ت َ ِبيعُوا اَلذه َه‬:‫صلى هللا عليه وسلم قَا َل‬ ِ ‫ب ِبالذه َه‬ َ ‫شفوا بَ ْع‬ ‫ َو ََل تَ ِبيعُوا‬,‫ض‬ َ ‫ض َها‬ ِ ُ ‫ َو ََل ت‬,‫ِمثْ ًَل ِب ِمثْ ٍل‬ ٍ ‫علَى بَ ْع‬ َ ‫شفوا بَ ْع‬ ‫علَى‬ َ ‫ض َها‬ َ ‫ا َ ْل َو ِر‬ ِ ُ ‫ َو ََل ت‬,‫ق ِإ هَل ِمثْ ًَل ِب ِمثْ ٍل‬ ِ ‫ق ِبا ْل َو ِر‬ َ ‫ َو ََل ت َ ِبيعُوا ِم ْن َها‬,‫ض‬ ‫علَ ْي ِه‬ َ ‫ق‬ ٌ َ‫اج ٍز ) ُمتهف‬ ٍ ‫بَ ْع‬ ِ َ‫غا ِئبا ً ِبن‬

.105

106. Dari Abu Said Al-Khudry Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Janganlah menjual emas dengan emas kecuali yang sama sebanding dan jangan menambah sebagian atas yang lain; janganlah menjual perak dengan perak kecuali yang sama sebanding dan jangan menambah sebagian atas yang lain, dan janganlah menjual perak yang tidak tampak dengan yang tampak." Muttafaq Alaihi.

‫سو ُل‬ ُ ‫َوع َْن‬ ِ ‫ام‬ ‫عبَا َدةَ ْب ِن اَل ه‬ ِ ‫ص‬ ُ ‫ قَا َل َر‬:‫ت رضي هللا عنه قَا َل‬ ُ ‫ضة‬ ‫ َوا ْل ِف ه‬,‫ب‬ ِ‫َ ه‬ ُ ‫ّللَا صلى هللا عليه وسلم ( اَلذه َه‬ ِ ‫ب ِبالذه َه‬

.107

‫ِبا ْل ِف ه‬ ,‫ َوالت ه ْم ُر ِبالت ه ْم ِر‬,‫ش ِع ِير‬ ‫ير ِبال ه‬ ‫ َوال ه‬,‫ َوا ْلبُر ِبا ْلبُ ِر‬,‫ض ِة‬ ُ ‫ش ِع‬ ‫ فَ ِإ َذا‬,ٍ‫ يَدًا بِيَد‬,‫اء‬ ٍ ‫س َو‬ َ ِ‫س َوا ًء ب‬ َ ,‫ ِمثْ ًَل بِ ِمثْ ٍل‬,ِ‫َوا ْل ِم ْل ُح بِا ْل ِم ْلح‬ َ ‫شئْت ُ ْم ِإ َذا ك‬ ‫َان يَدًا ِبيَ ٍد‬ ْ َ ‫ا ِْختَلَفَتْ َه ِذ ِه ا َ ْْل‬ ِ ‫ف‬ َ ‫اف فَ ِبيعُوا َك ْي‬ ُ َ‫صن‬ ‫س ِل ٌم‬ ْ ‫) َر َواهُ ُم‬ 108. Dari Ubadah al-Shomit bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "(Diperbolehkan menjual) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya'ir dengan sya'ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, sama sebanding, sejenis, dan ada serah terima." Riwayat Muslim. 109. Dari

kedua hadis diatas, menjelaskan bahwa kita tidak boleh menukar barang yang sejenis tapi kadarnya berbeda. Seperti menukar emas 24 karat sebanyak 2 gram dengan emas 19 karat sebanyak 3 gram. Hal ini termasuk dalam riba, karena dalam hadis kedua disebutkan syarat-syarat menukar barang yang sejenis itu yaitu : 110. 1. Barang yang ditukar itu sama sebanding; 111. 2. Barang yang ditukar itu sejenis; 112. 3. Ada serah terima. 113. Ada sebuah hal yang logis kenapa Rasulullah melarang riba semacam ini, karena pastinya ada pihak yang dirugikan atau terdzolimi. Inilah salah satu cara Islam melindungi umatnya. 114. b. Aplikasi dalam kehidupan 115. Aplikasi dalam riba dalam kehidupan bisa dicontohkan kepada oknum tukang kerdit/rentenir yang menggandakan hasil dari penjualan barang sehingga harga barang yang ditawarkan melebihi dari harga barang yang ditawarkan, Contohnya: harga baju 50.000 tapi ketika dicicil selama satu bulan perminggunya 15.000 sehingga total dari keseluruhan 75.000 jadi lebihnya 25.000 maka itu bisa disebut riba. 116. Jadi pesan moral dari contoh kasus diatas sebagai pengaplikasian dalam kehidupan kita sehari-hari adalah bahwa riba itu bukan hanya dalam kasus kredit saja, tetapi sistim bunga dalam bank juga termasuk riba, jadi jika kita menggunakan jasa bank konvensional maka kita jangan mengambil bunganya, lebih baik lagi jika kita menggunakan jasa bank syari’ah yang jelas tidak terdapat sistem bunga sehingga tidak meresahkan. 117. 118. b. 119. 1)

Utang-piutang Menunda Pembayaran Utang

‫س ْو َل أ‬ ُ ‫ قَأ َل ر‬: ‫ع ْنهُ قَأ َل‬ َ ُ‫ى أ هلل‬ َ ِ ‫ع ْن أَبِ ْى ُه َر ي َْر ة َ َر‬ َ ‫ض‬ ْ ( ‫سلَّ ْم‬ ُ ‫ى‬ ‫ظ ْل ٌم َو إ َذ ا ا ُ تْبِ َع‬ َ ‫ى أ هللُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ُ‫أهلل‬ ِّ ِ ِ‫َمط ُل ا ْلغَن‬ َ ِّ‫صل‬ ‫لى َم ِلئ فَ ْليَت َّ ِب ْع) متفق عليه‬ ‫ع‬ َ ‫ا َ َح َد ُك ْم‬ َ a. Terjemah

.120

121.

122. “Dari

Abu Hurairah ra, ia berkata: “Bersabda Rasulullah Saw:”barang siapa yang menunda-nunda hutang, padahal ia mampu membayarnya, maka itu adalah suatu penganiayaan. Dan barang siapa seseorang diantara kamu memindahkan pembayaran hutangnya kepada orang lain, maka terimalah.” (Hadits disepakati Imam Bukhari dan Muslim)

123. b.

Penjelasan dan Analisis 124. Dalam penjelasan hadits ini menjelaskan bahwa orang yang menunda- nunda hutang tapi ia mampu untuk membayarnya maka orang tersebut sama saja dengan melakukan pengniayaan terhadap orang lain . Oleh karena itu, kita harus langsung dalam membayar hutang. Kecuali jika ia menindahkan pembayaran hutang kepada orang lain yang berhutang kepadanya atau dalam istilah muamalah disebut Hiwalah. Maka hukumnya boleh. Seperti menurut Imam Malik orang yang menghiwalahkan hutang kepada orang lain, kemudian muhal alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia dan ia belum membayar kewajiban, maka muhal tidak boleh kembali kepada muhil. Sedangkan menurut Abu Hanifah, Syarih dan Utsman berpendapat bahwa dalam keadaan muhal alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia maka orang yang menghutamngkan kembali klagi kepada muhil untuk menagihnya[12]. 125. Sementara itu syarat-syarat hiwalah menurut Syaid Sabiq sebagai berikut[13]: 126. 1. Relanya pihak muhil dan muhal tanpa muhal alaih, jadi yang harus rela itu muhil dan muhal alaih. Bagi muhal alaih rela atau tidak rela tidak akan mempengaruhi kesalahan hiwalah. 127. 2. Samanya kedua hak baik jenis maupun kadarnya, penyelesaiannya, jangka waktu, kualitas dan kuantitasnya. 128. 3. Stabilnya muhal alaih, maka penghiwalahan kepada seorang yang tidak mampu membayar hutang adalah batal 129. 4. Hak tersebut diketahui secara jelas.

‫ع ْنهُ قَا َل (ت ُ ُو ِفِّى َر ٌج ُل ِمنَّا‬ َ ‫ى ا هلل‬ َ ‫َو‬ ِ ‫ع ْن َجا ِبر َر‬ َ ‫ض‬ ْ َّ‫س ْلنَا هٌ َو َحن‬ ِ ‫س ْو َل ا‬ ‫صلَّى‬ َّ َ‫فَغ‬ ٌ ‫طنا َ هٌ َو َكفَّنَّا هٌ ث ٌ َّم ا ِّ ت َ ْينَا ِب ِه َر‬ َ ‫هلل‬ ًّ ‫طا ٌخ‬ َ ‫علَ ْي ِه ؟ فَ َخ‬ : ‫طا ث ٌ َّم قَا َل‬ َ ‫ى‬ َ ٌ‫هللا‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ٌ ‫ ت‬: ‫سلَّ ْم فَقٌ ْلنَا‬ ِّ ِ ‫صل‬ ‫ف فَت َ َح َّملَ ٌه َما أَب ٌْو‬ َ َ‫أ‬ َ ‫علَ ْي ِه َد ي ُْن ؟ فَقٌ ْلنَا ِد ْينَا َر ا ِن ِِ فَا ْن‬ َ ‫ص َر‬ ُ ‫ي فَقَا َل َر‬ َ ‫ان‬ َ ‫قَتَا َدة َ فَأ َ ت َ ْينَاهُ فَقَا َل أَب ٌْوا قَتَا َدة َ ال ِ ِّد ْين‬ ُ‫س ْو َل هللا‬ ِ ‫َار‬ َّ َ‫عل‬ ُ ‫ئ ِم ْن ُه َما ْال َمي‬ ‫ْت؟‬ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ِ ‫سلَّ ْم ( َح َّق ا ْلغ َِري ِْم ِوبَ َر‬ )‫علَ ْي ِه‬ َ ‫ص ِلِّى‬ َ َ‫ ف‬,‫قَا َل نَعَ ْم‬ “ Dari Jabir ra. Ia berkata : “ Telah wafat diantara kami. Lalu kami memandikannya, .130

131.

mewangikannya, mengkafaninya. Kemudian kami hadapkan kepada Rasulullah Saw. Sambil kami berkata “shalat lah ia (Ya Rosulallah), lalu beliau melangkah beberapa langkah, dan bersabda: “ Apakah mayat ini punya tanggungan hutang? “Ya, hanya dua dinar, “lalu beliau berpaling. Kemudian Abu Qotadah menanggung hutang dua dinar itu, lalu kami haturkan lagi kepada beliau. Maka Qotadah berkata: “dua dinar itu akulah yang menanggungnya (Ya Rosulallah)” maka Rasulullah bersabda: kamu lah yang berhak menanggung hutang si mayat itu dan ia telah terbebas dari hutangnya.” Jawab Abu Qotadah: “Ya”. Kemudian Rosulullah Saw, mensolatinya.” (HR. Imam Ahmad, Abu Daud dan Nasai).

132. Hadits

diatas menjelaskan bahwa tanggungan hutang seseorang boleh ditanggung terlebih dahulu oleh orang yang ikhlas menanggungnya. Biasanya dalam penaganan terhadap hutang piutang dilakukan oleh pihak keluarga sebelum harta warisnya dibagikan, apabila yang mempunyai hutang tidak bisa membayar maka yang bertanggung jawab adalah pihak keluarga, dan apabila pihak keluarga tidak bisa menanggungg utang- piutangnya bisa oleh kerabatnya, maka apabila kerabatnya tidak bisa pula maka adalah orang yang ikhlas menaggungnya. 133. c. Aplikasi dalam kehidupan 134. Dalam kasus ini bisa diterapkan pada seseorang yang berhutang kewarung secara kecilkecilan sehingga menjadi sebuah total hutang yang menumpuk dari jumlah keseluruhan. Hingga orang yang berhutang ksusahan dalam membayarnya, hal itu tidak menjadi masalah jika ia ingat terhadap hutang tersebut, tapi jika maka hal tersebut bisa menjadi tanggungan orang yang berhutang, dan kewajiban orang yang di hutangi harap mengingatkan kepada orang yang berhutang. 135. Pesan moral dari hal tersebut sebaiknya kita jangan menunda-nunda terhadap pembayaran hutang, karena mungkin orang yang di hutangi itu membutuhkan uang, tapi malu untuk menagihnya, yang akhirnya dia merasa resah dan timbul ketakutan bahwa orang yang berhutang itu tidak membayarnya. Karena rasa keresahan dan ketakutan itu mungkin orang tersebut akan membicarakannya dengan orang lain dan menimbulkan ghibah yang akhirnya orang yang berhutang itu tidak akan dipercaya lagi 136. Kepercayaan itu sangatlah penting, dengan kepercayaan rasa cemas, ktakutan dan keresahan akan hilang. Akan tetapi tanggung jawab dari kepercayaan itu juga sangat penting agar tidak berimplikasi negatif. 137. 138. 2)

Memberi Tempo Pembayaran Hutang

‫ع ْنهُ َكانَ فِى ِظ ِِّل ْالعَ ْر ِش يَ ْو َم‬ َ ‫ع ْن غ َِري ِْم ِه أ َ ْو َم َحا‬ َ ‫س‬ َ َّ‫َم ْن نَف‬ )‫ْال ِقيَا َم ِة (رواه مسلم‬ a. Terjemah

.139

140.

141. “Barang

siapa memberi kelonggaran waktu pembayaran kepada orang yang berhutang ataun menghapuskannya hutang itu maka ia akan berada dalam naungan Arshy (kursi kerajaan) Allah pada hari kiamat.” (HR.Muslim) 142. b. Penjelasan dan Analisis 143. Artinya: tidak ada seseorang hamba yang mempunyai niat untuk melunasi hutangnya, melainkan dia akan dapat pertolongan dari allah.[14] 144. Kata aisyah saya mencari pertolongan allah itu. Menurut saya sudah jelas pula sebuah hadits itu: seseungguhnya akan diampuni orangyang mati syahid itu semua dosanya dan selain uatagnya:dalam hadits lain” sekarang sudah dingin kulitnya” rosullah bersabda demikian itu kepada orang yang melunasi utang orang mati dalam kaadaan menaggug bebat hutang. 145. Menurut saya(Sha saha’ain) : mungkin bahwa makna tidak akan diampuni orang utang yang mati syahid itu bahwa dia tetap menaggung utang itu sehingga allah melunasi uangya itu pada hari kiamat kelak, dan tidak mesti dia disiksa dialam kburnya karena amsih dada tanggunggan utang itu. Dan makna sabdanya”sudah dingi kulitnya” bahwa ia selamat dari

siksa akibat masih ada utangnya. Dan mungkin maksudnay ialah.bagi oarng- orang yang berhutang dan tidak ada niat untuk meluasi hutangnya itu. 146. c. Aplikasi dalam kehidupan 147. Selayaknya manusia kita harus saling tolong menolong, dalam hal ini yang dimaksudkan saling menolong adalah saling menolong terhadap kelonggaran dalam tempo pelunasan hutang, maka berilah kesempatan pada orang lain untuk memberikan jangka waktu atau tempo dalam pelunasan hutang tersebut. Agar orang yang berhutang itu tidak merasa terbebani. Namun jika orang yang berhutang itu tidak mampu juga untuk melunasi hutangnya alangkah baiknya bagi kita untuk mengikhlaskanya untuk mendapatr ridha Allah. 148. Jadi pesan moral dari hadits tersebut bahwa jangka waktu dalam pelunasan hutang itu sangat penting, oleh karena itu butuh keikhlasan dan kesabaran dalam menanganinya. Tapi jika kita yang berhutang janganlah menganggap kesabaran dan keikhlasan itu sebagai kelonggaran sehingga kita lalai akan membayarnya. Dalam islam, Allah tidak memberatkan hambaNya. 149. 150. 151. BAB

III 152. PENUTUP 153. A.

Kesimpulan 154. Dalam makalah ini telah dijelaskan bahwa Allah dan Rasulullah telah mengatur aturan muamalah yang terbaik bagi manusia. Seperti Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Jual beli adalah menukar barang dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan. Sedangkan riba adalah akad yang terjadi atas penukaran barang tertentu yang tidak diketahui perimbangannya menurut ukuran syara, ketika berakad atau dengan mengakhirkan tukaran kedua belah pihak atau salah satu keduanya. Dalam kehidupan sekarang, perilaku riba menjadi sesuatu yang sudah merebak dimana-mana dan dianggap hal yang biasa. Untuk itu perlu ada sebuah tindakan penyadaran akan perilaku tersebut adalah salah. 155. Selain dari prilaku riba, dalam bermuamalah juga kita kenal dengan adanya istilah hutang. Hutang adalah menyerahkan harta dan benda kepada seseorang dengan catatan akan dikembalikan pada waktu kemudian. Misalnya, hutang Rp. 1000.000 maka kemudian melunasinya Rp. 1000.000 tanpa ada tambahan dalam pelunasannya dan dikembalikan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. 156. Kehalalan adalah hal yang utama dalam bermuamalah, oleh karena itu kita harus bermuamalah dengan baik, maksudnya bermuamalah sesuai kaidah islam, agar kita mendapat ridha Allah dan selamat di dunia dan akhirat. 157. B. Kritik dan saran 158. Pembahasan dalam makalah ini kami ambil dari berbagai buku sumber referensi. Setelah pembaca membaca makalah ini, kami berharap pembaca menemukan berbagai kekurangan sehingga pembaca berkeinginan untuk lebih mendalami tentang materi yang kami bahas ini. ُّ ‫جالَنِ َف ُك‬ ُ ‫ع ال َّر‬ ْ ‫َع‬ َ َ‫ “إِ َذ ْا تَبَاي‬: ‫ عن رسول هلل صلىاهلل عليه وسلم أنه قال‬,‫م َر رضىاهلل عنهما‬ ِ ‫ن َع ْب ِد‬ َ ‫هللا بن ُع‬ 159. 1 ‫ح ٍد ِم ْن ُهمَا‬ ِ ‫ل و َْا‬ ْ ِ‫ب‬ ُ ‫ح ُد‬ ُ ‫ح ُد‬ ْ َ‫َار مَال‬ َ ‫همَا اآل‬ َ ‫ َفا ِْن‬: ‫َ قال‬,‫خر‬ َ ‫همَا اآل‬ َ ‫ أَ ْو ُي‬,‫م ْي ًعا‬ َ َ‫خيَّ َر أ‬ َ َ‫خ ِي ُر أ‬ َ ‫م يَ َت َف َّر َق ْا َو َكانَا‬ ‫ َف َق ْد َوجَبَ البَ ْي ُع‬,َ‫ َف َتبَايَ َعا َعلَى َذلِك‬,َ‫خر‬ ‫ي‬ ‫خ‬ ‫ال‬ ِ ‫ج‬ ِ ِ ‫ حديث حكيم بن حزام وهو‬: ‫ وما فى معناه‬.‫ رواه الجماعة إال أباداود والترمذى‬:

Dari Abdillah bin ‘Umar ra ……………: Bila dua orang mengadakan perjanjian jual beli maka masing-masing boleh menentukan pilihannya selama mereka belum berpisah, atau salah seorang dari mereka menentukan sikap, Nabi saw bersabda : Apabila salah seoramg dari dua belah pihak sudah menentukan pilihannya atau ketentuannya , kemudian mereka melakukannya sesuai pilihan itu, berarti jual-belinya jadi. HR Jama’ah . ْ َ‫َار مَال‬ َ ‫ص َد َقا وَبيَّنَا ُب ْو ِر‬ َ ‫ح َّتى يَ َت َف َّر َقا – َفإِ ْن‬ َ : ‫م يَ َت َف َّر َقا – أو قال‬ 160. 2 ‫ك لَ ُهمَا‬ ِ ‫ قال رسول هلل صلىاهلل عليه وسلم “البَيِ َعانِ بِال‬: ‫قال‬ ِ ‫خي‬ َّ ُ َ َ َ ْ ْ َ ُ ْ َ َ َ َ َ ‫ِهمَا” رواه الجماعة إال ابن ماجه‬ ‫ع‬ ‫ب‬ ‫ي‬ ‫ة‬ ‫ك‬ ‫ر‬ ‫ب‬ ‫ت‬ ‫ِق‬ ‫ح‬ ‫م‬ ‫َا‬ ‫ب‬ ‫ذ‬ ‫ك‬ ‫و‬ ‫َا‬ ‫م‬ ‫ت‬ ‫ك‬ ‫ِن‬ ‫ا‬ ‫و‬ ,‫َا‬ ‫م‬ ‫ِه‬ ‫ع‬ ‫ي‬ َ ِ ِ ْ َ‫فِى ب‬. …………dua pihak orang yang berjual-beli boleh melakukan khiyar selama mereka belum saling meninggalkan –( (atau) sehingga mereka saling berpisah), apabila mereka saling membenarkan atau dan sama-sama jelas maka merekan mendapat berkah, apabila mereka saling menyembunyikan (saling merahasiakan) dan saling bohong maka hapuslah keberkahannya, HR Jama’ah. 161. Penjelasan Rasulullah saw menganjurkan kepada umatnya dalam melakukan transaksi agar berhati-hati , supaya dalam berjual-beli mendapat suatu kepastian , baik penjual maupun pembeli sama-sama relanya karena barang yang diperjual belikan sudah jelas tisak ada yang disamarkan/diragukan lagi, pembeli pun tidak merasa terbujuk . Rasulullah pun menganjurkan agar dua belah pihak mendapat nasihat dari orang lain atau informasi dari yang lain tentang harga, demikian juga tentang benda yang diperjual belikan tidak ada cacad, sehingga hasilnya mendapat berkah, sebagaimana disabdakan oleh Nabi saw َ ِ‫مالَئ‬ ْ ‫م تَز‬ ْ َ‫هللا وَل‬ ْ ‫م يَز‬ ْ َ‫م ُيبَيِ ْن ُه ل‬ ْ َ‫ع َع ْيبًا ل‬ ْ ‫م‬ ِ ‫ت‬ َ ‫َن ب َْا‬ َ ‫َل ْال‬ 162. ‫ك ُة تَ ْل َع ُن ُه‬ ِ ‫َل فِى م َْق‬ 163. Barang siapa menjual barang ada cacadnya dan si penjual tidak mmau memberitahukan cacadnya , maka selamanya ada dalam murka Allah , dan malaikat pun selalu melaknatnya. 164. Buyu’: jamakdari bai’ yaitu tukar menukar sesuatu, dan jual beli menurut istilah adalah tukar menukar harta dengan harta dengan saling rela. Khiyar : tuntutan salah satu dari dua pihak dalam satu urusan agar akad itu jadi atau akad itu tidak jadi. Ma lam yatafarroqo : Waktu yang digunakan untuk mengadalah tawar menawar di suatu majlis , batasnya sampai mereka terjadi berpisah , bila terjadi berpisah selesailah , urusannya , mungkin selesai itu jadi akadnya atau selesai itu tidak jadi akadnya. Atau salah satunya menjanjikan dengan tenggang waktu yang ditentukan dengan ditanggapi positip. Kalau ditanggapi positip berarti akad jual belinya jadi dan kalau ditanggapi negatip berarti akad jual belinya tidak jadi. 165. Kesimpulan: 1. Ditetapkannya khiyar majlis dalam berjual-beli bagi dua orang yang sedang ber akad.Salah satunya boleh membatalkan selama masih dalam berakad. Menurut Al Syafi’I dan Ahmad dalam mengartikan berpisah adalah apabila mereka sudah saling menjauh (berpisah secara fisik) , tetapi menurut Malik dan Hanafi berpisah diartikan berpisah pembicaraannya. 2. Ditetapkannya khiyar Syarat , bagi dua orang yang sedang melakukan jual beli dalam tenggang waktu yang ditentukan mereka. 3 Wajib menashihati seorang muslim . 4 Kelebihan /keutamaan shidik (benar/jujur) dan dorongan untuk melakukan sshidik 5. Shidik dan nasihat dua-duanya menambah kenikmatan dan menjadikan berkah dalam berusaha / kasab yang halal. 6 Diharamkannya membujuk dan membuat barang yang diaduk yang baik dengan yang buruk sampai pembelinya tidak tahu. 7. Mencaci perbuatan bohong dan mendorong untuk menjauhinya perbuatan itu , kar ena perbuatan bohong tidak menjadikan barokah 8 Segala amal yang shalih adalah yang wajib diusahakan kaum muslimin untuk kebahagiaan manusia didunia maupun di akhirat kelak 166. Perawi haditas. Hadits ini diriwayatkan oleh Hakim bin Hizam bi Huwaelid Al Asdi , yaitu Abu Khalid bin saudara Hadijah , beliau masuk Islam dikala Makkah dikalahkan Rasulullan saw (yaumul fath) , Baliau pernah oleh Nabi diberi 100 ekor unta hasil ganimah perang Hunaen, Beliau dilahirkan di dalam Ka’bah 13 tahun sebelum terjadi serangan Ka’bah oleh Abrahah , hidup dimasa jahiliyah sebelum Islam, 60 tahun, dan setelah Islam 60 tahun, Beliau seorang yang suka memberi sesuatu kepada orang yang butuh (jawwad) dan seorang yang mulia (kariim) , pernah memerdekakan 100 orang hamba sahaya dan mensodakohkan 100 unta dimasa jahiliyah , beliau berhaji dengan membawa 100 unta ,berwuquf di ‘Arofah dengan membawa 100 unta yang membawa uang perak, yang dituliskan ‘Ataqoullah dari Hakim bin Hizam , dan menghadiahkan 100 kambing, Wafat di Madinah tahun 54 H. 167. Evaluasi :1. Jelaskan jual beli khiyat. 2. Jelaskan pendapat para Madhab dalam menafsirkan ayat Qur’an dan hadits tentang bai’ . 3. Ada berapa macam khiyar dlm hadits . 4.Apa bedanya khiyar majlis dan khiyar syarat.

ُ ‫ى طَ ْر‬ ُ ‫ح ال َّر‬ ُ ‫ن ال‬ 168. 3 ِ‫ل ثَ ْوبَ ُه بِالبَ ْيع‬ ِ ‫ َو‬,ِ‫منَابَ َذة‬ َ ‫ه‬ ِ ‫ج‬ ِ ‫ “أن النبى صلىاهلل عليه وسلم نَهَى َع‬,‫عن أبى سعيد الخدرى رضىاهلل عنه‬ َ َ َ ‫جل َق ْب‬ ُ َّ ‫ل‬ ُ ‫س ال َّر‬ ُ ‫م‬ ُ ‫ وَال‬. ‫ة‬ ْ َ‫ ل‬: ‫َس ُة‬ َ ‫مالَم‬ َ ‫ن الُمالَم‬ ‫ رواه الجماعة‬.ِ‫الث ْوبَ ال َ يَ ْنظُ ُر إِلَ ْيه‬ ِ ‫َس‬ ِ ‫ج‬ ِ ‫ َونَهَى َع‬,ِ‫ أ ْو يَ ْنظ ُر ِإلَ ْيه‬,‫ل أ ْن ي َْق ِبلَ ُه‬ ِ ُ ‫إِلَى ال َّر‬ ‫إال الترمذى وابن ماجه‬. Dari Abi Sa’id ra Bahwa Nabi saw melarang jual beli munabadzah (menjual dengan cara si penjual melemparkan kainkearah pembeli, yang kena oleh kain itu harus dibayar) , (atau si pembeli melihat jatuhnya kain maka sipembeli wajib membayar barang itu) , dan melarang jual beli dengan cara mulamasah (caranya ialah si calon pembeli menyentuh barang yang akan dibeli , maka wajib barang itu dibeli ) . HR Jama’ah . 169. Penjelasan Dimasa jahiliyah orang-orang berjual beli menggunakan cara yang haram, yang bersifat membujuk,mengkesasarkan,dan mengambil harta dengan cara batal, serta bukan haknya, Rasulullah melarang sistim jual beli yang seperti itu, seperti menjual benda dengan cara mana saja yang tersentuk kain wajib dibayar, mana saja benda yang terkena lemparan baru kerikil wajib dibayar, mana saja benda itu tersentuk tangan calon pembeli wajib dibayar. 170. Kesimpulan : jual beli yang haram adalah seperti : Mulamasah , Munabadzah, Goror. ْ ‫ “الَتَلَ َّق‬: ‫ أن رسول هلل صلىاهلل عليه وسلم قال‬: ‫عن أبى هريرة رضىاهلل عنه‬ ُّ ‫وا‬ ُ ‫ َوال َ يَ ِب ْي ُع ب َْع‬,‫َان‬ َ ‫الر ْكب‬ ْ ‫ض ُك‬ 171. 4 ‫ض‬ ِ ‫م َعلَى بَ ْي‬ ٍ ‫ع ب َْع‬ ْ ‫ َوالَتَص ُِّر‬,‫ض ٌر لِبَا ٍد‬ ْ ‫َش‬ َ َ ‫س‬ ُ ‫وَال تَناج‬ ْ ‫ ب َْع َد أَ ْن ي‬,‫ن‬ ْ ْ ‫ َوم‬,َ‫ل وَال َغ َنم‬ َ َ ِ‫َن ِا ْبتَا َعهَا َف ُه َو ب‬ َ ‫ضيَهَا أَ ْم‬ َ ِ‫إلب‬ ,‫كهَا‬ ‫ي‬ ‫ر‬ ‫ظ‬ ‫ن‬ ‫خ ْي ِر‬ ِ ‫ ِإ ْن َر‬, ‫َحلُبَهَا‬ َ ِ ‫ َوال َ يَ ِبي ُع حَا‬, ‫وا‬ ِ ‫وا ا‬ ِ ُ ‫ “ َو‬: ‫ظ‬ ً ‫ها َوص‬ ْ ‫َاعا م‬ َ ‫سخِطَهَا َر َّد‬ َ ‫وَإِ ْن‬ ‫َار ثَالَثًا” متفق عليه‬ ِ ‫ه َو بِال‬ ٍ ‫ َوفِى لَ ْف‬.”‫ِن تَم ٍَر‬ ِ ‫خي‬ 172. ………….Bahwa Rasulullah saw bersabda : Kalian jangan menjemput orang-orang yang membawa barang dasgangannya menuju pasar, jangan kalian menjual barang dagangan orang lain, janganlah kalian membuat barang dagangan yang barang baik diaduk (dicampuri) dengan barang jelek, jangan menjual orang penduduk kepada orang pendatang dari pelosok, jangan mencampur adukkan antara kambing dengan unta, barang siapa akan membeli hendaknya dilihat barangnya dulu dengan sebaik baiknya setelah hewan itu diambil air susunya, apakah rela atau tidak, bila rela silah kan bila tidak rela agar dikembalikan dengan ditambah satu sho’ tamar, Dalam hadits lain berbunyi harus dengan cara memilih sendiri. HR Muttafaq ‘alaih . 173. Penjelasan. Rasulullah saw sangan menantikan, sangan mengharapkan rasa mahabbah (kasih sa yang) anatara orangorang yang melakukan jual-beli.Dan sangat berhati-hati menjaga agar tidak terjadi saling jengkel, saling menyakiti, antara penjual dan pembeli. Rasu lullah melarang sahabat mencegat dagangan yang sedang dibawa dari kampung menuju pasar karena belum tahu berapa harga dipasar, Rasulullah saw juga melarang mengikat kambing perahan atau unta perahan untuk supaya kelihatan air susunya banyak, padahal air susunya sebenarnya sudah diperah lebih dulu. Bila terjadi seperti itu maka pembeli akan merasa tertipu oleh penjual. 174. Kesimpulan : 175. 1.Larangan mencegat dagangan yang akan dibawa kepasar , karena dengan dicegat menjadi tidak tahu harga pasar. Yang demikian kadang-kadang terjadi penyesalan bagi sipenjual setelah sipenjual mengetahui harga pasar. 176. 2.Larangan menjual barang yang sedang dalam tawar menawar, apalagi bila tawar menawarnya sudah hampir jadi atau sudah jadi. 177. 3.Larangan menjual barang yang terjadi/terdapat unsur tipuan didalam barang itu sendiri, tipuan ini biasanya tidak kelihatan (tersembunyi) dan diketahui oleh pembeli setelah barang itu dibawa kerumahnya. Misal barang yang bagus dilihat dari luar ternyata setelah dilihat didalamnya terdapat barang yang jeleknya. 178. 4.Larangan menjual barang yang seperti dalam tumpukan atau pada binatang perahan sengaja ditahan untuk tidak diperah agar kelihatan banyak air susunya padahal sebenarnya tidak demikian. 179. 5.Larangan menjual barang yang tidak murni karena dicampur adukkan dengan yang mutunya jelek. َّ َ‫عن عبد هللا ابن عمر رضىاهلل عنهما “أ‬ ْ َ‫ان بَ ْي ًعا يَ َتبَايَ ُع ُه أ‬ َ ‫ َو َك‬,ِ‫حبَلَة‬ ُ ‫ه‬ ُ ‫نر‬ ْ ‫هلل صلىاهلل عليه وسلم نَهَى َع‬ ِ ‫ل‬ َ ‫ْل ال‬ َ ِ‫ن بَ ْيع‬ َ ‫َس ْو‬ 180. 5 ‫ل‬ ِ ‫حب‬ َ‫ج ُز ْو َر إلَى أ‬ َّ ُ ُ ْ ُ َّ َ َ ْ َّ ُ ُ ُ َّ َّ ُ ‫ل يَ ْبت‬ َ َ َ‫ه ِليَ ِة كا‬ ُ ‫ج‬ ُ ‫ن ال َّر‬ ْ ْ ْ ْ َ َ َ َ َ َ َ َ َ ‫َاع ال‬ ‫ى ال َك ِب ْير َُة‬ ‫ه‬ ‫و‬ – ‫ف‬ ‫ار‬ ‫الش‬ ‫ع‬ ‫ي‬ ‫ب‬ ‫ي‬ ‫ان‬ ‫ك‬ ‫ه‬ ‫ن‬ ‫إ‬ : ‫ل‬ ‫ي‬ ‫ق‬ ,‫َا‬ ‫ه‬ ‫ن‬ ‫َط‬ ‫ب‬ ‫ِى‬ ‫ف‬ ‫ِى‬ ‫ت‬ ‫ال‬ ‫ج‬ ‫ت‬ ‫ن‬ ‫ت‬ ‫م‬ ‫ث‬ , ‫ة‬ ‫ق‬ ‫ا‬ ‫ن‬ ‫ال‬ ‫ج‬ ‫ت‬ ‫ن‬ ‫ت‬ ‫ن‬ ِ ِ ِ ‫الجَا‬ َ ِ ِ ِ ِ ِ َّ‫جنِ ْين ال‬ ْ ْ ُ َ َ‫ن ن‬ َّ ُ ْ َ ‫ه” متفق عليه‬ ‫َط‬ ‫ب‬ ‫ِى‬ ‫ف‬ ‫ِى‬ ‫ذ‬ ‫ال‬ ‫َاج‬ ‫ت‬ ‫ن‬ ‫ب‬ – ‫ة‬ ‫ن‬ ‫س‬ ‫م‬ ‫ال‬ . ِ ِ‫اقت‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ……………..Bahwa Rasulullah saw melarang menjual janin yang belum dilahir kan.Jual beli demikian adalah jual-beli orang-orang jahiliyah . Mereka melakukan membeli unta yang masih belum lahir, dan setelah dilahirkan barulah dimiliki pembeli.Yaitu mereka menjual unta dewasa dibayar dengan unta yang masih dalam kandungannya dengan perjanjian bila yang dilahirkan sudah dewasa. 181. Penjelasan. 182. Rasulullah melarang jual beli unta dewasa dibayar dengan unta yang masih dalam kandungan , karena menunggu lahir dan menunggu dewasa unta yang lahir itu. 183. Kesimpulan . 1.Batal jual-beli barang yang majhul (belum diketahui barangnya). 2.Jual-beli majhul seperti juga menjual binatang dibayar dengan anaknya yang belum lahir, dengan

menunggu besarnya yang lahir tadi. َّ : ُ ‫ع واَل‬ ُ َ‫صال‬ ْ ‫م‬ ْ ‫الث‬ َ ِ‫ نَهَى البَائ‬,‫حهَا‬ َ ‫ح َّتى يَب ُْد َو‬ َ ‫م َر ِة‬ ‫ وهو الذى بعده‬,‫ ومثل هذا حديث أنس‬.‫شت َِرى” رواه الجماعة إال الترمذى‬ Dari Abdullah bin Umar ra Bahwa Rasulullah saw melarang menjual buah yang belum tampah tuanya , melarang si penjual dan melarang si pembeli. Hr Jama’ah kecuali Tirmidzi . Hadits yang sama adalah hadits Anas berikut ْ َ‫ أَ ْو ت‬,‫م َّر‬ ْ َ‫ح َّتى ت‬ ْ ‫أن رسول هلل صلى هللا عليه وسلم نَهَى َع‬ َ ‫ص َف َّر َقا‬ َ ‫ح‬ َ : ‫ى ؟ قال‬ َ ‫ قِ ْي‬,‫ى‬ َ ‫َار‬ 184. 7 : ‫ل‬ ِ ‫ل َومَا تَ ْز‬ ِ ‫ح َّتى تَ ْز‬ َ ‫ه‬ َ ‫ه‬ ِ ‫ع الثِم‬ ِ ‫ن بَ ْي‬ َّ ُ‫ع هللا‬ ُ ‫ح‬ ْ ‫ح ُد ُك‬ ْ ‫ ِبَم ي‬, ‫م َر َة‬ ْ ‫الث‬ َ ‫ت إِ َذ ْا َم َن‬ َ ‫أَرَأَ ْي‬. َ ‫م مَا‬ َ َ‫ل أ‬ ‫ح ْي ِه ؟” متفق عليه‬ ِ َ‫ل أ‬ ِ ‫َس َت‬ ………..bahwa Rasulullah saw melarang menjual buah sehingga buah itu tampak bagus,Rasulullah ditanya apa yang dimaksud bagus? , beliau menjawab “sampai kelihatan merah , atau kelihatan kuning, Tahukan kalian bila ternyata Allah menolak bagusnya itu (misal kena bencana ambrol) , maka dengan cara apa kalian untuk menghalalkan hartanu itu yang kalian peroleh dari saudaramu? Mutfq ‘alaih . 185. Penjelasan. 186. Menjual buah (masih belum dipetik) yang belum jelas masak, atau masih muda adalah dilarang karena buah yang masih muda itu masih memungkinkan akan ambrol, tidak dapat dimanfa’atkan. Bila terjadi seperti itu maka antara penjual dan pembeli pasti terjadi cekcok karena pembeli akan merasa dirugikan . Buah yang boleh dijual dipohon adala buah yang sudah menungkinkan bila waktu dibeli sudah layak dipetik karena ada tanda-tanda cukup tua , misal kelihatan merah , atau kelihatan kuning atau sebangsanya. 187. Kesimpulan . 188. 1. Larangan menual buah dipohon bila belum tampat tua dan belum memungkinkan untuk diambil, yaitu masih muda. Larangan ini tentunya untuk pembeli dan penjual karena pertengkaran tidak dikehendaki. 2. Menjaga agar hal-hal yang dapat menimbulkan percekcokan dihindari . 3. Melakukan hukum yang dapat atau biasa dilakukan selama tidak menimbulkan negatip, karena membeli buah yang masih dipohon, yang buah itu masih muda memungkinkan untuk terjadi tidak dapat dimanfa’atkan , maka yang demikian tidak boleh , kecuali buah itu sudah mampu untuk dipetik secara umum. 4. Dibolehkannya menjual buah yang masih dipohon apabila buah itu sudah cukup tua. ُّ ‫ ” نَهَى رسول هلل صلىاهلل عليه وسلم أن تُتَلَ َّقى‬: ‫عن عبدهللا بن عباس رضىاهلل عنهما قال‬ ُ ‫الركب‬ َ ‫ وَأَ ْن يَ ِب ْي‬,‫َان‬ 8 ‫ض ُر لِبَا ٍد‬ ِ ‫ع حَا‬ ُ ‫ الَي َُك‬: ‫ض ٌر لِبَاٍد ؟ قال‬ َ ‫ م‬: ‫َاس‬ ُ ‫ َف ُق ْل‬,‫؟ قال‬. ْ ‫ون لَ ُه س‬ ْ ‫ن َعب‬ َ ‫ِم‬ ‫سارًا ” رواه الجماعة إال الترمذى‬ ِ ‫ت‬ ِ ‫َاق ْو ُل ُه حَا‬ ِ ‫ال ْب‬ 189. 6 Dari Ibnu Abas ra berkata: Rasulullah saw melarang mencegat orang-orang pembawa dagangan untuk dijual kepasar dicegat untuk dibeli sebelum sampai dipasar.Dan melarang penjualam pendatang kepada orang kampung. Ibnu Abas ditanya: Apa maksudnya pendatang kepada orang kampung?Jawabnya itu maksud nya adalah simsar (makelar) HR Jama’ah . 190. Penjelasan : 191. Syara’ yang bijaksana selalu membawakan umat untuk mashlahat, dan men cegah apa-apa yang dapat menimbulkan madorot.Dengan mengarah seperti tersebut maka Rasulullah melarang mencegat orang yang membawa barang dagang annya untuk dijual dipasar dengan dibeli ditperjalanan karena yang demikian dapat menim bulkan pebnyesalan bagi penjual, setelah penjual sampai kepasar dan dipasar menge tahui harga lebih tinggi, pembeli akan menjual barang itu dipasar dengan harga yang sangat tinggi. Demikian juga Syara melarang para calo untuk melakukannya karena dengan calo inipun akan dapat menjadikan sipenjual menyesal karena harga yang jadi akan dibayar dengan potongan untuk si calo itu. 192. Kesimpulan 193. 1. Larangan mencegat penjual untuk dibeli ditengah perjalanan. 2.Larangan menjual sistim calo. 3.Larangan sistim jual beli yang mengakibatkan penyesalan salah satu pihak antara penjual atau pembeli . ُ ‫ نَهَى رسول هلل صلىاهلل عليه وسلم عن ال‬: ‫عن عبدهللا بن عمر رضىاهلل عنهما قال‬ ْ َ‫ع ث‬ َ ‫ى أَ ْن يَبِ ْي‬ 194. 9 , ‫ه‬ ِ ‫ط‬ ِ ِ‫م َر حَائ‬ ِ ‫ َو‬,ِ‫مزَابَ َنة‬ َ ‫ه‬ ُ َ ِ‫ أَ ْن يَبِِِ ِْي َع ُه ب‬: ‫ْعا‬ َ ً ‫ان َزر‬ َ ‫ وَإِ ْن َك‬, ً‫ب َك ْيال‬ َ ‫ وَإِ ْن َك‬, ً‫َم ٍر َك ْيال‬ ْ َ‫ان ن‬ َ ‫إِ ْن َك‬ ْ ‫خالً بِت‬ َ ِ‫ام نَهَى َعن ذل‬ ”‫ه‬ ِ ِ‫ك كل‬ ٍ ‫ أَ ْن يَبِ ْي َع ُه بِ َزبِ ْي‬: ‫ان َك ْر ًما‬ ٍ ‫ل طَ َع‬ ِ ‫ك ْي‬ ‫رواه الجماعة إال الترمذى‬. 195. …………Rasulullah saw melarang jual-beli yang tidak diketahui takarannya atau ukurannya, seperti menjual kurma basah dibayar dengan kurma kering sama-sama ditakar, atau menjual anggur basah ditukar dengan anggur kering yang sama-sama ditakar, atau menjual beras atau padi ditukar dengan makanan yang ditakar , semuanya itu dilarang . Hr Jama’ah kecuali Tirmidzy . 196. Penjelasan . 197. Allah sawt mengharamkan riba, karena dalam masalah riba ada unsur memakan harta orang lain dengan tidak halal .Dalam barter yang sama disyaratkan sama jenisnya dan sama takaran atau timbangannya, serta sama-sama tahu, dan saling serah-terima , jangan terjadi buah yang masih basah ditukar dengan buah yang sudah kering yang sama takarannya. Jual beli yang semacam ini akan menimbulkan salah satu pihak merasa dirugikan, akan menyesal karena tentu sala tidak seimbang, Syara’ melarang perbu atan apa saja yang seharusnya seimbang tyernyata tidak

seimbang. Inilah yang maksud dengan muzabanah Kesimpulan 198. 1.Larangan menjual buah kurma basah dengan buah kurma yang sudah dikeringkan , walaupun sama takarannya atau sama timbangannya. Hal ini karena yang basah apa bila sudah dikeringkan akan terjadi mengkerut dan timbangannya menjadi berkurang menurut Abu Hanifah boleh saja yang tua ditukan dengan yang muda asal sama-sama baru memetik. َ ‫َن ْال‬ ُ ‫ و‬,‫ى‬ ْ ‫عن أبى مسعود األنصارى رضىاهلل عنه “أن رسول هلل صلىاهلل عليه وسلم نَهَى َع‬ 10 ِ‫َح ْلوَان‬ ِ ‫ َوم َْه ِر ْالب َْغ‬,ِ‫ك ْلب‬ ِ ‫ن ثَم‬ ْ َ ‫ِن‬ ِ ‫”الكاه‬ ٌ ‫خ ِب ْي‬ ٌ ‫خ ِب ْي‬ َ ‫َن ْال‬ ُ ‫ ” ثَم‬: ‫ أن رسول هلل صلى هللا عليه وسلم قال‬: ‫عن رافع بن خديج رضىاهلل عنه‬ َ ِِ‫ى‬ َ ‫ب‬ 11 ‫ث‬ ِ ‫ك ْل‬ ِ ‫ َوم َْه ُر ْالب َْغ‬, ‫ث‬ ُ ‫خ ِب ْي‬ َّ ‫ح‬ ُ ‫س‬ ْ ‫” َو َك‬ َ ‫ام‬ َ ‫ب ْال‬ ‫ث‬ ِ ‫ج‬ Dari Ibnu Mas’ud ……… Bahwa Rasulullah saw melarang menggunakan uang hasil menjual anjing, uang hasil menjadi pelacur, uang hasil menjadi tukang dukun. 199. Dari Rafi’ ……………Bahwa Rasulullah saw bersabda : Uang hasil menjual anjing adalah kotor (najis), uang hasil pelacur juga kotor (najis) uang hasil menjadi tukang bekam juga kotor (najis) . 200. Penjelasan : 201. Segala yang mengakibatkan kerusakan dan juga menimbulkan tindakan bohong baik itu berupa makan yang dihasilkan dari perbuatan haram, atau barangnya itu sendiri adalah barang haram , adalah dilarang Syara’. Sebagai contoh misal memanfa’atkan uang hasil jualan anjing, baik jualan anjing itu dalam artian untuk dikonsumsi daginga atau pun jualan anjing untuk yang lain. Misal lagi uang yang dihasilkan dari pelacuran , uang yang dihasilkan dari tukang penerka (tukang nujum) dan seperti bekerja tukang bekam . 202. Kesimpulan . 203. 1. Anjuran agar kita melakukan segala yang berbentuk akhlakul karimah . 2. Larangan berkasab yang dinilai rendah yang haram. 204. Perawi hadits. Rafi’ bin Khodij bin Aus seorang shahaby yang ikut perang Uhud dan perang-perang lainnya . meriwayatkan hadits kurang lebih 78 hadits , wafat th 74 H

205. 206. 207.

209. 210. 211.

ayat-ayat al-Qur’an sebagai berikut:

Al-Qur’an Surah al-Baqarah ayat 275:

‫الر َبا‬ ِ ‫َوأ َ َح َّل ّللاُ ْال َب ْي َع َو َح َّر َم‬

.208

“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”

Ayat di atas merupakan dalil naqli mengenaidiperbolehkannya akad jual beli. Atas dasar ayat inilah, makamanusia dihalalkan oleh Allah melakukan praktik jual beli dan diharamkan melakukan praktik riba.

212. 213.

215. 216. 217.

Al-Qur’an Surah al-Baqarah ayat 282:

‫ َوأ َ ْش ِهد ُْوا ِإذَا ت َ َبا َي ْعت ُ ْم‬...

... “... dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli.”

.214

Berbeda dengan ayat yang pertama, ayat ini yaitu menjelaskan secara teknis dalam jual beli, bagaimana seharusnya praktik jual beli yang benar yang benar tersebutdijalankan. Berkaitan dengan ayat di atas, telah sama-sama kita ketahui bahwa akad jual beli merupakan suatu bentuk transaksi yang dilakukan antara dua orang atau lebih untuk saling memenuhi kebutuhan keseharian mereka. Akan tetapi terkadang terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, sehingga dalam proses jual beli tersebut ada baiknya manakala didatangkan saksi atau alat bukti lain yang menunjukkan transaksi tersebut. Hal tersebut dimaksudkan untuk memberikan kesaksian atau bukti bahwa kedua belah pihak tersebut betul-betul telah melakukan akad jual beli. Oleh karena itu, Al-qur’an mengajarkan agar dalam

praktik jual beli hendaknya ada saksi yang menyatakan keabsahan transaksi jual beli antara kedua belah pihak. 218. 219. 220.

Al-Qur’an Surah an-Nisa’ ayat 29:

.221 َ‫اط ِل ِإالَّ أَن ت َ ُكون‬ ِ ‫َياأَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُواْ الَ تَأ ْ ُكلُواْ أ َ ْم َوالَ ُك ْم َب ْينَ ُك ْم ِب ْال َب‬ ‫اض ِمن ُك ْم‬ ٍ ‫ارة ً َعن ت َ َر‬ َ ‫ِت َج‬ 222. 223.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku suka-sama suka di antara kamu.”

224. 225.

Ayat ini melarang manusia untuk melakukan perbuatan tercela dalam mendapatkan harta. Allah melarang manusia untuk tidak melakukan penipuan, kebohongan, perampasan, pencurian atau perbuatan lain secara batil untuk mendapatkan harta benda. Tetapi diperbolehkan mencari harta dengan cara jual beli yang baik yaitu didasari atas suka sama suka.

226. 227. 228.

Al-Qur’an Surah al-Baqarah ayat 198:

‫ضالً ِمن َّر ِب ُك ْم‬ ْ َ‫ْس َعلَ ْي ُك ْم ُجنَا ٌح أَن ت َ ْبتَغُواْ ف‬ َ ‫لَي‬

.229 .230

“Tidak ada bagimu untuk mencari karunia (rizki hasil perniagaan) dari Tuhamu.”

231. 232. 233.

Penjelasan yang dapat dipetik dari ayat tersebut adalah bahwa, perniagaan adalah jalan yang paling baik dalam mendapatkan harta, di antara jalan yang lain. Asalkan jual beli dilakukan dengan syarat dan ketentuan yang telah diatur oleh syariat.

234. 235.

Berkaitan dengan jual beli, rasulullah SAW pernah ditanya oleh salah satu sahabatnya mengenai pekerjaan yang baik, maka jawaban beliau ketika itu adalah jual beli. Peristiwa ini sebagaimana dijelaskan dalam hadis:

236.

‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه‬ .237 َ ُ‫ي هللا‬ ِ ‫َع ْن ِر َفا َعةَ ب ِْن َرافِعٍ َر‬ َ ‫ي‬ ُّ ‫ع ْنهُ أ َ َّن النَّ ِب‬ َ ‫ض‬ ‫الر ُج ِل ِب َي ِد ِه َو ُك ُّل َبيْعٍ َمب ُْر ْو ٍر‬ ُ ‫سلَّ َم‬ َّ ‫ َع َم ُل‬:‫ض ُل ؟ قَا َل‬ ِ ‫سئِ َل ْال َك ْس‬ َ ‫ب أ َ ْف‬ َ ‫َو‬ 238. 239.

“Dari Rifa’ah bin Rafi’ ra. Ia berkata, bahwasannya Rasulullah SAW pernah ditanya: Usaha apakah yang paling halal itu (ya Rasulullah ) ? Maka beliau menjawab, “Yaitu pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli itu baik.” (HR. Imam Bazzar. Imam Hakim menyatakan shahihnya hadits ini)

240.

Demikian semoga bermanfaat, mungkin Anda juga tertarik dengan artikel kami yang lain:

241.

242. Ustadz Mu’tashim 243. Hukum halal dan haram dalam Islam telah diatur dengan sangat jelas. Hal ini merupakan salah satu karunia Allah dan bukti nyata atas kebenaran risalah yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bila tidak, mungkin akan banyak dijumpai hal-hal yang saling bertolak belakang dalam masalah hukum dan kaidahnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : 244. ‫يج‬ ِ ‫بَ ْل َكذَّبُوا ِب ْال َح‬ ٍ ‫ق لَ َّما َجا َءهُ ْم فَ ُه ْم فِي أ َ ْم ٍر َّم ِر‬ 245. “Sebenarnya, mereka telah mendustakan kebenaran tatkala kebenaran itu datang kepada mereka, maka mereka berada dalam kadaan kacau-balau” [Qaaf : 5] 246. Di antara makna kesempurnaan syari’at Islam, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah dianugerahi kemampuan mengungkapkan dengan bahasa verbal, sederhana tetapi padat dan jelas isi kandungannya. 247. Sebagai contoh mengenai kaidah umum dalam masalah perintah dan larangan; bahwa tidaklah suatu perintah atau larangan, melainkan di dalamnya mengandung kemaslahatan dan manfaat, baik ditinjau dari sisi agama maupun kehidupan manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : َّ ‫ع ِن ْال ُمنك َِر َويُحِ ُّل لَ ُه ُم‬ َ ‫علَ ْي ِه ُم ْال َخبَائ‬ 248. ‫ِث‬ ِ ‫الط ِيبَا‬ َ ‫ت َوي ُ َح ِر ُم‬ َ ‫يَأ ْ ُم ُرهُم ِب ْال َم ْع ُروفِ َويَ ْن َهاهُ ْم‬ 249. “(Ia) yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk” [al A’raf : 157] 250. Pada pembahasan masalah mu’amalah dan jual beli, hukum asalnya adalah boleh dan halal. Tidak ada larangan dan tidak berstatus haram, sampai didapatkan dalil dari syariat yang menetapkannya. 251. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : َّ ‫َوأ َ َح َّل‬ 252. ‫الربَا‬ ِ ‫ّللاُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم‬ 253. “Dan Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba”. [al Baqarah : 275]. 254. Sepanjang ridha, kejujuran, keadilan melekat dalam suatu proses mu’amalah dan jual beli, tanpa ada unsur kebatilan dan kezhaliman, bentuk transaksi itu diperbolehkan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: 255. ‫اض مِ ْن ُك ْم‬ ٍ ‫ع ْن ت ََر‬ َ ً ‫ارة‬ َ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ال ت َأ ْ ُكلُوا أ َ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالبَاطِ ِل إِ َّال أ َ ْن ت َ ُكونَ تِ َج‬ 256. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu”. [an Nisa : 29]. 257. Syariat Islam dengan hikmah dan rahmatnya, mengharamkan apa yang membahayakan terhadap agama dan dunia. Kaidah penting yang kami angkat pada pembahasan kali ini berhubungan dengan riba, penipuan, dan perjudian, disertai dengan penjelasan kaidah-kaidah penting lainnya. 258. KAIDAH PERTAMA : Tentang Riba Al Qur`an, hadits dan ijma ulama Islam telah menetapkan haramnya riba. Ketetapan ini bersesuaian dengan asas keadilan dan qiyas (analogi) yang shahih. Yang dimaksud dengan riba adalah, setiap tambahan yang ada dalam barang-barang tertentu [1]. Riba terbagi menjadi dua, bisa juga menjadi tiga. Yaitu: riba fadhl, riba nasiah dan riba al qordh. 259. Riba fadhl (tambahan), yaitu jual beli uang dengan uang, makanan dengan makanan, dengan ada penambahan di salah satu dari kedua barang tersebut [2]. 260. Misalnya jual beli dua barang yang ditakar (ditimbang) dengan berbagai tingkatan kualitasnya, antara satu dengan yang lain tidak sama takaran atau timbangannya. Padahal dalam jual beli ini harus memenuhi dua syarat, yaitu sama persis ukuran (timbangnya) dan diserahkan dalam satu waktu atau tempat transaksi (spontan). Konkretnya, jual beli 1 kg kurma harus ditukar dengan 1 kg kurma, karena jenisnya sama maka harus serupa pula timbangannya. Dan tidak boleh 1 kg kurma ditukar dengan 2 kg kurma walaupun berbeda kualitasnya. Selama berada dalam satu jenis, maka harus sama takaran (timbangannya).

261. Riba nasi-ah, definisinya, mengakhirkan penyerahan barang (setelah transaksi) dalam setiap jenis barang yang serupa illahnya (pangkal alasan dari suatu hukum), sebagaimana illah yang terdapat dalam riba fadhl.[3] 262. Riba ini sangat menyusahkan orang dan diharamkan. Riba ini merupakan jual beli antara dua macam barang yang ditakar atau ditimbang, yang satu diberikan sekarang dan yang lainnya diberikan pada lain waktu sesuai kesepakatan. Baik antara jenis yang sama seperti gandum dengan gandum, atupun berbeda jenisnya semisal gandum dengan kurma, atau kurma dengan kismis. 263. Setiap yang berlaku dalam riba fadhl dalam jenis barangnya, berlaku juga untuk riba nasi-ah, akan tetapi, terkadang yang tidak diperbolehkan dalam riba nasi-ah diperbolehkan dalam riba fadhl (dengan berbeda selisih takaran/timbangan) bila berlainan jenis. Missal, jual beli kurma 2 kg dengan kismis/anggur kering 1 kg ( berbeda jenisnya) dibolehkan apabila diberikan di tempat transaksi, langsung antara penjual dan pembeli sebelum berpisah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: ً ‫ضعَافا‬ 264. ْ َ ‫الربا أ‬ ِ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ال ت َأ ْ ُكلُوا‬ 265. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda” [al Baqarah:130] 266. Dahulu, orang-orang Jahiliyah bila telah jatuh tempo pembayaran hutang, orang yang menghutangkan berkata kepada orang yang berhutang: “bayar sekarang atau engkau membayarnya nanti tetapi harus dengan tambahan dari jumlah nominal hutang”. Baik dengan bahasa terang-terangan ataupun dengan ungkapan kiasan (halus yang tendensius), hukumnya haram. 267. Riba al qord, gambarannya adalah seseorang yang menghutangkan uang kepada orang lain dengan mensyaratkan tambahan manfaat (jasa). Sebagai contoh, Fulan A menghutangkan kepada Fulan B dengan syarat B sudi meminjamkan rumah atau kendaraan, atau setiap pekan (bulan) beras 1 kg kepada A. 268. Hal ini termasuk riba, dan bukan sekedar hutang. Karena tujuan menghutangkan ialah untuk berbuat baik dan menebar kasih-sayang kepada sesama. Perbuatan ini berlawanan dengan tujuannya. Bahkan hakikatnya, praktek ini merupakan jual beli uang dengan uang, dengan tenggang tempo, riba yang ada diambilkan dari manfaat yang telah menjadi kesepakatan bersyarat. 269. Ketiga macam riba di atas diharamkan oleh Allah dan RasulNya, karena hal itu merupakan kezhaliman dan bertentangan dengan keadilan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : ْ ُ ‫ُوس أ َ ْم َوا ِل ُك ْم ال ت َْظ ِل ُمونَ َوال ت‬ 270. َ‫ظلَ ُمون‬ ُ ‫ َو ِإ ْن ت ُ ْبت ُ ْم فَلَ ُك ْم ُرؤ‬. 271. “Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. [al Baqarah : 279] 272. Bila ada yang mengatakan “bagaimana hal ini bisa dikatakan sebagai kezhaliman, padahal orang ini sudah rela dengan kesepakatan yang terjadi untuk membayar dengan sejumlah kelebihan tertentu?” 273. Maka jawabnya bisa ditinjau dari dua sisi. Pertama, harus dipahami hakikat kezhaliman yang ada adalah mengambil harta dengan tanpa hak (alasan yang diperbolehkan syariat). Seseorang yang tidak bisa membayar karena kesusahan, seharusnya ditunda pembayarannya. Mengambil tambahan dari jumlah yang semestinya ia ambil (nominal hutang, Red) adalah kezhaliman. Selain itu, keridhaan yang ada dalam diri seseorang harus bersesuaian syariat. Bila syariat melarang walaupun ia ridha, maka kerelaannya tidak memiliki arti. 274. Kedua, pada hakikatnya ia tidak ridha atau terpaksa untuk menerimanya. Karena ia khawatir bila tidak diberikan pinjaman. Orang yang berakal tidak akan ridha dengan kewajiban membayar uang yang berlipat ganda yang tidak pernah ia manfaatkan. 275. Juga dapat dikatakan, ia telah berbuat zhalim kepada dirinya sendiri, karena hakikatnya ia telah melemparkan dirinya kepada kebinasaan dan azab akhirat, karena dengan sengaja telah melakukan apa yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. 276. Gambaran kezhaliman ini sangat jelas dalam praktek riba nasi-ah. Sedangkan riba fadhl diharamkan sebagai upaya menutup akses menuju riba nasi-ah. 277. Jenis Barang Yang Masuk Dalam Kategori Riba Tidak setiap barang pada transaksi yang berbeda jumlahnya dikatakan riba. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyebutkan enam macam yang dikatakan riba, sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, emas dengan emas, perak dengan perak, gandum

dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, garam dengan garam, sejenis dengan sejenisnya, saling sama jumlahnya, tangan dengan tangan (langsung diserahkan saat transaksi terjadi). Bila berbeda jenis-jenis ini, maka jual sekehendak kalian, tetapi harus diserahkan saat transaksi.[4] 278. Keenam macam barang ini telah disepakati masuk dalam kategori riba. Kemudian para ulama berbeda pendapat, apakah barang selainnya dapat diqiaskan kepada keenam macam tersebut apa tidak? 279. Jumhur ulama berpendapat, bahwa selainnya dapat diqiaskan kepada keenam macam tersebut, bila sesuai dengan illah (alasan) yang ada. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa illah emas dan perak dalam hadits adalah tsamaniyyah (alat tukar) sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Shalih al Fauzan dan as Sa’di. 280. Sedangkan Syaikh al ‘Utsaimin memiliki pandangan, bahwa pendapat yang paling dekat (kebenaran)nya bahwa illah yang terkandung dalam emas dan perak karena dzat emas dan peraknya, baik yang berupa mata uang atau bukan.[5] 281. Adapun illah yang terdapat dalam gandum, tepung, kurma dan garam adalah sebagai barang yang ditakar dan makanan (dikonsumsi).[6] 282. Jadi dapat disimpulkan, segala jenis barang yang illahnya sama dengan keenam macam tersebut, bisa dimasukkan ke dalam masalah riba. 283. Contoh dalam riba fadhl. Bila barang yang sama jenis dan macamnya, semisal beras ditukar dengan beras, maka dalam jual belinya harus memenuhi dua syarat, yaitu sama ukurannya dan diberikan di tempat akad serta dalam satu waktu, tidak boleh barang yang satu diberikan sekarang sedangkan barang lainnya diserahkan keesokan harinya. Jadi 1 kg beras tidak boleh ditukar dengan 2 kg beras. Walaupun berbeda kualitasnya. 284. Bila ada yang mengatakan, mengapa hal ini dilarang, padahal perbedaan kualitas mempengaruhi harga? Maka jawabnya, itulah Islam yang hukumnya penuh dengan segala kesigapan untuk menutup segala celah penipuan dan perbuatan aniaya lain yang lebih besar. Hal seperti ini pernah terjadi pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yakni, ada seseorang yang bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang menjual kurma jenis jelek dengan jumlah yang lebih banyak dengan kurma berkualitas baik dengan takaran yang lebih sedikit. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruhnya untuk mengembalikannya, seraya berkata: “Ini adalah riba,” kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk menjual terlebih dahulu kurma yang jelek dengan dirham (uang), kemudian baru dibelikan (dengan dirham tersebut) kurma yang baik.[7] 285. Oleh karena itu, bila diketahui jenis dan macamnya sama, maka sebaiknya salah satunya diuangkan terlebih dahulu, baru kemudian ditukarkan dengan yang lebih rendah atau tinggi kualitas ataupun banyaknya, untuk lebih menghindari hal-hal yang mengandung unsur riba’. 286. Bila berbeda jenis barang, tapi masih termasuk barang yang berkategori riba, maka boleh berbeda ukurannya, dengan syarat harus diserahterimakan dalam satu tempat dan tempo ketika transaksi. 287. Tatkala berbeda jenisnya, baik kedua-duanya tidak masuk kategori riba atau hanya salah satunya saja, maka boleh berbeda takarannya serta dapat dijual diluar waktu dan tempat transaksi tersebut. 288. Dr. Abdullah ‘Aziz Badawi berkata,”Apabila enam jenis (termasuk barang yang diqiaskan kepadanya, pent) dijual dengan barang yang berbeda jenis dan illahnya, misalnya emas dengan gandum, perak dengan garam, maka dibolehkan terjadinya selisih jumlah (tafadhul) dan dapat diakhirkan penyerahannya (nasi-ah).[8] 289. Dapat kita simpulkan, bahwa dalam masalah jual beli dapat di bagi menjadi empat macam. 290. 1. Bila jual beli dalam satu jenis barang (jenis, macam dan illahnya sama) yang berkategori riba, maka diharamkan tafadhul (tambahan atau selisih jumlah barang) dan nasi-ah (menunda penyerahan barang). Misalnya, kurma dengan kurma, maka harus sama jumlahnya dan tidak boleh nasi-ah. 291. 2. Bila dalam dua jenis yang serupa illah riba fadhlnya (misal, kurma dan gandum illahnya sama, yaitu timbangan atau takaran dan makanan), maka diharamkan nasi-ah dan dibolehkan

terjadinya tafadhul. Misal, kurma 2 kg dengan gandum 1 kg, emas 10 gr dengan perak 30 gr. Hal ini boleh tafadhul, tapi dilarang nasi-ah. 292. 3. Bila di antara dua jenis berbeda yang masih dalam kategori riba yang tidak serupa illahnya (jenisnya berbeda tapi masih dalam jenis barang yang masuk dalam kategori riba), maka boleh tafadhul dan nasi-ah. Misal, kurma dengan emas. Illah kurma takaran dan makanan, illah emas karena emas barang yang sangat bernilai. 293. 4. Bila di antara barang yang tidak dalam kategori riba (baik salah satunya atau keduanya), maka boleh nasi-ah dan tafadhul. Semisal, emas dengan pakaian, atau pakain dengan buku. 294. KAIDAH KEDUA : Haramnya Mu’amalah Yang Mengarah Kepada Tipu Daya dan Bahaya Al Qur`an, as Sunnah dan kaum Muslimin sepakat tentang haramnya judi. Judi atau taruhan ada dua macam. 295. Yaitu taruhan yang berbentuk saling menjatuhkan atau dengan jaminan tertentu. Semuanya diharamkan oleh syari’at. Kecuali bila digunakan sebagai wasilah (media) dalam hal ketaatan dan untuk berjihad di jalan Allah. Contohnya, taruhan dalam lomba berkuda, menyetir dan memanah. 296. Macam kedua, bentuk taruhan dalam bermu’amalah sebagaimana yang telah Nabi larang terhadap segala jenis jual beli yang mengandung penipuan. Karena bahaya dan kerugian yang dapat dialami oleh kedua belah pihak. Para ahli fiqih memberikan syarat dalam transaksi agar harga dan barang harus jelas untuk menghindari tipu muslihat yang mungkin terjadi. 297. Misal dari praktek ini antara lain: jual beli janin yang masih di dalam perut induknya, jual beli dengan cara mulamasah (siapa yang telah meraba atau memegang barang, maka langsung dianggap telah membeli), munabadzah (dengan melempar atau saling melempar antara keduanya dengan lemparan batu, maka yang terkena itulah yang harus dibeli atau dijual), dan sebagainya. 298. Di antara praktek jual beli yang unsur penipuannya relatif kecil atau samar, para ulama berbeda pendapat tentang boleh dan tidaknya. Walaupun mereka sepakat dengan kaidah ini. Perbedaan yang terjadi dikarenakan berbedanya sisi pandang dalam menyikapi permasalahan yang muncul. Apakah ia masuk dalam kaidah ini, ataukah tidak? Yang benar adalah, dikembalikan kepada kebiasaan masyarakat, apakah itu merupakan penipuan ataukah bukan? Contohnya, perkataan “aku menjual barang ini seharga para pedagang yang lain”, atau dalam jual beli kacang yang masih dalam tanah, dan sebagainya. 299. Karena itu, disyaratkan juga dalam masalah jual beli, mampu untuk menghadirkan barang kepada pembeli. Ini semua untuk menghindari tipu daya yang mungkin dilakukan. 300. Contoh lain dalam kaidah ini, jual beli antara dua barang yang satu dalam bentuk takaran yang jelas, yang lainnya menggunakan perkiraan. Karena bisa jadi, apa yang dikira-kira lebih sedikit dari hak yang seharusnya diterima, atau bisa jadi lebih banyak dari yang semestinya. 301. Hikmah yang terkandung dari haramnya taruhan atau undian ini, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : َ ‫ش ْي‬ َّ ‫ع َم ِل ال‬ 302. َ‫ان فَاجْ تَنِبُوهُ لَعَلَّ ُك ْم ت ُ ْف ِلحُون‬ ٌ ‫صابُ َو ْاْل َ ْزال ُم ِر‬ َ ‫جْس مِ ْن‬ َ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا إِنَّ َما ْالخ َْم ُر َو ْال َم ْيس ُِر َو ْاْل َ ْن‬ ِ ‫ط‬ ْ ْ َ ْ َ ‫ش ْي‬ ُ ْ ُ ْ ْ َّ ‫إِنَّ َما ي ُِريد ُ ال‬ ْ َ َ َّ َ‫صالةِ ف َهل أنت ْم ُمنت ُهون‬ َّ ‫ع ِن ال‬ ُ َ‫ضا َء فِي الخ َْم ِر َوال َم ْيس ِِر َوي‬ ِ ‫عن ِذك ِر‬ َ ‫ّللا َو‬ َ ‫صدَّك ْم‬ َ ‫طانُ أ َ ْن يُوقِ َع بَ ْينَ ُك ُم ْالعَدَ َاوة َ َو ْالبَ ْغ‬ 303. “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)”.[al Maidah : 90-91] 304. KAIDAH KETIGA : Jual Beli Berupa Penipuan Transaksi model ini diharamkan di dalam Kitabullah, Hadits dan Ijma ulama. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Barangsiapa yang berbuat tipu muslihat, maka ia bukan dari golongan kami.” 305. Tipu muslihat yang dimaksud, yaitu mencakup segala jenis mu’amalah, baik dalam perdagangan, musyarokah (syarikat) dan sebagainya. Baik dengan cara penyamaran atau dengan menyembunyikan kondisi barang yang sebenarnya, ia poles luarnya sehingga menjadi kelihatan baik dan bagus, padahal di dalamnya atau barang lainnya penuh dengan cacat.

306. KAIDAH KEEMPAT : Ridha Syar’i Dari Kedua Belah Pihak Kaidah ini berlandaskan al Qur`an, Sunnah dan Ijma’ ulama. Kaidah ini berlaku dalam segala jenis, baik dalam akad transaksi jual beli, sewa-menyewa, musyarokah, hadiah, wakaf, dan sebagainya. 307. Ridha seseorang dapat diketahui melalui perkataannya, atau segala sesuatu yang mengisyaratkan sikap ridhanya, baik lisan ataupun tindakan. 308. Kata ridha diiringi dengan sifat syar’i. Tujuannya, dimaksudkan untuk meniadakan ridha anak kecil, orang dungu, orang gila dan orang-orang yang tidak dibebani dengan kewajiban hukum. Karena ridha mereka tidak berarti, dan setiap transaksi mereka diwakilkan oleh walinya. 309. Penting untuk diketahui, bahwa ridha yang dianggap benar dan sah dari kedua belah pihak yang bertransaksi, harus bersesuaian dengan syari’at. Bila syari’at melarang transaksi tersebut, maka tetap haram walaupun manusia meridhainya. 310. KAIDAH KELIMA : Akad Harus Berasal Dari Pemilik Barang, Pemiliki Hak atau Wakilnya Kaidah ini berdasarkan dalil al Qur`an, Sunnah dan Ijma’ serta Qias yang shahih untuk berlaku adil. Pemilik barang atau jasa dan wakilnya, merekalah yang berhak untuk menentukan segalanya, baik untuk meneruskan transaksi atau membatalkannya. 311. Atas dasar itu, seseorang yang ingin menjual barang, meminjamkan, menghadiahkan, mewasiatkan, mewakafkan, atau menggadaikannya dan sebagainya, tetapi dia bukan sebagai pemiliknya, maka mu’amalah tersebut tidak sah, sampai mendapatkan ia izin dari pemiliknya. 312. Masih berkaitan dengan kaidah ini, seseorang tidak berwenang dengan barang yang belum sempurna akad transaksinya, sampai ia telah resmi menjadi pemilik barang tersebut, baik dengan meletakkan barang di rumahnya atau dalam genggaman tangannya, dan tanda kepemilikan lainnya. 313. Contoh lain dari kaidah ini, pemilik barang yang masih tersangkut dengan hak orang lain. Misalnya, barang yang digunakan untuk jaminan atau barang yang merupakan milik patungan dengan orang lain, maka pemilik barang tidak boleh secara mutlak untuk bertransaksi, kecuali setelah mendapat izin dari syarikatnya atau yang memiliki kepentingan dengan barang tersebut. 314. KAIDAH KEENAM DAN KETUJUH : Akad Yang Mengandung Unsur Meninggalkan Perkara Wajib Atau Perbuatan Haram, Maka Transaksinya Menjadi Haram Dan Tidak Sah. Hal ini telah disebutkan di beberapa tempat. Semisal yang telah disebutkan dalam surat al Jumu’ah tentang haram dan tidak sahnya akad jual beli yang dilakukan setelah adzan Jum’at bagi laki-laki yang telah diwajibkan shalat Jum’at. Setiap amalan yang menyibukkan dia sehingga meninggalkan kewajiban, maka amalan tersebut haram. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : 315. َ‫ّللا َو َم ْن يَ ْفعَ ْل ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُ ُم ْالخَاس ُِرون‬ ِ َّ ‫ع ْن ِذ ْك ِر‬ َ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ال ت ُ ْل ِه ُك ْم أ َ ْم َوالُكُ ْم َوال أ َ ْوالد ُ ُك ْم‬ 316. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang membuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi” [al Munafiqun : 9]. 317. Demikian juga, jual beli yang digunakan untuk yang haram, seperti anggur yang digunakan untuk minuman keras, senjata yang digunakan untuk merampok atau membunuh, maka diharamkan dan tidak sah. Wallahu a’lam bish shawab. 318. Maraji` :

Hadits ke-1 Dari Rifa'ah Ibnu Rafi' bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah ditanya: Pekerjaan apakah yang paling baik?. Beliau bersabda: "Pekerjaan seseorang dengan tangannya dan setiap jual-beli yang bersih." Riwayat al-Bazzar. Hadits shahih menurut Hakim. Hadits ke-2 Dari Jabir Ibnu Abdullah Radliyallaahu 'anhu bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda di Mekkah pada tahun penaklukan kota itu: "Sesungguhnya Allah melarang jual-beli minuman keras, bangkai, babi dan berhala." Ada orang bertanya: Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat baginda tentang lemak bangkai karena ia digunakan untuk mengecat perahu, meminyaki kulit dan orang-orang menggunakannya untuk menyalakan lampu?. Beliau bersabda: "Tidak, ia haram." Kemudian setelah itu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Allah melaknat

orang-orang Yahudi, karena ketika Allah mengharamkan atas mereka (jual-beli) lemak bangkai mereka memprosesnya dan menjualnya, lalu mereka memakan hasilnya." Muttafaq Alaihi. Hadits ke-3 Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila dua orang yang berjual beli berselisih, sedang di antara mereka tidak ada keterangan yang jelas, maka perkataan yang benar ialah apa yang dikatakan oleh pemilik barang atau mereka membatalkan transaksi." Riwayat Imam Lima. Hadits shahih menurut Hakim. Hadits ke-4 Dari Abu Mas'u al-Anshory Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang mengambil uang penjualan anjing, uang pelacuran, dan upah pertenungan. Muttafaq Alaihi. Hadits ke-5 Dari Jabir Ibnu Abdullah Radliyallaahu 'anhu bahwa ia menumpang untanya yang sudah lemah dan ia ingin membiarkannya. Ia berkata: Aku bertemu Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, lalu beliau berdoa untukku dan memukul untaku. Kemudian unta itu berjalan tidak seperti biasanya. Lalu beliau bersabda: "Juallah ia padaku dengan satu uqiyyah." Aku berkata: Tidak. Beliau bersabda lagi: "Juallah ia padaku." Lalu aku menjualnya dengan satu uqiyyah, namun dengan syarat aku membawanya dahulu pada keluargaku. Setelah aku melakukannya aku datang pada beliau dengan unta itu dan beliau membayar harganya kepadaku. Kemudian aku pulang dan beliau mengirim seseorang membuntutiku. Lalu beliau bersabda: "Apakah engkau mengira aku menawarmu untuk mengambil untamu? Ambillah untamu dan uangmu, ia hadiah untukmu." Muttafaq Alaihi. Susunan kalimat ini menurut riwayat Muslim. Hadits ke-6 Dia berkata: Seseorang di antara kami berwasiat memerdekakan seorang budak miliknya setelah ia meninggal dunia, padahal ia tidak memiliki harta selain budak tersebut. Lalu Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memanggil budak itu dan menjualnya. Muttafaq Alaihi. Hadits ke-7 Dari Maimunah istri Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bahwa ada seekor tikus yang jatuh ke dalam samin (sejenis mentega), lalu mati. Kemudian hal itu ditanyakan kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan beliau menjawab: "Buanglah tikus dan samin yang ada di sekitarnya, dan makanlah (samin yang tersisa)." Riwayat Bukhari. Ahmad dan Nasa'i menambahkan: Dalam samin yang beku. Hadits ke-8 Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila tikus jatuh ke dalam samin, maka buanglah tikus dan sekitarnya jika samin itu beku dan janganlah mendekatinya bila samin itu cair." Riwayat Ahmad dan Abu Dawud. Bukhari dan Abu Hatim menyatakan bahwa hadits ini keliru. Hadits ke-9 Abu al-Zubair berkata: Aku bertanya Jabir Radliyallaahu 'anhu tentang harga kucing dan anjing. Ia berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang hal itu. Riwayat Muslim dan Nasa'i dengan tambahan: Kecuali anjing pemburu. Hadits ke-10 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu berkata: Barirah datang kepadaku seraya berkata: Aku telah bermukatabah (perjanjian antara seorang budak dengan majikannya bahwa budak tersebut akan merdeka bila dapat membayar sejumlah uang yang mereka sepakati) dengan majikanku sebesar sembilan uqiyyah, setiap tahun satu uqiyyah, maka tolonglah aku. Aku berkata: Jika majikanmu bersedia aku membayarnya kepadanya dengan syarat wala'-nya (harta warisan bagi yang memerdekakan budak) nanti untukku, maka aku akan menolongmu. Kemudian Barirah menghadap majikannya dan mengungkapkan hal itu, namun majikannya menolak. Ia datang lagi sewaktu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam sedang duduk seraya berkata: Aku telah menyampaikannya kepadanya, tetapi ia menolak kecuali jika wala' itu tetap miliknya. Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mendengar dan 'Aisyah memberitahukan hal itu kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, lalu beliau bersabda: "Ambillah dan berilah persyaratan wala' itu kepadanya, sebab wala' itu hanya bagi orang yang memerdekakan." Lalu 'Aisyah melakukan hal itu. Kemudian Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam berdiri di hadapan orang-orang dan setelah memuji Allah dan menyanjung-Nya beliau bersabda: "Amma ba'du, mengapa ada orang-orang yang memberikan persyaratan yang tidak ada dalam al-Qur'an?. Setiap syarat yang tidak tercantum dalam al-Qur'an adalah batil, walaupun seratus syarat. Ketetapan Allah itu lebih hak dan syarat (yang ditetapkan) Allah itu lebih kuat, dan

wala' itu hanya bagi orang yang memerdekakan." Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut riwayat Bukhari. Menurut riwayat Muslim: "Belilah dan merdekakanlah, dan berilah persyaratan wala' kepadanya." Hadits ke-11 Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Umar melarang menjual budak-budak yang memiliki anak (dari hasil dengan majikannya), ia berkata: Tidak boleh dijual, diberikan, dan diwariskan. Ia boleh menikmati sekehendaknya, dan jika ia (majikan) meninggalkan ia merdeka. Riwayat Malik dan Baihaqi, dan ia menyatakan bahwa sebagian perawi menganggapnya marfu' tapi ia keliru. Hadits ke-12 Jabir Radliyallaahu 'anhu berkata: Kami biasa menjual budak-budak wanita kami, ibu dari anak-anak dan NabiShallallaahu 'alaihi wa Sallam masih hidup. Beliau tidak mempermasalahkannya. Riwayat Nasa'i, Ibnu Majah, dan Daruquthni. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban. Hadits ke-13 Jabir Ibnu Abdullah berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang menjual sisa kelebihan air. Riwayat Muslim. Dalam suatu riwayat ia menambahkan: Dan mengupahkan persetubuhan unta jantan. Hadits ke-14 Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang mengupahkan persetubuhan binatang jantan. Riwayat Bukhari. Hadits ke-15 Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang menjual-belikan hewan yang akan dikandung oleh hewan yang masih dalam kandungan. Ini adalah jual-beli yang dilakukan masyarakat jahiliyyah, yaitu seseorang membeli unta yang akan dibayar nanti bila ia melahirkan, kemudian anak yang masih berada dalam perut itu juga melahirkan. Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut riwayat Bukhari. Hadits ke-16 Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang menjual-belikan wala' dan menghadiahkannya. Muttafaq Alaihi. Hadits ke-17 Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang jual-beli dengan cara melempar batu dan jual-beli gharar (yang belum jelas harga, barang, waktu dan tempatnya). Riwayat Muslim. Hadits ke-18 Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa membeli suatu makanan maka janganlah ia menjualnya sebelum menerima sukatannya." Riwayat Muslim. Hadits ke-19 Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang dua jualbeli dalam satu transaksi jual-beli. Riwayat Ahmad dan Nasa'i. Hadits shahih menurut Tirmidzi. Hadits ke-20 Menurut riwayat Abu Dawud: Barangsiapa melakukan dua jual-beli dalam satu transaksi, maka baginya harga yang murah atau ia termasuk riba'. Hadits ke-21 Dari Amar Ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak dihalalkan meminjam dan menjual, dua syarat dalam satu transaksi jual-beli, keuntungan yang belum dapat dijamin, dan menjual sesuatu yang tidak engkau miliki." Riwayat Imam Lima. Hadits shahih menurut Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah dan Hakim. Hadits ke-22 Amar Ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallammelarang jual-beli 'urban (memberikan panjar/persekot terlebih dahulu dan jika jualbeli itu tidak jadi maka uang panjar tersebut hangus)". Riwayat Malik. Ia berkata: Aku menerimanya dari Amar Ibnu Syu'aib. Hadits ke-23 Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku pernah membeli minyak di pasar dan ketika minyak itu telah menjadi hak milikku aku bertemu dengan seseorang yang akan membelinya dengan keuntungan yang baik. Ketika aku hendak mengiyakan tawaran orang tersebut, ada seseorang dari belakang yang memegang lenganku. Aku berpaling dan ternyata ia adalah Zaid Ibnu Tsabit. Lalu ia berkata: Jangan menjualnya di tempat engkau membeli, sampai engkau membawanya ke tempatmu, sebab

Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang menjual barang di tempat barang itu dibeli sampai para pedagang membawanya ke tempat mereka. Riwayat Ahmad dan Abu Dawud dengan lafadz menurutnya. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan Hakim. Hadits ke-24 Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku berkata, wahai Rasulullah, aku menjual unta di Baqi'. Aku menjual dengan dinar tapi aku menerima dirham, aku menjual dengan dirham tapi aku menerima dinar, aku mengambil ini dari ini tapi aku menerima itu dari itu. Lalu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak apa-apa engkau mengambilnya dengan harga pada hari itu selama engkau berdua belum berpisah dan antara kamu berdua tidak masalah." Riwayat Imam Lima. Hadits shahih menurut Hakim. Hadits ke-25 Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang berjualan dengan najasy (memuji barang dagangan secara berlebihan). Muttafaq Alaihi. Hadits ke-26 Dari Jabir Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang jual-beli dengan cara muhaqalah (menjual biji atau tanaman dengan borongan yang masih samar ukurannya), muzabanah (menjual buah yang masih segar dengan yang sudah kering dengan sukatan), mukhobarah (menyewakan tanah untuk ditanami tumbuhan dengan syarat si pemilik tanah mendapat keuntungan setengah atau lebih dari hasilnya), dan tsunaya (penjualan dengan memakai pengecualian), kecuali jika ia jelas. Riwayat Imam Lima kecuali Ibnu Majah. Hadits shahih menurut Tirmidzi. Hadits ke-27 Anas berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang jual-beli dengan cara muhaqalah, muhadlarah (menjual buah-buahan yang belum masak yang belum tentu bisa dimakan), mulamasah (menjual sesuatu dengan hanya menyentuh), munabadzah (membeli sesuatu dengan sekedar lemparan), dan muzabanah. Riwayat Bukhari. Hadits ke-28 Dari Thawus, dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Janganlah engkau menghadang kafilah di tengah perjalanan (untuk membeli barang dagangannya), dan janganlah orang kota menjual kepada orang desa." Aku bertanya kepada Ibnu Abbas: Apa maksud sabda beliau "Janganlah orang kita menjual kepada orang desa?". Ibnu Abbas menjawab: Janganlah menjadi makelar (perantara). Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut riwayat Bukhari. Hadits ke-29 Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Janganlah menghadang barang dagangan dari luar kota. Barangsiapa di hadang, kemudian sebagian barangnya dibeli, maka jika pemilik barang telah datang ke pasar, ia boleh memilih (antara membatalkan atau tidak)." Riwayat Muslim. Hadits ke-30 Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang orang kota menjual kepada orang desa, jangan melakukan jual-beli dengan najasy, janganlah seseorang menjual sesuatu yang dijual oleh orang lain, dan janganlah seorang perempuan meminta thalaq saudaranya agar ia menjadi gantinya." Muttafaq Alaihi. Menurut riwayat Muslim: "Janganlah seorang muslim menawar atas tawaran saudaranya." Hadits ke-31 Abu Ayyub al-Anshory Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallambersabda: "Barangsiapa memisahkan antara seorang ibu dan anaknya, Allah akan memisahkan dia dari kekasihnya pada hari kiamat." Riwayat Ahmad. Hadits shahih menurut Tirmidzi dan Hakim, namun sanadnya masih dipertentangkan dan ia mempunyai saksi. Hadits ke-32 Ali Ibnu Abu Thalib Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah menyuruhku untuk menjual dua orang budak kecil bersaudara. Lalu aku menjualnya secara terpisah dan aku beritahukan hal itu kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam Beliau bersabda: "Susullah dan ambillah kembali, dan jangan menjual mereka kecuali dengan bersama-sama." Riwayat Ahmad dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya. Hadits shahih menurut Ibnu Khuzaimah, Ibnu al-Jarud, Ibnu Hibban, Hakim, Thabrani, dan Ibnu al-Qothan. Hadits ke-33 Anas Ibnu Malik berkata: Pada zaman Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah terjadi kenaikan harga barang-barang di Madinah. Maka orang-orang berkata: Wahai Rasulullah, harga

barang-barang melonjak tingi, tentukanlah harga bagi kami. Lalu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya Allahlah penentu harga, Dialah yang menahan, melepas dan pemberi rizki. Dan aku berharap menemui Allah dan berharap tiada seorangpun yang menuntutku karena kasus penganiayaan terhadap darah maupun harta benda." Riwayat Imam Lima kecuali Nasa'i. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban. Hadits ke-34 Dari Ma'mar Ibnu Abdullah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak akan menimbun (barang) kecuali orang yang berdosa." Riwayat Muslim. Hadits ke-35 Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Janganlah menahan susu unta dan kambing. Barangsiapa membelinya ia boleh memilih yang lebih baik antara dua hal, setelah memeras susunya; yaitu jika ia mau, ia boleh menahannya dan jika tidak ia boleh mengembalikannya dengan satu sho' kurma." Muttafaq Alaihi. Menurut riwayat Muslim: "Ia boleh memilih selama tiga hari." Menurut riwayatnya yang dikomentari oleh Bukhari: "Ia mengembalikannya beserta satu sho' makanan tanpa gandum." Bukhari berkata: Dan kurma itu lebih banyak. Hadits ke-36 Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu berkata: Barangsiapa membeli seekor kambing yang penuh susunya (tidak diperas), lalu ia mengembalikannya, maka hendaknya ia mengembalikannya beserta satu sho'. Riwayat Bukhari. Al-Isma'ily menambahkan: (Satu sho' kurma. Hadits ke-37 Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah melewati sebuah tumpukan makanan. Lalu beliau memasukkan tangannya ke dalam tumpukan tersebut dan jari-jarinya basah. Maka beliau bertanya: "Apa ini wahai penjual makanan?". Ia menjawab: Terkena hujan wahai Rasulullah. Beliau bersabda: "Mengapa tidak engkau letakkan di bagian atas makanan agar orang-orang dapat melihatnya? Barangsiapa menipu maka ia bukan termasuk golonganku." Riwayat Muslim. Hadits ke-38 Dari Abdullah Ibnu Buraidah, dari ayahnya bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa membiarkan anggurnya pada musim panen untuk dijual kepada orang-orang yang membuat minuman keras, maka sesungguhnya ia telah menempuh api neraka dengan sengaja." Riwayat Thabrani dalam kitab al-Ausath dengan sanad Hasan. Hadits ke-39 Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Pengeluaran itu dengan tanggungan." Riwayat Imam Lima. Hadits dlo'if menurut Bukhari dan Abu Dawud. Hadits shahih menurut Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu al-Jarud, Ibnu Hibban, Hakim, dan Ibnu al-Qotthon. Hadits ke-40 Dari Urwah al-Bariqy Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah memberinya satu dinar untuk dibelikan seekor hewan kurban atau kambing. Ia membeli dengan uang tersebut dua ekor kambing dan menjual salah satunya dengan harga satu dinar. Lalu ia datang kepada beliau dengan seekor kambing dan satu dinar. Beliau mendoakan agar jual-belinya diberkahi Allah, sehingga kalaupun ia membeli debu, ia akan memperoleh keuntungan. Riwayat Imam Lima kecuali Nasa'i. Bukhari meriwayatkan hadits tersebut dalam salah satu riwayatnya, namun lafadznya tidak seperti itu Hadits ke-41 Tirmidzi juga mengeluarkan satu saksi dari hadits Hakim Ibnu Hizam. Hadits ke-42 Dari Abu Said al-Khudry Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang melakukan jual-beli anak yang masih berada dalam kandungan hewan sebelum dilahirkan, susu yang masih berada dalam teteknya, seorang hamba yang melarikan diri, harta rampasan yang belum dibagi, zakat yang belum diterima, dan hasil seorang penyelam. Riwayat Ibnu Majah dan al-Bazzar. Daruquthni juga meriwayatkan dengan sanad lemah. Hadits ke-43 Dari Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Janganlah membeli ikan dalam air karena ia tidak jelas." Riwayat Ahmad. Ia memberi isyarat bahwa yang benar hadits ini mauquf. Hadits ke-44 Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang menjual buah-buahan hingga masak, bulu yang masih melekat di punggung (hewan hidup), dan susu dalam

tetek. Riwayat Thabrani dalam kitab al-Ausath. dan Daruquthni. Abu Dawud meriwayatkan dalam hadits-hadits mursal ikrimah, ia juga meriwayatkan secara mauquf dari Ibnu Abbas dengan sanad kuat yang diperkuat oleh Baihaqi. Hadits ke-45 Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang jual-beli anak hewan dalam kandungan dan mani ternak jantan. Riwayat al-Bazzar dengan sanad lemah. Hadits ke-46 Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa membebaskan jual-beli seorang muslim, Allah akan membebaskan kesalahannya." Riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan Hakim. Hadits ke-47 Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila dua orang melakukan jual-beli, maka masing-masing orang mempunyai hak khiyar (memilih antara membatalkan atau meneruskan jual-beli) selama mereka belum berpisah dan masih bersama; atau selama salah seorang di antara keduanya tidak menentukan khiyar pada yang lain, lalu mereka berjual-beli atas dasar itu, maka jadilah jual-beli itu. Jika mereka berpisah setelah melakukan jual-beli dan masing-masing orang tidak mengurungkan jual-beli, maka jadilah jual-beli itu." Muttafaq Alaihi. Dan lafadznya menurut riwayat Muslim. Hadits ke-48 Dari Amar Ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallambersabda: "Penjual dan pembeli mempunyai hak khiyar sebelum keduanya berpisah, kecuali telah ditetapkan khiyar dan masing-masing pihak tidak diperbolehkan pergi karena takut jualbeli dibatalkan." Riwayat Imam Lima kecuali Ibnu Majah, Daruquthni, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu alJarus. Dalam suatu riwayat: "Hingga keduanya meninggalkan tempat mereka." Hadits ke-49 Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Ada seseorang mengadu kepada Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallambahwa ia tertipu dalam jual beli. Lalu beliau bersabda: "Jika engkau berjual-beli, katakanlah: Jangan melakukan tipu daya." Muttafaq Alaihi. Hadits ke-50 Jabir Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melaknat pemakan riba, pemberi makan riba, penulisnya, dan dua orang saksinya. Beliau bersabda: "Mereka itu sama." Riwayat Muslim. Hadits ke-51 Bukhari juga meriwayatkan hadits semisal dair Abu Juhaifah. Hadits ke-52 Dari Abdullah Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Riba itu mempunyai 73 pintu, yang paling ringan ialah seperti seorang laki-laki menikahi ibunya dan riba yang paling berat ialah merusak kehormatan seorang muslim." Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan ringkas dan Hakim dengan lengkap, dan menurutnya hadits itu shahih. Hadits ke-53 Dari Abu Said Al-Khudry Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Janganlah menjual emas dengan emas kecuali yang sama sebanding dan jangan menambah sebagian atas yang lain; janganlah menjual perak dengan perak kecuali yang sama sebanding dan jangan menambah sebagian atas yang lain, dan janganlah menjual perak yang tidak tampak dengan yang tampak." Muttafaq Alaihi. Hadits ke-54 Dari Ubadah al-Shomit bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "(Diperbolehkan menjual) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya'ir dengan sya'ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, sama sebanding, sejenis, dan ada serah terima." Riwayat Muslim. Hadits ke-55 Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "(Diperbolehkan menjual) emas dengan emas yang sama timbangannya dan sama sebanding, dan perak dengan perak yang sama timbangannya dan sama sebanding. Barangsiapa menambah atau meminta tambahan maka itu riba." Riwayat Muslim. Hadits ke-56 Dari Abu Said al-Khudry dan Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallammengangkat seorang amil zakat untuk daerah Khaibar. Ia kemudian membawa kepada beliau kurma yang bagus; Lalu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bertanya: "Apakah setiap

kurma khaibar seperti ini?". Ia menjawab: Demi Allah tidak, wahai Rasulullah. Kami menukar satu sho' seperti ini dengan dua sho', dan dua sho' dengan tiga sho'. Lalu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Jangan lakukan itu, juallah semuanya dengan dirham, kemudian belilah kurma yang bagus dengan dirham tersebut." Beliau bersabda: " Demikian juga dengan benda-benda yang ditimbang." Muttafaq Alaihi. Menurut riwayat Muslim: "Demikian pula benda-benda yang ditimbang." Hadits ke-57 Jabir Ibnu Abdullah Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang jual-beli setumpuk kurma yang tidak diketahui takarannya dengan kurma yang diketahui takarannya. Riwayat Muslim. Hadits ke-58 Ma'mar Ibnu Abdullah Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallambersabda: "Makanan dengan makanan yang sama sebanding." Makanan kami pada hari itu adalah sya'ir. Riwayat Muslim. Hadits ke-59 Fadlalah Ibnu Ubaid Radliyallaahu 'anhu berkata: Pada hari perang Khaibar aku membeli kalung emas bermanik seharga dua belas dinar. Setelah manik-manik itu kulepas ternyata ia lebih dari dua belas dinar. Lalu aku beritahukan hal itu kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, dan beliau bersabda: "Tidak boleh dijual sebelum dilepas." Riwayat Muslim. Hadits ke-60 Dari Samurah Ibnu Jundab bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang jual-beli hewan dengan hewan penundaan. Riwayat Imam Lima. Hadits shahih menurut Tirmidzi dan Ibnu al-Jarud. Hadits ke-61 Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Jika engkau sekalian berjual-beli dengan 'inah (hanya sekedar mengejar keuntungan materi belaka), selalu membuntuti ekor-ekor sapi, hanya puas menunggui tanaman, dan meninggalkan jihad maka Allah akan meliputi dirimu dengan suatu kehinaan yang tidak akan dicabut sebelum kamu kembali kepada agamamu." Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Nafi', dan dalam sanadnya ada pembicaraan. Ahmad meriwayatkan dari Atho' dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya dan dinilai shahih oleh Ibnu Qoththon. Hadits ke-62 Dari Abu Umamah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa memberi syafa'at (menjadi perantara untuk suatu kebaikan) kepada saudaranya, lalu ia diberi hadiah dan diterimanya, maka ia telah mendatangi sebuah pintu besar dari pintu-pintu riba." Riwayat Ahmad dan Abu Dawud, dan dalam sanadnya ada pembicaraan. Hadits ke-63 Dari Abdullah Ibnu Amar Ibnu al-'Ash Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melaknat orang yang memberi dan menerima suap. Riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi. Hadits shahih menurut Tirmidzi. Hadits ke-64 Dari Abdullah Ibnu Amar Ibnu al-'Ash Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menyuruhnya untuk menyiapkan pasukan tentara, tetapi unta-unta telah habis. Lalu beliau menyuruhnya agar menghutang dari unta zakat. Ia berkata: Aku menghutang seekor unta akan dibayar dengan dua ekor unta zakat. Riwayat Hakim dan Baihaqi dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya. Hadits ke-65 Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang jual-beli muzabanah, yaitu seseorang yang menjual buah kebunnya, jika kurma basah dijual dengan kurma kering bertakar, anggur basah dijual dengan anggur kering bertakar, dan tanaman kering dijual dengan makanan kering bertakar. Beliau melarang itu semua. Muttafaq Alaihi. Hadits ke-66 Sa'ad Ibnu Abu waqqash Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallamditanya tentang hukumnya membeli kurma basah dengan kurma kering. Beliau bersabda: "Apakah kurma basah itu berkurang jika mengering?". Ia menjawab: Ya. Lalu beliau melarang hal itu. Riwayat Imam Lima. Hadits shahih menurut Ibnu al-Madiny, Tirmidzi, Ibnu Hibban, dan Hakim. Hadits ke-67 Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang jual-beli yang kemudian dengan yang kemudian, yakni hutang dengan hutang. Riwayat Ishaq dan al-Bazzar dengan sanad lemah.

Hadits ke-68 Dari Zaid Ibnu Tsabit Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memberi keringanan dalam ariyah (pohon yang diserahkan perawatannya pada orang lain untuk diambil buahnya); untuk dijual buahnya dengan tangkainya dengan menggunakan takaran. Muttafaq Alaihi. Menurut riwayat Muslim Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memberi keringanan dalam ariyah, yaitu penghuni rumah (pemilik pohon yang menyerahkan perawatan pohon tersebut kepada orang lain) boleh memberi kurma basah dengan kurma kering agar mereka dapat memakan kurma basah. Hadits ke-69 Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memberi keringanan menjual buah kurma ariyah yang masih ditangkainya (basah) dengan kurma kering selama masih kurang dari lima wasaq (1 wasaq : 21 kg). Muttafaq Alaihi. Hadits ke-70 Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang menjual buah-buahan yang belum kelihatan baik. Beliau melarang penjual dan pembeli. Muttafaq Alaihi. Dalam suatu riwayat: Apabila beliau ditanya tentang buah yang baik, beliau bersabda: "Sampai penyakitnya hilang." Hadits ke-71 Dari Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang menjual buah-buahan sehingga baik. Ada orang yang bertanya: Apa pertanda baiknya? Beliau menjawab: "Memerah atau menguning." Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Bukhari. Hadits ke-72 Dari Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang menjual buah anggur hingga berwarna hitam dan menjual biji-bijian hingga keras. Riwayat Imam Lima kecuali Nasa'i. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan Hakim. Hadits ke-73 Dari Jabir Ibnu Abdullah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Seandainya engkau menjual kurma kepada saudaramu, kemudian ia membusuk, maka tidak halal engkau mengambil apapun darinya. Dengan jalan apa engkau boleh mengambil harta saudaramu secara tidak hak?." Riwayat Muslim. Dalam suatu riwayatnya yang lain: Bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memerintahkan untuk meletakkan (tidak menjual) kurma yang busuk. Hadits ke-74 Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa menjual pohon kurma setelah dikawinkan, maka buahnya adalah pemilik penjual pohon tersebut, kecuali jika pembeli memberikan persyaratan dahulu." Muttafaq Alaihi. Hadits ke-75 Ibnu Abbas berkata: Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam datang ke Madinah dan penduduknya biasa meminjamkan buahnya untuk masa setahun dan dua tahun. Lalu beliau bersabda: "Barangsiapa meminjamkan buah maka hendaknya ia meminjamkannya dalam takaran, timbangan, dan masa tertentu." Muttafaq Alaihi. Menurut riwayat Bukhari: "Barangsiapa meminjamkan sesuatu." Hadits ke-76 Abdurrahman Ibnu Abza dan Abdullah Ibnu Aufa Radliyallaahu 'anhu berkata: Kami menerima harta rampasan bersama Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam Dan datanglah beberapa petani dari Syam, lalu kami beri pinjaman kepada mereka berupa gandum, sya'ir, dan anggur kering -dalam suatu riwayat- dan minyak untuk suatu masa tertentu. Ada orang bertanya: Apakah mereka mempunyai tanaman? Kedua perawi menjawab: Kami tidak menanyakan hal itu kepada mereka. Riwayat Bukhari. Hadits ke-77 Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa mengambil harta orang dengan maksud mengembalikannya, maka Allah akan menolongnya untuk dapat mengembalikannya; dan barangsiapa mengambilnya dengan maksud menghabiskannya, maka Allah akan merusaknya." Riwayat Bukhari. Hadits ke-78 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku berkata, wahai Rasulullah, sesungguhnya barang-barang pakaian telah datang pada si Fulan dari Syam. Seandainya baginda mengutus seseorang kepadanya, baginda akan dapat mengambil dua buah pakaian dengan pembayaran nanti pada saat kemudahan. Lalu beliau mengutus seseorang kepadanya, namun pemiliknya menolak. Dikeluarkan oleh Hakim dan Baihaqi dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya.

Hadits ke-79 Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Punggung hewan yang digadaikan boleh dinaiki dengan membayar dan susu hewan yang digadaikan boleh diminum dengan membayar. Bagi orang yang menaiki dan meminumnya wajib membayar." Riwayat Bukhari. Hadits ke-80 Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barang gadaian tidak menutup pemilik yang menggadaikannya, keuntungan untuknya dan kerugiannya menjadi tanggungannya." Riwayat Daruquthni dan Hakim dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya. Namun yang terpelihara bagi Abu Dawud dan lainnya hadits itu mursal. Hadits ke-81 Dari Abu Rafi' Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah meminjam unta muda dari seseorang. Kemudian beliau menerima unta zakat, lalu beliau menyuruh Abu Rafi' untuk mengembalikan hutang untanya kepada orang tersebut. Abu Rafi' berkata: Aku hanya menemukan unta berumur empat tahun. Beliau bersabda: "Berikanlah kepadanya, karena sebaik-baik orang ialah yang paling baik melunasi hutang." Riwayat Muslim. Hadits ke-82 Dari Ali Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah saaw. bersabda: "Setiap hutang yang menarik manfaat adalah riba." Riwayat Harits Ibnu Abu Usamah dan sanadnya terlalu lemah. Hadits ke-83 Menurut riwayat Baihaqi ada saksi lemah dari Fadlalah Ibnu Ubaid. Hadits ke-84 Ada hadits lain yang diriwayatkan Bukhari secara mauquf dari Abdullah Ibnu Salam. Hadits ke-85 Dari Abu Bakar Ibnu Abdurrahman bahwa Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku mendengar RasulullahShallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa menemukan barangnya benar-benar berada pada orang yang jatuh bangkrut (pailit), maka ia lebih berhak terhadap barang tersebut daripada orang lain." Muttafaq Alaihi. Hadits ke-86 Abu Dawud dan Malik meriwayatkan dari Abu Bakar Ibnu Abdurrahman secara mursal dengan lafadz: "Jika ada orang yang menjual barang, kemudian pembeli barang tersebut jatuh miskin padahal ia belum membayar apapun dari harganya, sedang penjual masih mendapatkan barangnya utuh, maka ia lebih berhak terhadap barang tersebut; jika pembelinya meninggal dunia maka barang tersebut menjadi milik orang-orang yang memberi hutang." Menurut Baihaqi hadits tersebut maushul, dan dha'if karena mengikuti Abu Dawud. Hadits ke-87 Abu Dawud dan Ibnu Majah meriwayatkan hadits dari Umar Ibnu Kholadah bahwa ia berkata: Kami datang kepada Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu menanyakan tentang teman kami yang bangkrut, lalu ia berkata: Aku berikan kepadamu suatu ketetapan hukum dari Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, yaitu: "Barangsiapa bangkrut atau meninggal dunia, lalu orang itu mendapatkan barangnya masih utuh, maka ia lebih berhak atas barang tersebut." Hadits shahih menurut Hakim dan dha'if menurut Abu Dawud. Abu Dawud juga menilai dha'if keterangan tentang "meninggal dunia" pada hadits ini. Hadits ke-88 Dari Amar Ibnu al-Syarid, dari ayahnya Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Orang mampu yang menangguhkan pembayaran hutang dihalalkan kehormatannya dan siksanya." Riwayat Abu Dawud dan Nasa'i. Hadits mu'allaq menurut Bukhari dan shahih menurut Ibnu Hibban. Hadits ke-89 Abu Said Al-Khudry Radliyallaahu 'anhu berkata: Pada zaman Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam ada seseorang terkena musibah pembusukan pada buah-buahan yang dibelinya, lalu hutangnya menumpuk dan bangkrut. Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam lalu bersabda: "Bersedekahlah kepadanya." Lalu orang-orang bersedekah kepadanya, namun belum cukup melunasi hutangnya. Maka bersabdalah Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallamkepada orang-orang yang menghutanginya: "Ambillah apa yang kalian dapatkan karena hanya itulah milik kalian." Riwayat Muslim. Hadits ke-90 Dari Ibnu Ka'ab Ibnu Malik, dari ayahnya Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa

Sallam pernah menahan harta benda milik Muadz dan menjualnya untuk melunasi hutangnya. Riwayat Daruquthni. Hadits shahih menurut Hakim dan mursal menurut tarjih Abu Dawud. Hadits ke-91 Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku dihadapkan pada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam waktu perang Uhud ketika aku berumur 14 tahun, namun beliau belum membolehkanku (untuk ikut berperang). Aku dihadapkan lagi pada waktu perang khandaq ketika aku berumur 15 tahun dan beliau membolehkanku. Muttafaq Alaihi. Dalam suatu riwayat Baihaqi: Beliau belum membolehkanku dan belum menganggapku telah dewasa. Hadits shahih menurut Ibnu Khuzaimah. Hadits ke-92 Athiyyah al-Quradhy Radliyallaahu 'anhu berkata: Kami dihadapkan pada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam waktu perang quraidhoh. Lalu orang yang telah tumbuh bulunya dibunuh dan yang belum tumbuh bulunya dibebaskan, sedang aku termasuk orang yang belum tumbuh bulunya, maka aku dibebaskan. Riwayat Imam Empat. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan Hakim, ia berkata: Hadits tersebut menurut persyaratan Bukhari-Muslim. Hadits ke-93 Dari Amar Ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak diperbolehkan bagi seorang istri memberikan sesuatu kecuali dengan seizin suaminya." Dalam suatu lafadz: "Tidak diperbolehkan bagi seorang istri mengurus hartanya yang dimiliki oleh suaminya." Riwayat Ahmad dan para pengarang kitab al-Sunan kecuali Tirmidzi. Hadits shahih menurut Hakim. Hadits ke-94 Dari Qabishoh Ibnu Mukhoriq Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya minta-minta tidak dihalalkan kecuali bagi salah seorang di antara tiga macam orang, yaitu: Orang yang menanggung hutang orang lain, ia boleh meminta-minta hingga dapat melunasinya, kemudian ia berhenti; orang yang terkena musibah yang menghabiskan hartanya. Ia boleh meminta-minta hingga mendapatkan sandaran hidup; dan orang yang ditimpa kefakiran hingga tiga orang yang mengetahuinya dari kalangan kaumnya berkata: Si Fulan telah ditimpa kefakiran, ia dibolehkan meminta-minta." Riwayat Muslim. Hadits ke-95 Dari Amar Ibnu Auf al-Muzany Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah saaw. bersabda: "Perdamaian itu halal antara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan hal yang haram atau menghalalkan hal yang haram. Kaum muslim wajib berpegang pada syarat-syarat mereka, kecuali syarat yang mengharamkan hal yang halal atau menghalalkan yang haram." Hadits shahih riwayat Tirmidzi. Namun banyak yang mengingkarinya karena seorang perawinya yang bernama Katsir Ibnu Abdullah Ibnu Amar Ibnu Auf adalah lemah. Mungkin Tirmidzi menganggapnya baik karena banyak jalannya. Hadits ke-96 Ibnu Hibban menilainya shahih dari hadits Abu Hurairah r.a. Hadits ke-97 Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Janganlah seseorang melarang tetangganya memasang kayu galangan pada temboknya." Kemudian Abu Hurairah berkata: Kenapa aku lihat kalian berpaling darinya? Demi Allah, aku benar-benar akan menaruh kayu-kayu itu di atas pundakmu. Muttafaq Alaihi. Hadits ke-98 Dari Abu Humaid al-Sa'idy Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak halal bagi seseorang mengambil tongkat saudaranya dengan tanpa ridlonya." Riwayat Ibnu Hibban dan Hakim dalam kitab shahih mereka. Hadits ke-99 Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Penangguhan (pembayaran hutang) orang kaya itu suatu kesesatan. Apabila seseorang di antara kamu hutangnya dipindahkan kepada orang yang mampu, hendaknya ia menerima." Muttafaq Alaihi. Menurut suatu riwayat Ahmad: "Barangsiapa (hutangnya) dipindahkan, hendaknya ia menerima." Hadits ke-100 Jabir Radliyallaahu 'anhu berkata: Ada seorang laki-laki di antara kami meninggal dunia, lalu kami memandikannya, menutupinya dengan kapas, dan mengkafaninya. Kemudian kami mendatangi Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan kami tanyakan: Apakah baginda akan menyolatkannya?. Beliau melangkan beberapa langkah kemudian bertanya: "Apakah ia mempunyai hutang?". Kami menjawab: Dua dinar. Lalu beliau kembali. Maka Abu Qotadah menanggung hutang tersebut. Ketika kami mendatanginya; Abu Qotadah berkata: Dua dinar itu menjadi tanggunganku. Lalu

Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Betul-betul engkau tanggung dan mayit itu terbebas darinya." Ia menjawab: Ya. Maka beliau menyolatkannya. Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa'i. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan Hakim. Hadits ke-101 Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bila didatangkan kepada beliau orang meninggal yang menanggung hutang, beliau bertanya: "Apakah ia meninggalkan sesuatu untuk melunasi hutangnya?". Jika dikatakan bahwa ia meninggalkan sesuatu untuk melunasi hutangnya, beliau menyolatkannya. Jika tidak, beliau bersabda: "Sholatlah atas temanmu ini." Tatkala Allah telahg memberikan beberapa kemenangan kepadanya, beliau bersabda: "Aku lebih berhak pada kaum mukminin daripada diri mereka sendiri. Maka barangsiapa meninggal dan ia memiliki hutang, akulah yang melunasinya." Muttafaq Alaihi. Menurut suatu riwayat Bukhari: "Maka barangsiapa mati dan tidak meninggalkan harta pelunasan....". Hadits ke-102 Dari Amar Ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak ada tanggungan, dalam pelaksanaan had." Riwayat Baihaqi dengan sanad lemah. Hadits ke-103 Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Allah berfirman: Aku menjadi orang ketiga dari dua orang yang bersekutu selama salah seorang dari mereka tidak berkhianat kepada temannya. Jika ada yang berkhianat, aku keluar dari (persekutuan) mereka." Riwayat Abu Dawud dan dinilai shahih oleh Hakim. Hadits ke-104 Dari al-Saib al-Mahzumy Radliyallaahu 'anhu bahwa ia dahulu adalah sekutu Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallamsebelum beliau diangkat menjadi Rasul. Ketika ia datang pada hari penaklukan kota Mekkah, beliau bersabda: "Selamat datang wahai saudaraku dan sekutuku." Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah. Hadits ke-105 Abdullah Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku, Ammar, dan Sa'ad bersekutu dalam harta rampasan yang akan kami peroleh dari perang Badar. Hadits riwayat Nasa'i. Hadits ke-106 Jabir Ibnu Abdullah Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku akan keluar menuju Khaibar, lalu aku menghadap NabiShallallaahu 'alaihi wa Sallam dan beliau bersabda: "Jika engkau menemui wakilku di Khaibar, ambillah darinya 15 wasaq." Hadits shahih riwayat Abu Dawud. Hadits ke-107 Dari Urwah al-Bariqy Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah mengutusnya dengan uang satu dinar untuk membelikan beliau hewan qurban. Hadits Bukhari meriwayatkannya di tengah-tengah suatu hadits sebagaimana tersebut dalam hadits dahulu (no.40). Hadits ke-108 Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mengutus Umar untuk mengambil zakat. Hadits. Muttafaq Alaihi. Hadits ke-109 Dari Jabir Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menyembelih 63 ekor dan menyuruh Ali Radliyallaahu 'anhu untuk menyembelih sisanya. Hadits diriwayatkan oleh Muslim. Hadits ke-110 Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu tentang kisah pelaku (zina), Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Pergilah, wahai Unais, menemui perempuan orang ini. Jika ia mengaku, rajamlah ia." Hadits. Muttafaq Alaihi. Hadits ke-111 Abu Dzar Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda kepadaku: "Katakanlah yang benar walaupun ia pahit." Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dari hadits yang panjang." Hadits ke-112 Dari Samurah Ibnu Jundab bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tangan bertanggung jawab terhadap apa yang ia ambil sampai ia mengembalikannya." Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits shahih menurut Hakim. Hadits ke-113 Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tunaikanlah amanat kepada orang yang memberimu amanat dan janganlah berkhianat kepada orang yang menghianatimu." Riwayat Tirmidzi dan Abu Dawud. Hadits hasan menurut Abu Dawud, shahih

menurut Hakim, dan munkar menurut Abu Hatim Ar-Razi. Hadits itu diriwayatkan juga oleh segolongan huffadz. Ia mencakup masalah pinjaman. Hadits ke-114 Ya'la Ibnu Umayyah Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda kepadaku: "Apabila utusanku datang kepadamu, berikanlah kepada mereka tiga puluh baju besi." Aku berkata: Wahai Rasulullah, apakah pinjaman yang ditanggung atau pinjaman yang dikembalikan? Beliau bersabda: "Pinjaman yang dikembalikan." Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa'i. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban. Hadits ke-115 Dari Shofwan Ibnu Umayyah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam meminjam darinya beberapa baju besi sewaktu perang Hunain. Ia bertanya: Apakah ia rampasan, wahai Muhammad. beliau menjawab: "Tidak, ia pinjaman yang ditanggung." Riwayat Abu Dawud, Ahmad, dan Nasa'i. Hadits shahih menurut Hakim. Hadits ke-116 Hakim juga meriwayatkannya dengan saksi lemah dari Ibnu Abbas r.a. Hadits ke-117 Dari Said Ibnu Zaid Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa mengambil sejengkal tanah dengan dlalim, Allah akan mengalungkan kepadanya dari tujuh lapis bumi." Muttafaq Alaihi. Hadits ke-118 Dari Anas Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam sedang berada di rumah salah seorang istrinya. Lalu salah satu istrinya yang lain mengutus seorang pelayan membawa sebuah piring yang berisi makanan. Kemudian ia (istri yang serumah dengan beliau) memukul dengan tangannya dan pecahlah piring tersebut. Beliau menangkupkan piring itu dan meletakkan makanan di atasnya, lalu bersabda: "Makanlah." Kemudian beliau mengembalikan piring yang baik kepada pesuruh itu dan menyimpan piring yang pecah. Riwayat Bukhari dan Tirmidzi, dan dia menyebut pemukul tersebut adalah 'Aisyah, dan menambahkan: Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Makanan diganti makanan dan bejana diganti bejana." Hadits shahih menurutnya. Hadits ke-119 Dari Rafi' Ibnu Khodij Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa menanam di atas tanah suatu kaum tanpa seizin mereka, maka ia tidak memiliki apapun dari tanaman itu, namun ia mendapat nafkah (belanja)." Riwayat Ahmad dan Imam Empat kecuali Nasa'i. Hadits hasan menurut Tirmidzi. Dikatakan bahwa Bukhari menilainya hadits dha'if. Hadits ke-120 Dari Urwah Ibnu al-Zubair Radliyallaahu 'anhu bahwa seorang sahabat Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallamberkata: Ada dua orang bertengkar mengadu kepada Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam masalah tanah. Salah seorang di antara mereka telah menanam pohon kurma di atas tanah milik yang lain. Lalu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memutuskan tanah tetap menjadi milik siempunya dan menyuruh pemilik pohon kurma untuk mencabut pohonnya, dan beliau bersabda: "Akar yang dlalim tidak punya hak." Riwayat Abu Dawud dan sanadnya hasan Hadits ke-121 Akhir hadits itu menurut pengarang-pengarang kitab al-Sunan dari riwayat Urwah, dari Said Ibnu Zaid. Tentang maushul dan mursalnya hadits tersebut serta penentuan para perawinya masih ada pertentangan. Hadits ke-122 Dari Abu Bakrah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda pada khutbahnya hari raya Kurba di Mina: "Sesungguhnya darahmu dan hartamu adalah haram atasmu sebagaimana haramnya harimu ini, pada bulanmu ini, di negerimu ini." Muttafaq Alaihi. Hadits ke-123 Jabir Ibnu Abdullah Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam telah menetapkan berlakunya syuf'ah (hak membeli bagian dari dua orang yang bersekutu) pada setiap sesuatu yang belum dibagi. Apabila telah dibatasi dan telah diatur peraturannya, maka tidak berlaku syuf'ah. Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Bukhari. Hadits ke-124 Menurut riwayat Muslim: Syu'fah itu berlaku dalam setiap persekutuan, baik dalam tanah, kampung, atau kebun. Tidak boleh - dalam suatu lafadz- tidak halal menjualnya hingga ditawarkan kepada sekutunya. Menurut riwayat Thahawi: Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menetapkan berlakunya Syuf'ah dalam segala sesuatu. Para perawinya dapat dipercaya.

Hadits ke-125 Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tetangga sebelah rumah lebih berhak terhadap rumah itu." Riwayat Nasa'i, dinilai shahih oleh Ibnu Hibban, dan ia mempunyai illah. Hadits ke-126 Dari Abu Rafi' Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tetangga itu lebih berhak karena kedekatannya." Riwayat Bukhari dan Hakim. Hadits tersebut mempunyai kisah. Hadits ke-127 Dari Jabir Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tetangga itu lebih berhak dengan syuf'ah tetangganya, ia dinanti -walaupun sedang pergi- jika jalan mereka satu." Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Para perawinya dapat dipercaya. Hadits ke-128 Dari Ibnu Umar bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Syuf'ah itu laksana melepaskan unta." Riwayat Ibnu Majah dan al-Bazzar dengan tambahan: "Tidak ada syuf'ah bagi orang yang pergi." Sanadnya lemah. Hadits ke-129 Dari Shuhaib Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tiga hal yang didalamnya ada berkah adalah jual-beli bertempo, ber-qiradl (memberikan modal kepada seseorang hasil dibagi dua), dan mencampur gandum dengan sya'ir untuk makanan di rumah, bukan untuk dijual." Riwayat Ibnu Majah dengan sanad lemah. Hadits ke-130 Dari Hakim Ibnu Hizam bahwa disyaratkan bagi seseorang yang memberikan modal sebagai qiradl, yaitu: Jangan menggunakan modalku untuk barang yang bernyawa, jangan membawanya ke laut, dan jangan membawanya di tengah air yang mengalir. Jika engkau melakukan salah satu di antaranya, maka engkaulah yang menanggung modalku. Riwayat Daruquthni dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya. Malik berkata dalam kitabnya al-Muwattho', dari Ala' Ibnu Abdurrahman Ibnu Ya'qub, dari ayahnya, dari kakeknya: Bahwa ia pernah menjalankan modal Utsman dengan keuntungan dibagi dua. Hadits mauquf shahih Hadits ke-131 Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah mempekerjakan penduduk Khaibar dengan memperoleh setengah dari hasilnya berupa buah-buahan dan tanaman. Muttafaq Alaihi. Dalam suatu riwayat Bukhari-Muslim: Mereka meminta beliau menetapkan mereka mengerjakan tanah (Khaibar) dengan memperoleh setengah dari hasil kurma, maka Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Kami tetapkan kalian dengan ketentuan seperti itu selama kami menghendaki." Lalu mereka mengakui dengan ketetapan itu samapi Umar mengusir mereka. Menurut riwayat Muslim: Bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallammemberikan pohon kurma dan tanah Khaibar kepada kaum Yahudi di Khaibar dengan perjanjian mereka mengerjakan dengan modal mereka dan bagi mereka setengah dari hasil buahnya. Hadits ke-132 Hanzholah Ibnu Qais Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku bertanya kepada Rafi' Ibnu Khadij tentang menyewakan tanah dengan emas dan perak. Ia berkata: Tidak apa-apa. Orang-orang pada zaman Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallammenyewakan tanah dengan imbalan pepohonan yang tumbuh di tempat perjalanan air, pangkal-pangkal parit, dan aneka tumbuhan. Lalu dari tetumbuhan itu ada yang hancur dan ada yang selamat, sedang orang-orang tidak mempunyai sewaan lainnya kecuali ini. Maka Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang hal itu. Adapun imbalan dengan barang yang nyata dan terjamin, maka tidak apa-apa. Riwayat Muslim. Dalam hadits ini ada penjelasan menyeluruh tentang larangan menyewakan tanah dalam hadits Muttafaq Alaihi. Hadits ke-133 Dari Tsabit Ibnu ad-Dlahak Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang muzara'ah (sama dengan musaqat, yaitu memberikan tanah garapan kepada orang lain dengan bagi hasil menurut perjanjian) dan memerintahkan sewa-menyewakan. Riwayat Muslim. Hadits ke-134 Ibnu Abbas berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam berbekam dan memberikan upah kepada orang yang membekamnya. Seandainya hal itu haram beliau tidak akan memberinya upah. Riwayat Bukhari. Hadits ke-135 Dari Rafi' Ibnu Khodij Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Pekerjaan tukang bekam adalah jelek." Riwayat Muslim.

Hadits ke-136 Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Allah 'Azza wa Jalla berfirman: Tiga orang yang Aku menjadi musuhnya pada hari kiamat ialah: Orang yang memberi perjanjian dengan nama-Ku kemudian berkhianat, orang yang menjual orang merdeka lalu memakan harganya, dan orang yang mempekerjakan seorang pekerja, lalu pekerja itu bekerja dengan baik, namun ia tidak memberikan upahnya." Riwayat Muslim. Hadits ke-137 Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Hal yang paling patut kamu ambil upahnya ialah Kitabullah." Dikeluarkan oleh Bukhari. Hadits ke-138 Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Berikanlah kepada pekerja upahnya sebelum mengering keringatnya." Riwayat Ibnu Majah. Hadits ke-139 Dalam masalah ini ada hadits dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu riwayat Abu Ya'la dan Baihaqi, dan dari Jabir riwayat Thabrani. Namun semuanya lemah. Hadits ke-140 Idem Hadits ke-141 Dari Abu Said Al-Khudry Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa mempekerjakan seorang pekerja hendaknya ia menentukan upahnya." Riwayat Abdul Razzaq dalam hadits munqathi'. Hadits maushul menurut Baihaqi dari jalan Abu Hanifah. Hadits ke-142 Dari Urwah, dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa memakmurkan tanah yang tidak dimiliki oleh siapapun maka ia lebih berhak dengan tanah tersebut." Urwah berkata: Umar memberlakukan hukum itu pada masa khilafahnya. Riwayat Bukhari. Hadits ke-143 Dari Said Ibnu Zaid Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa menghidupkan tanah mati, maka tanah itu miliknya." Riwayat Imam Tiga. Hadits hasan menurut Tirmidzi dan ia berkata: hadits itu diriwayatkan dengan mursal dan ada perselisihan tentang shahabatnya. Ada yang mengatakan (shahabatnya ialah) Jabir, ada yang mengatakan 'Aisyah, dan ada yang mengatakan Umar. Yang paling kuat ialah yang pertama. Hadits ke-144 Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu bahwa al-Sho'b Ibnu Jatsamah Al-Laitsy memberitahukan kepadanya bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak ada pembatasan tanah kecuali milik Allah dan Rasul-Nya." Riwayat Bukhari. Hadits ke-145 Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Jangan membuat kesusahan dan jangan membalasnya." Riwayat Ahmad dan Ibnu Majah. Hadits ke-146 Dalam riwayatnya yang lain ada hadits serupa dari Abu Said, dalam kitab al-Muwattho' hadits itu mursal. Hadits ke-147 Dari Samurah Ibnu Jundab Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa membatasi suatu tanah, maka ia menjadi miliknya." Riwayat Abu Dawud. Hadits shahih menurut Ibnu Jarud. Hadits ke-148 Dari Abdullah Ibnu Mughoffal bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa mengali sebuah sumur, maka baginya empat puluh hasta untuk minuman ternaknya." Riwayat Ibnu Majah dengan sanad lemah. Hadits ke-149 Dari Alqomah Ibnu Wail, dari ayahnya, bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memberikan kepadanya sepetak tanah di Hadlramaut. Riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban. Hadits ke-150 Dari Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memberi tanah kepada Zubair sejauh lari kudanya, maka ia melarikan kudanya hingga berhenti. Kemudian ia melempar cemetinya. Lalu beliau bersabda: "Berikan padanya sejauh lemparan cemetinya." Riwayat Abu Dawud dan didalamnya ada kelemahan.

Hadits ke-151 Salah seorang sahabat Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku berperang bersama Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallamdan aku mendengar beliau bersabda: "Orang-orang bersekutu dalam tiga hal: rerumputan, air dan api." Riwayat Ahmad dan Abu Dawud. Para perawinya dapat dipercaya. Hadits ke-152 Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila ada orang meninggal dunia terputuslah amalnya kecuali dari tiga hal, yaitu: Sedekah jariyah (yang mengalir), atau ilmu yang bermanfaat, atau anak shaleh yang mendoakan untuknya." Riwayat Muslim. Hadits ke-153 Ibnu Umar berkata: Umar Radliyallaahu 'anhu memperoleh bagian tanah di Khaibar, lalu menghadap Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam untuk meminta petunjuk dalam mengurusnya. Ia berkata: Wahai Rasulullah, aku memperoleh sebidang tanah di Khaibar, yang menurutku, aku belum pernah memperoleh tanah yang lebih baik daripadanya. Beliau bersabda: "Jika engkau mau, wakafkanlah pohonnya dan sedekahkanlah hasil (buah)nya." Ibnu Umar berkata: Lalu Umar mewakafkannya dengan syarat pohonnya tidak boleh dijual, diwariskan, dan diberikan. Hasilnya disedekahkan kepada kaum fakir, kaum kerabat, para hamba sahaya, orang yang berada di jalan Allah, musafir yang kehabisan bekal, dan tamu. Pengelolanya boleh memakannya dengan sepantasnya dan memberi makan sahabat yang tidak berharta. Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut riwayat Muslim. Hadits ke-154 Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mengutus Umar untuk memungut zakat -hadits dan didalamnya disebutkan- adapun Kholid, dia telah mewakafkan baju-baju besi dan peralatan perangnya untuk membela jalan Allah. Muttafaq Alaihi. Hadits ke-155 Dari Nu'man Ibnu Basyir bahwa ayahnya pernah menghadap Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan berkata: Aku telah memberikan kepada anakku ini seorang budak milikku. Lalu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallambertanya: "Apakah setiap anakmu engkau berikan seperti ini?" Ia menjawab: Tidak. Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Kalau begitu, tariklah kembali." Dalam suatu lafadz: Menghadaplah ayahku kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam agar menyaksikan pemberiannya kepadaku, lalu beliau bersabda: "Apakah engkau melakukan hal ini terhadap anakmu seluruhnya?". Ia menjawab: Tidak. Beliau bersabda: "Takutlah kepada Allah dan berlakulah adil terhadap anak-anakmu." Lalu ayahku pulang dan menarik kembali pemberian itu. Muttafaq Alaihi. Dalam riwayat Muslim beliau bersabda: "Carikan saksi lain selain diriku dalam hal ini." Kemudian beliau bersabda: "Apakah engkau senang jika mereka (anak-anakmu) sama-sama berbakti kepadamu?". Ia Menjawab: Ya. Beliau bersabda: "kalau begitu, jangan lakukan." Hadits ke-156 Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Orang yang menarik kembali pemberiannya bagaikan anjing yang muntah kemudian menjilat kembali muntahannya." Muttafaq Alaihi. Dalam riwayat Bukhari: "Kami tidak mempunyai perumpamaan yang buruk, bagi orang yang menarik kembali pemberiannya bagaikan anjing yang muntah kemudian menjilat kembali muntahannya." Hadits ke-157 Dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak halal bagi seorang muslim memberikan suatu pemberian kemudian menariknya kembali, kecuali seorang ayah yang menarik kembali apa yang diberikan kepada anaknya." Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits shahih menurut Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Hakim. Hadits ke-158 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu berkata: rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah menerima hadiah dan membalasnya. Riwayat Bukhari. Hadits ke-159 Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu berkata: Ada seseorang memberi seekor unta kepada Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, lalu beliau membalasnya dan bertanya: "Apakah engkau telah rela?". Ia menjawab: Tidak. Lalu beliau menambah dan bertanya: "Engkau telah rela?". Ia menjawab: Tidak. Lalu beliau menambah lagi dan bertanya: "Engkau telah rela?". Ia menjawab: Ya. Riwayat Ahmad. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban. Hadits ke-160 Dari Jabir Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Umra (memberikan rumah kepada orang lain dengan ucapan: Aku memberikan rumah ini seumur hidupmu) itu menjadi milik bagi orang yang diberi." Muttafaq Alaihi. Menurut riwayat Muslim: "Jagalah hartamu

dan janganlah menghamburkannya, karena barangsiapa ber-umra maka ia menjadi milik orang yang diberi umra selama ia hidup dan mati, dan menjadi milik keturunannya." Umra yang diperbolehkan oleh Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam ialah bila ia berkata: Ia milikmu dan keturunanmu. Jika ia berkata: Ia milikmu selama engkau hidup, maka pemberian itu akan kembali kepada pemiliknya. Menurut Riwayat Abu Dawud dan Nasa'i: "Janganlah memberi ruqba (memberi rumah kepada orang lain dengan ucapan: Jika aku mati sebelummu, maka rumah ini menjadi milikmu dan jika engkau mati sebelumku, maka rumah ini kembali padaku) dan umra karena barangsiapa menerima ruqba dan umra maka ia menjadi milik ahli warisnya." Hadits ke-161 Umar berkata: Aku pernah memberikan seekor kuda untuk perjuangan di jalan Allah, namun orang yang diberi kuda itu mentelantarkannya. Lalu aku mengira bahwa ia akan menjualnya dengan harga yang murah. Maka aku tanyakan hal itu kepada Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan beliau bersabda: "Jangan membelinya walaupun ia memberimu harga satu dirham." Hadits Muttafaq Alaihi. Hadits ke-162 Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Saling memberi hadiahlah kamu sekalian, agar kalian saling mencintai." Riwayat Bukhari dalam kitab al-Adab al-Mufrad dan Abu Ya'la dengan sanad hasan. Hadits ke-163 Dari Anas Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: Saling memberi hadiahlah karena hadiah itu akan menghilangkan kedengkian." Riwayat al-Bazzar dengan sanad lemah. Hadits ke-164 Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Wahai kaum muslimat, janganlah sekali-kali seorang wanita meremehkan pemberian tetangganya walaupun hanya ujung kaki kambing." Muttafaq Alaihi. Hadits ke-165 Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa memberikan suatu hibah, ia lebih berhak untuk menariknya sebelum dibalas." Hadits shahih riwayat Hakim. Menurutnya yang terpelihara dari hadits itu ialah diriwayatkan oleh Umar dari Umar. Hadits ke-166 Anas berkata: Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah melewati sebuah kurma di jalan. Lalu bersabda: "Seandainya aku tidak khawatir bahwa kurma itu dari zakat, niscaya aku memakannya." Muttafaq Alaihi. Hadits ke-167 Zaid Ibnu Khalid al-Juhany berkata: Ada seseorang datang kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menanyakan tentang barang temuan. Beliau bersabda: "Perhatikan tempat dan pengikatnya, lalu umumkan selama setahun. Jika pemiliknya datang, berikanlah dan jika tidak, maka terserah engkau." Ia bertanya: Bagaimana dengan kambing yang tersesat?. Beliau menjawab: "Ia milikmu, atau milik saudaramu, atau milik serigala." Ia bertanya lagi: Bagaimana dengan unta yang tersesat?. Beliau bersabda: "Apa hubungannya denganmu? Ia mempunyai kantong air dan sepatu, ia bisa datang ke tempat air dan memakan tetumbuhan, hingga pemiliknya menemukannya." Muttafaq Alaihi. Hadits ke-168 Dari Zaid Ibnu al-Juhany Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa menyembunyikan hewan yang tersesat, ia adalah orang sesat selama belum mengumumkannya." Riwayat Muslim. Hadits ke-169 Dari Iyadl Ibnu Himar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa menemukan barang hilang, hendaknya ia mencari kesaksian dua orang adil, menjaga tempat dan pengikatnya, serta tidak menyembunyikan dan menghilangkannya. Apabila pemiliknya datang, ia lebih berhak dengannya. Apabila tidak datang, ia adalah harta Allah yang bisa diberikan kepada orang yang dikehendaki." Riwayat Ahmad dan Imam Empat kecuali Tirmidzi. Hadits shahih menurut Ibnu Khuzaimah, Ibnu Al-Jarud dan Ibnu Hibban. Hadits ke-170 Dari Abdurrahman Ibnu Utsman al-Taimy Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang mengambil barang hilang milik orang haji. Riwayat Muslim. Hadits ke-171 Dari a-Miqdam Ibnu Ma'di Karib Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Ingatlah, tidak halal binatang buas bertaring, keledai negeri, dan mengambil

barang temuan milik orang kafir mu'ahad (orang kafir yang mengadakan perjanjian dengan kaum muslimin) kecuali ia tidak memerlukannya lagi." Riwayat Abu Dawud. Hadits ke-172 Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Berikan bagian warisan kepada ahli warisnya, selebihnya adalah milik laki-laki yang paling dekat." Muttafaq Alaihi. Hadits ke-173 Dari Usamah Ibnu Zaid Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Orang muslim tidak mewarisi harta orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi harta orang muslim." Muttafaq Alaihi. Hadits ke-174 Dari Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu tentang (bagian warisan) anak perempuan, cucu perempuan dan saudara perempuan -Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menetapkan: untuk anak perempuan setengah, cucu perempuan seperenam -sebagai penyempurna dua pertiga- dan selebihnya adalah milik saudara perempuan. Riwayat Bukhari. Hadits ke-175 Dari Abdullah Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak bisa saling mewarisi orang yang berlainan agama." Riwayat Ahmad, Imam Empat, dan Tirmidzi. Hakim meriwayatkan dengan lafadz Usamah dan Nasa'i meriwayatkan hadits Usamah dengan lafadz ini. Hadits ke-176 Imran Ibnu Hushoin Radliyallaahu 'anhu berkata: Ada seseorang datang kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallamdan berkata: Cucu laki-laki dari putraku meninggal dunia, berapa bagianku dari harta peninggalannya? Beliau bersabda: "Untukmu seperenam." Ketika dia berpaling beliau memanggilnya dan bersabda: "Untukmu seperenam lagi." Ketika dia berpaling beliau memanggilnya dan bersabda: "Yang seperenam lagi itu sebagai makanan." Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits shahih menurut Tirmidzi dari riwayat Hasan Bashri dari Imran. Ada yang mengatakan: Dia tidak mendengar darinya. Hadits ke-177 Dari Ibnu Buraidah, dari ayahnya Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menetapkan bagian seperenam untuk nenek bila dibawahnya tidak ada ibu (ibu sang mayit). Riwayat Abu Dawud dan Nasa'i. Hadits shahih menurut Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Al-Jarud, dan dikuatkan oleh Ibnu Adiy. Hadits ke-178 Dari al-Miqdam Ibnu Ma'di Karib bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Paman dari pihak ibu menjadi pewaris orang yang tidak memiliki ahli waris." Riwayat Ahmad dan Imam Empat kecuali Tirmidzi. Hadits hasan menurut Abu Zara'ah al-Razy dan shahih menurut Hakim dan Ibnu Hibban. Hadits ke-179 Abu Umamah Ibnu Sahal Radliyallaahu 'anhu berkata: Umar mengirim surat kepada Abu Ubaidah bahwa RasulullahShallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Allah dan Rasul-Nya menjadi pelindung orang yang tidak punya pelindung, dan paman dari pihak ibu menjadi pewaris orang yang tidak memiliki ahli waris." Riwayat Ahmad dan Imam Empat kecuali Abu Dawud. Hasan menurut Tirmidzi dan shahih menurut Ibnu Hibban. Hadits ke-180 Dari Jabir Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila anak yang lahir menangis, ia sudah menjadi ahli waris." Riwayat Abu Dawud. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban. Hadits ke-181 Dari Amar Ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Pembunuh tidak mendapat warisan apapun (dari yang dibunuh)." Riwayat Nasa'i dan Daruquthni, dan dikuatkan oleh Abdul Bar. Hadits ma'lul menurut Nasa'i dan sebenarnya hadits ini mauquf pada Amar. Hadits ke-182 Umar Ibnu al-Khaththab Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallambersabda: "Apa yang diperoleh oleh ayah atau anak adalah untuk ashabah, siapapun dia." Riwayat Abu Dawud, Nasa'i dan Ibnu Majah. Hadits ke-183 Dari Abdullah Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Wala itu satu pertalian daging seperti pertalian daging keturunan, ia tidak boleh

dijual dan diberikan." Riwayat Hakim dari jalan Syafi'i dari Muhammad Ibnu al-Hasan, dari Abu Yusuf. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan ma'lul menurut Baihaqi. Hadits ke-184 Dari Abu Qilabah, dari Anas Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Orang yang paling mengetahui faraidl di antara kamu adalah Zaid Ibnu Tsabit." Riwayat Ahmad dan Imam Empat kecuali Abu Dawud. Hadits shahih menurut Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Hakim. Hadits tersebut mursal. Hadits ke-185 Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Seorang muslim tidak berhak mewasiatkan sesuatu yang ia miliki kurang dari dua malam (hari), kecuali jika wasiat itu tertulis disisinya." Muttafaq Alaihi. Hadits ke-186 Saad Ibnu Waqqash Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku berkata, wahai Rasulullah, aku mempunyai harta dan tidak ada yang mewarisiku kecuali anak perempuanku satu-satunya. Bolehkah aku bersedekah dengan dua pertiga hartaku? Beliau menjawab: "Tidak boleh." Aku bertanya: Apakah aku menyedekahkan setengahnya? Beliau menjawab: "Tidak boleh." Aku bertanya lagi: Apakah aku sedekahkan sepertiganya? Beliau menjawab: "Ya, sepertiga, da sepertiga itu banyak. Sesungguhnya engkau meninggalkan ahli warismu kaya lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan fakit meminta-minta kepada orang." Muttafaq Alaihi. Hadits ke-187 Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu bahwa ada seorang laki-laki menghadap Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan berkata: Wahai Rasulullah, ibuku telah mati secara mendadak dan ia belum berwasiat. Aku kira, bila ia sempat berbicara ia akan bersedekah. Apakah ia mendapat pahala jika aku bersedekah untuknya? Beliau bersabda: "Ya." Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Muslim. Hadits ke-188 Abu Umamah al-Bahily Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallambersabda: "Sesungguhnya Allah telah memberi hak kepada tiap-tiap yang berhak dan tidak ada wasiat untuk ahli waris." Riwayat Ahmad dan Imam Empat kecuali Nasa'i. Hadits hasah menurut Ahmad dan Tirmidzi, dan dikuatkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu al-Jarud. Hadits ke-189 Daruquthni meriwayatkan dair hadits Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu dengan tambahan di akhir hadits: "Kecuali ahli waris menyetujui." Dan sanadnya hasan. Hadits ke-190 Dari Muadz Ibnu Jabal Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya Allah mengizinkan kepadamu bersedekah sepertiga dari hartamu waktu kamu akan meninggal untuk menambah kebaikanmu." Riwayat Daruquthni. Hadits ke-191 Ahmad dan Al-Bazzar juga meriwayatkan dari hadits Abu Darda'. Hadits ke-192 Ibnu Majah meriwayatkan dari hadits Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu dan semuanya dha'if, namun saling menguatkan. Wallahu a'lam. Hadits ke-193 Dari Amar Ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallambersabda: "Barangsiapa dititipi suatu titipan, maka tidak ada tanggungan atasnya." Riwayat Ibnu Majah dan dalam sanadnya ada kelemahan.

MINGGU, 16 OKTOBER 2016 KITAB JUAL-BELI

Kumpulan Hadits Kitab Jual Beli (Shahih Muslim) Kitab Jual Beli

Bismillahirrahmanirrahim.

Assalamualaikum'Warahmatullahi 'Wabarakatuh. riwayatshahih.blogspot.com 1. Penghapusan cara jual beli mulamasah dan munabadzah ®.Hadis riwayat Abu Hurairah ra.: Bahwa Rasulullah saw. melarang sistem jual beli mulamasah (wajib membeli jika pembeli telah menyentuh barang dagangan) dan munabadzah (sistem barter antara dua orang dengan melemparkan barang dagangan masing- masing tanpa memeriksanya). (Shahih Muslim No.2780) ®.Hadis riwayat Abu Said Al-Khudri ra., ia berkata: Rasulullah saw. melarang kita melakukan dua macam jual beli dan dua macam pakaian. Beliau melarang mulamasah dan munabadzah dalam jual beli. (Shahih Muslim No.2782) 2. Pengharaman jual beli janin ®.Hadis riwayat Abdullah bin Umar ra.: Dari Rasulullah saw. bahwa beliau melarang jual beli janin yang dikandung seekor unta. (Shahih Muslim No.2784) 3. Pengharaman seorang membeli atas pembelian orang lain dan menawar atas penawarannya serta pengharaman najasy dan tashriah ®.Hadis riwayat Abu Hurairah ra.: Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Janganlah seorang muslim menawar atas penawaran saudaranya. (Shahih Muslim No.2788) ®.Hadis riwayat Ibnu Umar ra.: Bahwa Rasulullah saw. melarang sistem penjualan najasy (meninggikan harga untuk menipu). (Shahih Muslim No.2792) 4. Pengharaman mencegat barang dagangan ®.Hadis riwayat Ibnu Umar ra.: Bahwa Rasulullah saw. melarang mencegat barang dagangan sebelum tiba di pasar. Demikian menurut redaksi Ibnu Numair. Sedang menurut dua perawi yang lain: Sesungguhnya Nabi saw. melarang pencegatan. (Shahih Muslim No.2793) ®.Hadis riwayat Abdullah bin Mas`ud ra.: Dari Nabi saw. bahwa beliau melarang pencegatan (blokir) barangbarang dagangan. (Shahih Muslim No.2794) 5. Pengharaman orang kota menjual kepada orang desa (badui) ®.Hadis riwayat Ibnu Abbas ra., ia berkata: Rasulullah saw. melarang pencegatan kafilah barang dan penjualan orang kota kepada orang desa (badui). (Shahih Muslim No.2798) ®.Hadis riwayat Anas bin Malik ra., ia berkata: Kami dilarang, seorang kota menjual kepada orang desa, meskipun saudaranya atau ayahnya. (Shahih Muslim No.2800) 6. Hukum penjualan hewan yang ditashriah ®.Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Barang siapa membeli seekor kambing yang ditashriah (yang tidak diperah susunya agar disangka subur), hendaklah ia membawa kembali lalu memerahnya, jika ia rela dengan susu perahannya, maka ia boleh menahan kambing itu (tidak mengembalikan) dan jika tidak rela, ia boleh mengembalikannya disertai satu sha` kurma. (Shahih Muslim No.2802)

7. Batal menjual barang sebelum diterima ®.Hadis riwayat Ibnu Abbas ra.: Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Barang siapa membeli makanan, janganlah menjualnya sampai ia menerimanya dengan sempurna. (Shahih Muslim No.2807) 8. Ditetapkannya hak pilih dalam majelis bagi pelaku jual pembeli ®.Hadis riwayat Ibnu Umar ra.: Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Penjual dan pembeli, masing-masing mempunyai hak pilih (untuk mengesahkan transaksi atau membatalkannya) atas pihak lain selama belum berpisah, kecuali jual beli khiyar (kesepakatan memperpanjang masa hak pilih sampai setelah berpisah). (Shahih Muslim No.2821) 9. Tentang kejujuran dan keterus-terangan dalam jual beli ®.Hadis riwayat Hakim bin Hizam ra.: Dari Nabi saw. beliau bersabda: Penjual dan pembeli memiliki hak pilih selama belum berpisah. Apabila mereka jujur dan mau menerangkan (keadaan barang), mereka akan mendapat berkah dalam jual beli mereka. Dan jika mereka bohong dan menutupi (cacat barang), akan dihapuskan keberkahan jual beli mereka. (Shahih Muslim No.2825) 10. Orang yang ditipu dalam jual beli ®.Hadis riwayat Ibnu Umar ra.: Seorang lelaki melaporkan kepada Rasulullah saw. bahwa ia tertipu dalam jual beli. Maka Rasulullah saw. bersabda: Katakanlah kepada orang yang kamu ajak berjual-beli: Tidak boleh menipu! Sejak itu jika ia bertransaksi jual beli, ia berkata: Tidak boleh menipu!. (Shahih Muslim No.2826) 11. Larangan menjual buah- buahan yang belum tampak jadinya tanpa syarat untuk dipetik ®.Hadis riwayat Ibnu Umar ra.: Bahwa Rasulullah saw. melarang menjual buah-buahan sebelum tampak jadinya. Beliau melarang pihak penjual dan pembeli. (Shahih Muslim No.2827) ®Hadis riwayat Jabir ra., ia berkata: Rasulullah saw. melarang kami menjual buah-buahan sebelum matang (enak dimakan). (Shahih Muslim No.2831) ®.Hadis riwayat Ibnu Abbas r.as.., ia berkata: Rasulullah saw. melarang menjual pohon kurma sebelum ia memakan sebagian buahnya atau dimakan orang lain dan sebelum ditimbang. Aku bertanya: Apa yang dimaksud dengan ditimbang? Seorang lelaki yang berada di sebelahnya menjawab: Yaitu ditaksir. (Shahih Muslim No.2833) ®.Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Janganlah membeli buah- buahan sebelum tampak matangnya. (Shahih Muslim No.2834) 12. Haram menjual kurma basah dengan kurma kering kecuali dalam (jual beli) araya (ariah) ®.Hadis riwayat Zaid bin Tsabit ra.: Bahwa Rasulullah saw. memberi keringanan kepada pemilik kurma basah untuk menjualnya dengan cara ditaksir dengan kurma kering. (Shahih Muslim No.2838) ®.Hadis riwayat Sahal bin Abu Hatsmah ra.: Bahwa Rasulullah saw. melarang penjualan kurma basah dengan kurma kering, beliau bersabda: Demikian itu adalah riba yang ada dalam muzabanah, hanya saja beliau memberi keringanan dalam penjualan secara Ariah, yaitu satu atas.u dua buah pohon kurma diambil oleh suatu keluarga dengan cara ditaksir dengan kurma kering lalu mereka makan buahnya yang masih setengah matang. (Shahih Muslim No.2842) ®.Hadis riwayat Abu Hurairah ra.: Bahwa Rasulullah saw. memberi keringanan dalam jual beli Araya dengan cara ditaksir dengan syarat kurang dari lima wasak atau sebanyak lima wasak. (Shahih Muslim No.2845)

®.Hadis riwayat Ibnu Umar ra.: Bahwa Rasulullah saw. melarang Muzabanah. Muzabanah ialah menjual kurma basah dengan kurma kering dengan takaran (yang sama) dan menjual anggur segar dengan anggur kering (kismis) dengan takaran. (Shahih Muslim No.2846) 13. Menjual pohon kurma yang sedang berbuah ®.Hadis riwayat Ibnu Umar ra.: Bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda: Barang siapa menjual pohon kurma yang sudah dikawinkan, maka buahnya untuk penjual, kecuali jika disyaratkan oleh pembeli. (Shahih Muslim No.2851) 14. Tentang penyewaan tanah ®.Hadis riwayat Jabir bin Abdullah ra.: Bahwa Rasulullah saw. melarang penyewaan tanah. (Shahih Muslim No.2861) ®.Hadis riwayat Ibnu Umar ra., ia berkata: Dahulu kami berpendapat bahwa mukhabarah (menggarap tanah milik orang lain dengan syarat upahnya adalah sebagian dari hasilnya) tidak apa- apa. Sampai pada tahun awal, Rafi` menyangka bahwa Nabi saw. telah melarangnya. (Shahih Muslim No.2879) 15. Memberikan tanah ®.Hadis riwayat Ibnu Abbas ra.: Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Seseorang memberikan tanahnya kepada saudaranya adalah lebih baik baginya daripada ia memungut hasil panen tertentu (sebagai imbalan atas penyewaan tanah tadi). (Shahih Muslim No.2892) 16. Pengairan dan transaksi dengan sebagian hasil buah-buahan dan pertanian ®.Hadis riwayat Ibnu Umar ra.: Bahwa Rasulullah saw. mempekerjakan penduduk Khaibar dengan upah separuh hasil panen tanah yang digarap berupa buah atau tanaman. (Shahih Muslim No.2896) 17. Keutamaan bercocok tanam dan bertani ®.Hadis riwayat Anas bin Malik ra., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Tidak ada seorang muslim pun yang menanam suatu pohon atau bertani dengan suatu macam tanaman kemudian dimakan burung, manusia atau ternak melainkan hal itu akan menjadi sedekah baginya. (Shahih Muslim No.2904) 18. Menghindari hama tanaman ®.Hadis riwayat Anas ra.: Bahwa Nabi saw. melarang penjualan buah kurma yang belum masak. Kami bertanya kepada Anas: Apa tanda kemasakannya? Dia menjawab: Memerah atau menguning. Bagaimana pendapatmu jika Allah menggagalkan (panen) buah kurma itu, dengan apa kamu menghalalkan harta saudaramu?. (Shahih Muslim No.2906) 19. Sunah membebaskan utang ®.Hadis riwayat Kaab bin Malik ra.: Bahwa ia pernah menagih utang kepada Ibnu Abu Hadrad pada masa Rasulullah saw. di dalam mesjid. Suara mereka berdua keras sekali sehingga didengar Rasulullah saw. yang sedang berada di dalam rumah. Lalu beliau keluar menemui mereka hingga menyingkap tirai kamarnya, lalu memanggil Kaab bin Malik: Hai Kaab! Kaab menjawab: Saya, wahai Rasulullah. Kemudian beliau mengisyaratkan dengan tangannya agar Kaab membebaskan setengah utangnya. Kaab berkata: Sudah aku lakukan, wahai Rasulullah. Beliau bersabda (kepada Ibnu Abu Hadrad): Bangunlah dan bayarlah!. (Shahih Muslim No.2912)

20. Orang yang mendapati barang jualannya pada pihak pembeli yang telah bangkrut, maka ia boleh menarik kembali barangnya ®.Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: Barang siapa mendapatkan hartanya masih utuh pada seorang lelaki atau seorang manusia yang telah bangkrut, maka ia lebih berhak atas harta tersebut daripada orang lain. (Shahih Muslim No.2913) 21. Keutamaan menangguhkan tagihan kepada pengutang yang dalam keadaan sulit ®.Hadis riwayat Hudzaifah ra., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Para malaikat menerima ruh seorang lelaki dari umat sebelum kamu. Mereka bertanya: Apakah kamu pernah melakukan suatu kebaikan? Ia menjawab: Tidak. Mereka bertanya lagi: Cobalah kamu mengingat! Lelaki itu menjawab: Saya dahulu pernah mengutangkan orangorang, lalu aku menyuruh pembantu- pembantuku untuk menangguhkan tagihan utang kepada orang yang sedang dalam kesulitan (miskin) serta memaafkan orang yang kaya. Rasulullah saw. bersabda: Lalu Allah swt. berfirman: Maafkanlah orang itu!. (Shahih Muslim No.2917) ®.Hadis riwayat Abu Mas`ud ra., ia berkata: Rasulullah saw. pernah bersabda: Seorang lelaki dari umat sebelum kamu menghadapi penghitungan amal perbuatan, lalu tidak didapati satu amal kebajikan pun miliknya, kecuali bahwa ia pernah mengutangkan manusia ketika masa kaya lalu memerintahkan pembantu- pembantunya untuk memaafkan (membebaskan utang) orang yang kesulitan. Rasulullah saw. bersabda: Allah Azza wa Jalla berfirman: Kami lebih berhak berbuat begitu dari ia, maka ampunilah dia!. (Shahih Muslim No.2921) ®.Hadis riwayat Abu Hurairah ra.: Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Dahulu terdapat seorang lelaki yang biasa mengutangkan manusia. Ia berkata kepada pembantunya: Apabila kamu menagih orang yang dalam kesulitan, maka maafkanlah ia, semoga dengan demikian Allah akan mengampuni dosa kita. Kemudian ia menemui Allah, maka Allah mengampuninya. (Shahih Muslim No.2922) 22. Haram menunda pembayaran utang bagi orang kaya, pemindahan utang sah hukumnya serta anjuran menerima bila utangnya dialihkan ke orang kaya ®.Hadis riwayat Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda: Menunda pembayaran utang oleh orang kaya adalah suatu kezaliman, dan bila seorang dari kamu utangnya dialihkan ke orang kaya, maka hendaklah ia menerima. (Shahih Muslim No.2924) 23. Haram menjual air lebih di tanah lapang yang dibutuhkan untuk rerumputan, haram menahan pemanfaatannya serta haram menjual pembuahan hewan pejantan ®.Hadis riwayat Abu Hurairah ra.: Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Aliran air lebih tidak boleh ditahan untuk mencegah pengairan rerumputan. (Shahih Muslim No.2927) 24. Pengharaman harga anjing, upah dukun peramal, bayaran wanita pelacur serta larangan menjual kucing ®.Hadis riwayat Abu Mas`ud Al-Anshari ra.: Bahwa Rasulullah saw. melarang (memakan) harga anjing, bayaran wanita pelacur serta upah dukun peramal. (Shahih Muslim No.2930) 25. Perintah membunuh anjing, penjelasan dihapusnya perintah tersebut, haram memelihara anjing kecuali untuk berburu, menjaga tanaman atau ternak dan sejenisnya ®.Hadis riwayat Ibnu Umar ra.: Bahwa Rasulullah saw. memerintahkan membunuh anjing. (Shahih Muslim No.2934) ®.Hadis riwayat Ibnu Umar ra., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Barang siapa memiliki anjing selain anjing

penjaga ternak dan anjing pemburu maka setiap hari pahala amalnya berkurang dua qirath. (Shahih Muslim No.2940) ®.Hadis riwayat Abu Hurairah ra.: Dari Rasulullah saw. beliau bersabda: Barang siapa memiliki anjing yang bukan anjing pemburu, penjaga ternak atau penjaga ladang, maka setiap hari pahalanya berkurang dua qirath. (Shahih Muslim No.2947) ®.Hadis riwayat Sufyan bin Abu Zuhair ra., ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: Barang siapa memiliki anjing bukan untuk menjaga ladang atau ternak, maka setiap hari pahala amalnya berkurang satu qirath. (Shahih Muslim No.2951) 26. Halal mengambil upah membekam ®.Hadis riwayat Anas bin Malik ra.: Anas bin Malik ditanya tentang penghasilan seorang pembekam, maka ia menjawab: Rasulullah saw. pernah berbekam, beliau dibekam oleh Abu Thaibah. Lalu beliau memerintahkan agar Abu Thaibah diberi dua sha` makanan dan berbicara kepada keluarganya, lalu mereka mengurangi sebagian dari pajaknya. Kemudian beliau bersabda: Sebaik-baik obat yang kamu gunakan adalah berbekam, atau: Berbekam adalah obat yang paling baik bagimu. (Shahih Muslim No.2952) 27. Pengharaman menjual khamar ®.Hadis riwayat Aisyah ra., ia berkata: Ketika turun beberapa ayat terakhir surat Al- Baqarah, Rasulullah saw. keluar lalu membacakannya kepada orang-orang, kemudian beliau mengharamkan perdagangan khamar. (Shahih Muslim No.2958) 28. Pengharaman menjual khamar, bangkai, babi dan berhala ®.Hadis riwayat Jabir bin Abdullah ra.: Bahwa ia mendengar Rasulullah saw. bersabda pada tahun penaklukan, ketika beliau masih berada di Mekah: Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan penjualan khamar, bangkai, babi dan berhala. Lalu beliau ditanya: Wahai Rasulullah, bagaimana dengan lemak bangkai yang digunakan untuk mengecat perahu, meminyaki kulit dan untuk menyalakan lampu? Beliau menjawab: Tidak boleh, ia tetap haram. Kemudian beliau melanjutkan: Semoga Allah membinasakan orang-orang Yahudi. Sesungguhnya Allah swt. ketika mengharamkan lemak bangkai kepada mereka, mereka lalu mencairkannya dan menjualnya serta memakan harganya. (Shahih Muslim No.2960) ®.Hadis riwayat Umar ra.: Dari Ibnu Abbas ra. ia berkata: Umar ra. mendengar berita bahwa Samurah menjual khamar, maka ia berkata: Semoga Allah membinasakan Samurah. Apakah ia tidak mengetahui bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda: Allah melaknat orang Yahudi karena telah diharamkan lemak bangkai kepada mereka, kemudian mereka mencairkannya lalu menjualnya. (Shahih Muslim No.2961) ®.Hadis riwayat Abu Hurairah ra.: Dari Rasulullah saw. beliau bersabda: Semoga Allah membinasakan orang Yahudi. Allah telah mengharamkan lemak bangkai atas mereka, kemudian mereka menjualnya lalu memakan harganya. (Shahih Muslim No.2962) 29. Riba ®.Hadis riwayat Abu Said Al-Khudri ra.: Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Janganlah kamu menjual emas dengan emas kecuali sama kadarnya dan janganlah melebihkan sebagiannya dengan mengurangi sebagian yang lain. Janganlah menjual perak dengan perak kecuali sama kadarnya dan janganlah melebihkan sebagiannya dengan mengurangi sebagian yang lain. Dan janganlah menjual sesuatu yang berjangka dengan yang kontan. (Shahih Muslim No.2964)

30. Penukaran mata-uang dan jual beli emas dengan perak secara tunai ®.Hadis riwayat Umar bin Khathab ra.: Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Penukaran perak dengan emas itu riba kecuali dengan serah- terima secara langsung. Dan penukaran gandum dengan gandum itu riba kecuali dengan serah-terima secara langsung. Dan penukaran kurma dengan kurma itu riba kecuali dengan serah- terima secara langsung. (Shahih Muslim No.2968) 31. Larangan menjual perak dengan emas dalam bentuk utang ®.Hadis riwayat Barra` bin Azib ra.: Dari Abul Minhal ia berkata: Seorang kawan berserikatku menjual perak dengan cara kredit sampai musim haji lalu ia datang menemuiku dan memberitahukan hal itu. Aku berkata: Itu adalah perkara yang tidak baik. Ia berkata: Tetapi aku telah menjualnya di pasar dan tidak ada seorang pun yang mengingkarinya. Maka aku (Abul Minhal) mendatangi Barra` bin `Azib dan menanyakan hal itu. Ia berkata: Nabi saw. tiba di Madinah sementara kami biasa melakukan jual beli seperti itu, lalu beliau bersabda: Selama dengan serah-terima secara langsung, maka tidak apa-apa. Adapun yang dengan cara kredit maka termasuk riba. Temuilah Zaid bin Arqam, karena ia memiliki barang dagangan yang lebih banyak dariku. Aku lalu menemuinya dan menanyakan hal itu. Ia menjawab seperti jawaban Barra`. (Shahih Muslim No.2975) ®.Hadis riwayat Abu Bakrah ra., ia berkata: Rasulullah saw. melarang penukaran perak dengan perak, emas dengan emas, kecuali yang sama kadarnya. Dan beliau juga menyuruh kita membeli perak dengan emas dengan cara apa pun yang kita kehendaki, membeli emas dengan perak dengan cara apa pun yang kita kehendaki. Seorang lelaki bertanya kepadanya: Yaitu dengan serah- terima secara langsung? Abu Bakrah menjawab: Demikianlah yang aku dengar. (Shahih Muslim No.2977) 32. Jual-beli (penukaran) makanan harus dengan yang sama kadarnya ®.Hadis riwayat Abu Hurairah ra.: Bahwa Rasulullah saw. mengutus saudara Bani Adi Al- Anshari sebagai wakil beliau di Khaibar. Kemudian ia datang membawa kurma janib (kurma bermutu baik). Rasulullah saw. bertanya kepadanya: Apakah semua kurma Khaibar seperti ini? Dia menjawab: Tidak, demi Allah, wahai Rasulullah, kami membeli satu sha` kurma ini dengan dua sha` kurma jelek. Rasulullah saw. bersabda: Janganlah kamu berbuat demikian. Tetapi tukarlah dengan yang sejenis, atau juallah ini (kurma yang jelek) lalu belilah kurma yang baik dengan uang penjualannya dan demikian juga dengan timbangan. (Shahih Muslim No.2983) ®.Hadis riwayat Abu Said ra., ia berkata: Bilal datang membawa kurma Barni (sejenis kurma berkwalitas baik) lalu Rasulullah saw. bertanya: Dari mana kamu memperoleh kurma ini? Bilal menjawab: Kami mempunyai kurma jelek lalu aku menjual sebanyak dua sha` dengan satu sha` (kurma yang baik) untuk santapan Nabi saw. Mendengar itu Rasulullah saw. bersabda: Itulah riba, janganlah berbuat seperti itu! Tetapi jika kamu ingin membeli kurma yang baik, juallah kurmamu dengan harga tertentu lalu belilah kurma yang baik dengan harga itu. (Shahih Muslim No.2985) ®.Hadis riwayat Abu Said Al-Khudri ra.: Dari Abu Nadhrah ia berkata: Aku bertanya kepada Ibnu Abbas ra. tentang tukar- menukar emas dengan emas atau emas dengan perak atau perak dengan emas, maka ia balik bertanya: Apakah dengan serah-terima secara langsung? Aku menjawab: Ya. Kemudian ia berkata: Tidak apa-apa. Maka aku memberitahu Abu Said, aku berkata: Aku pernah bertanya kepada Ibnu Abbas ra. tentang tukar menukar emas dengan emas atau emas dengan perak atau perak dengan emas, ia balik bertanya: Apakah dengan serah-terima secara langsung? Aku menjawab: Ya. Ia berkata: Kalau begitu, tidak apa-apa. Dia (Abu Said) berkata: Benarkah ia berkata demikian? Aku akan menulis surat kepadanya agar ia tidak lagi memberikan fatwa begitu kepadamu. Ia melanjutkan: Demi Allah, beberapa orang pemuda pernah datang kepada Rasulullah saw. membawa sejenis kurma yang beliau tidak kenal lalu beliau bersabda: Sepertinya kurma ini bukan berasal dari tanah kita. Pemuda tadi berkata: Dalam kurma hasil tanah kita atau kurma kita tahun ini terdapat sedikit kerusakan, lalu aku menukarkan kurma yang baik ini dengan menambahkan takaran (kurma jelek). Beliau bersabda: Kamu telah melebihkan, berarti kamu telah melakukan riba. Jangan sekali-kali kamu lakukan itu, apabila kurmamu tidak baik, maka juallah,

kemudian uangnya kamu belikan kurma yang lebih baik sesuai dengan seleramu. (Shahih Muslim No.2988) ®.Hadis riwayat Abu Said Al-Khudri ra., ia berkata: Dinar ditukar dengan dinar, dirham dengan dirham harus sama nilainya. Barang siapa menambah atau meminta tambahan berarti ia telah melakukan riba. Maka aku berkata kepadanya: Sesungguhnya Ibnu Abbas ra. tidak mengatakan demikian. Ia berkata: Aku telah menemui Ibnu Abbas ra. lalu aku bertanya kepadanya: Apa pendapatmu mengenai apa yang kamu katakan, apakah itu sesuatu yang kamu dengar dari Rasulullah saw. atau kamu temukan dari Kitab Allah? Maka ia berkata: Aku tidak mendengarnya dari Rasulullah dan tidak mendapatkannya dari Kitab Allah, tetapi Usamah bin Zaid berkata kepadaku bahwa Nabi saw. pernah bersabda: Riba itu terdapat dalam penundaan pembayaran. (Shahih Muslim No.2990) ®.Hadis riwayat Usamah bin Zaid ra.: Bahwa Nabi saw. bersabda: Sesungguhnya riba itu hanya terdapat pada penundaan pembayaran. (Shahih Muslim No.2991) 33. Mengambil yang halal dan meninggalkan yang syubhat ®.Hadis riwayat Nu`man bin Basyir ra., ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda (Nu`man menggerakkan jari- jemari ke telinganya): Sesungguhnya perkara yang halal itu telah jelas dan perkara yang haram itu pun telah jelas dan di antara keduanya terdapat perkara- perkara yang syubhat (tidak jelas hukumnya) yang tidak diketahui oleh orang banyak. Oleh karena itu, barang siapa menghindari perkara syubhat, ia telah membebaskan agama dan kehormatannya. Dan orang yang terjerumus ke dalam syubhat, berarti telah terjerumus ke dalam perkara haram, seperti penggembala yang menggembalakan di sekitar tempat terlarang, maka kemungkinan besar gembalaannya akan masuk ke tempat terlarang itu. Ketahuilah! Sesungguhnya setiap penguasa itu memiliki daerah terlarang. Ketahuilah! Sesungguhnya daerah terlarang milik Allah adalah apa-apa yang diharamkan-Nya. Ketahuilah! Sesungguhnya di dalam tubuh itu terdapat segumpal daging, apabila ia baik, maka akan baik pula seluruh tubuh, dan jika ia rusak, maka akan rusak pula seluruh tubuh, ketahuilah itu adalah hati. (Shahih Muslim No.2996) 34. Orang yang berutang sesuatu lalu melunasi dengan yang lebih baik, dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik dalam melunasi utang ®.Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata: Seorang lelaki mempunyai piutang pada Rasulullah saw., lalu ia menagih beliau dengan cara kasar sehingga para sahabat Nabi saw. ingin membalasnya. Maka bersabdalah Nabi saw.: Sesungguhnya pemilik piutang itu berhak mengatakan apa saja. Belilah seekor unta lalu berikanlah kepadanya! Mereka berkata: Kami tidak mendapatkan kecuali unta yang lebih baik dari untanya. Beliau bersabda: Belilah dan berikanlah kepadanya! Karena sesungguhnya termasuk orang yang terbaik di antara kamu atau orang yang terbaik di antara kamu adalah yang paling baik dalam melunasi utangnya. (Shahih Muslim No.3003) 35. Boleh bergadai, baik ketika bermukim maupun dalam perjalanan ®.Hadis riwayat Aisyah ra., ia berkata: Rasulullah saw. pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan cara menangguhkan pembayarannya lalu beliau menyerahkan baju besi beliau sebagai jaminan. (Shahih Muslim No.3007) 36. Jual-beli salam (pemesanan) ®.Hadis riwayat Ibnu Abbas ra., ia berkata: Nabi saw. tiba di Madinah sedang penduduknya biasa melakukan pemesanan buah- buahan dengan harga kontan selama satu sampai dua tahun. Maka beliau bersabda: Barang siapa yang membeli kurma dengan cara memesan, hendaklah ia memesan dalam takaran yang diketahui atau timbangan yang diketahui serta batas waktu yang diketahui pula. (Shahih Muslim No.3010) 37. Larangan bersumpah dalam jual beli

®.Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: Sumpah itu penyebab lakunya barang dagangan, tetapi menghapus keberkahan laba. (Shahih Muslim No.3014) 38. Syuf`ah ®.Hadis riwayat Jabir ra., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Barang siapa yang berserikat dengan orang lain dalam memiliki rumah atau pohon kurma, maka ia tidak boleh menjualnya sebelum memberitahukan kawan serikatnya, apabila ia rela, maka ia boleh mengambil (harganya) dan jika tidak suka, maka ia harus meninggalkan (tidak menjual). (Shahih Muslim No.3016) 39. Menancapkan kayu di dinding tetangga ®.Hadis riwayat Abu Hurairah ra.: Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Janganlah seorang di antara kamu melarang tetangganya menancapkan kayu di dindingnya. (Shahih Muslim No.3019) 40. Pengharaman berbuat zalim, merampas tanah dan lainnya ®.Hadis riwayat Said bin Zaid bin Amru bin Nufail ra.: Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Barang siapa mengambil sejengkal tanah dengan zalim, maka Allah akan mengalungkannya di hari kiamat setebal tujuh lapis bumi. (Shahih Muslim No.3020) ®.Hadis riwayat Aisyah ra.: Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Barang siapa berbuat zalim dengan mengambil tanah seluas sejengkal, maka akan dikalungkan di lehernya setebal tujuh lapis bumi. (Shahih Muslim No.3025) 41. Ukuran luas jalan bila diperselisihkan orang ®.Hadis riwayat Abu Hurairah ra.: Bahwa Nabi saw. bersabda: Apabila kalian berselisih luas jalan, maka lebarnya ditetapkan tujuh hasta. (Shahih Muslim No.3026) Kitab Jual-Beli HADITS SHAHIH MUSLIM

(Surat Al-Baqarah ayat 275 s/d 278)

1. Nash Ayat Allah SWT telah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 275, 276, 278 yang berbunyi :

ُ َّ‫الربَا الَ يَقُو ُمونَ ِإالَ َك َما يَقُو ُم الَّذِي يَت َ َخب‬ َ ‫ش ْي‬ َّ ‫طهُ ال‬ ُ ‫ط‬ ‫س َذ ِل َك بِأَنَّ ُه ْم‬ ِّ ِ َ‫الَّذِينَ يَأ ْ ُكلُون‬ ِّ ِ ‫ان ِمنَ ْال َم‬ َ ‫الر َبا فَ َم ْن َجا َءهُ َم ْو ِع‬ ‫ظةٌ ِم ْن َر ِبِّ ِه فَا ْنت َ َهى‬ َّ ‫الر َبا َوأ َ َح َّل‬ ِّ ِ ‫ّللاُ ْال َب ْي َع َو َح َّر َم‬ ِّ ِ ‫قَالُوا ِإنَّ َما ْال َب ْي ُع ِمثْ ُل‬ ِ َّ ‫ف َوأ َ ْم ُرهُ ِإ َلى‬ ‫)يَ ْم َح ُق‬275( َ‫ار ُه ْم ِفي َها خَا ِلدُون‬ ُ ‫ص َح‬ ْ َ ‫ّللا َو َم ْن َعا َد فَأُولَئِ َك أ‬ َ ‫فَلَهُ َما‬ ِ َّ‫اب الن‬ َ َ‫سل‬ ‫) إِ َّن الَّذِينَ َءا َمنُوا َو َع ِملُوا‬276(‫ّللاُ الَ يُ ِحبُّ ُك َّل َكفَّار أَثِيم‬ ِ ‫ص َدقَا‬ َّ ‫ت َو‬ َّ َّ ‫الربَا َويُ ْربِي ال‬ ِّ ِ ُ‫ّللا‬

َّ ‫صالَة َ َو َءات َ ُوا‬ َ‫ف َعلَ ْي ِه ْم َوال‬ ِ ‫صا ِل َحا‬ َّ ‫ت َوأَقَا ُموا ال‬ َّ ‫ال‬ ٌ ‫الز َكاة َ لَ ُه ْم أ َ ْج ُر ُه ْم ِع ْن َد َر ِبِّ ِه ْم َوالَ خ َْو‬ )278( َ‫الر َبا ِإ ْن ُك ْنت ُ ْم ُمؤْ ِمنِين‬ ِّ ِ َ‫ي ِمن‬ َ َّ ‫) َياأَيُّ َها الَّذِينَ َءا َمنُوا اتَّقُوا‬277( َ‫ُه ْم َي ْحزَ نُون‬ َ ‫ّللا َو َذ ُروا َما َب ِق‬ Artinya : Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya (275) Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.( 276) Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.(277) Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.(278)

2. Sebab turunnya ayat Kaum Tsaqif, penduduk kota Taif telah membuat kesepakatan dengan Rasulullah SAW bahwa semua hutang mereka demikian juga piutang ( tagihan) yang berdasarkan riba agar dibekukan dan dikembalikan hanya pokoknya saja. Setelah Fathu Makkah, Rasulullah SAW menunjuk ‘Itab ibn Usaid sebagai gubernur Makkah yang juga meliputi kawasan Thaif. Bani Amr ibn Umar adalah orang yang biasa meminjamkan uang secara riba kepada bani Mughirah sejak zaman jahiliyah dan Bani Mughiroh senantiasa membayarkannya. Setelah kedatangan Islam, mereka memiliki kekayaan yang banyak. Karennya, datanglah Bani Amer untuk menagih hutang dengan tambahan riba, tetapi Bani Mughirah menolak. Maka diangkatlah masalah itu kepada Gubernur ‘Itab ibn Usaid dan beliau menulis kepada Rasulullah SAW. Maka turunlah ayat ini. Rasulullah Saw lalu menulis surat balasan yang isinya “ Jika mereka ridha atas ketentuan Allah SWT diatas maka itu baik, tetapi jika mereka menolaknya maka kumandangkanlah ultimatum perang kepada mereka.[1]

3. Mufrodat Beberapa mufrodat yang penting antara lain adalah[2] :  ( ‫ )يأكلون‬: arti harfiyahnya adalagh memakan, disini berarti mengambil atau memanfaatkan. Karena itulah tujuan utamanya. Maksudnya bahwa kebanyakan bentuk dalam mengambil manfaat adalah memakannya.  (( ‫يقومون‬: maksudnya bangkit dari kubur mereka  (‫ )يتخبطهم‬: artinya kesurupan atau kemasukan syetan  (‫ )يمحق‬artinya mengurangkannya dan menghilangkan barakahnya  (‫ )يربي‬: artinya menambahkan dan menumbuhkannya serta melipat gandakan ganjarannya.

 (‫ )حرب‬: arti perang dari Allah dan Rasul-Nya disni adalah diperlakukan seperti seorang bughot (pemberontak) dan sebagai musuh Allah.

4. Hukum yang terkandung di dalamnya Ayat yang melarang riba ini bila disimak lebih jauh mengandung banyak penge‫ق‬tian hukum, diantaranya :  Dibolehkannya semua praktek jual beli yang tidak ada larangan syar`i di dalamnya. Jual beli sendiri memiliki arti memiliki harta dengan harta melalui ijab qabul dengan keridhaan keduanya.  Diharamkannya riba dan dimaklumatkan perang dari Allah dan Rasul-Nya.

5. Haramnya Riba Dalam al-Quran dan Sunnah Riba secara mutlak telah diharamkan oleh Allah swt dan Rasuluullah saw memalui ayat-ayat Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw. Diantara nash-nash itu adalah sebagi berikut :  Al-Quran Al-Quran mengharamkan riba dalam empat marhalah / tahap. Doktor Wahbat Az-Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir menjelaskan tahapan pengharam riba adalah sebagai berikut [3]:

- Tahap Pertama Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).(QS. Ar-Ruum : 39 ) Ayat ini turun di Mekkah dan menjadi tamhid diharamkannya riba dan urgensi untuk menjauhi riba.

- Tahap Kedua Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, (QS. An-Nisa : 160-61) Ayat ini turun di Madinah dan menceritakan tentang perilaku Yahudi yang memakan riba dan dihukum Allah. Ayat ini merupakan peringatan bagi pelaku riba.

- Tahap Ketiga Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.(Ali Imron : 130) Pada tahap ini Al-Quran mengharamkan jenis riba yang bersifat fahisy, yaitu riba jahiliyah yang berlipat ganda.

- Tahap Keempat Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.(Al-Baqarah : 278-279)

Pada tahap ini Al-Quran telah mengharamkan seluruh jenis riba dan segala macamnya. Alif lam pada kata (‫ )ال‬mempunyai fungsi lil jins, maksudnya diharamkan semua jenis dan macam riba dan bukan hanya pada riba jahiliyah saja atau riba Nasi’ah. Hal yang sama pada alif lam pada kata (‫ )البيع‬yang berarti semua jenis jual beli.



As-Sunah As-Sunnah juga menjelaskan beberapa praktek riba dan larangan bagi pelakunya :

‫ هم سواء‬: ‫لعن رسول هللا آكل الربا وموكله وكاتبه و شاهديه وقال‬ Artinya : Rasulullah saw melaknat pemakan riba, yang memberi, yang mencatat dan dua saksinya. Beliau bersabda : mereka semua sama .[4]

Dalam hadits lain disebutkan : Diriwayatkan oleh Aun bin Abi Juhaifa,”Ayahku membeli budak yang kerjanya membekam. Ayahku kemudian memusnahkan alat bekam itu. Aku bertanya kepaa ayah mengapa beliau melakukannya. Beliau menjawab bahwa Rasulullah saw. Melarang untuk menerima uang dari transaksi darah, anjing dan kasab budak perempuan. Beliau juga melaknat penato dan yang minta ditato, menerima dan memberi riba serta melaknat pembuat gambar. [5]

Dengan dalil-dalil qoth’i di atas, maka sesungguhnya tidak ada celah bagi umat Islam untuk mencari-cari argumen demi menghalalkan riba. Karena dali-dalil itu sangat sharih dan jelas. Bahkan ancaman yang diberikan tidak main-main karena Allah memerangi orang yang menjalankan riba itu.

6. Bunga Bank Adalah Riba Yang Diharamkan Karena keterbatasan ilmu syariah, masih banyak kalangan umat Islam yang bertanya-tanya tentang kehalalan bunga bank. Kehidupan perekonomian tidak mungkin lagi dilepaskan dari jasa perbankan. Bahkan untuk kepentingan rumah tangga. Padahal umumnya bank menjalankan praktek ribawi dalam banyak transaksinya. Meskipun praktek ribawi pada bank itu sangat jelas, namun masih ada juga mereka yang berusah mencari argumen yang membolehkan. Paling tidak memakruhkan. Umumnya orang-orang yang berdiri di belakang argumen itu masih memandang bahwa pendirian bank Islam yang non-ribawi mustahil, tidak mampu atau –mungkin- tidak memiliki kemauan dan harapan pada kesadaran umat dalam mengatur

ekonominya sesuai dengan syariat Allah SWT. Beragam argumen itu bila kita telaah secarara jernih dengan nurani yang jujur, maka akan nampak nyata kelemahan-kelemahannya. Penulis akan kutipkan beberapa pokok argumen secarara singkat dilengkapi dengan jawaban atas kelemahannya.

a. Alasan Darurat Alasan darurat adalah alasan paling klasik dan paling sering terdengar atas dibolehkannya bank ribawi. Biasanya dalil yang digunakan adalah Kaidah Fiqhiyah yang berbunyi ( ‫الضرورات تبيح‬ ‫ )المحظورات‬artinya dharurat itu membolehkan mahzurot / yang dilarang.[6] Pendapat seperti ini pada dasarnya mengakui haramnya riba pada bank-bank konvensional. Namun barangkali karena tidak punya alternatif lain, terutama di masa sulit era awal orde baru, banyak pendapat orang yang dengan terpaksa membolehkannya.

Jawaban : Pendapat seperti di atas bila dikaitkan dengan kondisi sekarang sudah tidak sesuai lagi. Karena kaidah fiqiyah yang berkaitan dengan darurat itu masih ada kaidah lainnya yaitu (‫ )الضرورات تقدر بقدرها‬artinya bahwa darurat itu harus dibatasi sesuai dengan kadarnya. [7] As-Suyuti menjelaskan tentang sifat darurat, yaitu apabila seseorang tidak segera melakukan sesuatu tindakan yang cepat, akan membawa pada jurang kematian. [8]. Padahal bila kita tidak menabung di bank konvensional tetapi di bank syariat, kita tidak akan celaka atau mati. Sedang Dr. Wahbat Az-Zuhaili menjelaskan bahwa situasi darurat itu seperti seseorang yang tersesat di hutan dan tidak ada makanan kecuali daging babi yang diharamkan. Dalam keadaan itu Allah menghalalkan dengan dua batasan.[9]

ُ ‫ض‬ َ ‫ط هر‬ ْ ‫ّللَا فَ َم ِن ا‬ ‫غي َْر بَاغٍ َوَلَ عَا ٍد‬ َ ‫ِإنه َما َح هر َم‬ ِ ‫ير َو َما أ ُ ِه هل ِب ِه ِلغَي ِْر ه‬ ِ ‫علَ ْي ُك ُم ا ْل َم ْيتَةَ َوال هد َم َولَحْ َم ا ْل ِخ ْن ِز‬ َ ‫ّللَا‬ ‫ور َر ِحي ٌم‬ َ ‫فََلَ ِإثْ َم‬ ٌ ُ‫غف‬ َ ‫علَ ْي ِه ِإ هن ه‬ Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS. Al-Baqorah : 173).

Sedangkan umat Islam banyak yang menabung di bank konvensional bukan karena hampir mati tidak ada makanan, justru banyak yang tergiur oleh hadiah yang ditawarkan. Jadi dalam hal ini kata darurat sudah tidak relevan lagi.

Di Indonesia sendiri bank yang berpraktek secara Islami dan bebas riba telah dan mulai bermunculan. Data per Nopember 2000 menunjukkan beberapa bank yang menggunakan praktek non ribawi yaitu : 1.

Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada 1 Nopember 1991

2.

Bank Syariah Mandiri (BMS) yang merupakan bank milik pemerintah pertama yang menerapkan syariah. Asetnya kini sekitar 2 sampai 3 trilyun dengan 20 cabangnya.

3.

Konversi bank konvensional kepada bank syariah[10] :

 Bank IFI (membuka cabang syariah pada 28 Juni 1999)  Bank Niaga (akan membuka cabang syariah )  Bank BNI `46 (telah memiliki 5 cabang )  Bank BTN (dalam perencanaan)  Bank Mega (akan menkonversikan anak perusahaannya menjadi syariah)  Bank BRI (akan membuka cabang syariah)  Bank Bukopin (akan membuka cabang syariah di Aceh )  BPD Jabar (telah membuka cabang syariah di Bandung)  BPD Aceh

b. Yang Haram Adalah Yang Berlipat Ganda Ada pendapat yang mengatakan bahwa bunga bank hanya dikategorikan riba bila sudah berlipat ganda dan memberatkan, sedangkan bila kecil dan wajar-wajar saja dibenarkan.[11] Pendapat ini berasal dari pemahaman yang salah tentang surat Ali Imran ayat 130 yang berbunyi :

ِِ Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda (QS. Ali Imran : 130)

Jawaban : Memang sepintas ayat ini hanya melarang riba yang berlipat ganda. Akan tetapi bila kita cermati lebih dalam serta dikaitkan dengan ayat-ayat lain secarara lebih komprehensip, maka akan kita dapat kesimpulan bahwa riba dengan segala macam bentuknya mutlak diharamkan. Paling tidak ada dua jawaban atas argumen di atas :  Kata (‫ )أضعاف‬yang berarti berlipat ganda itu harus dii’rab sebagai (‫ )حال‬haal yang berarti sifat riba dan sama sekali bukan syarat riba yang diharamkan. Ayat ini tidak dipahami bahwa riba yang diharamkan hanyalah yang berlipat ganda, tetapi menegaskan karakteristik riba yang secarar umum punya kecendrungan untuk berlipat ganda sesuai dengan berjalannya waktu. Hal seperti itu diungkapkan oleh Syeikh Dr. Umar bin Abdul Aziz Al-Matruk, penulis buku Ar-Riba wal Mua’amalat al-Mashrafiyah fi Nadzri ash-Shariah alIslamiyah.[12]  Perlu direnungi penggunaan mafhum mukholafah dalam ayat ini sala kaprah, tidak sesuai dengan siyaqul kalam, konteks antar ayat, kronologis penurunan wahyu maupun sabda Raulullah SAW. Secarar sederhana bila kita gunakan mahhum mukholafah yang berarti konsekuensi terbalik secarara sembarangan, akan melahirkan penafsiran yang keliru. Sebagai contoh, bila ayat tentang zina dipahami secarara mafhum mukholafah, jangan dekati zina. Maka yang tidak boleh mendekati, berarti zina itu sendiri tidak dilarang. Begitu juga daging babi, yang dilarang makan dagingnya, sedang kulit, tulang, lemak tidak disebutkan secarar eksplisit. Apakah berarti semuanya halal ? tentu tidak.

 Secarara linguistik kata (‫ )ضعف‬adalah jamak dari (‫ )أضعاف‬yang berarti kelipatan-kelipatan. Bentuk jama’ itu minimal adalah tiga. Dengan demikian (‫ )أضعاف‬berarti 3x2 = 6. Adapun (‫ )مضاعفا‬dalam ayat itu menjadi ta’kid (‫ )تأكيد‬atau penguat. Dengan demikian, kalau berlipat ganda itu dijadikan syarat, maka sesuai dengan konsekuensi bahasa, minimum harus enam kai lipat atau bunga 600 %. Secarara operasional dan nalar sehat, angka itu mustahil terjadi dalam proses perbankan maupun simpan pinjam. [13]

c. Yang Haram Melakukan Riba Adalah Individu Bukan Badan Hukum Bank adalah sebuah badan hukum dan bukan individu. Karena bukan individu, maka bank tidak mendapat beban / taklif dari Allah. Seperti yang sering disebutkan sebagai syarat mukallaf antara lain : akil, baligh, tamyiz dan seterusnya. Bank tidak akil, baligh dan tamyiz. Artinya bukanlah mukallaf. Sehingga praktek bank tidak termasuk berdosa, karena yang dapat berdosa adalah individu. Ketika ayat riba turun di jazirah arabia, belum ada bank atau lembaga keuangan. Dengan demikian bank LIPPO, BCA, Danamon dan lainnya tidak terkena hukum taklif, karena pada saat Nabi Hidup belum ada. Pendapat seperti ini pernah dikemukakan oleh Dr. Ibrahim Hosen dalam sebuah workshop on bank and banking interest, disponsori oleh Majelis Ulama Indonesia pada tahun 1990. [14]

Jawaban : Argumen ini memiliki kelemahan dari beberapa sisi, yaitu : 

Tidak benar bahwa pada zaman nabi tidak ada badan keuangan sama sekali. Sejarah Roma, Persia dan Yunani menunjukkan ribuan lembaga keuangan yang mendapat pengesahan dari pihak penguasa. Dengan kata lain, perseroan mereka masuk dalam lembaran negara.[15]



Dalam tradisi hukum, perseroan atau badan hukum sering disebut sebagai juridical personality atau syakhshiyyah hukmiyah (‫)الشخصية الحكومية‬. Juridical personality ini sah secarara hukum dan dapat mewakili individu-individu secarar keseluruhan.



Bank memang bukan insan mukallaf, tetapi melakukan amal mukallaf yang jauh lebih besar dan berbahaya. Alangkah naifnya bila kita mengatakan bahwa sebuah gank mafia pengedar drugs dan narkotika tidak berdosa dan tidak terkena hukum karena merupakan sebuah lembaga dan bukan insan mukallaf. Demikian juga lembaga keuangan, apa bedanya dengan seorang rentenir pemakan darah masyarakat ? Bedanya, yang satu seorang individu yang beroperasi tingkat RT dan RW, sedang yang lainnya adalah kumpulan dari individu-individu yang secarara terorganisis dan modal raksasa melakukan operasi renten dan pemerasan tingkat tinggi dalam skala nasional bahkan internasional dan mendapat aspek legalitas dari hukum sekuler.

d. Yang haram adalah yang konsumtif Pendapat ini mengatakan bahwa riba yang diharamkan hanya bersifat konsumtif saja. Sedangkan riba yang bersifat produktif tidak haram. Alasan yang digunakan adalah ‘illat dari riba yaitu pemerasan. Dan pemerasan ini hanya dapat terjadi pada bentuk pinjaman yang konsumtif saja. Sebab debitur bermaksud menggunakan uangnya untuk menutupi kebutuhan pokoknya saja seperti makan, minum, pakaian, rumah dan lain-lain. Debitur melakukan itu karena darurat dan tidak punya jalan lain. Maka mengambil untung dari praktek konsumtif seperti ini haram. Dewasa ini telah terjadi perubahan pandangan karena terjadinya perubahan pada bentuk pinjaman setelah berdirinya bank. Debitur (peminjam) tidak lagi dipandang sebagai pihak lemah yang dapat

diperas oleh kreditur dalam hal ini bank. Selain itu kreditur tidak pula memaksakan kehendaknya kepada debitur. Yang terjadi justru sebaliknya, debiturlah yang menjadi pihak yang kuat yang dapat menentukan syarat dan kemauannya kepada kreditur. Jadi bank menjadi debitur karena meminjam uang kepada nasabah. Sedangkan nasabah menjadi kreditur karena meminjaminya. Namun bank bukan lagi peminjam yang lemah, justru menjadi pihak yang kuat. Karena cara-cara yang sekarang berjalan sama sekali berbeda dengan sebelumnya, maka harus dibedakan antara pinjaman produktif dan konsumtif. Pinjaman produktif hukumnya halal dan pinjaman konsumtif hukumnya haram. Pendapat ini didukung oleh Dr. Muhammad Ma’ruf Dawalibi dalam Mukatamar Hukum Islam di Perancis bulan Juli 1951 yang berkata :”Pinjaman yang diharamkan hanyalah pinjaman yang berbentuk konsumtif, sedangkan yang berbentuk produktif tidak diharamkan. Karena yang dilarang Islam hanyalah yang konsumtif.[16]

Jawaban : 

Orang yang beranggapan bahwa pemerasan itu hanya ada pada pinjaman konsumtif dan tidak ada pada pinjaman produktif adalah tidak beralasan. Sebab pinjaman produktif pun juga bersifat pemerasn. Sebagai bukti bahwa bank-bank dewasa ini memperoleh keuntungan yang berlipat ganda. Tetapi memberikan porsi yang sangat kecil dari keuntungannya itu kepada deposan.



Para ulama menetapkan bahwa pinjaman yang diharamkan Al-Quran adalah pinjaman jahiliyah. Ketika mereka melakukan peminjaman sesama mereka tentu untuk usah mereka dalam sekala bear. Tidak mungkin bagi mereka yang termasuk tokoh saudagar besar dan pemilik modal seperti Abbas bin Abdul Muttalib atau Khalid bin Walid melakukan pemerasan kepada orang yang lemah dan miskin. Mereka terkenal sebagai dermawan besar dan bangga disebut sebagai dermawan. Mereka punya kebiasaan menyantuni orang lapar dan memberi pakaian. Pinjaman yang bersifat konsumtif tidak terjadi antar mereka. Justru pinajam produktif yang di dalam Al-Quran mereka memang dikenal sebagai pedang yang melakukan perjalan musim dingin ke Yaman dan musim panas ke Syam. Masyarakat Quraisy umumnya adalah pedagang dan pemodal sehingga pinjaman-pinjaman waktu itu memang untuk kebutuhan perdagangan yang bersifat produktif dan bukan konsumtif. [17]

7. Pendapat yang mengharamkan bunga bank a. Majelis Tarjih Muhammadiyah [18] - Majelis Tarjih Sidoarjo tahun 1968 pada nomor b dan c : …bank dengan sistem riba hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya halal …bank yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada para nasabahnya atau sebaliknya yang selama ini berlaku atau sebaliknya yang selama ini berlaku, termasuk perkara musytabihat. b. Lajnah Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama [19] Ada dua pendapat dalam bahtsul masail di Lampung tahun 1982. Pendapat yang pertama mengatakan bahwa bunga Bank adalah riba secara mutlak dan hukumnya haram. Yang kedua berpendapat bunga bank bukan riba sehingga hukumnya boleh. Pendapat yang ketiga, menyatakan bahwa bunga bank hukumnya syubhat. c. Organisasi Konferensi Islam (OKI) [20] Semua peserta sidang OKI yang berlangsung di Karachi, Pakistan bulan Desember 1970 telah menyepakati dua hal :

 Praktek Bank dengan sistem bunga adalah tidak sesuai dengan syariah Islam  Perlu segera didirikan bank-bank alternatif yang menjalankan operasinya sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. c. Mufti Negara Mesir [21] Keputusan Kantor Mufti Mesir konsisten sejak tahun 1900 hingga 1989 menetapkan haramnya bunga bank dan mengkategorikannya sebagai riba yang diharamkan. d. Konsul Kajian Islam Dunia [22] Ulama-ulama besar dunia yang terhimpun dalam lembaga ini telah memutuskan hukum yang tegas terhadap bunga bank sebagai riba. Ditetapkan bahwa tidak ada keraguanatas keharaman praktek pembungaan uang seperti yang dilakukan bank-bank konvensional. Diantara 300 ulama itu tercatat nama seperti Syeikh Al-Azhar, Prof . Abu Zahra, Prof. Abdullah Draz, Prof. Dr. Mustafa Ahmad Zarqa’, Dr. Yusuf Al-Qardlawi. Konferensi ini juga dihadiri oleh para bankir dan ekonom dari Amerika, Eropa dan dunia Islam.

8. Hukum Bekerja di Bank Ribawi Sebagai pelengkap makalah ini, penulis kutipkan masalah yang timbul akibat haramnya praktek riba di bank konvensional. Yaitu hukum bekerja sebagai pegawai pada lembaga seperti itu. Dr. Yusuf AlQoradawi dalam Fatwa Kontemporernya menuliskan tentang hukum bekerja di bank ribawi : “Namun perlu diperhatikan bahwa masalah riba ini tidak hanya berkaitan dengan pegawai bank atau penulisnya pada berbagai syirkah, tetapi hal ini sudah menyusup ke dalam sistem ekonomi kita dan semua kegiatan yang berhubungan dengan keuangan, sehingga merupakan bencana umum sebagaimana yang diperingatkan Rasulullah saw.: "Sungguh akan datang pada manusia suatu masa yang pada waktu itu tidak tersisa seorangpun melainkan akan makan riba; barangsiapa yang tidak memakannya maka ia akan terkena debunya." (HR Abu Daud dan Ibnu Majah)

Kondisi seperti ini tidak dapat diubah dan diperbaiki hanya dengan melarang seseorang bekerja di bank atau perusahaan yang mempraktekkan riba. Tetapi kerusakan sistem ekonomi yang disebabkan ulah golongan kapitalis ini hanya dapat diubah oleh sikap seluruh bangsa dan masyarakat Islam. Perubahan itu tentu saja harus diusahakan secara bertahap dan perlahan-lahan sehingga tidak menimbulkan guncangan perekonomian yang dapat menimbulkan bencana pada negara dan bangsa.

Islam sendiri tidak melarang umatnya untuk melakukan perubahan secara bertahap dalam memecahkan setiap permasalahan yang pelik. Cara ini pernah ditempuh Islam ketika mulai mengharamkan riba, khamar, dan lainnya. Dalam hal ini yang terpenting adalah tekad dan kemauan bersama, apabila tekad itu telah bulat maka jalan pun akan terbuka lebar. Setiap muslim yang mempunyai kepedulian akan hal ini hendaklah bekerja dengan hatinya, lisannya, dan segenap kemampuannya melalui berbagai wasilah (sarana) yang tepat untuk mengembangkan sistem perekonomian kita sendiri, sehingga sesuai dengan ajaran Islam. Sebagai contoh perbandingan, di dunia ini terdapat beberapa negara yang tidak memberlakukan sistem riba, yaitu mereka yang berpaham sosialis. Di sisi lain, apabila kita melarang semua muslim bekerja di bank, maka dunia perbankan dan sejenisnya akan dikuasai oleh orang-orang nonmuslim seperti Yahudi dan sebagainya. Pada akhirnya, negara-negara Islam akan dikuasai mereka. Terlepas dari semua itu, perlu juga diingat bahwa tidak semua pekerjaan yang berhubungan dengan dunia perbankan tergolong riba. Ada diantaranya yang halal dan baik, seperti kegiatan

perpialangan, penitipan, dan sebagainya; bahkan sedikit pekerjaan di sana yang termasuk haram. Oleh karena itu, tidak mengapalah seorang muslim menerima pekerjaan tersebut --meskipun hatinya tidak rela-- dengan harapan tata perekonomian akan mengalami perubahan menuju kondisi yang diridhai agama dan hatinya. Hanya saja, dalam hal ini hendaklah ia rnelaksanakan tugasnya dengan baik, hendaklah menunaikan kewajiban terhadap dirinya dan Rabb-nya beserta umatnya sambil menantikan pahala atas kebaikan niatnya: "Sesungguhnya setiap orang memperoleh apa yang ia niatkan." (HR Bukhari) Sebelum saya tutup fatwa ini janganlah kita melupakan kebutuhan hidup yang oleh para fuqaha diistilahkan telah mencapai tingkatan darurat. Kondisi inilah yang mengharuskan saudara penanya untuk menerima pekerjaan tersebut sebagai sarana mencari penghidupan dan rezeki, sebagaimana firman Allah SWT: "... Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Al Baqarah: 173)

9. Alternatif yang harus dilakukan a. Peran Ulama Para ulama sebagai sosok yang seharusnya tidak takut kepada Allah seperti yang dijelaskan AlQuran, harus berani mengatakan yang haq walaupun itu pahit. Keberanian ulama akan dikenang umat sepanjang masa, sedangkan bila mereka hanya mengejar dunia, takut pada penguasa, tidak berati mengatakan al-haq, tidak akan dikenal orang. Kalau pun ditulis dalam sejarah, maka hanya akan dicatat sebagai contoh ulama suu` yang kerjanya menjilat penguasa. Kalau ulama hanya menjadi tukang stempel maunya penguasa, maka jangan diharap umatnya akan maju. Jadi ulama harus tegas dengan akidah dan ilmu yang telah dipelajarinya. Tidak boleh goyah hanya untuk kesenangan duniawi. Selain itu para ulama harus membentuk jaringan umat Islam yang mempersatukan mereka dalam ukhuwah Islamiyah dan meninggalkan kepentingan golongan, kelompok, partai dan sebagainya. Ulama harus menjadi motivator berdirinya bangunan Islam yang kokoh dan bukan menjadi penghambat kebangkitan Islam

b. Sosialisasi Islam sebagai sistem ekonomi telah jelas. Bahkan dipelajari dan dilaksanakan justru di negerinegeri non Islam. Bagi umat Islam di Indonesia, mendirikan bank dengan praktek Islam sesungguhnya bukan hal sulit, tetapi barangkali sosialisasi atas keuntungan praktek bank secarara islami masih belum merata.

c. Pendidikan Umat Islam harus memasukkan pelajaran ekonomi yang sesuai dengan syariah Islam di semua level pendidikan dan membuang jauh-jauh doktrin ekonomi kapitalis yang telah terbukti gagal total dalam membangun negeri. Jadi perlu disusun ulang kurikulum pendidikan sejak SD, SMP, SMU, SMK dan perguruan tinggi. Jangan adalagi perguruan tinggi milik umat Islam yang masih membuka fakultas ekonomi tetapi isinya justru ekonomi kapitalis.

d. Pemerintah Pemerintah harus sadar bahwa tanpa dukungan umat Islam, mareka tidak akan lama memimpin. Umat Islam sudah semakin pandai dan mengerti terntang ajaran agamanya. Dan hasrat untuk menerapkan sistem Islam dalam segala segi semakin hari semakin kuat. Hal ini harus diakomodir dalam bentuk undang-undang dan kebijakan yang nyata bila tidak ingin ada pergolakan sosial yang membuat

stabilitas terganggu. Namun hal ini akan kembali kepada mentalitas para pejabat. Apakah mereka adalah seorang negarawan atau hanya sekedar kaki tangan barat yang duduk bersimpuh di depan polisi dunia itu.

Oleh: Sarwat, Ahmad, Lc.2009, Kajian Tafsir Ayat Ahkam Ayat-Ayat Al-Quran Yang Mengandung Hukum syariat, :Du Center

Daftar Pustaka Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

Definisi Jual Beli Al-buyu’ adalah bentuk jamak dari bai’u, dan dijamak karena banyak macamnya. Sedangkan bai’u yaitu memindahkan kepemilikan kepada orang lain dengan harga. Adapun syira adalah menerima bai’i tersebut. Dan setiap dari keduanya digunakan untuk menamai yang lainnya. Pensyari’atan Jual Beli Allah Ta’ala berfirman: ‫الربَا‬ َّ ‫َوأ َ َح َّل‬ ِّ ِ ‫ّللاُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم‬ “Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” [Al-Baqarah: 275] Juga berfirman: ‫عن ت ََراض ِِّمن ُك ْم‬ َ ً‫ارة‬ َ ‫َيا أ َ ُّي َها الَّذِينَ آ َمنُوا َال ت َأ ْ ُكلُوا أ َ ْم َوالَ ُكم َب ْينَ ُكم ِب ْالبَاطِ ِل ِإ َّال أَن ت َ ُكونَ ِت َج‬ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.” [AnNisaa': 29)] Dari Hakim bin Hizam Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda: ‫ار َما لَ ْم َيتَف ََّرقَا‬ ِ ‫ان ِب ْالخِ َي‬ ِ ‫ا َ ْل َب ِِّي َع‬. “Al-Bayyi’an (penjual dan pembeli) memiliki hak khiyar (memilih untuk melanjutkan jual beli atau membatalkannya) selama keduanya belum berpisah.” [1] Kaum muslimin telah berijma’ akan bolehnya jual beli, dan hikmah juga mengharuskan adanya jual beli, karena hajat manusia banyak bergantung dengan apa yang dimiliki oleh orang lain (namun) terkadang orang tersebut tidak memberikan kepadanya, sehingga dalam pensyari’atan jual beli terdapat wasilah (perantara) untuk sampai kepada tujuan tanpa memberatkan. [2] Anjuran Bekerja Dari Miqdam Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

ُّ ‫طعَا ًما َق‬ َ ‫ َما أ َ َك َل أ َ َح ٌد‬q ‫ع َم ِل يَ ِد ِه‬ ِ ‫ي‬ ‫هللا َد ُاو َد‬ َ ‫ط َخي ًْرا مِ ْن أ َ ْن يَأ ْ ُك َل مِ ْن‬ َ ‫ َكانَ يَأ ْ ُك ُل مِ ْن‬. َّ ِ‫ع َم ِل يَ ِد ِه َوإِ َّن نَب‬ “Tidaklah seseorang memakan makanan sedikit pun yang lebih baik dari memakan hasil kerjanya sendiri, karena sesungguhnya Nabiyullaah, Dawud Aliahissallam dahulu makan dari hasil kerjanya sendiri.” [3] Dan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: َ ‫علَى‬ ُ‫ظ ْه ِر ِه َخي ٌْر لَهُ مِ ْن أ َ ْن يَ ْسأ َ َل أ َ َحدًا فَيُعْطِ يَهُ أ َ ْو يَ ْمنَعَه‬ َ ً‫ب أ َ َح ُد ُك ْم ُح ْز َمة‬ َ ِ‫َِ أل َ ْن يَحْ تَط‬. "Sungguh, seseorang di antara kalian mengumpulkan seikat kayu bakar yang ia panggul di atas punggungnya (untuk dijual) adalah lebih baik baginya dari pada meminta-minta kepada orang lain, entah diberi atau ditolak.’” [4] Kekayaan bagi Orang Yang Bertakwa Dari Muadz bin ‘Abdillah bin Khubaib, dari ayahnya, dari pamannya Radhiyallahu anhum, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ‫ِيم‬ ِّ ِ ‫س بِ ْال ِغنَى ِل َم ِن اتَّقَى َو‬ ِ ‫الص َّحةُ ِل َم ِن اتَّقَى َخي ٌْر مِ نَ ْال ِغنَى َوطِ يبُ النَّ ْف ِس مِ نَ ال َّنع‬ َ ْ ‫الَ بَأ‬. "Tidak mengapa kekayaan bagi orang yang bertakwa. Dan kesehatan bagi orang yang bertakwa lebih baik dari pada kekayaan, dan jiwa yang baik termasuk nikmat.’” [5] Anjuran Sederhana Dalam Mencari Penghidupan Dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: َّ ‫هللا َوأ َجْ مِ لُوا فِي‬ َّ ‫هللا َوأَجْ مِ لُوا فِي‬ َ ‫ َو ِإ ْن أَ ْب‬،‫ِي ِر ْزقَ َها‬ ‫ب ُخذُوا َما َح َّل َو َدعُوا َما‬ ً ‫ فَإ ِ َّن نَ ْف‬،‫ب‬ ِ ‫الط َل‬ ِ ‫الط َل‬ ُ َّ‫أَيُّ َها الن‬ َ ‫طأ َ َع ْن َها فَاتَّقُوا‬ َ ‫اس اتَّقُوا‬ َ ‫سا لَ ْن ت َ ُموتَ َحتَّى تَ ْست َْوف‬ ‫ َح ُر َم‬. “Wahai manusia, bertakwalah kepada Allah dan berbuat baiklah dalam memohon, karena sesungguhnya suatu jiwa tidak akan mati sehingga dipenuhi rizkinya walaupun lambat datangnya, maka bertakwalah kepada Allah dan berbuat baiklah dalam memohon. Ambillah yang halal dan tinggalkan yang haram.” [6] Anjuran Berbuat Jujur Dan Ancaman Berdusta Dari Hakim bin Hizam Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam beliau bersabda: ْ ‫ َوإِ ْن َكت َ َما َو َكذَبَا ُمحِ َق‬،‫ص َدقَا َوبَيَّنَا ب ُْو ِركَ لَ ُه َما فِي بَ ْي ِع ِه َما‬ ‫ت بَ َر َكةُ بَ ْي ِع ِه َما‬ َ ‫ فَإ ِ ْن‬،‫ َحتَّى يَتَف ََّرقَا‬:َ‫ أ َ ْو قَال‬،‫ار َما لَ ْم َيتَف ََّرقَا‬ ِ َ‫ان ِب ْالخِ ي‬ ِ َ‫ا َ ْلبَيِِّع‬. “Penjual dan pembeli memiliki hak khiyar selama keduanya belum berpisah (atau beliau bersabda, ‘Hingga keduanya ber-pisah’), apabila keduanya berbuat jujur dan menjelaskan (keadaan dagangannya), maka akan diberkahi dalam jual belinya, (namun) apabila menutup-nutupinya dan berdusta, maka akan dihapus keberkahan jual belinya.” [7] Dari ‘Uqbah bin ‘Amir, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ُ‫عيْبٌ إِالَّ بَ َّينَهُ لَه‬ َ ‫ا َ ْل ُم ْس ِل ُم أَ ُخو ْال ُم ْسل ِِم الَ يَحِ ُّل ِل ُم ْسلِم َبا‬. َ ‫ع مِ ْن أَخِ ي ِه َب ْيعًا فِي ِه‬ "Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Tidak halal bagi seorang muslim untuk menjual kepada saudaranya barang dagangan yang terdapat aib padanya kecuali ia menjelaskannya” [8]

Anjuran Mempermudah Dan Murah Hati Dalam Jual Beli Dari Jabir bin ‘Abdillah Rdhiyallahu 'anhum bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ‫ضى‬ َ ‫س ْم ًحا ِإ َذا َبا‬ َ َ‫ع َو ِإذَا ا ْشت ََرى َو ِإذَا ا ْقت‬ َ ً‫رحِ َم هللاُ َر ُجال‬. َ “Semoga Allah merahmati seseorang yang murah hati apabila menjual, apabila membeli serta apabila menuntut” [9] Keutamaan Memberi Tempo kepada Orang yang Kesulitan Membayar Hutang Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda: ُ‫ع ْنه‬ َ ‫هللا‬ َ َ‫هللا أ َ ْن َيت َ َج َاوز‬ َ ‫ تَ َج َاو ُز ْوا‬:ِ‫ فَإِذَا َرأَى ُم ْع ِس ًرا قَا َل ِل ِفتْ َيا ِنه‬،‫اس‬ ِ ‫ َكانَ ت‬. ُ َ‫ فَت َ َج َاوز‬،‫عنَّا‬ َ َّ‫َاج ٌر يُ َدا ِينُ الن‬ َ ‫ع ْنهُ لَ َع َّل‬ “Dahulu ada seorang pedagang yang sering memberi hutang kepada manusia, apabila ia melihat orang yang kesulitan membayar hutangnya (mu’-sir) maka ia berkata kepada para pembantunya, ‘Maafkanlah ia, semoga Allah memaafkan (kesalahan-kesalahan) kita.’ Maka, Allah pun memaafkan (mengampuni) kesalahan-kesalahannya.” [10] Larangan Menipu Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: َ ‫سلَّ َم بِ َر ُجل يَبِي ُع‬ ‫َش‬ َّ ‫صلَّى‬ ُ ‫ُوش فَقَا َل َر‬ ُ ‫ َم َّر َر‬. َّ ‫ْس مِ نَّا َم ْن غ‬ ٌ ‫ َفأ َ ْد َخ َل يَ َدهُ فِي ِه فَإِذَا ه َُو َم ْغش‬،‫طعَا ًما‬ َ ُ‫ّللا‬ َ ‫ّللا‬ َ ‫ع َل ْي ِه َو‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ِ‫س ْو ُل هللا‬ َ ِ‫سو ُل هللا‬ ُ َّ ‫صلَّى‬ َ ‫ َلي‬:‫سلَّ َم‬ “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melewati seseorang yang menjual makanan, lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya, ternyata ia menipu, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ‘Orang yang menipu (berbuat curang) bukan dari golongan kami.’”[11] Anjuran Berpagi-pagi Dalam Mencari Rizki Dari Shakhr al-Ghamidi Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ‫ورهَا‬ ِ ‫ار ْك ِأل ُ َّمتِي فِي بُ ُك‬ ِ َ‫اَللِّ ُه َّم ب‬. ‘Ya Allah, berkahilah umatku di waktu paginya.’” [12] Do’a Ketika Masuk Pasar Dari Salim bin ‘Abdillah bin ‘Umar, dari ayahnya, dari kakeknya Radhiyallahu anhum, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salalm bersabda, “Barangsiapa ketika masuk pasar membaca: ‫ِير‬ ٌ ‫علَى ُك ِِّل َش ْيء قَد‬ َ ‫ َوه َُو‬،ُ‫ي الَ يَ ُموتُ ِبيَ ِد ِه ْال َخي ُْر ُك ُّله‬ ٌّ ‫ َوه َُو َح‬، ُ‫ لَهُ ْال ُم ْلكُ َولَهُ ْال َح ْم ُد يُحْ يِي َويُمِ يت‬،ُ‫الَ ِإلهَ ِإالَّ هللاُ َوحْ َدهُ الَ ش َِريْكَ لَه‬. ‘Tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya kerajaan dan milik-Nya segala pujian, Dia yang menghidupkan dan mematikan, Dia Mahahidup dan tidak mati, segala kebaikan berada dalam tangan-Nya, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.’ Niscaya Allah akan menuliskan satu juta kebaikan baginya dan menghapus satu juta kesalahannya dan Dia akan membangun rumah untuknya di Surga.” [13]

Allah Telah Menghalalkan Jual Beli Hukum asalnya adalah boleh menjual apa saja dan dengan cara bagaimanapun jual beli tersebut selama dilakukan dengan saling suka sama suka antara penjual dan pembeli selama tidak dilarang oleh syari’at. [Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]

Kitab Jual Beli (2)

Oleh Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

Macam-Macam Jual Beli Yang Dilarang Syari’at 1. Bai’ul Gharar Yaitu semua jual beli yang mengandung unsur jahalah (ketidak-jelasan) atau mengandung unsur mengadu peruntungan atau judi. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu ia berkata: ‫ع ْن بَيْعِ ْالغ ََر ِر‬ ُ ‫نَ َهى َر‬. َ ‫صا ِة َو‬ َ ‫سلَّ َم‬ َ ‫ّللا‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫ع ْن بَي ِْع ْال َح‬ َ ‫سو ُل الل ِه‬ ُ َّ ‫صلَّى‬ “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang bai’ul hashaat dan bai’ul gharar (menjual barang yang ada unsur penipuan)” [14] Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata dalam Syarah Muslim (X/ 156), “Larangan bai’ul gharar merupakan asas yang besar dari asas-asas kitab jual beli, oleh karena itulah Imam Muslim mendahulukannya karena masuk di dalamnya masalah-masalah yang begitu banyak tidak terbatas, seperti bai’ul aabiq (menjual budak yang kabur dari tuannya), bai’ul ma’dum (menjual sesuatu yang tidak ada), bai’ul majhul (menjual sesuatu yang tidak jelas), menjual barang yang tidak bisa diberikan kepada pembeli, menjual sesuatu yang hak kepemilikan penjual tidak sempurna, menjual ikan dalam air yang banyak, menjual susu yang masih dalam kantungnya, menjual janin yang masih dalam perut induknya, menjual seonggok makanan tanpa takaran yang jelas, menjual sepotong pakaian dari kumpulan banyak pakaian (tanpa menentukannya), menjual seekor kambing dari kumpulan banyak kambing (tanpa menentukannya), dan yang sejenisnya, semua ini hukum menjualnya adalah bathil, karena ia termasuk gharar tanpa ada hajat.” Beliau berkata, “Apabila ada hajat yang menyeru kepada dilakukannya gharar dan tidak mungkin berlindung darinya kecuali dengan masyaqqah (cara yang berat/sulit) dan bentuk ghararnya sepele, maka boleh menjualnya. Oleh karena itulah kaum muslimin (ulama) bersepakat akan bolehnya menjual jubah yang diisi dengan kapas walaupun tidak melihat waktu mengisinya dan kalau bahan pengisinya dijual secara terpisah maka tidak boleh.” Selanjutnya beliau berkata, “Ketahuilah bahwa bai’ul mulamasah, bai’ul munabadzah, bai’ul hablil habalah, bai’ul hashaat, ‘asbul fahl dan macam-macam jual beli yang sejenisnya yang terdapat nashnash khusus padanya, ini semua masuk dalam larangan bai’ul gharar, akan tetapi disebutkan secara tersendiri dan dilarang karena ia adalah jenis jual beli Jahiliyyah yang masyhur. Wallaahu a’lam.”

(secara ringkas). Bai’ul Mulamasah dan Munabadzah Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: ‫ َو ْال ُمنَا َب َذة ُ أ َ ْن َي ْن ِب َذ ُك ُّل َواحِ د مِ ْن ُه َما ث َ ْو َبهُ ِإلَى اْآلخ َِر‬،‫صاحِ ِب ِه ِبغَي ِْر تَأ َ ُّمل‬ َ ‫س ُك ُّل َواحِ د مِ ْن ُه َما ث َ ْو‬ َ ‫ي‬ َ ‫ أ َ َّما ْال ُمالَ َم‬،‫س ِة َو ْال ُمنَا َبذَ ِة‬ َ ‫ع ْن َب ْي َعتَي ِْن ْال ُمالَ َم‬ َ ‫ب‬ َ ِ‫ فَأ َ ْن َي ْلم‬،ُ‫سة‬ َ ‫نُ ِه‬ ُ َ َ َ ْ ْ ٌ ‫صاحِ ِب ِه‬ ‫ب‬ ‫و‬ ‫ث‬ ‫ى‬ ‫ل‬ ‫إ‬ ‫ا‬ ‫م‬ ‫ه‬ ‫ن‬ ‫د‬ ‫و‬ ‫ر‬ ‫ظ‬ ‫ن‬ ‫ي‬ ‫م‬ ‫ل‬ ‫و‬. َ ِ ْ ِ َ ُ ِ‫َ ْ َ ْ َ احِ م‬ “Dua bentuk jual beli yang dilarang; mulamasah dan munabadzah. Adapun mulamasah yaitu (dengan cara) setiap dari penjual dan pembeli menyentuh pakaian kawannya tanpa memperhatikan/memeriksa (ada cacat padanya atau tidak). Sedangkan munabadzah yaitu (dengan cara) setiap dari penjual dan pembeli melempar pakaiannya kepada yang lainnya dan salah seorang dari keduanya tidak melihat kepada pakaian saudaranya” [15] Dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu 'anhu ia berkata: َّ ِ‫ب اْآلخ َِر ِبيَ ِد ِه ب‬ ‫الل ْي ِل أ َ ْو‬ َّ ‫صلَّى‬ ُ ‫نَ َهى َر‬ َّ ‫س‬ َ ‫الر ُج ِل ث َ ْو‬ ُ ‫سةُ لَ ْم‬ َ ‫ نَ َهى‬،‫ع ْن بَ ْيعَتَي ِْن‬ َ ‫ستَي ِْن َو‬ َ ‫س َّل َم‬ َ ُ‫ّللا‬ َ ‫ َو ْال ُمالَ َم‬،ِ‫ع ِن ْال ُمالَ َم َس ِة َو ْال ُمنَابَذَةِ فِي ْالبَيْع‬ َ ‫ع ْن ِل ْب‬ َ ‫ع َل ْي ِه َو‬ َ ِ‫سو ُل هللا‬ ْ ِّ َ ْ َ َ‫غي ِْر ن‬ ‫ظر َوالَ ت ََراض‬ َ ‫ع ْن‬ َّ ‫الر ُج ُل ِإلَى‬ َّ َ‫ َوال ُمنَابَ َذة ُ أ ْن يَ ْنبِذ‬، َ‫ار َوالَ يُقَ ِلبُهُ إِالَّ بِذَلِك‬ َ ‫الر ُج ِل بِث َ ْوبِ ِه َو َي ْنبِذَ اآل َخ ُر ث َ ْوبَهُ َويَ ُكونَ ذلِكَ َب ْيعَ ُه َما‬ ِ ‫بِالنَّ َه‬. “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarang kami dari dua bentuk jual beli dan dua macam pakaian, beliau melarang dari mulamasah dan munabadzah dalam jual beli. Dan mulamasah adalah seseorang menyentuh pakaian orang lain dengan tangannya di waktu malam atau siang dan ia tidak membolak-baliknya kecuali dengan menyentuhnya saja. Sedangkan munabadzah adalah seseorang melempar pakaiannya kepada orang lain, dan orang lain tersebut melempar pakaiannya kepadanya, dan dengan itulah cara jual beli mereka berdua tanpa melihat dan tanpa saling suka sama suka” [16] Bai’ul Habalil Habalah Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata: ْ ‫ور إِلَى َحبَ ِل ْال َح َبلَ ِة َقا َل َو َح َب ُل ْال َحبَلَ ِة أ َ ْن ت ُ ْنت َ َج النَّاقَةُ َما فِي َب‬ ْ ‫طنِ َها ث ُ َّم ت َحْ مِ َل الَّتِي نُ ِت َج‬ ‫علَ ْي ِه‬ َّ ‫صلَّى‬ َ ُ‫ّللا‬ َ ‫ي‬ ِ ‫وم ْال َج ُز‬ ُّ ِ‫ت فَنَ َها ُه ُم النَّب‬ َ ‫َكانَ أ َ ْه ُل ْال َجا ِه ِليَّ ِة يَت َ َبايَعُونَ لُ ُح‬ َّ ْ َ‫عن ذلِك‬ َ ‫سل َم‬ َ ‫و‬. َ “Adalah ahlul Jahiliyyah saling menjual daging unta hingga habalul habalah. Dan habalul habalah adalah agar seekor unta beranak kemudian anaknya ini bunting, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang akan hal itu.” [17] Bai’ul Hashaat Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: ‫ع ْن بَيْعِ ْالغ ََر ِر‬ َّ ‫صلَّى‬ ُ ‫نَ َهى َر‬ َ ‫صا ِة َو‬ َ ‫س َّل َم‬ َ ُ‫ّللا‬ َ ‫ع َل ْي ِه َو‬ َ ‫ع ْن بَي ِْع ْال َح‬ َ ِ‫سو ُل هللا‬ “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang bai’ul hashaat dan bai’ul gharar.” [18] Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata dalam Syarah Shahiih Muslim (X/156), “Adapun bai’ul hashaat, maka ada tiga penafsiran padanya: Pertama: (Yaitu) dengan mengatakan, “Aku jual kepadamu dari pakaian-pakaian ini apa yang terkena kerikil yang aku lempar,” atau “Aku jual tanah ini kepadamu dari sini sampai sejauh kerikil yang aku lempar.” Kedua: (Yaitu) dengan mengatakan, “Aku jual kepadamu dengan syarat kamu memiliki khiyar sampai

aku melempar dengan kerikil ini.” Ketiga: (Yaitu) keduanya (penjual dan pembeli) menjadikan jenis lemparan dengan kerikil itu sendiri sebagai jual beli, yaitu ia mengatakan, “Jika aku melempar pakaian ini dengan batu maka ia dibeli olehmu dengan harga sekian.” (Selesai). ‘Asbul Fahl [19] Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata: ‫ب ْالفَحْ ِل‬ َّ ‫صلَّى‬ ِ ‫ع ْس‬ َ ‫ع ْن‬ َ ‫سلَّ َم‬ َ ُ‫ّللا‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫ي‬ ُّ ِ‫نَ َهى ال َّنب‬. “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang ‘asbul fahl.” [20] 2. Bai’u Maa Laisa ‘Indahu (Jual Beli Barang Yang Tidak Ada Pada Penjualnya) Dari Hakim bin Hizam Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, “Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, seseorang meminta kepadaku untuk menjual, padahal aku tidak memiliki, apakah aku menjual kepadanya?’ Beliau menjawab: َ‫ْس ِع ْندَك‬ َ ‫الَ ت َ ِب ْع َما َلي‬. "Jangan engkau jual suatu barang yang tidak engkau miliki.’” [21] 3. Jual Beli Suatu Barang yang Belum Diterima Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: َ ‫ع‬ ُ‫ضه‬ َ ‫ َم ِن ا ْبت َا‬. َ ِ‫طعَا ًما فَالَ يَبِ ْعهُ َحتَّى يَ ْقب‬ “Barangsiapa membeli makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia menerimanya dahulu.” Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu 'anhu berkata, “Aku menganggap segala sesuatu kedudukannya seperti makanan.” [22] Dari Thawus, dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: َ ‫ع‬ ُ‫ط َعا ًما فَالَ َي ِب ْعهُ َحتَّى َي ْكت َالَه‬ َ ‫ َم ِن ا ْبت َا‬. "‘Barangsiapa yang membeli makanan, maka janganlah ia menjualnya hingga ia menerimanya.’” Aku berkata kepada Ibnu ‘Abbas, “Mengapa demikian?” Ia menjawab, “Tidakkah engkau melihat mereka saling berjual beli dengan emas sedangkan makanannya tertahan (tertunda).”[23] 4. Melakukan Transaksi Jual Beli di atas Transaksi Jual Beli Saudaranya Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ‫علَى بَيْعِ بَ ْعض‬ ُ ‫الَ يَ ِبي ُع بَ ْع‬. َ ‫ض ُك ْم‬ “Janganlah sebagian kalian melakukan transaksi jual beli di atas transaksi jual beli sebagian yang lain.” [24] Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

‫س ْو ِم أَخِ ي ِه‬ ُ َ‫الَ ي‬. َ ‫س ِم ْال ُم ْس ِل ُم‬ َ ‫علَى‬ “Janganlah seorang muslim menawar (barang) yang sedang ditawar oleh saudaranya.” [25] 5. Bai’ul ‘Inah Yaitu menjual sesuatu kepada orang lain dengan harga tempo dan ia menyerahkannya kepada si pembeli, kemudian sebelum ia menerima pembayarannya ia membelinya kembali (dari si pembeli) dengan harga tunai yang lebih sedikit (lebih murah) dari harga tempo. Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: َ َّ‫سل‬ َّ ‫ضيت ُ ْم ِب‬ ‫عهُ َحتَّى ت َْر ِجعُوا ِإلَى دِينِ ُك ْم‬ ُ ‫علَ ْي ُك ْم ذُالًّ الَ َي ْن ِز‬ َ ُ‫ط هللا‬ ِ ‫َاب ْال َبقَ ِر َو َر‬ َ ‫ ِإذَا ت َ َبا َي ْعت ُ ْم ِب ْالعِينَ ِة َوأَ َخ ْذت ُ ْم أ َ ْذن‬. َ ‫الز ْرعِ َوت ََر ْكت ُ ُم ْال ِج َها َد‬ “Apabila engkau berjual beli dengan cara ‘inah, dan kalian lebih senang memegang ekor-ekor sapi•, dan ridha dengan bercocok tanam, serta kalian meninggalkan kewajiban jihad, (niscaya) Allah akan menimpakan kehinaan atas kalian. Tidaklah Dia mencabut kehinaan itu, melainkan bila kalian kembali kepada agama kalian.” [26] 6. Jual Beli dengan Cara Tempo Dengan Menambah Harga (Jual Beli Kredit) Dewasa ini telah tersebar jual beli dengan cara tempo dengan menambah harga yang lebih dikenal dengan nama bai’ut taqshiith (jaul beli kredit). Adapun bentuk jual beli ini -sebagaimana yang sudah maklum- adalah menjual barang dengan dikredit dengan tambahan harga sebagai balasan tempo waktu. Sebagai contoh suatu barang dengan cara tunai seharga seribu, lalu dijual dengan cara kredit seharga seribu dua ratus, jual beli seperti ini termasuk jual beli yang dilarang. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu a'nhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ‫الر َبا‬ ُ ‫ع َب ْي َعتَي ِْن فِي َب ْي َعة فَلَهُ أ َ ْو َك‬ ِّ ِ ‫س ُه َما أ َ ِو‬ َ ‫ َم ْن َبا‬. “Barangsiapa menjual dua transaksi dalam satu transaksi, maka baginya kerugiannya atau riba.” [27] Barang-Barang yang Tidak Boleh Diperjualbelikan: 1. Khamr (Minuman Memabukkan) Dari ‘Aisyah Radhiyallahu ahuma, ia berkata: ْ َ‫لَ َّما نَزَ ل‬. ‫ارة ُ فِي ْالخ َْم ِر‬ ِ ‫سلَّ َم فَقَا َل ُح ِ ِّر َم‬ ُ ُ‫ت آ َيات‬ َ ‫ّللا‬ َ ‫ور ِة ْال َبقَ َر ِة‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫ي‬ َ ‫ت ال ِت ِّ َج‬ ُ َّ ‫صلَّى‬ َ ‫س‬ ُّ ‫ع ْن آخِ ِرهَا خ ََر َج النَّ ِب‬ “Tatkala turun ayat-ayat surat Al-Baqarah…., Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar seraya bersabda, ‘Telah diharamkan perdagangan khamr.’” [28] 2. Bangkai, Babi Dan Patung Dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhuma, ia mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda ketika berada di Makkah pada ‘amul fath (tahun pembukaan kota Makkah): ْ ‫وم ْال َم ْيت َ ِة َفإ ِ َّن َها ي‬ ُ َ‫هللا أ َ َرأَيْت‬ ِ ‫سو َل‬ ‫صبِ ُح‬ ُّ ‫ُط َلى بِ َها ال‬ ْ َ ‫س ُفنُ َويُ ْد َهنُ بِ َها ْال ُجلُو ُد َويَ ْست‬ ْ َ ‫ير َواْأل‬ ُ ‫ فَقِي َل يَا َر‬،‫صن َِام‬ ُ ‫إِ َّن هللاَ َو َر‬ ِ ‫سولَهُ َح َّر َم بَ ْي َع ْالخ َْم ِر َو ْال َم ْيت َ ِة َو ْالخِ ْن ِز‬ َ ‫ش ُح‬ ْ َّ َّ َ ُ ُ ُ َ َ ُ ‫سل َم ِع ْن َد ذلِكَ قَاتَ َل هللاُ اليَ ُهو َد إِ َّن هللاَ ل َّما َح َّر َم‬ ُ‫ش ُحو َم َها َج َملوهُ ث َّم بَاعُوهُ فَأ َكلوا ث َ َمنَه‬ َّ ‫صلى‬ ُ ‫اس فَقَا َل الَ ه َُو َح َرا ٌم ث ُ َّم قَا َل َر‬ َ ُ‫ّللا‬ ُ َّ‫بِ َها الن‬. َ ‫عل ْي ِه َو‬ َ ِ‫س ْو ُل هللا‬ “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan jual beli khamr, bangkai, babi dan patung.” Kemudian ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah pendapatmu tentang (menjual) lemak bangkai, sesungguhnya ia digunakan untuk mengecat perahu, meminyaki kulit dan orang-orang

menggunakannya untuk penerangan?” Beliau menjawab, “Tidak boleh, ia haram.” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian bersabda, “Semoga Allah memerangi orang-orang Yahudi, sesungguhnya Allah ketika mengharamkan lemak-lemak (hewan), mereka pun mencairkannya lalu menjualnya dan memakan uangnya.” [29] 3. Anjing Dari Abu Mas’ud al-Anshari Radhiyallahu 'anhu: ‫ان ْالكَاه ِِن‬ َّ ‫صلَّى‬ ُ ‫أ َ َّن َر‬. ِ ‫ع ْن ث َ َم ِن ْالك َْل‬ َ ‫س َّل َم نَ َهى‬ َ ُ‫ّللا‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ِ‫سو َل هللا‬ ِ ‫ي َو ُح ْل َو‬ ِِّ ‫ب َو َم ْه ِر ْالبَ ِغ‬ “Bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang dari hasil penjualan anjing, mahrul baghyi (uang hasil berzina/melacur) dan hulwanul kaahin (upah praktek perdukunan).” [30] 4. Lukisan (Gambar-Gambar) Yang Memiliki Ruh Dari Said bin Abul Hasan, ia berkata, “Aku sedang berada di tempat Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, tiba-tiba datang seseorang kepadanya seraya bertanya, ‘Wahai Ibnu ‘Abbas, aku adalah seseorang yang penghasilanku dari kerajinan tanganku, dan sesungguhnya aku membuat gambar-gambar ini.’ Maka Ibnu ‘Abbas berkata, ‘Aku tidak akan menceritakan kepadamu kecuali apa yang aku dengar dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Aku telah mendengar beliau bersabda: ‫ْس ِبنَافِخ فِي َها أَ َبدًا‬ ُّ ‫هللا ُم َع ِ ِّذبُهُ َحتَّى َي ْنفُ َخ فِي َها‬ ُ ‫ص َّو َر‬ َ ‫ َم ْن‬. َ ‫الرو َح َو َلي‬ َ ‫ص ْو َرة ً َفإ ِ َّن‬ "Barangsiapa yang menggambar suatu gambar (bernyawa), maka sesungguhnya Allah akan mengadzabnya sehingga ia meniupkan ruh padanya (gambar-gambar tadi), dan ia tidak akan mampu untuk meniupkan ruh selamanya". Maka orang tersebut pun mengalami sesak nafas yang hebat dan wajahnya memucat. (Ibnu ‘Abbas) berkata, ‘Celaka engkau, kalau engkau enggan kecuali harus membuatnya, maka gambarlah pohon ini, (gambarlah) segala sesuatu yang tidak memiliki ruh". [31] 5. Buah Sebelum Matang Dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam: ‫َار‬ ْ ‫ار أ َ ْو َي‬ ُّ ‫صف‬ ُّ ‫ َيحْ َم‬:َ‫ قِي َل َو َما َي ْزهُو؟ قَال‬،‫ع ِن النَّ ْخ ِل َحتَّى يَ ْزه َُو‬ َ ‫صالَ ُح َها َو‬ َ ‫أَنَّهُ نَ َهى‬. َ ‫ع ْن بَي ِْع الث َّ َم َرةِ َحتَّى يَ ْبد َُو‬ “Bahwa beliau melarang menjual buah sebelum matang, dan kurma sehingga ia berwarna.” Lalu ada yang bertanya, “Apa maksudnya berwarna?” Beliau menjawab, “(Hingga) memerah atau menguning.” [32] Juga diriwayatkan darinya, “Bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang menjual buah sehingga matang. Lalu ditanyakan kepada beliau, ‘Apa maksudnya matang?’ Beliau menjawab, ‘Hingga memerah.’ Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ‫أ َ َرأَيْتَ ِإذَا َم َن َع هللاُ الث َّ َم َرة َ ِب َم َيأ ْ ُخذُ أ َ َح ُد ُك ْم َما َل أَخِ ْي ِه‬. "Apa pendapatmu apabila Allah menahan buah tersebut (tidak bisa dipanen), maka dengan cara apa salah seorang dari kamu mengambil harta saudaranya.’”[33] 6. Pertanian Sebelum Bijinya Mengeras (Tua) Dari Ibnu ‘Umar,

ْ َّ َ‫س ْنبُ ِل َحتَّى يَ ْبي‬ ‫ي‬ ُّ ‫ع ِن ال‬ َّ ‫صلَّى‬ ُ ‫أ َ َّن َر‬. َ ‫ع ْن بَيْعِ النَّ ْخ ِل َحتَّى يَ ْزه َُو َو‬ َ ‫س َّل َم نَ َهى‬ َ ُ‫ّللا‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ِ‫سو َل هللا‬ َ ‫ض َويَأ َمنَ ْالعَا َهةَ نَ َهى ْالبَائِ َع َو ْال ُم ْشت َِر‬ “Bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang menjual kurma hingga ma-tang, dan (melarang menjual) biji-bijian hingga mengeras (matang) [34] , serta aman dari hama. Beliau melarang penjual dan pembelinya.” [35] [Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M] _______

Khiyar (Memilih)

Oleh Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

Definisi Khiyar Khiyar yaitu mencari dua pilihan yang terbaik antara imdha (melanjutkan transaksi) atau ilgha (membatalkan transaksi). Macam-Macam Khiyar 1. Khiyar Majelis Khiyar ini terjadi bagi penjual dan pembeli sejak dilakukannya akad hingga keduanya berpisah, selama mereka tidak berjual beli dengan syarat tidak ada khiyar atau mereka menggugurkan khiyar tersebut setelah akad atau salah satu dari mereka (baik pen-jual atau pembeli) ada yang menggugurkan hak khiyarnya, maka gugurlah haknya namun bagi pihak lain (yang tidak menggugur-kannya) maka hak khiyarnya masih tetap ada. Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda: ‫ب ْالبَ ْي ُع َوإِ ْن تَف ََّرقَا بَ ْع َد أ َ ْن َيتَبَايَعَا َولَ ْم‬ َّ ‫إِذَا ت َ َبايَ َع‬ َ ‫علَى ذلِكَ فَقَ ْد َو َج‬ َ ‫ار َما لَ ْم يَتَف ََّرقَا َوكَانَا َجمِ يعًا أ َ ْو يُ َخيِ ُِّر أ َ َح ُد ُه َما اْآلخ ََر فَت َ َبايَعَا‬ ِ ‫الر ُجالَ ِن فَ ُك ُّل َواحِ د مِ ْن ُه َما بِ ْالخِ َي‬ ْ ْ ْ ْ َ َ ْ ‫ب ال َب ْي ُع‬ َ ‫يَت ُرك َواحِ ٌد مِ ن ُه َما ال َب ْي َع فق ْد َو َج‬. “Jika dua orang saling berjual beli, maka setiap orang dari mereka memiliki khiyar selama belum berpisah dan mereka bersama-sama (dalam satu tempat), atau salah satu dari mereka memberikan khiyar kepada yang lain, maka jika salah satu dari mereka memberikan khiyar kepada yang lainnya kemudian mereka melakukan transaksi jual beli atas khiyar tersebut sungguh telah (terjadi) jual beli, dan bila mereka berpisah setelah terjadi jual beli, dan salah satu dari mereka tidak mening-galkan jual beli maka telah terjadi jual beli.” [1] Haram Berpisah Dari Majelis Karena Takut Membatalkan Transaksi Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya Radhiyallahu anhum bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ُ‫صاحِ َبهُ َخ ْش َيةَ أ َ ْن َي ْستَقِيلَه‬ َ َ‫َارق‬ َ َ‫ار َما لَ ْم َيتَف ََّرقَا ِإالَّ أ َ ْن ت َ ُكون‬ ِ ‫ص ْفقَةَ خِ َيار َوالَ يَحِ ُّل لَهُ أ َ ْن يُف‬ ِ ‫ان ِب ْالخِ َي‬ ِ ‫ا َ ْل َب ِِّي َع‬.

“Penjual dan pembeli memiliki khiyar selama keduanya belum berpisah kecuali bila telah disepakati untuk memperpanjang khiyar hingga setelah berpisah, maka tidak halal baginya untuk meninggalkan sahabatnya karena takut ia akan membatalkan transaksinya.” [2] 2. Khiyar Syart Yaitu penjual dan pembeli atau salah satu dari mereka memberikan syarat khiyar sampai batas waktu yang jelas. Khiyar seperti ini sah walaupun waktunya lama. Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda: ‫ارا‬ ً َ‫ار فِي بَ ْي ِع ِه َما َما لَ ْم َيتَف ََّرقَا أ َ ْو يَ ُكونُ ْالبَ ْي ُع خِ ي‬ ِ َ‫ ِإ َّن ْال ُمتَبَايِ َعي ِْن بِ ْالخِ ي‬. “Sesungguhnya penjual dan pembeli memiliki khiyar dalam jual beli keduanya selama belum berpisah atau (bila) jual beli tersebut ada khiyar padanya.” [3] 3. Khiyar ‘Aib Larangan menyembunyikan aib telah lewat (pembahasannya), maka apabila seseorang membeli barang yang cacat sementara ia tidak mengetahui cacatnya hingga keduanya berpisah, ia boleh mengembalikan barang tersebut kepada penjualnya. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: َ ِ‫سخ‬ ‫صاعٌ مِ ْن ت َ ْمر‬ َ ‫ َم ِن ا ْشت ََرى‬. ِ ‫ص َّراة ً فَاحْ ت َ َلبَ َها فَإ ِ ْن َر‬ َ ‫س َك َها َوإِ ْن‬ َ ‫ضيَ َها أ َ ْم‬ َ ‫ط َها فَفِي َح ْلبَتِ َها‬ َ ‫غنَ ًما ُم‬ “Barangsiapa yang membeli kambing musharrah [4], kemudian ia memerahnya, maka jika ridha ia menahannya (tidak mengembalikannya), namun jika ia membencinya maka pada susu yang sudah diperah ia ganti dengan satu sha’ kurma.” [5] Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : َ ‫ص َّراة ً فَ ُه َو بِأ َ َح ِد ال َّن‬ ‫صاعًا مِ ْن ت َْمر‬ َ ‫ظ َري ِْن إِ ْن شَا َء َر َّدهَا َو َر َّد َمعَ َها‬ َ ‫ص ُّروا اْ ِإل ِب َل َو ْال َغن ََم فَ َم ِن ا ْشت ََرى ُم‬ َ ُ ‫الَ ت‬. “Janganlah kalian membiarkan susu unta dan kambing (dengan tidak memerahnya ketika akan menjual), maka barangsiapa yang membelinya setelah itu, ia memiliki dua pilihan setelah memerahnya, jika mau maka ia memilikinya dan jika mau ia juga boleh mengembalikannya beserta satu sha’ kurma.” [6] [Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]

Riba

Oleh Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

Definisi Riba Ar-Riba -isim maqshur- diambil dari kata rabaa - yarbuu, se-hingga ditulis dengan alif ar-ribaa ( ‫لربَا‬ ِّ ِ َ ‫) ا‬. Ar-riba asal maknanya adalah az-ziyadah (pertambahan) baik pada dzat sesuatu itu sendiri, sebagaimana firman Allah Ta’ala: ْ َ‫ت َو َرب‬ ْ ‫ا ْهت ََّز‬ ‫ت‬ “…Hiduplah bumi itu dan suburlah...” [Al-Hajj: 5] Dan bisa juga (pertambahan itu) terjadi pada pertukaran seperti satu dirham dengan dua dirham. Hukum Riba Riba hukumnya haram menurut al-Kitab, as-Sunnah dan ijma’ umat. Allah Ta’ala berfirman: ْ ‫وس أ َ ْم َوا ِل ُك ْم َال ت‬ ِ َّ َ‫الر َبا ِإن ُكنتُم ُّمؤْ مِ نِينَ فَإِن لَّ ْم ت َ ْف َعلُوا فَأْذَنُوا ِب َح ْرب ِِّمن‬ َ‫َظ ِل ُمون‬ ُ ‫ّللا َو َر‬ ِّ ِ َ‫ِي مِ ن‬ ُ ‫سو ِل ِه ۖ َو ِإن ت ُ ْبت ُ ْم َفلَ ُك ْم ُر ُء‬ َ َّ ‫َيا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا اتَّقُوا‬ َ ‫ّللا َوذَ ُروا َما َبق‬ ْ ُ ‫َو َال ت‬ َ‫ظلَ ُمون‬ “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” [Al-Baqarah: 278-279] Allah berfirman: ُ ‫الربَا َال يَقُو ُمونَ ِإ َّال َك َما يَقُو ُم الَّذِي يَت َ َخ َّب‬ َ ‫ش ْي‬ َّ ‫طهُ ال‬ ‫س‬ ِّ ِ َ‫الَّذِينَ يَأ ْ ُكلُون‬ ِّ ِ ‫طانُ مِ نَ ْال َم‬ “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.” [Al-Baqarah: 275] Allah juga berfirman: ‫ت‬ ِ ‫ص َدقَا‬ َّ ُ‫يَ ْم َحق‬ َّ ‫الربَا َوي ُْربِي ال‬ ِّ ِ ُ‫ّللا‬ “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.” [Al-Baqarah: 276] [1] Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ِّ ِ ‫ اَل‬:َ‫سو َل هللاِ َو َما ه َُّن؟ قَال‬ ‫الر َبا َوأ َ ْك ُل َما ِل ْال َيت ِِيم َوالت َّ َو ِِّلي‬ َّ ‫اِجْ ت َ ِنبُوا ال‬ ُ ‫ َيا َر‬:‫ قَالُوا‬،ِ‫س ْب َع ْال ُمو ِبقَات‬ ِّ ِ ‫ق َوأ َ ْك ُل‬ ِ ِّ ‫ش ْركُ ِباهللِ َوال ِسِّحْ ُر َوقَتْ ُل النَّ ْف ِس الَّتِي َح َّر َم هللاُ ِإالَّ ِب ْال َح‬ ْ ْ ْ ْ َّ َ َ ْ‫ؤ‬ ِِ ‫ت‬ ‫َا‬ ‫ن‬ ‫م‬ ‫ال‬ ‫ت‬ ‫ال‬ ‫ف‬ ‫َا‬ ‫غ‬ ‫ال‬ ‫ت‬ ‫َا‬ ‫ن‬ ‫ص‬ ‫م‬ ‫ال‬ ‫ف‬ ‫ذ‬ ‫ق‬ ‫و‬ ‫الز‬ ‫م‬ ‫و‬ ‫ي‬ . ِ ِ ْ‫ح‬ ْ‫ح‬ ِ‫م‬ ِ ِ‫ف‬ ُ ِ َ ُ ُ َ َ َْ “Jauhilah oleh kalian tujuh (perkara) yang membinasakan.” Para Sahabat bertanya, “Apa itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang Allah haramkan kecuali dengan cara yang haq, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan menuduh wanita yang suci bersih lagi beriman (dengan perzinaan).” [2]

Dari Jabir Radhiyallahu 'anhu, ia berkata ِ‫س ْو ُل هللا‬ ُ ‫ لَعَنَ َر‬j ‫س َوا ٌء‬ ِّ ِ ‫آ ِك َل‬. َ ‫ ُه ْم‬:َ‫الربَا َو ُم ْو ِكلَهُ َوكَا ِتبَهُ َوشَا ِه َد ْي ِه َوقَال‬ “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat orang yang memakan riba, orang yang mewakilinya, pencatatnya dan dua saksinya. Beliau bersabda, “Mereka semua sama.” [3] Dan dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu a'nhu, ia berkata bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ُ‫الر ُج ُل أ ُ َّمه‬ َّ ‫س ُرهَا أ َ ْن َي ْن ِك َح‬ ِّ ِ َ ‫ا‬. َ ‫لربَا ثَالَثَةٌ َو َس ْبعُونَ بَابًا أ َ ْي‬ “Riba memiliki tujuh puluh tiga pintu (dosa), dan yang paling ringan (dosa)nya adalah bagaikan seseorang yang menikahi ibunya.” [4] Dari ‘Abdullah bin Hanzhalah, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda: ً‫ش ُّد مِ ْن ِستَّة َوثَالَثِيْنَ زَ ْن َية‬ َ َ‫الر ُج ُل َوه َُو يَ ْعلَ ُم أ‬ َّ ُ‫د ِْر َه ٌم ِربًا َيأ ْ ُكلُه‬. “Satu dirham (harta) riba yang dimakan seseorang yang ia mengetahui (bahwa itu riba) adalah lebih dahsyat daripada tiga puluh enam zina.” [5] Dari Ibnu Mas’ud, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda: ‫عاقِبَةُ أ َ ْم ِر ِه إِلَى قِلَّة‬ ِّ ِ َ‫ َما أ َ َح ٌد أ َ ْكث َ َر مِ ن‬. َ َ‫الربَا إِالَّ َكان‬ “Tidaklah seseorang memperbanyak (memakan) riba kecuali akibat dari perbuatannya adalah (hartanya akan menjadi) sedikit.” [6] Macam-Macam Riba Riba ada dua macam: Riba nasi’ah dan Riba fadhl. Adapun riba nasi’ah adalah tambahan yang disyaratkan yang diambil oleh si pemberi hutang (ad-da-in) dari si penghutang (al-madiin) sebagai imbalan atas tempo (yang diberikan). Riba jenis ini haram dengan (dalil) al-Kitab, as-Sunnah dan ijma’ umat. Adapun riba fadhl adalah jual beli uang dengan uang atau makanan dengan makanan dengan ada tambahannya. Riba jenis ini haram dengan dalil as-Sunnah dan ijma’ karena ia merupakan wasilah kepada riba nasi’ah. Jenis-Jenis Yang Diharamkan Riba Padanya Riba tidak terjadi kecuali pada al-ashnafus sittah (enam jenis) yang disebutkan dalam hadits. Dari Ubadah bin ash-Shamit ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ْ ‫ فَإِذَا‬،‫س َواء يَدًا بِيَد‬ َّ ‫ش ِعي ُْر ِبال‬ َّ ‫ض ِة َو ْالب ُُّر بِ ْالب ِ ُِّر َوال‬ ْ ‫اختَلَف‬ ‫َاف‬ َّ ‫ضةُ ِب ْال ِف‬ َّ ‫ب َو ْال ِف‬ ْ َ ‫َت ه ِذ ِه اْأل‬ ِ ‫اَلذَّهَبُ بِالذَّ َه‬ ُ ‫صن‬ َ ‫س َوا ًء ِب‬ َ ‫ش ِعي ِْر َوالت َّ ْم ُر بِالت َّ ْم ِر َو ْالمِ ْل ُح بِ ْالمِ ْلحِ مِ ثْالً بِمِ ثْل‬ ‫ْف ِشئْت ُ ْم إِذَا َكانَ يَدًا بِيَد‬ َ ‫فَبِيعُوا َكي‬. ‘Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan

kurma, garam dengan garam (hendaklah dijual) dengan timbangan yang sama, persis dan langsung diserah terimakan (kontan). (Namun) jika berlainan jenisnya maka juallah semau kalian asal ada serah terima.’” [7] Apabila enam jenis ini dijual dengan yang sejenisnya seperti emas dengan emas atau kurma dengan kurma, maka haram dilakukan dengan tafadhul (saling dilebihkan) dan haram pula dilakukan dengan cara nasi’ah (ditangguhkan serah terimanya), dan harus ada persamaan dalam timbangan atau takaran dan tidak perlu melihat kepada (kualitas) baik dan buruknya, serta harus ada taqabudh (serah terima) di majelis tersebut. Dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ‫علَى َب ْعض َوالَ تَ ِب ْيعُوا‬ ُ ‫ق ِإالَّ مِ ثْالً ِبمِ ثْل والَ ت َ ِشفُّ ْوا َب ْع‬ ُ ‫ب ِإالَّ مِ ثْالً ِبمِ ثْل والَ ت َ ِشفُّوا َب ْع‬ ِ ‫َب ِبال َّذ َه‬ َ ‫ض َها‬ َ ‫ض َها‬ َ ‫الَ ت َ ِبيعُوا ال َّذه‬ ِ ‫علَى َب ْعض َوالَ تَ ِبيعُوا ْال َو ِرقَ ِب ْال َو ِر‬ ْ ‫َاجز‬ ‫ن‬ ‫ب‬ ‫ًا‬ ‫ب‬ ‫ئ‬ ‫َا‬ ‫غ‬ ‫ا‬ ‫ه‬ ‫ن‬ ِ ِ‫م‬. ِ ِ َ “Janganlah engkau menjual emas dengan emas kecuali dengan timbangan yang sama dan janganlah engkau melebihkan sebagian atas yang lainnya. Janganlah engkau menjual perak dengan perak kecuali dengan timbangan yang sama dan janganlah engkau melebihkan sebagian atas yang lainnya dan janganlah engkau menjual barang yang ghaib (tidak ada di majelis) dengan barang-barang yang hadir (di majelis).” [8] Dari ‘Umar Ibnul Khaththab Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: َّ ‫ِير بِال‬ َّ ‫ب ِربًا ِإالَّ هَا َء َوهَا َء َو ْالب ُُّر ِب ْالب ِ ُِّر ِربًا ِإالَّ هَا َء َوهَا َء َوال‬ ‫ِير ِربًا إِالَّ هَا َء َوهَا َء َوالت َّ ْم ُر بِالت َّ ْم ِر ِربًا إِالَّ هَا َء َوهَا َء‬ ُ ‫شع‬ ِ ‫اَلذَّهَبُ بِالذَّ َه‬. ِ ‫شع‬ “Emas dengan emas riba kecuali jika langsung serah terima, gandum dengan gandum riba kecuali jika langsung serah terima dan sya’ir dengan sya’ir riba kecuali jika langsung serah terima dan kurma dengan kurma riba kecuali jika langsung serah terima.” [9] Dari Abu Sa’id, ia berkata, “Pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kami pernah diberi kurma jama’ (yaitu) kurma campuran (antara yang bagus dengan yang jelek), maka kami menjualnya dua sha’ dengan satu sha’. Berita tersebut sampai kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam maka beliau bersabda: َ ‫ع ْي حِ ْن‬ ‫صاع َوالَ د ِْره ََم ِبد ِْر َه َمي ِْن‬ َ ‫صا‬ َ ‫صا‬ َ ‫طة ِب‬ َ َ‫صاع َوال‬ َ ‫ع ْي ت َْمر ِب‬ َ َ‫ال‬. “Janganlah menjual dua sha’ kurma dengan satu sha’ dan jangan pula menjual dua sha’ gandum dengan satu sha’ dan jangan pula satu dirham dengan dua dirham.” [10] Dan apabila enam jenis ini dijual dengan jenis yang lain seperti emas (dijual) dengan perak atau gandum dengan sya’ir maka boleh tafadhul dengan syarat harus diserahterimakan di majelis karena sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits ‘Ubadah yang telah disebutkan: “(Namun) jika berlainan jenisnya maka juallah semau kalian asalkan ada serah terima.” Dan juga karena sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits ‘Ubadah yang terdapat dalam riwayat Abu Dawud dan yang lainnya: َ‫ َوأ َ َّما نَ ِس ْيئَةُ فَال‬،‫ش ِعي ُْر أ َ ْكث َ ُر ُه َما يَدًا بِيَد‬ َّ ‫ َوال‬،‫ش ِعي ِْر‬ َّ ‫س بِبَيْعِ ْالب ِ ُِّر بِال‬ َّ ‫ َو ْال ِف‬،ِ‫ضة‬ َّ ‫ب ِب ْال ِف‬ ِ ‫س بِ َبيْعِ الذَّ َه‬ َ ْ‫ َوالَ بَأ‬,َ‫ أ َ َّما َن ِس ْيئَةُ فَال‬,‫ يَدًا بِيَد‬,‫ضةُ أَ ْكث َ ُر ُه َما‬ َ ْ ‫والَ بَأ‬. َ “Tidak mengapa menjual emas dengan perak dengan jumlah perak lebih banyak (apabila) langsung

serah terima adapun dengan cara nasi’ah (ditangguhkan serah terimanya), maka tidak boleh. Dan tidak mengapa menjual gandum dengan sya’ir dengan jumlah sya’ir lebih banyak (apabila) langsung serah terima, adapun dengan cara nasi’ah maka tidak boleh.” [11] Dan apabila enam jenis ini dijual dengan jenis dan ‘illat (sebab) yang menyelisihinya, seperti emas dengan gandum dan perak dengan garam, maka boleh tafadhul dan juga nasi’ah. Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma : َ ‫سلَّ َم اِ ْشت ََرى‬ ُ‫عه‬ َّ ‫صلَّى‬ َ ‫ِي إِلَى أ َ َجل َو َر َهنَهُ د ِْر‬ َ ُ‫ّللا‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫ي‬ ِّ ‫طعَا ًما مِ ْن يَ ُهود‬ َّ ِ‫أ َ َّن النَّب‬. “Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam membeli makanan dari seorang Yahudi dengan (pembayaran) tempo, dan beliau menggadaikan baju perangnya kepadanya.” [12] Al-Amir ash-Shan’ani berkata dalam Subulus Salaam (III/38), “Ketahuilah bahwa ulama telah sepakat atas bolehnya menjual barang riba dengan barang riba lain yang tidak sama jenisnya dengan cara ditangguhkan dan saling dilebihkan, seperti menjual emas dengan gandum, perak dengan sya’ir dan yang lainnya dari barang-barang yang ditakar.” (Selesai). Juga tidak boleh menjual ruthab (kurma basah) dengan kurma kering kecuali bagi ahlul ‘araya, mereka adalah orang-orang fakir yang tidak memiliki pohon kurma, maka mereka boleh membeli ruthab dari pemilik pohon kurma yang mereka makan dari pohonnya dengan memperkirakan (takarannya) dengan tamr (kurma kering). Dari ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma : ً‫ب َك ْيال‬ َّ ‫ َو ْال ُمزَ ا َبنَةُ َب ْي ُع الث َّ َم ِر ِبالت َّ ْم ِر َك ْيالً َو َب ْي ُع ْالك َْر ِم ِب‬،ِ‫ع ِن ْال ُمزَ ا َبنَة‬ َّ ‫صلَّى‬ ُ ‫أ َ َّن َر‬. ِ ‫الز ِبي‬ َ ‫س َّل َم نَ َهى‬ َ ُ‫ّللا‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ِ‫س ْو َل هللا‬ “Bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang muzabanah (yaitu) menjual kurma basah dengan tamr (kurma kering) dengan takaran dan menjual anggur basah dengan anggur kering dengan takaran.” [13] Dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhu : ‫ص َها مِ ْن الت َّ ْم ِر‬ َّ ‫صلَّى‬ ُ ‫أ َ َّن َر‬ ِ ِ‫صاح‬ ِ ‫ب ْالعَ ِريَّ ِة أ َ ْن يَبِيعَ َها بِخ َْر‬ َ ُ‫ّللا‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫س َّل َم َر َّخ‬ َ ‫ص ِل‬ َ ِ‫س ْو َل هللا‬ “Bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberi keringanan bagi pemilik ariyah (pemilik pohon kurma) untuk menjual kurma basah dengan memperkirakan (takarannya) dengan tamr (kurma kering).” [14] Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam hanyalah melarang menjual ruthab dengan tamr lanaran ruthab apabila mengering akan berkurang takarannya, se-bagaimana disebutkan dari Sa’id bin Abi Waqqash. Dari Sa’id bin Abi Waqqash Radhiyallahu anhu : َ ‫الر‬ َ ‫الر‬ ‫ي‬ ُ . ُّ ‫ص‬ ُ ُ‫ب بِالت َّ ْم ِر فَقَا َل أ َ َي ْنق‬ ُّ ِ‫ع ْن َبيْع‬ ِ ‫ط‬ َ ‫ نَعَ ْم فَنَ َهى‬:‫س؟ قَالُ ْوا‬ َ ‫سئِ َل‬ َ ِ‫طبُ إِذَا يَب‬ َّ ِ‫ أ َ َّن النَّب‬j َ‫ع ْن ذلِك‬ “Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya tentang menjual ruthab dengan tamr, maka beliau menjawab, ‘Bukankah ruthab akan menyusut apabila mengering?’ Mereka menjawab, ‘Ya.’ Maka beliau

melarangnya.” [15] . Juga tidak boleh menjual barang ribawi dengan yang sejenisnya, sedangakan bersama keduanya atau bersama salah satunya jenis yang lain. Dari Fadhalah bin ‘Ubaid Radhiyallahu a'nhu, ia berkata, “Aku membeli kalung pada hari Khaibar seharga dua belas dinar, pada kalung tersebut ada emas dan mutiara. Lalu aku melepas mutiaranya. Tiba-tiba aku menemukan padanya lebih dari dua belas dinar. Lalu aku menceritakannya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda: ‫ص َل‬ َّ َ‫الَ تُبَاعُ َحتَّى تُف‬. ‘Jangan engkau jual sehingga engkau pisahkan (emas dengan mutiara).’” [16]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M] _______

Muzara'ah

Oleh Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

Definisi Muzara’ah Al-Muzara’ah menurut bahasa adalah muamalah terhadap ta-nah dengan (imbalan) sebagian apa yang dihasilkan darinya. Sedangkan yang dimaksud di sini adalah memberikan tanah kepada orang yang akan menggarapnya dengan imbalan ia mem-peroleh setengah dari hasilnya atau yang sejenisnya. Pensyaria’atan Muzara’ah Dari Nafi’ bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma memberitahukan kepadanya: ْ ‫عا َم َل أ َ ْه َل َخ ْيبَ َر ِبش‬ ‫َط ِر َما َي ْخ ُر ُج مِ ْن َها مِ ْن ث َ َمر أ َ ْو زَ ْرع‬ َ . “Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh penduduk Khaibar untuk menggarap tanah di Khaibar dan mereka mendapat setengah dari hasil buminya berupa buah atau hasil pertanian.”[1] Imam al-Bukhari berkata [2] , Qais bin Muslim telah berkata dari Abu Ja’far, ia berkata, tidaklah di Madinah ada penghuni rumah Hijrah kecuali mereka bercocok tanam dengan memperoleh sepertiga atau seperempat (dari hasilnya), maka Ali, Sa’ad bin Malik, ‘Abdullah bin Mas’ud, ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, al-Qasim bin ‘Urwah, keluarga Abu Bakar, keluarga ‘Umar, keluarga ‘Ali dan Ibnu Sirin melakukan muzara’ah.

Dari Siapakah Biaya (Perawatannya)? Tidak mengapa apabila biaya perawatan dibebankan kepada pemilik tanah atau kepada penggarap atau kepada mereka berdua. Imam al-Bukhari berkata [3] , “'Umar bermuamalah dengan orang-orang (dengan perjanjian) bila ‘Umar yang membawa benih maka ia memperoleh setengah (dari hasilnya) dan bila mereka yang membawa benih, maka mereka memperoleh sekian.” Ia (al-Bukhari) melanjutkan, “Berkata al-Hasan, ‘Tidak mengapa tanah tersebut jika milik salah satu dari mereka berdua, lalu mereka bersama-sama mengeluarkan biaya. Maka apa yang dihasilkan dibagi antara kedua belah pihak.’ Demikianlah yang menjadi pendapat az-Zuhri.” Hal-Hal Yang Tidak Dibolehkan Dalam Muzara’ah Tidak diperbolehkan muzara’ah (dengan perjanjian) bahwa petak yang ini (hasilnya) bagi si pemilik tanah dan petak yang di sana bagi si penggarap. Demikian pula tidak boleh bagi si pemilik tanah untuk mengatakan, “Aku memperoleh darinya (tanah ini) sekian dan sekian wasaq.” Diriwayatkan dari Hanzhalah bin Qais dari Rafi’ bin Khudaij, ia berkata, “Dua orang pamanku bercerita kepadaku bahwa dahulu mereka pernah menyewakan tanah di zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam (dengan memperoleh hasil) dari apa yang tumbuh di atas Arbu’a (yaitu sungai kecil) atau sesuatu yang dikecualikan oleh si pemilik tanah, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang akan hal tersebut.” Aku lalu bertanya kepada Rafi’, “Bagaimana jika (disewakan) dengan dinar atau dirham?” Rafi’ menjawab, “Tidak mengapa jika dengan dinar atau dirham.” Al-Laits berkata, “Yang dilarang adalah (apabila) orang-orang yang mengerti tentang halal dan haram melihat kepadanya, maka mereka tidak memperbolehkannya karena ada unsur mengadu peruntungan.” [4] Disebutkan juga dari Hanzhalah ia berkata, “Aku bertanya kepada Rafi’ bin Khudaij tentang menyewakan tanah dengan emas dan perak? Ia menjawab, “Tidak mengapa dengannya, hanyalah orang-orang di zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyewakan dengan imbalan (apa yang tumbuh) di tepian-tepian sungai dan sumber-sumber air serta sesuatu dari pertanian, maka yang sisi (petak) ini hancur dan petak yang lainnya selamat, dan petak yang ini selamat petak yang lain hancur. Dan orang-orang tidak menyewakan tanah kecuali dengan cara ini, oleh karena itulah dilarang. Adapun sesuatu yang jelas dan dijamin, maka tidak mengapa dengannya.” [5] [Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]

Musaqah, Ihyaa-ul Mawaat

Oleh Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

Definisi Musaqah Al-Musaqah yaitu menyerahkan pohon tertentu (seperti kurma-pent.) kepada orang yang akan mengurusinya (dengan imbalan) ia mendapatkan bagian tertentu (pula) dari buahnya, seperti se-tengah atau sejenisnya. Pensyari’atan Musaqah Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu 'anhuma: ‫علَى َما يَ ْخ ُر ُج مِ ْن َها مِ ْن ث َ َمر أ َ ْو زَ ْرع‬ ُ ‫أ َ َّن َر‬. َ ‫عا َم َل أ َ ْه َل َخ ْيبَ َر‬ َ ‫س َّل َم‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ِ‫سو َل هللا‬ “Bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh penduduk Khaibar untuk menggarap lahan di Khaibar dengan imbalan separuh dari tanaman atau buah-buahan hasil garapan lahan tersebut.” [1] Dari Abu Hurairah Radhiyallahu a'nhu, ia berkata: َ َ‫سمِ ْعنَا َوأ‬ ‫ط ْعنَا‬ ِ َ‫قَال‬. ُ ‫ص‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬ َ :‫علَ ْي ِه َو َسلَّ َم ا ْق ِس ْم بَ ْينَنَا َوبَيْنَ إِ ْخ َوانِنَا النَّخِ ي َل قَا َل الَ فَقَالُوا ت َ ْكفُونَا ْال َمئُونَةَ َونَ ْش َر ْك ُك ْم فِي الث َّ َم َرةِ قَالُوا‬ َ :‫ي‬ َ ‫ت َاْأل َ ْن‬ ِِّ ِ‫ار لِلنَّب‬ “Orang-orang Anshar berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bagilah pohon kurma antara kami dan sahabat-sahabat kami. Beliau menjawab, ‘Tidak.’ Maka mereka berkata, ‘Kalian yang merawatnya dan kami bagi buahnya bersama kalian.’ Maka, mereka menjawab, ‘Kami mendengar dan kami taat.’” [2]

IHYAA-UL MAWAAT (MENGGARAP TANAH YANG TIDAK ADA PEMILIKNYA)

Definisi Ihyaa-ul Mawaat Al-Mawaat -dengan difat-hah mim dan wau yang ringan- yaitu tanah yang belum dimakmurkan (dibangun). Pemakmurannya diserupakan dengan kehidupan dan menganggurkannya (diserupakan) dengan hilangnya kehidupan. Dan yang disebut dengan ihyaa-ul mawaat adalah seseorang pergi ke suatu tanah yang tidak diketahui ada seseorang yang telah memilikinya, kemudian ia menghidupkannya dengan menyiraminya, bertani, menanami dan membangunnya sehingga dengan demikian tanah tersebut menjadi miliknya. [3] Seruan Islam Kepadanya Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda: ْ ‫ َم ْن أ َ ْع َم َر أ َ ْرضًا لَ ْي َس‬. ُ‫ت ِأل َ َحد فَ ُه َو لَه‬ “Barangsiapa yang memakmurkan tanah yang bukan milik siapa pun, maka tanah itu menjadi miliknya.” [4] ‘Urwah berkata, “Demikianlah yang diputuskan oleh ‘Umar pada masa khilafahnya.” Dari Jabir Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda: ُ‫ي لَه‬ َ ‫ َم ْن أَحْ يَا أ َ ْرضًا َم ْيتَةً فَ ِه‬. “Barangsiapa menghidupkan tanah yang mati, maka tanah tersebut menjadi haknya” [5]

Darinya juga, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda: ً ِ‫ط َحائ‬ َ ‫ َم ْن أ َ َحا‬. ُ‫ي لَه‬ َ ‫طا‬ َ ‫علَى أ َ ْرض فَ ِه‬ “Barangsiapa membangun tembok di atas suatu tanah (yang tidak ada pemiliknya), maka ia menjadi miliknya.” [6] [Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]

Ijarah (Sewa Menyewa)

Oleh Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

Definisi Ijarah Ijarah secara bahasa berarti al-itsaabah (pengupahan), dikatakan aajartuhu dengan mad (panjang) dan tanpa mad artinya atsabtuhu (aku mengupahnya). Secara istilah yaitu pemilikan manfaat seseorang dengan imbalan. Pensyari’atan Ijarah Allah Ta’ala berfirman: ‫وره َُّن‬ َ ‫فَإ ِ ْن أ َ ْر‬ َ ‫ضعْنَ لَ ُك ْم َفآتُوه َُّن أ ُ ُج‬ “...Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin...” [Ath-Talak: 6] Allah Ta’ala juga berfirman: ْ َ‫قَال‬ ُ‫ي ْاألَمِ ين‬ ِ َ‫ت إِحْ َدا ُه َما يَا أَب‬ ُّ ‫ت ا ْستَأ ْ ِج ْرهُ ۖ إِ َّن َخي َْر َم ِن ا ْست َأ ْ َج ْرتَ ْالقَ ِو‬ “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: ‘Wahai bapakku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat serta dapat dipercaya.” [Al-Qashash: 26] Dan juga Allah berfirman: ‫ع َل ْي ِه أَجْ ًرا‬ َّ َ‫ارا ي ُِري ُد أَن يَنق‬ ً ‫فَ َو َج َدا فِي َها ِج َد‬ َ َ‫ض فَأَقَا َمهُ ۖ قَا َل لَ ْو ِشئْتَ َالتَّ َخ ْذت‬ “... Kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata, ‘Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu.”

[Al-Kahfi: 77] Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhua (ia berkata), ‫ِي هَا ِديًا خِ ِ ِّر ْيتًا ْالخِ ِ ِّريْتُ ْال َماه ُِر ِب ْال ِه َدايَ ِة‬ َ ‫ع ْب ِد ب ِْن‬ َ ‫سلَّ َم َوأَبُو بَ ْكر َر ُجالً مِ ْن بَنِي ال َّد ْي ِل ث ُ َّم مِ ْن َبنِي‬ َ ‫ّللا‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫ي‬ ِّ ‫عد‬ ُ َّ ‫صلَّى‬ ُّ ‫وا ْست َأ ْ َج َر النَّ ِب‬. َ “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam beserta Abu Bakar menyewa (mengupah) seorang penunjuk jalan yang mahir dari Bani ad-Dail kemudian dari Bani ‘Abdu bin ‘Adi.” [1] Apa Saja Yang Boleh Disewakan? Segala sesuatu yang memungkinkan untuk diambil manfaatnya bersama utuhnya barang tersebut, maka sah untuk disewakan selama tidak ada larangan syar’i yang menghalanginya. Dan disyaratkan hendaklah barang yang disewakan jelas dan upahnya jelas, demikian pula lama (waktu) penyewaan dan jenis pekerjaannya. Allah Ta’ala berfirman menghikayatkan tentang sahabat Musa bahwa ia berkata: ْ َ‫ع ْش ًرا فَمِ ْن عِندِك‬ َ َ‫ِي حِ َجج ۖ فَإ ِ ْن أَتْ َم ْمت‬ َ ‫ي هَاتَي ِْن‬ َّ َ ‫قَا َل ِإنِِّي أ ُ ِري ُد أ َ ْن أُن ِك َحكَ ِإحْ َدى ا ْبنَت‬ َ ‫علَ ٰى أَن ت َأ ُج َرنِي ث َ َمان‬ “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu…” [Al-Qa-shash: 27] Dari Hanzhalah bin Qais ia berkata, “Aku bertanya kepada Rafi’ bin Khudaij tentang menyewakan tanah dengan emas dan perak? Ia menjawab, “Tidak mengapa dengannya, hanyalah orang-orang di zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyewakan dengan imbalan (apa yang tumbuh) di tepian-tepian sungai dan sumber-sumber air serta sesuatu dari pertanian, maka yang sisi (petak) ini hancur dan petak yang lainnya selamat, dan petak yang ini selamat petak yang lain hancur. Dan orang-orang tidak menyewakan tanah kecuali dengan cara ini, oleh karena itulah dilarang. Adapun sesuatu yang jelas dan dijamin, maka tidak mengapa dengannya.” [2] Upah (Uang Sewa) Para Pekerja Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ُ ‫أ َ ْع‬. ُ‫ع َرقُه‬ َّ ‫طوا اْأل َ ِجي َْر أَجْ َرهُ قَ ْب َل أ َ ْن َي ِج‬ َ ‫ف‬ "Berilah upah kepada para pekerja sebelum mengering keringatnya.’” [3] Dosa Orang Yang Tidak Membayar Upah Pekerja Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Allah Ta’ala berfirman. َ ‫ص ْمتُهُ يَ ْو َم ْال ِقيَا َم ِة َر ُج ٌل أ َ ْع‬ ‫يرا فَا ْست َْوفَى‬ َ ‫طى بِي ث ُ َّم‬ ْ ‫ص ُم ُه ْم يَ ْو َم ْال ِقيَا َم ِة َو َم ْن ُك ْنتُ َخ‬ ْ ‫ثَالَثَةٌ أَنَا َخ‬ َ ‫ َو َر ُج ٌل َبا‬،‫غ َد َر‬ ً ‫ َو َر ُج ٌل ا ْستَأ ْ َج َر أ َ ِج‬،ُ‫ع ُح ًّرا فَأ َ َك َل ث َ َمنَه‬ َ ‫ص َمهُ َخ‬ َ َ ْ ُ‫مِ نهُ َول ْم يُوفِ ِه أجْ َره‬. "Tiga orang yang Aku akan menjadi musuhnya pada hari Kiamat; (1) seseorang yang memberikan janji kepada-Ku lalu ia mengkhianati, (2) seseorang yang menjual orang merdeka lalu memakan hartanya, dan (3) seseorang yang menyewa pekerja lalu ia menunaikan kewajibannya (namun) ia tidak diberi upahnya.’” [4]

Hal-Hal Yang Tidak Boleh Untuk Diupahi Allah Ta’ala berfirman: ‫ور َّرحِ ي ٌم‬ َ ‫ّللا مِ ن بَ ْع ِد ِإ ْك َرا ِه ِه َّن‬ ُّ ‫علَى ْال ِبغَاءِ ِإ ْن أ َ َر ْدنَ ت َ َح‬ ٌ ُ ‫غف‬ َ ‫صنًا ِِّلتَ ْبتَغُوا‬ َ ‫َو َال ت ُ ْك ِرهُوا فَتَيَاتِ ُك ْم‬ َ ‫ع َر‬ َ َّ ‫ض ْال َحيَاةِ ال ُّد ْنيَا ۚ َو َمن يُ ْك ِره ُّه َّن فَإ ِ َّن‬ “... Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa (itu).” [An-Nuur: 33] Dari Jabir (ia berkata) bahwa ‘Abdullah bin Ubay bin Salul memiliki seorang budak wanita yang bernama Masikah dan seorang budak lain yang bernama Amimah. ‘Abdullah menyewakan keduanya untuk berzina, maka kedua budak tersebut mengadu kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam akan hal tersebut, lalu Allah menurunkan ayat ‫ور َّرحِ ي ٌم‬ َ ‫ّللا مِ ن بَ ْع ِد إِ ْك َرا ِه ِه َّن‬ ُّ ‫علَى ْالبِغَاءِ إِ ْن أ َ َر ْدنَ ت َ َح‬ ٌ ُ ‫غف‬ َ ‫صنًا ِلِّتَ ْبتَغُوا‬ َ ‫َو َال ت ُ ْك ِرهُوا فَتَيَاتِ ُك ْم‬ َ ‫ع َر‬ َ َّ ‫ض ْال َحيَاةِ ال ُّد ْنيَا ۚ َو َمن يُ ْك ِره ُّه َّن فَإ ِ َّن‬ “... Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa (itu).” [An-Nuur: 33] [5] Dari Abu Mas’ud al-Anshari Radhiyallahu 'anhu: ‫ان ْالكَاه ِِن‬ َّ ‫صلَّى‬ ُ ‫أ َ َّن َر‬. ِ ‫ع ْن ث َ َم ِن ْالك َْل‬ َ ‫س َّل َم نَ َهى‬ َ ُ‫ّللا‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ِ‫سو َل هللا‬ ِ ‫ي َو ُح ْل َو‬ ِِّ ‫ب َو َم ْه ِر ْالبَ ِغ‬ “Bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang mengambil uang (hasil) penjualan anjing, upah pelacuran dan upah perdukunan.” [6] Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata: ‫ب ْالفَحْ ِل‬ َّ ‫صلَّى‬ ِ ‫ع ْس‬ َ ‫ع ْن‬ َ ‫سلَّ َم‬ َ ُ‫ّللا‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫ي‬ ُّ ِ‫نَ َهى ال َّنب‬. “Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang ‘asbul fahl (yaitu mengambil upah dari menyewakan pejantan binatang untuk mengawini).” [7] Upah Membaca al-Qur-an Dari ‘Abdurrahman bin Syabl al-Anshari, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ‫اِ ْق َر ُءوا ْالقُ ْرآنَ َوالَ ت َأ ْ ُكلُوا ِب ِه َوالَ ت َ ْست َ ْكث ُِروا بِ ِه َوالَ ت َجْ فُوا َع ْنهُ َوالَ ت َ ْغلُ ْوا فِ ْي ِه‬. "Bacalah al-Qur-an dan janganlah kalian mencari makan dengannya, janganlah kalian memperbanyak harta dengannya, janganlah kalian menjauh darinya dan janganlah kalian berkhianat padanya.’” [8] Dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar menemui kami saat kami sedang membaca al-Qur-an dan di antara kami ada orang Badui dan orang ‘Ajam (non Arab), maka beliau bersabda: ُ‫سنٌ َو َسيَ ِجي ُء أ َ ْق َوا ٌم يُقِي ُمو َنهُ َك َما يُقَا ُم ْال ِق ْد ُح يَت َ َع َّجلُونَهُ َوالَ َيتَأ َ َّجلُ ْو َنه‬ َ ‫اِ ْق َر ُءوا فَ ُك ٌّل َح‬.

"Bacalah, (karena) semuanya adalah baik, dan akan datang kaum-kaum yang meluruskan al-Qur-an sebagaimana diluruskannya anak panah, mereka tergesa-gesa (ingin mendapatkan ganjaran dunia) dan tidak mau menunda (untuk mendapatkan ganjaran akhirat).’” [9] Dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu 'anhu bahwa ia mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ِ ِ ُ‫ َو َر ُج ٌل َي ْست َأْ ُك ُل بِ ِه َو َر ُج ٌل يَ ْق َرأُه‬،‫ َر ُج ٌل يُبَاهِي بِ ِه‬:ٌ‫تَعَلَّ ُموا ْالقُ ْرآنَ َو َسلُ ْوا ِب ِه ْال َجنَّةَ َق ْب َل أ َ ْن يَتَعَلَّ َمهُ قَ ْو ٌم َي ْسأَلُ ْونَ ِب ِه ال ُّد ْنيَا فَإ ِ َّن ْالقُ ْرآنَ َيتَعَلَّ ُمهُ ثَالَثَة‬. ‫هلل‬ “Belajarlah al-Qur-an, serta mohonlah Surga kepada Allah dengannya sebelum ada kaum yang mempelajarinya untuk mencari dunia dengannya, maka sesungguhnya al-Qur-an itu dipelajari oleh tiga (jenis orang); (1) seseorang yang pamer dengannya, (2) seseorang yang mencari makan dengannya, dan (3) seseorang yang membacanya karena Allah.” [10] [Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M] _______

Syirkah (Perserikatan)

Oleh Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

Definisi Syirkah Asy-Syirkah adalah al-ikhtilath (percampuran/persekutuan). Secara syara’ adalah apa yang terjadi dengan ikhtiyar antara dua orang atau lebih berupa percampuran (persekutuan) untuk menghasilkan laba/untung. Dan terkadang terjadi tanpa sengaja seperti warisan.” [1] Pensyari’atan Syirkah Allah Ta’ala berfirman: َ َ‫ِيرا ِِّمنَ ْال ُخل‬ ‫ت َوقَلِي ٌل َّما ُه ْم‬ ِ ‫صا ِل َحا‬ ُ ‫طاءِ لَ َي ْبغِي بَ ْع‬ َّ ‫عمِ لُوا ال‬ ً ‫َو ِإ َّن َكث‬ َ ‫علَ ٰى بَ ْعض ِإ َّال الَّذِينَ آ َمنُوا َو‬ َ ‫ض ُه ْم‬ “... Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu, sebagian mereka berbuat zhalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih; dan amat sedikitlah mereka ini...” [Shaad: 24] Dan Allah Ta’ala berfirman: ُ ‫ُور‬ ‫ث‬ ِ ُ‫ُس ۚ فَإِن كَانُوا أ َ ْكث َ َر مِ ن ٰذَ ِلكَ فَ ُه ْم ش َُركَا ُء فِي الثُّل‬ ُ ‫ث ك ََال َلةً أ َ ِو ْام َرأَة ٌ َو َلهُ أ َ ٌخ أ َ ْو أ ُ ْختٌ َف ِل ُك ِِّل َواحِ د ِِّم ْن ُه َما ال ُّسد‬ َ ‫َو ِإن َكانَ َر ُج ٌل ي‬ “... Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak

meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu...” [An-Nisaa': 12] Dari as-Sa-ib bahwa ia berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : ‫ارينِي‬ ِ ‫ ُك ْنتَ ش َِريكِي فِي ْال َجا ِه ِليَّ ِة فَ ُك ْنتَ َخي َْر ش َِريك الَ ت ُ َد ِارينِي َوالَ ت ُ َم‬. “Engkau dahulu adalah sekutuku di masa Jahiliyyah, dan engkau adalah sebaik-baik sekutu, engkau tidak pernah menolak dan membantahku.” [2] Perserikatan Syar’i Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata dalam as-Sailul Jarraar (III/246, III/248), “Perserikatan yang syar’i terjadi dengan adanya saling ridha antara dua orang atau lebih dengan ketentuan setiap orang dari mereka membayar (menyetor) jumlah yang jelas dari hartanya, kemudian mereka mencari usaha dan keuntungan dengan uang tersebut. Setiap orang dari mereka mendapat untung seukuran harta yang ia serahkan, dan bagi setiap orang dari mereka ada kewajiban pembiayaan sebesar itu pula yang dikeluarkan dari harta perserikatan. Jika terjadi saling ridha untuk membagi untung sama rata walaupun jumlah harta yang dikeluarkan berbeda-beda, maka hal tersebut boleh, walaupun harta (yang dikeluarkan) oleh salah seorang dari mereka sedikit dan yang lain lebih banyak. Dan dalam hal yang seperti ini tidak mengapa menurut syari’at, karena ia merupakan perniagaan yang dilakukan atas dasar saling ridha dan ke-relaan hati.”

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M] _______

Mudharabah

Oleh Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

Definisi Mudharabah [1] Mudharabah diambil dari kata adh-dharbu fil ardhi yang artinya safar (berjalan di muka bumi) untuk melakukan perdagangan. Allah Ta’ala berfirman: ِ َّ ‫ض ِل‬ ‫ّللا‬ ْ َ‫ض يَ ْبتَغُونَ مِ ن ف‬ ِ ‫َوآخ َُرونَ يَض ِْربُونَ فِي ْاأل َ ْر‬ “... Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah...” [Al-Muzzammil: 20] Dan disebut pula qiradh diambil dari kata al-Qardhu yang artinya al-qath’u (memotong) karena si

pemilik memotong sebagian dari hartanya untuk berdagang dan sebagian yang lain dari keuntungannya. Sedangkan yang dimaksud di sini adalah akad antara dua pihak, yaitu salah satu dari keduanya membayar secara tunai kepada pihak yang lain agar ia berdagang dengannya, dan keuntungannya dibagi antara keduanya sesuai dengan apa yang menjadi kesepa-katan mereka berdua. Pensyari’atan Mudharabah Ibnul Mundzir berkata dalam kitabnya, al-Ijmaa’ (hal. 124), “Mereka (ulama) telah berijma’ (sepakat) akan bolehnya qiradh dengan dinar dan dirham, dan mereka juga berijma’ bahwa bagi si pekerja agar mensyaratkan kepada pemilik harta (untuk memperoleh) sepertiga dari keuntungan atau setengahnya atau sesuai apa yang mereka berdua sepakati atasnya setelah menjadi jelas bagiannya.” Dan para Sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah beramal dengannya. Dari Zaid bin Aslam dari ayahnya bahwa, ia berkata, “‘Abdullah dan ‘Ubaidullah, dua putera ‘Umar bin al-Khaththab, keluar bersama pasukan menuju Irak. Ketika kembali keduanya melewati Abu Musa alAsy’ari yang saat itu menjabat sebagai amir atas kota Bashrah, ia (Abu Musa) pun menyambut kedatangan mereka berdua, kemudian berkata, ‘Jika aku mampu memberikan kepada kalian suatu urusan yang bermanfaat bagi kalian niscaya aku akan melakukannya.’ Kemudian ia (melanjutkan) ucapannya, ‘Ya, ini ada harta dari harta Allah, aku ingin mengirimnya kepada Amirul Mukminin, aku akan meminjamkannya kepada kalian sehingga kalian bisa membeli barang dagangan Irak dengannya kemudian kalian jual di Madinah, lalu kalian sampaikan (kembalikan) modalnya kepada Amirul Mukminin dan keuntungannya untuk kalian berdua.’ Keduanya menjawab, ‘Kami menyukai hal tersebut.’ Lantas ia pun melakukannya dan menulis surat kepada ‘Umar untuk mengambil harta dari keduanya. Ketika keduanya sampai, dan mendapatkan keuntungan. Pada saat keduanya memberikannya kepada ‘Umar, ia (‘Umar) berkata, ‘Apakah ia memberikan pinjaman kepada setiap pasukan seperti apa yang dipinjamkan kepada kalian?’ Keduanya menjawab, ‘Tidak.’ Maka ‘Umar bin al-Khaththab berkata, ‘(Apakah karena) kalian berdua putera Amirul Mukminin, sehingga ia meminjaminya kepada kalian berdua? Berikan harta dan keuntungannya!’ Adapun ‘Abdullah, maka ia diam, sedangkan ‘Ubaidullah ia berkata, ‘Tidak sepantasnya engkau melakukan ini, wahai Amirul Mukminin! Seandainya harta ini berkurang atau rusak niscaya kami yang menanggungnya.’ ‘Umar berkata, ‘Berikanlah hartanya.’ ‘Abdullah terdiam dan ‘Ubaidullah tetap membantahnya. Maka salah seorang anggota majelis ‘Umar berkata, ‘Wahai Amirul Mukminin, (bagaimana) kalau engkau menjadikannya sebagai qiradh?’ Lalu ia menjawab, ‘Aku telah menjadikannya sebagai qiradh.’ Lalu ‘Umar mengambil modalnya dan setengah dari keuntungannya dan ‘Abdullah serta ‘Ubaidullah, dua putera ‘Umar bin al-Khaththab mengambil setengah keuntungan dari harta tersebut.” [2] Seorang Pekerja Adalah Amin (Dipercaya) Mudharabah hukumnya boleh baik secara mutlak atau pun terikat, dan seorang amil (pekerja) tidak menanggung (kerusakan) kecuali jika ia ceroboh dan menyelisihi (perjanjian). Ibnul Mundzir berkata, “Mereka (ulama) sepakat bahwa apabila pemilik harta melarang pekerjanya untuk menjual dengan cara nasi’ah (tempo), lalu ia menjualnya dengan cara nasi’ah, maka ia menanggungnya (menggantinya).”[3] Diriwayatkan dari Hakim bin Hizam, Sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa ia memberi syarat kepada seseorang apabila ia memberinya harta sebagai modal untuknya, “Jangan menggunakan modalku (hartaku) untuk barang yang bernyawa, jangan membawanya ke laut, dan jangan membawanya di tengah air yang mengalir. Jika engkau melakukan salah satu di antaranya, maka engkaulah yang menanggung modalku.” [4]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M] _______

Salam (Pesanan)

Oleh Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

Definisi Salam As-Salam dengan dua fat-hah sama dengan as-salaf baik secara wazan (timbangan ilmu sharaf) maupun secara makna. Dan hakikatnya secara syara’ adalah menjual barang yang telah disebut sifatnya di dalam tanggungan dengan bayaran kontan (di muka). [1] Pensyari’atan Salam Allah Ta’ala berfirman: ُ‫س ًّمى فَا ْكتُبُوه‬ َ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ِإذَا ت َ َدايَنتُم بِ َديْن ِإلَ ٰى أَ َجل ُّم‬ “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya...” [Al-Baqarah: 282] Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma berkata, “Aku bersaksi bahwa salaf (salam/ pesanan) yang terjamin hingga waktu yang ditentukan telah dihalalkan Allah dalam kitab-Nya dan telah diizinkan padanya, kemudian ia membaca... (ayat diatas).” [2] Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma pula, “Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam datang ke Madinah dan pada waktu itu para penduduk Madinah melakukan akad salaf (salam) pada buah kurma dalam batas waktu dua tahun dan tiga tahun. Lalu beliau bersabda: ‫ِف فِي َكيْل َم ْعلُوم َو َو ْزن َم ْعلُوم إِلَى أَ َجل َم ْعلُوم‬ ْ ‫ف فَ ْليُ ْسل‬ َ َ‫ َم ْن أ َ ْسل‬. “Barangsiapa memesan suatu barang, maka dia harus memesannya dalam takaran dan timbangan yang diketahui hingga batas waktu yang diketahui.” [3] Melakukan Akad Salam Kepada Orang Yang Tidak Memiliki Barangnya Dalam akad salam tidak disyaratkan agar orang yang dipesan (al-musallam ilaih) memiliki barang yang dipesan (al-musallam fih). Diriwayatkan dari Muhammad bin Abi al-Mujalid, ia berkata, “'Abdullah bin Syadad dan Abu Burdah mengutusku kepada ‘Abdullah bin Abi Aufa Radhiyallahu 'anhu, lantas keduanya berkata, ‘Tanyakan kepadanya (yaitu ‘Abdullah bin Abi Aufa), apakah para Sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di zaman beliau melakukan akad salam pada hinthah (gandum)?’ ‘Abdullah menjawab, ‘Kami dahulu

melakukan akad salam dengan petani dari penduduk Syam pada gandum, sya’ir dan minyak (zait) dalam takaran yang jelas hingga batas waktu yang jelas pula.’ Aku bertanya, ‘Apakah kepada orang yang ia memiliki barangnya?’ Ia menjawab, ‘Kami tidak menanyakan hal itu kepada mereka.’ Kemudian keduanya mengutusku kepada ‘Abdurrahman bin Abza, lalu aku bertanya kepadanya dan ia menjawab: ٌ ‫ أَلَ ُه ْم َح ْر‬،‫سلَّ َم َولَ ْم نَ ْسأ َ ْل ُه ْم‬ َ‫ث أ َ ْم ال‬ ْ َ ‫ َكانَ أ‬. َ ُ‫صلَّى هللا‬ َ ‫علَى‬ َ َ‫ع َل ْي ِه َو َسلَّ َم يُ ْس ِلفُ ْون‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫ي‬ َ ‫ي‬ ِِّ ‫ع ْه ِد النَّ ِب‬ ِِّ ‫ص َحابُ ال َّن ِب‬ “Dahulu para Sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan salam di zaman beliau dan kami tidak bertanya kepada mereka apakah mereka memiliki tanamannya atau tidak.” [4] [Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]

Qardh (Pinjaman)

Oleh Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

Fadhilah (Keutamaan) Qardh Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ‫ َوهللاُ فِ ْي‬،‫علَ ْي ِه فِي ال ُّد ْن َيا َو ْاآلخِ َر ِة‬ ِ ‫ع ْنهُ ُك ْر َبةً مِ ْن ُك َر‬ ِ ‫ع ْن ُمؤْ مِ ن ُك ْر َبةً مِ ْن ُك َر‬ َ ُ‫علَى ُم ْعسِر َيس ََّر هللا‬ َ ‫ َو َم ْن َيس ََّر‬،ِ‫ب َي ْو ِم ْال ِق َيا َمة‬ َ ُ‫س هللا‬ َ ‫س‬ َ ‫ نَ َّف‬،‫ب ال ُّد ْن َيا‬ َ َّ‫َم ْن نَف‬ ْ ْ َ ‫ع ْو ِن أَخِ ْي ِه‬ ‫ِي‬ ‫ف‬ ‫د‬ ُ ‫ب‬ ْ ‫ع‬ ‫ال‬ ‫ك‬ ‫ا‬ ‫م‬ ‫د‬ ‫ب‬ ْ ‫ع‬ ‫ال‬ ‫ن‬ ‫و‬ ‫ع‬ . َ‫ان‬ ِ ْ َ َ َ َ ِ َ “Barangsiapa menghilangkan suatu kesusahan dari seorang muslim dari kesusahan-kesusahan dunia, niscaya Allah akan menghilangkan darinya kesusahan dari kesusahan-kesusahan akhirat. Dan barangsiapa yang memberi kemudahan kepada orang yang mu’sir (kesulitan membayar hutang), niscaya Allah akan memudahkannya di dunia dan di akhirat. Dan Allah selalu menolong hamba-Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya.”[1] Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ً‫ص َدقَتِ َها َم َّرة‬ ُ ‫ َما مِ ْن ُم ْسلِم يُ ْق ِر‬. َ ‫ض ُم ْس ِل ًما قَ ْرضًا َم َّرتَي ِْن إِالَّ َكانَ َك‬ “Tidaklah seorang muslim memberi pinjaman kepada muslim yang lain dua kali kecuali, ia seperti menyedekahkannya sekali.” [2] Ancaman Keras Tentang Hutang Dari Tsauban, budak Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda: ‫س َد َوه َُو بَ ِري ٌء مِ ْن ثَالَث َد َخ َل ْال َجنَّةَ ْال ِكب ِْر َو ْالغُلُ ْو ِل َوال َّدي ِْن‬ ُّ َ‫ارق‬ َ ‫الرو ُح ْال َج‬ َ َ‫ َم ْن ف‬. “Barangsiapa yang meninggal dunia dalam keadaan berlepas diri dari tiga hal, maka ia masuk surga; (yaitu) sombong, ghulul (khianat dalam hal harta rampasan perang) dan hutang.” [3]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ُ‫ضى َع ْنه‬ َ ‫س ْال ُمؤْ مِ ِن ُمعَلَّقَةٌ بِ َد ْي ِن ِه َحتَّى يُ ْق‬ ُ ‫نَ ْف‬. "Jiwa seorang mukmin tergantung dengan hutangnya hingga ia melunasinya.’”[4] Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda. ‫َار َوالَ د ِْر َه ٌم‬ ٌ ‫ْس ث َ َّم دِين‬ ٌ ‫علَ ْي ِه دِين‬ ِ ُ‫َار أ َ ْو د ِْر َه ٌم ق‬ َ ‫ َم ْن َماتَ َو‬. َ ‫ي مِ ْن َح‬ َ ‫سنَاتِ ِه لَي‬ َ ‫ض‬ "Barangsiapa yang mati dan memiliki hutang satu dinar atau satu dirham, maka akan dilunasi dari kebaikannya, (karena) di sana (akhirat) tidak ada dinar tidak pula dirham.’” [5] Dari Abu Qatadah Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdiri di tengah mereka, lalu beliau menyebutkan kepada mereka bahwa jihad fii sabilillah dan beriman kepada Allah adalah amalan yang paling utama. Kemudian seseorang berdiri lalu berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah pendapatmu jika aku terbunuh fii sabilillah, apakah dosa-dosaku akan dihapus (diampuni)?” Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Ya, apabila engkau terbunuh fii sabilillah sedang engkau dalam keadaan sabar dan mengharap pahala, maju dan tidak mundur.” Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Bagaimana pertanyaanmu (tadi)?” Ia berkata, “Bagaimanakah pendapatmu apabila aku terbunuh fii sabilillah, apakah dosa-dosaku akan dihapus (diampuni)?” Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: َ ‫صابِ ٌر ُمحْ تَسِبٌ ُم ْق ِب ٌل‬ َ‫سالَم قَا َل لِي ذلِك‬ َّ ‫علَ ْي ِه ال‬ َ ‫ فَإ ِ َّن ِجب ِْري َل‬، َ‫غي ُْر ُم ْدبِر إِالَّ ال َّديْن‬ َ َ‫ َوأَ ْنت‬،‫نَعَ ْم‬. “Ya, apabila engkau terbunuh fii sabilillah sedang engkau dalam keadaan sabar dan mengharap pahala, maju dan tidak mundur, kecuali hutang karena sesungguhnya Jibril Alaihissallam berkata kepadaku akan hal itu.” [6] Orang Yang Mengambil Harta Orang Lain Dengan Maksud Mengembalikannya Atau Merusaknya Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda, ِ َّ‫ َم ْن أ َ َخذَ أ َ ْم َوا َل الن‬. َ ُ‫اس ي ُِري ُد أ َ َدا َءهَا أَدَّى هللا‬ ُ‫ع ْنهُ َو َم ْن أ َ َخذَ ي ُِر ْي ُد ِإتْالَفَ َها أَتْلَفَهُ هللا‬ “Barangsiapa yang mengambil harta orang dengan maksud mengembalikannya, maka Allah akan (menolong) untuk mengembalikannya. Dan barangsiapa yang mengambilnya dengan maksud merusaknya, maka Allah akan merusaknya.” [7] Dari Syu’aib bin ‘Amr, ia berkata, “Telah bercerita kepada kami Shuhaib al-Khair dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam beliau bersabda: ‫ار ًقا‬ َ ‫هللا‬ ِ ‫س‬ َ ‫ِي‬ َ ‫أَيُّ َما َر ُجل يَ ِدينُ َد ْينًا َوه َُو ُمجْ مِ ٌع أ َ ْن الَ ي َُوفِِّيَهُ ِإيَّاهُ لَق‬. "Siapa saja yang berhutang dengan suatu hutang dengan niat tidak akan mengembalikan kepadanya, maka ia akan bertemu dengan Allah sebagai seorang pencuri.’” [8] Perintah Untuk Membayar Hutang Allah Ta’ala berfirman: ُ ‫ّللا نِ ِع َّما َي ِع‬ ‫يرا‬ ِ ‫ّللا َيأ ْ ُم ُر ُك ْم أَن ت ُ َؤدُّوا ْاأل َ َمانَا‬ ً ‫ص‬ ِ َّ‫ت ِإلَ ٰى أَ ْه ِل َها َو ِإذَا َحك َْمتُم َبيْنَ الن‬ ِ ‫سمِ ي ًعا َب‬ َ َ‫ّللا َكان‬ َ َّ ‫ظ ُكم ِب ِه ۗ ِإ َّن‬ َ َّ ‫اس أَن تَحْ ُك ُموا ِب ْال َع ْد ِل ۚ ِإ َّن‬ َ َّ ‫ِإ َّن‬

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Men-dengar lagi Maha Melihat.” [An-Nisaa’: 58] Bersikap Baik Dalam Membayar Hutang Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Seseorang pernah memberi pinjaman seekor unta kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu ia datang kepada Nabi menagih hutangnya, lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Berikan kepadanya.” Para Sahabat lalu mencari untanya dan mereka tidak menemukannya kecuali unta yang lebih baik, maka Nabi bersabda, “Berikan kepadanya.” Ia berkata, “Engkau telah memenuhi hakku (semoga) Allah memenuhinya untukmu.” Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ‫ضا ًء‬ َ ‫ار ُك ْم أَحْ َسنُ ُك ْم َق‬ َ ‫ ِإ َّن خِ َي‬. “Sesungguhnya sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dalam membayar hutang.” [9] Dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, ‫ضانِي َوزَ ا َدنِي‬ ُ ‫ أ ُ َراهُ قَا َل‬:‫ قَا َل مِ ْس َع ٌر‬،ِ‫س َّل َم َوه َُو فِي ْال َمس ِْجد‬ َّ ‫صلَّى‬ َ َ‫ َو َكانَ لِي َعلَ ْي ِه َديْنٌ فَق‬،‫ص ِِّل َر ْك َعتَي ِْن‬ َ ُ‫ّللا‬ َ ‫ع َل ْي ِه َو‬ َ :َ‫ فَقَال‬،‫ض ًحى‬ َ ‫ي‬ َّ ‫أَتَيْتُ ال َّن ِب‬. “Aku mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sedang beliau berada di masjid. -Mis’ar berkata, ‘Aku berpendapat ia berkata di saat waktu Dhuha.’- Lalu beliau bersabda, “Shalatlah dua raka’at.” Dan adalah beliau berhutang kepadaku, maka beliau membayarnya kepadaku dan memberikan tambahan kepadaku.’” [10] Dari Isma’il bin Ibrahim bin ‘Abdillah bin Abi Rabi’ah al-Makhzumi, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah meminjam tiga puluh atau empat puluh ribu kepadanya ketika memerangi Hunain. Tatkala beliau datang dan melunasi hutang kepadanya, kemudian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ‫س َلفِ ْال َوفَا ُء َو ْال َح ْم ُد‬ َّ ‫اركَ هللاُ لَكَ فِي أ َ ْهلِكَ َو َمالِكَ إِنَّ َما َجزَ ا ُء ال‬ َ َ‫ب‬. “Semoga Allah memberi berkah kepadamu pada keluarga dan hartamu, sesungguhnya balasan memberi pinjaman adalah (agar) dilunasi dan dipuji.” [11] Bersikap Baik Dalam Menagih Hutang Dari Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah Radhiyallahu anhum bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ْ ‫ب َحقًّا فَ ْل َي‬ َ ‫ َم ْن‬. ‫غي ِْر َواف‬ َ ‫عفَاف َواف أَ ْو‬ َ ‫طلُ ْبهُ فِي‬ َ َ‫طال‬ “Barangsiapa yang menuntut suatu hak, maka hendaklah ia memintanya dengan hormat, ditunaikan (dibayar) maupun tidak ditunaikan.” [12] Memberikan Tangguh Kepada Orang Yang Kesulitan Membayar Hutang Allah Ta’ala berfirman: َ‫ص َّدقُوا َخي ٌْر لَّ ُك ْم ۖ ِإن ُكنت ُ ْم ت َ ْعلَ ُمون‬ ُ ‫َو ِإن َكانَ ذُو‬ َ ‫عس َْرة َفنَظِ َرة ٌ ِإلَ ٰى َم ْي‬ َ َ ‫س َرة ۚ َوأَن ت‬ “Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai ia berkelapangan. Dan

menyedekahkan (sebagian atau semua hutang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” [AlBaqarah: 280] Dari Hudzaifah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ُ‫ فَغُف َِر لَه‬،‫ع ِن ْال ُم ْعس ِِر‬ َ ‫ف‬ ُ ِّ‫ع ِن ْال ُموس ِِر َوأ ُ َخ ِف‬ َ ‫اس فَأَت َ َج َّو ُز‬ َ َّ‫ ُك ْنتُ أُبَا ِي ُع الن‬:َ‫ َماتَ َر ُج ٌل فَقِي َل لَهُ َما ُك ْنتَ تَقُ ْولُ؟ قَال‬. ‘Ada seseorang yang meninggal, lalu dikatakan kepadanya, ‘Apa yang dahulu engkau katakan?’ Ia menjawab, ‘Aku dahulu berjual beli dengan orang-orang, aku bersikap lembut (dalam menagih hutang) kepada orang yang diberi kelapangan, dan aku memberi keringanan kepada orang yang kesulitan.’ Maka ia pun diampuni.’” [13] Dari Abul Yasar, Sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ُ‫ض ْع لَه‬ َ ‫ َف ْليُ ْنظِ ْر ُم ْعس ًِرا أ َ ْو ِل َي‬،ِ‫ َم ْن أ َ َحبَّ أ َ ْن يُظِ لَّهُ هللاُ فِي ظِ ِلِّه‬. "Barangsiapa yang ingin untuk dinaungi oleh Allah dalam naungan-Nya, maka hendaklah ia memberi tangguh kepada orang yang kesulitan atau ia membebaskan hutangnya.’” [14] Menunda-Nunda Membayar Hutang Bagi Yang Mampu Adalah Kezhaliman Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ْ ‫ َم‬. ُ ‫ي‬ ‫ظ ْل ٌم‬ ِِّ ِ‫ط ُل ْالغَن‬ "Mathlul Ghani (orang kaya yang menunda-nunda pembayaran hutang) adalah kezhaliman.’” [15] Orang Yang Mampu Membayar Hutang Boleh Dipenjara Jika Ia Enggan Membayar Hutangnya Dari ‘Amr bin asy-Syarid dari ayahnya, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda. ُ‫عقُ ْوبَتَه‬ ُ ‫ضهُ َو‬ َ ‫اج ِد يُحِ ُّل ِع ْر‬ ِ ‫ي ْال َو‬ ُّ َ‫ل‬. “Layyu al-Wajid (orang kaya yang menunda-nunda dalam membayar hutang) halal kehormatannya dan hukumannya.” [16] Setiap Hutang yang Menarik Manfaat adalah Riba Dari Abu Burdah, ia berkata, “Aku datang ke Madinah dan bertemu dengan ‘Abdullah bin Salam, lalu ia berkata, “Ikutlah bersamaku ke rumah, aku akan memberimu minum dari gelas yang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam meminum darinya, dan engkau shalat di masjid yang beliau shalat di dalamnya.” Lalu aku berangkat bersamanya. Ia memberiku minum sawiq dan memberiku makan kurma, aku juga shalat di masjidnya. Kemudian ia berkata kepadaku, “Sesung-guhnya engkau berada di suatu negeri yang tersebar riba di dalamnya dan di antara pintu-pintu riba adalah salah seorang dari kalian memberi piutang hingga waktu (yang ditentukan), dan jika telah jatuh temponya, ia datang dengan membawa hutangnya dan sekeranjang hadiah, maka takutlah engkau terhadap keranjang tadi beserta isinya.” [17] [Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M] _______

Rahn (Gadai)

Oleh Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

Definisi Rahn Rahn secara bahasa adalah al-ihtibas (penahanan), diambil dari ucapan mereka, “Rahana asy-syai-a (jika ia berlangsung dan tetap).” Dan di antaranya pula firman Allah: ٌ‫ت َرهِينَة‬ ْ َ‫سب‬ َ ‫ُك ُّل نَ ْفس بِ َما َك‬ “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.” [Al-Muddatstsir: 38] Secara syara’ adalah menjadikan harta sebagai jaminan bagi hutang agar bisa dilunasi darinya jika yang berhutang berhalangan (udzur) dari membayar hutangnya. [1] Pensyari’atan Rahn Allah Ta’ala berfirman: ٌ‫ضة‬ َ ‫سفَر َولَ ْم ت َِجدُوا كَا ِتبًا فَ ِر َهانٌ َّم ْقبُو‬ َ ‫َو ِإن ُكنت ُ ْم‬ َ ‫علَ ٰى‬ “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperolah seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang ber-piutang).” [AlBaqarah: 283] Pembatasan (hukum) dengan waktu safar (perjalanan) dalam ayat di atas sehingga tidak berlaku secara umum tidak bisa difahami secara terbalik karena adanya indikasi hadits yang menunjukkan masyru’nya rahn. Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma : َ ‫ِي‬ ُ‫عه‬ َّ ‫صلَّى‬ َ ‫طعَا ًما ِإلَى أ َ َجل فَ َر َهنَهُ د ِْر‬ َ ُ‫ّللا‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫ي‬ ِّ ‫سلَّ َم ا ْشت ََرى مِ ْن يَ ُهود‬ َّ ِ‫أ َ َّن النَّب‬. “Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam membeli makanan dari seorang Yahudi dengan pembayaran tempo dan beliau menggadaikan baju perangnya.” [2] (Hukum) Memanfaatkan Barang Yang Digadaikan Tidak boleh bagi orang si penerima gadai (murtahin) untuk memanfaatkan barang yang digadaikan (rahn), sebagaimana yang telah lewat dalam masalah qardh (piutang): “Setiap hutang yang menarik manfaat adalah riba.” Kecuali bila barang gadai tersebut berupa tunggangan (kuda, keledai dan yang sejenisnya-penj.) atau sesuatu yang bisa diperah susunya (sapi, unta, kambing dan yang lainnya-penj.), maka ia boleh menaiki tunggangan tersebut dan memerah susunya jika ia memberikan nafkah (dengan memberi makan)

kepadanya. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: َّ َ ‫ا‬. ُ‫لظ ْه ُر ي ُْر َكبُ ِبنَفَقَتِ ِه ِإذَا َكانَ َم ْرهُونًا َو َل َبنُ الد َِّريُ ْش َربُ ِبنَفَقَتِ ِه ِإذَا َكانَ َم ْرهُونًا َو َعلَى الَّذِي يَ ْر َكبُ و َي ْش َربُ النَّفَقَة‬ "Punggung hewan yang digadaikan boleh dinaiki dengan nafkahnya (membayarnya) dan susu hewan yang digadaikan boleh diminum dengan nafkahnya. Bagi orang yang menaiki dan meminumnya wajib menafkahinya.’” [3] [Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]

Ayat Riba Dan Penjelasanya A. Pengertian Riba Di dalam bahasa Arab, bahwa lafadz “Riba” itu bisa mengandung ma’na tambahan secara mutlaq atau bahwa Riba secara bahasa bermakna : Ziyadah / tambahan. dalam pengertian lain secara linguistik, riba juga berarti Tumbuh dam membesar. Adapun menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil.[1] Ada beberapa pendapat dalam menjelasakan riba, namun secara umum yang menegaskan bahwa riba adalah pengambin tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan prisip muamalah dalam Islam. Dalam al-Qur’an ditemukan kata riba sebanyak delapan kali dalam empat surat,diantaranya yaitu 30:39, 4:160, 3:130 dan juga dalam ayat yang lainya. Tiga diantarannya turun setelah Nabi Hijrah dan satu ayat lagi ketika beliau masih di Makkah. Yang di Makkah walaupun menggunakan kata riba 30:39, ulama sepakat bahwa riba yang dimaksud di sana bukan riba yang haram karena ia diartikan sebagai pemberian hadiah, yang bermotif memperoleh imbalan banyak dalam kesempatan yang lain.[2] B. Riba (Berupa Zakat) a. Surat Ar-Ruum ayat 39

‫ّللاِ َو َما آت َ ْيت ُ ْم ِم ْن زَ َكاة‬ َّ ‫اس فَ َال يَ ْربُو ِع ْن َد‬ ِ َّ‫َو َما آت َ ْيت ُ ْم ِم ْن ِربًا ِليَ ْربُ َو فِي أ َ ْم َوا ِل الن‬ ِ َّ َ‫ت ُ ِريدُونَ َو ْجه‬ )39 : ‫ض ِعفُونَ (الروم‬ ْ ‫ّللا فَأُولَئِ َك ُه ُم ْال ُم‬ Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).

Pada ayat ini dijelaskan bahwasanya Allah SWT membenci riba dan perbuatan riba tersebut tidaklah mendapatkan pahala di sisi Allah SWT. Pada ayat ini tidak ada petunjuk Allah SWT yang mengatakan bahwasanya riba itu haram. Artinya bahwa ayat ini hanya berupa peringatan untuk tidak melakukan hal yang negatif.[3]

b. Penjelasan Ayat Dalam ayat Al-Qur’an yang telah diutarakan di atas para Ulama Mufasirin atau Ahli Tafsir dalam mentafsiri Ayat Al-Qur’an terdapat berbagai pemahaman yang berbeda-beda. Dalam ayat yang pertama Surat Ar-Ruum ayat 39 dalam Kitab tafsir Jalalain, menafsiri bahwa Lafadz “‫”و َما آت َ ْيت ُ ْم مِ ْن ِربًا‬yakni umpamanya َ sesuatu yang diberikan atau dihadiahkan kepada orang lain supaya dari apa yang telah diberikan orang lain memberikan kepadanya basalan yang lebih banyak dari apa yang telah ia berikan, pengertian sesuatu dalam ayat ini dinamakan tambahan yang dimaksudkan dalam masalah muamalah. Kemudian dilanjutkan lafadz “ ‫ “ ِليَ ْرب َُو‬yakni orang-orang yang memberi itu, mendapatkan balasan yang bertambah banyak, dari ِ َّ ‫ “ فَ َال يَ ْربُو ِع ْن َد‬yang terdapat penjelasana yakni riba itu sesuatu hadiah yang telah diberikan.sedangkan “ ‫ّللا‬ tidak menambah banyak inda Allah atau disisi Allah dalam arti tidak ada pahalanya bagi orang-orang yang memberikannya.‫ ألح‬... ِ‫ّللا‬ َّ َ‫ َو َما آت َ ْيت ُ ْم مِ ْن زَ كَاة ت ُ ِريدُونَ َو ْجه‬ini bahwa orang-orang yang melakukan sedekah sematamata karena Allah, untuk mendapatkan keridhoaan-Nya inilah yang akan mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari Allah, sesuai dengan apa yang mereka kehendaki. Di dalam ungkapan ini terkandung makna sindiran bagi orang-orang yang diajak bicara atau mukhathabin”.[4] Dalam uraian di atas dalam kami simpulkan bahwa : 1. Riba di dalam Muamalah yang tidak akan mendadikan tambah di sisi Allah atau Inda Allah. 2. Tidak mendapat pahala orang yang melakukan riba atau tambahan. 3. Anggapan salah yang ditolak, bahwa pinjaman riba yang pada diri orang yang memberi hadiah, seolah-olah menolong mereka yang membutuhkannya dan juga melakukan suatu perbuatan untuk mendekatitakarrub kepada Allah. 4. Shodaqoh merupakan perkara yang dilipat-lipat gandakan oleh Allah kepada orang yang bersedekah. 5. Ayat yang bersifat peringatan untuk tidak melakukan hal yang negatif atau perkara yang dilarang oleh Allah. 6. Ayat ini tidak ada petunjuk Allah SWT yang mengatakan bahwasanya“riba itu haram”. C. Larangan Untuk Melakukan Riba (Perbuatan Jelek) a. al-Baqarah ayat 287

:‫الربَا ِإ ْن ُك ْنت ُ ْم ُمؤْ ِمنِينَ )البقرة‬ ِّ ِ َ‫ي ِمن‬ َ َّ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا اتَّقُوا‬ َ ‫ّللا َو َذ ُروا َما بَ ِق‬ (٢٧٨ Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.

b. Sebab Turun Ayat

Ibnu Abbas berkata “Suatu ketika, bani mughirah mengadu kepada gubernur makkah, Attab bin Usaid bahwa mereka menghutangkan hartanya kepada bani Amr bin Auf dari penduduk Tsaqif. Kemudin,

bani Amr bin Auf meminta penylesaian tagihan riba mereka. Atas konflik ini, Atab mengirim surat laporan kepada Rasulullah. Sebagai jawaban, turunlah ayat ini”(HR. Abu Ya’la dan Ibnu Mandah)[5] c. Penjelasan Ayat Ayat ini adalah sebuah perintah, tetapi perintahnya adalah untuk meninggalkan. Di dalam ushul fiqih larangan terhadap sesuatu adalah berarti perintah untuk berhenti mengerjakan sesuatu tersebut. Dalam hal ini larangan untuk mengerjakan riba berarti perintah untuk berhenti mengerjakan riba. Hukum asal setiap larangan adalah untuk pengharaman.[6] Di dalam Hadits bahkan ada beberapa orang yang dengan orang yang bertransaksi riba ini akan mendapat laknat dari Allah SWT, yaitu:

terkait

‫ أكل الربا‬: ‫ لعن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬: ‫عن جابر رضى هللا عنه قال‬ )‫ هم سوء (رواه مسلم‬: ‫وموكلها وكاتبها وشاهديه وقال‬ Dari Jabir r.a berkata: Rasulullah SAW melaknat pemakan riba, orang yang mewakili riba, penulis riba, dan 2 orang yang menjadi saksi dari transaksi riba, beliau bersabda: mereka adalah sama.

Ada pendapat yang mengatakan bahwa keharaman riba adalah jika dilakukan dengan berlipat ganda sebagaimana ayat di atas yang menyebutkan larangan untuk tidak memakan riba dengan berlipat ganda. Menjawab hal tersebut bahwa sesungguhnya lafadz ‫ضعَافًا‬ ْ َ‫أ‬ ً‫عفَة‬ َ ‫ضا‬ َ ‫ ُم‬adalah bukan menunjukkan bahwa larangan ini berlaku hanya kepada riba yang diambil dengan berlipat ganda, akan tetapi ayat ini hanya menggambarkan bahwa keadaan ketika ayat tersebut diturunkan bahwa masyarakat Arab ketika itu benar-benar melakukan perbuatan tercela dengan mengambil riba yang berlipat ganda. Turunnya ayat ini adalah fase ketika dari turunnya larangan riba yang secara bertahap. Artinya larangan sampai fase yang ketiga ini hanya bersifat larangan terbatas (juz’i), akan tetapi selanjutnya setelah turun ayat untuk fase keempat secara jelas disebutkan bahwa riba itu secara keseluruhan adalah haram. Haramnya riba adalah baik untuk yang sedikit maupun untuk yang banyak, baik yang mengambil keuntungan dengan riba itu yang berlipat ganda maupun yang tidak berlipat ganda. Seperti pengharaman khomar, bahwa khomar sedikit maupun banyaknya adalah haram, demikian juga dengan riba. Seperti khomar yang merupakan salah satu budaya dari masyarakat Arab ketika itu, ribapun termasuk bagian dari budaya masyarakat Arab yang sangat kuat, oleh karena itu Allah SWT dalam pengharaman riba menurunkannya secara bertahap sama seperti pengharaman khomar yang juga bertahap. Ada satu kaedah fiqh yang terkait dengan hukum riba, yaitu :

‫اذا اتحد الجنسان حرم الزيادة والنساء واذا اختلف الجنسان حل التفاضل دون‬ ‫النساء‬

Jika sama bentuk kedua barang maka haram (riba fadl dan nasi’ah) dan jika berbeda bentuk kedua barang maka boleh lebih nilai satu dengan yang lain tetapi tetap haram riba nasiah.[7]

Dalam kaedah ini dijelaskan bahwa riba yang sama haram untuk berbeda, antara gandum dengan gandum haram untuk ditukar dalam jumlah yang berbeda. Selanjutnyaapakah transaksi ribawi akan merusak akad/ perjanjian jual-beli? Berdasarkan kaedah ushul fiqih terdapat perbedaan di kalangan ulama, yaitu: Bahwasanya larangan terhadap perkara muamalah akan menyebabkan rusaknya aqad muamalah tersebut. Artinya akad jual beli bisa batal ketika jual beli tersebut menggunakan transaksi riba di dalamnya. ‫النهى يضتضى الفساد فى المنهى عنه فى المعامالت‬ D. Perintah Menjauhi Riba a. Ali Imron ayat 130

‫ّللا لَعَلَّ ُك ْم‬ ْ َ ‫الربَا أ‬ ِّ ِ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا َال تَأ ْ ُكلُوا‬ َ ‫ضعَافًا ُم‬ َ َّ ‫ضا َعفَةً َواتَّقُوا‬ (١٣٠ :‫ت ُ ْف ِل ُحون )آلعمران‬ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.

b. Sebab Turunya Ayat Menurut Mujahid, orang Arab terbiasa melakukan transaksi jual-beli dengan jangka waktu (kredit). Jika waktu pembayaran tiba, mereka ingkar dan tidak mau membayar. Dengan demikian, bertambah besar bunganya, dan semakin pula bertambah jangka waktu pembayaran. Atas praktik tersebut, Allah menurunkan ayat tersebut (HR. Faryabi)[8] c. Penjelasan Ayat Di dalam Surat Ali Imron ayat 130 ahli Tafsir menjelaskan bahwa lafadz ‫ يَا أَيُّ َها ا َّلذِينَ آ َمنُوا‬ini yang dimaksud adalah kaum Sakif atau golongan manusia dari bani Sakif, kemudian lafadz ‫ضعَافًا‬ ْ َ ‫الربَاأ‬ ِّ ِ ‫ َال ت َأ ْ ُكلُوا‬ini yang dimaksud adalah di dalam harta dirham yang berlebihan, disusul lagi lafadz sebagai penguwat yaitu ً‫عفَة‬ َ ‫ضا‬ َ ‫ ُم‬ini maksudnya adala ‫ االجل‬misi atau tujuan, kemudian dilanjutkan lagi dengan kata ‫َواتَّقُوا‬ َّ takutlah kamu semua orang Iman kepada Allah di dalam memakan sesuatu yang mengandung َ‫ّللا‬ Riba. َ‫ لَ َعلَّ ُك ْم ت ُ ْف ِلحُون‬ini dengan maksud supanya kamu semua mendapatkan keselamatan dari murka seksaan Allah.[9] Dalam Tafsir di atas dalam Surat Ali Imron ayat 130 ini penulis simpulkan bahwa : a. yang diperingatkan dalam ayat ini adalah Golongan Saqif, umumnya Ummat Mamusia beragama Islam, b. Peringatan untuk menjahui makan Riba.

c. Takutlah kepada Allah dalam makan harta Riba, dengan harapan tidak mendapat murka dan Seksa dari Allah; Surat Al Baqarah Ayat 275 – 276 bahwa : ‫ الزيادة والنمو‬: ‫الربا‬ Riba adalah sesuatu yang biasa dilakukan manusia Arab pada masa Jahiliyah, seseorang berjual beli dengan orang lain dalam tempo waktu tertentu, setelah datang temponya orang tersebut akan menagih ketika tagihan tidak bisa dilunasi makaorang tersebut akan melipatgandakan pokok hartanya.[10] ‫الربَا‬ ِّ ِ َ‫يَأ ْ ُكلُون‬ Arti makan di sini adalah bermuamalah atau bertransaksi, disebutkan dengan kata makan karena pada umumnya kebanyakan tujuan kepemilikan harta adalah untuk dimakan.[11] َ‫َال يَقُو ُمون‬ Maksudnya dibangkitkan dari kubur pada hari kiamat nanti. Hal ini juga seperti bacaan Abdullah bin Mas’ud yang menambahkan kata hari kiamat [12]. pada kalimat: ‫َال يَقُو ُمونَ إِ َّال َك َما يَقُو ُم‬ ُ َّ‫يَت َ َخب‬ َ ‫ش ْي‬ َّ ‫طهُ ال‬ ‫س‬ ِّ ِ ‫طانُ مِ نَ ْال َم‬ Maksudnya berdiri tidak seimbang seperti orang gila . ٌ ‫ظة‬ َ ‫َم ْو ِع‬ Maksudnya peringatan untuk kebaikan. Yang dimaksud disini adalah larangan untuk meninggalkan riba.[13] Secara ringkas bahwa Ibnu Kasir menafsiri Surat Al-Baqarah ayat yang ke 275, yakni: bahwa orang yang memakan riba maka ketika mereka bangkit dari kuburannya pada hari kiamat melainkan seperti berdirinya orang gila pada saat dia mengamuk dan kesurupan Setan. III. Kesimpulan Riba secara bahasa bermakna : Ziyadah / tambahan. dalam pengertian lain secara linguistik, riba juga berarti Tumbuh dam membesar. Dalam al-Qur’an ditemukan kata riba sebanyak delapan kali dalam empat surat,diantaranya yaitu 30:39, 4:160, 3:130 dan juga dalam ayat yang lainya. Dalam ayat Al-Qur’an yang telah diutarakan di atas para Ulama Mufasirin atau Ahli Tafsir dalam mentafsiri Ayat Al-Qur’an terdapat berbagai pemahaman yang berbeda-beda. Dalam ayat yang pertama Surat Ar-Ruum ayat 39 dalam Kitab tafsir Jalalain, bahwa orang-orang yang melakukan sedekah sematamata karena Allah, untuk mendapatkan keridhoaan-Nya inilah yang akan mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari Allah, sesuai dengan apa yang mereka kehendaki. Di dalam ungkapan ini terkandung makna sindiran bagi orang-orang yang diajak bicara atau mukhathabin

Daftar Pustaka Abdurrahman , Ibnu Sayidi. al-Jawahir al-Hisan fi Tafsir al-Quran, Libanon. Dar al-Kutub al-Ilmiyah. Bairut, tth. Antoni , Muhammad Syafi’I. Bank Syariah Dari Teori ke Praktik. Depok Gema Insani. Cet. IV. 2009. Asuyuti, Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Mahali dan Jalajuddin Abdurrahman bin Abu Bakar. Tafsir Jalalain, al-Haramain Jaya Indonesia, 2008. Baghwi, (al). Ma’alim Tanzil fi al-Tafsir wa al-Takwil, Bairut: Dar-el-Fikr 1989. Bik, Muhammad Hudri. UshuL Fiqh, Beirut: Dar al-Fikr. 1988. Departemen agama RI, Al-Qur’an Tafsir Per Kata Tajwid, (Kalim, Pondok Karya Permai, Banten, tth). Hlm 48 Manzhur (al),Ibnu. Lisan al-Arab. Beirut: Dar-al-Fikr, 1990 Shihab, Quraish. Wawasan Al-Qur’an : Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Uma,Mizan, Bandung. Cet. I. Tth. Shobuni (as), Muhammad Ali. Tafsir Ayat Ahkam. Jilid.1Beirut: Dar al-Fikr, tth. Zadi, Ibn Thohir bin Ya’kub Al-Fauruzi. Tanwirul Al Miqbaas min Tafsir Ibn Abbas, Dar Al-Fikr, tth.

[1] Muhammad Syafi’I Antoni, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik. (Depok Gema Insani. Cet. IV. 2009). hlm. 37 [2] Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an : Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat. Mizan. Bandung. Cet. I. hlm. 545. [3] Muhammad Ali as-Shobuni. Tafsir Ayat Ahkam. (Beirut: Dar al-Fikr). Jilid.1, hal.390 [4] Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Mahali dan Jalajuddin Abdurrahman bin Abu Bakar Asuyuti, Tafsir Jalalain, (alHaramain Jaya Indonesia, cet 6, 2008).hlm. 295. [5] Departemen agama RI, Al-Qur’an Tafsir Per Kata Tajwid, (Kalim, Pondok Karya Permai, Banten, tth). Hlm 48 [6] Muhammad Hudri Bik. UshuL Fiqh. (Beirut: Dar al-Fikr. 1988) hal.199. [7] Muhammad Ali as-Shobuni, Tafsir Ayat Ahkam, hal. 392 [8] Departemen agama RI, Al-Qur’an Tafsir Per Kata Tajwid, (Kalim, Pondok Karya Permai, Banten, tth). Hlm 48 [9] Ibn Thohir bin Ya’kub Al-Fauruzi zadi, Tanwirul Al Miqbaas min Tafsir Ibn Abbas, (Dar Al-Fikr, tth).hlm. 56

[10]Ibnu al-Manzhur. Lisan al-Arab. (Beirut: Dar al-Fikr. 1990) hal. 304 [11]Al-Baghwi. Ma’alim Tanzil fi al-Tafsir wa al-Takwil. (Bairut: Dar el-Fikr. Juz.1. 1989). Jild. 14 hal. 397 [12] Ibnu Sayidi Abdurrahman. al-Jawahir al-Hisan fi Tafsir al-Quran. (Libanon. Dar al-Kutub al-Ilmiyah.

Bairut, tth). Juz.1 hal. 216. [13] Muhammad Ali as-Shobuni, Tafsir Ayat Ahkam, hal. 383

Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook

Related Posts:



sejarah dan sirah nabawiyahsejarah dan sirah nabawiyah Hasnan Adib Avivi Sejarah Kata sejarah secara harafiah berasal dari kata Arab (‫شجرة‬: syajaratun) yang artinya po… Read More



Sejarah Singkat Orientalismev\:* {behavior:url(#default#VML);} o\:* {behavior:url(#default#VML);} w\:* {behavior:url(#default#VML);} .shape {behavior:url(#default#VML);} N… Read More



Tafsir al-Iklil Karya KH. Misbah MustofaTafsir al-Iklil Karya KH. Misbah Mustofa (alPendahuluan Al-Qur’an sebagai kit… Read More

Iqlil Fi Ma’ani at-Tanzil) Oleh : Hasnan Adip Avivi I.



Matahari Dalam Perspektif al-Qur’an Dan SainsMatahari Dalam Perspektif al-Qur’an Dan Sains Oleh: Hasnan Adip Avivi, I. n… Read More



Pendahuluan Segala puji bagi Allah yang telah melimpahkan

Mencari Ilmu Dan Penjelasan Dalam Perspektif HadisMencari Ilmu Dan Penjelasan Dalam Perspektif Hadis Makalah Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Ma’ani alHadis … Read More ← Posting Lebih BaruPosting Lama →Beranda

2 komentar: Poskan Komentar

Search

  

Terbaik Tags Blog Archives



TOLONG MENOLONG (TA’AWUN) MENURUT PANDANGAN AL-QUR’AN TOLONG MENOLONG (TA’AWUN) MENURUT PANDANGAN AL-QUR’AN Oleh: Hasnan Adip Avivi I. Pendahuluan Sikap tolong menolong ad...



Ayat Riba Dan Penjelasanya by. Hasnan Adib Ayat Riba Dan Penjelasanya I. penggalian dan pengembangan ajaran ...

Pendahuluan Al-Qur’an merupakan sumber



Matahari Dalam Perspektif al-Qur’an Dan Sains Matahari Dalam Perspektif al-Qur’an Dan Sains Oleh: Hasnan Adip Avivi, I. bagi Allah yang telah ...



Melamar dan Hukum Melihat Calon Pasangan

Pendahuluan Segala puji

Melamar dan Hukum Melihat Calon Pasangan Oleh: Hasnan Adib Avivi I. Perkawinan sama sekali tidak memb...

Pendahuluan Dalam UU



Mencari Ilmu Dan Penjelasan Dalam Perspektif Hadis Mencari Ilmu Dan Penjelasan Dalam Perspektif Hadis M akalah Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Ma’ani al-Ha...



ilmu Ma'ani By, Hasnan Adib Avivi ilmu Ma'ani Ilmu ini berkembang melalui para ulama pakar bahasa dan nahwu, baik yang mengikut mazhab u...



Tokoh Dan Pemikiran Oksidentalis Tokoh Dan Pemikiran Oksidentalis Secara Komperhensif Oleh : Hasnan Adip Avivi I. Oksidentalisme merupakan...

Pendahuluan



TAFSIR ATH-THABARI TAFSIR ATH-THABARI oleh : Hasnan Adip Avivi A. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Al-Qur’an sebagai kitab suci dan pedoman ...



sejarah dan sirah nabawiyah sejarah dan sirah nabawiyah Hasnan Adib Avivi Sejarah Kata sejarah secara harafiah berasal dari kata Arab ( ‫ شجرة‬: sy...



Tafsir al-Iklil Karya KH. Misbah Mustofa Tafsir al-Iklil Karya KH. Misbah Mustofa (al-Iqlil Fi Ma’ani at-Tanzil) Oleh : Hasnan Adip Avivi I. Pendahuluan Al-Qu...

World RSS U.S. RSS

VIDEO WIDGET 

Home



Blog



About



Portfolio



Contact



Resource Science RSS Entertainment RSS Business RSS RSS

Technology 

Beranda Diberdayakan oleh Blogger.

MENGENAI SAYA

CAH NDESO LIHAT PROFIL LENGKAPKU

Sports RSS

ARSIP BLOG  ▼ 2015 (18) o ► Oktober (1) o ► Agustus (1) o ► Juni (1) o ► Mei (3) o ► April (1) o ► Maret (1) o ► Februari (1) o ▼ Januari (9)  Fakhruddin Ar-Razi  TAFSIR ATH-THABARI  Takhrij Hadits Arba’in Nawawi No 8  ULUM AL-QUR'AN "FAWATIH AL-SUWARI"  Tokoh Dan Pemikiran Oksidentalis  TOLONG MENOLONG (TA’AWUN) MENURUT PANDANGAN AL-QU...  Melamar dan Hukum Melihat Calon Pasangan  Ayat Riba Dan Penjelasanya  ilmu Ma'ani  ► 2014 (3)

RECENT POSTS



sejarah

dan

sirah

nabawiyah

...



Mencari

Ilmu

Dan

Penjelasan

Dalam

Perspektif

Hadis

...



...



Tafsir

al-Iklil

Karya

KH.

Misbah

Mustofa

...



Matahari ...

TEXT WIDGET DOWNLOAD 

NAMA LINK



NAMA LINK



NAMA LINK



NAMA LINK



NAMA LINK

BLOG ARCHIVE  ▼ 2015 (18) o ► Oktober (1) o ► Agustus (1) o ► Juni (1) o ► Mei (3) o ► April (1) o ► Maret (1)

Dalam

Perspektif

al-Qur’an

Dan

Sains

o ► Februari (1) o ▼ Januari (9)  Fakhruddin Ar-Razi  TAFSIR ATH-THABARI  Takhrij Hadits Arba’in Nawawi No 8  ULUM AL-QUR'AN "FAWATIH AL-SUWARI"  Tokoh Dan Pemikiran Oksidentalis  TOLONG MENOLONG (TA’AWUN) MENURUT PANDANGAN AL-QU...  Melamar dan Hukum Melihat Calon Pasangan  Ayat Riba Dan Penjelasanya  ilmu Ma'ani  ► 2014 (3)

Telah menjadi Sunnatullah bahwa manusia harus bermasyarakat, tunjang menunjang, topang menopang,dan bertolong-tolongan antara satu dengan yang lainnya. Sebagai makhluk sosial, manusia menerima dan memberikan andilnya kepada orang lain, saling bermu’amalah untuk memenuhi hajat hidup dan mencapai kemajuan dalam hidupnya. Kenyataan ini tak dapat dipungkiri yang lebih jauh diterangkan dalam pengetahuan sosiologi, tidak ada alternatif lain bagi manusia normal, kecuali menyesuaikan diri dengan peraturan Allah (sunatullah) tersebut dan bagi siapa yang menentangnya dengan cara memencilkan diri, niscaya kan terkena sangsi berupa kemunduran, penderitaan, kemelaratan, dan malapetaka dalam kehidupan ini[1]. Bentuk-bentuk perdagangan/perniagaan seperti jual beli, tukar menukar [barter], Gaji-menggaji, Sewa-menyewa, Impor ekspor, Upah mengupah, dan semua yang menimbulkan peredaran harta benda[2]. Penjelasan 1. Larangan Makan Harta Dengan Cara Batil “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. QS. AnNisa’:29 Batil artinya menurut jalan yang salah[3]. Bentuk-bentuk harta yang batil itu dalam perdagangan adalah, seperti: a. Korupsi b. Tidak sesuainya mutu barang dagangan dengan harga penjualan yang tinggi, sehingga merugikan sipembeli c. Mengurangi mutu barang dengan harga barang yang mutunya bagus. d. Dll

Dalam lanjutan ayat “dan janganlah kamu membunuh diri-diri kamu”. Diantara harta dengan diri atau jiwa dengan diri atau jiwa, tidak dapat dipisahkan, karna orang yang mencari harta adalah untuk melanjutkan hidupnya didunia ini. Oleh karena itu, selain kemakmuran harta benda hendaklah terdapat kemakmuran atau ketenangan jiwa. Di samping menjauhkan diri dari memakan harta dengan cara batil, janganlah terjadi pembunuhan, tegasnya jangan membunuh karna sesuap nasi[4]. Sesungguhnya Allah amat sayang kepadamu, karena itulah Allah menyuruh mengatur dalam mencari harta dengan cara baik[5], dan Allah melarang membunuh diri kamu baik orang lain apalagi diri kamu sendiri. Apabila kamu tidak mengikuti peraturan yang sudah dijelaskan Allah, masyarakatmu akan kacau, rampok merampok, serta kecurangan akan terjadi. Tuhan sayang kepadamu, tuhan tidak senang kamu kacau[6]. 2. Orang-Orang Yang Dapat Pancaran Nur Ilahi QS. An-Nur (24):37 ”Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. QS. AnNur(24):37 Ayat ini adalah dalam konteks penjelasan tentang sifat-sifat orang mukmin yang menjadikan mereka wajar menerima petunjuk menuju cahaya itu[7].disini dalam konteks tijarah dan buyu’. Thabatthaba’I berpendapat bahwa kata tijarah, jika diperhadapkan dengan kata ba’I maka iya berarti kesinambungan dalam upaya dalam mencari rezki dengan jalan jual beli, sedangkan bai’ adalah upaya jual beli yang menghasilkan keuntungasn ril yang sifatnya langsung. Penggalan ayat ini bagaikan menyatakan bahwa manusia-manusia itu tidak pernah lengah dari mengingat Allah sepanjang mereka bersinambungan guna mencari keuntungan. Ibn ‘Asyur memahami kata tijarah dalam arti mendatangkan barang untuk memperoleh keuntungan dengan jalan menjualnya, sedangkan bai’ adalah menjual sesuatu karena kebutuhan akan harganya. Dalam surat an-Nur: 37 ini Allah menginformasikan bahwa orang yang mendapat pancaran Nur Ilahi itu adalah orang yang tidak dilengahkan oleh tijarah, mereka selalu mengingat Allah, dan tidak pernah lupa atau lalai sepanjang upaya mereka yang bersinambungan guna mencari keuntungan (tijarah).disaatsaat mereka melakukan jual beli dan meraih keuntungan (bai’), merekapun tidak lupa shalat pada saat-saat tertentu itu[8]. 3. Hukum Riba. Al-Baqarah (2):275 “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orangorang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan);

dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”. Al-Baqarah (2):275 Surat Al-Baqarah 275 adalah surat yang terakhir yang diterima Rasulullah SAW yang berbicara tentang riba yang dimulai oleh ayat 275. umar ibn Khatab berkata, bahwa Rasulullah SAW wafat sebelum sempat menafsirkan maknanya, yakni secara tuntas[9]. Riba menurut bahasa berarti alZiyaadadah (bertambah). Roza linda M.Ag dalam bukunya “Fiqh Mu’amalah dan aplikasinya dalam perbankan syari’ah” menyimpulkan bahwa riba merupakan kelebihan/Tambahan pembayaran tanpa ada ganti, yang disyaratkan bagi salah seorang dari dua orang yang berakad[10]. Hukuman bagi yang memakan / bertransaksi dengan riba baik dalam bentuk memberi ataupun mengambil, adalah tidak dapat berdiri, yakni melakukan aktifitas, melainkan seperti berdirinya orang yang dibingungkan oleh syatan sehingga ia tak tahu arah disebabkan oleh sentuhannya. Menurut banyak ulama hukuman ini terjadi dikemudian hari, yakni mereka dibangkitkan dari kubur dalam keadaan sempoyongan, tidak tahu arah mana yang harus mereka tuju. Sebenarnya _kata Quraish Shihab_ tidak tertutup kemungkinan memahaminya sekarang dalam kehidupan dunia. Mereka yang mempraktekkan riba, hidup dalam situasi gelisah, tidak tentram, selalu bingung dan berada dalam ketidak pastian, disebabkan karena pikiran mereka yang tertuju kepada materi dan penambahannya. Orang tersebut_yang memakan riba_telah disentuh oleh setan sehingga bingun tidak tahu arah[11]. 4. Kesaksian dalam Mu’amalah QS. Al-Baqarah(2): 282 “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah mu`amalahmu itu), kecuali jika mu`amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” QS. Al-Baqarah(2): 282 Ayat ini yang terpanjang dalam Al-Qur’an dan dikenal oleh ulama dengan ayat al-Madayanah (ayat utang piutang). Larangan mengambil keuntungan melalui riba dan perintah sedekah, dapat menimbulkan kesan bahwa al-Qur’an tidak bersimpati terhadap orang-orang yang memiliki harta atau yang

mengumpulkan nya, kesan keliru itu dihapus melalui ayat ini, yang intinya memerintahkan memelihara harta dengan menulis hutang piutang walau sedikit, serta mempersaksikannya[12]. a.

Perintah menulis

Perintah menulis dapat mencakup perintah kepada kedua orang yang bertransaksi, dalam arti salah seorang menulis, dan apa yang ditulisnya diserahkan kepada mitranya jika mitra pandai tulis baca, dan apabila tidak pandai atau keduanya tidak pandai maka mereka hendaknya mencari orang ke tiga sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah: 283[13]. Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menulisnya dengan adal, artinya tidak menyalahi ketentuan Allah dan perundang-undangan yang berlaku dalam masyarakat. Dibutuhkan tiga kriteria bagi penulis: 1. kemampuan menulis 2. Pengetahuan tentang aturan, serta tata cara menulis perjanjian. Dan 3. Jujur[14]. b. Saksi Setelah menjelaskan tentang penulisan, maka dilanjutkan dengan menyangkut persaksikan , dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantara kamu. Kata yang digunakan ayat ini adalah syahidayn artinya benar-benar wajar serta telah dikenal kejujuran sebagai saksi, dan telah berulang-ulang melaksanakan tugas tersebut[15]. Sebagaimana Allah berpesan kepada para penulis pun pada saksi, “Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil” karena keengganannya dapat mengakibatkan hilangnya hak atau terjadi korban[16]. Penulisan hutang piutang dan persaksian yang dibicarakan itu lebih adil disisi Allah, yakni dalam pengetahuannya dan dalam kenyaqtaan hidup,dan lebih dapat menguatkan persaksian, yakni lebih membantu penegakan persaksian, serta lebih dekat kepada tudak, menimbulkan keraguan diantara kamu[17]. b. Gada “ Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu`amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. Al-Baqarah(2): 283 Dalam ayat ini dijelaskan Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu`amalah tidak secara tunai) dan bermu’amalah tidak secara tunai, sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang) atau disebut juga gadai

Dari segi bahasa gadai diambil dari pemahaman bahasa arab yaitu Rahn artinya tetap dan lestari, secara syara’ ia berarti menjadikan barang yang yangng mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ saebagai jaminan hutang, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil hutang atu dia bisa mengambilsebagian( manfaat) barangnya itu[18]. Dalam ayat ini menjelaskan jaminan bukan berbentuk tulisan atau saksi lagi, tetapi kepercayaan atau amanah timbul balik. Hutang diterima oleh piutang, dan barang jaminan diserahkan kepada pemberi hutang[19]. 4. Al-Taubah (9) 24: Larangan Mencintai Harta Melebihi Dari Pada Mencintai Allh Dan Rasulnya “Katakanlah: "Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik”. (Qs. Al-Taubah (9): 24) Ayat ini bukan berarti melarang mencintai harta benda karna ini bertentangan dengan naluri manusia sebagaimana yang telah dijelaskan dan dibenarkan oleh Al-Qur’an antara lain, Qs. Ali Imran (3): 14 “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga).” Qs. Ali Imran (3): 14 Ayat ini hanya mengingatkan jangan sampai kecintaan kepada harta melampai batas melebihi kecintaannya terhadap Allah dan rasulnya[20]. Kata yang dipakai dalam Qs. Al-Taubah (9) 24, Ahabba (lebih kamu cintai), mengisyaratkan memang kecintaan kepada sesuatudiukur ketika seseorang dihadapkan kepada duahal atau lebi yang harus dipilih salah satunya, dalam konteks ini jika kenikmatan duniawi disandingkan dengan nilai-nilai Ilahi, lalu harus dipilih salahsatunya maka cinta yang lebih besar akan terlihat saat mmenjatuhkan pilihan. Al-Muthaffifin (83): 1-3: Ancaman Terhadap Orang-Orang Yang Curang Dalam Menakar Dan Menimbang. “(1)Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang,(2) (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi,(3) dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.”Qs. Al-Muthaffifin (83): 1-3 Kata Wail pada mulanya digunakan oleh pemakai bahasa Arab sebagai do’a jatuhnya siksa. Tetapi Al-Qur’an menggunakannya dalam arti ancaman jatuhnya siksa, atau dalm arti satu lembah yang sangat curam di neraka.

Kata al-Muthaffifin terambil dari kata thaff /meloncati. Bisa juga kata tersebut teambil dari kata ath-thafaf yakni bertengkar dalm penakaran dan penimbangan akibat adanya kecurangan. Atau dari kata thafif yaitu sesuatu yang remeh. Kecelakaan, kekurangan dan kerugian akan dialami oleh yang melakukan kecurangan dalam interaksi ini. Itu dapat dirasakan oleh pelaku perdagangan. Siapa yang dikenal curang dalam penimbangan, maka pada akhirnya yang bersedia berinteraksi dengannya hanyalah yang orang-orang yqang melanjutkan hubungan dengannya, dan ini adalah pangkal kecelakaan dan kerugian duniawi. Adapun kecelakaan di akhirat, maka ini akan sangat jelas apalagi dosa tersebut berkaitan dengan hak manusia yang bisa saja di hari kemudian nanti, menuntut agar amal –amal kebajikan yang boleh jadi pernah dilakukan oleh yang mencuanginya itu, diberikan diberikan kepadanya sebagai ganti dari kecurangan mya itu. Ayat yang ke 2 diatas hanya menyebut menerima takaran sedangkan ayat 3 menyebut mengukur dan menimbang. Ayat diatas merupakan ancaman kepada semua pihak agar tidak melakukan kecurangan dalampenimbangan dan pengukuran, termasuk melakukan standar ganda. Perlakuan semacam ini bukansaja kecurangan, tetapi juga pencurian dan bukti kebejatan hati pelakunya.

Ternyata Alquran Telah Mengatur Masalah Ekonomi Jun 14, 2011 Artikel, Rezeki, Umum 0

‫ضيتُ لَ ُك ُم اْ ِإل ْسالَ َم دِينًا‬ ِ ‫ع َل ْي ُك ْم نِ ْع َمتِي َو َر‬ َ ُ‫ْاليَ ْو َم أ َ ْك َم ْلتُ َل ُك ْم دِينَ ُك ْم َوأَتْ َم ْمت‬ “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agamamu.” (Q.S. Al-Maidah (5): 3) Di dalam ayat ini Allah telah menjelaskan bahwa Dia telah menyempurnakan agama kita untuk kita. Maka, agama ini tidak akan kurang selama-lamanya, dan tidak butuh tambahan selama-lamanya. Ayat yang mulia ini merupakan nash (teks) yang nyata, bahwa agama Islam tidaklah meninggalkan sesuatupun yang dibutuhkan oleh manusia di dunia dan di akhirat, kecuali agama ini telah menerangkannya dan telah menjelaskannya, apa saja perkara itu. Di antara masalah besar yang dijelaskan oleh Islam dan merupakan topik pembicaraan dunia adalah masalah ekonomi. Berikut ini kami hadirkan sebuah tulisan menarik berjudul Alquran Mengatur Masalah Ekonomi yang diterjemahkan dari salah satu sub tema sebuah buku berjudul ‫( ا َ ِإل ْسالَ ُم ِديْنٌ َكامِ ٌل‬Islam Agama yang Sempurna) karya seorang ulama besar Islam, Syaikh Muhammad Al-Amin bin Muhammad Al-Mukhtar AsySyanqithi. Semoga bermanfaat. (Redaksi PengusahaMuslim.com) ______________________ Alquran Mengatur Masalah Ekonomi Alquran telah menjelaskan prinsip-prinsip ekonomi yang semua cabang-cabang kembali kepadanya. Hal itu karena masalah-masalah ekonomi kembali kepada dua prinsip: Pertama: Kecerdasan di dalam mencari harta. Kedua: Kecerdasan di dalam membelanjakan pada tempat-tempatnya. [Jalan Mencari Harta*] Perhatikanlah bagaimana di dalam kitab-Nya, Allah membuka jalan-jalan untuk mencari harta, dengan cara-cara yang sesuai dengan kehormatan dan agama. Allah telah menerangi jalan di dalam hal tersebut. Dia berfirman, ْ ‫ض َوا ْبتَغُوا مِ ن َف‬ َ‫ِيرا لَّ َعلَّ ُك ْم ت ُ ْف ِلحُون‬ ِ َ‫ضي‬ َّ ‫ت ال‬ ً ‫ض ِل هللاِ َوا ْذ ُك ُروا هللاَ َكث‬ ِ ‫صالَة ُ فَا ْنتَش ُِروا فِي اْْل َ ْر‬ ِ ُ‫فَإِذَا ق‬ “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (Q.S. Al-Jumu’ah/62: 10).

Allah juga berfirman,

ْ َ‫ض يَ ْبتَغُونَ مِ ن ف‬ ِ‫ض ِل هللا‬ ِ ‫َو َءاخ َُرونَ يَض ِْربُونَ فِي اْْل َ ْر‬ “Ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah.” (Q.S. Al-Muzammil/73: 20). Allah juga berfirman, ‫ضالً ِمن َّر ِب ُك ْم‬ ْ َ‫علَ ْي ُك ْم ُجنَا ٌح أَن ت َ ْبتَغُوا ف‬ َ ‫ْس‬ َ ‫لَي‬ “Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Rabb-mu.” (Q.S. Al-Baqarah/2: 198). Allah juga berfirman, ‫اض ِمن ُك ْم‬ ٍ ‫عن ت ََر‬ َ ً ‫ارة‬ َ ‫إِالَّ أ َ ْن ت َ ُكونَ تِ َج‬ “Kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.” (Q.S. An-Nisa’/4: 29). Allah juga berfirman, ‫َوأ َ َح َّل هللاُ ْال َب ْي َع‬ “Dan Allah menghalalkan jual beli.” (Q.S. Al-Baqarah/2: 275). Allah juga berfirman, َ ً‫غن ِْمت ُ ْم َحالَال‬ ‫طيِبًا‬ َ ‫فَ ُكلُوا مِ َّما‬ “Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu, sebagai makanan yang halal lagi baik.” (Q.S. Al-Anfaal/8: 69). Dan (ayat-ayat) selain itu. [Metode Membelanjakan Harta] Dan perhatikanlah, bagaimana Allah memerintahkan sikap hemat di dalam membelanjakan harta, ْ ‫س‬ ِ‫ط َها ُك َّل ْالبَسْط‬ ُ ‫َوالَت َجْ َع ْل يَدَكَ َم ْغلُو َلةً ِإلَى‬ ُ ‫عنُقِكَ َوالَتَ ْب‬ “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya.” (Q.S. Al-Isra’/17: 29). ‫َوالَّذِينَ إِذَآ أَنفَقُوا لَ ْم يُس ِْرفُوا َولَ ْم يَ ْقت ُ ُروا َو َكانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَ َوا ًما‬ “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (Q.S. Al-Furqan/25: 67). ‫َو َي ْسئَلُونَكَ َماذَا يُن ِفقُونَ قُ ِل ْال َع ْف َو‬ “Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah, ‘Yang lebih dari keperluan.’” (Q.S. AlBaqarah/2: 219). Dan perhatikanlah, bagaimana Allah melarang membelanjakan harta pada perkara yang tidak halal membelanjakan harta padanya, َ‫علَ ْي ِه ْم َحس َْرة ً ث ُ َّم يُ ْغلَبُون‬ َ ُ‫سيُن ِفقُونَ َها ث ُ َّم ت َ ُكون‬ َ َ‫ف‬ “Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka dan mereka akan dikalahkan.” (Q.S. Al-Anfaal/8: 36). === Sumber: Kitab ‫( ا َ ِإل ْسالَ ُم ِديْنٌ َكامِ ٌل‬Islam Agama yang Sempurna) karya Syaikh Muhammad Al-Amin bin Muhammad Al-Mukhtar Asy-Syanqithi (1305 H – 1393 H) yang diterbitkan oleh Riyaasah Idaaratil Buhuuts Al-‘Ilmiyyah wal Ifta’, Riyadh, Kerajaan ‘Arab Saudi; Cet. 2; th. 1423 H / 2002 M. *Penambahan sub judul oleh redaksi PengusahaMuslim.com Penerjemah: Ustadz Abu Isma’il Muslim Atsari Artikel www.PengusahaMuslim.com

Related Documents

Etika Bisnis
May 2020 42
Etika Bisnis
June 2020 38
Etika Bisnis
May 2020 35
Etika Bisnis
June 2020 33
Etika Bisnis
April 2020 36

More Documents from ""

Iam Not Superhero.docx
November 2019 38
Sejarah Batik.docx
November 2019 31
Ajaibnya Sebuah Pelukan.docx
November 2019 30
Mindset.docx
November 2019 20
Fb Ads.pdf
June 2020 24