Css Torch Restu.docx

  • Uploaded by: Rahmeydia Audya
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Css Torch Restu.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,538
  • Pages: 28
BAB I PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang

Infeksi dalam kehamilan adalah infeksi yang terjadi saat kehamilan berlangsung, bisa didapatkan saat sebelum kehamilan terjadi atau didapatkan saat kehamilan. Besarnya pengaruh infeksi tersebut tergantung dari virulensi agenya, umur kehamilan serta imunitas ibu bersangkutan saat infeksi berlangsung. Dampak terhadap janin bisa berbeda bila kuman penyakit masuk ditrimester yang berbeda pula .Ibu hamil dengan janin yang dikandungnya sangat peka terterhadap infeksi dan penyakit menular. Beberapa di di antaranya meskipun tidak mengancam nyawa ibu, tetapi dapat menimbulkan dampak pada janin dengan akibat antara lain abortus, pertumbuhan janin terhambat, bayi mati dalam kandungan, serta cacat bawaan. Kebanyakan penyakit infeksi diperparah dengan terjadinya kehamilan. Dan ada pula penyakit yang nampaknya tidak terlalu mengancam jiwa ibu hamil bahkan tidak nampak gejala tetapi bias membahayakan terhadap janin. Penyakit-penyakit intrauterin yang sering menyebabkan dampak yang berbahaya pada janin yaitu Penyakit TORCH(Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus, Herpes Simplex and Others).1 Masing-masing infeksi TORCH memiliki manifestasi dan gejala sisa yang berbeda, beberapa infeksi ini memiliki karakteristik yang sama. Penting untuk memikirkan satu atau lebih dari infeksi ini ketika ditemukan neonatus dengan mikrosefali, kalsifikasi intrakranial, ruam, intrauterine growth restriction (IUGR), kuning,

hepatosplenomegali,

peningkatan

konsentrasi

transaminase, dan

trombositopenia. Namun, mungkin banyak infeksi bawaan yang tidak mucul saat lahir, akan tetapi bermanifestasi bertahun-tahun kemudian. 2 Epidemiologi infeksi TORCH bervariasi antara negara berpenghasilan rendah dan menengah, infeksi TORCH merupakan kontributor utama morbiditas dan mortalitas prenatal, perinatal, dan postnatal. Bukti infeksi dapat dilihat saat lahir, pada masa bayi, atau tahun kemudian. Untuk banyak patogen ini, strategi pengobatan atau pencegahan tersedia. Pengenalan dini, termasuk skrining pranatal, adalah kuncinya.3

1

1.2.

Batasan Masalah

Pada Clinical Science Session (CSS) ini akan dibahas tentang definisi, epidemiologi, etiologi, faktor risiko, patofisiologi, gambaran klinis, diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi , prognosis dari infeksi TORCH pada kehamilan

1.3.

Tujuan Penulisan

Penulisan Clinical Science Session (CSS) ini bertujuan untuk memahami serta menambah wawasan mengenai Infeksi TORCH pada Kehamilan.

1.4.

Metode Penulisan

Penulisan Clinical Science Session (CSS) ini menggunakan berbagai sumber kepustakaan.

2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.

Toksoplasmosis

2.1.

Defenisi

Toksoplasmosis merupakan infeksi yang diakibatkan oleh sejenis parasit toksoplasma gondii yang biasa terdapat pada bulu kucing dan hewan peliharaan rumah lainnya. Makanan yang terkontaminasi kotoran kucing dan masakan yang kurang matang menyebabkan oosit toksoplasmosis, akan berkembang menjadi parasit serta dapat menimbulkan infeksi akut.4,5

2.2.

Epidemiologi

Toksoplasma gondii menginfeksi 3-6 per 1000 wanita hamil. Dari tahun 1988 sampai 1994, seroprevalens toksoplasmosis pada wanita usia subur adalah 15 %. Karena itu, 85% wanita hamil kemungkinan rentan terhadap infeksi. Insiden toksoplasmosis kongenital bervariasi dari 0,8 per 10.000 kelahiran hidup di Amerika Serikat hingga 10 per 10.000 di Perancis. Insiden dan keparahan infeksi kongenital bergantung pada usia janin saat infeksi terjadi pada ibu. Risiko untuk meningkat dengan durasi kehamilan dari 6 % pada 13 minggu menjadi 72 % pada 36 minggu. Pada wanita hamil yang terinfeksi sebelum 20 minggu, 11 % neonatus mengalami toksoplasmosis kongenital. Jika infeksi terdokumentasi setelah 20 minggu, angka ini menjadi 45 %. Sebaliknya, keparahan infeksi janin jauh lebih besar pada awal kehamilan.6,7 Transmisi toksoplasma kongenital hanya terjadi bila infeksi toksoplasma akut terjadi selama kehamilan. Bila infeksi akut dialami ibu selama kehamilan yang telah memiliki antibodi antitoksoplasma karena sebelumnya telah terpapar, risiko bayi lahir memperoleh infeksi kongenital adalah sebesar 4-7/1.000 ibu hamil. Risiko meningkat menjadi 50/1.000 ibu hamil bila ibu tidak mempunyai antibodi spesifik.1

3

2.3.

Etiologi

Organisme yang bertanggung jawab untuk penyakit toksoplasmosis adalah Toxoplasma gondii, parasit protozoa intraseluler obligat yang menunjukkan siklus hidup yang kompleks. Terbagi dalam tiga bentuk: trofozoit, kista dan ookista. Trofozoit adalah bentuk proliferatif dan infasif, sedangkan kista adalah bentuk laten, bertahan dalam jaringan tubuh hospes untuk seumur hidup. Ookista ditemukan pada kucing yang telah tertelan tikus yang terinfeksi dengan kista.8

Gambar 1. Bentuk dari Toxoplasma gondii

2.4.

Patogenesis

Manusia terinfeksi jika memakan makanan mentah atau daging segar belum matang dari binatang yang terinfeksi. Infeksi manusia mungkin juga terjadi dengan kontak tangan ke mulut dengan pengeluaran oocyst pada kotoran kucing, yang paling sering berkaitan dengan kontak tangan minimal dengan kotoran kucing. Transmisi toksoplasma kongenital hanya terjadi bila infeksi toksoplasrna akut terjadi selama kehamilan.1 Pada ibu hamil yang mengalami infeksi primer, mula-mula akan terjadi parasitemia, kemudian darah ibu yang masuk ke dalam plasenta akan menginfeksi plasenta (plasentitis). Infeksi parasit dapat ditularkan ke janin secara vertikal. Takizoit yang terlepas akan berproliferasi dan menghasilkan fokus-fokus nekrotik yang menyebabkan nekrosis plasenta dan jaringan sekitarnya, sehingga membahayakan janin dimana dapat terjadi ekspulsi kehamilan atau aborsi.9

4

2.5.

Gejala Klinis

Ibu hamil yang mendapat infeksi primer, kemungkinan 50% bayi yang dilahirkan menderita toksoplasmosis kongenital, yang umumnya hanya bermanifestasi sebagai

limfadenopati

asimtomatik

pada

kelenjar

getah

bening

leher bagian belakang, dapat menyebar atau terlokalisasi pada satu nodul di area tertentu. Tanda dan gejala yang sering timbul pada ibu hamil ialah demam, sakit kepala, dan kelelahan. Beberapa pasien menunjukkan tanda mononucleosis like syndrome seperti demam, ruam makulopapular (Blueberry muffin) yang mirip dengan kelainan kulit pada demam tifoid.9 Pada janin, transmisi toksoplasmosis kongenital terjadi bila infeksi T. Gondii didapat selama masa gestasi. Terdapat korelasi positif yang sangat bermakna antara isolasi toksoplasma dari jaringan plasentadan infeksi neonatus. Korelasi ini merupakan hasil penelitian otopsi toksoplasmosiskongenital dan mengindikasikan bahwainfeksi tersebut didapat melalui sirkulasi uteroplasenta. Sekitar setengah dari wanita yang terinfeksi toksoplasmosis dapat menularkan infeksi melintasi plasenta ke janin in utero. Transmisi penyakit ke janin lebih jarang terjadi pada awal kehamilan, namun infeksi pada awal kehamilan ini dapat menyebabkan gejala yang lebih parah pada janin, meskipun ibunya tidak merasakan tanda dan gejala infeksi toksoplasma. Terdapat trias klasik pada toksoplasmosis kongenital berat, yaitu: hidrosefalus, korioretinitis, dan kalsifikasi intrakranial. Pada bayi baru lahir yang bergejala, salah satu atau keseluruhan tanda dari trias klasik mungkin timbul, disertai gejala infeksi lainnya meliputi hepatosplenomegali, ikterus, trombositopenia, limfadenopati, dan kelainan susunan saraf pusat.9

2.6.

Diagnosis

Diagnosis toksoplasmosis pada kehamilan ditegakkan berdasarkan, antara lain:6 a. Kehamilan dengan imun seropositif, ditemukan adanya antibodi IgG anti- toksoplasma dengan titer 1/20 -1/1000 b. Kehamilan dengan antibodi IgG atau IgM spesifik dengan titer tinggi (biasanya

disertai juga hasil positif uji Sabin-Feldman), yang menunjukkan bahwa ibu hamil dengan seropositif mengalami reinfeksi. Keadaan ini sering juga disebut kehamilan dengan toksoplasmosis eksaserbasi akut.

5

c. Kehamilan dengan seronegatif, yaitu darah ibu tidak mengandung antibodi

spesifik. Dalam hal ini ibu hamil dianjurkan untuk mengulangi uji serologik (cukup lateks aglutinasi) tiap trimester. d. Kehamilan dengan serokonversi, yaitu adanya perubahan dari seronegatif

menjadi seropositif selama kehamilan. Penderita memiliki risiko tinggi transmisi vertikal dari maternal ke janin serta mengakibatkan toksoplasmosis kongenital. Hal ini merupakan indikasi pengobatan antiparasit selama kehamilan.

Gambar 2. Interpretasi hasil pemeriksaan serologi toksoplasmosis

Didahului oleh skrining serologik maternal/ibu hamil, hasilnya harus memenuhi kriteria tertentu sebelum dilanjutkan ke prosedur diagnostik pranatal. Jika satu dari 4 syarat di bawah ini terpenuhi, akan dilakukan kordosintesis atau amniosintesis.1 Antibodi IgM+ Serokonversi dengan interval wakju 2 sampai 3 minggu, perubahan dari seronegatif menjadi seropositif IgM dan IgG. Titer IgG yang tinggi ≥1/1024 (ELISA) Aviditas IgG ≤200.

Diagnosis pranatal umumnya dilakukan pada usia kehamilan 14-27 minggu (trimester II). Aktivitas diagnosis pranatal meliputi sebagai berikut:1

6



Kordosentesis (pengambilan sampel darah janin melalui tali pusat)

ataupun

amniosentesis

(aspirasi

cairan

ketuban)

dengan

tuntunan

ultrasonografi. ●

Pembiakan darah janin ataupun cairan ketuban dalam kultur sel

fibroblas, ataupun diinokulasi ke dalam ruang peritoneum tikus diikuti isolasi parasit, ditunjukkan untuk mendeteksi adanya parasit. Pemeriksaan dengan teknik P.C.R. guna mende-teksi D.N.A. T. Gondii pada darah jariin atau cairan ketuban. Pemeriksaan dengan teknik ELISA pada darah janin guna: mendeteksi antibodi IgM janin spesifik (anti-toksoplasma) ●

Pemeriksaan tambahan berupa penetapan enzim liver, platelet, leukosit

(monosit dan eosinofil) dan limfosit khususnya rasio CD4 dan CD8. Dikatakan prosedur ini retatif aman bila mulai dilakukan pada umur kehamian 19 minggu dan seterusnya.

2.7.

Tatalaksana

Pengobatan dengan spiramisin Spiramisin merupakan antibiotik makrolid paling aktif terhadap toksoplasmosis di bandingkan dengan antibiotika lainnya, dengan mekanisme kerja yang serupa dengan

klindamisin.

Spiramisin

menghambat

pergerakan

Mrna

pada

bakteri/parasit dengan cara menghambat 50s ribosom, sehingga sintesis protein bakteri/parasit akan terhambat dan kemudian mati.9 Penggunaan antibiotik spiramisin selama kehamilan dengan infeksi T. Gondii akut dilaporkan menurunkan frekuensi transmisi vertikal. Proteksi ini terlihat lebih nyata pada wanita yang terinfeksi selama trimester pertama. Spiramisin tidak dapat melewati plasenta, dan sebaiknya tidak digunakan sebagai monoterapi pada kasus yang diduga telah terjadi infeksi pada janin. Sampai saat ini, tidak terdapat fakta bahwa obat ini bersifat teratogenik. Pada wanita yang diduga mengalami infeksi toksoplasma akut pada trimester pertama atau awal trimester kedua, spiramisin diberikan hingga persalinan meskipun hasil peme-riksaan PCR negatif. Hal ini berdasarkan teori yang menyatakan bahwa kemung-kinan infeksi janin dapat terjadi pada saat kehamilan dari plasenta yang sebelumnya telah terinfeksi di awal kehamilan. 9

7

Spiramisin diberikan hingga persalinan, juga pada pasien dengan hasil pemeriksaan cairan amnion negatif, karena secara teoritis kemungkinan infeksi janin dapat terjadi pada kehamilan lanjut dari plasenta yang terinfeksi pada awal kehamilan. Untuk ibu hamil yang memiliki kemungkinan infeksi tinggi atau infeksi janin telah terjadi, pengobatan dengan spiramisin harus ditambahkan pirimetamin, sulfadiazin, dan asam folat setelah usia kehamilan 18 minggu. Pada beberapa pusat pengobatan, penggantian obat dilakukan lebih awal (usia kehamilan 12-14 minggu). Spiramisin sebaiknya tidak diberikan pada pasien yang hipersensitif terhadap antibiotik makrolid. Sejumlah kecil ibu hamil menunjukkan gejala gangguan saluran cerna atau reaksi alergi. Dosis spiramisin yang diberikan ialah 3 gram/hari.9

Pengobatan dengan pirimetamin, sulfadiazin, dan asam folat Kombinasi pirimetamin, sulfadiazin, dan asam folat diindikasikan untuk ibu hamil yang mengalami infeksi T. Gondii akut pada akhir trimester kedua (> 18 minggu) atau pada trimester ketiga. Kombinasi ini juga diindikasikan untuk ibu hamil dengan infeksi janin atau janin dengan toksoplasmosis kongenital yang terdeteksi melalui ultasonografi. Pirimetamin bersifat teratogenik dan penggunaannya dikontraindikasikan pada trimester pertama. Pirimetamin dapat menyebabkan depresi sum-sum tulang belakang sehingga perlu dilakukan perhitungan jumlah sel darah lengkap untuk mencegah toksisitas hematologi.9 Tingkat kejadian toksoplasmosis kongenital pada bayi ibu hamil yang terinfeksi sebelum kehamilan hampir tidak pernah ditemukan. Di beberapa negara, pengobat-an tetap diberikan pada ibu hamil sehat dengan diagnosis infeksi T. Gondii laten. Hal tersebut didasarkan fakta bahwa kondisi imun setiap individu berbeda, fluktuatif, dan tidak dapat terkontrol sebelumnya. Reaktivasi mungkin saja terjadi ketika imunitas seseorang menurun, terutama pada ibu hamil yang memiliki kondisi untuk berbagi nutrisi dengan janinnya. Selain itu, aviditas IgG setiap individu juga belum tentu tinggi dan matang meskipun infeksi terjadi setelah bertahun-tahun yang lalu. Jika pemberian terapi ditunda hingga hasil pemeriksaan aviditas IgG pada trimester pertama hasil IgG dan IgM (-), maka infeksi terjadi akibat reaktivasi. Untuk lebih memastikan bahwa infeksi tidak ter-

8

jadi, maka pemberian terapi menggunakan spiramisin tetap dilakukan. Disamping itu risiko minimal spiramisin tidak menghalangi penggunaannya sebagai terapi pada trimester pertama.9 Pirimetamin merupakan anti parasit yang secara kimiawi dan farmakologi menyerupai trimetroprim. Didalamnya terdapat zat aktif diaminopirimidin yang bekerja sebagai inhibitor poten dari dihidrofolat reduktase dan bekerja secara sinergis dengan sulfonamid. Dosis pirimetamin 25-50 mg per oral sekali sehari dan dikombinasikan dengan sulfonamid selama 1-3 minggu; kemudian dosis obat dikurangi setengah dari dosis sebelumnya, dan terapi dilanjutkan 4-5 minggu. Kekurangan asam folat akan memicu agranulositosis, sehingga pemberian pirimetamin harus bersama dengan asam folat.9 Sulfadiazin merupakan golongan sulfonamida dengan masa kerja sedang. Mekanisme kerjanya bersifat bakteriostatik dengan menghambat sintesis asam folat, serta menghambat enzim yang membentuk asam folat dan para amino benzoic acid (PABA). Sebagian bahan ini menginaktivasi enzim seperti dehidrogenase atau karboksilase yang berperan pada respirasi bakteri. Dosis pemberian 2-4 gram per oral sehari sekali selama 1-3 minggu, kemudian dosis dikurangi setengah dari dosis sebelumnya dan terapi dilanjutkan hingga 4-5 minggu.9

2.8.

Pencegahan

Profilaksis adalah tindakan yang paling efektif berupa perlindungan atas populasi yang berisiko sepeni ibu hamil dengan seronegatif. Upaya tersebut adalah sebagai berikut:1 Dianjurkan memakan semua sayur-sayuran dan daging yang dimasak. Ookista mati dengan pemanasan 90° C selama 30 detik, 80° C untuk 1 menu dan 70° C untuk 2 menir. Makanan yang dibekukan bukan merupakan sumber kontaminasi. Skrining serologik pramarital yang dilanjutkan skrining bulanan selama kehamilan bagi ibu hamil dengan seronegatif.

9

3.

Others

Infeksi lainnya meliputi Sifilis, Parvovirus B19, Enteroviruses, Hepatitis, EpsteinBarr virus. Dalam referat ini akan dibahas mengenai sifilis karena sifilis merupakan merupakan penyakit yang sering ditemukan diantara infeksi lainnya dan komplikasi dalam kehamilan akibat infeksi sifilis dapat menyebabkan terjadinya abortus spontan hingga 50% dari kehamilan.

3.1.

Defenisi

Sifilis merupakan infeksi sistemik kronis dan melemahkan yang disebabkan oleh Treponema pallidum spirochete dan ditandai dengan eksaserbasi jarang namun berat dan bervariasi. Sifilis antenatal merupakan ancaman signifikan terhadap kehamilan dan janin. Treponema pallidum mudah melintasi plasenta yang mengakibatkan infeksi pada janin.1

3.2.

Epidemiologi

Selama beberapa dekade, sifilis sudah keluar dari pandangan, pikiran, dan memori, tapi sekarang kejadian di dunia barat meningkat lagi dan bisa menjadi masalah kesehatan utama. Perubahan ini telah mengikuti peningkatan pesat jumlah dari individu yang positif human immunodeficiency virus (HIV) di seluruh dunia, bersama-sama dengan munculnya turis kesehatan, migran ekonomi, dan mudahnya ketersediaan perjalanan murah. Sifilis kehamilan dan kongenital cenderung terjadi pada anak muda, kulit putih, belum menikah, miskin, penduduk dalam kota dengan pelayanan antenatal tidak cukup. Seperti sifilis primer dan sekunder, tingkat sifilis kongenital menurun tajam dari puncak 107,3 per 100.000 penduduk pada tahun 1991. Pada tahun 2003, total 413 kasus sifilis kongenital dilaporkan di Amerika Serikat dibandingkan dengan 412 kasus pada tahun 2002.8

3.3.

Etiologi

10

Penyebab infeksi sifilis pada kehamilan adalah Spirokaeta yaitu Treponema pallidun. Organisme tersebut merupakan parasit obligat bagi manusia. Treponema pallidum berbentuk spiral, gram negatif dengan panjang antara 620 μm dan diameter antara 0,09-0,18 μm. Pada umumnya dijumpai 16-18 busur, yang terdiri atas membran luar (outer sheath), ruang periplasma dengan flagel periplasma, dan lapisan peptidoglikan. Masa inkubasinya sekitar 10-90 hari dan selanjutnya menimbulkan penyakit sifilis primer.3

Gambar 3. Treponema Pallidum

3.4.

Patogenesis

Sifilis ditularkan selama hubungan seksual, dengan 60 % dari pasangan mendapat infeksi setelah hubungan seksual tunggal. Spirochetes memerlukan istirahat di kulit untuk mendapatkan akses ke host. Mikroskopis tears di mukosa genital terjadi hampir secara keseluruhan selama hubungan seksual. Rata-rata masa inkubasi 21 hari, dengan kisaran 10-90 hari. Organisme menyebabkan infeksi lokal dan akhirnya menyebarkan secara luas melalui drainase limfatik. Di mana pun tempat menetapnya akan merangsang respon kekebalan tubuh. Kehamilan dengan komplikasi sifilis dapat mengakibatkan pembatasan pertumbuhan intrauterine, non – imun hidrops fetalis, bayi lahir mati, kelahiran prematur, dan aborsi spontan hingga 50 % dari kehamilan.8

3.5.

Gejala Klinis

11

a.

Sifilis primer

Perkembangan pertama adalah chancre pada tempat inokulasi, klasik di wilayah anogenital dengan gejala nyeri, soliter, ulkus bulat indurated dengan margin merah terang. Chancre muncul rata-rata sekitar 3 minggu setelah kontak seksual dan sembuh dalam 3-6 minggu. Namun, dengan inokulum kecil, masa inkubasi ini mungkin selama 90 hari. Salah satu tempat umum untuk lesi serviks. Oleh karena itu, manifestasi klinis dari sifilis primer mungkin tidak diketahui oleh pasien dan pasangannya.1 b.

Sifilis sekunder

Pasien yang tidak diobati akan berlanjut ke sifilis sekunder setelah tanda-tanda untuk menyelesaikan sifilis primer (dalam 4-10 minggu). Lesi banyak, variabel, dan

mempengaruhi

banyak

sistem.

Penyebarannya

secara

simetris,

makulopapular, ruam non-iritasi ditemukan pada telapak tangan dan telapak kaki dengan limfadenopati nyeri. Kondiloma lata yang sangat menular yang ditemukan di daerah yang hangat dan lembab seperti alat kelamin, daerah perianal, perineum, dan aksila. Meningisme dan sakit kepala dapat terjadi, terutama pada malam hari. Hal ini disebabkan oleh peningkatan jumlah sel dan peningkatan protein dalam cairan serebrospinal. Gejala penyerta yang kurang umum untuk sifilis sekunder meliputi alopesia, radang tenggorokan, hepatitis ringan, sindrom nefrotik, nyeri tulang, dan uveitis.1 c.

Sifilis laten

Riwayat sifilis sekunder yang diobati ditandai dengan resolusi spontan setelah periode 3-12 minggu, meninggalkan pasien sepenuhnya bebas dari gejala. Bagian yang tidak bergejala ini disebut latensi. Latensi ini dibagi menjadi stadium early (< 2 tahun dari awal infeksi) dan late (> 2 tahun). Selama waktu ini, pasien tetap serologis positif untuk sifilis. Sekitar 60 % pasien tetap laten selama sisa hidup mereka. Pada tahap laten awal, 25 % akan kambuh dengan manifestasi sifilis sekunder, sedangkan kemungkinan kambuh seperti dalam tahap laten akhir kecil.1 d.

Late Sifilis (Sifilis tersier)

Sifilis tersier berkembang di 30-40 % dari pasien yang tidak diobati. Tiga manifestasi utama sifilis late adalah kardiovaskular, gummatous, dan neurosifilis. Sifilis kardiovaskular biasanya terjadi 15-30 tahun setelah sifilis primer dan dapat

12

terjadi pada setiap pembuluh darah besar. Hal ini ditandai dengan aortitis, inkompetensi aorta, stenosis ostial koroner (menyajikan sebagai angina), dan nekrosis aorta medial menyebabkan aneurisma aorta. Sifilis berbentuk guma adalah lesi granulomatosa lokal destruktif yang biasanya terjadi 3-12 tahun setelah inokulasi. Mereka dapat terjadi pada hampir setiap jaringan. Neurosifilis didapatkan dengan berbagai sindrom termasuk paresis umum, meningitis sifilis, dan sifilis meningovaskular. Masa inkubasi 5-12 tahun.1

3.6.

Diagnosis

Agak sulit dibuktikan dengan jelas karena terjadi perubahan hormonal. Diagnosis dibuktikan dengan: ●

Veneral diseases research laboratory (VDRL)



Fluorescent treponema antibody absorption test.



Dengan mempergunakan lapangan gelap, untuk membuktikan langsung

terdapat spirokaeta Treponema pallidum. ●

Pungsi lumbal untuk membuktikan neurosifilis.

3.7.

Tatalaksana

Wanita hamil dengan sifilis harus diobati sedini mungkin, sebaiknya sebelum hamil atau pada triwulan I untuk mencegah penularan terhadap janin. Suami harus diperiksa dengan menggunakan tes reaksi Wassermann dan VDRL, bila perlu diobati. Terapi sifilis dengan suntikan penisilin G secara intramuskuler sebanyak 1 juta satuan perhari selama 8-10 hari, obat-obat per oral penisilin dan eritromisin. Sifilis kongenital pada neonatus diberikan terapi penisilin G 100.000 satuan per kg berat badan sekaligus.10

4.

Rubella

4.1.

Definisi

Rubella juga disebut campak Jerman, adalah penyakit masa kanak- kanak yang insidennya telah nyata menurun di Amerika utara sejak diperkenalkannya vaksin rubella rutin pada anak. Dengan tidak adanya kehamilan, biasanya secara klinis dimanifestasikan sebagai infeksi ringan yang sembuh sendiri. Rubella merupakan

13

salah satu infeksi paling teratogenik yang dikenal dengan sekuele infeksi janin paling buruk selama fase organogenesis.11

4.2.

Epidemiologi

KLB rubella besar terjadi di Kanada pada 1990-an. Pada tahun 2005, 220 kasus rubella yang dikonfirmasi di tiga kabupaten di Ontario. Sebagian besar dari kasus ini berada di anggota komunitas keagamaan yang banyak anggota belum divaksinasi atau belum diterima berbagai vaksin rutin yang direkomendasikan. Insiden rubella telah menurun 99% dari 57.686 kasus pada 1969 menjadi 271 kasus pada tahun 1999. Di luar kehamilan, rubella tidak berbahaya. Namun, dalam kehamilan, penyakit ini menyebabkan kelainan bawaan janin. Wanita hamil dengan rubella mempunyai distribusi angka cacat bawaan pada janin bergantung pada tuanya kehamilan. Trimester I ke bawah 30-50%, trimester II 6,8% dan trimester III 5,3%.10

4.3.

Patogenesis

Virus rubella disebabkan oleh droplet. Virus ini ada di dalam nasofaring dan menyebar melalui sistem limfatik dan darah. Infeksi janin terjadi jika terdapat viremia maternal dan terjadi melalui transmisi plasenta. Infeksi janin diperoleh secara hematogen, dan tingkat transmisi bervariasi dengan usia kehamilan di mana infeksi ibu terjadi. Setelah menginfeksi plasenta, virus rubella menyebar melalui sistem vaskular dari perkembangan janin, menyebabkan kerusakan sitopatik ke pembuluh darah dan iskemia dalam perkembangan organ. Ketika ibu infeksi/paparan terjadi pada trimester pertama, tingkat infeksi janin mendekati 80%, turun menjadi 25% pada akhir trimester kedua dan meningkat lagi di trimester ketiga dari 35% pada usia kehamilan 27-30 minggu untuk hampir 100% melewati 36 minggu gestation. Risiko cacat bawaan telah dilaporkan 90% bila infeksi maternal terjadi sebelum 11 minggu kehamilan, 33% di 11-12 minggu, 11% di 13-14 minggu, 24% di 15-16 minggu, dan 0% setelah 16 weeks.8

4.4.

Gejala Klinis

14

Pada orang dewasa, rubella biasanya bermanifestasi sebagai demam ringan disertai ruam makulopapular generalisata yang dimulai diwajah dan menyebar ke badan dan ekstremitas. Gejala lain adalah artralgia atau arthritis, limfadenopati kepala dan leher, dan konjungtivitis. Masa tunas adalah 12-23 hari. Viremia biasanya mendahului tanda-tanda klinis sekitar seminggu, dan orang dewasa dapat menularkan penyakit sejak viremia hingga 5 sampai 7 hari ruam. Hampir separuh infeksi pada ibu hamil bersifat subklinis meskipun terjadi viremia yang dapat menyebabkan infeksi dan malformasi pada janin.6 Neonatus yang lahir dengan rubella kongenital dapat mengeluarkan virus selama berbulan-bulan dan karena itu merupakan ancaman bagi bayi lain serta orang dewasa yang rentan yang berkontak dengan mereka. Sindrom rubella kongenital mencakup satu atau lebih dari yang berikut:6 Cacat mata-katarak dan glaucoma kongenital Penyakit jantung-duktus arteriosus paten dan stenosis arteri pulmonalis Tuli sensorineural-cacat tunggal tersering Cacat susunan saraf pusat-mikrosefalus, hambatan perkembangan, retardasi mental dan meningoensefalitis Retinopati pigmentasi Purpura neonatus Hepatosplenomegali dan ikterus Penyakit tulang radiolusen

4.5.

Diagnosis

Diagnosis yang akurat dari infeksi rubella primer akut pada kehamilan sangat penting dan membutuhkan pemeriksaan serologi, karena merupakan poin penting dari kasus subklinis. Serologi oleh ELISA untuk mengukur IgG rubella – spesifik dan IgM nyaman, sensitif, dan akurat. Kehadiran infeksi rubella didiagnosis oleh:12 a.

Kenaikan empat kali lipat titer rubela antibodi IgG antara spesimen

serum akut dan konvalesen b.

Tes serologis positif untuk antibodi spesifik IgM rubella

15

c.

Kultur rubella positif (isolasi virus rubella dalam spesimen klinis dari

pasien)

Studi serologi yang terbaik dilakukan dalam waktu 7 sampai 10 hari setelah timbulnya ruam dan harus diulang dua sampai tiga minggu kemudian. Kultur virus yang diambil dari hidung, darah, tenggorokan, urin, atau cairan serebrospinal mungkin positif dari satu minggu sebelum hingga dua minggu setelah timbulnya ruam.12 4.6.

Tatalaksana

Tidak ada terapi spesifik untuk rubella. Pasien dianjurkan untuk berhati-hati menjaga

percikan ludah selama 7 hari setelah awitan ruam. Jika dalam kandungan wanita terpapar virus rubella, wanita harus diberi konseling mengenai risiko dan konsekuensi dari virus ini. Diagnosis prenatal, bahkan pada trimester pertama dapat dideteksi.6

4.7.

Pencegahan

Kumpulan

kekebalan

dirawat

oleh

vaksinasi

anak

luas,

meskipun

kekhawatiran baru-baru ini atas keselamatan gondok, campak, dan rubella(MMR) mengalami penurunan penyerapan di Inggris. Idealnya, perempuan harus di uji sebelum kehamilan untuk memastikan kekebalan, namun skrining rutin pada pemesanan mengidentifikasi mereka yang berisiko dan membutuhkan vaksinasi setelah melahirkan.13

5.

Citomegalovirus (CMV)

5.1.

Defenisi

Cytomegalovirus (CMV) atau dikenal sebagai virus herpes 5 (HHV-5), adalah virus yang terbungkus DNA untai ganda dan anggota keluarga herpesviridae. Cytomegalovirus merupakan penyebab paling umum dari infeksi intrauteri, terjadi pada 0,2 % sampai 2,2 % dari semua kelahiran hidup, dan penyebab umum gangguan pendengaran sensorineural dan retardasi mental.8

5.2.

Epidemiologi

16

Lebih dari separuh wanita hamil menunjukkan tanda serologik pernah terinfeksi CMV. Satu persen wanita mungkin terinfeksi CMV selama kehamilan, yang semuanya asimptomatik. Infeksi primer CMV terjadi pada 1-2% wanita hamil, diperkirakan bahwa sekitar 50 % dari wanita usia reproduksi rentan terhadap infeksi CMV. Serokonversi terjadi pada 1 % sampai 4 % dari seluruh kehamilan dan lebih tinggi pada wanita yang status sosial ekonomi rendah atau yang memiliki kebersihan pribadi yang buruk. Infeksi ini dikaitkan dengan peningkatan mortalitas perinatal dan 3-7 persen bayi mendapatkan kelainan kongenital.1,8

5.3.

Etiologi

Cytomegalovirus (CMV) termasuk golongan virus herpes DNA. Hal ini berdasarkan struktur dan cara virus CMV pada saat melakukan replikasi. Virus ini menyebabkan pembengkakan sel yang karakteristik sehingga terlihat sel membesar (sitomegali) dan tampak sebagai gambaran mata burung hantu.1

Gambar 4. Cytomegalovius pada pewarnaan hematoxylin-eosin

5.4.

Patogenesis

Infeksi CMV yang terjadi karena pemaparan pertama kali atas individu disebut infeksi primer. Infeksi primer berlangsung simptomatis ataupun asimptomatis serta virus akan menetap dalam jaringan hospes dalam waktu yang tidak terbatas. Selanjutnya virus masuk ke dalam sel-sel dari berbagai macam jaringan. Proses ini disebut infeksi laten. Pada keadaan tertentu eksaserbasi terjadi dari infeksi laten disertai multiplikasi virus. Keadaan tersebut misalnya terjadi pada individu yang mengalami supresi imun karena infeksi HIV, atau obat-obatan yang dikonsumsi penderita transplant-resipien ataupun penderita dengan keganasan.1

17

Infeksi rekuren (reaktivasi/reinfeksi) yang dimungkinkan karena penyakit tertentu serta keadaan supresi imun yang bersifat iatrogenik. Dapat diterangkan bahwa kedua keadaan tersebut menekan respons sel limfosit T sehingga timbul stimulasi antigenik yang kronis. Dengan demikian,terjadi reaktivasi virus dari periode laten disertai berbagai sindroma.1 Infeksi pertama merupakan infeksi laten, sekalipun terdapat antibodi. Cara penularan infeksi dengan jalan:4 1.

Horizontal : a. droplet, saliva dan barang lainnya.

b. melalui tempat perawatan atau sebagai sumber infeksi. 2.

Vertikal : Infeksi menuju janinnya, terutama melalui plasenta. 30-40%

menimbulkan kelainan kongenital.15-20% menimbulkan gangguan neurologis dan mental. 10-30% akan mengalami kematian.

5.5.

Gejala Klinis

Infeksi primer CMV pada ibu hamil ditularkan ke janinnya pada sekitar 40 persen kasus dan dapat menyebabkan morbiditas berat. Sebaliknya infeksi rekuren pada ibu hanya menginfeksi janin pada 0,15 sampai 1 persen kasus. Infeksi janin transplasenta lebih besar kemungkinannya terjadi pada paruh pertama kehamilan.5 Karakteristik infeksi janin yang dapat membantu dalam diagnosis prenatal termasuk hambatan pertumbuhan dalam kandungan, serebral ventrikulomegali, asites, mikrosepali, hidrosepali, kalsifikasi periventrikuler, hepatosplenomegali, kardiomegali, dan oligo atau polihidramnion. Sebagian besar bayi yang terinfeksi tidak memperlihatkan gejala saat lahir, tetapi sebagian mengalami sekuele yang muncul belakangan misalnya gangguan pendengaran, defisit neurologis, korioretinitis, retardasi psikomotor, dan gangguan belajar.8

5.6.

Diagnosis

Infeksi primer pada kehamilan dapat ditegakkan baik dengan metode serologik maupun virologik. Dengan metode serologik, diagnosis infeksi maternal primer dapat ditunjukkan dengan adanya perubahan dari seronegatif menjadi seropositif (tampak adanya IgM dan IgG anti CMV) sebagai hasil pemeriksaan serial dengan interval kira-kira 3 minggu. Dalam metode serologik infeksi primer dapat pula

18

ditentukan dengan Low IgG Avidity, yaitu antibodi klas IgG menunjukkan fungsional aviditasnya yang rendah serta berlangsung selama kurang lebih 20 minggu setelah infeksi primer. Dalam hal ini lebih dari 90 % kasus infeksi primer menunjukkan IgG aviditas rendah (Low Avidity IgG) terhadap CMV. Dengan metode virologik, viremia maternal dapat ditegakkan dengan menggunakan uji imuno fluoresen. Uji ini menggunakan monoklonal antibodi yang mengikat antigen Pp 65, suatu protein (polipeptida dengan berat molekul 65 kilo dalton) dari CMV di dalam sel leukosit dalam darah ibu.1 Diagnosis pranatal harus dikerjakan terhadap ibu dengan kehamilan yang menunjukkan infeksi primer pada umur kehamilan sampai 20 minggu. Diagnosis pranatal dilakukan dengan mengerjakan metode PCR dan isolasi virus pada cairan ketuban yang diperoleh setelah amniosentesis. Amniosentesis dalam hubungan ini paling baik dikerjakan pada umur kehamilan 21-23 minggu.1

5.7.

Tatalaksana

Penanganan wanita hamil imunokompeten dengan infeksi CMV primer atau rekuren terbatas pada terapi simtomatik. Tidak ada terapi yang memuaskan dapat diterapkan, khususnya pada pengobatan infeksi kongenital. Obat yang digunakan untuk anti CMV saat ini adalah Ganciclovir, Foscarnet, Cidofivir dan Valacidovir, tetapi sampai saat ini belum dilakukan evaluasi di samping obat tersebut dapat menimbulkan intoksikasi serta resistensi. Berbagai agen terapi seperti gansiklovir, Adenosin arabinosid, asiklovir, idoxuridin, sitosin arabinosid, leukosit interferon telah diberikan untuk pengobatan infeksi CMV kongenital, tetapi tidak ada yang menemukan kepuasan karena toksisitas atau kambuhnya infeksi setelah pemberian obat dihentikan. Saat ini, tidak ada peran perawatan antenatal pada infeksi CMV fetal.1,8

6.

Herpes

6.1.

Defenisi

Herpes simpleks merupakan infeksi akut yang disebabkan oleh virus herpes simpleks (virus herpes hominis) tipe I atau tipe II yang ditandai oleh adanya

19

vesikel yang berkelompok di atas kulit yang sembab dan eritematosa pada daerah dekat mukokutan, sedangkan infeksi dapat berlangsung baik primer maupun rekurens.14

6.2.

Epidemiologi

Usia dan Jenis kelamin merupakan faktor risiko penting yang terkait dengan penambahan infeksi genital HSV-2. Bahkan, prevalensi infeksi HSV meningkat dengan usia, mencapai puncak sekitar 40 tahun. Infeksi ini muncul terkait dengan jumlah pasangan seksual, dan lebih sering pada wanita dibandingkan pada pria. Selain itu, etnis, kemiskinan, penyalahgunaan kokain, onset aktivitas seksual sebelumnya, perilaku seksual, dan vaginosis bakteri dapat memfasilitasi risiko seorang wanita dari infeksi sebelum kehamilan. Infeksi yang terjadi pada bayi jarang, berupa infeksi paru, mata dan kulit.1

6.3.

Etiologi

Virus herpes simpleks merupakan virus DNA beruntai ganda, mempunyai enveloped, termasuk dalam keluarga Herpesviridae ditransmisikan melintasi membran mukosa dan kulit tidak utuh, yang bermigrasi ke jaringan saraf, di mana mereka bertahan dalam keadaan laten. HSV-1 mendominasi pada lesi orofasial, dan itu biasanya ditemukan dalam ganglia trigeminal, sedangkan HSV- 2 yang paling sering ditemukan di ganglia lumbosakral. Namun demikian virus ini dapat menginfeksi kedua daerah orofasial dan saluran kelamin.15

Gambar 5. Herpes simpleks virus

20

6.4.

Patogenesis

Penyebaran infeksi herpes simpleks dapat terjadi pada orang dengan gangguan kekebalan sel T, seperti pada penerima transplantasi organ dan pada individu dengan AIDS. HSV didistribusikan di seluruh dunia. Manusia adalah satusatunya penerima alami, dan tidak ada vektor yang terlibat dalam transmisi. Endemisitas mudah dipelihara di masyarakat kebanyakan manusia karena infeksi laten, reaktivasi periodik, dan asimptomatis virus shedding. HSV ditularkan melalui kontak pribadi yang dekat, dan infeksi terjadi melalui inokulasi virus ke permukaan mukosa rentan (misalnya, orofaring, serviks, konjungtiva) atau melalui celah-celah kecil di kulit. Virus ini mudah dinonaktifkan pada suhu kamar dan dengan pengeringan; karenanya, penyebaran aerosol jarang terjadi.15

6.5.

Gejala Klinis

Gejala utama herpes genital yang berlangsung hingga 21 hari setelah masa inkubasi. Masa inkubasi herpes berlangsung 2-20 hari. Pada wanita, herpes menyebabkan ulserasi dan rasa panas dari alat kelamin eksternal dan serviks yang mengarah ke nyeri vulva, disuria, keputihan, dan limfadenopati lokal. Lesi ulseratif dan vesikular paha dalam, bokong, perineum atau kulit perianal juga diamati. Kedua infeksi primer pada laki-laki dan wanita mungkin rumit dengan gejala sistemik seperti demam, sakit kepala, mialgia (38% pada pria, 68 % pada wanita), kadang-kadang meningitis dan dengan neuropati otonom mengakibatkan retensi urin, terutama pada wanita.15 Pada bayi infeksi ini didapat secara perinatal akibat persalinan lama sehingga virus ini mempunyai kesempatan naik melalui membran yang robek untuk menginfeksi janin. Gejala pada bayi biasanya mulai timbul pada minggu pertama kehidupan tetapi kadang-kadang baru pada minggu ke dua-tiga. Manifestasi kliniknya:

hepatosplenomegali,

ikterus,

petekie,

meningoensefalitis,

khorioretinitis, mikrosefali dan miokarditis.1

6.6.

Diagnosis

21

Semua yang diduga infeksi virus herpes harus dikonfirmasi melalui pengujian virus atau serologis. Diagnosis herpes genital berdasarkan presentasi klinis saja memiliki sensitivitas 40 % dan spesifisitas 99 % dantingkat positif palsu 20 %. Tes digunakan untuk mengkonfirmasi adanya infeksi HSV dapat dibagi menjadi dua kelompok dasar: (1) teknik deteksi virus dan (2) teknik deteksi antibodi. Teknik pengujian DNA virus utama adalah kultur virus dan deteksi antigen HSV oleh polymerase chain reaction (PCR).1 Diagnosis HSV harus dikonfirmasi baik serologis atau dengan kultur virus. Isolasi HSV dalam kultur sel adalah tes virologi pilihan untuk pasien yang mencari perawatan medis untuk ulkus genital atau lainnya lesi mukokutan dan memungkinkan perbedaan dari jenis virus (HSV-1 vs HSV-2). Sensitivitas uji ini terbatas karena beberapa masalah yang berkaitan dengan pengambilan sampel dan transportasi spesimen. Selain itu, sebagai penyembuhan lesi, mereka cenderung menjadi kultur positif. Dengan demikian, kultur genital positif memberikan bukti konklusif infeksi HSV genital; namun, hasil negatif tidak mengecualikan adanya infeksi. Teknik polymerase chain reaction melibatkan amplifikasi urutan tertentu DNA atau RNA sebelum deteksi dan dengan demikian dapat mendeteksi bukti DNA virus pada konsentrasi rendah. Teknik PCR yang tersedia secara komersial dan bisa membedakan antara HSV-1 dan HSV-2. PCR memberikan sensitivitas meningkat lebih dari kultur dan akhirnya dapat menggantikan kultur sebagai standar perawatan untuk diagnosis.1

6.7.

Tatalaksana

Wanita hamil dengan episode klinis pertama atau kambuh dapat diobati dengan asiklovir atau valasiklovir pada dosis yang dianjurkan. Sejak asiklovir dan valasiklovir tidak resmi disetujui untuk pengobatan ibu hamil, pasien harus diberitahu untuk memberikan persetujuan sebelum administrasi. Namun, tidak ada peningkatan kelainan janin dianggap berasal dari perawatan ini, meskipun hasil jangka panjang tidak dievaluasi. Pengobatan dengan asiklovir dan valasiklovir pada 36 minggu dari kehamilan untuk mengurangi frekuensi manifestasi klinis, penularan vertikal, penghapusan virus selama kelahiran dengan mengurangi persentase perempuan caesarean. Asiklovir dapat menurunkan keparahan dan

22

lamanya serangan utama jika diberikan dalam waktu 5 hari dari timbulnya gejala.15 6.8.

Pencegahan

Pencegahan antara lain dengan cara menjaga kebersihan perseorangan dan pendidikan kesehatan terutama kontak dengan bahan infeksius, menggunakan kondom dalam aktifitas seksual, dan penggunaan sarung tangan dalam menangani lesi infeksius.1

23

BAB 3 KESIMPULAN

Adapun kesimpulan dari referat ini yaitu:

Etiologi

Gejala Klinis

Toksoplasmosis

Others (Sifilis)

Rubella

Citomegalovirus

Herpes simplex

Toksoplasma gondii

Treponema pallidum spirochete

virus RNA beruntai tunggal (Togaviridae)

virus DNA beruntai ganda (Herpesviridae

virus DNA beruntai ganda (Herpesvirida)

-Primer: Chancre Di tempat inokulasi,nyeri soliter,ulkus bulat indurasi. -Sekunder:lesi banyak, bervariasi, ruam non-iritasi, makulopapular pada telapak tangan dan kaki -Laten: asimptomatik -Late: kardiovaskular, gummatous, neurosifilis.

-Demam ringan -Ruam makulopapular generalisata -Atralgia -Arthritis -Konjungtivitis

-Asymptomatis -Demam -Faringitis - Limfadenopati -Poliarthritis

-Rasa panas Dan ulserasi Alat kelamin eksternal dan servix -Nyeri vulva -Disuria -Keputihan -Limfadenopati lokal -Gejala sistemik: demam, nyeri kepala, mialgia

-VDRL -Fluorescent treponema antibodi absorption test

- Pem.serologis (IgM dan IgG) - Kultur rubella

-Metode serologik (IgM,IgG) -Metode virologik (uji imuno fluoresen)

-Kultur virus -Pemeriksaan PCR

-Subklinis -Lesu -Demam -Nyeri otot, -Ruam makulopapular -Limfadenopati,

Diagnosis -Pem.serologis (IgM dan IgG)

24

25

Terapi

-Pyrimetamin dan sulfonamide -Spiramisin

-Suntikan penisilin G IM -Obat oral penisilin, eritromisin

Tidak ada terapi spesifik

-Terapi simtomatik -Gansiklovir, Fuscarnet, Ridofivir, Valasiklovir

-Antivirus (Asiklovir dan Valasiklovir)

Komplikasi

Trias klasik(korioreti nitis, kalsifikasi intrakranium, hidrosefalus)

-Pembatasan pertumbuhan intrauterin -Hidropsfetalis non-imun -Kelahiran prematur -Abortus spontan (50%)

-Katarak, glaukoma -PDA, Stenosis a.pulmonalis -Tuli sensorineural -Mikrosefalus,Hambatan perkembangan Hepatosplenome gali, ikterus

-Mikrosefali -Hidrosefali -Kalsifikasi periventrikuler -Serebral ventrikulomeg ali -Oligo atau polihidramnion

Hepatospleno megali -Ikterus -Petekie - Meningoencep halitis -Korioretinitis -Mikrosefali -Miokarditis

26

DAFTAR PUSTAKA

1.

Prawirohardjo S, Saifuddin AB, Rachimhadhi T. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT

Bina Pustaka; 2014. 572 – 574. 2.

Pizzo JD. Congenital Infecton (TORCH). Pediatric in Review: december

2011; 32(12). 3. [online]

Neu N, Duchon J, Zachariah P. TORCH Infections. Clinical Perinatology 2019.

[cited

Feb7,

2019].

Available

from:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25677998 4.

Manuaba IBG, Manuaba IAC, Manuaba IBGF. Pengantar Kuliah Obstetri.

Jakarta: EGC; 2007. Hal. 639 5.

Andriyani R, Megasari K. Faktor Risiko Yang Berhubungan Dengan Kejadian

Infeksi Toksoplasma Pada Ibu Hamil Di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru Tahun 2010-2013. Jurnal Kesehatan Andalas[online] 2019. [cited Feb7, 2019]. Available from: http://jurnal.fk.unand.ac.id 6.

Cuningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Houth JC, Rouse DJ, Spong

CY.Williams Obstetrics23rd Edition. Dallas: Medical; 2010. 7.

Jones DL. Dasar-dasar Obstetri dan Ginekologi edisi 6. Jakarta: Hipokrates;

2001. 8.

Reece EA, Hobbins JC. Clinical obstetric the fetus and mother 3rd edition.

Massauchussets: Blackwell. 2007. 9.

Suparman E. Toxoplasmosis dalam Kehamilan. Jurnal Biomedik: 4(1); 13-19.

2012. 10.

Mochtar

R.

Synopsis

obstetri

Edisi

3.

Jakarta:

EGC.

2011.

11.

Cuningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Houth JC, Rouse DJ, Spong CY.

Williams Obstetrics23rd Edition. Dallas: Medical. 2010. 12.

Dontigny L, Arsenault M, Marte MJ. Rubella in Pregnancy Sogc Clinical

Practice Guidelines. J Obstet Gynaecol Can [online] 2008. [cited Feb7, 2019]. Available from: http://sogc.org/guidelines/rubella-in-pregnancy/ 13.

Collins S. Arulkumaran S. Hayes K. Jackson S. Impey L. Oxford Handbook of

Obstetrics and Gynaecology Third Edition. United Kingdom: Oxford University Press. 2013. 14.

Djuanda A. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Keenam. Jakarta: Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia. 2010.

27

15.

Straface G, Selmin A, Zanardo V, De santis M, Ercoli A. Review Article Herpes

Simplex Virus Infection in Pregnancy [online] 2012. [cited Feb7,2019]. Available from:http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3332182/

28

Related Documents

Torch
November 2019 14
Css
November 2019 69
Css
May 2020 44
Css
November 2019 70

More Documents from ""

Bab Ii (1).pdf
May 2020 2
Cabai.docx
May 2020 4