CUKUP DUA RAKAAT SHALAT SUNNAH DHUHA sudah bersedekah dengan seluruh persendian. Riyadhus Sholihin, Kitab Al-Adzkar, Bab Keutamaan Dzikir dan Dorongan untuk Berdzikir Hadits # 1432
– ِس ْو َل هللا ُ أَ َّن َر: – ُع ْنه َ ُي هللا ِ ع ْن أَ ِبي ذَ ٍّر – َر َ َو َ ض علَى ُك ٍِّل ْ ُ (( ي: قَا َل، – سلَّ َم َ صبِ ُح َ ُصلَّى هللا َ علَ ْي ِه َو َ َو ُك ُّل، ٌصدَقة ُ َ فَ ُك ُّل تَ ْس ِبي َحة: ٌصدَقة َ سالَ َمى ِم ْن أ َ َح ِد ُك ْم ٌصدَقَة َ بيرة َ َو ُك ُّل تَ ْه ِليلة، ٌصدَقَة َ ت َ ْحميدَة َ َو ُك ُّل تَ ْك، ٌصدَقَة ، ٌصدَقَة ِ َوأَ ْم ٌر ِبال َم ْع ُر، َ ي َ ع ِن ال ُم ْن َك ِر َ وف ٌ َونَ ْه، ٌصدَقَة ُ َويُ ْج ِز ُّ ان يَ ْر َكعُ ُه َما ِمنَ ال ُض َحى )) َر َواه ِ َ ئ ِم ْن ذَ ِل َك َر ْكعَت ُم ْس ِل ٌم Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda, “Pada pagi hari diharuskan bagi seluruh persendian di antara kalian untuk bersedekah. Setiap bacaan tasbih (subhanallah) bisa sebagai sedekah, setiap bacaan tahmid (alhamdulillah) bisa sebagai sedekah, setiap bacaan tahlil (laa ilaha illallah) bisa sebagai sedekah, dan setiap bacaan takbir (Allahu akbar) juga bisa sebagai sedekah. Begitu pula amar ma’ruf (mengajak kepada ketaatan) dan nahi mungkar (melarang dari kemungkaran) adalah sedekah. Ini semua bisa dicukupi (diganti) dengan melaksanakan shalat Dhuha sebanyak 2 raka’at.” (HR. Muslim, no. 720).
Faedah dari Hadits: 1. Dianjurkan untuk memperbanyak sedekah dalam rangka bersyukur atas nikmat Allah karena Allah telah memberikan keselamatan dan jauh dari bala (bencana). 2. Banyaknya pintu kebaikan dan ketaatan, contohnya adalah dzikir kepada Allah, amar ma’ruf nahi mungkar. 3. Keutamaan shalat Dhuha, yang menjaganya termasuk golongan orang yang awwab (kembali kepada Allah). 4. Luasnya rahmat Allah kepada hamba-Nya karena jika seorang hamba tidak mampu bersedekah setiap harinya seperti itu, maka bisa dicukupkan dengan dua rakaat shalat Dhuha. Referensi: Bahjah An-Nazhirin Syarh Riyadh Ash-Shalihin. Cetakan pertama, Tahun 1430 H. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 1:178. URUSAN MUDAH DENGAN SHALAT DHUHA Di antara keutamaan Shalat Dhuha, bisa mempermudah urusan setiap muslim sebagaimana pelajaran dari hadits dari Nu’aim bin Hammar AlGhothofaniy, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ٍ ع ْن أ َ ْربَعِ َر َك َعا ِ ار أ َ ْك ِف َك قَا َل ه ُآخ َره َ ع هز َو َج هل يَا ابْنَ آ َد َم الَ تَ ْع ِج ْز َ َُّللا ِ ت ِم ْن أ َ هو ِل النه َه
“Allah Ta’ala berfirman: Wahai anak Adam, janganlah engkau tinggalkan empat raka’at shalat di awal siang (di waktu Dhuha). Maka itu akan mencukupimu di akhir siang.” (HR. Ahmad, 5:286; Abu Daud, no. 1289, Tirmidzi, no. 475; Ad-Darimi, no. 1451. Syaikh Al-Albani dan Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih.) Bacaan Bada Shalat Dhuha Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai shalat Dhuha, beliau mengucapkan, الر ِحي ِْم َ ِإنه َك أَ ْن،ي ُ ت الت ه هو اب ه َ ْ َوتُب،الله ُه هم ا ْغ ِف ْر ِلي علَ ه “ALLOHUMMAGHFIR-LII WA TUB ‘ALAYYA, INNAKA ANTAT TAWWABUR ROHIIM (artinya: Ya Allah, ampunilah aku dan terimalah taubatku, sesungguhnya Engkau Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang) sampai beliau membacanya seratus kali.” (HR. Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, no. 619. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sanadnya shahih.) Doa “Allahumma innadhuha dhuha-uka …”, Shahihkah? Tanya: Wahai Syaikh, apakah do’a ini adalah do’a yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dibaca ketika shalat Dhuha’,
ُ ض َحاؤُك َو ْالبَ َها بَ َهاؤُ ك َو ْال َج َما ُل َج َمالُك َو ْالقُ هوة ُ قُ هوتُك َو ْالقُد َْرة الله ُه هم ه ُّ إن ال َ ض َحى ص َمتُك ْ ص َمةُ ِع ْ قُد َْرتُك َو ْال ِع “Allahumma innadhuha dhuha-uka, wal bahaa baha-uka, wal jamala jamaluka, wal quwwata quwwatuka, wal qudrota qudrotuka, wal ‘ismata ‘ismatuka”? Jawab: Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala alihi wa shohbih, amma ba’du: Do’a ini disebutkan oleh Asy-Syarwani dalam Syarh AlMinhaj dan Ad-Dimyathi dalam I’anatuth Tholibiin, namun do’a ini tidak dikatakan sebagai hadits. Kami pun tidak menemukan dalam berbagai kitab yang menyandarkan do’a ini sebagai hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wallahu a’lam. [Fatwa Mufti Markaz Al Fatawa – Asy Syabkah Al Islamiyah, Dr ‘Abdullah Al-Faqih, Fatwa no. 53488, 1 Sya’ban 1425] Kesimpulannya, do’a di atas bukanlah do’a yang asalnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wallahu a’lam Setiap orang pasti senang untuk melakukan amalan sedekah. Bahkan kita pun diperintahkan setiap harinya untuk bersedekah dengan seluruh persendian. Ternyata ada suatu amalan yang bisa menggantikan amalan sedekah tersebut yaitu shalat dhuha. Simak saja pembahasan berikut ini.
Keutamaan Shalat Dhuha
Di antara keutamaannya, shalat Dhuha dapat menggantikah kewajiban sedekah seluruh persendian Dari Abu Dzar, Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda, ص َدقَةٌ َو ُك ُّل ت َ ْه ِليلَ ٍة ْ ُي ُ علَى ُك ِل َ صبِ ُح َ ص َدقَةٌ َو ُك ُّل تَحْ ِمي َد ٍة َ ص َدقَةٌ فَ ُك ُّل ت َ ْس ِبي َح ٍة َ سالَ َمى ِم ْن أ َ َح ِد ُك ْم ُ ص َدقَةٌ َويُجْ ِز َئ ِم ْن َذ ِلك ِ ص َدقَةٌ َوأ َ ْم ٌر ِب ْال َم ْع ُر َ ى َ ع ِن ْال ُم ْن َك ِر َ وف َ ٍيرة َ َ ِص َدقَةٌ َو ُك ُّل ت َ ْكب ٌ ص َدقَةٌ َونَ ْه ْ َ َ ض َحى ال ا م ه ع ك ر ي ان ت ع ك ََر َ ِ َ ْ ُ ُ َ مِن ُّ “Pada pagi hari diharuskan bagi seluruh persendian di antara kalian untuk bersedekah. Setiap bacaan tasbih (subhanallah) bisa sebagai sedekah, setiap bacaan tahmid (alhamdulillah) bisa sebagai sedekah, setiap bacaan tahlil (laa ilaha illallah) bisa sebagai sedekah, dan setiap bacaan takbir (Allahu akbar) juga bisa sebagai sedekah. Begitu pula amar ma’ruf (mengajak kepada ketaatan) dan nahi mungkar (melarang dari kemungkaran) adalah sedekah. Ini semua bisa dicukupi (diganti) dengan melaksanakan shalat Dhuha sebanyak 2 raka’at.”[1] Padahal persendian yang ada pada seluruh tubuh kita sebagaimana dikatakan dalam hadits dan dibuktikan dalam dunia kesehatan adalah 360 persendian. ‘Aisyah pernah menyebutkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ص ٍل ِ علَى ِستِينَ َوثَالَثِ َمائ َ ِة َم ْف َ ان ِم ْن بَنِى آ َد َم َ إِنههُ ُخلِقَ ُك ُّل إِ ْن ٍ س “Sesungguhnya setiap manusia keturunan Adam diciptakan dalam keadaan memiliki 360 persendian.”[2] Hadits ini menjadi bukti selalu benarnya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun sedekah dengan 360 persendian ini dapat digantikan dengan shalat Dhuha sebagaimana disebutkan pula dalam hadits berikut, ان ِستُّونَ َوثَالَث ُ ِمائ َ ِة سو َل ه ُ س ِم ْعتُ َر َ اإل ْن َ أَبِى ب َُر ْي َدة َ يَقُو ُل ِ يَقُو ُل « فِى-صلى هللا عليه وسلم- َِّللا ِ س ُ قَالُوا فَ َم ِن الهذِى ي ُِط.» ًص َدقَة َِّللا سو َل ه ُ يق َذلِكَ يَا َر ِ ع ْن ُك ِل َم ْف َ َصدهق ِ َم ْف َ ص ٍل ِم ْن َها َ َ ص ٍل فَ َعلَ ْي ِه أ َ ْن يَت ْ ه َ ُ عة فِى ال َمس ِْج ِد ت َ ْدفِنُ َها أ ِو ال ه ض َحى ُّ ق فَإ ِ ْن لَ ْم ت َ ْقد ِْر فَ َر ْك َعت َا ال َ ش ْى ُء تُن َِحي ِه َ قَا َل « النُّخَا ِ ع ِن الط ِري ُ تُجْ ِز » َع ْنك َ ئ “Dari Buraidah, beliau mengatakan bahwa beliau pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Manusia memiliki 360 persendian. Setiap persendian itu memiliki kewajiban untuk bersedekah.” Para sahabat pun mengatakan, “Lalu siapa yang mampu bersedekah dengan seluruh persendiannya, wahai Rasulullah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengatakan, “Menanam bekas ludah di masjid atau menyingkirkan gangguan dari jalanan. Jika engkau tidak mampu melakukan seperti itu, maka cukup lakukan shalat Dhuha dua raka’at.”[3] An Nawawi mengatakan, “Hadits dari Abu Dzar adalah dalil yang menunjukkan keutamaan yang sangat besar dari shalat Dhuha dan menunjukkannya kedudukannya yang mulia. Dan shalat Dhuha bisa cukup dengan dua raka’at.”[4] Asy Syaukani mengatakan, “Hadits Abu Dzar dan hadits Buraidah menunjukkan keutamaan yang luar biasa dan kedudukan yang mulia dari Shalat Dhuha. Hal ini pula yang menunjukkan semakin disyari’atkannya shalat tersebut. Dua raka’at shalat Dhuha sudah mencukupi sedekah dengan 360 persendian. Jika memang demikian, sudah sepantasnya shalat ini dapat dikerjakan rutin dan terus menerus.”[5] Keutamaan shalat Dhuha lainnya disebutkan dalam hadits berikut, َ َار ْالغ ع هز يَقُو ُل « قَا َل ه-صلى هللا عليه وسلم- َِّللا سو َل ه ُ س ِم َع َر َ َُّللا َ َ ُطفَانِ ِى أَنهه ٍ ع ْن نُعَي ِْم ب ِْن َه هم َ َ َ ْ ٍ ع ْن أ ْربَعِ َر َكعَا .» ُآخ َره ِ َار أكفِك َ َو َج هل يَا ابْنَ آ َد َم الَ ت َ ْع ِج ْز ِ ت ِم ْن أ هو ِل النه َه Dari Nu’aim bin Hammar Al Ghothofaniy, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman: Wahai anak Adam, janganlah engkau tinggalkan empat raka’at shalat di awal siang (di waktu Dhuha). Maka itu akan mencukupimu di akhir siang.”[6] Penulis ‘Aunul Ma’bud –Al ‘Azhim Abadi- menyebutkan, “Hadits ini bisa mengandung pengertian bahwa shalat Dhuha akan menyelematkan pelakunya dari berbagai hal yang membahayakan. Bisa juga dimaksudkan bahwa shalat Dhuha
dapat menjaga dirinya dari terjerumus dalam dosa atau ia pun akan dimaafkan jika terjerumus di dalamnya. Atau maknanya bisa lebih luas dari itu.”[7] Hukum Shalat Dhuha Menurut pendapat yang paling kuat, hukum shalat Dhuha adalah sunnah secara mutlaq dan boleh dirutinkan. Dalil yang menunjukkan hal ini adalah dalil yang menunjukkan keutamaan shalat Dhuha yang telah disebutkan. Begitu pula shalat Dhuha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wasiatkan kepada Abu Hurairah untuk dilaksanakan. Nasehat kepada Abu Hurairah pun berlaku bagi umat lainnya. Abu Hurairah mengatakan, ٍ َصانِى َخ ِلي ِلى – صلى هللا عليه وسلم – بِثَال َو َر ْكعَت َِى، ش ْه ٍر َ صيَ ِام ثَالَث َ ِة أَي ٍهام ِم ْن ُك ِل ِ ث َ أ َ ْو َام ُّ ال َ َوأ َ ْن أُوتِ َر قَ ْب َل أ َ ْن أَن، ض َحى “Kekasihku –yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammewasiatkan tiga nasehat padaku: [1] Berpuasa tiga hari setiap bulannya, [2] Melaksanakan shalat Dhuha dua raka’at, dan [3] Berwitir sebelum tidur.”[8] Asy Syaukani mengatakan, “Hadits-hadits yang menjelaskan dianjurkannya shalat Dhuha amat banyak dan tidak mungkin mencacati satu dan lainnya.”[9] Sedangkan dalil bahwa shalat Dhuha boleh dirutinkan adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari ‘Aisyah , َّللاِ تَعَالَى أَد َْو ُم َها َوإِ ْن قَ هل أ َ َحبُّ األ َ ْع َما ِل ِإلَى ه ”Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.” ’Aisyah pun ketika melakukan suatu amalan selalu berkeinginan keras untuk merutinkannya. [10] Waktu Pelaksanaan Shalat Dhuha Shalat Dhuha dimulai dari waktu matahari meninggi hingga mendekati waktu zawal (matahari bergeser ke barat).[11] Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin menjelaskan bahwa waktunya adalah mulai dari matahari setinggi tombak –dilihat
dengan pandangan mata- hingga mendekati waktu zawal. Lalu beliau jelaskan bahwa waktunya dimulai kira-kira 20 menit setelah matahari terbit, hingga 10 atau 5 menit sebelum matahari bergeser ke barat.[12] Sedangkan Al Lajnah Ad Da-imah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) menjelaskan bahwa waktu awal shalat Dhuha adalah sekitar 15 menit setelah matahari terbit.[13] Jadi, silakan disesuaikan dengan terbitnya matahari di masingmasing daerah dan kami tidak bisa memberitahukan jam pastinya shalat Dhuha tersebut dimulai dan berakhir. Dan setiap hari waktu terbit matahari pun berbeda. Sedangkan waktu utama mengerjakan shalat Dhuha adalah di akhir waktu[14], yaitu keadaan yang semakin panas. Dalilnya adalah, َ صالَة َ فِى غي ِْر َه ِذ ِه ُّ صلُّونَ ِمنَ ال ع ِل ُموا أ َ هن ال ه َ ض َحى فَقَا َل أ َ َما لَقَ ْد َ ُأ َ هن زَ ْي َد بْنَ أ َ ْرقَ َم َرأَى قَ ْو ًما ي ِ سو َل ه ض ال ه ُ إِ هن َر.ُضل ُ صالَة ُ األ َ هوابِينَ ِحينَ ت َْر َم َ ع ِة أ َ ْف َ سا َ « قَا َل-صلى هللا عليه وسلم- َّللا .» صا ُل َ ْال ِف Zaid bin Arqom melihat sekelompok orang melaksanakan shalat Dhuha, lantas ia mengatakan, “Mereka mungkin tidak mengetahui bahwa selain waktu yang mereka kerjakan saat ini, ada yang lebih utama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “(Waktu terbaik) shalat awwabin (nama lain untuk shalat Dhuha yaitu shalat untuk orang yang taat atau kembali untuk taat[15]) adalah ketika anak unta merasakan terik matahari.”[16] An Nawawi mengatakan, “Inilah waktu utama untuk melaksanakan shalat Dhuha. Begitu pula ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa ini adalah waktu terbaik untuk shalat Dhuha. Walaupun boleh pula dilaksanakan ketika matahari terbit hingga waktu zawal.”[17] Jumlah Raka’at Shalat Dhuha
Jumlah raka’at shalat Dhuha, minimalnya adalah dua raka’at sedangkan maksimalnya adalah tanpa batas, menurut pendapat yang paling kuat[18]. Jadi boleh hanya dua raka’at, boleh empat raka’at, dan seterusnya asalkan jumlah raka’atnya genap. Namun jika ingin dilaksakan lebih dari dua raka’at, shalat Dhuha tersebut dilakukan setiap dua raka’at salam. Dalil minimal shalat Dhuha adalah dua raka’at sudah dijelaskan dalam hadits-hadits yang telah lewat. Sedangkan dalil yang menyatakan bahwa maksimal jumlah raka’atnya adalah tak terbatas, yaitu hadits, ْ َسأَل ِ سو ُل ه ص ِلى َ ِعائ ُ شةَ – رضى هللا عنها – َك ْم َكانَ َر َ ت َ ُمعَا َذة ُ أَنه َها َ ُ ي-صلى هللا عليه وسلم- َّللا ْ َض َحى قَال ٍ ت أ َ ْربَ َع َر َكعَا .ت َويَ ِزي ُد َما شَا َء ُّ صالَة َ ال َ Mu’adzah pernah menanyakan pada ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anhaberapa jumlah raka’at shalat Dhuha yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? ‘Aisyah menjawab, “Empat raka’at dan beliau tambahkan sesuka beliau.”[19] Bolehkah Seorang Pegawai (Bawahan) Melaksanakan Shalat Dhuha? Mungkin setiap pegawai punya keinginan untuk melaksanakan shalat Dhuha. Namun perlu diperhatikan di sini bahwa melaksanakan tugas kantor tentu lebih utama daripada melaksanakan shalat Dhuha. Karena menunaikan tugas dari atasan adalah wajib sedangkan shalat Dhuha adalah amalan yang sunnah. Maka sudah seharusnya amalan yang wajib lebih didahulukan dari amalan yang sunnah. Hal ini berbeda jika kita menjalankan usaha sendiri (wirausaha) atau kita adalah pemilik perusahaan, tentu sekehendak kita ingin menggunakan waktu. Sedangkan kalau kita sebagai bawahan atau pegawai, kita tentu terikat aturan pekerjaan dari atasan. Maka kami nasehatkan di sini, agar setiap pegawai lebih mendahulukan tanggung jawabnya sebagai pegawai daripada menunaikan shalat Dhuha. Sebagai solusi, pegawai tersebut bisa
mengerjakan shalat Dhuha sebelum berangkat kantor. Lihat penjelasan waktu shalat Dhuha yang kami terangkan di atas. Al Lajnah Ad Da-imah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) pernah menjelaskan, “Tidak selayaknya bagi seorang pegawai melalaikan pekerjaan dari atasan yang hukumnya lebih wajib dari sekedar melaksanakan shalat sunnah. Shalat Dhuha sudah diketahui adalah shalat sunnah. Oleh karenanya, hendaklah seorang pegawai tidak meninggalkan pekerjaan yang jelas lebih wajib dengan alasan ingin melaksanakan amalan sunnah. Mungkin pegawai tersebut bisa melaksanakan shalat Dhuha di rumahnya sebelum ia berangkat kerja, yaitu setelah matahari setinggi tombak. Waktunya kira-kira 15 menit setelah matahari terbit.” Demikian Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah no. 19285.[20] Bolehkah Melaksanakan Shalat Dhuha secara Berjama’ah? Mayoritas ulama ulama berpendapat bahwa shalat sunnah boleh dilakukan secara berjama’ah ataupun sendirian (munfarid) karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan dua cara ini, namun yang paling sering dilakukan adalah secara sendirian (munfarid). Perlu diketahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat bersama Hudzaifah; bersama Anas, ibunya dan seorang anak yatim; beliau juga pernah mengimami para sahabat di rumah ‘Itban bin Malik[21]; beliau pun pernah melaksanakan shalat bersama Ibnu ‘Abbas.[22] Ibnu Hajar Al Asqolani ketika menjelaskan hadits Ibnu ‘Abbas yang berada di rumah Maimunah dan melaksanakan shalat malam bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau rahimahullah mengatakan, “Dalam hadits ini menunjukkan dibolehkannya melakukan shalat sunnah secara berjama’ah.”[23] An Nawawi tatkala menjelaskan hadits mengenai qiyam Ramadhan (tarawih), beliau rahimahullah mengatakan, “Boleh mengerjakan shalat sunnah secara berjama’ah. Namun pilihan
yang paling bagus adalah dilakukan sendiri-sendiri (munfarid) kecuali pada beberapa shalat khusus seperti shalat ‘ied, shalat kusuf (ketika terjadi gerhana), shalat istisqo’ (minta hujan), begitu pula dalam shalat tarawih menurut mayoritas ulama.”[24] Ada sebuah pertanyaan yang pernah diajukan pada Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah mengenai hukum mengerjakan shalat nafilah (shalat sunnah) dengan berjama’ah. Syaikh rahimahullah menjawab, “Apabila seseorang melaksanakan shalat sunnah terus menerus secara berjama’ah, maka ini adalah sesuatu yang tidak disyari’atkan. Adapun jika dia melaksanakan shalat sunnah tersebut kadang-kadang secara berjama’ah, maka tidaklah mengapa karena terdapat petunjuk dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai hal ini seperti shalat malam yang beliau lakukan bersama Ibnu ‘Abbas[25]. Sebagaimana pula beliau pernah melakukan shalat bersama Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dan anak yatim di rumah Ummu Sulaim[26], dan masih ada contoh lain semisal itu.”[27] Namun kalau shalat sunnah secara berjama’ah dilakukan dalam rangka pengajaran, maka ini diperbolehkan karena ada maslahat. Ibnu Hajar ketika menjelaskan shalat Anas bersama anak yatim di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara berjama’ah, beliau mengatakan, “Shalat sunnah yang utama adalah dilakukan secara munfarid (sendirian) jika memang di sana tidak ada maslahat seperti untuk mengajarkan orang lain. Namun dapat dikatakan bahwa jika shalat sunnah secara berjama’ah dilakukan dalam rangka pengajaran, maka ini dinilai lebih utama, lebih-lebih lagi pada diri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang bertugas untuk memberi contoh pada umatnya, -pen).” Intinya adalah: 1. Shalat sunnah yang utama adalah shalat sunnah yang dilakukan secara munfarid (sendiri) dan lebih utama lagi
dilakukan di rumah, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, َصالَة ُ ْال َم ْر ِء ِفى بَ ْيتِ ِه إِاله ْال َم ْكتُو َبة ض َل ال ه ُ صلُّوا أَيُّ َها النه َ فَإ ِ هن أ َ ْف، اس ِفى بُيُو ِت ُك ْم َ صالَ ِة َ َف “Hendaklah kalian manusia melaksanakan shalat (sunnah) di rumah kalian karena sebaik-baik shalat adalah shalat seseorang di rumahnya kecuali shalat wajib.” (HR. Bukhari no. 731) 2. Terdapat shalat sunnah tertentu yang disyari’atkan secara berjama’ah seperti shalat tarawih. 3. Shalat sunnah selain itu –seperti shalat Dhuha dan shalat tahajud- lebih utama dilakukan secara munfarid dan boleh dilakukan secara berjama’ah namun tidak rutin atau tidak terus menerus, akan tetapi kadang-kadang. 4. Jika memang ada maslahat untuk melakukan shalat sunnah secara berjama’ah seperti untuk mengajarkan orang lain, maka lebih utama dilakukan secara berjama’ah. Demikian penjelasan singkat dari kami mengenai shalat Dhuha. Semoga bermanfaat. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna. Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal Artikel https://rumaysho.com Disempurnakan di Panggang, Gunung Kidul, 24 Dzulhijah 1430 H
[1] HR. Muslim no. 720. [2] HR. Muslim no. 1007. [3] HR. Ahmad, 5/354. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih ligoirohi. [4] Syarh Muslim, An Nawawi, 5/234, Dar Ihya’ At Turots, cetakan kedua, 1392. [5] Nailul Author, Asy Syaukani, 3/77, Idaroh At Thob’ah Al Munirah.
[6] HR. Ahmad (5/286), Abu Daud no. 1289, At Tirmidzi no. 475, Ad Darimi no. 1451 . Syaikh Al Albani dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih. [7] ‘Aunul Ma’bud, Muhammad Syamsul Haq Al Azhim Abadi, 4/118, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan kedua, tahun 1415 H. [8] HR. Bukhari no. 1981 dan Muslim no. 721. [9] Nailul Author, 3/76. [10] HR. Muslim no. 783, Kitab shalat para musafir dan qasharnya, Bab Keutamaan amalan shalat malam yang kontinu dan amalan lainnya. [11] Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik, 1/425, Al Maktabah At Taufiqiah. [12] Lihat Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin,hal. 289, Daruts Tsaroya, cetakan pertama, tahun 1424 H. [13] Lihat Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah yang akan kami bawakan selanjutnya. [14] Idem [15] Syarh Muslim, 6/30. [16] HR. Muslim no. 748. [17] Syarh Muslim, 6/30. [18] Pendapat ini dipilih juga oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam Syarh Al Arba’in An Nawawiyah,hal. 289. [19] HR. Muslim no. 719. [20] Lihat Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhut ‘Ilmiyyah wal Ifta’, 23/423, Darul Ifta’. [21] Sebagaimana riwayat yang dibawakan oleh penanya. [22] Al Maqsu’ah Al Fiqhiyyah, Bab Shalat Jama’ah, point 8, 2/9677, Multaqo Ahlul Hadits, Asy Syamilah. [23] Fathul Baari, 3/421 [24] Syarh Muslim, 3/105, Abu Zakaria Yahya bin Syarf An Nawawi, Mawqi’ Al Islam, Asy Syamilah
[25] Hadits muttafaq ‘alaih. [26] Hadits muttafaq ‘alaih. Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam Ash Sholah, Bab Ash Sholah ‘alal Hashir (380) dan Muslim dalam Al Masaajid, Bab Bolehnya shalat sunnah secara berjama’ah 266 (658) [27] Majmu’ Fatawa wa Rosa-il Ibnu ‘Utsaimin, 14/231, Asy Syamilah
Baca Selengkapnya : https://rumaysho.com/708-shalat-dhuhayang-begitu-menajubkan.html Baca Selengkapnya : https://rumaysho.com/16918-dua-rakaatshalat-dhuha-doa-bada-dhuha.html