BAB I PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG Budaya merupakan hasil karya atau peradaban manusia yang tidak kunjung usai dan terus berkembang sesuai dengan tuntutan masyarakat. Oleh sebab itu dalam perjalanannya dimana nilai-nilai substansial dalam kebudayaan bisa berubah pada skala kecil maupun besar. Bahkan jika kebudayaan tidak dipelihara dengan baik oleh segenap entitas yang seharusnya bertanggung jawab terhadap kelangsungan nilai yang terkandung di dalamnya. Maka melihat hal ini budaya akan punah atau digantikan dengan embrio kultural yang berpotensi merugikan. Untuk mempertahankan budaya sebagai sumber energi positif bukan pekerjaan mudah. Terlebih lagi di lingkungan masyarakat heterogen yang memiliki keanekaragaman karakter setiap kelompok.Maka dari itu untuk memelihara dan menjalankan budaya harus dilaksanakan dengan bersungguh-sungguh, kemudian berpijak kepada empati dan toleransi yang tidak memunafikkan eksistensi kelompok lain dengan kultur berbeda.Untuk itu sangat penting membangun komunikasi dalam kebhinekaan. Maka dengan etika dan strategi komunikasi yang tidak menyinggung nilai masyarakat majemuk, maka keanekaragaman di Indonesia Timur khusunya , di Republik ini umumnya tetap terjaga dan upaya untuk mencapai kesejahteraan menjadi lebih terbuka. Penulis memilih kebudayaan masyarakat Arfak papua, karena Propinsi Papua diIndonesia merupakan sebuah propinsi yang unik. Propinsi yang sering kali dianggap sebelahmata oleh orang orang karena anggapan mereka masyarakat papua masih primitif. Namun di balik anggapan primitif itu, masyaratakat papua merupakan salah satu masyarakat yangmasih memegang teguh budayanya, budaya asli Indonesia yang belum tercemar oleh pengaruh dari negara-negara barat.
1.2. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana kebudayaan papua dilihat dari segi letak, pemerintahan,iklim, topografi,sosial budaya, bahasa dan agamanya? 2. Bagaimana kebudayaan papua dilihat dari alat musik, tarian tradisional, pakaian adat dan rumah adatnya 3. Bagaimana dampak kebudayaan terhadap kesehatan masyarakat papua setempat?
1.3. TUJUAN 1.
Untuk mengetahui kebudayaan papua dilihat dari segi letak, pemerintahan, iklim, topografi,sosial budaya, bahasa dan agamanya.
2. Untuk mengetahui kebudayaan papua dilihat dari alat musik, tarian tradisional, pakaian adat dan rumah adatnya. 3. Mengetahui dampak berbagai kebudayaan di Papua terhadap kesehatan masyarakat setempat
BAB II PEMBAHASAN 2.1 Kebudayaan papua dilihat dari segi letak, pemerintahan,iklim, topografi,sosial budaya, bahasa dan agamanya. Letak Papua ialah sebuah daerah di Indonesia yang terletak di bahagian barat kepulauan New Guinea dan pulau-pulau di sekitarnya.Papua kadangkala dipanggil sebagai Papua Barat kerana Papua boleh dirujuk kepada seluruh kepulauan New Guinea atau bahagian selatan negara jirannya, Papua New Guinea. Papua Barat ialah sebutan yang lebih disukai oleh para nasionalis
yang ingin memisahkan Papua daripada Indonesia dan membentuk negara sendiri. Daerah (Provinsi) ini dahulu dikenali dengan panggilan Irian Barat sejak tahun 1969 hingga 1973, namanya kemudian ditukarkan menjadi Irian Jaya oleh Suharto, nama yang tetap digunakan secara rasmi hingga tahun 2002. Nama daerah (provinsi) ini diganti menjadi Papua sesuai dengan UU No 21/2001 Autonomi Khusus Papua. Pada masa era penjajahannya, wilayah ini disebut New Guinea Belanda (Dutch New Guinea). Papua merupakan daerah (provinsi) yang terletak di wilayah paling timur negara Republik Indonesia dan merupakan daerah yang penuh harapan. Daerahnya belum banyak dijamah oleh manusia dan Papua kaya dengan sumber alam yang menjanjikan peluang untuk berniaga dan berkembang. Tanahnya yang luas dipenuhi oleh hutan, laut dan berbagai biotanya dan berjuta-juta tanahnya yang sesuai untuk pertanian. Dalam perut buminya juga menyimpan gas asli, minyak dan berbagai bahan galian yang hanya menunggu untuk dikelola. Pemerintahan Daerah (Provinsi) Papua beribu kota di Jayapura dan terdiri dari : 9 Pemerintahan Kabupaten iaitu Kabupaten Jayapura, Jayawijaya, Merauke, Fak-Fak, Sorong, Manokwari, Biak Numfor, Yapen Waropen dan Nabire. Dua Pemerintahan Kota iaitu Kota Jayapura dan Kota Sorong, tiga Pemerintahan Kabupaten Administratif iaitu Puncak Jaya, Paniai dan Mimika. Jumlah Kecamatan di Papua adalah 173 kecamatan yang mencakupi 2.712 desa dan 91 kelurahan. Geografi Papua terletak pada kedudukan 0° 19' - 10° 45' LS dan 130° 45' - 141° 48' BT, menempati setengah bagian barat dari Papua
yang merupakan pulau terbesar kedua
selepas Greenland. Secara fizikal, Papua merupakan daerah (provinsi) terbesar di Indonesia, dengan luas daratan 21,9% dari jumlah kesuluruhan tanah seluruh Indonesia iaitu 421,981 km², membujur dari barat ke timur (Sorong - Jayapura) sepanjang 1,200 km (744 batu) dan dari utara ke selatan (Jayapura- Merauke) sepanjang 736 km (456 batu). Selain daripada tanah yang luas, Papua juga memiliki banyak pulau sepanjang pesisirannya. Di pesisiran utara terdapat Pulau Biak, Numfor, Yapen dan Mapia. Pada bahagian barat ialah Pulau Salawati, Batanta, Gag, Waigeo dan Yefman. Pada pesisiran Selatan terdapat pula Pulau Kalepon, Komoran, Adi, Dolak dan Panjang, sedangkan di bahagian timur bersempadan dengan Papua.
Iklim Papua terletak tepat di sebelah selatan garis khatulistiwa, namun kerana daerahnya yang bergunung-gunung maka iklim di Papua sangat bervariasi melebihi daerah Indonesia lainnya. Di daerah pesisiran barat dan utara beriklim tropika lembap dengan tadahan hujan rata-rata berjumlah diantara 1.500 - 7.500 mm pertahun. Tadahan hujan tertinggi terjadi di pesisir pantai utara dan di pegunungan tengah, sedangkan tadahan hujan terendah terjadi di pesisir pantai selatan. Suhu udara bervariasi sejajar dengan bertambahnya ketinggian. Untuk setiap kenaikan ketinggian 100 m ( 900 kaki ), secara rata-rata suhu akan menurun 0.6 °C. Topografi Keadaan topografi Papua bervariasi mulai dari dataran rendah berawa sampai dataran tinggi yang dipenuhi dengan hutan hujan tropika, padang rumput dan lembah. Pada bahagian tengah pula terdapat rangkaian pergunungan tinggi sepanjang 650 km. Salah satu bahagian daripada pegunungan tersebut adalah pergunungan Jayawijaya yang terkenal kerana di sana terdapat tiga puncak tertinggi yang walaupun terletak dalam garisan khatulistiwa namun selalu diselimuti oleh salji di puncak Jayawijaya dengan ketinggian 5,030 m (15.090 kaki), puncak Trikora 5,160 m (15,480 kaki) dan puncak Yamin 5,100 m (15.300 kaki). Sungai-sungai besar beserta anak sungainya mengalir ke arah selatan dan utara. Sungai Digul yang bermula dari pedalaman kabupaten Merauke mengalir ke Laut Arafura. Sungai Warenai, Wagona dan Mamberamo yang melewati Kabupaten Jayawijaya, Paniai dan Jayapura bermuara di Samudera Pasifik. Sungai-sungai tersebut mempunyai peranan penting bagi masyarakat sepanjang alirannya baik sebagai sumber air bagi kehidupan harian, sebagai nelayan mahupun sebagai sarana penghubung ke daerah luar. Selain itu terdapat pula beberapa danau, diantaranya yang terkenal adalah Danau Sentani di Jayapura, Danau Yamur, Danau Tigi dan Danau Paniai di Kabupaten Nabire dan Paniai.
Sosial Budaya Pada daerah-daerah Papua yang bervariasi topografinya terdapat ratusan kelompok etnik dengan budaya dan adat istiadat yang saling berbeza. Dengan mengacu pada perbezaan topografi
dan adat istiadatnya maka secara amnya, penduduk Papua dapat di bezakan menjadi 3 kelompok besar iaitu:
Penduduk daerah pantai dan kepulauan dengan ciri-ciri umum, rumah diatas tiang (rumah panggung), mata pencaharian menokok sagu dan menangkap ikan.
Penduduk daerah pedalaman yang hidup pada daerah sungai, rawa, danau dan lembah serta kaki gunung. Pada umumnya bermata pencaharian menangkap ikan, berburu dan mengumpulkan hasil hutan.
Penduduk daerah dataran tinggi dengan mata pencaharian berkebun beternak secara sederhana. Pada umumnya masyarakat Papua hidup dalam sistem kekerabatan yang menganut garis ayah atau patrilinea. Bahasa Di Papua ini terdapat ratusan bahasa daerah yang berkembang pada kelompok etnik yang ada. Aneka bahasa ini telah menyebabkan kesulitan dalam berkomunikasi antara satu kelompok etnik dengan kelompok etnik lainnya. Oleh sebab itu, Bahasa Indonesia digunakan secara rasmi oleh masyarakat-masyarakat di Papua bahkan hingga ke pedalaman. Agama Keagamaan merupakan salah satu aspek yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat di Papua dan dalam hal ketuhanan, Papua dapat dijadikan contoh bagi daerah lain. Majoriti penduduk Papua beragama Kristian, namun demikian, seiring dengan perkembangan kemudahan pengangkutan dari dan ke Papua maka jumlah orang yang beragama lain termasuk Islam juga semakin berkembang. Banyak orang asing maupun rakyat Indonesia sendiri yang melakukan misi keagamaannya di pedalaman-pedalaman Papua. Mereka berperanan penting dalam membantu masyarakat melalui sekolah-sekolah mubaligh, bantuan perobatan mahupun secara langsung mendidik masyarakat pedalaman dalam bidang pertanian, mengajar Bahasa Indonesia dan pengetahuan-pengetahuan amal yang lain - lainnya. Mubaligh juga merupakan pelopor dalam membuka jalur penerbangan ke daerah-daerah pedalaman yang belum dibina oleh penerbangan biasa.
2.2. Kebudayaan papua dilihat dari alat musik, tarian tradisional, pakaian adat dan rumah adatnya Alat Musik Tradisional Papua Ada Salah satu nama alat musik tradisional yang paling terkenal yang berasal dari Papua yaitu Tifa. Alat musik Tifa merupakan alat musik tradisional yang berasal dari daerah maluku serta papua. Bentuknya alat musik Tifa mirip gendang dan cara memainkannya Tifa adalah dengan cara dipukul. Alat musik Tifa terbuat dari bahan sebatang kayu yang isinya sudah dikosongkan serta pada salah satu ujungnya ditutup dengan menggunakan kulit hewan rusa yang terlebih dulu dikeringkan. Hal ini dimaksudkan untuk menghasilkan suara yang bagus dan indah. Alat musik ini sering di mainkan sebagai istrumen musik tradisional dan sering juga dimainkan untuk mengiringi tarian tradisional, seperti Tarian perang, Tarian tradisional asmat,dan Tarian gatsi.
Tarian Tradisional Daerah Papua Terdapat berbagai macam tari-tarian dan mereka biasa menyebutnya dengan Yosim Pancar (YOSPAN). Di dalam tarian ini terdapat aneka bentuk gerak tarian seperti tari Gale-gale, tari Pacul Tiga, tari Seka, Tari Sajojo, tari Balada serta tari Cendrawasih. Tarian tradisional Papua ini sering di mainkan dalam berbagai kesempatan seperti untuk penyambutan tamu terhormat, penyambutan para turis asing yang datang ke Papua serta dimainkan adalah dalam upacara adat.
Pakaian Adat Tradisional Papua Pakaian adat Papua untuk pria dan wanita hampir sama bentuknya. Pakaian adat tersebuta memakai hiasan-hiasan seperti hiasan kepala berupa burung cendrawasih, gelang, kalung, dan ikat pinggang dari manik-manik, serta rumbai-rumbai pada pergelangan kaki.
Rumah Adat Papua Nama rumah asli Papua adalah Honai yaitu rumah khas asli Papua yang dihuni oleh Suku Dani. Bahan untuk membuat rumah Honai dari kayu dengan dan atapnya berbentuk kerucut yang terbuat dari jerami atau ilalang. Rumah tradisional Honai mempunyai pintu yang kecil dan tidak berjendela. Umumnya rumah Honai terdiri dari 2 lantai yang terdiri dari lantai pertama untuk tempat tidur sedangkan lantai kedua digunakan sebagai tempat untuk bersantai, makan, serta untuk mengerjakan kerajinan tangan.
2.3 Berbagai Kebudayaan Di Papua dan Dampaknya Terhadap Masyarakat setempat A. Tradisi Menyirih Masyarakat Papua Sirih adalah tumbuhan merambat di pohon lain, daunnya berasa agak pedas, biasa dikunyah bersama dng pinang, kapur, gambir sbg makanan yg mencandu, penguat gigi, dsb; Menyirih adalah memakan atau mengunyah sirih. Menyirih mempunyai beberapa manfaat seperti meningkatkan kapasitas bekerja, menimbulkan sensasi panas dalam tubuh dan meningkatkan kewaspadaan. Menyirih juga dilakukan oleh orang-orang kurang mampu untuk menghindari kebosanan dan menekan rasa lapar. Kegiatan menyirih, melalui beberapa penelitian dapat menimbulkan efek negatif terhadap jaringan mukosa oral. Adapun faktor-faktor yang dapat menyebabkan timbulnya efek negatif terhadap jaringan mukosa di rongga mulut akibat kebiasaan menyirih adalah komposisi menyirih, frekuensi menyirih, durasi menyirih dan penggunaan sepanjang malam. Lesi-Lesi pada Kebiasaan Menyirih
Preleukoplakia Preleukoplakia adalah suatu lesi yang dapat dijumpai pada masyarakat yang mempunyai kebiasaan menyirih di mana gambaran klinisnya yang spesifik berupa lesi berwarna abu-abu ataupun putih keabu-abuan tetapi bukan merupakan lesi putih dan disertai pola lobular yang sedikit di mana pola tersebut memiliki batasan yang tidak jelas dan dikarakteristikkan sebagai reaksi tingkat rendah atau sedang dari suatu lesi.
Leukoplakia Leukoplakia merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menunjukkan adanya bercak putih yang tidak normal dan tidak dapat dihapus dan terdapat pada membran mukosa. Untuk menentukan diagnosa yang tepat, perlu dilakukan pemeriksaan yang teliti, baik secara klinis maupun histopatologi.
Lesi Submukosa Oral / OSF (Oral Submucous fibrosis)
OSF dapat didiagnosa apabila secara klinis ditemukan adanya bekas yang jelas pada mukosa oral dan akan membatasi pergerakan mulut ataupun lidah. Hal ini dapat terdeteksi dan dapat dirasa dengan menggerakkan sudut tumpul kaca mulut ke depan dan ke belakang sepanjang mukosa pipi. Mukosa bukal akan terlihat atropi dengan adanya stain akibat menyirih. Bagian palatum akan terlihat pucat dan uvula mengalami pengerutan. OSF didefenisikan bila terdapat satu atau lebih karakteristik, yaitu : 1.) dapat diraba dengan bentuk seperti pita, 2.) tekstur dari lesi terasa kasar dan keras; dan 3.) mukosa oral memucat.
Lesi Mukosa Penyirih Lesi mukosa penyirih adalah suatu kondisi di mana mukosa mulut cenderung mengalami deskuamasi yang dapat disebabkan langsung oleh komposisi bahan-bahan menyirih atau efek traumatik pada saat mengunyah sirih atau kedua-duanya. Lesi mukosa penyirih dapat dilihat dan dirasakan. Mukosa ini merupakan daerah yang kasar dan hal ini dapat juga dikarenakan adanya penggabungan antara bahan-bahan sirih dalam bentuk kerak dengan lapisan mukosa yang berwarna kuning/coklat kemerahan. Lesi ini secara umum terlihat pada pengunyahan sirih dan terlokalisir tergantung pada tempat biasanya ramuan sirih diletakkan dan memiliki satu atau lebih karakteristik sebagai berikut : a. perubahan warna mukosa, b. adanya permukaan yang kasar/keriput, c. penebalan mukosa, d. permukaan epitel yang scrapable atau non-scrapable. Lesi ini biasanya terdapat di mukosa bukal baik unilateral ataupun bilateral. Biasanya menunjukkan lesi putih berwarna putih keabuan yang tidak dapat dibersihkan. Secara klinis permukaan mukosa kasar dan adanya tekstur seperti Linen dan secara patologis terlihat epitel mengalami parakeratinisasi. Lesi mukosa penyirih harus dapat dibedakan dengan lesi akibat kebiasaan mengigit, di mana kedua lesi ini mirip baik secara klinis maupun histologi. Sebagai contoh, lesi akibat
kebiasaan mengigit adalah kebiasaan yang tidak disengaja. Sedangkan lesi mukosa penyirih adalah lesi yang disengaja. Kanker Rongga Mulut Kanker adalah pertumbuhan sel yang abnormal yang disebabkan oleh perubahan yang multiple pada gen dan menyebabkan kematian sel. Pada akhirnya berubah menjadi populasi sel yang dapat menginvasi jaringan dan bermetastase ke tempat-tempat yang lain dan jauh. Kanker dapat menyebabkan kematian yang signifikan jika tidak dirawat.
B. Budaya Persalinan Suku Amungme dan Suku Kamoro, Papua Beberapa anggapan masyarakat setempat dapat menimbulkan dampak negative terhadap masyarakat itu sendiri
Penduduk menganggap bahwa persalinan adalah peristiwa alami Urusan perempuan dan tidak perlu dibesar-besarkan. Laki - laki tidak perlu ikut campur memikirkan atau membantu persalinan istrinya karena itu sudah kodrat perempuan. Darah dan kotoran persalinan dapat menimbulkan penyakit yang mengerikan bagi laki-laki dan anak-anak, karena itu harus dijauhkan atau disembunyikan. Kepercayaan ini memojokkan posisi perempuan dan sangat merugikan kesehatannya.
Penduduk menganggap tabu perempuan membuka aurat/paha Masyarakat menganggap tabu bagi seorang perempuan untuk membuka aurat di depan orang yang belum dikenal baik itu laki-laki maupun perempua. Kepercayaan ini makin memperkuat ibuibu untuk tidak berani meminta melakukan persalinan di rumah sakit, klinik, puskesmas meskipun jaraknya dekat dan tidak membayar. Ibu khawatir disalahartikan mau melanggar tradisi, mau memanjakan diri makan tidur sementara di rumah tidak ada yang mengurus makanan bagi keluarga.
Penduduk meyakini asap kayu bakar membawa kekuatan Bagi orang yang sakit atau lemah termasuk ibu yang sedang melahirkan. Suami dapat membantu dalam proses persalinan istrinya dengan menghidupkan dan menjaga kayu bakar apinya selalu hidup tidak jauh dari tempat persalinan sehingga asapnya bertiup mengarah ke tempat ibu dan bayi. Menghisap asap kayu bakar yang dilakukan ibu selama proses persalinan sangat berpotensi menyebabkan sesak nafas dan infeksi saluran pernafasan pada ibu dan bayi. Namun karena sudah
menjadi keyakinan dapat memberi kekuatan bagi si ibu dan bayi maka secara psikologis mungkin bermanfaat memberi semangat pada ibu untuk mengerahkan seluruh kekuatan dan kemampuannya dalam proses pengeluaran bayi. Kematian ibu bersalin banyak terjadi pada kelompok miskin, tidak berpendidikan, di tempat terpencil, tidak memiliki kendali untuk memperjuangkan kehidupannya sendiri, sehingga kematiannya terabaikan, dan tidak mendapat perhatian selayaknya dari berbagai pihak
Ibu-ibu Suku Kamoro mengangap dukun sebagai pewaris oto (pengobat) Ditentukan oleh roh leluhur. Dukun dianggap tokoh masyarakat dan tidak pernah dituntut atas perbuatannya walaupun ibu dan bayi meninggal ditangannya. Bahkan ibu meninggal yang dianggap salah karena perilaku yang melanggar tradisi semasa hamil. Kepercayaan mutlak terhadap dukun dapat menimbulkan kerugian bagi kesehatan ibu, tetapi dukun juga dapat dijadikan potensi bila dukun tersebut ditingkatkan pengetahuan dan keterampilannya dalam memelihara kesehatan ibu.
Adanya larangan bagi ibu untuk mandi setelah persalinan Setelah melahirkan ibu dilarang mandi sebelum diadakan pesta kerabat yang biasanya 1-2 minggu setelah persalinan. Dalam kesempatan itu ibu boleh mandi sendiri atau dimandikan ibuibu lain sambil bernyanyi beramairamai. Setelah itu diberikan kebebasan bagi ibu untuk melakukan hubungan seks dengan suami. Selama belum dipestakan, suami dilarang makan minum dan tidur di rumah, harus di rumah keluarga yang lain atau rumah tetangga. Akibat negatif bagi kesehatan ibu dari larangan mandi ini yaitu timbul berbagai penyakit infeksi yang dapat menular kepada bayinya. Untuk hubungan seksual 1-2 minggu setelah persalinan dapat menyebabkan kerusakan dan infeksi alat kelamin ibu karena pemulihan tubuhnya belum sempurna.
C. Budaya Seks Bebas di Papua
Meluasnya kasus HIV/AIDS di Papua sebagian besar disebabkan oleh perilaku seksual masyarakatnya yang sering melakukan seks bebas dan berganti-ganti pasangan seks. Perilaku tersebut tidak hanya berkaitan dengan perilaku individu masing-masing tetapi juga berkaitan dengan adat-istiadat dan budaya yang telah lama berkembang.
Berdasarkan survey yang dilakukan pada tahun 2006, sebagian besar masyarakat Papua telah mengetahui bahwa salah satu penyebab penularan HIV adalah hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan. Ada 46,4 persen penduduk yang tahu bahwa dengan berganti-ganti pasangan akan mudah tertular HIV. Namun permasalahannya adalah meskipun sebagian besar masyarakatnya telah mengetahui hal tersebut, mereka tetap melakukannya. Bahkan sebagian besar pelakunya adalah para remaja baik di daerah terpencil maupun perkotaan. Mereka berdalih bahwa hal tersebut merupakan sesuatu yang wajar dan telah menjadi budaya sejak lama. Padahal sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa penyebab terbesar terjadinya penyebaran HIV/AIDS adalah melalui kontak seksual baik melalui anal maupun oral. Menurut H.L. Bloom, salah satu faktor penentu status kesehatan seseorang selain tersedianya pelayanan kesehatan dan keturunan (genetika) adalah faktor perilaku individu maupun masyarakat dan faktor lingkungan termasuk didalamnya lingkungan fisik (alam) maupun lingkungan social (adat-istiadat, budaya, kebiasaan, dan sebagainya). Dari kasus HIV/AIDS yang terjadi di Papua terdapat kecenderungan bahwa faktor perilaku dan social-budaya merupakan faktor utama terjadinya penyebaran penyakit tersebut. Namun demikian, perilaku seks bebas tersebut tidak serta merta berdiri sendiri tanpa adanya factor lain yang mendukung pola perilaku tersebut. Bila dipelajari lebih lanjut pola perilaku seks bebas tersebut diawali dengan adanya budaya dan adat-istiadat yang mendorong terjadinya pola perilaku seperti itu. Budaya seks bebas yang dilakukan setiap diadakannya pesta adat membentuk pola perilaku seks bebas sebagai suatu hal yang wajar di dalam masyarakat Papua. Sudah merupakan hal yang lazim bagi mereka untuk melakukan seks bebas, bahkan ada suatu budaya dimana setiap perempuan Papua yang akan menikah harus berhubungan seks terlebih dahulu dengan 10 orang laki-laki yang berasal dari keluarga mempelai laki-lakinya dengan tujuan untuk meningkatkan kesuburan. Padahal perilaku seks dengan berganti-ganti pasangan seperti itu dan tanpa menggunakan kondom dapat meningkatkan resiko penyebaran HIV/AIDS dibandingkan dengan melakukan seks dengan pasangan tetap. Virus tersebut akan masuk ke dalam tubuh melalui cairan yang dihasilkan oleh alat kelamin dan masuk melalui luka yang terjadi saat melakukan hubungan seks tanpa pengaman baik yang dilakukan bersama pasangan tetap maupun dengan berganti-ganti pasangan. Kemudian
virus tersebut akan merusak sistem kekebalan tubuh penderitanya dengan masa inkubasi selama selama 1-3 bulan. Virus tersebut akan menular ke orang lain ketika berhubungan seks tanpa pengaman dengan si penderita. Lalu virus tersebut akan semakin berkembang menjadi AIDS setelah 10 tahun dan akan menyebabkan kematian bagi penderitanya. Demikianlah faktor-faktor dan penyebab tingginya penyebaran HIV/AIDS di Papua. Penting diketahui bahwa munculnya suatu perilaku tidak selalu karena terbentuk begitu saja, lebih dari itu ada faktor lain berupa kebudayaan, lingkungan sosial, dan lingkungan fisik yang dapat menjadi faktor pendukung maupun pencetus munculnya suatu perilaku.
BAB III PENUTUP
3.1. SIMPULAN Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa : 1. Papua adalah daerah yang unik dan terdiri dari berbagai macam budaya dan kepercayaan
2.
Beberapa kebudayaan masyarakat papua antara lain : Budaya Menyirih, Budaya Persalinan, dan Budaya Seks Bebas
3.
Budaya atau Kepercayaan masyarakat setempat berdampak negative/merugikan masyarakat khususnya dari segi kesehatan
4. Budaya menyirih, bila menyirih dilakukan terlalu sering dan dalam frekuensi yang terlalu sering dapat berdampak timbulnya lesi bahkan kanker pada mulut 5. Budaya persalinan, akibat adanya anggapan yang salah dari masyarakat terhadap persalinan menyebabkan proses persalinan malah berbahaya bahkan dapat mengancam keselamatan ibu dan anak 6.
Budaya seks bebas, di Papua dianggap lazim untuk melakukan seks bebas bila ada pesta atau perayaan besar dan minimnya pengetahuan masyarakat serta kebiasaan masyarakat setempat yang kerap melakukan seks bebas dengan PSK tanpa kondom menyebabkan penyebaran HIV/AIDS di Papua meningkat tajam dan telah menelan banyak korban