Dakwah Bil Hikmah

  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Dakwah Bil Hikmah as PDF for free.

More details

  • Words: 2,720
  • Pages: 8
DA’I HANTAM KROMO  

 





 



  

  

“Ud’uu ila sabiilirobbika bil hikmah wal mau izhotil hasanah wajaadilhum billati hiya ahsan”

  

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. (An-Nahl ayat 125) Seorang da’i yang telah bertahun-tahun berguru agama di Timur Tengah, akhirnya pulang ke kampung halamannya. Dari penampilan da'i tersebut, nampaknya matang benar ilmu agama yang telah dimilikinya. Di kampung halamannya iapun langsung buka pesantren. Muridnyapun lumayan banyak. Masyarakatpun menaruh harapan pada sang da'i tersebut. Tapi apa yang terjadi, lama-kelamaan masyarakat makin menjauh dari da'i tersebut. Padahal ajaran yang disampaikan oleh sang da'i sangat bagus. Semua bersumber dari Al-qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Hampir tak ada yang melenceng. “Kami tidak mau melenceng dari Al-qur'an dan Sunnah Rasul walau se-inchi pun,” ucapnya kepada penulis di suatu ketika. Lalu kenapa masyarakat semakin menjauhi bahkan mulai memusuhinya? Apakah karena masyarakat setempat anti terhadap Quran dan Sunnah? Tidak! Atau karena ada dendam pribadi kepada sang da'i? Tidak juga. Selidik punya selidik, ternyata menjauhnya masyarakat kepada da'inya itu dikarenakan cara berdakwah sang da'i yang menumbuhkan rasa antipati masyarakat. Sang da'i, begitu pulang kampung dan melihat prilaku beribadah warga yang dinilainya tidak sesuai ajaran Islam yang sebenarnya, kontan saja tanpa tedeng aling-aling menyalahkan warga. Ritual-ritual keagaamaan yang telah berlangsung puluhan bahkan ratusan tahun dan dinilainya tak pernah dicontohkan oleh Nabi, kontan “disikatnya”. Zikir-zikir kematian, cara menguburkan jenazah, maulud nabi, dan sejumlah kegiatan lainnya yang kerap dilakukan warga, langsung dikata-katai bid'ah. Semua yang bid'ah adalah sesat, dan yang sesat tempatnya di neraka. Secara tak langsung sang da'i berucap, bahwa pelaku bid'ah bakal nyungsep ke neraka. Tidak sampai di situ, sejumlah tuan guru yang jadi panutan warga, yang telah berjasa puluhan tahun mengajarkan Islam kepada warga, turut pula dikata-katai sebagai ahli bid'ah dan sesat. Secara tak langsung sang da'i memastikan bahwa sejumlah tuan guru tersebut bakal dapat kavlingan di neraka. Tak tanggung-tanggung, media yang digunakan untuk mengeluarkan pernyataan-pernyataan pedas ini adalah forum khutbah Jumat dan melalui pengajian dengan loudspeaker. Tidak hanya dengan kata-kata tapi juga dengan perbuatan. Sang da'i beserta sejumlah muridnya kerap secara demonstratif

menunjukkan keberbedaannya dengan masyarakat banyak dalam sejumlah tata cara ibadah. Masyarakatpun jadi tegang, pro-kontra. Sebagian kecil mendukung sang da'i, sebagian besar lainnya mulai geram. Meski tahu dirinya dibenci warga, sang da'i rupanya tak gentar. “Setiap perjuangan ada resikonya termasuk dibenci. Nabipun dulunya demikian,” ucapnya kepada penulis. Dan memang dari hari kehari, terus saja sang da'i melakukan dakwah “hantam kromo”. Semua yang dianggapnya bid'ah dihantam dengan kata-kata. Nampaknya keinginan sang da'i adalah ingin cepat bisa merubah prilaku ibadah warga agar kembali kepada ajaran Islam yang menurutnya murni. Memang, niat sang da'i sungguh mulia. Tapi sayang, karena dakwahnya dilakukan dengan cara hantam kromo, maka wargapun menyambut dakwah sang da'i dengan cara hantam kromo pula. Rumah beserta pesantren sang da'i diobrak-abrik warga, dan sang da'i diusir dari kampungnya. Sang da'i beserta muridnyapun akhirnya mengungsi. Dakwahnya terhenti di tengah jalan, nyaris tanpa hasil. Seperti kata orang bijak: Air jadi keruh, teratai rusak, ikanpun lari. *** Dalam berdakwah tidak cukup hanya bermodal hafalan ayat dan hadis, tapi juga harus ditunjang dengan ilmu metodologi dakwah. Sebelum melaksanakan tugas dakwah, ada baiknya mempelajari dulu kondisi masyarakat yang akan didakwahi, baik karakter, pemahaman, sosial psikologis, ekonomi, kesiapan menerima hal yang dianggap “baru” dan lain sebagainya. Dengan bekal itu seorang da'i bisa memilih metode, kata-kata, dan prilaku yang pas dengan masyarakat yang akan didakwahi. Dengan demikian obyek yang akan didakwahi bisa menerimanya tanpa harus menciptakan “ketegangan” terlebih dahulu. Lain daerah lain pula metode yang bisa diterapkan. Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain pula ikannya, begitu kata pepatah. Hal ini sesuai dengan perintah Alloh pada ayat di awal tulisan ini. Coba perhatikan dengan seksama ayat di atas, mengapa Alloh mengedepankan kata “hikmah”, setelah itu baru disebutkan tentang “pelajaran yang baik”. Kenapa tidak langsung saja Alloh menyuruh kita berdakwah dengan pelajaran yang baik? Makna kata “hikmah” pada ayat tersebut kira-kira maksudnya adalah bagaimana cara agar kita berdakwah sesuai dengan kondisi, tingkat pemahaman, ketaatan, maupun sosial psikologis masyarakat yang kita dakwahi. Bagaimana berdakwah agar masyarakat yang kita dakwahi tidak tersinggung, pecah, tegang, “konslet” bahkan lari sebelum didakwahi. Dengan kata lain para da’i diminta untuk terlebih dahulu bisa menarik simpati obyek yang akan kita dakwahi. Atau istilah kerennya pe-de-ka-te. Bila simpati masyarakat telah kita dapati, maka dengan sendirinya masyarakat akan mudah mengikuti ajakan kita. Apabila orang sudah suka dan senang kepada kita, maka jangankan kata-kata yang kita ucapkan benar, walau kata-kata kita salah sekalipun, tetap akan dibenarkan.

Sebaliknya bila orang tidak simpati kepada kita, maka jangankan katakata kita salah, meski kalimat yang kita ucapkan benar sekalipun, pasti bakal tidak diikuti atau bahkan disalahkan atau minimal dicari-carikan kesalahannya. Watak sebagian besar manusia memang seperti itu. Metode dakwah penuh hikmah seperti inilah yang diterapkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat. Itu sebabnya dalam kurun 23 tahun Islam sudah menyebar ke berbagai penjuru dunia. Sebuah kurun waktu yang begitu singkat bila dibanding dengan hasil yang diperoleh. Metode dakwah dengan mengedepankan hikmah ini juga diterapkan oleh wali songo ketika berdakwah di Indonesia. Hasilnya, Indonesia menjadi negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Kita ambil contoh terdekat, yakni dakwah wali songo di Indonesia. Dahulu di Indonesia mayoritas penduduknya beragama Hindu dan Budha, dan terdapat berbagai kerajaan Hindu dan Budha, sehingga budaya dan tradisi lokal saat itu kental diwarnai kedua agama tersebut. Budaya dan tradisi lokal itu oleh Walisongo tidak dianggap sebagai “musuh agama” yang harus dibasmi. Bahkan budaya dan tradisi lokal itu mereka jadikan “teman akrab” dan media dakwah agama, selama tak ada larangan dalam nash syariat. Pertama-pertama, Walisongo belajar bahasa lokal, memperhatikan kebudayaan dan adat, serta kesenangan dan kebutuhan masyarakat. Lalu berusaha menarik simpati mereka. Karena masyarakat Jawa sangat menyukai kesenian, maka Walisongo menarik perhatian dengan kesenian, di antaranya dengan menciptakan tembang-tembang keislaman berbahasa Jawa, gamelan, dan pertunjukan wayang dengan lakon islami. Setelah penduduk tertarik, mereka diajak membaca syahadat, diajari wudhu’, shalat, dan sebagainya. Walisongo sangat peka dalam beradaptasi, caranya menanamkan akidah dan syariat sangat memperhatikan kondisi masyarakat. Misalnya, kebiasaan berkumpul dan kenduri pada hari-hari tertentu setelah kematian keluarga tidak diharamkan, tapi diisi pembacaan tahlil, doa, dan sedekah. Bahkan Sunan Ampel—yang dikenal sangat hati-hati—menyebut shalat dengan “sembahyang” (asalnya: sembah dan hyang) dan menamai tempat ibadah dengan “langgar”, mirip kata sanggar. Bangunan masjid dan langgar pun dibuat bercorak Jawa dengan genteng bertingkat-tingkat, bahkan masjid Kudus dilengkapi menara dan gapura bercorak Hindu. Selain itu, untuk mendidik calon-calon dai, Walisongo mendirikan pesantren-pesantren yang—menurut sebagian sejarawan—mirip padepokan-padepokan orang Hindu dan Budha untuk mendidik cantrik dan calon pemimpin agama. Santri sendiri berasal dari kata cantrik. Cantrik adalah murid-murid dalam padepokan di kuil-kuil Budha pada waktu itu. Lain halnya dengan Sunan Kudus. Beliau ini berdakwah dengan lembunya yang dihias istimewa. Diberitakan bahwa Sunan Kudus pernah mengikat seekor lembu di halaman masjid, sehingga masyarakat yang ketika itu masih memeluk agama Hindu datang berduyun-duyun menyaksikan lembu yang diperlakukan istimewa itu. Setelah mereka datang berkerumun di sekitar

masjid, Sunan Kudus lalu menyampaikan dakwahnya. Cara ini sangat praktis dan strategis. Seperti diketahui, lembu merupakan binatang ke ramat bagi umat Hidu. Menyaksikan bahwa lembu tidak dihinakan oleh Sunan Kudus, terbitlah niat dan simpati masyarakat penganut Hindu. Berangkat dari titik perhatian inilah masyarakat kemudian berhasil diislamkan. Dulu para wali hampir semuanya berasal dari Timur Tengah. Ketika mereka datang berdakwah ke Indonesia, mereka membaur dengan adat istiadat warga setempat, termasuk cara berpakaiannya ala Indonesia saat itu. Ini menyebabkan obyek dakwah merasa dekat dengan da'inya. Tapi sekarang, para da'i berasal dari Indonesia, berdakwah di Indonesia, tapi pakaiannya menggunakan pakaian Timur Tengah. Dari pakaian saja sudah membedakan diri dengan masyarakat banyak. Masyarakatpun jadi sungkan mendekat. Meski berbeda tetap jangan sampai terjadi kekerasan. Semua harus diselesaikan dengan cara arif. Kalau mau berdebat, berdebatlah dengan cara yang terbaik. Jangan sampai masing-masing menggunakan emosi, lalu angkat senjata berjihad melawan sesama muslim hanya karena berbeda pandangan dalam hal yang tidak prinsip. Masing-masing pihak mengklaim dirinya benar, masing-masing angkat senjata dan berdoa pada Tuhan yang sama, bernabikan nabi yang sama dan kitab suci yang sama pula. Ini yang apabila terjadi saling bunuh-bunuhan maka: yang membunuh dan dibunuh pasti masuk neraka. Kalau sudah pada saling serang, yang tragis adalah apabila kedua pihak sama-sama menggemakan takbir. Sama-sama meneriakkan kalimah takbir untuk saling memerangi sesama muslim. Si penyerang berteriak lantang mengucapkan Allohuakbar…….., sementara pihak yang diserang tak mau kalah…teriak juga…. Sami’allohuliman hamidah………. Dan pak polisipun tak ketinggalan berteriak……robbana lakal hamdu. Dan sayapun mengakhiri tulisan ini dengan kalimat wallahua’lam.

Berikut kami paparkan kata-kata kunci dakwah yang insya Allah, semoga membantu kita sukses dalam berdakwah. Semoga Allah selalu meridlo-i kita. Amien 1. Tahu medan Seorang pendakwah harus tahu medan atau keadaan masyarakat yang akan/sedang didakwahi. Pelajari struktur masyarakatnya, budayanya, kebiasaan, tradisi, hal-hal yang disukai/tidak disukai. Tingkat

pendidikan, status, dlsb. Ini akan sangat berguna untuk kesuksesan dakwah. Dengan menguasai medan dakwah, kita bisa memakai metode yang tepat agar dakwah sampai dan diterima masyarakat. Jangan kita berdakwah model pendekar satu jurus. Apapun masyarakat/audiencenya, dakwahnya selalu memakai jurus yang sama. Ceramah dengan gaya yang sama, contoh-contoh yang tidak dipahami audience. Dakwah seperti ini tidak akan sukses, bahkan bisa-bisa dimusuhi masyarakat. Point ini juga termasuk analisis diri-sendiri. Sejauh mana kemampuan kita. Analisis SWOT perlu diterapkan sebelum terjun dalam bidang dakwah. Kita harus tahu benar tentang kekuatan kita, kelemahan, kesempatan saat-saat dakwah, dan ancaman/rintangan yg mungkin akan menimpa. Dengan analisis diri dan analisis medan yang akan diterjuni, kita bisa menduga apakah mampu berdakwah di wilayah/medan/masyarakat tertentu. Jika tidak mampu, jangan paksakan diri. Tinggalkan. Biarkan organisasi dakwah lain (yang lebih kuat) menggarapnya. Atau ajak/gabung dengan organisasi lain untuk kerjasama. 2. Menyesuaikan diri Seorang yang ingin sukses dalam dakwahnya haruslah menyesuaikan diri dengan medan-nya. Menyesuaikan diri bukan berarti ikut-ikutan kepada kebiasaan masyarakat yang bertentangan dengan ajaran islam. Tetapi dakwah kita menyesuaikan kepada kondisi masyarakat dengan menggunakan metode atau cara yang tepat agar dakwah islamiyah kita diterima masyarakat. Yang kita dakwahkan adalah ajaran islam, ajaran Rasul SAW. Sedangkan metode berdakwah kita diberi kebebasan, asal tidak bertentangan dengan syariat islam tentu saja. Oleh karena itu, bukan tidak mungkin dakwah islamiyah di berbagai tempat mempunyai corak yang berbeda-beda. Tetapi hakekatnya adalah sama, yaitu ajaran islam diterima di masyarakat. Sebagai contoh, dakwah di Eropa tentu saja lain dengan di Thailand. Dakwah di Papua lain dengan Jawa. Dakwah di kota pun lain coraknya dengan di desa. Bukan tidak mungkin hasil dakwah ini akan membentuk kultur dan budaya masyarakat berbeda-beda, sesuai dengan karakteristik asal masyarakatnya. Sekali lagi, hakekat dakwah adalah bagaimana agar ajaran islam diresapi dan diamalkan masyarakat sasaran kita. Itulah hakekat dakwah islamiyah. Kita tidak perlu mengolok-olok/menghujat masyarakat islam lain yg mungkin tidak kita pahami adat istiadatnya. Mungkin saja mereka lebih islami dari yang kita duga. Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) ..... ( QS. 49:11.)

3. Kuat/Mandiri “Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakanakan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (QS Ash Shaff 61:4) Kuat dalam berbagai aspek sangat diperlukan untuk mendukung ke-efektif-an dakwah. Dalam ilmu manajemen di kenal analisis SWOT, yang S=Strength (kuat). Seorang juru dakwah akan sukses dalam dakwahnya jika didukung oleh kekuatan-kekuatan di berbagai aspek sebagai berikut: a. Ekonomi. Kemandirian di aspek ini sangat-sangat penting. Ini merupakan kunci pokok kesuksesan dakwah. Kata mandiri lebih cenderung secara ekonomi, di samping tentu saja tidak mengabaikan mandiri di bidang-bidang yang lain. Dengan mandiri kita tidak tergantung secara finansial kepada orang lain/organisasi luar, sehingga dakwah bisa terus-menerus secara kontinyu. Bukannya kalau ada dana, kita dakwah, kalau tidak dakwahnya juga macet. Kalau model seperti ini, kesuksesannya diragukan. Kemandirian secara ekonomi ini penting untuk menjamin kelangsungan dakwah.

b. Ilmu. Jelas seorang juru dakwah harus mempunyai ilmu yang mumpuni, kuat. Ilmu agama adalah syarat utama. Ilmu-ilmu yang lain sangat diperlukan untuk mendukung untuk kesuksesan dakwah, sesuai dengan kondisi dan situasi medan dakwah. c. Sosial. Seorang tokoh panutan akan lebih diterima pendapatnya oleh masyarakat. Tokoh yang disegani dan diakui oleh masyarakat akan menjadikan lebih dihormati dan dijadikan sebagai acuan. Tingkah lakunya akan ditiru orang banyak. Jika tokoh ini berdakwahkan islam, maka kesuksesan dakwah sudah di tangan. Insya Allah. d. Kedudukan. Seorang atasan akan lebih mudah berdakwah kepada bawahannya, dari pada bawahan yang mendakwahi atasannya. e. Daya Tahan. Ada kalanya seorang juru dakwah diserang oleh musuh-musuh islam yang tidak menyukai kita. Jika kita bisa menahan serangan, bahkan memukul balik, niscaya musuh-musuh dakwah tidak akan berani mengganggu lagi. Jangan dibayangkan ini hanya serangan berupa fisik saja. Banyak serangan/gangguan yang bisa terjadi. Pembunuhan karakter, fitnah, dll, adalah bentuk gangguan di masa modern ini. Mass media (komunikasi) merupakan senjata mereka, dan tentu saja senjata kita juga untuk menangkisnya. Kenapa beratus-ratus tahun dakwah majelis taklim dan pondok-pondok pesantren tidak mati ditekan penjajah Belanda. Itu karena mandiri. Secara ekonomi pondok-pondok pesantren kita tidak tergantung Belanda, secara ilmu beliau para ulama kita mumpuni dan tidak terlalu tergantung dengan ulamaulama Timur Tengah sehingga ketika hubungan itu diputus/diganggu, ulama kita tetap eksis. Demikian juga dengan pertahanan yang kuat, ulama-ulama kita mampu mempertahankan diri dari serangan Belanda, dll. Sayang, maaf kalau salah, di zaman kemerdekaan (orde baru) dengan banyaknya bantuan pemerintah/partai politik, kemandirian ini luntur. Banyak pondok pesantren yang menadahkan tangan mengharap donasi. Semoga hal yang demikian tidak berlarut-larut. Kita harus mandiri.

Para tokoh khusus itu diperlakukan secara personal, dihubungi secara istimewa. Kepada mereka diberikan keterangan, pemahaman tentang islam, peringatan-peringatan secara lemah lembut, tukar pikiran dari hati ke hati dan penuh toleransi. Ini yang dimaksud Mau’izatul Hasanah. Namun apabila cara tersebut belum juga berhasil, barulah menggunakan cara berikutnya, yakni Al Mujadalah billati hiya ihsan. Cara kedua ini diterapkan kepada tokoh yang secara terus terang menunjukkan sikap kurang setuju terhadap islam. Rangkain cara ini bisa dilihat ketika Raden Rahmat atau Sunan Ampel dan kawan-kawan berdakwah kepada Arya Damar dari Palembang. Berkat keramahan dan kebijakan Raden Rahmat, maka Arya Damar kemudian masuk islam bersama istrinya. Dan tak lama kemudian diikuti pula oleh hampir segenap anak negerinya. Demikian pula halnya ketika beliau berdakwah terhadap Prabu Brawijaya. Ketika mendengar wejangan yang demikian bagus dari Sunan Ampel, sesunggunya terasa sulit bagi Prabu Brawijaya untuk menolak. Tapi karena beliau berkedudukan sebagai raja, tentu banyak pertimbangan yang membuatnya tidak mudah begitu saja menerima pendapat orang lain, terutama dalam hal keagamaan. Meski repot mengelak, akhir nya beliau menolak secara halus, dengan alasan bahwa sebagai raja dia terikat adat kebiasaan kerajaan dan tradisi rakyatnya tidak bisa diabaikan begitu saja.

Namun lain halnya dengan sang permaisuri yang tidak mempunyai beban berat. Prabu tidak keberataan bila permaisuri memang berkehendak masuk Islam. Metode seperti ini digunakan pula oleh Sunan Kalijaga ketika berdakwah kepada Adipati Pandanarang di Semarang. Pada mulanya terjadi perdebatan seru, dan perdebatan itu berakhir dengan tunduknya Adipati untuk masuk Islam. Ia sangat terkesan dengan anjuran Sunan Kalijaga tentang peri kesopanan (akhlaq). Bahkan saking tertariknya dengan Sunan Kalijaga, maka dia rela mengorbankan pangkat dan keduniaan, harta dan keluarganya demi menuruti syarat-syarat yang diajukan Sunan Kalijaga agar dapat diteriama sebagai murid untuk berguru ilmu keislaman. Lain halnya dengan Sunan Kudus. Beliau ini berdakwah dengan lembunya yang dihias istimewa. Diberitakan bahwa Sunan Kudus pernah mengikat seekor lembu di halaman masjid, sehingga masyarakat yang ketika itu masih memeluk agama Hindu datang berduyun-duyun menyaksikan lembu yang diperlakukan istimewa itu. Setelah mereka datang berkerumun di sekitar masjid, Sunan Kudus lalu menyampaikan dakwahnya. Cara ini sangat praktis dan strategis. Seperti diketahui, lembu merupakan binatang ke ramat bagi umat Hidu. Menyaksikan bahwa lembu tidak dihinakan oleh Sunan Kudus, terbitlah niat dan simpati masyarakat penganut Hindu. Berangkat dari titik perhatian inilah masyarakat kemudian berhasil diislamkan. Metode tadarruj atau tarbiyatul ummah dipergunakan sebagai proses pengelompokan yang disesuaikan dengan tahap pendidikan ummat. Agar ajaran islam dapat dengan mudah dimengerti dan dilaksanakan oleh masyarakat secara merata. Maka tampaklah metode yang ditempuh walisongo didasarkan pada pokok pikiran ‘li kulli maqam maqat’, yakni memperhatikan bahwa setiap jenjang dan bakat ada tingkat, bidang materi dan kurikulumnya. Begitu pula saat menyampaikan ajaran fiqih yang ditujukan terutama bagi masyarakat awam dengan jalan pesantren dan melalui lembaga sosial. Istilah pesantren diambil dari tradisi budha yakni cantrik Sembahyang: 1. DAKWAH KAKU 2. SUKA MENJELEKKAN ULAMA PDHL ULAMA TERSEBUT SANGAT BERJASA 3. dakwah kompromis, ikuti arus tapi tidak hanyut 4. dai arab datang ke indonesia pakai baju dan cara indonesia. Sedangkan dai indonesia berdakwah di indonesia pakai baju dan cara arab. Jangan tanya apa ada ayat Al-qur'an berisi kata metodologi dakwah atau tidak. Tentunya kalau mencari kata metodologi dalam ayat Al-qur'an jelas tak ada. Namun ayat yang memerintahkan kita untuk berdakwah

Related Documents

Dakwah Bil Hikmah
April 2020 3
Bil
May 2020 25
Bil
April 2020 26
Bil
April 2020 22
Bil
May 2020 23