Crs Dermatitis Atopik - Andini Kartikasari.docx

  • Uploaded by: andini
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Crs Dermatitis Atopik - Andini Kartikasari.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,524
  • Pages: 36
Case Report Session (CRS) * Kepaniteraan Klinik Senior/G1A217105/Maret 2019 ** Pembimbing : dr. Dewi Lastya Sari, M.Ked(DV), Sp.DV

DERMATITIS ATOPIK

Oleh: Andini Kartikasari, S.Ked* G1A217011

Pembimbing: dr. Dewi Lastya Sari, M.Ked(DV), Sp.DV **

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN RUMAH SAKIT UMUM DAERAH RADEN MATTAHER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JAMBI 2019

i

LEMBAR PENGESAHAN

DERMATITIS ATOPIK

Oleh: Andini Kartikasari, S.Ked G1A217105

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN RUMAH SAKIT UMUM DAERAH RADEN MATTAHER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JAMBI 2019

Jambi,

Maret 2019

Pembimbing

dr. Dewi Lastya Sari, M.Ked(DV), Sp.DV

ii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa sebab karena rahmatnya, laporan kasus atau Clinical Report Science (CRS) yang berjudul “Dermatitis Atopik” ini dapat terselesaikan. Tugas ini dibuat agar penulis dan teman – teman sesama koass periode ini dapat memahami tentang gejala klinis yang sering muncul ini. Selain itu juga sebagai tugas dalam menjalankan Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Raden Mattaher Jambi. Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Dewi Lastya Sari, M.Ked(DV), Sp.DV selaku pembimbing dalam kepaniteraan klinik senior ini dan khususnya pembimbing dalam laporan kasus ini. Penulis menyadari bahwa laporan ini jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran agar lebih baik kedepannya. Akhir kata, semoga laporan ini bermanfaat bagi kita semua dan dapat menambah informasi serta pengetahuan kita.

Jambi, Maret 2019

Penulis

iii

DAFTAR ISI

Halaman Judul......................................................................................................... i Halaman Pengesahan .............................................................................................ii Kata Pengantar ......................................................................................................iii Daftar Isi................................................................................................................ iv BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 BAB II LAPORAN KASUS .................................................................................. 3 BAB III TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 4 3.1 Definisi ............................................................................................................. 9 3.2 Epidemiologi .................................................................................................... 9 3.3 Patogenesis ..................................................................................................... 10 3.4 Gejala Klinis................................................................................................... 14 3.5 Histopatologis ................................................................................................ 15 3.6 Diagnosis Banding ......................................................................................... 15 3.7 Diagnosis ........................................................................................................ 16 3.8 Terapi ............................................................................................................. 21 3.10Komplikasi .................................................................................................... 23 3.11 Prognosis ...................................................................................................... 23 BAB IV PEMBAHASAN .................................................................................... 24 BAB V KESIMPULAN ....................................................................................... 27 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 28

iv

BAB I PENDAHULUAN Dermatitis atopik (DA) merupakan penyakit kulit yang paling sering ditemui pada praktek umum, dan paling sering terjadi pada masa bayi dan anakanak. Istilah “atopy” telah diperkenalkan oleh Coca dan Cooke pada tahun 1923, asal kata “atopos” (out of place) yang berarti berbeda; dan yang dimaksud adalah penyakit kulit yang tidak biasa baik lokasi kulit yang terkena, maupun perjalanan penyakitnya. Penyakit kulit ini diturunkan secara genetik, ditandai oleh inflamasi, pruritus, dan lesi eksematosa dengan episode eksaserbasi dan remisi. Penyakit ini sangat mempengaruhi kualitas hidup pasien maupun keluarga dan orang-orang terdekat pasien.1,2 DA kerap terjadi pada bayi dan anak, sekitar 50% menghilang pada saat remaja, kadang dapat menetap, atau bahkan baru mulai muncul saat dewasa. Sekitar 10-20% anak dan 1-3% dewasa di dunia menderita penyakit ini dan insidensnya cenderung meningkat di berbagai belahan dunia. Onset DA sering pada masa anak-anak mulai dari lahir sampai usia 5 tahun. Meskipun DA penyakit kronis, 60- 70% penderitanya sembuh sebelum usia dewasa.1,2 Menurut The International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) mengemukakan bahwa prevalensi dermatitis atopik bervariasi antara 0,3% hingga 20,5% di 56 negara. angka kesakitan penyakit ini mencapai 20% di negara Asia seperti Korea Selatan, Taiwan dan Jepang.

Kasus DA anak di

Indonesia ditemukan sebanyak 23,67% pada 611 kasus baru penyakit kulit lainnya pada tahun 2000 dan berada pada peringkat pertama dari 10 penyakit kulit anak terbanyak pada 7 rumah sakit di lima kota di Indonesia. DA lebih sering terjadi pada wanita daripada laki-laki dengan ratio kira-kira 1.5:1. DA sering dimulai pada awal masa pertumbuhan (early-onset dermatitis atopic), 45% kasus DA pada anak pertama kali muncul dalam usia 6 bulan pertama, 60% muncul pada usia satu tahun pertama dan 85% kasus muncul pertama kali sebelum anak berusia 5 tahun. Lebih dari 50% anak-anak yang terkena DA pada 2 tahun pertama tidak memiliki tanda-tanda sensitisasi IgE, tetapi mereka menjadi jauh lebih peka.2

1

Faktor penyebab dermatitis atopik merupakan kombinasi faktor genetik (turunan) dan lingkungan seperti kerusakan fungsi kulit, infeksi, stres, dan lainlain. Konsep dasar terjadinya dermatitis atopik adalah melalui reaksi imunologi yang diperantarai oleh sel –sel yang berasal dari sumsum tulang. Diagnosis dermatitis atopik didasarkan pada temuan klinis dan uji alergi berdasarkan kriteria diagnosis Hanifin dan Rajka, skor Svennson, kriteria William, dan Score in Atopic Dermatitis (SCORAD). Gejala klinis dan perjalanan penyakit dermatitis atopik sangat bervariasi. Dermatitis atopik dapat menyebabkan perasaan gatal yang dapat mengganggu penderitanya dan memperlihatkan kemerahan pada kulit serta terbentuknya vesikel dan mengeluarkan air. Keluhan utama pada dermatitis atopik yaitu rasa gatal dan rasa sakit yang hebat pada kulit yang diperparah dengan garukan penderitanya. Epidermis kulit yang terabrasi akibat garukan memudahkan agen infeksi untuk menginfeksi kulit sehingga penyakit yang timbul dapat lebih berat. 3

2

BAB II LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN Nama

: An. A

Umur

: 14 bulan

Jenis Kelamin

: Perempuan

Alamat

: Bulu Kasar, Kec. Muaro Sebo Hulu

Pekerjaan

:-

Status Pernikahan

:-

Suku Bangsa

: Melayu, Indonesia

Hobi

:-

I.

BB : 8 Kg

ANAMNESIS (alloanamnesis dengan ibu pasien) A. Keluhan Utama : Bercak kemerahan yang meninggi di kedua tangan dan paha dan terasa gatal sejak 1 minggu yang lalu. Keluhan Tambahan : -

B. Riwayat Perjalanan Penyakit : Seorang anak perempuan usia 14 bulan dibawa oleh ibunya datang ke poliklinik kulit dan kelamin RS Raden Mattaher tanggal 13 Maret 2019 dengan keluhan bercak kemerahan yang meninggi di kedua tangan dan paha dan terasa gatal sejak 1 minggu yang lalu. Menurut ibu pasien, keluhan tersebut muncul saat pasien mengkonsumi ikan dalam jumlah yang banyak dari biasanya. Awalnya, terdapat bintilbintil kemerahan kecil tidak ada yang berukuran besar, tidak terdapat pada

3

pada bagian tubuh yang berambut seperti kulit kepala dan alis. Saat digaruk, bintil tersebut pecah dan mengeluarkan cairan bening dan bertambah banyak sehingga menimbulkan bercak kemerahan yang meningi dan menyebar hingga ke kaki. Ibu pasien kemudian membawa anaknya ke dokter dan diberi salep untuk keluhannya namun ibu pasien lupa apa nama salep yang diberikan tersebut. Keluhan tidak berkurang dan bercak-bercak bertambah banyak. Ibu pasien mengatakan anaknya sering rewel dan menggaruk tubuhnya saat berkeringat. Ibu pasien juga mengeluhkan kulit anaknya menjadi lebih kering terutama pada bagian kaki. Keluhan bertambah gatal apabila pasien mengkonsumsi makanan tertentu seperti tempe dan ikan. C. Riwayat Penyakit Dahulu : Ibu pasien mengatakan mata anaknya pernah merah dan mengeluarkan kotoran pada matanya 2 bulan yang lalu, hal ini baru satu kali dialami oleh pasien. Riwayat keluhan serupa (-) Riwayat asma (-) Riwayat alergi (-) D. Riwayat Penyakit Keluarga : Ayah pasien memiliki keluhan serupa 3 tahun yang lalu dan keluhan sudah berkurang saat berobat. Tidak ada riwayat asma dan alergi dalam keluarga E. Riwayat Sosial Ekonomi : cukup

II. PEMERIKSAAN FISIK A. Status Generalis 1. Keadaan Umum : tampak sakit ringan

4

2. Tanda Vital : Kesadaran : Composmentis TD :Suhu : 36,5ºC 3. Kepala : a. Mata

: Dbn

b. THT

: Dbn

c. Leher

: Dbn

RR Nadi

:30 x/i :95 x/i

4. Thoraks : a. Jantung : Dbn b. Paru

: Dbn

5. Genitalia : Dbn

6. Ekstremitas a. Superior b. Inferior

: Dbn : Dbn

B. Status Dermatologi 1. Inspeksi - Regio antebrachii dextra & sinistra: Terdapat plak bentuk ireguler jumlah multiple, ukuran lenticular sampain nummular, batas diffuse warna eritema homogen, tepi tidak aktif, distribusi konfluen simetris, permukaan rata.

5

-

Regio dorsum manus dextra & sinistra, gluteal dextra & sinistra, femoral dextra & sinistra, cruris dextra & sinistra.

Papul miliar, multiple, sirkumskrip, konsistensi lunak, sekitar eritema.

6

diskret, permukaan licin,

-

Regio Periauricular sinistra Papul miliar, sirkumskrip, soliter, sekitar eritema.

-

Regio facial Papul miliar, multiple, sirkumskrip, diskret. 7

2. Palpasi

: nyeri tekan (-)

3. Auskultasi

:-

4. Lain-lain

:

8

C. Status Venerelogi 1. Inspeksi : o

Inspekulo

2. Palpasi

:-

:-

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG -

IV. DIAGNOSIS BANDING 

Dermatitis Atopik



Dermatitis seboroik, biasanya lokalisasi pada bagian kulit yang berambut.



Skabies

9

V.

DIAGNOSIS KERJA Dermatitis Atopik

VI. TERAPI Non medikamentosa : 

Memberikan edukasi kepada orangtua pasien tentang DA, perjalanan penyakit serta berbagai faktor yang mempengaruhi penyakit.



Memperbaiki fungsi sawar kulit dengan menggunakan pelembab dan sabun anti iritatif dan anti alergi.



Mandi 1-2x sehari, menggunakan air hangat kuku dan memberi sabunuang mengandung pelembab dengan pH 5,5 – 6, tidak mengandung pewangi dan pewarna



Memakai pakaian yang halus, ringam, dan lembut serta menyerap keringat.



Menghindari faktor pencetus seperti, makanan yang memicu timbulnya gejala DA



Menganjurkan

orangtua

pasien

untuk

menghindari

anaknya

menggaruk lesi, agar tidak terjadi infeksi sekunder

Medikamentosa : 

Emolien, krim Gliserol 2 kali sehari setelah mandi untuk melembabkan kulit yang kering



Kortikosteroid topical: krim hidrokortison 1% untuk inflamasi dan gatal, 2 kali sehari selama 2 minggu



Tacrolimus 0,03 % krim topical 2 kali sehari pagi dan malam



Antihistamin: cetirizine drop 2,5mg (0.25mL) sekali sehari.

VII. PROGNOSIS Quo ad vitam

: ad bonam

Quo ad functionam : ad bonam Quo ad sanationam : ad bonam 10

VIII. PEMERIKSAAN ANJURAN 

Uji dermografisme putih



Ink Burrow Test



Uji Tusuk



Pemeriksaan serum IgE

11

BAB III TINJAUAN PUSTAKA 3.1 Definisi Dermatitis Atopik Dermatitis atopik (DA) adalah peradangan kulit berupa dermatitis yang kronik residif, disertai rasa gatal, dan mengenai bagian tubuh tertentu terutama di wajah pada bayi (fase infantil) dan bagian fleksura ekstrimitas (pada fase anak). Sinonim dari dermatitis atopik yaitu S. Prurigo Besnier, eczema (atopik, konstitusional, dan fleksural) dan neurodermatitis diseminata.1,2 3.2 Epidemiologi Dermatitis Atopik Dermatitis atopik merupakan penyakit kulit yang sering menyerang anak-anak dengan prevalensi pada anak-anak 10-20%, dan prevalensi pada orang dewasa 1-3% di Amerika, Jepang, Eropa, Australia, dan negara industri lain. Sedangkan pada negara agraris seperti Cina dan Asia Tengah prevalensi dermatitis atopi lebih rendah. Di Indonesia, angka prevalensi kasus dermatitis atopik menurut Kelompok Studi Dermatologi Anak (KSDAI) yaitu sebesar 23,67% dimana dermatitis atopik menempati peringkat pertama dari 10 besar penyakit kulit anak. Dermatitis atopik lebih sering terjadi pada wanita daripada laki-laki dengan ratio kira-kira 1,3:1.2 Pada anak, sekitar 45% kasus dermatitis atopik muncul dalam 6 bulan pertama kehidupan, 60% muncul dalam tahun pertama kehidupan, dan 85% kasus muncul sebelum usia 5 tahun. Dermatitis atopik sering dimulai pada awal masa pertumbuhan (early-onset dermatitis atopik).2

3.3 Etiologi dan Patogenesis Dermatitis Atopik Timbulnya inflamasi dan gatal merupakan hasil interaksi antara faktor internal, yaitu faktor predisposisi genetic (melibatkan banyak gen ) yang menghasilkan disfungsi sawar kulit serta perubahannya pada sistem imun, khususnya hipersensitivitas terhadap faktor eksternal (allergen dan antigen mikroba). Faktor lain seperti faktor psikologis dan higenitas juga

12

merupakan faktor resio DA. Hubungan disfungsi sawar kulit dan pathogenesis DA meliputi perubahan pada sistem imun (imunopatologik), allergen, dan antigen, predisposisi geneti, mekanisme pruritus dan faktor psikologis.2 Hubungan disfungsi sawar kulit dan pathogenesis DA Gangguan sawar kulit dapat disebabkan oleh terpajan protease eksogen, superantigen, dan kelembaban udara.

2

Gambar 3.1hubungan disfungsi sawar kulit dan pathogenesis DA (Sumber : Goyal T, Atopic Dermatitis and Tacrolimus : Current Perspectives, Indian Journal of Paediatric Dermatology, 2013)

Gangguan sawar kulit yaitu : 1. Menurunnya fungsi gen yang meregulasi keratin (filagrin dan lorikrin) Mengganggu pembentukan protein yang esensial untuk pembentukan sawar kulit. 2. Berkurangnya volume ceramide Ceramide berikatan kovalen denganselubung korneosit membentuk sawar yang menghalangi hilangnya air dari lapisan kulit. 3. Meningkatnya enzim proteolitik 4. Peningkatan Trans-epidermal water loss (TEWL) 2-5 kali orang normal4 Menurunnya kemampuan penyimpanan air (skin capacitance) sehingga menyebabkan kulit DA lebih kering dan sensitivitas gatal

13

terhadap berbagai rangsangan bertambah. Gatal akan menyebabkan pasien untuk menggaruk yang mengakibatkan erosi atau ekskoriasi yang memungkinkan penetrasi mikroba dan kolonisasi mikroba di kulit. 1 a. Perubahan sistem imun (imunopatologi) Kerusakan sawar kulit meningkatkan produksi sitokin keratinosit dan merangsang molekul adhesi sel endotel kapiler dermis sehingga terjadi regulasi limfosit dan leukosit. Reaksi eritema di kulit diakibatkan oleh peningkatan kadar IgE. Terjadi peningkatan stimulasi IL-4 terhadap sel B untuk memproduksi IgE yang berkebalikan dengan Interferon γ yang dapat mensupresi sel B. jumlah dan potensi IL-4 lebih besar dibandingkan Interferon γ.

Gambar 3.2 mekanisme imunologi pada fase akut dan kronik DA (Sumber : Leung YM, Dermatitis Atopic, The Lancet Journal, 2003)

Pada lesi akut DA terdapat edema interseluler (spongiosis) dan serbukan infiltrate di epidermis yang terutama limfosit T. terdapat

sel

langerhans

(LC)

dan

makrofag

yang

dapat

mengekspresikan molekul IgE. Di dermis serbukan sel radang terdiri atas limfosit T, jarang ditemukan sel eosinofil, dan jumlah sel mast normal tetapi aktif beredgranulasi. 1,4 Pada lesi kronik DA, terdapat hiperplasi epidermis, pemanjangan rete ridges, sedikit spongiosis dan hyperkeratosis. Infiltrate

di

dermis

lebih

banyak

mengandung

sel

mononuclear/makrofag, dan sel mast yang bergranulasi penuh. Banyak ditemukan sel eosinofil1,4.

14

b. Alergen dan Superantigen 

Alergen Beberapa penelitian membuktikan peningkatan IgE spesifik pada faktor eksogen terutama allergen hidup (debu rumah, tungau debu rumah, dsb). Selain itu, IgE spesifik juga meningkat pada bulu anjing, bulu kucing, bulu kuda dan jamur. Hal ini berate faktor eksogen berperan penting terhadap terjadinya DA.1,5 Hasil penelitian alergi terhadap makanan bervariasi dalam jenis dan frekuensi. Dapat dilakukan anamnesis riwayat alergi makanan pada kekambuhan DA, atau dengan uji kulit. Data hasil satu penelitian menunjukkan urutan allergen yang sering ditemukan dan uji kulit beaksi positif pada DA adalah telur (69%), susu sapi (52%), kacang-kacangan (42%), soya (34%), dan gandum (33%) serta lainnya terhadap ikan dan ayam.1,5



Superantigen Berbagai peningkatan

penelitian

pada

lesi

DA

kolonisasi

Staphyloccocus

menunjukkan aureus

(SA).

Staphyloccocus aureus mampu melekat pada kulit karena interaksi protein A2 dan asam teikoik pada dinding sel dengan fibronektin, laminin, dan fibrinogen. Pada DA perubahan komposisi

lipid

dan

berkurangnya

agen

antimikroba

memungkinkan SA tumbuh dan berkolonisasi.5 c. Predisposisi Genetik Dermatitis atopik sering dijumpai pada sebuah keluarga, namun penurunannya tidak mengikuti hukum mendel. Resiko DA pada kembar monozigot sebesar 77% dan dizigot sebesar 25%. Menurut Uehara dan Kimura (1993) menyatakan bahwa 60% pasien dengan DA mempunyai anak atopi. Tidak semua fenotip DA diekspresikan oleh genotip. Gen predisposisi atopi pada rasa tau negara tertentu

15

hasilnya bervariasi. Keadaan ini lazim ditemukan pada pola penurunan yang bersifat multifaktor.5 d. Mekanisme pruritus pada dermatitis atopik Patofisiologi pruritus pada DA belum diketahui secara pasti. Pathogenesis

DA

berkaitan

dengan

faktor

genetic

hipersensitivitas tipe I (IgE mediated, late phase).

dan

Namun,

kemudian dianggap pada DA dapat terjadi reaksi yang diperantarai hipersensitivitas tipe IV dan tipe I. telah ditemukan peningkatan kadar histamine pada kulit pasien DA, namun tidak disertai dengan peningkatan histamine di dalam darah. Hal ini mungkin histamine bukan satu-satunya zat pruritogenik. Perlu dipikirkan kemungkinan mediator lain penyebab pruritus seperti zat yang tergolong neuropeptida, protease, opoid, eikosanoid dan sitokin1,5. e. Faktor lain penyebab pruritus pada DA Kulit yang kering pada DA menyebabkan ambang rangsang gatal lebih rendah dan menyebabkan diskontinuitas keratinosit sehingga mengeluarkan bahan pruritogenik yang dapat merangsang rekasi hipersensitvitas kulit. Stimulus ringan (mekanis, elektris dan termal) dapat

menyebabkan

pruritus

yang

mampu

menyebabkan

vasodilatasi atau rangsangan terhadap sel mast.5,6 f. Faktor psikologis Pada psikoanalisis didapatkan tingkat gangguan psikis pada DA tergolong tinggi, antara lain berupa cemas, stres dan depresi. Rasa gatal yang hebat memicu garukan terus menerus yang nantinya dapat menyebabkan kerusakan kulit, dan kerusakan kulit yang muncul dapat menimbulkan rasa cemas semakin bertambah.5

3.4 Gejala Klinis Dermatitis Atopik Gejala utama dermatitis atopik adalah gatal/pruritus yang muncul sepanjang hari dan memberat ketika malam hari yang dapat menyebabkan insomnia dan penurunan kualitas hidup. Rasa gatal yang hebat

16

menyebabkan penderita menggaruk kulitnya sehingga memberikan tanda bekas garukan (scratch mark) yang akan diikuti oleh kelainan-kelainan sekunder berupa papula, erosi atau ekskoriasi dan selanjutnya akan terjadi likenifikasi bila proses menjadi kronis. Gambaran lesi eksematosa dapat timbul secara akut (plak eritematosa, prurigo papules, papulovesikel), subakut (penebalan dan plak ekskoriasi), dan kronik (likenifikasi). Lesi eksematosa dapat menjadi erosif bila terkena garukan dan terjadi eksudasi yang berakhir dengan lesi berkrusta. Lesi kulit yang sangat basah (weeping) dan berkrusta sering didapatkan pada kelainan yang lanjut. Gambaran klinis dermatitis atopik dibagi menjadi 3 tipe berdasarkan lokaliasasinya terhadap usia.2,5 a. Dermatitis Atopik Infantil (2 bulan-2 tahun) DA sering muncul pada tahun pertama kehidupan dan dimulai sekitar usia 2 bulan. Jenis ini disebut juga milk scale karena lesinya menyerupai bekas susu. Lesi berupa plak eritematosa, papulo-vesikel yang halus, dan menjadi krusta akibat garukan pada pipi dan dahi. Rasa gatal yang timbul menyebabkan anak menjadi gelisah, sulit tidur, dan sering menangis. Lesi eksudatif, erosi, dan krusta dapat menyebabkan infeksi sekunder, meluas generalisata dan menjadi lesi kronis dan residif.2,5 b. Dermatitis Atopik pada Anak (2-10 tahun) DA yang dapat merupakan kelanjutan bentuk infantil atau timbul sendiri. Pada umumnya lesi berupa papul eritematosa simetris dengan ekskoriasi, krusta kecil, dan likenifikasi. Lesi dapat ditemukan di bagian fleksura dan ekstensor ekstremitas, sekitar mulut, kelopak mata, tangan dan leher. Pada usia 4-16 tahun dapat dijumpai dermatitis pada tubuh bagian atas dan wajah. Umumnya muncul dermatitis yang simetris pada area fleksura, tangan, dan kaki. 2,5 c. Dermatitis Atopik fase remaja dan dewasa (>13 tahun) Pada orang dewasa, lesi dermatitis kurang karakteristik, dapat di wajah, tubuh bagian atas, fleksura, bibir dan tangan. Manisfestasi

17

klinik bersifat kronik, berupa plak hiperpigmentasi, hyperkeratosis, likenifikasi, ekskoriasi, dan skuamasi. Rasa gatal lebih hebat saat beristirahat, udara panas dan berkeringat. Fase ini berlangsung kronikresidif sampai usia 30 tahun, bahkan lebih. 2,5 3.5 Histopatologis Dermatitis Atopik Dermatitis atopik memiliki variasi histopatologi yang bervariasi sesuai tingkat lesinya dengan banyak perubahan yang diinduksi oleh garukan.Umumnya memiliki gambaran hiperkeratosis, akantosis, dan eksoriasi. Koloni Staphylococcus mungkin juga didapatkan pada histopatologi dermatitis atopik. Dermis bersebukan sel radang , terutama makrofag dan eosinofil. Pada penderita dermatitis atopik terdapat deposisi major basic protein yang berat.6 3.6 Diagnosis Banding Dermatitis Atopik Diagnosis banding DA bergantung pada fase atau usia, manifestasi klinik, serta lokasi DA. Pada fase bayi dapat mirip dermatitis seboroik, psoriasis, dan dermatitis popok. Sedangkan pada fase anak dapat mirip dengan dermatitis numularis, dermatitis intertriginosa, dermatitis kontak, dan dermatitis traumatika. Sedangkan pada fase dewasa lebih mirip dengan neurodermatitis atau liken simplek kronikus.6 3.7 Diagnosis Dermatitis Atopik Pada awalnya diagnosis dermatitis atopik didasarkan pada temuan klinis yang tampak menonjol, terutama gejala gatal, penyebaran simteris di tempat predileksi (sesuai usia), terdapat dermatitis yang kronik-residif, riwayat atopi pada pasien atau keluarganya. a. Kriteria Diagnosis1,2 1) Kriteria Hanifin dan Rajka Pada tahun 1980 Hanifin dan Rajka mengusulkan suatu kriteria diagnosis dermatitis atopik yaitu terdiri dari 4 kriteria mayor dan 23 kriteria minor.

18

Kriteria Mayor :  Pruritus (gatal)  Morfologi sesuai umur dan distribusi lesi yang khas  Bersifat kronik eksaserbasi  Ada riwayat atopi individu atau Keluarga Kriteria Minor :  Hiperpigmentasi daerah periorbita  Tanda Dennie-Morgan  Keratokonus  Konjungtivitis rekuren  Katarak subkapsuler anterior  Cheilitis pada bibir  White dermatographisme  Pitiriasis Alba  Fissura pre-aurikular  Dermatitis di lipatan leher anterior  Facial pallor  Hiperliniar palmaris  Keratosis palmaris  Papul perifokular hiperkeratosis  Xerotic  Iktiosis pada kaki  Eczema of the nipple  Gatal bila berkeringat  Awitan dini  Peningkatan Ig E serum  Reaktivitas kulit tipe cepat (tipe 2)  Kemudahan mendapat infeksi  Stafilokokus dan Herpes Simpleks  Intoleransi makanan tertentu  Intoleransi beberapa jenis bulu binatang  Perjalanan penyakit dipengaruhi faktor lingkungan dan emosi  Tanda Hertoghe ( kerontokan pada alis bagian lateral). 

Diagnosis dermatitis atopik harus mempunyai 3 kriteria mayor dan 3 kriteria minor.



Kriteria ini cocok digunakan untuk diagnosis penelitian berbasis rumah sakit dan eksperimental



Tidak cocok pada penelitian berbasis populasi.

19

b. Kriteria William dkk William, dkk pada tahun 1994 memodifikasi dan menyederhanakan kriteria Hanifin and Rajka menjadi satu pedoman diagnosis dermatitis atopik yang dapat digunakan untuk diagnosis dengan cepat. Harus ada : Rasa gatal ( pada anak-anak dengan bekas garukan). 2. Ditambah 3 atau lebih: 

Terkena pada daerah lipatan siku, lutut, di depan mata kaki atau sekitar leher (termasuk pipi pada anak di bawah 10 tahun).



Anamnesis ada riwayat atopi seperti asma atau hay fever (ada riwayat penyakit atopi pada anak-anak).



Kulit kering secara menyeluruh pada tahun terakhir.



Ekzema pada lipatan (termasuk pipi, kening, badan luar pada anak <4 tahun).



Mulai terkena pada usia dibawah 2 tahun (tidak digunakan pada anak <4 tahun).

c. Kriteria Svennson Kriteria diagnostik menurut Svensson, 1985, yang membagi kriteria menjadi 3 kelompok. Dalam menegakkan diagnosis dermatitis atopik berdasarkan kriteria Svennson, pasien harus memiliki dermatitis di daerah fleksural kronik yang hilang timbul ditambah dengan memiliki 15 nilai dari sistem skor Svennson Kelompok kesatu (p<0.001, bernilai 3): 

Perjalanan penyakitnya dipengaruhi musim



Xerosis



Diperburuk dengan tegangan jiwa



Kulit kering secara berlebihan atau terus menerus



Gatal pada kulit yang sehat apabila berkeringat



Serum IgE 80 IU/ml

20



Menderita rinitis alergika



Riwayat rinitis alergika pada keluarga



Iritasi dengan tekstil



Hand eczema pada waktu anak-anak



Riwayat dermatitis atopik pada keluarga

Kelompok kedua (p<0.001, bernilai 2): 

Kulit muka yang pucat/kemerahan



Knucle dermatitis (dermatitis dengan likenifikasi pada jari-jari)



Penderita menderita asma



Keratosis pilaris



Alergi terhadap makanan



Dermatitis numularis



Nipple eczema

Kelompok ketiga (p<0.05, bernilai1): 

Pomfolik



Ikhtiosis



Dennie-Morgan fold

Dalam perkembangan selanjutnya untuk mendiagnosis dermatitis atopik digunakan uji alergi yaitu uji tusuk (skin pricktest) dan pemeriksaan kadar IgE total sebagai kriteria diagnosis. d. Derajat Kesakitan Dermatitis Atopik1 

Indeks Score For Atopik Dermatitis (SCORAD)

21

Gambar 3.3 Indeks SCORAD (sumber : Yun, Y et al. Inpatient Treatment for Severe Atopic Dermatitis in a Traditional Korean Medicine Hospital: Introduction and Retrospective Chart Review, Elsevier, 2012)

Luas luka (A) diukur dengan menggunakan the rule of nine dengan skala penilaian 0-100. Tanda-tanda inflamasi (B) pada SCORAD terdiri dari 6 kriteria: eritema, edema/papul, ekskoriasi, likenifikasi, krusta, dan kulit kering yang masing-masing dinilai dari skala 0-3. Gejala subjektif (C) terdiri dari pruritus dan gangguan tidur yang masing-masing dinilai dengan visual analogue scale dari skala 0-10 sehingga skor maksimum untuk bagian ini adalah 20. Formula SCORAD yaitu A/5 + 7B/2 + C. Pada formula ini A adalah luas luka (0-100), B adalah intensitas (0-18), dan C adalah gejala subjektif (020). 1,2

22

Keterangan : 1,2 A : adalah jumlah luas permukaan kulit yang terkena dermatitis atopik di luar kulit kering dengan mengikuti rule of nine dengan jumlah skor tertinggi kategori A adalah 100. B : adalah jumlah dari 6 kriteria inflamasi yaitu eritema/kemerahan, edema/papul/gelembung yang melepuh, oozing/krusta, ekskoriasi, likenifikasi/berkerak/bersisik, keringan kulit, semua mempunyai nilai masing-masing berskala 0-3 (0 = tidak ada, 1 = ringan, 2 = sedang, 3 = berat), jumlah skor tertinggi kategori B ini adalah 18. C : adalah jumlah dari nilai gatal dan gangguan tidur dengan skala 0 – 10 dengan jumlah skor tertinggi kategori C adalah 20.

Berdasarkan dari penilaian SCORAD dermatitis atopik digolongkan menjadi: 1. Dermatitis atopik ringan (skor SCORAD <15): perubahan warna kulit menjadi kemerahan, kulit kering yang ringan, gatal ringan, tidak ada infeksi sekunder. 2. Dermatitis atopik sedang (skor SCORAD antara 15–40): kulit kemerahan, infeksi kulit ringan atau sedang, gatal, gangguan tidur, dan likenifikasi. 3. Dermatitis atopik berat (skor SCORAD >40): kemerahan kulit, gatal, likenifikasi, gangguan tidur, dan infeksi kulit yang semuanya berat.

23

3.8 Terapi Dermatitis Atopik

Gambar 3.4 Algoritma terapi (Sumber : Ilyas F, Penatalaksanaan Terkini Penyakit Kulit dalam Praktek Sehari-hari, 2015)

Tatalaksana DA yang efektif meliputi kombinasi penghindaran pencetus, pengurangan gatal menjadi seminimal mungkin, perbaikan sawar kulit, dan obat anti inflamasi. Untuk tatalaksana yang optimal, dibutuhkan kerja sama yang baik tidak hanya oleh pasien tetapi juga orang-orang terdekat pasien.7 Perbaikan sawar kulit dengan perawatan kulit yang baik sangat penting untuk mengontrol DA.Fungsi sawar kulit diperbaiki dengan hidrasi yang baik dan aplikasi pelembab. Disarankan berendam di air hangat selama kurang lebih 10 menit, memakai sabun dengan pelembab (moisturizing cleanser), diikuti aplikasi pelembab segera setelah mandi. Untuk mengeringkan kulit disarankan menggunakan handuk lembut dengan menekan lembut saja dan tidak menggosok kulit.

24

Pada

dermatitis

atopic

perlu

diberikan

pelembab

untuk

melembabkan kulit yang kering oleh karena gangguan sawar kulit. Pelembab dibagi menjadi tiga jenis yaitu oklusif, humektan dan emolien. Oklusif merupak zat yang larut dalam lemak. Oklusif melindungi stratum korneum dengan menurunkan Trans-Epiderml Water Loss (TEWL). Contoh pelembab oklusif yaitu mineralo oil, petrolatum, paraffin, squalene. Pelembab jenis humektan berkerja dengan cara menarik air dari lingkungan untuk hidrasi kulit dan menarik air dari lapisan dalam epidermis dan dermis saat kelembaban lingkungan rendah. Maka dari itu pelembab humektan lebih baik dikombinasikan dengan oklusif. Contoh dari pelembab humektan yaitu, urea, natrium hialuronat, dan sorbitol. Pelembab jenis emolien bekerja dengan cara mengisi celah keratinosit untuk menghasilkan permukaan kulit yang halus, sehingga melembutkan kulit dan mengurangi gatal, menciptakan lapisan minyak di atas kulit yang dapat memerangkap air di bawahnya. Perbaikan sawar ini mencegah penetrasi bahan-bahan iritan, alergen dan bakteri. Contoh emolien diantaranya gliserol, coconut oil, dan lanolin7 Emolien dapat berupa losion, krim, dan ointment. Ointment paling efektif sebagai emolien, tetapi banyak orang lebih menyukai krim atau losion. Jika memakai tabir surya, emolien diaplikasikan setengah jam sebelum memakai tabir surya. Dermatitis atopik ringan sering kali membaik hanya dengan pemakaian emolien, tetapi pada keadaan inflamasi akut, dibutuhkan tambahan steroid topikal yang dapat digunakan sebelum penggunaan emolien agar efektivitasnya tidak berkurang.8 Kortikosteroid topical merupakan obat pilihan utama DA, namun terdapat keterbatasan terutama efek sampingyang timbul jika digunakan untuk jangka panjang. Pemberian kortikosteroid topical bergantung terhadap lokasi anatomis, luas area yang akan diberikan, potensi kortikosteroid

(jenis

dan

konsentrasinya),

pengolesan dan lama pemakaian.7-8

25

vehikulum,

frekuensi

Pada bayi dan anak biasanya dapat diberikan kortikosteroid golongan

VII-IV.

Golongan

VII

kortikosteroid

dapat

diberikan

hidrokortison krim 1-21/2 %, metilprednisolone atau flumetason. Pada dermatitis atopik sedang dapat diberikan kortikosteroid golongan VI seperti desonid, triamsolon asetonid dll. Pada dermatitis atopik berat dapat diberikan kortikosteroid golongan V seperti fluktason, betametason valerat, dan kortikosteroid golongan IV, aklometasone. pemberian kortikosteroid berat dapat diberikan dalam jangka waktu 1-2 minggu saja, lalu harus diganti dengan kortikosteroid potensi lemah.8 Takrolimus dan pimekrolimus adalah preparat imunomodulator topikal yang baru mulai digunakan pada tahun 2002 untuk mengobati DA. Golongan inhibitor calcineurin ini menghambat respons limfosit T dengan menghambat calcineurin yang bekerja pada sel T, sel Langerhans, sel mast dan sel keratinosit yang mampu menghambat degranulasi sel mast dan mensupresi pengeluaran TNF alfa. FDA menyetujui penggunaannya sebagai lini kedua penanganan DA derajat sedang hingga berat pada pasien imunokompeten berusia 2 tahun atau lebih, untuk jangka pendek dan tidak terus menerus.1,7,8 Untuk

mengatasi

pruritus

dan

inflamasi

dapat

diberikan

antihistamin sistemik (sedative atau non sedative).8

3.9 Komplikasi Dermatitis Atopik DA yang mengalami perluasan dapat menjadi eitroderma. Atrofi kulit (striae atroficans) dapat terjadi akibat pemberian kortikosteroid jangka panjang.9

3.10

Prognosis Dermatitis Atopik Sebagian besar pasien DA akan membaik dengan tatalaksana yang

tepat. Meskipun demikian, pasien dan orang tua pasien harus memahami bahwa penyakit ini dapat sembuh sama sekali. Eksaserbasi diminimalkan dengan strategi pencegahan yang baik. Sekitar 90% pasien DA akan

26

sembuh saat mencapai pubertas, sepertiganya menjadi tidak rinitis alergika dan sepertiga yang lain berkembang menjadi asma. Prognosis buruk jika riwayat keluarga memiliki penyakit serupa, onset lebih awal dan luas, jenis kelamin perempuan, dan bersamaan dengan rinitis alergika dan asma.9

27

BAB IV PEMBAHASAN Berdasarkan anamnesis, An. A berusia 14 bulan berjenis kelamin perempuan alloanamnesis dengan ibu pasien. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa dermatitis atopik dapat terjadi pada bayi usia 2 bulan-2 tahun, dapat mengenai semua jenis suku bangsa, perbandingan antara perempuan dan laki-laki yaitu 1,5 : 1 dimana perempuan lebih sering terkena penyakit ini, sesuai dengan kasus ini. Pasien berusia 14 bulan atau 1 tahun 2 bulan yang berarti onset dini terjadi kurang dari 2 tahun yang merupakan salah satu kriteria diagnosis dermatitis atopik. Menurut keterangan ibu pasien, 1 minggu yang lalu, pasien memakan terlalu banyak ikan. Ayah pasien juga mengalami keluhan yang serupa dengan pasien, hal ini sesuai dengan teori, dimana penyakit ini dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal (gen) dan faktor eksternal (alergen, superantigen, faktor psikologis dan higienitas). Dalam kasus ini, ayah pasien juga memiliki gejala yang sama dimana hal ini ini berarti terdapat hubungan atopi dan salah satu pencetus dari pasien ini adalah makanan. Makanan merupakan salah satu alergen yang sering mencetuskan dermatitis atopik. Awalnya timbul bintil pada kedua tangan terlebih dahulu. Lalu, lama kelamaan muncul juga pada kedua paha pasien. Bintil-bintil kemerahan kecil tidak ada yang berukuran besar, tidak terdapat pada pada bagian tubuh yang berambut seperti kulit kepala dan alis dan tidak terdapat pada bagian bokong. Hal ini menyingkirkan salah satu diagnosis banding yaitu dermatitis seboroik. Bintil-bintil tersebut terasa sangat gatal dan pasien sering menggaruk bagian tersebut sehingga timbul bercak kemerahan yang meninggi pada kulit. Ibu pasien juga mengeluhkan kulit anaknya menjadi lebih kering terutama pada bagian kaki. Hal ini sesuai dengan teori, dimana gejala klinis yang paling menonjol dari dermatitis atopik yaitu gatal. Gatal dapat menyebabkan pasien menggaruk lesi dan tidak tenang. Ibu pasien juga mengatakan anaknya sering merasa gatal saat berkeringat yang menunjukkan salah satu kriteria diagnosis Dermatitis atopik berdasarkan Hanifin-Rajka. Pada riwayat penyakit dahulu juga ditemukan riwayat

28

mata merah dan mengeluarkan banyak kotoran pada anak pasien yang memungkinkan terjadinya konjungtivitis sehingga menunjang penegakkan diagnosis dermatitis atopic. Pada pemeriksaan fisik di regio antebrachii dextra dan sisnistra terdapat plak bentuk ireguler jumlah multiple batas diffuse warna eritema homogen, tepi tidak aktif, distribusi konfluen simetris, permukaan rata. Eritema yang ditemukan merupakan salah satu akibat penggarukan oleh pasien, sehingga dapat memungkinkan terjadinya infeksi sekunder. Pasien telah diberi pengobatan berupa pelembab gliserol krim, krim hidrokortison, tacrolimus 0,03 % krim dan cetirizine drops 2,5mg. Pelembab berfungsi untuk memulihkan disfungsi sawar kulit dan melembabkan kulit yang kering. Pelembab terdapat tiga jenis yaitu oklusif, humektan dan emolien. Pada pasien ini pelembab yang digunakan yaitu emolien krim gliserol yang bekerja dengan cara mengisi celah keratinosit yang deskuamasi yang berfungsi untuk melubrikasikan dan menghaluskan kulit. Penggunaan krim dipilih karena krim dapat lebih lama diserap oleh kulit. Krim gliserol diberikan secara teratur 2 kali sehari dioleskan setiap hari setelah mandi meskipun sedang tidak ada gejala DA. Kemudian pada pasien diberikan krim hidrokortison. Pemberian topical kortikosteroid dianjurkan untuk mengurangi rasa gatal dan inflamasi dari lesi yang ada. Pemilihan jenis kortikosteroid berdasarkan usia pasien, lokasi anatomis, luas area yang diobati. Untuk bayi dan anak dianjurkan pemilihan kortikosteroid golongan VII-IV. Pada fase bayi/anak dapat diberikan yang paling ringan terlebih dahulu yaitu golongan VII. Salah satu kortikosteroid golongan VII yang sering digunakan yaitu hidrokortison. Hal ini berarti antara pemberian terapi pada kasus dan teori selaras. Pasien juga diberi krim takrolimus yang merupakan kalsineurin inhibitors yang bekerja pada sel T, sel Langerhans, sel mast dan sel keratinosit yang mampu menghambat degranulasi sel mast dan mensupresi pengeluaran TNF alfa. Krim takrolimus ini aman digunakan untuk anak berusia 2 – 15 tahun sesuai dengan usia pasien ini yaitu 3 tahun. Pasien ini diberikan antihistamin oral yaitu cetirizine drops 2,5mg, untuk meringankan efek antipruritus dari dermatitis atopik.

29

Cetirizine merupakan antihistamin golongan H1 generasi kedua yang memiliki efek sedasi yang minimal. Pemeriksaan yang dapat dianjurkan pada pasien ini ialah pemeriksaan demografisme putih y, ink burrow test, uji tusuk dan pemeriksaan serum IgE. Pemeriksaan demografisme putih yang menunjukkan hasil positif merupaka kriteria minor dari dermatitis atopik. Dermografisme putih menunjukkan adanya vaskularisasi

abnormal.

Pemeriksaan

ink

burrow

test

bertujuan

untuk

menyingkirkan diagnosis banding scabies pada pasien. Pemeriksaan ink burrow test menggunakan tinta cina untuk melihat adanya terowongan yang dihasilkan oleh tungau penyebab scabies. Uji tusuk bertujuan untuk mengetahui allergen pencetus dari dermatitis atopic. Serta pemeriksaan serum IgE dapat dianjurkan untuk membantu menunjang diagnosis dermatitis atopic. Peningkatan serum IgE berhubungan dengan mekanisme dermatitis atopic yang merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I dan tipe IV. Prognosis pada pasien ini cenderung baik dengan tatalaksana yang tepat. Meskipun demikian, pasien harus memahami bahwa penyakit ini dapat sembuh sama sekali. Eksaserbasi diminimalkan dengan strategi pencegahan yang baik. Sekitar 90% pasien DA akan sembuh saat mencapai pubertas, sepertiganya menjadi tidak rinitis alergika dan sepertiga yang lain berkembang menjadi asma.

30

BAB V KESIMPULAN Dermatitis atopik (DA) merupakan penyakitkulit yang paling sering ditemui pada praktek umum, dan paling sering terjadi pada masa bayi dan anakanak. Faktor penyebab dermatitis atopic merupakan kombinasi faktor genetik (turunan) dan lingkungan seperti kerusakan fungsi kulit, infeksi, stres, dan lainlain. Diagnosis dermatitis atopic didasarkan pada temuan klinis dan uji alergi berdasarkan kriteria diagnosis Hanifin dan Rajka, skor Svennson, kriteria William, dan Score in Atopic Dermatitis (SCORAD). Dermatitis atopic dapat menyebabkan perasaan gatal yang dapat mengganggu penderitanya dan memperlihatkan kemerahan pada kulit. Tatalaksana DA yang efektif meliputi kombinasi penghindaran pencetus, pengurangan gatal menjadi seminimal mungkin, perbaikan sawarkulit, dan obat anti inflamasi. Untuk tatalaksana yang optimal, dibutuhkan kerjasama yang baik tidak hanya oleh pasien tetapi juga orang-orang terdekat pasien.

31

DAFTAR PUSTAKA

1.

Djuanda S, Sularsito SA. Dermatitis Atopik., dalam : Djuanda A, editor, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi ke-6, Jakarta FK UI; 2007, h 138-47

2.

Evina B. Clinical manifestation and Diagnostic Criteria of Atopic Dermatitis. J majority, Volume 4 no 4. Lampung, 2015.

3.

Movita T. Tatalaksana Dermatitis Atopik. CDK-222/ vol. 41 no. 11, th. 2014

4.

Solomon WR. Dermatitis Atopik dan Urtikaria. Dalam Price SA, Wilson LM.Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi ke-6. Jakarta, EGC. 2005

5.

Sudewi NP, et al. Berbagai Teknik Pemeriksaan Fisik untuk Menegakkan Diagnosis Penyakit Alergi. Sari Pediatri 2009; 11 (3); 174-8. Jakarta. 2009

6.

Berke R, Singh A, Guralnick M. Atopic Dermatitis : An Overview. American Academic Family Physicians Volume 86 Number 1. USA. 2012

7.

Eichenfield LF , et al. Guidelines of Care for the Management of Atopic Dermatitis. J Am Acad Dermatol Volume 71, Number 1.AS. 2014

8.

Thomsen, SF. Atopic Dermatitis : Natural History, Diagnosis and Management. ISRN Allergy Volume 2014, Article ID 354 250 7 pages. Denmark. 2014

9.

Katamaya I, et al. Japanese Guidelines for Atopic Dermatitis. Allergology International 66 (2017) 230-247. Jepang. 2017

10. Costner MI, Sontheimer RD. Lupus Erythematosus. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, David J. Leffell DJ, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, VII ed. New York: McGrawHill; 2008. p. 1515-1535.

32

Related Documents

Dermatitis
May 2020 42
Dermatitis
October 2019 77
Dermatitis Atopica
November 2019 53
Dermatitis 1
May 2020 33
Dermatitis Referat.docx
December 2019 51

More Documents from "Vivian Saputra"