Dampak Mekanisme Cedera Terhadap Pola Dan Perawatan Fraktur Wajah.docx

  • Uploaded by: Ahmad Musafi
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Dampak Mekanisme Cedera Terhadap Pola Dan Perawatan Fraktur Wajah.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,784
  • Pages: 11
JOURNAL READING Impact of Injury Mechanism on Patterns and Management of Facial Fractures

Pembimbing: dr. Ahmad Fawzy, Sp.BP

Oleh: Ilham Henintyo Nugroho Putro

1710221055

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN “JAKARTA” SMF ILMU BEDAH RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO 2018

LEMBAR PENGESAHAN JOURNAL READING “Impact of Injury Mechanism on Patterns and Management of Facial Fractures”

Disusun oleh: Ilham Henintyo Nugroho Putro

1710221055

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Bedah RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Telah disetujui dan dipresentasikan Pada tanggal, 28 Mei 2018

Mengetahui, Pembimbing

dr. Ahmad Fawzy, Sp.BP

Dampak Mekanisme Cedera Terhadap Pola dan Perawatan Fraktur Wajah Abstrak Mekanisme penyebab fraktur wajah telah berkembang seiring waktu dan dapat memprediksi tipe cedera yang diderita. Tujuan dari studi ini adalah untuk menilai dampak mekanisme cedera terhadap tipe dan perawatan fraktur wajah pada Pusat Trauma Level 1. Penulis melakukan tinjauan yang disetujui oleh Institutional Review Board tentang rekam medis trauma pada jaringan kami sejak 2006 hingga 2010, yang mendokumentasikan usia, jenis kelamin, mekanisme, Skor Keparahan Cedera, Skala Koma Glasgow, pola fraktur wajah (nasal, maksila/malar, orbital, mandibula), dan rekonstruksi. Jumlah mekanisme dibandingkan menggunakan tes Pearson x2. Database kami mengidentifikasi 23.318 pasien, termasuk 1686 pasien dengan fraktur wajah dan subset sejumlah 1505 pasien yang mempertahankan 2904 fraktur karena tabrakan kendaraan bermotor (TKM), jatuh, atau penyerangan. TKM merupakan penyebab fraktur nasal dan malar/maksila yang paling sering (p < 0,01). Jatuh merupakan penyebab terjarang dan penyerangan paling sering menyebabkan fraktur mandibula (p < 0,001), yang merupakan cedera yang paling sering menyebabkan intervensi bedah (p < 0,001). Walaupun tidak signifikan secara statistik, fraktur yang berkelanjutan pada TKM adalah penyebab yang secara umum paling sering mengarah pada intervensi bedah. Usia, jumlah fraktur, dan kadar alkohol merupakan variabel yang berhubungan secara signifikan dengan perawatan operasi. Usia dan jumlah fraktur yang berkelanjutan diasosiasikan dengan intervensi operasi. Walaupun terdapat korelasi yang signifikan antara mekanisme cedera dan tipe fraktur wajah yang berkelanjutan, tidak ada mekanisme yang dievaluasi pada

studi

ini

yang

diasosiasikan

Pertanyaan Klinis/Level Bukti: Terapeutik, III.

dengan

intervensi

bedah.

Berdasarkan National Highway Traffic Safety Administration, 33.561 orang meninggal karena tabrakan kenderaan bermotor (TKM) pada tahun 2012, yang merupakan kenaikan sejumlah 3,3% dari tahun 2011. Walaupun langkah-langkah keselamatan lalu lintas telah ditingkatkan dan penegakan hukum sudah semakin baik, trauma yang berhubungan dengan lalu lintas masih tetap menjadi penyebab utama trauma wajah. Meskipun demikian, jumlah cedera yang disebabkan oleh mekanisme lainnya tetap konstan, seperti kekerasan interpersonal, jatuh pada populasi usia lanjut, dan meningkatnya popularitas olahraga ekstrim. Penggunaan sabuk pengaman, kantong udara, dan upaya penyelamatan pra-rumah sakit yang lebih baik telah menghasilkan penurunan mortalitas secara keseluruhan, yang memungkinkan peningkatan secara signifikan terhadap kelangsungan hidup pasien dengan pola-pola cedera wajah kompleks. Pengenalan hukum sabuk pengaman sendiri menurunkan insidensi cedera wajah karena TKM dari 21% hingga 6% selama periode dua tahun. Dengan meningkatnya popularitas dan kemudahan ketersediaan computed tomography, hal ini dapat menjadi suatu bias penemuan fraktur yang tidak signifikan secara klinis, yang mana sebelumnya tidak terdeteksi. Mekanisme yang menyebabkan fraktur wajah dan pola fraktur telah berkembang seiring waktu dan dapat memprediksi tipe cedera yang diderita. Fraktur yang terisolasi pada sepertiga bagian atas wajah dikaitkan dengan mortalitas kumulatif 18,8% dibandingkan 6,9% dan 4,0% untuk bagian tengah dan sepertiga bawah wajah. Fraktur Le Fort II dikaitkan dengan peningkatan mortalitas secara keseluruhan, sedangkan fraktur Le Fort II dan III dikaitkan dengan cedera intrakranial berat bahkan tanpa gangguan kesadaran. Ketika melihat keseluruhan fraktur wajah, Mithani dkk melaporkan sejumlah 9,7% fraktur tulang belakang servikal dan 45,5% cedera terkait kepala. Ketika membagi pola fraktur berdasarkan daerah wajah, insidensi setiap cedera cenderung bervariasi antar laporan, tergantung pada variasi mekanisme yang terlihat di pusat pelayanan kesehatan tertentu dan usia pasien. Grunwaldt dkk melaporkan fraktur orbital sebagai pola yang paling sering ditemukan pada pasien anak (44,6% pada usia 1218 tahun dan 29,8% dari semua pasien). Dalam populasi ini, kekerasan adalah mekanisme terkait yang paling sering ditemukan, yaitu 25,3%. Dalam sebuah studi lainnya pada orang tua (usia> 60 tahun) oleh Zelken dkk, fraktur nasal adalah pola yang paling sering ditemui (43%), dan jatuh adalah mekanisme yang paling umum (50%). Meskipun hanya

5% dari pasien dalam studi ini yang dirawat dengan operasi, dilaporkan terdapat tingkat mortalitas dan durasi rawat inap (DRI) yang meningkat. Beberapa daerah bahkan telah mengembangkan pusat database untuk penelitian trauma maksilofasial. Kelompok lain telah mengembangkan skor keparahan yang spesifik untuk trauma wajah. Kebanyakan studi besar dalam literatur saat ini berasal dari institusi akademik di pusat pelayanan kesehatan metropolitan utama. Trauma di fasilitasfasilitas ini mungkin bias terhadap mekanisme yang lebih keras daripada yang terlihat dalam populasi umum. Institusi penulis relatif unik karena tidak hanya institusi ini cukup besar untuk memiliki layanan trauma yang kuat, tetapi juga melayani daerah rujukan dari lokasi geografis yang beragam dan mencakup populasi pedesaan, perkotaan, dan pinggiran kota yang mungkin lebih akurat dalam mencerminkan jenis mekanisme trauma di negara ini. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menilai dampak mekanisme cedera pada tipe fraktur yang berkelanjutan, dan menentukan bagaimana dampak tersebut mempengaruhi perawatan fraktur wajah di Pusat Trauma Level 1 kami.

PASIEN DAN METODE Penulis melakukan tinjauan retrospektif dari dari Network Trauma Registry yang disetujui oleh Institutional Review Board. Semua pasien yang dievaluasi oleh layanan trauma dari 2006 sampai 2010 dimasukkan ke dalam studi. Database yang digunakan berisi fraktur wajah yang sering dievaluasi dan dirawat oleh ahli bedah plastik (International Classification of Disease [ICD] -9, 802.0, 802.1, 802.29, 802.39, 802.4, 802.5, 802.6, dan 802.7). Tidak ada pengecualian berdasarkan usia. Semua pasien yang memenuhi dua kriteria berikut dievaluasi oleh layanan trauma: mekanisme trauma, cedera didokumentasikan, atau rawat inap di rumah sakit. Pasien yang keluar dari unit gawat darurat tanpa dievaluasi oleh layanan trauma tidak dimasukkan dalam database. Sebagian besar pasien dirawat oleh sekelompok 6 ahli bedah dari divisi Bedah Plastik dan Bedah Mulut & Maksilofasial yang mengikuti indikasi umum untuk intervensi yang serupa. Fraktur nasal diterapi secara operatif jika ada depresi yang signifikan, pasien mengalami keluhan pada pernafasan hidung, atau jika dikombinasikan dengan fraktur lain yang membutuhkan intervensi bedah. Fraktur maksila/malar dirawat secara operatif jika ada perpindahan signifikan sehingga menyebabkan asimetri wajah, distopia orbital, atau perubahan oklusi. Fraktur orbita ditangai secara operatif untuk exophthalmos,

entrapment, diplopia persisten, atau defek dasar orbital yang besar. Semua fraktur mandibula menjalani intervensi operasi dengan perubahan oklusi atau pola fraktur yang tidak diinginkan. Variabel yang ditinjau termasuk usia, jenis kelamin, mekanisme cedera, Skor Keparahan Cedera (SKC), Skala Koma Glasgow (SKG), , pola fraktur wajah (nasal, maksila/malar, orbital, mandibula), dan rekonstruksi (jika ada). Pola fraktur wajah ditentukan untuk masing-masing dari 3 mekanisme utama: TKM, jatuh, dan serangan. Uji Pearson x2 diaplikasikan pada setiap pola fraktur untuk membandingkan jumlah masingmasing mekanisme yang menyebabkan pola fraktur. Jumlah intervensi bedah untuk masing-masing pola fraktur ini ditentukan untuk masing-masing mekanisme cedera utama berdasarkan laporan operasi yang ada dalam rekam medis elektronik, dan tes Pearson x2 dilakukan. Regresi logistik ganda digunakan untuk mengevaluasi kemungkinan perawatan operasi untuk fraktur wajah dengan variabel independen sebagai berikut: usia, jumlah fraktur, kadar alkohol, jenis kelamin laki-laki, jenis kelamin perempuan, SS, Skor Keparahan Cedera (SKC), Skala Koma Glasgow (SKG), dan mekanisme cedera. Hanya pasien dengan data lengkap yang dimasukkan dalam regresi logistik. Semua analisis dilakukan oleh ahli statistik dalam jaringan (S.E.) menggunakan SPSS 15.0 (SPSS Inc, Chicago, IL). Alfa ditetapkan sebesar 0,05 dengan confidence interval 95%.

HASIL Database mengidentifikasi sejumlah 23.318 pasien trauma dalam catatan antara tahun 2006 dan 2010. Dari populasi ini, terdapat 1.686 pasien dengan fraktur wajah, dan subset sejumlah 1.508 pasien yang menderita 2094 fraktur yang berkelanjutkan karena oleh 3 mekanisme yang paling umum: TKM, jatuh dan serangan. Ketika dikategorikan lebih lanjut, subset ini terdiri dari 866 fraktur nasal, 504 fraktur malar/maksila, 434 fraktur orbital, dan 290 fraktur mandibula yang berkelanjutan pada 632 MVC, 267 jatuh, dan 609 serangan (Gambar 1). Pasien yang termasuk dalam kategori TKM meliputi 163 pasien pengendara sepeda motor dan 82 pejalan kaki yang ditabrak oleh kendaraan. Tiga puluh tiga persen dari semua pasien memiliki > 1 jenis fraktur. Usia rata-rata pasien dengan fraktur wajah adalah 46±24 tahun (Gambar 2). Terdapat 664 pria (73%) dan 246 wanita (27%) pasien yang dimasukkan ke studi ini. Penggunaan alkohol didokumentasikan pada

36% pasien dengan kadar alkohol darah rata-rata 183 mg / dL. DRI rata-rata untuk semua pasien adalah 7,2 hari. Fraktur Nasal Fraktur nasal adalah penyebab cedera berkelanjutan yang paling sering ditemukan, yaitu 866 (57,4%) fraktur nasal yang diidentifikasi dalam subset mekanisme yang terlibat. TKM lebih sering ditemukan daripada jatuh atau serangan pada fraktur nasal (61,7% vs 56,0% dan 50,6%, secara berurutan; P < 0.01) (Tabel 1). Rata-rata DRI dari seluruh pasien dengan fraktur nasal adalah 6,8 hari. Fraktur nasal memiliki jumlah intervensi bedah sejumlah 25,2% dengan rata-rata 8,9 hari setelah cedera. Fraktur nasal berkelanjutan pada TKM membutuhkan intervensi bedah yang lebih sering daripada mekanisme lainnya (20,4%; p < 0,001) (Tabel 2). Fraktur Malar/Maksila Fraktur malar/maksila adalah pola fraktur tersering kedua (n = 504, 22,4%). TKM lebih sering menyebabkan fraktur malar/maksila daripada jatuh atau serangan (37,2% vs 32,3 % dan 27,0 secara berurutan; P < 0.01) (Tabel 1). Rata-rata DRI dari seluruh pasien dengan fraktur malar/maksila adalah 7,6 hari. Fraktur malar/maksila memiliki jumlah intervensi bedah sejumlah 26,9% dengan rata-rata 6,8 hari setelah cedera. Fraktur malar/maksila berkelanjutan pada TKM membutuhkan intervensi bedah yang lebih sering daripada mekanisme lainnya (36,0%; p < 0,001) (Tabel 2). Fraktur Orbital Fraktur orbital ditemukan pada 434 pasien (28,8%). Tidak ada perbedaan yang signifikan pada jumlah fraktur orbital antar mekanisme dalam studi ini (Tabel 1). Ratarata DRI dari seluruh pasien dengan fraktur orbital adalah 6,3 hari. Fraktur orbital memiliki jumlah intervensi bedah sejumlah 23,3% dengan rata-rata 7,3 hari setelah cedera. Fraktur orbital berkelanjutan pada TKM membutuhkan intervensi bedah yang lebih sering daripada mekanisme lainnya (35,0%; p < 0,001) (Tabel 2). Fraktur Mandibula Fraktur mandibula merupakan pola fraktur yang paling jarang ditemukan (n = 290; 19,2%). Kekerasan adalah penyebab tersering, dan jatuh adalah penyebab yang paling jarang ditemukan (30,3% vs 11,3% dan 27,0; P < 0.01) (Tabel 1). Rata-rata DRI dari seluruh pasien dengan fraktur mandibula adalah 8,6 hari. Fraktur mandibula memiliki jumlah intervensi bedah tertinggi dibandingkan pola lainnya, yaitu 60,4% (p < 0,001) dan

dilakukan dengan rata-rata 3,5 hari setelah cedera. Fraktur mandibula berkelanjutan pada TKM yang paling sering menjalani intervensi bedah (65,7%, p < 0,001), dan fraktur mandibula berkelanjutan karena jatuh paling jarang menjalani intervensi bedah (47,8%, p < 0,001) Intervensi Bedah Terdapat 1.437 pasien yang memiliki data terkait intervensi bedah. Dari jumlah tersebut, 279 (19,4%) pasien menerima intervensi bedah untuk fraktur wajah. Berdasarka mekanisme, fraktur berkelanjutan karena TKM adalah penyebab yang paling sering menjalani intervensi bedah (304 dari 894 fraktur karen TKM; 34,0%); namun angka ini tidak mencapai signifikansi statistik. Jumlah intervensi bedah adalah 30,0% untuk serangan dan 15,1% untuk jatuh. Fraktur yang terjadi karena TKM, secara statistik, lebih mungkin menjalani intervensi bedah (Tabel 2). Fraktur mandibula adalah cedera paling sering menyebabkan intervensi bedah (60%; P <0,05). Sebanyak 174 intervensi (60,4% dari semua cedera) dilakukan untuk fraktur mandibula. Usia, jumlah fraktur, dan kadar alkohol adalah variabel yang signifikan secara statistik yang terkait dengan perawatan operasi (Tabel 3). Dengan setiap tahun peningkatan usia, kemungkinan untuk perawatan operasi menurun hampir 2% (odds ratio [OR] = 0,981, 95% confidence interval [CI] [0,973,0,990]; P <0,001). Untuk setiap fraktur berkelanjutan tambahan, kemungkinan untuk perawatan operasi meningkat 2,7 kali (OR = 2,668, 95% CI 2,14;3,320; P <0,001).

DISKUSI Terdapat berbagai laporan tentang mekanisme trauma wajah, dari mulai yang tersering (TKM dan serangan), hingga ke mekanisme yang tidak terlalu sering ditemukan (ikan leaping sturgeon dan tabrakan trailer derek sepeda). Pada pusat trauma kami, yang berlokasi di simpangan beberapa jalan utama, telah menerima pasien dari cakupan area geografi yang luas, sehingga dapat merefleksikan kebanyakan fraktur wajah terkait KTM. Karena kebanyakan tabrakan ini terjadi di jalanan terbuka dengan kecepatan tinggi, terdapat kemungkinan yang lebih tinggi akan penggunaan kantung udara dan cedera pada wajah bagian tengah. Meskipun tidak signifikan secara statistik, mekanisme ini juga dikaitkan dengan jumlah intervensi bedah tertinggi (34,0%), terlepas dari pola cedera. Cedera akibat TKM dihasilkan dari transmisi energi kinetik dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan mekanisme umum lainnya. Oleh karena itu, tidak

mengherankan bahwa cedera ini memiliki probabilitas yang lebih tinggi untuk menjalani operasi reduktif. Cedera yang paling sering disebut dalam studi kami adalah fraktur nasal, yang juga tercermin dalam laporan lain. Dalam studi besar oleh Grunwaldt dkk, fraktur orbital adalah yang paling sering ditemukan (44,6%) dan kekerasan adalah penyebab paling umum dari cedera (25,3%). Sebagai catatan, penelitian tersebut hanya melibatkan pasien anak-anak (dalam studi kami, hanya 7,1% pasien berusia lebih muda dari 20 tahun), dan mekanisme yang dilaporkan adalah kekerasan, yang mana berbeda dari populasi kami. Biasanya, fraktur nasal disebabkan oleh gaya yang langsung diarahkan ke bagian wajah yang paling maju. Dibutuhkan energi kinetik yang lebih sedikit untuk menyebabkan fraktur nasal daripada menyebabkan fraktur di tulang di sekitarnya. Selain itu, kebanyakan dari gaya ini dapat hilang sebelum menyebabkan fraktur pada struktur yang lebih proksimal. Dalam pengalaman kami, banyak fraktur nasal dapat ditangani tanpa intervensi bedah. Dalam semua varian, kecuali varian yang sangat kompleks (nasoorbito-ethmoidal atau fraktur yang sangat memecah), fraktur nasal yang dislokasi dapat mulai ditangani dengan reduksi nasal tertutup. Jumlah intervensi bedah yang lebih tinggi pada kelompok mekanisme KTM kemungkinan mencerminkan kekuatan dampak yang lebih tinggi dibandingkan dengan mekanisme cedera lainnya. Fraktur mandibula paling sering diasosiasikan dengan serangan. Tidak seperti mekanisme lain yang dihasilkan dari gaya langsung ke kepala, pukulan yang diarahkan ke atas oleh seorang penyerang akan menghasilkan dampak langsung pada parasymphysis, badan, atau sudut mandibula. Meskipun jatuh juga dapat menghasilkan vektor gaya yang tepat, mekanisme perlindungan dari “hands-out fall” akan menghilangkan gaya atau mengarahkannya ke permukaan lateral wajah. Meskipun bukan bagian terkuat dari kerangka wajah, mandibula juga membutuhkan kekuatan yang lebih besar agar dapat fraktur dibandingkan sebagian besar struktur tengah wajah, dan gaya yang dihasilkan oleh jatuh dari berdiri mungkin tidak cukup untuk menyebabkan fraktur mandibula pada kebanyakan kasus. Dalam penelitian kami, fraktur mandibula juga merupakan fraktur yang paling sering membutuhkan intervensi bedah, kemungkinan karena tarikan yang tidak diinginkan pada fragmen oleh otot pengunyah dan intoleransi pada perubahan kecil dalam oklusi.

Usia yang lebih tua dikaitkan dengan penurunan kemungkinan perawatan operasi. Awalnya ini mungkin tampak kontra-intuitif karena studi lain melaporkan hubungan langsung antara usia dan intervensi bedah. Grunwaldt dkk menyebutkan bahwa dengan maturasi, terdapat peningkatan mineralisasi, penurunan lemak padding, dan sinus dengan pneumatitis, yang menyebabkan lebih seringnya luka bikortikal dengan dislokasi. Terdapat ketakutan akan gangguan pertumbuhan yang berkaitan dengan intervensi operasi pada pasien pediatrik, yang mana membuat bias banyak ahli bedah dalam memberikan intervensi pada kasus yang kurang parah pada anak-anak. Plastisitas tulang kraniofasial yang sedang berkembang juga mengurangi jumlah intervensi operatif yang tidak terlalu diperlukan pada kebanyakan pasien anak. Hubungan terbalik ini mungkin disebabkan oleh proporsi yang lebih tinggi dari pasien lanjut usia pada studi kami. Hal ini mungkin disebabkan oleh beberapa faktor termasuk keparahan trauma yang lebih rendah, penurunan mineralisasi tulang, kemungkinan komorbiditas yang lebih tinggi yang menghalangi intervensi bedah, dan potensi deformitas yang lebih tinggi. Sebuah penelitian terkini dari Zelken dkk mengevaluasi pola cedera cranio-maksilofasial pada orang tua (usia > 60 tahun) dan melaporkan jumlah intervensi operasi yang lebih rendah pada kelompok ini dibandingkan dengan populasi umum. Dalam penelitian mereka, mereka melaporkan kematian yang lebih tinggi sebelum intervensi operasi dan populasi edentulous

meniadakan

kebutuhan

untuk

mengoreksi

oklusi.

Penting

untuk

mempertimbangkan pasien secara keseluruhan sebelum memberikan rekomendasi terkait intervensi bedah pada populasi ini - beberapa pasien mungkin tidak memiliki peningkatan kualitas hidup yang signifikan setelah intervensi bedah. Hubungan terbalik antara kadar alkohol dalam darah dan tingkat intervensi bedah juga tampak kontra-intuitif, dan harus ditinjau dengan hati-hati. Meskipun signifikan secara statistik, OR yang disesuaikan tidak memiliki signifikansi klinis. Konsumsi alkohol dikaitkan dengan kemungkinan perilaku berisiko dan keparahan cedera yang lebih tinggi pada presentasi awal. Meskipun banyak literatur yang melaporkan fitur neuroprotektif dari alkohol, pada prognosis akhir dari cedera otak yang terisolasi, perlindungan ini tidak langsung berlaku untuk mekanisme fraktur wajah. Penjelasan lain yang mungkin adalah kepatuhan yang lebih buruk dengan follow-up yang tidak dijalankan, sehingga intervensi operatif yang dijadwalkan pun lebih sedikit. Di institusi kami, kebanyakan pasien dengan fraktur wajah diperlakukan sebagai pasien rawat jalan

setelah keluar dari layanan trauma; oleh karena itu, perawatan operatif tergantung pada follow-up pasien. Jumlah follow-up di kantor berada di luar ruang lingkup penelitian ini karena catatan klinik tidak ditinjau. Penelitian ini dibatasi oleh sifat retrospektifnya. Tidak semua cedera atau intervensi bedah mungkin tercatat karena hal ini bergantung pada peninjauan ulang grafik secara cermat. Diagnosis fraktur wajah juga bergantung pada pembacaan resmi oleh ahli radiologi dan tertulis dalam data elektronik. Semua pasien yang diinklusikan di ambil dari database trauma institusi. Dengan demikian, penelitian kami mungkin bias terhadap pasien dengan polytrauma dan cedera yang lebih parah. Meskipun tidak umum, beberapa pasien yang cedera karena TKM di jalan raya tidak tinggal di daerah kami dan dapat mencari konsultasi ahli bedah yang lebih dekat dengan rumahnya. Dengan demikian, secara teoritis, mungkin bahwa sebagian kecil pasien menjalani intervensi bedah di luar jaringan kesehatan kami.

Related Documents


More Documents from "Monica Elvirasari"