Craving Cast : Im Nayeon Kim Seokjin Genre : Romance, Marriage Life
“Apakah tokonya benar disini?” “Aku pernah datang kesini sekali. Coklatnya luar biasa kau harus mencobanya.” Di hari minggu ini Nayeon memaksa Seokjin untuk mengerutkan keningnya bingung dengan permintaan wanita itu yang menurutnya sangat aneh dan tidak wajar. Nayeon meminta Seokjin untuk membuatkan kue coklat untuknya. Bukan, bukan itu masalahnya, yang membuat Seokjin bingung. Nayeon memintanya untuk membuat kue coklat tersebut di toko coklat milik Jannie. Jennie merupakan salah satu dari mantan dari seorang Kim Seokjin. Ia yang mengelola toko kue mewujudkan keinginan kakeknya untuk meneruskan usaha coklat peninggalan kakeknya tersebut. Seokjin mengeratkan tangannya di pinggang Nayeon saat mereka memasuki pintu toko yang nampak berbeda dari toko kebanyakan. Entahlah, Seokjin sendiri tidak begitu yakin. Gaya tokonya terkesan kuno dan menyeramkan seperti kandang penyihir. Tetapi begitu ia masuk dan mengedarkan matanya menatap sekeliling toko. Ia tidak yakin bahwa ini adalah tempat yang harusnya ditinggalkan. Semuanya unik dan nyaman. Barang antik bertebaran. Berbagai poci dengan ukiran cantik tertinggal di setiap meja. Kursi-kursinya terbuat dari potongan batang kayu yang dibiarkan menjadi bentuk asli tanpa perubahan. Ada batang pohon besar di dekat jendela seperti menembus atap. Namun, sesungguhnya tidaklah begitu. Nayeon tersenyum. Tangannya terlipat didepan perutnya yang mulai buncit seakan selalu siap melindungi sesuatu di dalam sana. “Lumayan.” Komentar Seokjin. “ Hanya lumayan?” Kening Nayeon membuat beberapa garis samar. “Astaga, kau bercanda? Ini keren sekali.” Seokjin terkekeh. “Oke. Tapi ini tidak bisa menandingi kerennya seorang Kim Seokjin.” Nayeon tertawa. Ah, mulai lagi. Hatinya berbisik.
Tiba-tiba Seokjin membungkuk di depan perut Nayeon dan mengecupnya singkat. “Jangan lakukan itu disini! Ini memalukan.” “Hanya ada anak kecil.” “Tetap saja, Seokjin.” Kemudian pintu berdentang keras. Seokjin langsung berdiri tegak. Jennie memasuki toko, Seokjin memandangi Jannie dari ujung kaki sampai kepala gadis itu. Dari pada menyebut Jennie sebagai gadis berusia 24 tahun, Seokjin lebih suka menyebut gadis itu sophomore karena melihat gaya nyentrik mantan kekasihnya itu. Jannie sangat berbeda dengan yang biasa ia lihat enam tahun yang lalu. Gadis itu hanya mengenakan kaos longgar berlengan pendek di padu jeans sobek di bagian lutut. Rambutnya digulung tidak beraturan bahkan beberapa helainya jatuh ke bahu. Dan memakai sepatu converse merah. Seokjin mengumbar senyum semanis yang ia bisa. Katakanlah sebagai tamu tak di undang. Gadis itu mengedip sebanyak tiga kali. Mengusap matanya dan kembali mengedip. “Lama tidak bertemu Jennie-ssi.” Seokjin mengangkat tangan kanannya menyapa Jennie. Sementara itu, Jennie yang tidak tahu harus melakukan apa saat tokonya kedatangan Seokjin – mantannya dulu sebelum ia mengetahui jika cinta pertamanya tersebut sudah menikah dengan gadis pilihannya, Nayeon. Ia hanya bisa mengenang kenangannya dulu bersama pria itu. Baru kali ini Jannie merasa begitu kecil di tempatnya sendiri. Giginya merapat satu sama lain.
***
“Kau masih mengingat kita bukan?” Canda Nayeon setelah Jennie mempersilahkan mereka untuk duduk. Jannie tidak segera menjawab untuk menghindari kesalahan. Sebenarnya, Jannie terlalu kaku untuk duduk bersama dengan kedua tamunya tersebut, Jannie betul-betul gugup. Begitu sulit ia menghapus perasaannya pada pria di sisi Nayeon. Walaupun gugup, Jennie mencoba untuk membuat dirinya tidak menciut di kedua orang ini. “Bagaimana kabarmu Jennie-ssi?” Seokjinkembali menunjukan senyum kharismatiknya. Jannie tersentuh akan hal itu. Tidak banyak lelaki korea punya sifat seperti itu padanya.
“I’m good, and yeah this is new me. Adakah ada yang bisa aku bantu?” Jannie tersenyum kikuk. Dari sudut matanya, Seokjin melirik Nayeon usil. “Wanita di sebelahku ini, ingin makan coklat di sini.”
***
Pada pagi berikutnya Jannie pergi ke Ilsan untuk mengambil coklat kiriman di pelabuhan. Banyak sekali negara penghasil biji kakao yang lezat, namun Jannie menjatuhkan pilihannya pada Swiss. Meski sebetulnya Jannie lebih suka coklat Belgia. Hanya saja terlalu mahal untuk jadi pertimbangan. Ketika sudah sampai di tempatnya, ia melihat pasangan suami istri Kim sedang menunggu di bangku pelanggan. Kemarin mereka membuat kesepakatan, kalau Seokjin akan mencoba dapurnya. Nayeon bilang ingin suaminya sendiri yang membuat kue yang ia inginkan. Jannie harus memastikan kali ini dia bekerja dengan benar. Membuat semuanya nampak sempurna. “Kau sudah datang?” Nayeon orang pertama yang menyambut Jannie. Dari awal Jannie sudah berpikir, hanya dengan melihat wajahnya, Nayeon memiliki sesuatu yang bisa menarik hati seorang Kim Seokjin. Jannie tersenyum. “Maaf membuat kalian menunggu lama.” Tanpa Jannie ketahui, tadi malam kedua pasangan suami istri itu berdebat. Seokjin menolak untuk masak di dapur yang memang bukan miliknya. Bagi seorang pemilik perusahaan terbesar sepertinya ini keterlaluan. Namun, reaksi ibu hamil sungguh berlebihan. Menangis keras dan hampir mogok makan. “Ayo, biar aku tunjukan.” Kata Jennie menuntut Seokjin agar ke dapur. “Jangan menggodanya.” Pesan Nayeon berbisik. “Nanti dia takut padamu.” Sementara Jennie sudah pergi lebih dulu ke dapur. Seokjin masih tetap berdiri di depan Nayeon. “Tidak akan.” “Bukannya aku takut kau pergi, aku justru takut kalau Jannie tidak akan membuat coklatnya.”
Sambil menyapukan jarinya ke pipi Nayeon. Seokjin balas berkata. “Jangan cerewet.” Dan tiba-tiba ia mencium bibir Nayeon.
*** Seokjin merasa sosoknya bukanlah apa-apa jika di hadapkan dengan pattisier hebat seperti Jennie. Sekelebatan pola acak yang Jennie buat diatas cairan coklat membuat Seokjin terpekur. Seokjin hanya memiliki keterampilan primitif, yang ia pelajari dari internet. “Sudah berapa lama toko ini berdiri?” Tanya Seokjin membuka percakapan. Jannie mendongak. “Sudah hampir setengah abad. Atau memang sudah setengah abad. Entahlah.” Seokjin tertawa pelan. Jannie mendorong sedikit tubuhnya ke belakang. Memperhatikan punggung Nayeon yang nampak lembut meski di balut pakaian. “Istrimu sangat cantik.” Jannie mengatakannya seperti seorang wanita biasa yang memuji wanita cantik dari kalangan atas. Seokjin berpikiran sama. Nayeon memang sangat menawan. Tetapi mendengar hal itu dikatakan oleh wanita lainnya, ia merasa tidak seharusnya begitu. Jannie wanita. Ada beberapa bagian dalam diri wanita yang memang seharusnya cantik. Dan tidak perlu memuji wanita lainnya cantik. Desahan Seokjin menyapu telinga Jannie. “ Kau tidak akan percaya bagaimana kami bisa bertemu. Omong-omong bisa aku minta vanili.” “Tentu saja.” Jannie berjalan cepat menuju bagian-bagian dapur untuk mencari vanili yang tak kunjung ketemu. Tubuhnya malah menabrak berbagai barang disana-sini. Ia membuat kegaduhan pada dapurnya sendiri. Membuat suara panci berbenturan dengan lantai. Dalam waktu cepat ia membuat bagian kecil dapurnya kacau. Seokjin yang terkejut langsung berbalik menghampiri Jannie. “Astaga, kau baik-baik saja?”
Jannie menyengir lebar. “Mungkin aku panik karena pria tampan sepertimu datang.”
***
Pagi ini Daniel harus melihat Jannie. Serta ingin menagih penjelasan kenapa gadis itu tidak datang menemuinya. Bunyi lonceng di pintu membuat sesuatu yang jahat di dalam diri Daniel meletup. Ia tidak sabar melihat reaksi Jannie jika ia datang ke wilayahnya. Daniel tidak melanggar aturan. Dia datang sebagai pelanggan. Begitu pikirnya. Ada seorang ibu hamil yang Daniel lihat duduk sambil memainkan ponsel. Hanya ada dia dan wanita itu disini. Wanita itu cantik. Sayangnya, ia pasti sudah ada yang memiliki. Hanya saja, bukan Daniel namanya kalau ia hanya diam saat bertemu wanita cantik. Sebisa mungkin ia membuat suara saat duduk untuk menarik perhatian dan berhasil membuat wanita itu mengangkat kepalanya. Lalu tersenyum. Daniel mengangkat tangan seperti pria jantan. Matanya tak dapat berpaling. Wanita itu hampir berpaling dan Daniel mencoba tersenyum sekali lagi. Mereka saling melempar senyum sampai tiba-tiba punggung seorang lelaki menghalangi pandangan mereka. “Lain kali jaga pandangan matamu.” Seokjin mengambil tindakan. Cara satu-satunya adalah membuat batasan visual antara istrinya dan pria asing. “Oh, kau sudah selesai?” Seokjin justru memberengut. Sedangkan Nayeon terkejut karena pria itu bisa merengek hanya karena ia tersenyum pada pria asing. “Kita pulang.” Kata Seokjin meraih tangan Nayeon untuk berdiri sambil mengangkat kantong coklat. “Aku sudah selesai.” *** “Dari pada Jisung, Yeonwoo, Jaechan. Jadi aku berpikir jauh lebih manis kita beri nama anak kita Heechan.” Ucap Nayeon yang masih menatap ke dalam toko milik Jannie dari luar kaca etalase.
Dari sini, ia melihat Jannie sedang berhadapan dengan pria yang tadi tersenyum padanya. “Heechan?” “Emm.. Kim Heechan.” Nayeon mengangguk-angguk. “Coba kau pikirkan baik-baik. Bukankah nama Heechan itu manis. Dan aku tahu dia akan semanis namanya.” “Apa karena kau sangat menyukai makanan manis lalu kau meramalkan anakmu yang manismanis.” Nayeon berbalik, ia tersenyum samar. Sebelum membuka pintu mobil yang terparkir di depan toko, wanita itu berkata ringan. “Karena ayahnya juga manis.”