Definisi Ketuban Pecah Dini (KPD) adalah pecahnya/repturnya selaput amnion sebelum dimulainya persalinan yang sebenarnya atau pecahnya selaput amnion sebelum usia kehamilan mencapai 37 minggu dengan atau tanpa kontraksi (Hossam, 1992). Ketuban pecah dini (KPD) merupakan masalah penting dalam obstetri berkaitan dengan penyulit kelahiran prematur dan terjadinya infeksi korioamnionitis sampai sepsis, yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas perinatal dan menyebabkan infeksi ibu (Sarwono, 2008). Ketuban Pecah Dini atau bisa juga disebut dengan preterm premature rupture of membrane (PPROM) biasanya menyebabkan kelahiran prematur (sekitar ΒΌ dari semua kelahiran prematur). Bayi harus dikeluarkan secepat mungkin karena bayi tidak lagi memiliki perlindungan terhadap infeksi. Ibu yang mengalami ketuban pecah dini akan merasakan keluar cairan dari vagina secara terus menerus tanpa henti. Cairan ini berwarna bening, tidak berbau. Keluarnya cairan disertai rasa mulas di perut. Etiologi Penyebab ketuban pecah dini ini pada sebagian besar kasus tidak diketahui. Banyak penelitian yang telah dilakukan beberapa dokter menunjukkan infeksi sebagai penyebabnya. Faktor lain yang mempengaruhi adalah kondisi sosial ekonomi rendah yang berhubungan dengan rendahnya kualitas perawatan antenatal, penyakit menular seksual misalnya disebabkan oleh chlamydia trachomatis dan nescheria gonorrhea. Selain itu infeksi yang terjadi secara langsung pada selaput ketuban, fisiologi selaput amnion/ketuban yang abnormal, servik yang inkompetensia, serta trauma oleh beberapa ahli disepakati sebagai faktor predisposisi atau penyebab terjadinya ketuban pecah dini. Trauma yang didapat misalnya hubungan seksual dan pemeriksaan dalam (Sualman, 2009).
Penelitian lain di sebuah Rumah Bersalin Tiyanti, Maospati Jawa Barat, menyebutkan faktor paritas yaitu pada multipara sebesar 37,59% juga mempengaruhi terjadinya ketuban pecah dini, selain itu riwayat ketuban pecah dini sebelumnya sebesar 18,75% dan usia ibu yang lebih dari 35 tahun mengalami ketuban pecah dini (Agil, 2007). Komplikasi paling sering terjadi pada ketuban pecah dini sebelum usia kehamilan 37 minggu adalah sindrom distress pernapasan, yang terjadi pada 10-40% bayi baru lahir. Resiko infeksi meningkat pada kejadian ketuban pecah dini. Semua ibu hamil dengan ketuban pecah dini prematur sebaiknya dievaluasi untuk kemungkinan terjadinya korioamnionitis (radang pada korion dan amnion). Selain itu kejadian prolaps atau keluarnya tali pusar dapat terjadi pada ketuban pecah dini (Ayurai, 2010). Kejadian ketuban pecah dini dapat menimbulkan beberapa masalah bagi ibu maupun janin, misalnya pada ibu dapat menyebabkan infeksi puerperalis/masa nifas, dry labour/partus lama, dapat pula menimbulkan perdarahan post partum, morbiditas dan mortalitas maternal, bahkan kematian (Cunningham, 2006). Resiko kecacatan dan kematian janin juga tinggi pada kejadian ketuban pecah dini preterm. Hipoplasia paru merupakan komplikasi fatal yang terjadi pada ketuban pecah dini preterm. Kejadiannya mencapai hampir 100% apabila ketuban pecah dini preterm ini terjadi pada usia kehamilan kurang dari 23 minggu (Ayurai, 2010). Winkjosastro (2006) dalam bukunya mengatakan penatalaksanaan ketuban pecah dini tergantung pada umur kehamilan dan tanda infeksi intrauterin. Pada umumnya lebih baik untuk membawa semua pasien dengan ketuban pecah dini ke rumah sakit dan melahirkan bayi yang usia gestasinya > 37 minggu dalam 24 jam dari pecahnya ketuban untuk memperkecil resiko infeksi intrauterin.
Air ketuban pecah lebih awal bisa lebih berisiko terjadi jika terdapat beberapa hal seperti berikut:
1. Infeksi rahim, kantung ketuban, leher rahim, atau vagina. Ini adalah pemicu umum ketuban pecah dini. 2. Cedera fisik, misalnya akibat kecelakaan kendaraan bermotor atau terjatuh. 3. Rahim dan kantung ketuban yang terlalu teregang. Hal tersebut diakibatkan oleh jumlah janin dalam kandungan lebih dari satu atau volume cairan ketuban yang terlalu banyak. 4. Pernah menjalani operasi di bagian serviks. 5. Stress 6. Pernah melahirkan secara prematur. 7. Cairan ketuban terlalu banyak atau janin kembar, hingga menyebabkan ketuban terlalu besar dan lapisannya lebih tipis. 8. Merokok atau menggunakan narkoba selama masa kehamilan. 9. Menjalani operasi atau biopsi serviks. 10. Pernah mengalami ketuban pecah dini pada kehamilan sebelumnya. 11. Perdarahan vagina selama kehamilan. 12. Kelainan plasenta. 13. Posisi janin yang tidak normal di dalam rahim. 14. Indeks massa tubuh ibu hamil yang 15. Tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol.
Komplikasi Ketuban Pecah Dini Ketuban pecah dini bisa dianggap sebagai hal serius karena dapat mengakibatkan: 1. Ketika ketuban pecah, kuman dapat bermigrasi ke dalam kantung ketuban hingga menyebabkan infeksi dalam rahim. Gejalanya termasuk suhu tubuh naik, keputihan yang tidak biasa, vagina berbau yang tidak enak, denyut nadi cepat, nyeri di perut bagian bawah, dan detak jantung janin menjadi lebih cepat dari biasanya. Kondisi ini dapat menyebabkan sepsis pada bayi yang berbahaya. 2. Bayi lahir prematur.
3. Meningkatkan risiko terjadinya retensi plasenta (sebagian atau semua plasenta tertinggal di dalam rahim). Kondisi ini akan menyebabkan perdarahan postpartum, yaitu perdarahan lewat vagina dalam waktu 24 jam hingga enam minggu setelah melahirkan. 4. Volume cairan ketuban terlalu sedikit (oligohidramnion), bila ketuban pecah dini terjadi pada kehamilan usia muda. Ketika cairan ketuban hilang, tali pusat bisa terjepit di antara janin dan dinding rahim. Akibatnya, janin bisa mengalami cedera otak atau bahkan kematian. 5. Jika ketuban pecah sebelum kehamilan berusia 23 minggu, paru-paru janin kemungkinan tidak akan berkembang dengan baik dan menyebabkan janin tidak bisa bertahan hidup. Kalau janin bertahan hidup, maka kemungkinan akan mengalami cacat fisik dan mental ketika dilahirkan. Bayi juga berisiko mengalami
beberapa
masalah,
seperti
penyakit
paru-paru
kronis, hidrosefalus, cerebral palsy, dan gangguan perkembangan. 6. Solusio plasenta, yaitu terlepasnya sebagian atau seluruh plasenta dari dinding rahim sebelum proses persalinan terjadi. 7. Tali pusat janin putus.
Manifestasi Klinis Ibu biasanya datang dengan keluhan utama keluarnya cairan amnion/ketuban melewati vagina. Selanjutnya jika masa laten panjang, dapat terjadi korioamnionitis. Untuk mengetahui bahwa telah terjadi infeksi ini adalah mula-mula dengan terjadinya takikardi pada janin. Takikardi pada ibu muncul kemudian, ketika ibu mulai demam. Jika ibu demam, maka diagnosis korioamnionitis dapat ditegakkan, dan diperkuat dengan terlihat adanya pus dan bau pada sekret. Manajemen Terapeutik Manajemen terapeutik KPD bergantung pada usia kehamilan serta apakah ada tanda infeksi atau tidak. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah menentukan apakah selaput amnion benar-benar rupture. Inkontinensia urine dan peningkatan
pengeluaran vagina merupakan tanda-tanda untuk perlu mencurigai terjadinya rupture/pecahnya selaput amnion. Untuk membuktikannya, dengan cara menggunakan speculum steril guna melihat kumpulan cairan amnion di sekitar serviks, atau dapat juga melihat langsung cairan amnion yang keluar melalui vagina. Analisis dengan kertas nitiozine akan menandakan keadaan alkali dari cairan amnion. Sekresi vagina pada wanita hamil memiliki nilai pH antara 7,0-7,2. Jika kertas tidak menunjukkan perubahan warna, berarti hasil tes negatif yang mengindikasikan bahwa selaput membran tidak rupture. Jika hasil tes positif, maka terjadi perubahan warna kertas. Hal ini mungkin saja menandakan terjadinya keracunan karena urine, darah, dan pemberian antiseptik yang menyebabkan sekresi serviks menjadi alkali, sehingga mempunyai pH yang hamper sama dengan pH cairan amnion. Dapat juga dengan menggunakan tes Ferning. Tes Ferning digunakan dengan meletakkan sedikit cairan amnion di atas gelas kaca, kemudian tambahkan sedikit sodium klorida dan protein. Hasilnya akan berbentuk seperti tanaman pakis. Hasil tes menjadi negatif pada kebocoran . Tes Ferning digunakan dengan meletakkan sedikit cairan amnion di atas gelas kaca, kemudian tambahkan sedikit sodium klorida dan protein. Hasilnya akan berbentuk seperti tanaman pakis. Hasil tes menjadi negatif pada kebocoran yang telah terjadi beberapa hari. Bisa juga digunakan tes kombinasi, yaitu pemeriksaan spekulum, test dengan kertas nitrazin, atau tes Ferning, sehingga diagnosis menjadi lebih akurat. Pada kehamilan preterm, serviks biasanya tidak baik untuk induksi. Faktor seperti usia kehamilan, jumlah cairan amnion yang tersisa, kematangan paru-paru janin, harus menjadi bahan pertimbangan. Selain itu, perlu juga diaperhatikan adanya infeksi pada ibu dan janin.
Saat usia kehamilan antara 32-35 minggu perlu dilakukan tes kematangan paru janin dari cairan yang ada di vagina. Tes tersebut di antaranya adalah tes-tes yang mengukur perbandingan surfaktan dengan albumin. Tes dengan menggunakan Phosphatidyl glycerol, atau tes yang menghitung perbandingan lesitin dengan spingomielin. Aminiosintesis dan kultur kuman sering dilakukan jika terdapat tanda infeksi. Tes ini berguna untuk menghindari terjadinya Respiratory Distress Syndrome (RDS) pada bayi jika bayi dilahirkan. Linggis dan Howie (1972) menunjukkan bahwa pemberian glukokortikoid (betametason) akan mempercepat pematangan paru-paru fetus dan akan menurunkan insiden terjadinya RDS. Namun, karena terjadi peningkatan insidensi kelainan neurologis dan potensi untuk meningkatkan insidensi infeksi pada bayi baru lahir yang diberi kortikosteroid, maka pemberian kortikosteroid belum dapat disarankan. Bila janin belum viabel (kurang dari 36 minggu) dan ingin mempertahankan kehamilannya, ibu diminta untuk istirahat di tempat tidur (bedrest), berikan obatobatan seperti: antibiotik profilaksis yang dapat mencegah infeksi juga spasmolitik untuk mengundurkan waktu sampai anak viabel. Tes kematanga paru-paru janin perlu dilakukan secara periodik, observasi adanya infeksi dan mulainya persalinan, kemudian persalinan dapat dilakukan setelah paru janin matang. Bila janin telah viabel (lebih dari 36 minggu) dan serviks sudah matang, lakukan induksi persalinan dengan oksitosin 2-6 jam setelah periode laten, dan diberikan antibiotik profilaksis. Jika serviks belum matang, matangkan serviks dengan prostaglandin dan infus oksitoksin. Pada kasus-kasus tertuntu bila induksi partul gagal, maka dilakukan tindakan operatif. Risiko infeksi paka KPD tinggi sekali, ini biasanya disebabkan oleh organisme yang ada di vagina, seperti E. colli, Streptokokus fastafis, Streptokus B, hemolikus, proteus, klebsietta, pseudomonas, dan stafilokokus. Namun, beruntunglah insiden infeksi ini masih rendah. Hal ini karena walaupun risiko infeksi selama
pemeriksaan dan persalinan sangat tinggi, namun cairan amnion memiliki fungsi bakteriostatik (Thadepalli, Aplemin et al., 1997). Jika terdapat korioamnitis, diberi antibiotik dan akan lebih baik jika diberikan melalui intravena. Antibiotik yang paling efektif yaitu: gentamicin, cephalosporine, dan ampicilline.