Crebral Palsy.doc

  • Uploaded by: neng ratih
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Crebral Palsy.doc as PDF for free.

More details

  • Words: 8,580
  • Pages: 33
1 BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Cerebral palsy merupakan kelainan syaraf motorik yang ada di otak. Ada banyak kelainan syaraf motorik di otak namun bukan dinamai Cerebral Palsy, hal itu dikarenakan terjadinya bukan pada masa perkembangan anak. Sedangkan Cerebral Palsy adalah kelainan yang terjadi pada pra natal, natal, dan pasca natal. Cerebral palsy merupakan suatu gangguan cacat motorik yang biasa terjadi pada anak usia dini, biasanya ditemukan sekitar umur kurang dari 2 tahun. Anak dengan cerebral palsy memiliki kondisi yang stabil dan tidak progresif. Oleh karena itu mereka termasuk kedalam anak berkebutuhan khusus (Miller, 2005). Jenis yang paling umum pada cerebral palsy yaitu kejang cerebral palsy. Hal itu dialami pada 70% orang yang mengalami cerebral palsy (Bjorklund, 2006). World Health Organization (WHO) memperkirakan jumlah anak berkebutuhan khusus di Indonesia sekitar 7-10% dari total jumlah anak. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Nasional tahun 2007, terdapat 82.840.600 jiwa anak dari 231.294.200 jiwa penduduk Indonesia, dimana sekitar 8,3 juta jiwa diantaranya adalah anak berkebutuhan khusus (Kemenkes, 2010). Menurut data Susenas (2012) anak penyandang disabilitas (berkebutuhan khusus) Daerah Istimewa Yogyakarta sebanyak 3.89% dari total jumlah anak yang tinggal di Yogyakarta (Kemenkes, 2014). Menurut data Susenas tahun 2003, di Indonesia terdapat 679.048 anak usia sekolah berkebutuhan khusus atau 21,42% dari keseluruhan jumlah anak berkebutuhan khusus (Direktorat Bina Kesehatan Anak, 2010). Di Indonesia anak dengan palsi serebral (cerebral palsy) sebanyak 2- 2,5/1000 kelahiran hidup. Insidensi cerebral palsy sebanyak 2 kasus per 1000 kelahiran hidup. Lima puluh persen kasus cerebral palsy termasuk ringan dan 10% termasuk kasus berat. Yang dikategorikan ringan adalah penderita dapat mengurus dirinya sendiri dan yang tergolong berat adalah penderita yang membutuhkan pelayanan khusus. Dua puluh lima persen memiliki intelegensia (IQ) rata-rata normal sementara 30% kasus menunjukan IQ dibawah 70. Tiga puluh lima persen disertai kejang dan 50% menunjukan gangguan bicara. Lakilaki lebih banyak dari perempuan (1,4 : 1,0), dengan rata-rata 70 % ada pada

2 tipe spastik, 15% tipe atetotik, 5% ataksia,dan sisanya campuran (Saharso, 2006 cit Utomo, 2013). Dalam upaya melindungi, menghormati, memajukan, dan memenuhi hak-hak penyandang disabilitas, Pemerintah Indonesia telah membentuk berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur pelindungan terhadap penyandang disabilitas, termasuk di antaranya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang memuat mengenai Kesehatan Lanjut Usia dan Penyandang Cacat pada Bagian Ketiga yaitu pasal 138-140. Menurut Konvensi tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas, disabilitas merupakan suatu konsep yang terus berkembang, dimana penyandang disabilitas mencakup mereka yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama dan ketika berhadapan dengan berbagai hambatan, hal ini dapat menghalangi partisipasi penuh dan efektivitas mereka dalam masyarakat berdasarkan kesetaraan dengan yang lainnya. Timbulnya disabilitas dapat dilatarbelakangi masalah kesehatan yang timbul sejak lahir, penyakit kronis maupun akut, dan cedera yang dapat diakibatkan oleh kecelakaan, perang, kerusuhan, bencana, dan sebagainya. Seiring meningkatnya populasi lanjut usia, ditengarai akan meningkatkan jumlah penyandang disabilitas akibat meningkatnya gangguan kesehatan akibat penyakit kronis degeneratif. Disabilitas erat kaitannya dengan kesehatan baik fisik maupun mental. Disabilitas banyak dilatarbelakangi masalah kesehatan, dan sebaliknya kondisi disabilitas juga dapat mempengaruhi kesehatan. Sektor kesehatan berperan dalam upaya pencegahan hingga rehabilitasi. Dalam upaya pelayanan kesehatan, penyandang disabilitas juga perlu mendapatkan pelayanan khusus dan terjangkau sesuai kebutuhan khusus dari disabilitas yang dimilikinya.

B. Tujuan Penulisan 1.

Untuk mengetahui konsep cerebral palsy

2. Untuk mengidentifikasi informasi terkini mengenai anak dengan kebutuhan khusus ditinjau dari aspek kesehatan, sosial, pendidikan, koping keluarga, kebijakan pemerintah.

BAB II

3 TUNJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Cerebral Palsy 1. Definisi Cerebral palsy adalah kelainan yang disebabkan oleh kerusakan otak yang mengakibatkan kelainan pada fungsi gerak dan koordinasi, psikologis dan kognitif sehingga mempengaruhi proses belajar mengajar. Ini sesuai dengan teori yang disampaikan dalam The American Academy of Cerebral Paslsy (Mohammad Efendi, 2006:118), “Cerebral Palsy adalah berbagai perubahan gerakan atau fungsi motor tidak normal dan timbul sebagai akibat kecelakaan, luka, atau penyakit susunan syaraf yang terdapat pada rongga tengkorak”. Dari pengertian tersebut di atas, cerebral palsy dapat diartikan gangguan fungsi gerak yang diakibatkan oleh kecelakaan, luka, atau penyakit susunan syaraf yang terdapat pada rongga tengkorak. Dalam teori yang lain menurut Soeharso (Abdul Salim, 2007:170), “cerebral palsy terdiri dari dua kata, yaitu cerebral yang berasal dari kata cerebrum yang berarti otak dan palsy yang berarti kekakuan”. Jadi menurut arti katanya, cerebral palsy berarti kekakuan yang disebabkan karena sebab-sebab yeng terletak di dalam otak. Sesuai dengan pengertian di atas, cerebral palsy dapat diartikan sebagai kekakuan yang disebabkan oleh sesuatu yang ada di otak. Istilah cerebral palsy dipublikasikan pertama oleh Willam Little pada tahun 1843 dengan istilah “cerebral diplegia”, sebagai akibat dari prematuritas atau asfiksia neonatorum. Dan, istilah cerebral palsy diperkenalkan pertama kali oleh Sir William Osler (Mohamad Efendi: 2006). Istilah cerebral palsy dimaksudkan untuk menerangkan adanya kelainan gerak, sikap ataupun bentuk tubuh, gangguan koordinasi yang disertai dengan gangguan psikologis dan sesnsoris yang disebabkan oleh adanya kerusakan atau kecacatan pada masa perkembangan otak.

2. Karateristik Anak Cerebral Palsy

4 Manusia adalah mahluk yang unik dengan ciri-ciri atau karakteristik yang berbeda antara satu dengan yang lain. Begitu juga dengan karakteristik anak cerebral palsy. Karakteristik anak cerebral palsy dapat dilihat dari ciri-ciri yang tampak pada anak-anak cerebral palsy. Penyebab utamanya adalah adanya kerusakan, gangguan atau adanya kelainan yang terjadi pada otak. Menurut

Yulianto

(Abdul

Salim,

2007:

178-182),

cerebral

palsy

diklasifikasikan menjadi enam, yaitu: a. Spasticity, anak yang mengalami kekakuan otot atau ketegangan otot,

menyebabkan sebagian otot menjai kaku, gerakan-gerakan lambat dan canggung. b. Athetosis, merupakan salah satu jenis cerebral palsi dengan ciri menonjol,

gerakan-gerakan tidak terkontrol, terdapat pada kaki, lengan, tangan, atau otot-otot wajah yang lambat bergeliat-geliut tibatiba dan cepat. c. Ataxia, ditandai gerakan-gerakan tidak terorganisasi dan kehilangan

keseimbangan. Jadi keseimbangan buruk, ia mengalami kesulitan untuk memulai duduk dan berdiri. d. Tremor, ditandai dengan adanya otot yang sangat kaku, demikian juga

gerakannya, otot terlalu tegang diseluruh tubuh, cenderung menyerupai robot waktu berjalan tahan-tahan dan kaku. e. Rigiditi, ditandai dengan adanya gerakan-gerakan yang kecil tanpa disadari,

dengan irama tetap. Lebih mirip dengan getaran. f. Campuran, yang disebut dengan campuran anak yang memiliki beberapa

jenis kelainan cerebral palsy. Menurut Yulianto (Abdul Salim, 2007: 178-182), karakteristik cerebral palsy dibagi sesua dengan derajat kemampuan fungsional. Adapun karakteristik cerebral palsy sesuai dengan derajat kemampuan fungsional yaitu:

a. Golongan Ringan

5 Cerebral palsy golongan ringan umumnya dapat hidup bersama anakanak sehat lainnya, kelainan yang dialami tidak mengganggu dalam kegiatan sehari-hari, maupun dalam mengikuti pendidikan. b. Golongan Sedang

Cerebral palsy yang termasuk sedang sudah kelihatan adanya pendidikan khusus agar dapat mengurus dirinya sendiri, dapat bergerak atau bicara. Anak memerlukan alat bantuan khusus untuk memperbaiki pola geraknya. c. Golongan Berat

Cerebral palsy yang termasuk berat sudah menunjukkan kelainan yang sedemikian rupa, sama sekali sulit melakukan kegiatan dan tidak mungkin dapat hidup tanpa bantuan orang lain.

3. Dampak Dari Cerebral Palsy

Cerbral palsy dapat berdampak pada keadaan kejiwaan yang banyak dialami adalah kurannya ketenangan. Anak cerebral palsy tidak dapat stabil, sehingga menyulitkan pendidik untuk mengikat (mengarahkan) kepada suatu pelajaran atau latihan. “Anak cerebral palsy dapat juga bersikap depresif, seakan-akan melihat sesuatu dengan putus asa atau sebaliknya agresif dengan bentuk pemarah, ketidak sabaran atau jengkel, yang akhirnya sampai kejang “. (Mumpuniarti, 2001: 101). Pendapat lain yang dikemukakan oleh Mohammad Efendi (2006: 126). Kondisi ketunadaksaan pada anak sebagian besar menimbulkan kesulitan belajar dan perkembangan kognitifnya. Khsusunya anak cerebral palsy selain mengalami kesulitan dalam belajar dan perkembangan fungsi kognitifnya, mereka pun seringkali mengalami kesulitan dalam komunikasi, persepsi, maupun kontrol gerakan, bahkan beberapa penelitian sebagian besar diketahui terbelakang mental (tunagrahita). Sedangkan menurut Abdul Salim (2007: 184-176), kelainan fungsi dapat terjadi tergantung dari jenis cerebral palsy dan berat ringannya kelainan, antara lain:

a. Kelainan fungsi mobilitas

6 Kelainan fungsi mobilitas dapat diakibatkan oleh adanya kelumpuhan anggota gerak tubuh, baik anggota gerak atas maupun anggota gerak bawah, sehingga anak dalam melakukan mobilitas mengalami hambatan. b. Kelainan fungsi komunikasi

Kelainan ini dapat timbul karena adanya kelumpuhan pada otot-otot mulut dan kelainan pada alat bicara. Kelainan tersebut mengakibatkan kemampuan anak untuk berkomunikasi secara lisan mengalami hambatan. c. Kelainan fungsi mental

Kelainan fungsi mental dapat terjadi terutama pada anak cerebral palsy dengan potensi mental normal. Oleh karena ada hambatan fisik yang berhubungan dengan fungsi gerak dan perlakuan yang keliru, mengakibatkan anak yang sebenarnya cerdas akan tampak tidak dapat menampikan kemampuannya secara maksimal. 4. Etiologi Penyebabnya dapat dibagi dalam 3 bagian, yaitu prenatal, perinatal, pascanatal. a. Prenatal Infeksi terjadi dalam masa kandungan, menyebabkan kelainan pada janin misalnya oleh lues, toksoplasmosis, rubella dan penyakit infeksi sitomegalik. Kelainan yang menyolok biasanya gangguan pergerakan dan retardasi mental, anoreksia dalam kandungan. b. Perinatal 1) Anoksia / hipoksia Penyebab terbanyak ditemukan dalam masa perinatal ialah cidera otak. Keadaan inilah yang menyebabkan terjadinya anoksia. 2) Perdarahan otak Perdarahan dan anoksia dapat terjadi bersama-sama, sehingga sukar membedakannya

misalnya

perdarahan

yang

mengelili

batang

otak,

mengganggu pusat penafasan dan peredaran darah sehingga terdjadi anoksia. Perdarahan dapat terjadi di ruang subaraknoid dan menyebabkan penyumbatan CSS sehingga mengakibatkan hidrocefalus.

3) Prematuritas

7 Bayi kurang bulan mempunyai kemungkinan menederita perdarahan otak lebih banyak dibandingkan dengan bayi cukup bulan karena pembuluh darah, enzim, faktor pembekuan darah dll masih belum sempurna. 4) Ikterus Ikterus pada masa neonatus dapat menyebabkan perusakan jaringan otak yang kekal akibat masuknya bilirubin ke ganglia basal, misalnya pada kelainan inkompabilitas golongan darah. 5) Meningitis purulenta Meningitis purulenta pada masa bayi bila terlambat atau tidak tepat pengibatannya akan mengakibatkan gejala sisa berupa cerebral palsy. c. Pascanatal Setiap kerusakan pada jaringan otak yang mengganggu perkembangan dapat menyebabkan cerebral palsy misalnya trauma kapitis, meningitis dan luka paru pada otak pasca operasi. 5. Manifestasi Klinis Kelainan fungsi terdiri dari : a. Spastisitas Terdapat peninggian tonus dan reflex yang disertai dengan klonus dan reflex babinski yang positif. Tonus otot yang meninggi menetap dan tidak hilang, meskipun pasien dalam keadaan tidur. b. Koreo-atetosis Kelainan yang khas ialah sikap yang abnormal dengan pergerakan yang terjadi dengan sendirinya (involuntary movement). c. Ataksia Gangguan kordinasi. Bayi dalam golongan ini flaksit dan menunjukkan perkembangan motorik yang lambat.

d. Gangguan pendengaran Terdapat 5-10% anak dengan cerebral palsy gangguan berupa kelainan neurogen terutama persepsi nadi tinggi, sehingga sulit menangkap kata-kata. Terdapat pada golongan koreo-atetosis. e. Gangguan bicara Disebabkan oleh gangguan pendengaran atau retradasi mental. f. Gangguan mata Biasanya berupa strabismus konvergen dan kelainan refraksi pada asfiksia yang berat dapat terjadi katarak.

8 6. Tanda dan Gejala a. Kesulitan makan dan mengisap b. Penundaan dalam pengembangan motoric c. Mudah atau sering terkejut d. Keterlambatan dalam merangkak, berjalan e. Menguntungkan salah satu pihak atas yang lain f. Abnormal merangkak g. Floppy atau gerakan kaku (atau terbelakang otot overdeveloped) h. Ataxia (hilangnya koordinasi dan keseimbangan) · i. Kejang kelumpuhan (kekakuan normal dan kontraksi otot j. Lambat keseluruhan pembangunan k. Ketidakmampuan untuk mengendalikan kandung kemih

7. Hambatan Cerebral Palsy a. Gangguan Motorik Gangguan motorik anak CP dapat berupa kesulitan berpindah tempat (mobilitas), bergerak dan berjalan. Hal ini karena kelumpuhan atau kekakuan dari salah satu anggota gerak bagian atas dan bawah. Gangguan koordinasi antara otot, tulang, persendian merupakan akibat kerusakan otaknya. Kerusakan pada system Piramidalis dan ekstrapiramidalis yang mengatur system motorik manusia, menyebabkan anak CP mengalami kekakuan, kelumpuhan ,gerakan-gerakan involunter yang tak dapat dikendalikan. Disamping itu anak CP

ada

yang

berjalan terhuyunghuyung, pola jalan menggunting, tidak ada keseimbangan, karena kerusakan terjadi pada otak kecil (Cerebellum). Dengan gangguan motorik ini anak sulit melakukan aktvitas hidup sehari-hari di rumah dan di sekolah Berkaitan dengan akademik, anak sulit untuk menulis dan berolah raga. Di rumah anak akan kesulitan untuk: makan, minum, mandi, ke toilet, berpakaian, menanggalkan pakaian dsb.

9 b. Gangguan Sensoris Luasnya kerusakan di otak berakibat pada system sensoris seperti; kelainan penglihatan, pendengaran, perabaan, bahkan sensasi rasa pengecapan. Gangguan penglihatan disebabkan gangguan pada saraf periper yang mengatur pekerjaan bola mata. Gangguannya dapat berupa juling( Strabismus), Astigmatis, dan kelainan mata lain yang disebabkan oleh tremor bola mata, yang menyebabkan bola mata bergerakgerak sehingga penglihatan menjadi tidak jelas. c. Gangguan Berbicara Area Brocca yang menjadi pusat bahasa di otak yang ikut terganggu karena luasnya kerusakan di otak menyebabkan anak sulit memahami bahasa. Disamping sulit memahami bahasa, gangguan akan bertambah kompleks bila otototot mulut, lidah dan otot artikulasi lainnya terganggu, anak akan kesulitan untuk berkomunikasi. Hal ini wajar dialami oleh anak CP karena otot-otot lidah, mulut, dan pipi dipesarafi oleh saraf periper di otak. d. Gangguan Kecerdasan Seperti diungkapkan oleh Stephen dan Hawks bahwa 40 sampai 60 persen anak CP berada pada katagori retardasi mental, maka kesulitan belajar sudah pasti terjadi. Kesulitan belajar menuntut cara dan modifikasi dalam pembelajaran. Cara mengajar buat mereka menuntut penempatan yang tepat, sehingga asessmen untuk melihat kemampuan, ketidakmampuan, dan kebutuhan anak menjadi satu keharusan. Setelah mengetahui kebutuhan anak maka disusunlah program pembelajaran individual (PPI), yang pelaskanaan pembelajarannya bisa dalam setting klasikal atau individual. Modifikasi alat dapat berupa alat tulis menulis atau alat pembelajaran lainnya dalam pelajaran ADL , alat lain yang dimodifikasi untuk kepentingan belajar seperti meja dan kursi, serta alat mobilitas di sekolah. e. Gangguan Emosi dan Penyesuaian Sosial Penyesuaian sosial anak Cerebral Palsy menjadi terhambat hubungan sosialnya mengingat, adanya hambatan yang menjadi sarat setiap orang untuk melakukan hubungan social . Persaratan yang dimaksud seperti; keterampilan berkomunikasi, adanya kemampuan mobilitas, keberanian, dan kemauan untuk bergaul.

10

8. Penatalaksanaan a. Pengobatan Pengobatan kausal tidak ada, hanya simtomatik. Pada keadaan ini perlu kerja sama yang baik dan merupakan suatu ‘team’ antara dokter anak, neurolog, psikiater, dokter mata, dokter THT, ahli ortopedi, psikologi, fisioterapi, ‘occupational therapist’ pekerja sosial, guru sekolah luar biasa dan orang tua penderita. b. Fisioterapi Tindakan ini harus segera dimulai secara intensif. Orang tua turut membantu program latihan di rumah. Untuk mencegah kontraktur perlu diperhatikan posisi penderita pada waktu istirahat atau tidur. Bagi penderita yang berat dianjurkan untuk sementara tinggal di suatu pusat latihan. Fisioterapi ini dilakukan sepanjang penderita hidup. c. Tindakan bedah Bila terdapat hipertonus otot atau hiperspastisitas, dianjurkan untuk dilakukan pembedahan otot, tendon atau tulang untuk reposisi kelainan tersebut. Pembedahan stereotaktik dianjurkan pada penderita dengan pergerakan koreoatetosis yang berlebihan. d. Pendidikan Penderita ‘cerebral palsy’ dididik sesuai dengan tingkat inteligensinya, di sekolah luar biasa dan bila mungkin di sekolah luar biasa bersama-sama dengan anak yang normal. Mereka sebaiknya diperlakukan sama seperti anak yang normal, yaitu pulang ke rumah dengan kendaraan bersama-sama, sehingga mereka tidak merasa diasingkan, hidup dalam suasana normal. Orang tua janganlah melindungi anak secara berlebihandan untuk ini pekerja sosial dapat membantu di rumah dengan nasehat sperlunya. e. Obat-obatan Pada penderita dengan kejang diberikan obat antikonvulsan rumat yang sesuai dengan karakteristik kejangnya, misalnya luminal, dilantin, dan sebagainya. Pada keadaan tonus otot yang berlebihan, obat dari golongan benzodiazepine dapat menolong,

misalnya

diazepam,

klordiazepoksid

(Librium),

nitrazepam

(mogadon). Pada keadaan koreotetosis diberikan artan. Imipramin (tofranil) diberikan kepada penderita dengan depresi.

11

B. Konsep Cerebral Palsy ditinjau dari aspek kesehatan, sosial, pendidikan, koping keluarga, kebijakan pemerintah. 1. Aspek Kesehatan Kualitas hidup diartikan sebagai persepsi subjektif individu terhadap kedudukannya dalam kehidupan, meliputi berbagai komponen kehidupan seperti sistem nilai dan budaya di tempat tinggalnya dalam hubungannya dengan tujuan, harapan, dan norma. Kualitas hidup anak cerebral palsy merupakan penilaian terhadap seluruh aspek kehidupan, meliputi aspek kesehatan (fisik, mental, dan sosial ) dan aspek non kesehatan (ekonomi, sekolah, dan agama). Hal ini merupakan faktor utama yang mempengaruhi kualitas hidup anak. Kondisi kesehatan fisik terutama ditentukan oleh struktur dan fungsi tubuh anak. Anak cerebral palsy mempunyai gangguan beberapa sistem tubuh seperti sistem saraf pusat, respirasi, kardiovaskular, dan muskuloskeletal. Gangguan anatomi tubuh disebabkan karena perubahan struktur dan morfologi otot. Penelitian secara immunohistochemical pada anak

serebral palsy, menunjukkan adanya

peningkatan jaringan lemak intramuskular, penumpukan kolagen pada otot, dan hipotrofi serat otot. Perubahan struktur dan fungsi tubuh pada anak serebral palsy akan mengakibatkan penurunan aktivitas dan partisipasi anak dalam melakukan kegiatan sehari-hari, sehingga menurunkan kualitas hidup anak. Gangguan anatomi tubuh disebabkan karena perubahan struktur dan morfologi otot. Penelitian secara immunohistochemical pada anak

serebral palsy,

menunjukkan adanya peningkatan jaringan lemak intramuskular, penumpukan kolagen pada otot, dan hipotrofi serat otot. Perubahan struktur dan fungsi tubuh pada anak serebral palsy akan mengakibatkan penurunan aktivitas dan partisipasi anak dalam melakukan kegiatan sehari-hari, sehingga menurunkan kualitas hidup anak. Secara umum, kualitas hidup anak cerebral palsy lebih rendah dibandingkan anak normal kelompok usia yang sama. Gangguan motorik memegang peranan penting dalam hal ini. Di Asia seperti Malaysia, kualitas hidup anak serebral palsy masih rendah, hal ini disebabkan karena kurangnya fasilitas pelayanan kesehatan untuk anak-anak cacat, kurangnya kesadaran dan keahlian dari sumber daya manusia, dan tingkat ekonomi yang rendah. Namun beberapa bayi dengan gangguan motorik ringan menunjukkan perbaikan dan mencapai fungsi motorik normal pada masa anak-anak.

12 Banyak penderita cerebral palsy juga menderita penyakit lain. Kelainan yang mempengaruhi otak dan menyebabkan gangguan fungsi motorik dapat menyebabkan kejang dan mempengaruhi perkembangan intelektual seseorang, atensi terhadap dunia luar , aktivitas dan perilaku dan penglihatan serta pendengaran. Penyakit – penyakit yang berhubungan dengan cerebral palsy menurut ; Suharso ( 2006 : 8 ) yaitu : a.

Gangguan mental Sepertiga anak dengan Cerebral Palsy memiliki gangguan intelektual ringan , sepertiga dengan gangguan sedang hingga berat dan sepertiga lainnya normal. Gangguan mental sering dijumpai pada anak dengan klinis Spastik Quadriplegia.

b.

Kejang dan epilepsi Setengah dari seluruh anak cerebral Palsy menderita kejang. Gangguan tersebut akan menyebar keseluruh otak dan menyebabkan gejala pada seluruh

c.

tubuh. Gangguan pertumbuhan Gagal tumbuh secara umum merupakan istilah untuk mendeskripsikan anak – anak yang terhambat pertumbuhan dan perkembangannya, walaupun cukup

d.

mendapakan asupan makanan. Gangguan penglihatan dan pendengaran Banyak anak cerebral palsy menderita Starbismus. Dimana mata tidak dapat segaris

karena ada perbedaan otot mata

kanan dan kiri. Pada

perkembangannya hal ini akan menimbulkan gejal penglihatan ganda. Gangguan pendengaran juga sering dijumpai diantara penderita cerebral palsy e.

dibanding pada populasi umum. Sensasi dan persepsi abnormal Sebagian penderita cerebral palsy mengalami gangguan kemampuan untuk merasakan sensasi. Misalnya sentuhan dan nyeri, mereka juga mengalami stereognosia atau mengalami kesulitan merasakan dan mengidentifikasi obyek melalui sensasi raba.

Terapi Fisik pada anak cerebral palsy

13 Terapi fisik adalah bentuk pengobatan dengan latihan dan peralatan khusus agar anak dapat memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan Universitas Sumatera Utara kemampuan fisiknya. Disebut juga fisioterapi. Terapi fisik sebaiknya diberikan dalam satu tahun pertama kehidupan atau segera setelah diagnosis palsi serebral dibuat. Pemberian terapi fisik juga terbukti dapat memperbaiki panjang langkah, urutan langkah, kecepatan dan irama gaya berjalan, peningkatan rentang gerakan, pengurangan spastisitas dan rigiditas. Terapi fisik bertujuan untuk memperbaiki struktur dan fungsi tubuh, sehingga dapat meningkatkan aktivitas dan partisipasi anak.8 Manfaat pemberian terapi fisik pada anak palsi serebral antara lain: mencegah komplikasi muskuloskeletal seperti kelemahan atau atrofi otot, menghindari kontraktur otot, mencegah deformitas tulang, dan membantu anak melakukan aktivitas sehari-hari. Terapi fisik pada anak palsi serebral mencakup peregangan, penguatan, dan pengaturan posisi. Frekuensi pemberian terapi fisik masih bervariasi diantara beberapa sentra. Suatu penelitian menggambarkan bahwa perbaikan motorik dicapai bila terapi dilakukan empat kali dalam sebulan, dan tiga jam setiap kali latihan, selama dua tahun. Terapi fisik diberikan sepanjang hidup anak.

2. Aspek Sosial Anak dengan cerebral palsy sering kali memiliki keterbatasan untuk bersosialisasi karena adanya kekurangan dalam berkomunikasi dengan orang lain (Kn, 2014). Proses sosialisasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya ialah dukungan sosial keluarga. Anak yang memperoleh dukungan sosial keluarga secara baik, akan meningkat ketrampilan sosialnya. Namun jika dukungan sosial keluarga yang diperoleh itu kurang atau tidak diperoleh sama sekali, maka anak akan merasa tertekan, terabaikan bahkan cenderung merasa ditelantarkan, sehingga ia diselimuti rasa takut dan kecemasan dalam membina interaksi sosial (Zahra, 2007). Dukungan sosial orang tua dan lingkungan sekitarnya merupakan faktor yang mempengaruhi kematangan sosial. Dengan adanya dukungan tersebut akan meningkatkan kepercayaan diri anak, sehingga dapat bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya (Sapariadi, 1982). Dukungan sosial dari orang tua dan

14 keluarga dapat meningkatkan proses kematangan sosial anak dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, sehingga perkembangan anak akan berjalan optimal. Kurangnya dukungan sosial dari orang tua dapat menyebabkan 3 keterlambatan perkembangan anak khususnya dalam aspek kematangan sosial (Dinkes, 2009). Menurut Doll (1965) kematangan sosial merupakan kemampuan individu untuk mengurus dirinya dan ikut serta dalam kegiatan yangmengarahkan pada kemandirian. Kematangan sosial dipengaruhi oleh beberapa faktor lain. Menurut Hurlock (1998) kematangan sosial dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu: emosi, intelegensi dan budaya. Faktor emosi yaitu dapat memberikan dampak pada pengubahan perilaku anak terhadap lingkungannya. Faktor intelegensi yaitu tingkat pengalaman seseorang untuk menyelesaikan suatu masalah dan faktor budaya yaitu tatanan budaya yang berlaku memberi nilai-nilai dan berpengaruh bagi perkembangan anak untuk mencapai kematangan sosialnya. Dalam faktor budaya, dukungan sosial keluarga berperan penting bagi kematangan sosial anak. Menurut Kementrian Kesehatan RI (2014) anak cerebral palsy dengan rentang usia ≥15 tahun lebih rentan untuk mengalami gangguan dalam bersosialisasi. Hal ini terlihat dari hasil penelitian Kementrian Kesehatan RI pada tahun 2007 dan 2013 bahwa anak cerebral palsy mengalami kesulitan untuk merawat dirinya sendiri serta mempunyai gangguan pada fungsi tubuhnya sehingga dalam berinteraksi dengan orang lain mengalami keterbatasan. Masalah kematangan sosial pada anak cerebral palsy secara umum terjadi pada sikapnya dalam menolong diri sendiri. Anak cerebral palsy rata-rata memerlukan bantuan untuk berpakaian, mandi dan makan. Saat berpakaian anak butuh dibantu untuk mengancingkan baju, sedangkan saat mandi anak tidak bisa 4 menjangkau bagian tubuhnya dan saat makan anak butuh disuapi oleh orang tua atau pengasunya (Yuliana, 2013). Secara umum, merawat anak cerebral palsy merupakan beban tersendiri bagi orang tua baik secara fisik, mental, sosial dan ekonomi, oleh karena itu keluarga membutuhkan dukungan yang sangat besar baik dari orang-orang disekitarnya, lingkungan sosial, maupun perawat. Keluarga perlu meningkatkan pengetahuan dan pendapatan, menyediakan waktu serta melibatkan diri dalam perawatan anak cerebral palsy (Herliana, 2010). Orang tua memiliki peranan penting dalam optimalisasi perkembangan seorang anak. Orang tua harus selalu memberi rangsang atau stimulasi kepada anak dalam

15 semua aspek perkembangan baik motorik kasar maupun halus, bahasa dan hubungan sosial. Selain Keluarga, masyarakat, dan pemerintah memegang peranan penting dalam faktor lingkungan. Kurangnya penerimaan anak cerebral palsy dalam masyarakat berupa adanya sikap diskriminasi, stigmatisasi, dan kurang pengertian dari masyarakat terhadap kondisi anak

cerebral palsy, menyebabkan menurunnya

kualitas hidup anak. Faktor keluarga dipengaruhi oleh: tingkat pendidikan orang tua, status perkawinan orang tua, serta kesehatan fisik dan mental orang tua. anak cerebral palsy membutuhkan perhatian khusus dari lingkungan yang mampu mendorong mereka untuk hidup lebih baik lagi. Terutama dalam pemenuhan kebutuhan agar anak mampu menyesuaikan dirinya untuk hidup di tengah tengah lingkungan sosialnya. Mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi mandiri dan berkembang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh setiap anak cerebral palsy. Berbicara mengenai permasalahan tersebut, konsep kesejahteraan sosial dalam gagasannya sebagai suatu sistem pelayanan sosial memandang bagaimana tindakan manusia atau sekelompok manusia yang terorganisasi dapat membantu pemecahan masalah yang dilakukan untuk mencapai tingkat kehidupan masyarakat yang lebih baik. Pelayanan sosial yang dimaksud merupakan salah satu dari usaha kesejahteraan sosial yang dapat diberikan dalam rangka menangani persoalan hidup lewat berbagai layanan pertolongan. Pada fungsi pelayanan sosial ini, memiliki bentuk-bentuk pelayanan sosial yang di antaranya adalah sebagai berikut: a) Bimbingan sosial bagi keluarga, b) Program asuhan keluarga dan adopsi anak, c) Program bimbingan bagi anak nakal dan bebas hukuman, d) Program-program rehabilitasi bagi penderita cacat, e) Program-program bagi lanjut usia, f) Program-program penyembuhan bagi penderita gangguan mental, g) Program-program bimbingan bagi anak-anak yang mengalami masalah dalam bidang pendidikan, Program-program bimbingan bagi para pasien di Rumah Sakit. Dengan demikian pada fungsi pelayanan sosial ini berfokus pula pada anak dengan disabilitas yang diberikan lewat adanya program-program rehabilitasi sosial sebagai salah satu bentuk pelayanannya. Begitu pun juga halnya dengan anak cerebral palsy yang perlu mendapatkan perlindungan dan rehabilitasi untuk membantu mereka guna menjadikan kehidupannya lebih baik lagi. Dengan berbagai hambatan yang telah disampaikan pada sub bab sebelumnya, tentu hal ini

16 mendorong dukungan dari pelayanan sosialyang dapat diberikan bagi anak cerebral palsy dalam mengatasi berbagai hambatan dalam hidupnya. Pelayanan sosial yang diberikan pun termasuk penyelenggaraan pendidikan, akses kesehatan, rehabilitasi, dan juga rekreasi yang dilakukan bagi anak cerebral palsy untuk meningkatkan keberfungsian mereka terutama dalam masa tumbuh dan kembangnya. 3. Aspek pendidikan Berbagai hambatan yang dialami anak Cerebral Palsy menuntut banyak hal yang menjadi pertimbangan dalam pembelajaran mereka. Keragaman individu penyandang Cerebral Palsy dalam hal mobilitas, intelektual, gangguan-gangguan lain dalam system saraf memberi pengaruh yang tidak kecil dalam membantu mereka belajar. Merujuk pada tujuan Pendidikan Nasional yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, seperti manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, sehat jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Mencermati tujuan pendidikan di atas, sangatlah sulit bagi anak Cerebral Palsy untuk menggapai tujuan itu mengingat sangat idealnya tujuan pendidikan nasional yang ingin dicapai itu. Dari sisi mencerdaskan kehidupan bangsa saja, sebagian besar dari mereka tak mungkin bisa mencapai criteria cerdas karena selain mereka terganggu mobilitasnya, juga terganggu kecerdasannya. a. Landasan pendidikan bagi anak cerebral palsy. Dalam melaksanakan suatu pendidikan, tentu memerlukan suatu landasan yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pendidikan tersebut, tidak jauh berbeda dengan suatu bangunan yang memerlukan pondasi, begitu juga dengan pendidikan yang juga memerlukan landasan, diantara landasan yang digunakan untuk pendidikan anak cerebral palsy adalah: 1) Agama (Religi) Negara indonesia merupakan negara majemuk dengan berbagai agama dan kepercayaan serta negara yang berlandasan pancasila. Didalam butir pancasila, sila yang pertama jelas menegaskan bahwa penduduk negara Indonesia mempercayai Ketuhanan Yang Maha Esa. Setiap agama memilki pandangan tersendiri terhadap berbuat baik, begitu juga terhadap anak luar biasa terutama anak cerebral palsy. Khusus didalam agama islam, tidak ada pendiskriminasikan terhadap anak luar

17 biasa dengan anak biasa. Islam memandang mereka sama, bahkan yang membedakan mereka adalah derajat taqwa. Sehingga mereka layak mendapat pendidikan sesuai yang mereka perlukan. Didalam kitab Alquran surah

Az-Zukhruf

ayat

32

disebutkan

:

“Mengapa mereka yang harus menentukan pemberian rahmat Tuhanmu, padahal Kamilah yang berwenang membagi-bagikan karunia diantara mereka dalam hidup ini. Dan Kami pula yang berwenang mengangkat sebagian mereka diatas lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan yang lain dalam rangka saling membutuhkan. Namun rahmat Tuhanmu lebih berharga dari harta yang mereka kumpulkan.” Ayat

diatas

memberitahukan

kepada

kita

mengenai

bagaimana

memperlakukan orang sebagimana biasanya, bahkan manusia tidak mempunyai kendali dalam memberikan rahmat karena rahmat itu hanya ada di tangan Alloh swt. Ayat lain yang mendukung penyelenggaraan pendidikan bagi anak luar biasa adalah Al Baqarah : 220, An Nisa :9, dan surah Abasya (teguran kepada nabi Muhammad SAW yang menolak meng ajarkan tunanetra akan agama). 2) Filosofis

Filosofis bangsa indonesia yang menanamkan nilai-nilai pancasila dalam setiap warga negaranya sebagai pandangan hidup, cita-cita dan bermasyarakat. Nilai itu adalah menyuruh warga indonesia untuk percaya akan adanya Tuhan Yang Maha Esa serta hidup dalam keadilan yang beradab, mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban antara manusia, cinta tanah air indonesia, bergotong royong dan sebagainya. Nilai-nilai filsafat tersebut dapat ditanamkan dan dibiasakan bagi anak cerebral palsy dalam proses pendidikan. 3) Yuridis formal

Dasar yang melandasi pendidikan bagi anak cerebral palsy adalah yuridis formal atau hukum, diantara hukum yang mendukungnya adalah a) Undang Undang Dasar 1945 seperti yang tercantum dalam pembukaannya alenia ke empat. Demikian juga yang tertuang dalam pasak 31 UUD 1945 menyatakan bahwa (1) tiap tiap warga negara berhak mendapatkan

pengajaran,

pemerintah

mengusahakan

dan

18 menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang. b) Undang Undang R.I No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, terutama pada (a) pasal 8 ayat 1 yang menyatakan bahwa “warga negara yang memilki kelainan fisik dan/ atau mental berhak memperoleh pendidikan luar biasa”. (b) pasal 24 menyatakan bahwa “setiap peserta didik pada suatu satuan pendidikan mempunyai hak-hak sebagai berikut: (ayat 1) mendapat perlakuan sesuai bakat, minat, dan kemampuannya, (ayat 7) mendapatkan pelayanan khusus bagi penyandang cacat (UU.RI No 2/1989) c) Tanggal 3 Desember ditetapkan PBB sebagai Hari Internasional penyandang Cacat, yang diawali dengan peristiwa Majelis Umum PBB menerima Resolusi No. 37/52 tentang Program Aksi Dunia bagi peningkatan Kualitas Hidup Penyandang Cacat tanggal 3 Desember 1982. Resolusi tersebut menekankan pentingnya persamaan hak dan kesempatan dalam upaya meningkatkan kualitas hidup mereka, termasuk di bidang pendidikan.Sebagaimana warga masyarakat umumnya, para penyandang cacat juga memerlukan pendidikan. Pendidikan dibutuhkan oleh setiap orang untuk memperbaiki status dan kualitas kehidupan mereka. Pengalaman menunjukkan bahwa bangsa yang maju adalah bangsa yang warga

masyarakatnya

terdidik.

Kesempatan

untuk

mendapatkan

pendidikan bagi penyandang cacat sangat terbatas dibandingkan orang yang tidak cacat. Menurut UNESCO, dari 93 juta anak penyandang cacat berusia di bawah 15 tahun (usia wajib belajar) di kawasan Asia dan Pasifik, hanya 5 persen yang bersekolah. d) Peranturan Pemerintah No. 72 tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Biasa (PLB) dimana didalamnya mengatur segala hal yang berkaitan dengan pendidikan bagi anak luar biasa pada umumnya, termasuk anak cerebral palsy. Di dalam PP No 72 tahun 1991 tersebut, secara garis besar mengatur tentang tujuan pendidikan luar biasa, jenis kelainan peserta didik dalam PLB, bentuk satuan dan lama pendidikan, syarat dan tata cara pendirian satuan PLB, penyelenggaraan pendidikan, pengelolaan PLB,

19 kurikulum, peserta didik, tenaga kependidikan, pedoman penilaian, pedoman pelaksanaan bimbingan dan rehabilitasi, sampai pengembangan PLB. 4) Sosiologik

Anak cerebral palsy dan anak yang memiliki kelainan lainnya tidak sedikit yang cenderung mengisolasi diri mereka sendiri, dan sukar untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial. Faktor ini lebih disebabkan oleh faktor lingkungan luar yang tidak mendukung mereka, seperti sikap orang tua yang apatis terhadap mereka dan malu memilki anak cerebral palsy. Oleh karena itu, dengan diadakannya pendidikan, diharapkan dapat mendorong

anak

cerebral

palsy

untuk

dapat

bergabung

dan

bersosialisasi dengan lingkungannya. 5) Pedagogik

Seperti motto PLB, “jangan lihat kecacatan yang aku miliki tetapi lihatlah potensi ku yang mungkin dapat dikembangkan”. Berdasarkan motto ini, maka anak cerebral palsy juga mempunyai potensi yang terpendam dan akan keluar jika digali lewat pendidikan, oleh sebab itu, pendidikan bagi mereka sangat dibutuhkan. Selain itu, motto dari Hellen Keller dan Prof Dr Soeharso juga melandasi pendidikan bagi anak cerebral palsy “seseorang penderita cacat, tidak akan pernah tahu kemampuan yang terpendam, sampai ia diperlakukan sebagai manusia biasa dan diberi kesempatan untuk menentukan jalan hidupnya” dan “meskipun jasmaniku cacat tetapi jiaku tidak cacat.” 6) Medik Perlakuan medik bagi anak cerebral palsy sangat diperlukan agar penyakit yang mereka derita dapat berkurang. Salah satu caranya adalah dengan pengajaran rehabilitasi, lewat pengajaran inilah maka penyakit yang menetap tadi dapat terminimalisir dan berkurang. Salah satu contohnya adalah anak cerebral palsy jenis spastik, jenis ini mengalami kesulitan dalam penggunaan ototnya, oleh sebab itu perlu dilakukan kebiasaan agar otot tadi dapat dimaksimalkan. 7) Psikologik

Hampir setiap anak yang mengalami ketunaan mengalami dampak

20 psikologis, oleh karena itu diperlukan pembelajaran agar mereka tidak lagi merasa rendah diri, kurang percaya diri, sifat ragu, putus asa, emosional dan sebagainya. Selain itu, dengan pendidikan diharapkan agar mampu memotivasi anak untuk dapat menggunakan potensi yang mereka miliki, dengan ini mereka tidak akan merasakan lagi hal-hal yang diatas. b. Sistem pendidikan bagi anak cerebral palsy Sistem pendidikan di Indonesia diatur dalam UU No. 2/1989 yang dikenal dalam dua jalur yaitu pendidikan dalam sekolah (formal )dan luar sekolah (non formal). Namun ada satu pendidikan yang berdiri sendiri yaitu pendidikan keluarga yang lebih dikenal pendidikan informal. Ketiga sistem ini dapat dilaksanakan bagi anak cerebral palsy karena anak cerebral palsy juga memiliki fisik dan mental yang baik dan pendidikan yang baik itu adalah pendidikan yang terintegrasi dengan kehidupan masyarakat dan juga mengajarkan kemandirian bagi anak cerebral palsy. Berikut ini akan dijabarkan sedikit tentang ke tiga sistem itu : 1) Pendidikan Keluarga. Di dalam keluarga, materi yang diberikan adalah: a) Pendidikan agam dan budi pekerti. b) Pendidikan jasmani. c) Pendidikan pengembangan daya cipta. d) Pendidikan mental. e) Pendidikan keterampilan.

2) Pendidikan sekolah Berkaitan dengan UU R.I No. 2/1989 tentang Pendidikan Nasional dan PP RI No. 72/1991 tentang PLB, maka peraturan tersebut harus disesuaikan dengan anak cerebral palsy. Dalam pasal 11 ayat 4 menjelaskan bahwa pendidikan luar biasa merupakan pendidikan yang khusus diselenggarakan bagi peserta didik yang menyandang kelainan fisik dan mental. Bentuk satuan pendidikan itu terdiri SDLB, SLTPLB, SMALB.

21 3) Pendidikan luar sekolah

Materi yang dapat diberikan bagi anak cerebral palsy yang sekolah diluar sekolah adalah a) Pendidikan pengetahuan dasar seperti baca, tulis, hitung. b) Pendidikan kesejahteraan keluarga. c) Pendidikan kemasyrarakatan. d) Pendidikan rehabilitasi. e) Pendidikan kejuruan. Selain ke tiga sisem diatas, sekarang juga dikenal adanya dua sistem yang dibuat berdasarkan kebutuhan anak cerebral palsy. Kedua sitem ini adalah segresi dan integrasi. Segresi adalah suatu sistem pelaksanaan bagi anak cerebral palsy yang ditempatkan pada satu tempat khusus yang dipisahkan dari anak normal lainnya. Pada sistem segresi ini ada beberapa jenis sekolah yang disarankan, diantaranya: a) Sekolah khusus dengan guru kunjung. b) Sekolah khusus harian. c) Sekolah khusus penuh. d) Sekolah khusus berasrama. e) Institusi khusus seperti runah sakit, tempat peristirahatan. Integrasi adalah sistem bagi semua jenis anak luar biasa, tidak tertutup bagi anak cerebral palsy yang bisa menuntut ilmu di sekolah umum. Dalam sistem integrasi ini ada beberapa pembagian, diantaranya adalah:

a) Integrasi penuh Dimana mereka dapat menuntut ilmu disekolah normal di semua bidang ilmu pendidikan. b) Integrasi sebagian Anak luar biasa hanya bisa mengikuti sebagian mata pelajaran yang ada, hal ini disebabkan karena adanya sebagian mata pelajaran yang tidak bisa dikuasai oleh anak. c) Integrasi lokasi

22 Anak luar biasa ditempatkan dengan anak normal hanya pada waktu tertentu seperti istirahat, upacara, dll. Penulis juga menemukan sistem bagi anak cerebral palsy yaitu sistem inklusi. Sistem inklusi adalah sistem yang hampir mirip dengan segresi, tetapi yang menjadi pembedanya adalah sistem inklusi mengikuti kebutuhan anak, jadi sistem pendidikan yang akan dibuat berdasarkan kebutuhan anak, sedangkan integrasi, anak harus menyesuaikan diri dengan sistem yang ada. c. Peran pemerintah dalam memberikan layanan pendidikan bagi anak cerebral palsy

Dasar yuridis formal yang telah dijelaskan sebelumnya jelas memberikan kepada kita bahwa adanya hukum yang menyuruh pemerintah untuk melaksanakan pendidikan bagi anak cerebral palsy. Perkembangan pendidikan di Indonesia secara umum memang belum begitu memuaskan, tetapi pemerintah telah berupaya untuk memberikan pelayanan yang maksimal, itu terbukti dengan semakin bertambahnya jumlah sekolah luar biasa di Indonesia. Di pulau Jawa saja, sebelum tahun 1992, jumlah sekolah luar biasa bisa dihitung, tetapi setelah tahun 1992, perkembangan sekolah luar biasa bertambah pesat, tercatat ada 525 sekolah di pulau Jawa, dengan 23 sekolah Negeri dan 502 sekolah Swasta. Sebanyak 33.306 telah mendapatkan pendidikan yang layak (Subsidi PSLB, 1992). Namun itu hanya terbatas di pulau jawa, bagaiman diluar pulau jawa? Sumatra contohnya, pulau di bagain barat Indonesia ini sangat sedikit sekali Sekolah Luar Biasa. Sehingga banyak anak luar biasa yang tidak mendapatkan pendidikan yang memadai, bahkan banyak dari mereka yang bekerja sebagai peminta, pengamen atau tinggal dirumah bagi yang mempunyai keuangan yang cukup. Selain data diatas, sekolah tinggi yang menghasilkan pengajar-pengajar untuk sekolah luar biasa pun sedikit. Hanya satu yang ada di pulau Sumatra, yaitu dikota Padang. 4. Aspek Koping Keluarga Dalam sebagian besar keluarga, kelahiran seorang anak membawa harapan dan kehidupan baru.Hal ini menjadi berbeda saat orangtua harus menghadapi kenyataan bahwa anaknya memiliki disabilitas. Menurut Ellodan Sandra (2005), saat ibu melahirkan anak dengan disabilitas perkembangan, mereka biasanya akan merasakan kehilangan suatu gambaran ideal yang selama ini mereka impikan (idealized object loss). Hal ini juga didukung oleh pendapat Greenspan, Serena

23 dan Robin (2006), yaitu tuntutan cara mengasuh yang berbeda dengan anak normal akan membuat orangtua mengalami perubahan emosi ke arah yang lebih negatif dan merasa lebih berat dalam menjalani hidup.Ada orangtua yang menemukan kekuatan serta kapasitas luar biasa untuk menghadapi tantangan dalam hidup, termasuk di dalamnya tantangan memiliki anak berkebutuhan khusus Orangtua tetap bertahan dan menyesuaikan diri mereka, meskipun banyak tekanan-tekanan yang harus mereka hadapi. Pada akhirnya mereka berusaha untuk berkembang dan keluar dari tekanan tersebut (Greenspan, Serena & Robin, 2006). a. peran penting keluarga untuk bisa membuat pasien Cerebral Palsy (CP) mendapatkan hidup yang lebih baik. 1) keluarga bisa memberikan kebebasan pada anak. Kebebasan disini tentunya yang mendorong anak untuk bisa lebih mandiri. Ajari anak bagaimana caranya melakukan hal-hal sederhana. Hal ini perlu dilakukan agar anak paham dan menyadari bahwa Ia masih bisamenolong dirinya sendiri. Misalnya, orangtua bisa mengajarkan anak untuk berjalan menggunakan alat bantu jalan, penyangga kaki, atau kruk. 2) Jadilah penasehat bagi anak-anak Cerebral Palsy (CP). Setiap anak dengan

Cerebral Palsy tentu memiliki kondisi dan kebutuhan yang berbeda-beda, karenanya cari tahu hal-hal penting yang berhubungan dengan kondisi anak Anda. Dalam hal ini tentu tidak hanya dokter, terapis, dan guru mereka saja yang mengetahui kondisi detail anak Anda, namun sebagai orangtua Anda juga harus bisa menjadi penasehat yang siap membantu anak Anda 24 jam nonstop. Bila perlu Anda bisa bekerjasama dengan para ahli sehingga Anda bisa mempelajari teknik yang lebih banyak dalam menangani pasien Cerebral Palsy. 3) Berikan alat bantu yang memudahkan anak Cerebral Palsy. Selain

dukungan moril dan bantuan motivasi, beberapa anak Cerebral Palsy juga membutuhkan peralatan yang bisa membantu mereka untuk melakukan aktivitas. Contohnya seperti komputer atau gadget untuk memudahkan mereka berkomunikas dengan orang-orang di sekitarnya. 4) Jangan biarkan Anak Cerebral Palsy merasa diasingkan. Meski memiliki

kekurangan, namun anak dengan Cerebral Palsy bukanlah pasien dengan penyakit menular yang harus kita hindari. Rangkul mereka dan berikan kasih sayang yang lebih agar mereka bisa lebih tak merasa berbeda.

24 5) Sadarilah kebutuhan anak Cerebral Palsy dan bantulah semampunya.

Dengan begitu mereka akan merasa termotivasi dan nyaman berada di lingkungan keluarganya. Jadilah teman yang baik bagi mereka dengan pahami

kekurangan

mereka.

Usahakan

untuk

terus

berusaha

membangkitkan semangat hidup dan rasa percaya diri pada anak Cerebral Palsy. 5. Kebijakan Pemerintah tentang anak cerebtal palsy Anak-anak penyandang disabilitas adalah anggota masyarakat yang paling rentang. Mereka berpeluang untuk memperoleh manfaat dari langkah-langkah untuk memperhitungkan mereka, melindungi mereka dari penyalahgunaan dan menjamin mereka akses pada keadilan. Dalam masyarakat di mana mereka distigmatisasi dan keluarga mereka terpapar dalam eksklusif sosial atau ekonomi, banyak anak penyandang disabilitas bahkan tidak bisa mendapatkan dokumen identitas mereka. Ini merupakan sebuah pelanggaran terhadap hak asasi anak dan merupakan rintangan mendasar untuk partisipasi mereka di masyarakat. Ini bisa menutup invisibilitas mereka dan meningkatkan kerentanan mereka terhadap berbagai bentuk eksploitasi sebagai akibat mereka tidak bisa mendapatkan identitas resmi. Negara-negara anggota KHPD punya kewajiban yang jelas untuk menjamin perlindungan hukum yang efektif untuk anak penyandang disabilitas. Untuk mengganti norma-norma sosial yang diskriminatif, Negara perlu memastikan agar undang-undang yang ada ditegakkan dan bahwa anak penyandang disabilitas diberi tahu tentang hak mereka atas perlindungan dari diskriminasi, dan bagaimana menjalankan hak tersebut. Prinsip ‘akomodasi yang masuk akal’ menyatakan bahwa adaptasi yang perlu dan tepat perlu dibuat sehingga anak penyandang disabilitas bisa menikmati hak-hak mereka sama seperti anakanak yang lain. Memasukkan mereka ke sistem yang terpisah tidak akan tepat; kesetaraan melalui inklusi adalah tujuan. Diskriminasi Eksklusi anak penyandang disabilitas membuat mereka rentan terhadap kekerasan, penelantaran, dan penyalahgunaan. Beberapa bentuk kekerasan cukup spesifik untuk anak penyandang disabilitas. It bisa saja dilakukan demi pengobatan untuk modifikasi perilaku, misalnya, menggunakan kejutan elektrik atau narkoba. Anak perempuan penyandang disabilitas di banyak negara bisa menjadi subyek sterilisasi paksaan atau aborsi. Di banyak negara, anak penyandang disabilitas terus ditempatkan di institusi-institusi. Jarang sekali fasilitas semacam ini memberikan perhatian individual yang dibutuhkan anak

25 untuk sepenuhnya mengembangkan kapasitas mereka. Pengasuhan pendidikan, medis, dan rehabilitatif yang mereka terima di tempat semacam itu seringkali tidak memadai, karena monitoring yang berstandar rendah atau tidak memadai. Memisahkan anak penyandang disabilitas dari keluarga mereka merupakan sebuah pelanggaran atas hak mereka untuk diasuh oleh orang tuanya kecuali hal itu dipandang oleh otoritas yang berkompeten sebagai hal yang menguntungkan bagi kepentingan terbaik anak. Jika keluarga dekat tidak bisa mengasuh anak, KHPD mewajibkan Negara-negara anggota untuk memberikan pengasuhan alternatif dalam keluarga luas atau masyarakat, misalnya keluarga asuh. Bilamana negara telah mencoba untuk mengembalikan anak yang ditempatkan di institusi kepada keluarga mereka, anak penyandang disabilitas umumnya adalah yang terakhir yang dibebaskan. Itu adalah kasus, misalnya di Serbia, meskipun realisasi bahwa reformasi telah dilewati oleh anwak penyandang disabilitas dalam dekade sebelumnya telah memperkuat usaha yang demikian. Tanggung jawab Negara untuk melindungi hak-hak seluruh anak yang berada di wilayah hukumnya juga berlaku bagi anak penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum – baik sebagai korban, saksi, atau terduga pelaku. Beberapa langkah spesifik bisa membantu: Anak-anak bisa diwawancarai dengan bahasa tanda atau bahasa lisan; seluruh profesional yang terlibat dalam pelaksanaan peradilan, dari petugas penegak hukum sampai hakim, bisa dilatih untuk bekerja dengan anak yang memiliki disabilitas; dan regulasi dan protokol bisa dibentuk untuk memastikan perlakuan yang sama terhadap anak penyandang disabilitas. Selanjutnya, perlu dikembangkan solusi alternatif untuk proses peradilan formal, dengan mempertimbangkan sebaran kapasitas individual anak. Anak penyandang disabilitas juga tidak boleh ditempatkan dalam fasilitas tahanan anak reguler; malah mereka harus diberikan perlakuan yang tepat untuk menangani isu-isu menyebabkan mereka melakukan sebuah tindak kejahatan. Perlakuan semacam itu harus dilakukan dalam fasilitas yang tepat dengan staf yang dilatih secara memadai, di mana hak-hak anak dan perlindungan hukum sepenuhnya dihormati. Mengoordinasikan pelayanan untuk mendukung anak Efek dari disabilitas masuk ke semua sektor, yang menuntut pelayanan yang terkoordinasi untuk menangani sejumlah tantangan yang dihadapi anak penyandang disabilitas dan keluarga mereka. Sebuah program intervensi dini yang terkoordinasi di seluruh sektor kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan yang membantu mempromosikan

26 identifikasi awal dan pengelolaan disabilitas anak. Intervensi dini telah terbukti membuahkan hasil yang lebih besar dalam kapasitas fungsional, dan menghapus rintangan awal dalam hidup kurang dari efek gabungan dari rintangan ganda yang dihadapi anak penyandang disabilitas. Peningkatan dalam kemampuan akan memiliki dampak yang lebih besar bila sistem sekolah mau dan bisa menerima anak penyandang disabilitas dan memenuhi kebutuhan mereka, sementara program sekolah-kerja yang inklusif serta usaha ekonomi untuk meningkatkan pekerjaan para penyandang disabilitas akan membuat usaha untuk mendapatkan pendidikan akan lebih bermakna bagi mereka. Melibatkan anak penyandang disabilitas dalam membuat keputusan Anak-anak dan remaja penyandang disabilitas berada di pusat usaha untuk membangun masyarakat yang inklusif – bukan hanya sebagai penerima manfaat, tapi sebagai agen perubahan. Mereka dianggap mampu untuk memberikan informasi tentang apakah kebutuhan mereka sudah dipenuhi atau tidak. Negara-negara peserta KHA dan KHPD telah menegaskan hak anak penyandang disabilitas untuk mengungkapkan pandangan mereka tentang hal-hal yang menyangkut diri mereka dan ditanyai pandangannya ketika legislasi dan kebijakan menyangkut diri mereka dikembangkan dan diimplementasikan.

Untuk

tujuan

itu,

para

pembuat

keputusan

perlu

berkomunikasi dengan cara-cara dan menggunakan sarana yang mudah diakses dan digunakan oleh anak dan remaja penyandang disabilitas. Hak untuk didengar berlaku bagi semua anak. Seorang anak yang bisa mengungkapkan pikirannya kecil kemungkinan untuk disalahgunakan atau dieksploitasi. Partisipasi sangat penting bagi kelompokkelompok pinggiran seperti anak-anak yang tinggal di institusi. Pada tahun 2006 pemerintah Republik Indonesia yang pada saat itu diwakili oleh Bapak Bachtiar Chamsyah sebagai Menteri Sosial dan Bapak Siswadi sebagai Ketua Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) telah menandatangani Convention on The Rights of Persons with Disability (CRPD) di markas besar PBB di New York, dan pada tanggal 10 November 2011 pemerintah Republik Indonesia telah meratifikasi CRPD tersebut menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on The Rights of Persons with Disabilities (Konvensi mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas). Sebagai konsekuensi dari ratifikasi adalah adanya pergeseran paradigma penanganan penyandang disabilitas sebagai berikut:

27

Charity

Pemenuhan hak

Rehabilitasi

Pemberdayaan

Perlindungan

Community based

Center based

Lintas sector

Insidental (by Lintas program case Lintas profesi Gambar 4. Pergeseran Paradigma Penanganan Penyandang Disabilitas Sumber: Kementerian Sosial Lintas disiplin ilmu Terintegrasi & Holistik disabilitas Dengan adanya pergeseran paradigma ini maka penyandang hendaknya tidak lagi dipandang sebagai objek tetapi harus diperlakukan sebagai subjek dalam pembangunan nasional setara dengan mereka yang non-disabilitas. Oleh sebab itu, stigma terhadap disabilitas harus segera dihilangkan dan kita harus menerima penyandang disabilitas sebagai keragaman kehidupan manusia ciptaan Tuhan dimana ada yang tinggi dan pendek, kurus dan gemuk, berkulit hitam dan putih, rambut. Dalam rangka meningkatkan kualitas hidup anak perlu dikembangkan dan dilaksanakan berbagai upaya program kesehatan anak tanpa adanya diskriminasi, yang berarti memberikan pelayanan kesehatan kepada semua anak termasuk anak dengan disabilitas. Walaupun mereka memiliki perbedaan karena kecacatannya, tetapi mereka mempunyai hak sama dengan anak lainnya untuk mendapat pelayanan yang berkualitas. Anak dengan disabilitas merupakan bagian dari anak Indonesia yang perlu mendapat perhatian dan perlindungan oleh pemerintah, masyarakat, dan keluarga sesuai dengan amanah dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, sehingga upaya pelayanan kesehatan perlu dikembangkan untuk memberikan akses bagi anak dengan disabilitas sesuai dengan permasalahannya. Upaya perlindungan bagi anak dengan disabilitas adalah sama dengan anak lainnya, yaitu upaya pemenuhan kebutuhan dasar anak agar mereka dapat hidup, tumbuh, dan berkembang secara optimal serta berpartisipasi sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Kebutuhan dasar anak tersebut meliputi asah, asih dan asuh yang dapat diperoleh melalui upaya di bidang kesehatan maupun pendidikan dan sosial. Oleh karena itu, perlu dikembangkan suatu mekanisme agar anak

28 dengan disabilitas terjamin dalam mendapatkan akses pelayanan kesehatan dan terpenuhi kebutuhan pemeliharaan kesehatan sesuai kondisinya. Kewajiban untuk memberikan kemudahan dalam mendapatkan pelayanan kesehatan tidak hanya dibebankan kepada Pemerintah saja, tetapi masyarakat yang berada di sekitar anak dengan disabilitas juga harus ikut berpartisipasi dalam mendukung anak dengan disabilitas untuk mencapai kondisi kesehatan dan kemandirian yang optimal. Kebijakan dan Strategi Kebijakan Pembinaan kesehatan bagi anak dengan disabilitas seperti cerebral palsy merupakan bagian integral dari program pembinaan kesehatan anak secara menyeluruh dengan menggunakan pendekatan continuum of care untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan. Kebijakan program pembinaan kesehatan anak dengan disabilitas diarahkan untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang berkualitas sesuai kebutuhannya di tingkat dasar maupun rujukan, yang dilakukan secara komprehensif dengan melibatkan berbagai sektor terkait, organisasi profesi, LSM, pihak swasta dan upaya pemberdayaan keluarga dan masyarakat. Arah kebijakan pembinaan kesehatan anak dengan disabilitas difokuskan pada upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan dan kualitas hidup anak dalam rangka pemenuhan hak-hak anak. Strategi Strategi yang digunakan untuk pembinaan kesehatan anak dengan disabilitas meliputi : a. Meningkatkan pengetahuan tenaga kesehatan. b. Meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan bagi anak dengan disabilitas di pelayanan dasar dan rujukan. c. Meningkatkan kerjasama Lintas Program dan Lintas Sektor (LP/LS), kelompok masyarakat peduli anak dengan disabilitas, serta organisasi profesi terkait. d. Meningkatkan upaya pembiayaan melalui BPJS, Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda), Bantuan Operasional Kesehatan (BOK), sumber dana lainnya. e. Meningkatkan upaya pemberdayaan masyarakat, sekolah, dan keluarga dalam penjaringan/deteksi dini, perawatan dan pemeliharaan kesehatan anak dengan disabilitas. f. Meningkatkan manajemen program. g. Meningkatkan sistem informasi, pencatatan, dan pelaporan terkait program anak dengan disabilitas. 1. Implementasi Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas Terkait Anak dengan Disabilitas

29 Sebagai salah satu negara yang melakukan ratifikasi terhadap Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas atau Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011, Indonesia memiliki kewajiban agar isi Konvensi sepenuhnya dapat dilakukan di Indonesia. Prinsip umum Konvensi adalah meningkatkan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas termasuk dalam hal aksesibilitas terhadap pelayanan kesehatan. Dalam pelaksanaan Rencana Aksi Nasional (RAN) Disabilitas yang dikoordinasikan oleh Kementerian Sosial, banyak kementerian/ lembaga terkait melakukan kegiatan pemenuhan hak penyandang disabilitas sesuai tugas dan fungsi, diantaranya Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Pendidikan, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Perhubungan, dan kementerian lainnya. Setelah melakukan ratifikasi tentang CRPD, Indonesia mempunyai implementasi

kewajiban

untuk melaporkan

CRPD, Pemerintah

melalui

rutin pelaksanaannya. Terkait Kementerian

Kesehatan

telah

melakukan upaya, di antaranya: a. Stimulasi, Deteksi, Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak. Program ini melibatkan tenaga kesehatan dan kader kesehatan dalam pelaksanaannya. b. Pengembangan Rujukan Penanganan Kasus Kelainan Tumbuh Kembang Anak di rumah sakit di 7 provinsi, yaitu: 1) RSUD Kabupaten Barabai, Kalimantan Selatan 2) RSUD dr. Soedirman Mangun Soemarno, Kabupaten Kediri, Jawa Tengah 3) RSUD dr. Soedono, Kota Madiun, Jawa Timur 4) RSUD Kabupaten Solok, Sumatera Barat 5) RSUD Mayjen HM Ryacudu, Kota Bumi, Lampung 6) RSUD Kabupaten Gunung Kidul, DI Yogyakarta 7) RSUD Kabupaten Gianyar, Bali c. Program Skrining Hipotiroid Kongenital (SHK). SHK merupakan metode untuk memilah bayi baru lahir yang menderita kelainan kongenital, dalam hal ini hipotiroid dari bayi yang normal. Program ini baru dikembangkan di 14 provinsi dan secara bertahap akan dikembangkan di seluruh provinsi. d. Program Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) di Sekolah Luar Biasa (SLB),

menjadi salah satu indikator yang secara rutin dipantau oleh Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) sebagai salah satu indikator Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia. Program pelayanan kesehatan yang dilaksanakan di SLB berupa penjaringan kesehatan,

30 imunisasi, penyuluhan dan pengobatan oleh Puskesmas yang membina SLB di wilayah kerjanya. e. Penyediaan pedoman bagi keluarga dan petugas kesehatan untuk membimbing

keluarga dalam mengasuh anak disabilitas, saat ini sedang dalam tahap editing setelah dilakukan uji coba draft di Provinsi Bali, Sulawesi Selatan, Daerah f.

Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Penyediaan Pedoman Kesehatan Reproduksi bagi Remaja Penyandang Disabilitas Netra dan Rungu, dalam tahap uji coba draft di Provinsi Jawa

Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Banten dan Sulawesi Utara. g. Pertemuan Koordinasi Pelayanan Kesehatan Perlindungan Anak LP/LS Tingkat Pusat di Jakarta dan Forum Teknis Perlindungan Kesehatan Anak (kerjasama dengan LP/LS terkait, organisasi profesi dan LSM). Kondisi kesehatan anak dengan disabilitas sangat kompleks, terdiri dari berbagai jenis disabilitas dengan permasalahan yang cukup spesifik sehingga memerlukan pendekatan secara khusus dalam penanganannya. Mereka merupakan kelompok yang rentan dan rawan terhadap paparan penyakit maupun ancaman kekerasan. Tantangan yang dihadapi dalam implementasi konvensi, yaitu: 1) Alokasi penganggaran yang belum memadai bagi penanganan isu disabilitas. 2) Masih adanya cara pandang yang stereotipikal terhadap penyandang disabilitas sebagai individu yang cacat dan tak berdaya. 3) Adanya kesenjangan pehamaman utuh tentang CRPD di tingkat pusat dan daerah, juga terkait proses otonomi daerah, dan lain-lain. 4) Keterampilan tenaga kesehatan dalam berkomunikasi dengan anak di SLB pada

saat

pemeriksaan

masih

kurang

sehingga

perlu

didukung

pendampingan oleh guru dan orang tua sebagai pendamping. 5) Koordinasi LP/LS belum berjalan dengan optimal.

6) Materi komunikasi, informasi, dan edukasi bagi anak dengan disabilitas di SLB masih terbatas. 2. Program Kesehatan Anak dengan Disabilitas (ADD) seperti cerebral palsy. Program kesehatan bagi ADD merupakan salah satu program inovasi yang dikembangkan sejak lahirnya Direktorat Bina Kesehatan Anak pada tahun 2006, searah dengan amanah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan khususnya Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 133 dan 139 terkait dengan upaya kesehatan bagi penyandang cacat. Program ADD merupakan salah satu program yang harus dilaporkan bersama dengan program kesehatan bagi penyandang disabilitas oleh Kementerian

31 Kesehatan melalui Kementerian Luar Negeri di tingkat internasional setiap 4 tahun, mengingat Indonesia telah ikut meratifikasi Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas (Convention of The Right of People with Disability). Pengembangan program yang dilakukan bagi ADD melalui dua pendekatan yaitu melalui program UKS di SLB dan melalui pembinaan kesehatan ADD di tingkat keluarga. Pembinaan kesehatan ADD di tingkat keluarga dikembangkan, mengingat sebagian besar ADD berada di masyarakat sehingga perlu untuk meningkatkan kesadaran masyarakat (community awareness) tentang hak-hak anak dengan disabilitas dan upaya pemberdayaan masyarakat/keluarga/orangtua, agar dapat melakukan pengasuhan yang benar apabila memiliki anak dengan disabilitas. Sedangkan dalam rangka menyediakan akses layanan kesehatan bagi anak dengan disabilitas, maka strategi yang tepat untuk memberikan pelayanan kesehatan melalui pelayanan kesehatan tingkat dasar di Puskesmas, rujukan di rumah sakit dan memperkuat upaya pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan peran orang tua dari anak dengan disabilitas. Program yang dilakukan mencakup upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif melalui pelayanan kesehatan sejak di tingkat Puskesmas dan rujukan di rumah sakit. Diharapkan program ini dapat menumbuhkan kemandirian orangtua/keluarga untuk mampu membimbing dan melatih anak tentang aktivitas hidup sehari-hari seperti toilet training, kebersihan diri termasuk menyikat gigi sendiri, memperhatikan tumbuh kembang anak dengan memberikan asupan gizi yang memadai, mengenal tandatanda penyakit dan upaya pencegahannya, serta memberikan latihan sederhana bagi anak agar dapat mencapai kemampuan optimal sesuai potensi yang dimiliki. Mengingat sebagian besar anak dengan disabilitas berada di masyarakat, maka perlu ditingkatkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat terutama orang tua dan keluarga dalam penanganan anak dengan disabilitas dan peningkatan kemampuan petugas dalam memfasilitasi orang tua dalam peningkatan pengetahuan dan keterampilan penanganan dan perawatan anak dengan disabilitas. Pada tahun 2014 Direktorat Bina Kesehatan Anak telah menyusun draft buku Pedoman Penanganan Kesehatan Anak dengan Disabilitas bagi Keluarga dan Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak dengan Disabilitas bagi Petugas Kesehatan. Kedua draft buku saat ini dalam tahap editing dan design setelah dilakukan uji coba di 5 provinsi, yaitu Sulawesi Selatan, Bali, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Barat. Semoga dengan

32 meningkatnya pengetahuan masyarakat akan berdampak pada peningkatan status kesehatan dan kemandirian anak dengan disabilitas sehingga dapat meringankan beban orang tua, keluarga, masyarakat dan negara.

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Cerebral palsy adalah kelainan yang disebabkan oleh kerusakan otak yang mengakibatkan kelainan pada fungsi gerak dan koordinasi, psikologis dan kognitif sehingga mempengaruhi proses belajar mengajar. Pembinaan program perlindungan kesehatan bagi anak dengan disabilitas seperti cerebral palsy perlu mendapat perhatian dari berbagai pihak untuk mengurangi dan mencegah dampak kesehatan dan psikososial yang dapat berakibat pada kondisi yang lebih parah dan menimbulkan beban bagi keluarga, masyarakat, dan negara. Puskesmas sebagai pemberi pelayanan kesehatan terdepan diharapkan dapat melakukan pembinaan melalui pelayanan

33 kesehatan secara komprehensif, berkesinambungan dan berkualitas bagi anak dengan disabilitas. Hal ini tidak dapat dilakukan sendiri oleh sektor kesehatan, tetapi memerlukan pendekatan multisektoral dan multidisipliner. Oleh karena itu, kerjasama dengan semua unsur terkait dalam pelaksanaannya sangat diperlukan.

Related Documents

Crebral Palsy.doc
May 2020 7

More Documents from "neng ratih"