Clinical Science Session
Infeksi TORCH dalam Kehamilan
Oleh : Satria Jaka Perkasa
1110312038
Tri Bakti Permana
1110312124
Preseptor : dr. Mutiara Islam, Sp.OG (K)
BAGIAN ILMU OBSTETRI DAN GYNEKOLOGI RSUD PARIAMAN FAKULTASKEDOKTERANUNIVERSITAS ANDALAS 2018
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Infeksi dalam kehamilan
adalah
infeksi yang terjadi saat kehamilan
berlangsung, bisa didapatkan saat sebelum kehamilan terjadi atau didapatkan saat kehamilan. Besarnya pengaruh infeksi tersebut tergantung dari virulensi agennya, umur kehamilan serta imunitas ibu bersangkutan saat infeksi berlangsung. Dampak terhadap janin bisa berbeda bila kuman penyakit masuk ditrimester yang berbeda pula .Ibu hamil dengan janin yang dikandungnya sangat peka terhadap infeksi dan penyakit menular. Beberapa di antaranya meskipun tidak mengancam nyawa ibu, tetapi dapat menimbulkan dampak pada janin dengan akibat antara lain abortus, pertumbuhan janin terhambat, bayi mati dalam kandungan, serta cacat bawaan. Kebanyakan penyakit infeksi diperparah dengan terjadinya kehamilan. Dan ada pula penyakit yang nampaknya tidak terlalu mengancam jiwa ibu hamil bahkan tidak nampak gejala tetapi bisa membahayakan terhadap janin. Penyakit-penyakit intrauterin yang sering menyebabkan dampak yang berbahaya pada janin
yaitu
Penyakit TORCH ; merupakan singkatan dari T = Toksoplasmosis ; R = Rubela (campak Jerman); C = Cytomegalovirus; H = Herpes simpleks.1,2,3 Penyakit infeksi dalam kehamilan akan dibagi dalam penyakit akibat hubungan seksual, dan penyakit lainnya terdiri dari infeksi oleh bakteri, virus serat infeksi parasit dalam kehamilan. Infeksi dalam kehamilan berdampak pada janin bisa berasal
dari infeksi tersebut saat janin didalam kandungan atau saat janin setelah dilahirkan pervaginam karena kontak langsung dengan tempat yang terinfeksi.1,3 Banyak penyakit infeksi intrauterin maupun yang didapat pada masa perinatal yang berakibat sangat berat pada janin maupun bayi, bahkan mengakibatkan kematian sehingga diperlukan diagnosa yang cepat dan tindakan pengobatan serta pencegahan baik yang dapat dilakukan oleh wanita hamil, suami, keluarganya maupun dari pemerintah sehingga diharapkan menurunkan angka kematian ibu maupun bayi.2
1.2. Batasan Masalah Makalah ini membahas definisi, etiologi, gambaran klinik, diagnosis, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan Infeksi TORCH dalam Kehamilan.
1.3. Tujuan Penulisan Makalah ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman mengenai Infeksi TORCH dalam Kehamilan. 1.4. Metode Penulisan Makalah ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang dirujuk dari berbagai literatur. 1.5. Manfaat Penulisan Melalui makalah ini diharapkan bermanfaat untuk menambah ilmu dan pengetahuan mengenai Infeksi TORCH dalam Kehamilan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
TOKSOPLASMOSIS
2.1.1
Definisi Toksoplasmosis
adalah
penyakit
zoonosis,
disebabkan
oleh
parasit
Toxoplasma gondii. Toksoplasmosis kongenital adalah infeksi pada bayi baru lahir yang berasal dari ibu yang terinfeksi. Bayi tersebut biasanya asimptomatik, namun manifestasi selanjutnya bisa menjadi korioretinitis, strabismus, epilepsy dan retardasi psikomotor.4 2.1.2
Etiologi Toxoplasma gondii adalah suatu protozoa obligat intraseluler yang
menginfeksi burung dan beberapa jenis mamalia terutama kucing diseluruh dunia.4 2.1.3
Patogenesis Tahap utama daur hidup parasit adalah pada kucing (hospesdefinitif). Dalam
sel epitel usus kecil kucing berlangsung daur aseksual (skizogoni) dan daur seksual (gametogoni, sporogoni) yang menghasilkan ookista yang dikeluarkan melalui tinja. Bila ookiosta tertelan oleh hospes perantara, maka pada berbagai jaringan akan terjadi pembelahan cepat menjadi takizoit yang bereplikasi pada seluruh sel kecuali di eritrosit , menjadi bradizoit (masa infeksi laten), dan memasuki stadium istirahat (kista jaringan). 4,5 Bila kista jaringan yang mengandung bradizoit atau ookista yang mengandung sporozoit terlelan oleh hospes, parasit akan bebas dari kista. Di dalam eritrosit, parasit
akan mengalami transformasi morfologi, sehingga
terjadi peningkatan jumlah
tropozoit invasif. Dari traktus gastrointestinal, parasit akan menyebar ke berbagai organ, terutama jaringan limfatik, otot lurik, miokardium, retina, plasenta, dan SSP. Parasit akan menginfeksi sel dan mengalami replikasi serta menginvasi sel sekitar. Sel-sel tersebut akan mengalami kematian sel dan nekrosis fokal yang disertai proses inflamasi akut inflamasi akut.4,5 Pada hospes imunokompromais atau pada janin, faktor-faktor imun yang dbutuhkan untuk mengontrol penyebaran penyakit jumlahnya rendah. Akibatnya takizoit menetap dan penghancuran progresif berlangsung dan terjadi kegagalan organ.6 Cara penularan dapat terjadi melalui beberapa jalur : 1. Transmisi congenital Infeksi pada pada plasenta dipengaruhi boleh saat terjadinya infeksi pada neonatus. Namun hanya 30% infeksi terjadi pada bayi dari ibu yang terinfeksi saat kehamilan. Transmisi infeksi congenital sebagian besar (65%) terjadi pada trismester ketiga dan makin muda usia kehamilan makin besar resiko terjadi kelainan yang berat bahkan kadang-kadang berakhir dengan abortus.3 Seorang ibu sering kali tidak mengetahui mendapat infeksi toxoplasma pada saat kehamilan, walaupun kadang-kadang masih dapat ditemukan pembesaran kelenjar servikal pada saat melahirkan.7 2. Transmisi melalui makanan Transmisi kemungkinan besar melalui daging yang mengandung kista. Transmisi melalui daging yang tidak atau kurang matang bukan merupakan jalur penularan
yang penting dibandingkan dengan penularan melalui makanan yang tercemar kista dari tinja kucing.3,7
3. Melalui transfusi darah Toxoplasma dapat ditemukan dalam darah donor yang asimtomatik dan parasit ini dapat hidup dalam darah lengkap dengan sitrat pada suhu 30º C selama 50 hari. Penularan lain juga dapat terjadi melalui petugas laboratorium yang bertgas memelihara binatang, dan alat suntik yang terkontaminasi.3,7
2.1.4
Manifestasi Klinis Toksoplasmosis Gejala yang dapat timbul pada toksoplsmosis adalah fatigue, nyeri otot dan
kadang-kadang limfadenopati, tetapi seringkali infeksi terjadi subklinis. Infeksi toxoplasma berbahaya bila terjadi saat ibusedang hamil atau pada orang dengan sistem kekebalan tubuh terganggu (misalnya penderita AIDS, pasien transpalasi organ yang mendapatkanobat penekan respon imun).4 Jika wanita hamil terinfeksi toxoplasma maka akibat yangdapat terjadi adalah abortus spontan atau keguguran (4%), lahir mati (3%) atau bayi menderita toxoplasmosis bawaan. Pada toxoplasmosis bawaan, gejala dapat muncul setelah dewasa, misalnya kelinan mata dan telinga,retardasi mental, kejang-kejang dan ensefalitis.1,2,3 Sedangkan bila janin lahir setelah ibu terinfeksi selama kehamilan, bayi
bisa
lahir
dalam
keadaan
hidrosefalus,
berat
bayi
lahir
rendah,
hepatospleenomegali, ikterus dan anemia. Gejala deficit neurologis seperti kejang-
kejang, kalsifikasi intracranial, retardasi mentaldan hidrosefalus atau mikrosefalus. Pada kedua kelompok biasanya terjadi korioretinitis.5,6 • Firsthalf of pregnancy : dapat menyebabkan malformation pada CNS, microcephali, hydrocephalus dan perinatalmortality. • Second half of pregnancy: Ringan/asymtomatic, demam (flulikesyndrome), limfadenopati servikal ataupun aksila, namun tidak sakit. • Gejala‐gejala ini beberapa minggu sampai bulan. Anemia, leukopenia, kadang leukositosis. Dapat terjadi chorioretinitis dan kelainan pada CNS setelah beberapa bulan atau beberapa tahun kemudian. • Congenital Toxoplasmosis: Anak hidup dengan kemunduran mental yang parah, kejang, strabismus dan kebutaan.
2.1.5
Diagnosis Prenatal Toksoplasmosis Diagnosis pranatal umumnya dilakukan pada usia kehamilan 14-27 minggu.
Aktivitas diagnosis meliputi :4 1. Kordosentesis (pengambilan sampel darah janin melalui tali pusat) ataupun amniosentesis (aspirasi cairan ketuban) dengan tuntunan Ultrasonografi. 2. Pembiakan darah janin ataupun cairan ketuban dalam kultur sel fibroblast, ataupun diinokulasi ke dalam ruang peritoneum dan diikuti isolasi parasit. Pemeriksaan dengan PCR untuk mendeteksi adanya DNA Toksoplasma gondii pada darah janin ataupun cairan ketuban. Pemeriksaan dengan teknik ELISA pada
darah
janin
(antitoksoplasma)
guna
mendeteksi
antibody
IgM
janin
spesifik
2.1.6
Penatalaksanaan Pengobatan pada pasien hamil:
Spiramycin 1 g per oral, dibagi dalam 3 dosis per hari
Bila pada pemeriksaan cairan amnion didapatkan hasil yang positif untuk T. gondii, diberi pyrimethamine (50 mg/hari per oral) dan sulfadiazine (3 g/hari per oral, dibagi dalam 2-3 dosis) dilanjutkan dengan 3 minggu pemberian spiramycin 1 g tiga kali sehari untuk pengobatan maternal atau,
Pyrimethamine (25 mg/hari per oral) dan sulfadiazine (4 g/hari per oral) dibagi dalam 2-4 kali per hari sampai saatnya kelahiran (dapat menyebabkan penekanan pada sumsum tulang dan pansitopenia) dan,
Asam folinic (10-25 mg/hari per oral) untuk mencegah penekanan pada sumsum tulang
Pencegahan terutama untuk ibu hamil, yaitu dengan cara :
Mencegah terjadinya infeksi primer pada ibu-ibu hamil - Memasak daging sampai 60º C - Jangan menyentuh mukosa mulut bila sedang memegang daging mentah - Mencuci buah atau sayur sebelum dimakan - Kebersihan dapur - Cegah kontak dengan kotoran kucing
- Siram bekas piring makanan kucing dengan air panas
Mencegah infeksi terhadap janin dengan jalan : - Seleksi wanita hamil dengan tes serologis - Pengobatan adekwat bila ada infeksi selama hamil - Tindakan abortus terapeutik pada trimester I/II - Vaksinasi pada kucing dengan tujuan untuk mencegah sporulasi dan pelepasan ookista ke lingkungan, dapat menurunkan secara drastis angka infeksi toxoplasma pada binatang dan manusia.
2.2. RUBELA 2.2.1 Definisi Infeksi ini juga dikenal dengan campak Jerman dan sering diderita anak-anak. Rubela yang dialami pada tri semester pertama kehamilan 90 persennya menyebabkan kebutaan, tuli, kelainan jantung, keterbelakangan mental, bahkan keguguran. Ibu hamil disarankan untuk tidak berdekatan dengan orang yang sedang sakit campak Jerman.8
2.2.2. Etiologi Penyakit ini disebabkan oleh virus Rubella, sebuah toga virus yang menyelimuti dan memiliki genom RNA beruntai tunggal.3,4,5 Virus ini ditularkan melalui rute pernapasan dan bereplikasi dalam nasofaring dan kelenjar getah bening. Virus ini dapat ditemukan dalam darah 5 sampai 7 hari setelah infeksidan menyebar ke seluruh tubuh. Virus memiliki sifat teratogenik dan mampu menyeberangi plasenta
dan menginfeksi janin di mana sel-sel berhenti dari berkembang atau menghancurkan mereka.8,9 2.2.3. Manifestasi Klinis Manifestasi klinis rubella adalah :9 1. Gejala yang di timbulkan adalah demam, ruam pada kulit , batuk, nyeri sendi, nyeri kepala, limfadenopati post auricular and suboccipital 2. Gejala klinis biasanya ringan dan 50-75% kasus, gejala tidak tampak
Dampak Terhadap Kehamilan 10 Derajat penyakit terhadap ibu tidak berdampak terhadap resiko infeksi janin. Infeksi yang terjadi pada trimester I memberikan dampak besar terhadap janin. Infeksi fetal : 1. Tidak berdampak terhadap bayi dan janin dilahirkan dalam keadaan normal 2. Abortus spontan 3. Sindroma Rubella kongenital Secara spesifik, infeksi pada trimester I berdampak terjadinya sindroma rubella kongenital sebesar 25% ( 50% resiko terjadi pada 4minggu pertama ), resiko sindroma rubella kongenital turun menjadi 1% bila infeksi terjadi pada trimester II dan III : Dampak-dampak Sindroma Rubela Kongenital: a. Intrauterine growth retardation simetrik, gangguan pendengaran, kelainan jantung : PDA (PatentDuctusArteriosus) dan hiplasia arteri pulmonalis b. Gangguan Mata : Katarak, Retinopati, Mikroptalmia
c. Hepatosplenomegali, panensepalus,
gangguan
kalsifikasi
system
otak,
saraf
retardasi
pusat,
mikrosepalus,
psikomotor,
hepatitis,
trombositopenik purpura Infeksi rubella tidak merupakan kontra indikasi pemberian ASI.
2.2.4
Diagnosis Diagnosis infeksi Rubella yang tepat perlu ditegakkan dengan bantuan
pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan Laboratorium yang dilakukan meliputi pemeriksaan
Anti-Rubella
IgG
dan
IgM.
Pemeriksaan
Anti-rubella
IgG
dapatdigunakan untuk mendeteksi adanya kekebalan pada saat sebelum hamil. Jika ternyata belum memiliki kekebalan, dianjurkan untuk divaksinasi. Pemeriksaan Antirubella IgG dan IgM terutama sangat berguna untuk diagnosis infeksi akut pada kehamilan < 18 minggu dan risiko infeksi rubella bawaan.8,9 Deteksi IgM mencapai puncak pd 7-10 hari setelah onset dan perlahan-lahan menurun selama 4-8 minggu. Infeksi janin dapat dideteksi dgn memeriksa IgM dalam darah janin setelah usia kehamilan 22 minggu. 9,10 Mereka yang non-imune harus memperoleh vaksinasi pada masa pasca persalinan. Tindak lanjut pemeriksaan kadar rubella harus dilakukan oleh karena 20% yang memperoleh vaksinasi ternyata tidak memperlihatkan adanya respon pembentukan antibodi dengan baik. 2.2.5
Penatalaksanaan Jika tidak terjadi komplikasi bakteri, pengobatan adalah simtomatis.
Adamantanamin hidrokhlorida (amantadin) telah dilaporkan efektif in vitro dalam
menghambat stadium awal infeksi rubella pada sel yang dibiakkan. Upaya untuk mengobati anak yang sedang menderita rubela kongenital dengan obat ini tidak berhasil. Karena amantadin tidak dianjurkan pada wanita hamil, penggunaannya amat terbatas. Interferon dan isoprinosin telah digunakan dengan hasil yang terbatas. Apabila wanita hamil terkena infeksi rubella dan ingin mempertahankan kehamilannya, maka disarankan untuk mendapatkan antibody yaitu hyperimmune globulin yang dapat melawan infeksi tersebut. Hal ini dapat mengurangi gejala namun tidak menghilangkan kemungkinan bayi akan terkena infeksi rubella kongenital. Tindakan pencegahan untuk infeksi rubella adalah dengan vaksinasi. Vaksin rubella adalah virus yang dilemahkan. Dosis tunggal vaksin ini dapat memberikan lebih dari 95% imunitas jangka panjang. Vaksin rubella tersedia dalam formula monovalent atau kombinasi dengan vaksin lain seperti measles (MR), measles dan mumps (MMR), atau measles, mumps, dan varicella (MMVR).
2.3
Cytomegalovirus (CMV)
2.3.1
Definisi Cytomegalovirus (infeksi sitomegalovirus) adalah penyakit yang disebabkan
oleh sitomegalovirus. Virus ini termasuk dalam keluarga besarvirus herpes. Penyakit ini termasuk penyakit yang mewabah di seluruh negaradan menular melalui kontak manusia. Hampir 4 dari 5 orang yang berumur 35 tahun pernah terinfensi CMV.10
2.3.2
Etiologi Sitomegalovirus termasuk virus asam deokisiribunokleat dan sensitif –eter.10
2.3.3
Manifestasi Klinis Umumnya >90% infeksi CMV pada ibu hamil asimpomatik, tidak terdeteksi
secara klinis. Gejala yang timbul tidak spesifik, yaitu: demam, lesu, sakit kepala, sakit otot dan nyeri tenggorok. Wanita hamil yang terinfeksi CMV akan menyalurkan pada bayi yang dikandungnya, sehingga bayi yang dikandungnya akan mendapatkan kelainan kongenital. Selain itu wanita yang hamil dapat mengalami keguguran akibat infeksi CMV.
2.3.4
Infeksi CMV pada kehamilan Transmisi dari ibu ke janin dpat terjadi selama kehamilan dan infeksi pada
umur kehamilan kurang dari 16 minggu menyebabkan kerusakan yang serius. Infeksi CMV kongenital berasal dari infeksi maternal eksogen maupun endogen. Infeksi eksogen dapat bersifat primer yaitu terjadi apabila ibu hamil dalam pola imunologik seronegatif, dan nonprimer bila ibu hamil dalamkeadaan seropositif. Infeksi endogenous adalah hasil dari reaktivasi virus yang sebelumnya dalam keadaan paten. Infeksi maternal primer akan memberikan akibat klinik yang jauh lebih buruk pada janin dibandingkan infeksi rekurens.11 Pemeriksaan laboratorium dapat ditegakkan baik dengan metodeserologik atau dengan virologik.Dengan metyode serologik, diagnosis infeksi maternal primer dapat ditujukkan degan adanya perubahan dari seronegative menjadi seropositif
(tampak adanya IgM dan IgG anti CMV) sebagai pemeriksaan hasil serial dengan interval kira-kira 3 minggu. Dalam metode serologik infeksi primer bisa juga ditentukan dengan Low IgG Avidity , yaitu antibodi klas IgG menunjukan fungsional aviditasnya yang rendah serta berlangsung selama 20 minggu setelah infeksi primer. Dengan metode virologik, viremia maternal dapat ditegakkan dengan menggunakan uji imunofloresens. Uji ini menggunakan monoklonal antibodi yang mengikat antigenPp 65, suatu protein polipetida dengan berat molekul 65 kilo dalton dari CMVdi dalam sel leukosit ibu.10
2.3.5
Diagnosis Pranatal Citomegalovirus Saat ini terminasi kehamilan merupakan satu-satunya terapi intervensi karena
pengobatan dengan antivirus (ganciclovir) tidak efektif dan memuaskan. Diagnosis pranatal dilakukan dengan metode PCR dan isolasi virus padacairan ketuban yang diperoleh setelah amniosentesis. Amniosentesis pada hubungan ini paling baik dikerjakan pada usia kehamilan 21-23 minggu.
2.3.6
Penatalaksanaan Pilihan terapi terbaik dan pencegahan penyakit CMV yaitu gansiklovir dan
valgansiklovir. Pilihan lainnya merupakan lini kedua antara lain foscarnet dan cidofovir . Konsensus yang menyatakan hal yang lebih baik antara profilaksis dengan terapi preemptive yang lebih baik untuk pencegahan infeksi CMV pada penerima organ transplan solid.12
Seorang calon ibu hendaknya menunda untuk hamil apabila secara laboratorik dinyatakan terinfeksi CMV primer akut.Bayi baru lahir dari ibu yang menderita infeksi CMV, perlu dideteksi IgM anti-CMV untuk mengetahui infeksi kongenital.
2.4
Herpes Simplex
2.4.1
Defnisi Herpes simpleks adalah infeksi akut yang disebabkan oleh virus herpes
simpleks (virus herpes hominis) tipe 1 atau tipe 2 yang ditandai oleh adanya vesikel yang berkelompok di atas kulit eritematosa pada daerah dekat mukokutan, sedangkan infeksi dapat berlangsung baik primer maupun rekurens.13 Virus herpes simpleks tipe 1 sebagian besar terkait dengan penyakit orofacial, sedangkan virus herpes simpleks tipe 2 biasanya terkait dengan infeksi perigenital. Tetapi, keduanya dapat menginfeksi daerah oral dan genital.
2.4.2
Epidemiologi HSV dapat menginfeksi janin dan menyebabkan kelainan. Seorang ibu yang
terinfeksi HSV dapat menularkan virus itu padanya baru lahir selama persalinan vagina, terutama jika ibu memiliki infeksi aktif pada saat pengiriman. Namun, 60 80% dari infeksi HSV didapat oleh bayi yang baru lahir terjadi pada wanita yang tidak memiliki gejala infeksi HSV atau riwayat infeksi HSV genital.13
2.4.3
Patogenesis Infeksi virus Herpes simpleks ditularkan oleh dua spesies virus, yaitu virus
Herpes simpleks-I (HSV-1) dan virus Herpes simpleks II (HSV-2).Virus ini merupakan kelompok virus DNA rantai ganda.Infeksi terjadi melalui kontak kulit secara langsung dengan orang yang terinfeksi virus tersebut. Transmisi tidak hanya terjadi pada saat gejala manifestasi HSV muncul, akan tetapi dapat juga berasal dari virus shedding dari kulit dalam keadaan asimptomatis. Pada infeksi primer, kedua virus Herpeks simpleks , HSV 1 dan HSV-2 bertahan di ganglia saraf sensoris . Virus kemudian akan mengalami masa laten, dimana pada masa ini virus Herpes simpleks inib tidak menghasilkan protein virus, oleh karena itu virus tidak dapat terdeteksi oleh mekanisme pertahanan tubuh host.Setelah masa laten, virus bereplikasi disepanjang serabut saraf periferdan dapat menyebabkan infeksi berulang pada kulit atau mukosa. Virus Herpes simpleks ini dapat ditularkan melalui sekret kelenjardan secret genital dari individu yang asimptomatik, terutama di bulan-bulan setelah episode pertama penyakit, meskipun jumlah dari lesi aktif 100-1000 kali lebih besar. Herpes simplex virus sangat menular dan disebarkan langsung olehkontak dengan individu yang terinfeksi virus tersebut. Virus Herpes simpleks ini dapat menembus epidermis atau mukosa dan bereplikasi di dalam sel epitel. Virus Herpes simpleks 1 (HSV-1) biasanya menyerang daerah wajah (non genitalia)dan virus Herpes simpleks 2 (HSV-2) biasanya menyerang alat kelamin.perubahan patologis sel epidermis merupakan hasil invasi virus herpes dalam
vesikel intraepidermal dan multinukleat sel raksasa. Sel yang terinfeksi mungkin menunjukkan inklusi intranuklear.
2.4.4 Manifestasi Klinis Bila pada kehamilan timbul herpes genitalis, perlu mendapat perhatian yang serius, karna melalui plasenta virus dapat sampai ke sirkulasi fetal serta dapat menimbulkan kerusakan atau kematian pada janin.Infeksi neonatus mempunyai angka mortalitas 60%, separuh dari yang hidup, menderita cacat neurologik atau kelainan pada mata. Kelainan yang timbul pada bayi dapat berupa ensefalitis, keratokonjungtivis, atau hepatitis; disamping itu dapat juga timbul lesi pada kulit. Beberapa ahli kandungan mengambil sikap partus secara seksio Caesaria, bila pada saat melahirkan sang ibu menderita infeksi ini. Tindakan ini sebaiknya dilakukan sebelum ketubah pecah atau paling lambat enam jam setelah ketuban pecah. Bila transmisi terjadi pada trimester I cenderung terjadi abortus; sedangkan bila pada trimester II, terjadi prematuritas. Selain itu dapat terjadi transmisi pada saat intrapartum. Infeksi HSV pada bayi baru lahir mungkin didapat selama dalam kandungan, selama persalinan atau setelah lahir.Ibu merupakan sumber infeksi tersering pada semua kasus. Herpes neonatus diperkirakan terjadi pada sekitar satu dari 5.000 kelahiran setiap tahun. Bayi baru lahir tampaknya tidak mampu membatasi replikasi dan penyebaran HSV sehingga cenderung berkembang menjadi penyakit yang berat.
Jalur infeksi yang paling sering adalah penularan HSV bayi selama pelahiran melalui kontak dengan lesi herpetik pada jalan lahir. Untuk menghindari infeksi, dilakukan persalinan dengan seksio sesarea pada perempuan hamil yang memiliki herpes genital. Namun lebih banyak terjadi infeksi HSV neonatal dari pada kasus herpes genital rekuren meskipun virus ditemukan pada bayi cukup bulan. Herpes neonatus dapat diperoleh pascalahir melalui pajanan terhadap HSV-1 maupun HSV-2. Sumber infeksi mencakup anggota keluarga dan petugas rumah sakit yang menyebarkan virus. Sekitar 75% infeksi herpes neonatal disebabkan oleh HSV2. Tidak tampak adanya perbedaan antara sifat dan derajat berat herpes neonatus pada bayi prematur atau cukup bulan, pada infeksi yang disebabkan ileh HSV-1 atau HSV2, atau pada penyakit ketika virus didapatkan selama persalinan atau pasca persalinan. Infeksi herpes neonatus hampir selalu simtomatik.Angka mortalitas keseluruhan pada penyakit yang tidak diobati adalah 50%. Bayi dengan herpes neonatus terdiri dari tiga katagori penyakit : (1) lesi setempat di kulit, mata dan mulut; (2) ensefalitis dengan atau tanpa terkenanya kulit setempat; (3) penyakit diseminata yang mengenai banyak organ, termasuk sistem saraf pusat. Prognosis terburuk (angka mortalitas sekitar 80%) terdapat pada bayi dengan infeksi diseminata; banyak diantaranya mengalami ensefalitis. Penyebab kematian bayi dengan penyakit
diseminata biasanya pneumonitis
virus atau koagulopati
intravaskular. Banyak yang selamat dari infeksi berat dapat hidup dengan gangguan neurologi menetap.
2.4.5
Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan sitologik untuk perubahan sel dari infeksi herpes virus tidak
sensitive dan tidak spesifik baik menggunakan pemeriksaan Tzank (lesi genital) dan apusan serviks Papanicolaou dan tidak dapat diandalkan untuk diagnosis konklusif infeksi herpes simpleks. Jenis yang lebih tua dari pengujian virologi, tes Pap Tzanck, mengorek dari lesi herpes kemudian menggunakan pewarnaan Wright dan Giemsa. Pada pemeriksaan ditemukan sel raksasa khusus dengan banyak nukleus atau partikel khusus yang membawa virus (inklusi) mengindikasikan infeksi herpes. Tes ini cepat tapi akurat 50-70% dari waktu. Hal ini tidak dapat membedakan antara jenis virus atau antara herpes simpleks dan herpes zoster. Tes kultur virus dilakukan dengan mengambil sampel cairan, dari luka sedini mungkin, idealnya dalam 3 hari pertama manifestasi. Virus, jika ada, akan bereproduksi dalam sampel cairan namun mungkin berlangsung selama 1 - 10 hari untuk melakukannya. Jika infeksi parah, pengujian teknologi dapat mempersingkat periode ini sampai 24 jam, tapi mempercepat jangka waktu selama tes ini mungkin membuat hasil yang kurang akurat. Kultur virus sangat akurat jika lesi masih dalam tahap blister jelas, tetapi tidak bekerja dengan baik untuk luka ulserasi tua, lesi berulang, atau latency. Pada tahap ini virus mungkin tidak cukup aktif. Tes PCR yang jauh lebih akurat daripada kultur
virus, dan CDC
merekomendasikan tes ini untuk mendeteksi herpes dalam cairan serebrospinal ketika mendiagnosa herpes ensefalitis. PCR dapat membuat banyak salinan DNA virus sehingga bahkan sejumlah kecil DNA dalam sampel dapat dideteksi.
Tes serologi dapat mengidentifikasi antibodi yang spesifik untuk virus dan jenis, Herpes Simplex Virus 1 (HSV-1) atau Virus Herpes Simpleks 2 (HSV-2). Ketika herpes virus menginfeksi seseorang, sistem kekebalan tubuh tersebut menghasilkan antibodi spesifik untuk melawan infeksi. Pemeriksaan serologi yang paling akurat bila diberikan 12-16 minggu setelah terpapar virus. Pemeriksaan serologi dapata berupa ELISA (immunosorbent assay enzim-link), Biokit HSV-2, dan Western Blot Test
2.4.6
Diagnosis Dalam kebanyakan kasus, diagnosis didasarkan pada karakteristik tampilan
klinis lesi. Diagnosis klinis dapat dibuat secara akurat ketika beberapa karakteristik lesi vesikuler pada dasar eritema dan bersifat rekuren. Namun, ulserasi herpes dapat menyerupai ulserasi kulit dengan etiologi lainnya.Infeksi mukosa HSV juga dapat hadir sebagai uretritis atau faringitis tanpa lesi kulit. Tanda-tanda dan simptom yang berhubungan dengan HSV-II dapat sangat berbeda-beda. Ketersediaan pelayanan kesehatan dapat mendiagnosa herpes genital dengan inspeksi visual jika perjangkitannya khas, dan dengan mengambil sampel dari luka kemudian mengetesnya di laboratorium. Tes darah untuk mendeteksi infeksi HSV-I atau HSVII, meskipun hasil-hasilnya tidak selalu jelas. Kultur dikerjakan dengan kerokan untuk memperoleh material yang akan dipelajari dari luka yang dicurigai sebagai herpes.
2.4.7
Penatalaksanaan
Edukasi Pasiendengan herpes genital harus dinasehati untuk menghindari hubungan seksual selama gejala muncul dan selama 1 sampai 2 hari setelahnya dan menggunakan kondom antara perjangkitan gejala. Terapi antiviral supressi dapat menjadi pilihan untuk individu yang peduli transmisi pada pasangannya.
Agen Antiviral Pengobatan dapat mengurangi simptom, mengurangi nyeri dan ketidak nyamanan secara cepat yang berhubungan dengan perjangkitan, serta dapat mempercepat waktu penyembuhan. Tiga agen oral yang akhir-akhir ini diresepkan, yaitu Acyclovir, Famciclovir, dan Valacyclovir. Ketiga obat ini mencegah multiplikasi virus dan memperpendek lama erupsi.Pengobatan peroral, dan pada kasus berat secara intravena adalah lebih efektif. Pengobatan hanya untuk menurunkan durasi perjangkitan. Penatalaksanaan pada wanita hamil yang terinfeksi virus herpes simplex, baik yang first episode ataupun yang sudah pernah terinfeksi dan terjangkit lagi harus diterapi sesuai dengan obat dan dosis sesuai dengan tabel berikut ini13
Topikal Penciclovir krim 1% (tiap 2 jam selama 4 hari) atau Acyclovir krim 5% (5 kali sehari selama 5 hari). Idealnya, krim ini digunakan 1 jam setelah munculnya gejala, meskipun juga pemberian yang terlambat juga dilaporkan masih efektif dalam mengurangi gejala serta membatasi perluasan daerah lesi.
BAB III KESIMPULAN
TORCH adalah singkatan dari Toxoplasma gondii (Toxo), Others (HIV, Sifilis), Rubella, Cyto Megalo Virus (CMV), Herpes Simplex Virus (HSV) yang terdiri dari HSV1 dan HSV2 serta kemungkinan oleh virus lainyang dampak klinisnya lebih terbatas (Misalnya Measles, Varicella, Echovirus, Mumps, virus Vaccinia, virus Polio, dan virus Coxsackie-B). Penyakit ini sangat berbahaya bagi ibu hamil karena dapat mengakibatkan keguguran, cacat pada bayi, juga pada wanita belum hamil bisa akan sulit mendapatkan kehamilan. Infeksi TORCH bersama dengan paparan radiasi dan obatobatan teratogenik dapat mengakibatkan kerusakan pada embrio. Beberapa kecacatan janin yang bisa timbul akibat TORCH yang menyerang wanita hamil antara lain kelainan pada saraf, mata, kelainan pada otak, paru-paru, mata, telinga, terganggunya fungsi motorik, hidrosefalus, dan lain sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Nelson, Ilmu Kesehatan Anak edisi 15 volume II @ 1996 Penerbit Buku Kedokteran EGC hal, 1204 - 1214. 2. Prof. Dr. T. H. Rampengan, SpA(K), Penyakit Infeksi Tropik pada Anak edisi 2 @ 2005 Penerbit Buku Kedokteran EGC, hal 263 – 272 3. Sarwono Prawirohadjo, Ilmu Kebidanan edisi 3 cetakan 6 @ 2002 Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, hal 572 – 574 4. Dubey JP, Beattie CP. Toxoplasmosis of animals and man. Boca Raton, FL: CRC Press, 1988. 5. Evans R. Life cycle and animal infection. In: Ho-Yen DO, Joss AWL, editors. Human toxoplasmosis. Oxford: Oxford University Press, 1992. pp. 26-55. 6. Christine AB, Allam AA, Aref MK, El-Muntasser IH, El-Nageh M : Pregnancy hepatitis in Libya. Lancet 1975; 2 : 827. 7. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI Jakarta, Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis edisi II @ 2002 Badan Penerbit IDAI Jakarta, hal 458 – 465 8. D'Cruz IA, Balani SC, Iyer LS : Infectious hepatitis and pregnancy. Obstet Gynecol 1968; 31 : 449. 9. Peretz A, Paldi E, Brandstaedter S, Barzilai D : Infectious hepatitis in pregnancy. Obstet Gynecol 1959; 14 : 435. 10. Siegler AM, Keyser H. Acute Hepatitis in Pregnancy. Am J Obstet Gynecol 1963; 86 : 1068. 11. Cunningham G, Grant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, Westrom KD, etal. Williams Obstetrics [ebook]. Edisi ke-21. New York: McGraw-Hill; 2007. 12. Kim CS. 2010. Congenital and Perinatal Cytomegalovirus Infection. Korean Journal of Pediatrics. 53(1): 14-20. 13. Sauerbrei A, Wutzler P: Herpes simplex and varicella-zoster virus infections during pregnancy: current concepts of prevention, diagnosis and therapy. Part 1: herpes simplex virus infections. Med Microbiol Immunol 2007, 196:89-9