Crs Cpa.docx

  • Uploaded by: Agus Mubin
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Crs Cpa.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,703
  • Pages: 27
BAB I PENDAHULUAN

Cerebellopontine angle (CPA) merupakan suatu daerah berbentuk segitiga pada fossa posterior intrakranial yang dibatasi oleh os temporal, serebellum, dan pons. Pada fossa posterior, CPA merupakan daerah yang paling sering mengalami neoplasma. Tumor yang menempati daerah ini menyumbang sekitar 10% dari semua neoplasma intrakranial, dengan jenis paling banyak yaitu schwannomas vestibular sebanyak 80% dari Tumor CPA. Tumor lain yang melibatkan daerah ini termasuk meningioma, tumor dermoid, kista arachnoid, lipoma, dan metastasis. CPA disusun padat oleh jaringan neurologis. Dengan demikian, pertumbuhan tumor di wilayah ini dapat menimbulkan disfungsi neurologis yang signifikan dan, jika tidak ditangani, dapat menyebabkan kematian. Gejala yang sering terjadi berupa kehilangan pendengaran, hipestesi pada wajah dan gangguan keseimbangan. Tumor CPA hanya dapat di lihat dengan CT-Scan kontras dengan irisan resolusi tinggi yang tipis, selain itu MRI dapat memberikan gambaran tumor yang lebih baik dan lebih peka dibandingkan dengan CT-Scan.

BAB II LAPORAN KASUS

I.

IDENTITAS PASIEN Nama

: Ny. J

Umur

: 42 tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Suku/Bangsa

: Melayu/Indonesia

Agama

: Islam

Alamat

: Desa kaerangan sekerna, Sengeti

Pekerjaan

:IRT

No.Reg

: 888703

MRS

: 14 juli 2018 (13.35)

DAFTAR MASALAH No.

Masalah Aktif

Tanggal

Masalah

Tanggal

Pasif 1.

Hemiparese dextra

14 Juli 2018

2.

Hipertensi grade II

1 Tahun

3.

Tidak bisa berbicara

14 Juli 2018

II. DATA SUBYEKTIF Keluhan utama

:

Kelemahan anggota gerak kanan sejak pukul 3 pagi SMRS 1. Riwayat Penyakit Sekarang o Lokasi

: Lengan kanan, tungkai kanan, tidak bisa berbicara

o Onset

: Mendadak saat os bangun tidur

o Kualitas

: Lengan kanan dan tungkai kanan

o Kuantitas

:

o Kronologis

:

Pasien datang dengan keluhan kelemahan pada anggota gerak sebelah kanan pukul 3 pagi ini. Kelemahan datang secara tiba-tiba ketika os bangun tidur. Os juga tidak dapat berbicara. Mulut mencong kesisi kiri. 1 hari sebelumnya os mengeluh sakit gigi. Mual (-) muntah (-) kejang (-) riwayat trauma (-) o Gejala Penyerta

: Sakit gigi

o Faktor memperberat

: (-)

o Faktor memperingan

: (-)

2. Riwayat penyakit dahulu: o Riwayat tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol kurang lebih 1 tahun o Kencing manis disangkal o Riwayat sakit jantung disangkal o Riwayat trauma disangkal 3. Riwayat penyakit keluarga: Ibu os punya riwayat stroke 4. Riwayat sosial, ekonomi, pribadi: Pasien bekerja sebagai IRT. Kebiasaan merokok (-), riwayat minum alkohol (-).

III. OBYEKTIF 1. Status Present (14 Juli 2018) Kesadaran

: Compos mentis. E:4 M:6 V: Afasia

Tekanan darah

: 170/110 mmHg

Nadi

: 86x/menit

Suhu

: 36,7oC

Respirasi

: 21x/menit

Sp02

: 98%

2. Status Internus Kepala

: Mata : CA-/-, SI -/-, Pupil : isokor, refleks cahaya langsung (+/+) dan tidak langsung (+/+)

Leher

: Kelenjar th yroid tidak membesar, KGB tidak membesar,

tidak ada deviasi trakhea, kaku kuduk (-), JVP 5cm H2O Thorax

: Simetris, tidak ada retraksi

Jantung

: Inspeksi : Ictus cordis tampak pada ICS V, 2 jari medial Linea midclavicula sinistra Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS V, 2 jari medial linea midclavicula sinistra, tidak kuat angkat Perkusi : Batas atas ICS II linea parasternalis sinistra Batas kiri ICS V linea midclavicula sinistra Batas kanan ICS IV linea parasternalis dextra Auskultasi : BJ I/II reguler, gallop (-), murmur (-)

Paru

: Inspeksi : simetris, retraksi (-/-) Palpasi : fokal fremitus kanan=kiri Perkusi : Sonor (+/+) Auskultasi : suara dasar vesikuler, suara tambahan whezzing(-/-), ronkhi (-/-)

Abdomen

: Inspeksi : datar, luka operasi (-) Palpasi : supel, nyeri tekan (-), tak teraba massa, hepar lien tidak teraba Perkusi : timpani di seluruh lapang abdomen Auskultasi : Bising usus (+) N

Genitalia

: tidak diperiksa

Ekstremitas

: akral hangat, edema (-/-)

3. Status Psikitus Cara berpikir

: baik

Perasaan hati

: biasa

Tingkah laku

: normoaktif

Ingatan

: baik

Kecerdasan

: cukup

4. Status neurologikus Kesadaran kualitatif

: Compos Mentis

Kesadaran kuantitatif (GCS)

: E4 Vafasia M6

a. Kepala Nyeri tekan

: (-)

Simetris

: (+)

Pulsasi

: (-)

b. Leher Sikap

: Normal

Pergerakan

: Normal

Tanda Rangsang Meningeal : (-) 

Kaku kuduk



Brudzinsky 1 : -



Brudzinsky 2 : -|-



Brudzinsky 3 : -|-



Brudzinsky 4 : -



Laseque

:-



Kernig

:-

:-

c. Pemeriksaan Nervus Kranialis C. Nervus Kranialis Nervus Kranialis

Kanan

Kiri

N I (Olfaktorius) Subjektif Objektif (dengan bahan)

Sulit dinilai

Sulit dinilai

N II (Optikus) Tajam penglihatan

Sulit dinilai

Sulit dinilai

Lapangan pandang

Sulit dinilai

Sulit dinilai

Melihat warna

Sulit dinilai

Sulit dinilai

Funduskopi

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Sela mata

Sulit dinilai

Sulit dinilai

Ptosis

Tidak ada

Tidak ada

Pergerakan bola mata

Normal

Normal

Nistagmus

Tidak ada

Tidak ada

Ekso/endotalmus

Tidak ada

Tidak ada

bentuk

Bulat, isokor,  3 mm

Bulat, isokor,  3 mm

reflex cahaya langsung

+

+

tidak +

+

-

-

N III (Okulomotorius)

Pupil

reflex

cahaya

langsung Diplopia N IV (Trochlearis) Pergerakan bola mata ke Sulit dinilai

Sulit dinilai

bawah-dalam Diplopia

N V (Trigeminus) Motorik

-

-

Membuka mulut

Sulit dinilai

Sulit dinilai

Sulit dinilai

Sulit dinilai

+

+

Mengunyah Menggigit Sensorik Oftalmikus Maksila Mandibula Refleks kornea N VI (Abdusen) Pergerakan

bola

mata Sulit dinilai

Sulit dinilai

(lateral) Diplopia

-

-

Mengerutkan dahi

Simetris

Simetris

Menutup mata

Normal

Normal

Bersiul

-

-

Tinggi alis

Simetris

Simetris

Lipatan nasolabial

Normal

Plica nasolabial dextra

N VII (Fasialis)

Tersenyum

mendatar Sensasi lidah 2/3 depan

Sulit dinilai

Sulit dinilai

Suara berbisik

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Detik arloji

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

N VIII (Vestibularis)

Rinne test

Tidak dilakukan

Weber test

Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Swabach test

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Nistagmus

Tidak ada

Tidak ada

Sensasi lidah 1/3 blkg

Sulit dinilai

Sulit dinilai

Refleks muntah

+

+

N IX (Glossofaringeus)

N X (Vagus) Arkus faring

Simetris

Berbicara

Mutisme

Menelan

Baik

Refleks muntah

Baik

Nadi

Normal

N XI (Assesorius) Memalingkan kepala Mengangkat bahu

Normal Normal

N XII (Hipoglosus) Kedudukan lidah ketika Deviasi ke kanan dijulurkan Atropi papil

-

Tremor

-

Disatria

D. Badan dan Anggota Gerak

-

Normal

Badan dan Anggota Gerak

Kanan

Kiri

Badan Motorik Respirasi

Simetris

Simetris

Taktil

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Nyeri

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Thermi

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Reflek kulit perut atas

Normal

Normal

Reflek kulit perut tengah

Normal

Normal

Reflek kulit perut bawah

Normal

Normal

Pergerakan

Minimal

Cukup

Kekuatan

1

5

Tonus

Normal

Normal

Trofi

Eutrofi

Eutrofi

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Duduk Bentuk kolumna vertebralis Pergerakan kolumna vertebralis Sensibilitas

Reflek

Anggota Gerak Atas Motorik

Sensibilitas Taktil

Nyeri

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Thermi

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Biseps

++

++

Triseps

++

++

Radius

++

++

Ulna

++

++

Hoffman-Tromner

-

-

Pergerakan

Cukup

Minimal

Kekuatan

1

5

Tonus

Normal

Normal

Trofi

Eutrofi

Eutrofi

Taktil

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Nyeri

Normal

Normal

Thermi

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Patella

++

++

Achilles

++

++

Babinsky

-

-

Chaddock

-

-

Reflek

Anggota Gerak Bawah Motorik

Sensibilitas

Reflek

Rossolimo

-

-

Mendel-Bechterew

-

-

Schaefer

-

-

Oppenheim

-

-

Klonus Paha

-

-

Klonus Kaki

-

-

Tes Laseque

-

-

Tes Kernig

-

-

E. Koordinasi, Gait dan Keseimbangan Koordinasi, Gait dan Keseimbangan

Hasil Pemeriksaan

Cara berjalan

Tidak dilakukan

Test Romberg

Tidak dilakukan

Disdiadokinesis

Tidak dilakukan

Ataksia

Tidak dilakukan

Rebound Phomenon

Tidak dilakukan

Dismetria

Tidak dilakukan

F. Gerakan-gerakan Abnormal Gerakan-gerakan Abnormal

Hasil Pemeriksaan

Tremor

-

Athetosis

-

Miokloni

-

Khorea

-

G. Alat Vegetatif Alat Vegetatif

Hasil Pemeriksaan

Miksi

Tidak ada kelainan

Defekasi

(belum BAB sejak sakit)

H. Tes tambahan Tes Nafziger

Tidak dilakukan

Tes Valsava

Tidak dilakukan

IV. RINGKASAN S : Pasien datang dengan kelemahan pada anggota gerak sebelah kanan sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan muncul mendadak pada saat pasien bangun tidur dirumah. Pasien juga tidak bisa mengeluarkan kata-kata atau kesulitan untuk berbicara. Keluhan ini baru pertama kali dirasakan oleh pasien. Pasien juga mengeluh mengalami kesulitan berbicara, bicara pelo (+), mulut mencong ke kiri (+), keluhan mual (-), muntah (-), penurunan kesadaran (-), sulit menelan (-), kejang (-) , penglihatan kabur (-), penglihatan ganda (-), gangguan pendengaran (-), gangguan penciuman (-), gangguan pengecapan(-). Buang air kecil dan buang air besar normal tidak ada keluhan.

O: Kesadaran

: Somnolen,

E:3 M:6 V:Afasia

Tekanan darah

: 170/120 mmHg

Nadi

: 86x/menit

Suhu

: 36,7oC

Respirasi

: 22x/menit

Sp02

: 99%

Tanda Rangsang meningeal : 

Kaku kuduk

:-



Brudzinsky 1

:-



Brudzinsky 2

: -|-



Brudzinsky 3

: -|-



Brudzinsky 4

:-



Laseque

:-



Kernig

:-

A : Diagnosis Klinis Diagnosis Topis

: Hemiparese dextra + hipertensi stage 2 + Afasia : Hemisfer sinistra

Diagnosis Etiologi : Stroke non hemoragik

P: Non Medikamentosa : - Bed Rest - Latihan anggota gerak (Fisioterapi) - Pasang kateter urin Medikamentosa -

IVFD NaCL 0,9% 20 gtt/i.

-

Nasal canul 3L/menit

-

Inj. Citicolin 3 x 500 mg

-

Inj. Ranitide 2 x 1 amp

-

Inj. Cefriaxone 2x1 gr

-

Vit B kompleks tab 3x1

-

Amplodipin 1 x 10 mg Jika TD > 180

Mx : Pantau tanda-tanda vital dan status neurologi. Ex :  Beri penjelasan kepada keluarga dan pasien mengenai penyakit pasien, faktor risiko, penatalaksanaan, komplikasi serta prognosisnya.

 Mobilisasi terbatas dan bertahap apabila hemodinamik dan pernapasan stabil, hati-hati dalam menggerakkan dan memandikan pasien.  Beri tahu pasien bahwa faktor risiko yang dimiliki pasien untuk terjadinya penyakit ini adalah hipertensi. Oleh karena itu, jika pasien dibolehkan pulang, pasien tetap harus mengontrol life style dan rajin kontrol ulang. V. PROGNOSIS -

Quo ad vitam

: dubia ad bonam

-

Quo ad fungsionam

: dubia ad malam

-

Quo ad sanationam

: dubia ad malam

BAB III TINJAUAN PUSTAKA 3.1 ANATOMI CEREBELLOPONTINE ANGLE (CPA) Cerebellopontone Angle (CPA) secara sederhana didefinisikan sebagai ruang yang dibatasi oleh serebelum, pons, dan os petrosa temporal. CPA pada bagian posterior dibatasi oleh flocculus dan permukaan petrosal serebelum. Pada bagian anterior, CPA tertutup oleh permukaan posterior dari petrous pyramid dan aspek lateral dari clivus. Aspek lateral dari tentorium menandai batas superior dari CPA. Bagian lateral CPA dibatasi aspek posterior dari piramida petrus dan meatus akustik internal (IAM). Bagian medial ruang ini dibatasi oleh pons.

Pada CPA terdapat cerebellopontine cistern salah satu dari subarachnoid cistern; ruang diantara arachnoid mater dan pia mater yang mengandung cairan serebrospinal, jaringan arachnoid, saraf kranial, dan pembuluh darah. Saraf keluar dari batang otak dan melewati cerebellopontine

cistern saat menuju dasar tengkorak. Saraf trigeminal (N. V), saraf fasialis (N. VII), dan saraf vestibulocochlear (N. VIII) keluar di antara fisura cerebellopontine superior dan inferior, sulkus antara pons, peduncle cerebellar media, dan cerebellum. Nervus trigeminal berjalan secara anterior menuju Meckle cave, kemudian terbagi menjadi tiga cabang. Serabut sensorik dari nervus trigeminal, yang disebut portia mayor, berada lateral inferior dari serabut motorik, yang disebut portia minor. Nervus Fasialis (N. VII) dan Nervus Vestibulocochlear (N. VIII) keluar dari batang otak di fisura pontomedullary dimana Nervus Facialis (N.VII) terletak anterior medial dari saraf vestibulocochlear (N. VIII). Keduanya kemudian berjalan anterolateral menuju internal auditory canal. Nervus glossopharyngeal (N. IX) dan Nervus vagus (N. X) ditemukan di caudal region CPA saat menuju foramen jugularis. Vaskularisasi cerebellopontine angle (CPA) berasal dari arteri basilaris, yang berjalan di sepanjang ventral batang otak. Arteri cerebellar anterior inferior (AICA) adalah arteri utama dari CPA, meskipun kadang-kadang trunkus kaudal dari arteri serebral superior (SCA) dapat turun ke CPA. AICA bercabang di cistern cerebellopontine untuk membentuk trunkus rostral dan kaudal; trunkus rostral memasok middle cerebellar peduncle dan permukaan superior fisura cerebellopontine, sedangkan trunkus kaudal memasok permukaan ventral inferior serebelum. Vena petrosus superior, juga dikenal sebagai Vena Dandy, adalah vena terbesar di CPA dan terletak di bagian paling bawah dari tentorium. Vena ini mengalir ke sinus petrosus superior, yang terletak di sepanjang petrous ridge.

Internal Auditory Canal, terletak di tulang temporal, adalah saluran dari cerebellopontine cistern ke tulang temporal. Porus akousticus adalah pembukaan ke Internal Auditory Canal (IAC) dari cisteran CPA. Ada lima saraf di IAC: nervus fasialis, nervus koklea, nervus vestibular superior, nervus vestibular inferior, dan nervus intermedius. Vaskularisasi IAC terdiri dari arteri labyrintin, cabang AICA, yang memasok koklea dan telinga bagian dalam.

3.2 MENINGIOMA 3.2.1 DEFINISI Meningioma merupakan tumor jinak ekstra-aksial atau tumor yang terjadi di luar jaringan parenkim otak yaitu berasal dari selaput meninges. Meninges merupakan selaput yang melindungi otak hingga medulla spinalis. Meninges terdiri dari tiga lapisan yaitu dura mater, arakhnoid mater, dan pia mater. Meningioma tumbuh dari sel-sel arachnoid cap cells dura mater dengan pertumbuhan yang lambat. 3.2.2 EPIDEMIOLOGI Meningioma merupakan tumor jinak intrakranial yang paling sering dijumpai. Meningioma diperkirakan sekitar 15-30% dari seluruh tumor primer intrakranial pada orang dewasa. Prevalensi meningioma berdasarkan konfirmasi pemeriksaan histopatologi diperkirakan sekitar 97,5 penderita per 100.000 jiwa di Amerika Serikat. Jenis kelamin juga memengaruhi prevalensi dari meningioma, dengan rasio wanita : pria adalah 2:1. 3.2.3 FAKTOR RESIKO 1) Radiasi Radiasi ionisasi merupakan salah satu faktor resiko yang telah terbukti menyebabkan tumor otak. Penelitian-penelitian yang mendukung hubungan antara paparan radiasi dan meningioma sejak bertahun-tahun telah banyak jumlahnya. Proses neoplastik dan perkembangan tumor akibat paparan radiasi disebabkan oleh perubahan produksi base-pair dan kerusakan DNA yang belum diperbaiki sebelum replikasi DNA. Penelitian pada orang yang selamat dari bom atom di Hiroshima dan Nagasaki menemukan bahwa terjadi peningkatan insiden meningioma yang signifikan. Pengobatan dengan menggunakan paparan radiasi juga meningkatkan resiko terjadinya meningioma. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terapi radiasi untuk leukemia limfoblastik dan tinea kapitis memperlihatkan adanya peningkatan resiko terjadinya

meningioma terutama dosis radiasi melebihi 30 Gy. Selain itu, paparan radiasi untuk kepentingan diagnosis juga meningkatkan resiko terjadinya meningioma. Salah satunya adalah penelitian Claus et al (2012) yang membuktikan adanya peningkatan resiko yang signifikan terjadinya meningioma setelah mendapatkan dental X-ray lebih dari enam kali antara usia 15 hingga 40 tahun. 2) Trauma Sejak masa Harvey Cushing, Cedera kepala merupakan salah satu resiko terjadinya meningioma, meskipun hasil peneltian-penelitian tidak konsisten. Penelitian kohort pada penderita cedera kepala dan fraktur tulang kepala menunjukkan adanya hubungan dengan terjadinya meningioma secara signifikan. Penelitian ole Phillips et al (2002) juga menemukan hasil bahwa adanya hubungan antara cedera kepala dengan resiko terjadinya meningioma, terutam riwayat cedera pada usia 10 hingga 19 tahun. Resiko meningioma berdasarkan banyaknya kejadian cedera kepala dan bukan dari tingkat keparahannya. 3) Hormon Predominan meningioma pada wanita dibandingkan dengan laki-laki memberi dugaan adanya pengaruh ekspresi hormon seks.Terdapat laporan adanya pengaruh ukuran tumor dengan kehamilan, siklus menstruasi, dan menopause. Penelitian-penelitian pada pengguna hormon eksogen seperti kontrasepsi oral dan terapi hormon pengganti dengan resiko timbulnya meningioma memberikan hasil yang kontroversial. Penelitian-penelitian pada paparan hormon endogen memperlihatkan bahwa resiko meningioma berhubungan dengan status menopause, paritas, dan usia pertama saat menstruasi, tetapi masih menjadi kontroversi. 3.2.4 GAMBARAN RADIOLOGI Pemeriksaan penunjang radiologi pada meningioma dapat berupa foto xray, CT-scan kepala baik dengan maupun tanpa kontras dan MRI. Pada foto x-ray dapat ditemukan gambaran khas, yaitu hiperostosis, peningkatan vaskularisasi dan kalsifikasi. Pada CT-scan tanpa kontras, meningioma akan memberikan gambaran isodense hingga sedikit hyperdense dan kalsifikasi. Sedangkan CT-scan dengan kontras akan memberikan gambaran massa yang menyangat kontras dengan kuat dan homogen. Gambaran hiperostosis, edema peritumoral dan nekrosis sentral dapat dijumpai pada pencitraan CT-scan kepala. Gambaran khas pada CT-scan kepala adalah adanya dural tail yaitu duramater yang melekat pada tulang.

3.3 CEREBELLOPONTINE ANGLE (CPA) MENINGIOMA

Pada fossa posterior, CPA merupakan daerah yang paling sering mengalami neoplasma. Tumor yang menempati daerah ini menyumbang sekitar 10% dari semua neoplasma intrakranial, dengan jenis paling banyak yaitu schwannomas vestibular sebanyak 80% dari Tumor CPA. Meningioma merupakan tipe tumor paling umum kedua pada CPA, terhitung sekitar 10% dari total tumor CPA. 2.3.1 MANIFESTASI KLINIS

Kehilangan pendengaran, dysequilibrium, dan tinnitus adalah gejala yang paling umum dilaporkan pada pasien dengan CPA meningioma. Disfungsi nervus trigeminal juga dilaporkan sering terjadi pada pasien dengan diagnosa ini; perubahan dalam sensasi wajah didapatkan sebanyak 25%, dan neuralgia trigeminal dilaporkan sebanyak 16%. Kelainan nervus cranialis bawah tercatat pada 13% pasien. Gejala yang kurang umum adalah sakit kepala (22%), perubahan visual (19%), kelemahan anggota tubuh (9%), otalgia (6%), dan kelemahan wajah (3%). Pada pemeriksaan fisik, temuan otologik dan neurologis umum adalah nistagmus (50%), penurunan sensasi wajah (44%), ataksia (41%), penurunan pendengaran (28%), dan kelemahan wajah (28%). Secara keseluruhan, disfungsi saraf kranial

dan defisit cerebellar adalah tanda dan gejala yang paling menonjol pada pasien dengan meningioma CPA. Gangguan saraf kranial multipel adalah beberapa tanda dan gejala klinis paling awal yang terlihat pada meningioma CPA. Disfungsi saraf vestibulocochlear adalah gejala yang paling sering dilaporkan dalam beberapa penelitian terkait meningioma CPA. Frekuensi gangguan pendengaran berkisar dari sekitar 60% hingga 75% di sebagian besar penelitian. Dysequilibrium, yang termasuk ketidakseimbangan dan vertigo, memiliki presentasi yang lebih bervariasi, dengan sejumlah besar frekuensi pelaporan seri mulai dari 50% hingga 66%. Tinnitus juga dilaporkan sebagai pola tak terduga dalam sebagian besar penelitian, dengan frekuensi mulai dari 43% hingga 66%. Disfungsi saraf trigeminal adalah gejala lain yang sering dilaporkan untuk pasien dengan meningioma CPA. Facial numbness ditemukan pada 19% sampai 64% pasien dalam sebagian besar seri. Pada pemeriksaan fisik, penurunan refleks kornea tercatat pada 50% hingga 60% pasien. Kelainan saraf fasialis, termasuk kelemahan, dan spasme wajah juga ditemukan sebagai salah satu kelainan saraf akibat CPA meningioma. Kelemahan wajah dilaporkan sebagai gejala dalam beberapa penelitian mulai dari 3% hingga 53%. Kelainan saraf kranial yang lebih rendah (IX, X, XI, XII) dilaporkan pada 13% hingga 25% pasien dalam beberapa penelitian. Dysarthria dilaporkan sebagai gejala sebanyak 10 – 25 % dari beberapa penelitian. Frekuensi disfagia ditemukan antara 5% dan 19% dalam beberapa penelitian pada CPA meningioma. Tanda-tanda cerebellar juga sering dicatat pada pemeriksaan fisik untuk pasien dengan meningioma CPA. Ataksia tercatat pada pemeriksaan neurologis dengan frekuensi 6% hingga 81%. Gejala nonspesifik seperti sakit kepala, mual, muntah, dan pusing juga dilaporkan dengan berbagai frekuensi dalam beberapa penelitian. Seperti tumor otak lainnya, sakit kepala adalah salah satu gejala klinis paling awal yang dilaporkan oleh pasien dengan meningioma CPA. Papilledema tercatat pada 5% hingga 26% pasien, menandakan peningkatan tekanan intracerebral. Beberapa tanda dan gejala yang tidak umum dicatat pada pasien dengan meningioma CPA dalam subset kecil dari seri adalah gangguan penglihatan (2,7% sampai 19%), diplopia (8% sampai 25%), kelainan saraf keenam (3% hingga 18%), demensia ( 13% hingga 14%), hemiparesis (5% hingga 16%), dan otalgia (5% hingga 6%). Waktu rata-rata dari timbulnya gejala sampai diagnosis meningioma CPA telah dilaporkan dalam beberapa penelitian berkisar antara 4 hingga 6 tahun. Usia rata-rata penderita meningioma CPA telah dilaporkan oleh banyak penulis yaitu antara 50 hingga 57 tahun.

Mengingat bahwa meningioma dan schwannomas vestibular memiliki manifestasi klinis yang sangat mirip, membedakan antara mereka hanya berdasarkan gejala sangatlah sulit. Namun, didapatkan perbedaan halus yang dapat membantu membedakan kedua tumor ini. Perbedaan penting dalam presentasi klinis meningioma dan schwannomas vestibular ditemukan sehubungan dengan gangguan pendengaran 60% versus 98%, tinnitus 50% berbanding 70%, neuralgia trigeminal 15% berbanding 0%, dan disfungsi saraf kranial bawah (IX, X, XI , XII) 15% berbanding 0%. Schwannomas vestibular memiliki insiden disfungsi saraf vestibulocochlear yang lebih tinggi dibandingkan meningioma, tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda neuralgia trigeminal atau disfungsi saraf kranial yang lebih rendah seperti disfagia atau disartria dalam penelitian ini. Dysequilibrium ditemukan pada dua pertiga pasien dengan kedua tumor. Pasien dengan meningioma CPA menunjukkan berbagai gejala dari vertigo posisional ke ketidakstabilan cara berjalan tetapi tidak vertigo episodik. Defisit neurologis seperti facial numbness, facial palsy, otalgia, dan loss of taste terjadi pada kedua kelompok pasien dengan frekuensi hampir sama. Gejala nonspesifik seperti sakit kepala, mual, muntah, dan diplopia juga ditemukan pada persentase yang sama dari pasien dengan kedua tumor. PATOGENESIS Penekanan pada nervus cranialis, batang otak, cerebellum dan terjadinya obstruksi menimbulkan gejala klinis yang beragam sesuai dengan

3.3.2 DIAGNOSIS Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala dan tanda klinis serta gambaran radiologis. Pencitraan dengan MRI lebih superior dibandingkan dengan CT-Scan. Meningioma merupakan lesi ekstraaksial dengan batas yang jelas. Dapat menunjukkan degenerasi kistik sentral dan edema pada daerah dekat substansia putih. Angiografi endovaskular memungkinkan ases preoperatif dari suplai pembuluh darah ke tumor dan hubungan pembuluh darah tersebut dengan struktur vaskular yang vital. Pilihan lain yang mungkin dilakukan adalah biopsi stereotaktik atau melalui kraniotomi. 3.3.3 TERAPI 1) Medikamentosa

Terapi tergantung dari gejala klinis yang ditimbulkan, usia pasien, dan ukuran serta letak lesi tumor. Sebagai contoh, pasien usia tua dengan banyak masalah kesehatan lain yang memperberat, dengan lesi tumor yang kecil dan tidak memberikan gejala dari menigioma dapat dilakukan terapi konservatif. Pasien tersebut memerlukan pemantauan MRI setiap tahunnya selama 3 tahun dan dapat dilanjutkan dengan follow-up secara klinis saja, bila tidak ada hal baru. 2) Pembedahan Tumor dan dura pada tumor direseksi. Tujuan pembedahan adalah reseksi total, tapi dapat saja tidak tercapai, seperti bila meningioma dekat dengan struktur yang penting, atau pada meningioma en plaque. Pembedahan dapat memberikan komplikasi berupa invasi massa tumor ke struktur di sekitarnya, seperti pada meningioma parasagital, yang dapat menginvasi ke dalam sinus dura. Stereotactic radiosurgery dapat memberikan kontrol lokal tumor yang sangat baik. Kortikosteroid preoperatif dan pascaoperatif signifikan dalam menurunkan angka mortalitas dan morbiditas terkait dengan reseksi dari tumor. Obat antiepilepsi seharusnya dimulai sebelum operasi untuk operasi pembedahan supratentorial dan diteruskan paling tidak selama 3 bulan. 3) Radioterapi Radioterapi digunakan pada reseksi tumor incomplete, meningioma rekuren, dan meningioma derajat tinggi dengan sel atipikal dan sel yang anaplastik. Penggunaan radioterapi dikaitkan dengan luaran yang lebih baik. Sebuah

penelitian didapatkan

stereotactic radiosurgery dihubungkan dengan kontrol tumor yang lebih baik (mencapai 10%) dan komplikasi yang lebih kecil. Stereotactic radiosurgery dalam meningioma termasuk berhasil, dapat digunakan sebagai terapi primer, terutama pada meningioma dengan akses sulit untuk dilakukan reseksi, seperti pada meningioma saraf optikus. 4) Kemoterapi Kemoterapi sejauh ini memberikan hasil yang kurang memuaskan, dipertimbangkan hanya bila tindakan operasi dan radioterapi gagal dalam mengontrol kelainan. Agen kemoterapi termasuk hidroksiurea, telah digunakan tapi dengan angka keberhasilan yang kecil. Obat lain yang sedang dalam penelitian termasuk temozolamid, RU-468 dan alfa interferon, juga memberikan hasil yang kurang memuaskan. 3.3.4 KOMPLIKASI

Teknik bedah dan anestesi kontemporer telah meminimalkan morbiditas untuk lesi ini. Penilaian preoperative yang hati-hati dan kontrol kondisi komorbiditas dapat mengurangi risiko komplikasi. Cranial nerves palsy dan kebocoran CSF adalah dua komplikasi paling sering terjadi setelah operasi meningioma CPA. Meningitis bakteri, meningitis aseptik, infeksi luka, hidrosefalus, dan perdarahan merupakan komplikasi yang jarang terlihat. Disfungsi CN V, VII, dan VIII sering didapat setelah operasi tumor CPA, namun lebih jarang pada CN IX, X, dan XI. Kebocoran CSF biasanya terjadi akibat pengangkatan inkomplit dan penutupan mastoid atau petrous apex air cell setelah kraniektomi pada meningioma CPA. Peningkatan tekanan intrakranial, hidrosefalus, atau infeksi dapat memicu atau memperburuk kebocoran CSF. 3.3.5 OUTCOME DAN PROGNOSIS

Outcome dan prognosis penyembuhan dari reseksi bedah tergantung pada histologi, ukuran, dan lokasi tumor. Meningioma tipikal dan anaplastik dapat bermetastasis tetapi jarang. Reseksi total dari tumor biasanya memberikan prognosis yang sangat baik. Angka harapan hidup 5 tahunan untuk meningioma tipikal lebih dari 80%, dan turun menjadi 60% pada meningioma malignan dan atipikal.

BAB IV ANALISA KASUS

Telah dilakukan anamnesis pada seorang wanita berusia 42 tahun dengan keluhan utama kelemahan pada anggota gerak sebelah kanan sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga mengeluhkan kesulitan berbicara atau mengeluarkan kata-kata, mulut mencong ke sebelah kiri. Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran pasien composmentis. Pada pemeriksaan motorik didapatkan adanya kelemahan pada lengan dan tungkai kanan dengan kekuatan otot +1 pada sisi tubuh bagian kiri. Pada pemeriksaan N. VII didapatkan plica nasolabial kanan mendatar. Pada pemeriksaan N. XI oto bahu dan leher normal. Pada pemeriksaan N. XII didapatkan deviasi lidah ke kanan ketika lidah dijulurkan. Pemeriksaan refleks fisiologis, tidak terdapat peningkatan refleks biseps, triseps, radius, dan ulna baik pada sisi tubuh sebelah kiri maupun sebelah kanan. Pada pemeriksaan tonus otot dan pemeriksaan sensorik didapatkan normal baik pada sisi kiri maupun sisi kanan tubuh. Refleks patologis tidak ditemukan pada pasien ini. Stroke adalah kondisi sangat merusak yang terdiri atas berbagai patofisiologi yang luas seperti trombosis, perdarahan, dan emboli. Diagnosis terkini dari stroke bergantung pada pemeriksaan klinis dokter dan didukung lebih jauh lagi oleh pemeriksaan neuroimaging. Pemeriksaan biomarker darah yang dapat digunakan untuk mendiagnosis stroke pada fase akut, membedakan tipe stroke, atau bahkan memprediksi serangan stroke inisial atau rekuren akan sangat membantu tugas dokter.1 Adapun yang termasuk faktor risiko dari stroke yang tidak dapat diubah adalah usia tua, jenis kelamin pria, ras, riwayat keluarga, dan riwayat stroke. Sedangkan faktor risiko dari stroke yang dapat diubah adalah hipertensi, diabetes mellitus, merokok, alkohol, kontrasepsi oral, hiperurisemia, dislipidemia.2,3

Dari faktor risiko diatas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor risiko yang dapat diubah pada pasien ini adalah riwayat hipertensi yang tak terkontrol. Faktor risiko tak dapat diubah pada pasien adalah usia yang sudah (42 tahun). Stroke dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar yaitu stroke akibat perdarahan (stroke hemoragik) dan stroke akibat infark. Keduanya memiliki gambaran klinis yang relatif mudah untuk dibedakan namun tetap harus menggunakan pemeriksaan neuroimaging untuk memastikan diagnosis.6 Kita dapat mendignosis terjadinya stroke perdarahan atau stroke infark dengan melihat gejala awal dan pemeriksaan klinis:7 Tabel 1. Diagnosis banding stroke hemoragik dan non hemoragik Gejala

Perdarahan

Infark

Sangat akut

Sub akut

Aktif

Bangun tidur

-

++

Nyeri kepala

++

-

Muntah

++

-

Kejang-kejang

++

-

Permulaan Waktu serangan Peringatan sebelumnya

Etiologi stroke hemoragik dapat dibagi menjadi 2 yaitu perdarahan intraserebral dan pendarahan subarachnoid. Perdarahan intraserebral ditemukan pada 10% dari seluruh kasus stroke, terdiri dari 80% di hemisfer otak dan sisanya di batang otak dan serebelum. Gejala klinis yaitu onset perdarahan bersifat mendadak, terutama sewaktu melakukan aktivitas dan dapat didahului oleh gejala prodromal berupa peningkatan tekanan darah yaitu nyeri kepala, mual, muntah, gangguan memori, bingung, perdarhan retina, dan epistaksis. Penurunan kesadaran yang berat sampai koma disertai hemiplegia/hemiparese dan dapat disertai kejang fokal / umum. Tanda-tanda penekanan batang otak, gejala pupil unilateral, refleks pergerakan bola mata menghilang dan deserebrasi Dapat dijumpai tanda-tanda tekanan

tinggi intrakranial (TTIK), misalnya papiledema dan perdarahan subhialoid.1 Berdasarkan tabel diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa pasien ini memenuhi kriteria seperti yang ada pada tabel diatas yaitu awal terjadinya yang sangat tiba-tiba dan tidak disertai nyeri kepala. Pasien mendapat serangan saat bangun tidur. Satu-satunya cara yang akurat untuk dapat mendiagnosis stroke hemoragik dan non-hemoragik adalah dengan bantuan CT Scan.6 Namun apabila pemeriksaan CT Scan tidak memungkinkan untuk dilakukan dapat digunakan Siriraj Stroke Score (SSS) dan Skor Gajah Mada untuk mendiagnosis stroke hemoragik dan non-hemoragik. Siriraj Stroke Score pada pasien ini adalah sebagai berikut: SSS = (2,5 x kesadaran) + (2 x muntah) + (2 x nyeri kepala) + (0,1 x tekanan diastolik) - (3 x atheroma) – 12 SSS = (2,5 x 0) + (2 x 0) + (2 x 1) + (0,1 x 110) - (3 x 0) – 12 = -1 Berdasarkan SSS, diagnosis stroke pada pasien ini lebih mengarah ke stroke iskemik. Adapun berdasarkan Skor Gajah Mada, pada pasien ini tidak ditemukan adanya penurunan kesadaran dan tidak adanya refkles babinski tidak ditemukan adanya nyeri kepala, sehingga diagnosis stroke pada pasien ini lebih mengarah ke stroke iskemik. Pengelolaan 5B pada pasien ini telah dilakukan sebagai berikut:5 1.

Pernapasan (breath); jalan napas harus bebas, berikan oksigen kalau perlu.

2.

Darah (blood); tekanan darah dipertahankan agak tinggi (160/100 mmHg) agar perfusi oksigen dan glukosa ke otak tetap optimal untuk menjaga metabolisme otak.

3.

Otak (brain); berikan manitol atau kortikosteroid untuk mengurangi edema otak, bila ada kejang segera berikan diazepam atau dilantin intravena secara perlahan.

4.

Saluran kemih (bladder); pelihara keseimbangan cairan dan pasang kateter bila ada inkontinensia urin. Pada pasien ini telah dilakukan pemasangan kateter.

5.

Gastrointestinal (bowel); berikan nutrisi yang adekuat, bila perlu berikan NGT. Pasien masih dapat makan sendiri tanpa nutrisi melalui NGT.

Terapi yang diberikan pada penderita ini adalah IVFD NaCl 20 tetes/menit untuk maintenance cairan yang adekuat dan produksi urin dipantau dengan kateter. Inj. Citicolin IV 2 x 500 mg sebagai neuroprotektor untuk sel-sel neuron otak, injeksi Ranitidin 2 x 1 amp

untuk mencegah timbulnya stress ulcer karena intake yang tidak adekuat dan menanggulangi efek samping gastrointestinal dari citicolin. Amlodipin untuk mengobati hipertensinya.

BAB V KESIMPULAN

Stroke adalah penyakit kegawatdaruratan neurologi karena tingginya angka mortalitas dan angka kecatatan. Stroke merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan neurologi yang utama di Indonesia dan penyakit ketiga yang menyebabkan kematian di beberapa negara berkembang termasuk Indonesia. Penanganan stroke perlu dilakukan sedini dan setepat mungkin, karena prognosis stroke tergantung pada golden hour dimana dilakukan penanganan yang adekuat. Konsep unit stroke sebagai suatu unit pelayanan stroke terpadu telah terbukti efektif menekan angka kematian dan menurunkan derajat kecacatan, selain mengurangi waktu perawatan pasien di rumah sakit, sehingga dana yang diperlukan untuk perawatan, pengobatan, dan rehabilitasi pasien stroke dapat ditekan seminimum mungkin. Prognosis pada pasien afasia sangat bergantung pada penyebabnya. Pada afasia yang disebabkan oleh stroke, penanganan utama stroke dan kesembuhannya sangat berpengaruh terhadap kesembuhan dari afasia itu sendiri. Mengingat penyembuhan dari stroke memakan waktu lama dan biasanya meninggalkan bekas defisit neurologis, kesembuhan afasia dari pasien stroke sangat tidak menentu. Pada pasien afasia yang disebabkan oleh infeksi herpes simpleks misalnya, kesembuhan dapat segera terjadi dengan memberikan terapi antiviral yang sesuai.

Related Documents

Crs Bst.docx
October 2019 30
Accouplement-crs
June 2020 12
Crs Cpa.docx
October 2019 24
Crs Ich.pptx
November 2019 15
Crs Marasmik
August 2019 26
Crs-0677
May 2020 13

More Documents from ""