Cover.docx

  • Uploaded by: NovaAdi
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Cover.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,445
  • Pages: 32
LAPORAN KASUS Otitis Media Efusi ec Adenoid Hipertrofi

Oleh : IGN Bagus Bayu Pramana, S.Ked

1871121043

Made Widya Wirayanti Puteri, S.Ked

1871121044

Pembimbing : dr. Putu Amelia Agustini Siadja Sp.T.H.T.K.L dr. I Wayan Sulistiawan Sp. T.H.T.K.L

KEPANITERAAN KLINIK MADYA DI BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT THT-KL RSUD SANJIWANI GIANYAR / PROGRAM STUDI KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS WARMADEWA DENPASAR 2018

KATA PENGANTAR

Om Swastyastu, Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Otitis Media Efusi ec Adenoid Hipertrofi” ini dengan tepat pada waktunya. Laporan ini dibuat sebagai prasyarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya (KKM) di Bagian/SMF Ilmu Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorok FKIK Universitas Warmadewa/RSUD Sanjiwani Gianyar. Dalam penyusunan laporan kali ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. dr. Putu Amelia Agustini Siadja, Sp. THT dan dr. I Wayan Sulistiawan, Sp. THT selaku pembimbing dalam penyusunan laporan kasus ini. 2. Dr. A.A.Gde Bagus Tri Kesuma, Sp. THT-KL dan dr. I Wayan Suwandara, Sp. THT-KL serta para perawat dan staf medis SMF THT RSUD Sanjiwani Gianyar. 3. Teman-teman sejawat yang telah memberi dukungan serta masukan selama penyusunan laporan kasus ini. 4. Semua pihak yang telah membantu pembuatan laporan ini. Penulis menyadari bahwa dalam laporan ini masih terdapat kekurangan dan memerlukan pengembangan lebih lanjut, oleh karena itu diharapkan adanya kritik dan saran demi penyempurnaan laporan ini. Semoga bisa memberikan sumbangan ilmiah bagi dunia kedokteran dan manfaat bagi masyarakat. Terima kasih. Om Santhi, Santhi, Santhi Om

Gianyar, 2 Januari 2018

Penulis

ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii DAFTAR TABEL ............................................................................................... iv DAFTAR GAMBAR .............................................................................................v BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................3 2.1 Anatomi .....................................................................................................3 2.1.1 Telinga Luar .......................................................................................3 2.1.2 Telinga Tengah ..................................................................................6 2.1.3 Telinga Dalam ...................................................................................8 2.2 Fisiologi Pendengaran ................................................................................8 2.4 Definisi .......................................................................................................9 2.6 Epidemiologi .............................................................................................10 2.7 Etiologi ......................................................................................................11 2.8 Patofisiologi .............................................................................................11 2.9 Manifestasi Klinis ....................................................................................11 2.10 Diagnosis ................................................................................................11 2.11 Penatalaksanaa .......................................................................................12 2.12 Prognosis ................................................................................................13 BAB III LAPORAN KASUS ..............................................................................19 3.1 Identitas Pasien .......................................................................................14 3.2 Anamnesis ................................................................................................14 3.2.1 Riwayat Penyakit Sekarang ............................................................14 3.2.2 Riwayat Penyakit Dahulu ................................................................15 3.2.3 Riwayat Penyakit Keluarga .............................................................15 3.2.4 Riwayat Pribadi, Lingkungan, Sosial ..............................................15 3.3 Pemeriksaan Fisik ....................................................................................15 3.3.1 Status Present ..................................................................................15 3.3.2 Status Generalis ...............................................................................16 3.3.3 Status THT-KL ...............................................................................17

iii

3.4 Pemeriksaan Penunjang ...........................................................................17 3.5 Assesment ................................................................................................17 3.6 Penatalaksanaa .........................................................................................17 BAB IV PEMBAHASAN ....................................................................................18 DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................20

iv

DAFTAR GAMBAR Halaman

Gambar 1. Anatomi Telinga ....................................................................................3 Gambar 2. Anatomi Aurikula ..................................................................................5 Gambar 3. Fisiologi pendengaran ...........................................................................9

v

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG Otitis media efusi adalah keradangan non bakterial mukosa kavum timpani yang ditandai dengan terkumpulnya cairan yang tidak purulen (serous atau mucus), sedangkan membran timpani utuh. Adanya cairan ditelinga tengah dengan membran timpani utuh tanpa adanya tanda-tanda infeksi disebut juga otitis media dengan serosa otitis media . Istilah lainnya yaitu sekretoria, otitis media musinosa, glue ear. Otitis media efusi (OME) adalah kondisi yang biasa terjadi pada populasi anak, yang berhubungan dengan banyak faktor, meliputi hipertrofi adenoid, infeksi saluran pernapasan atas, palatoskisis dan paparan asap rokok. OME pada orang dewasa lebih jarang terjadi tetapi masih menyebabkan morbiditas yang perlu dipertimbangkan. Beberapa etiologi OME pada orang dewasa di antaranya adalah keganasan lokal, penyakit sinonasal, penyakit refluks gastroesofagus (PRGE), disfungsi tuba auditiva, merokok, pasien dengan perawatan intensif, human immunodeficiency virus (HIV), dan sarkoidosis. Infeksi telinga tengah menjadi masalah medis yang paling sering pada bayi dan anak-anak umur pra sekolah, dan diagnosa utama yang paling sering pada anak-anak yang lebih muda dari usia 15 tahun yang diperiksa di tempat praktek dokter. Sebagaimana halnya dengan kejadian infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), otitis media juga merupakan salah satu penyakit langganan anak. Di Amerika Serikat, diperkirakan 75% anak mengalami setidaknya satu episode otitis media sebelum usia tiga tahun dan hampir setengah dari mereka mengalaminya tiga kali atau lebih. Di Inggris, setidaknya 25% anak mengalami minimal satu episode sebelum usia sepuluh tahun. Di negara tersebut otitis media paling sering terjadi pada usia 3-6 tahun.

6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Telinga Telinga dibagi atas telinga luar, telinga tengah, dan telinga dalam. Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran timpani; telinga tengah terdiri dari membrane timpani, tulang-tulang pendengaran (maleus, inkus, dan stapes), dan tuba eustachius; sedangkan telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) dan kanalis semisirkularis.(1)

Gambar 1. Anatomi Telinga 2.1.1

Telinga Luar Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran timpani. Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga berbentuk huruf S, dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar, sedangkan dua pertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang. Panjangnya kira-kira ±2,5 - 3cm. Pada sepertiga bagian luar kulit telinga terdapat banyak kelenjar serumen dan rambut. Kelenjar keringat terdapat pada seluruh liang telinga. Pada dua pertiga bagian dalam hanya sedikit dijumpai kelenjar serumen. Kanalis akustikus

7

eksternus dilapisi oleh kulit yang terikat erat pada tulang rawan dan tulang yang mendasarinya karena tidak adanya jaringan subkutan di area tersebut. Dengan demikian daerah ini menjadi sangat peka. Liang telinga sebenarnya mempunyai lapisan kulit yang sama dengan lapisan kulit pada bagian tubuh lainnya yaitu dilapisi epitel skuamosa. Kulit liang telinga merupakan lanjutan kulit daun telinga dan kedalam meluas menjadi lapisan luar membran timpani. Lapisan kulit liang telinga luar lebih tebal pada bagian tulang rawan dari pada bagian tulang. Pada liang telinga rulang rawan tebalnya 0,5 – 1 mm, terdiri dari lapisan epidermis dengan papillanya, dermis dan subkutan merekat dengan perikondrium. Epidermis dari liang telinga bagian tulang rawan biasanya terdiri dari 4 lapis yaitu sel basal, skuamosa, sel granuler dan lapisan tanduk. Lapisan liang telinga bagian tulang mempunyai kulit yang lebih tipis, tebalnya kira-kira 0,2 mm, tidak mengandung papilla, melekat erat dengan periosteum tanpa lapisan subkutan, berlanjut menjadi lapisan luar dari membran timpani dan menutupi sutura antara tulang timpani. (1) Otot daun telinga terdiri dari 3 buah otot ekstrinsik dan enam buah otot intrinsik. Otot ekstrinsik terdiri dari m. aurikularis anterior, m. aurikularis superior dan m. aurikularis posterior. Otot-otot ini menghubungkan daun telinga dengan tulang tengkorak dan kulit kepala. Otot-otot ini bersifat rudimenter, tetapi pada beberapa orang tertentu ada yang masih mempunyai kemampuan untuk menggerakan daun telinganya ke atas dan ke bawah dengan menggerakan otot-otot ini. Otot intrinsik terdiri dari m. helisis mayor, m. helisis minor, m. tragikus, m. antitragus, m obliqus aurkularis, dan m. transpersus aurikularis. Otototot ini berhubungan bagian-bagian daun telinga. (1)

8

Gambar 2. Bagian-bagian dari aurikula telinga luar

Arteri-arteri dari daun telinga dan liang telinga luar berasal dari cabang temporal superfisial dan aurikula posterior dari arteri karotis eksternal. Permukaan anterior telinga dan bagian luar liang telinga didarahi oleh cabang aurikula anterior dari arteri temporalis superfisial. Suatu cabang dari arteri aurikula posterior mendarahi permukaan posterior telinga. Banyak dijumpai anastomosis diantara cabangcabang dari arteri ini. Pendarahan ke bagian lebih dalam dari liang telinga luar dan permukaan luar membrana timpani adalah oleh cabang aurikula dalam arteri maksilaris interna vena telinga bagian anterior, posterior dan bagian dalam umumnya bermuara ke vena jugularis eksterna dan vena mastoid. Akan tetapi, beberapa vena telinga mengalir kedalam vena temporalis superficial dan vena aurikularis posterior. (1) Kelenjar limfa regio tragus dan bagian anterior dari aurikula mengalir ke kelenjar parotid, sementara bagian aurikula posterior mengalir ke kelenjar retro aurikula. Regio lobulus mengalir kelenjar cervicalis superior. Persarafan telinga luar bervariasi berupa tumpang tindih antara saraf-saraf kutaneus dan kranial. Cabang aurikula temporalis dari bagian ketiga saraf trigeminus (N.V) mensarafi permukaan anterolateral permukaan telinga, dinding anterior dan superior liang telinga dan segmen depan membrana timpani. 9

Permukaan postero medial daun telinga dan lobulus dipersarafi oleh pleksus servikal nervus aurikularis mayor. Cabang aurikularis dari saraf fasialis (N.VII), saraf glossofaringeus (N.IX) dan nervus vagus (N.X) menyebar kedaerah konka dan cabang-cabang saraf ini menyarafi dinding posterior dan inferior liang telinga dan segmen posterior dan inferior membrana timpani. (1)

2.1.2

Telinga Tengah Telinga tengah berbentuk kubus dengan batas luarnya adalah membran timpani, batas depannya adalah tuba eustachius, batas bawahnya adalah vena jugularis, batas belakangnya adalah adalah aditus ad antrum dan kanalis fasialis pars vertikalis batas atasnya merupakan segmen timpani (meningen/otak, serta batas dalamnya berturut-urut dari atas ke bawah yaitu kanalis semi sirkularis horizontal, kanalis fasialis, tingkap lonjong (oval window), tingkap bundar (round window), dan promontorium. Telinga tengah terdiri atas: 1. Membran timpani Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. bagian atas disebut pars flaksida (membran sharpnell), sedangkan bagian bawah disebut pars tensa (membran propria). Pars flaksida hanya berlapis dua, yaitu bagian luar ialah lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia, seperti epitel mukosa saluran napas. Pars tensa mempunyai satu lapis lagi di tengah, yaitu lapisan terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan secara radier di bagian luar dan sirkuler pada bagian dalam. Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membran timpani disebut sebagai umbo. Dari umbo bermula suatu refleks cahaya (cone of light) ke arah bawah yaitu pukul tujuh untuk membran timpani kiri dan pukul lima untuk membran timpani

10

kanan. Refleks cahaya ialah cahaya dari luar yang dipantulkan oleh membran timpani. Di membran timpani terdapat dua macam serabut, yaitu sirkuler dan radier. Serabut inilah yang menyebabkan timbulnya refleks cahaya yang berupa kerucut. Membran timpani dibagi menjadi empat kuadran yang digunakan untuk menyatakan letak perforasi membran timpani, dengan menarik garis searah dengan prosesus longus maleus dan yang tegak lurus terhadap garis tersebut di umbo. Sehingga didapatkan bagian atas-depan, atasbelakang, bawah-belakang dan bawah depan. (1) 2. Kavum timpani Dalam telinga tengah terdapat tulang-tulang pendengaran yang saling berhubungan dan tersusun dari luar ke dalam, yaitu maleus, inkus, dan stapes. Prosesus longus maleus melekat pada membran timpani, maleus melekat pada inkus, dan inkus melekat pada stapes. Stapes terletak pada tingkap lonjong yang berhubungan dengan koklea. (1) 3. Prosesus mastoideus Rongga mastoid berbentuk seperti bersisi tiga dengan puncak mengarah ke kaudal. Atap mastoid adalah fosa kranii media. Dinding medial adalah dinding lateral fosa kranii posterior. Sinus sigmoid terletak di bawah durameter. Pada dinding anterior mastoid terdapat aditus ad antrum. (1) 4. Tuba eustachius Tuba eustachius disebut juga tuba auditori atau tuba faringotimpani yang menghubungkan daerah nasofaring dengan telinga tengah. (1)

11

2.1.3

Telinga Dalam Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa setengah lingkaran dan organ vestibuler yang terdiri dari tiga buah kanalis semisirkularis. Ujung atau puncak koklea disebut helikotrema, menghubungkan skala timpani dengan skala vestibuli. Kanalis semisirkularis

saling berhubungan

secara

tidak

lengkap

dan

membentuk lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibuli di sebelah atas, skala timpani di sebelah bawah, dan skala media (duktus koklearis) di antaranya. Skala vestibuli dan skala timpani berisi cairan perilimfa, sedangkan skala media berisikan cairan endolimfa. Hal ini penting untuk proses pendengaran. dasar skala vestibuli disebut membran vestibuli (reissner’s membran) sedangkan dasar skala media adalah membran basalis yang terdapat organ corti. Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut membran tektoria, dan pada membran basalis melekat sel rambut, yang terdiri dari sel rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis corti yang membentuk organ corti. (1)

2.2

Fisiologi Pendengaran Proses pendengaran pada manusia melibatkan semua bagian dari telinga, semua bagian telinga memiliki fungsinya masing-masing. Gangguan pada telinga menyebabkan gangguan fisiologi telinga. Gangguan pada telinga luar dan tengah dapat menyebabkan tuli konduktif, sedangkan gangguan pada telinga dalam dapat menyebabkan tuli sensorineural.(1)

12

Gambar 3. Fisiologi Pendengaran Proses pendengaran diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang koklea. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplikasikan melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan daya tingkap lonjong. Energi getar yang diamplikasi ini akan diteruskan ke stapes yang akan menggetarkan tingkap lonjong sehigga perilimfa pada skala vestibuli bergerak. Getaran ini diteruskan melalui membrane Reissner yang mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini proses ini merupakan rangsang mekanik yang akan menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan ion bermuatan lisrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga neurotransmitter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nucleus auditoris sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis. (1)

13

2.3

Otitis Media Efusi

2.3.1

Definisi

Otitis media efusi adalah keradangan non bakterial mukosa kavum timpani yang ditandai dengan terkumpulnya cairan yang tidak purulen (serous atau mucus), sedangkan membran timpani utuh. Adanya cairan ditelinga tengah dengan membran timpani utuh tanpa adanya tanda-tanda infeksi disebut juga otitis media dengan serosa otitis media . Istilah lainnya yaitu sekretoria, otitis media musinosa, glue ear.(2)

2.3.2

Epidemiologi

Infeksi telinga tengah menjadi masalah medis yang paling sering pada bayi dan anak-anak umur pra sekolah, dan diagnosa utama yang paling sering pada anakanak yang lebih muda dari usia 15 tahun yang diperiksa di tempat praktek dokter. Sebagaimana halnya dengan kejadian infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), otitis media juga merupakan salah satu penyakit langganan anak. Di Amerika Serikat, diperkirakan 75% anak mengalami setidaknya satu episode otitis media sebelum usia tiga tahun dan hampir setengah dari mereka mengalaminya tiga kali atau lebih. Di Inggris, setidaknya 25% anak mengalami minimal satu episode sebelum usia sepuluh tahun. Di negara tersebut otitis media paling sering terjadi pada usia 3-6 tahun. (3)

2.3.3

Etiologi

Gangguan fungsi tuba eustachius merupakan penyebab utama. Gangguan tersebut dapat terjadi pada: 1. Kegagalan fungsi tuba Eustachi, disebabkan oleh: a. Hiperplasia adenoid b. Rinitis kronik dan sinusitis c. Tonsilitis kronik. pembesaran tonsil akan menyebabkan obstruksi mekanik pada pergerakan palatum molle dan menghalangi membukanya tuba Eustachi.

14

d. Tumor nasofaring yang jinak dan ganas. Kondisi ini selalu menyebabkan timbulnya otitis media unilateral pada orang dewasa. e. Defek palatum, misalnya celah pada palatum atau paralisis palatum.

2. Alergi Alergi inhalans atau ingestan sering terjadi pada anak-anak. Ini tidak hanya menyebabkan tersumbatnya tuba eustachi oleh karena udem tetapi juga dapat mengarah kepada peningkatan produksi sekret pada mukosa telinga tengah.(4)

3. Otitis media yang belum sembuh sempurna Terapi antibiotik yang tidak adekuat pada OMSA dapat menonaktifkan infeksi tetapi tidak dapat menyembuhkan secara sempurna. Akan menyisakan infeksi dengan grade yang rendah. Proses ini dapat merangsang mukosa untuk menghasilkan cairan dalam jumlah banyak. Jumlah sel goblet dan kelenjar mukus juga bertambah.

4. Infeksi virus Berbagai virus adeno dan rino pada saluran pernapasan atas dapat menginvasi telinga tengah dan merangsang peningkatan produksi sekret.

2.3.4

Patofisiologi Terdapat 3 fungsi utama tuba Eustachius yaitu ventilasi untuk menjaga agar tekanan udara antara telinga tengah dan telinga luar selalu sama, pembersihan sekret, dan sebagai proteksi pada telinga tengah. Gangguan fungsi yang dapat disebabkan oleh sejumlah keadaan dari penyumbatan anatomi peradangan sekunder terhadap alergi, infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), atau trauma. Jika gangguan fungsi tuba Eustachius berlangsung terus-menerus, tekanan negatif berkembang dalam telinga tengah dari penyerapan dan/atau penyebaran nitrogen serta oksigen ke dalam sel mukosa telinga tengah. Jika berlangsung cukup lama dengan sejumlah besar yang sesuai, terjadi transudasi dari mukosa akibat tekanan negatif, yang

15

menyebabkan terjadinya akumulasi serosa dengan dasar efusi yang steril. Disebabkan gangguan fungsi dari tuba Estachius, efusi menjadi media yang baik untuk perkembangbiakan bakteri dan bisa mengakibatkan terjadinya otitis media akut.(5) Teori terbaru menjelaskan kejadian utama sebagai peradangan pada mukosa telinga tengah disebabkan oleh reaksi terhadap bakteri sudah ada dalam telinga tengah. Refluks sampai tuba Eustachius dapat dibuktikan pada anak-anak rentan terhadap otitis media. Refluks ini tentu juga dapat terjadi pada individu yang sehat. Mediator-mediator inflamasi dilepaskan sebagai akibat dari antigen bakteri menyebabkan produksi gen musin. Produksi efusi musin berlebihan akan menjadi media yang cukup untuk perkembangbiakan bakteri dan mengakibatkan otitis media akut.(5) Hampir keseluruhan otitis media efusi disebabkan gangguan fungsi tuba Eustachius. Apabila peradangan dan infeksi bakteri akut telah jelas, kegagalan dari mekanisme pembersihan telinga tengah memungkinkan tejadi efusi pada telinga tengah. Banyak faktor yang telah terlibat dalam kegagalan dari mekanisme pembersihan, termasuk gangguan fungsi siliar, edema mukosa, hiperviskositas efusi, dan tekanan udara antara telinga tengah dan telinga luar yang tidak baik.(5) Otitis media serosa terjadi terutama akibat adanya transudat atau plasma yang mengalir dari pembuluh darah ke telinga tengah yang sebagian besar terjadi akibat adanya perbedaan tekanan hidrostatik, sedangkan pada otitis media mukoid, cairan yang ada di telinga tengah timbul akibat sekresi aktif dari kelenjar dan kista yang terdapat di dalam mukosa telinga tengah, tuba Eustachius, dan rongga mastoid. Faktor yang berperan utama dalam keadan ini adalah terganggunya fungsi tuba Eustachius. Faktor lain yang dapat berperan sebagai penyebab adalah adenoid hipertrofi, adenoitis, sumbing palatum (cleft-palate), tumor di nasofaring, barotraumas, sinusitis, rhinitis, defisiensi imunologik atau metabolik. Keadaan alergi sering berperan sebagai faktor tambahan dalam timbulnya cairan di telinga tengah (efusi ditelinga tengah).(5)

16

Otitis media sering diawali dengan infeksi pada saluran napas seperti radang tenggorokan atau pilek yang menyebar ke telinga tengah lewat saluran Eustachius. Saat bakteri melalui saluran Eustachius, mereka dapat menyebabkan infeksi di saluran tersebut sehingga terjadi pembengkakan di sekitar saluran, tersumbatnya saluran, dan datangnya sel-sel darah putih untuk melawan bakteri. Sel-sel darah putih akan membunuh bakteri dengan mengorbankan diri mereka sendiri. Sebagai hasilnya terbentuklah nanah dalam telinga tengah. Selain itu pembengkakan jaringan sekitar saluran Eustachius menyebabkan lendir yang dihasilkan sel-sel di telinga tengah terkumpul di belakang gendang telinga.(5) Jika lendir dan nanah bertambah banyak, pendengaran dapat terganggu karena gendang telinga dan tulang-tulang kecil penghubung gendang telinga dengan organ pendengaran di telinga dalam tidak dapat bergerak bebas. Kehilangan pendengaran yang dialami umumnya sekitar 24 desibel (bisikan halus). Namun cairan yang lebih banyak dapat menyebabkan gangguan pendengaran hingga 45 desibel (kisaran pembicaraan normal). Selain itu telinga juga akan terasa nyeri. Dan yang paling berat, cairan yang terlalu banyak tersebut akhirnya dapat merobek gendang telinga karena tekanannya.(5)

2.3.5

Manifestasi Klinis Diagnosis OME seringkali sulit ditegakkan karana prosesnya sendiri yang kerap tidak bergejala (asimptomatik), atau dikenal dengan silent otitis media. Dengan absennya gejala seperti nyeri telinga, demam, ataupun telinga berair, OME sering tidak terdeteksi.(6)

2.3.6

Diagnosis Diagnosis OME ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. a. Anamnesis Telinga terasa penuh, terasa ada cairan (grebeg-grebeg), Pendengaran menurun, terdengar suara dalam telinga sewaktu menelan atau menguap 17

b.

Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan otoskopik dapat memperlihatkan: 

Membran timpani yang retraksi (tertarik ke dalam), nyeri tumpul, dan opaque yang ditandai dengan hilangnya refleks cahaya



Warna membran timpani bisa merah muda cerah hingga biru gelap.



Processus brevis maleus terlihat sangat menonjol dan Processus longus tertarik medial dari membran timpani.



Adanya level udara-cairan (air fluid level) membuat diagnosis lebih nyata

Garpu tala : untuk membuktikan adanya tuli konduksi

c.

Pemeriksaan Penunjang Audiogram: tuli konduktif Timpanogram: mengukur gerakan gendang telinga, ketika cairan didalam telinga tengah, gerakan gendang telinga akan terbatas

2.3.7

Penatalaksanaan Segera merujuk ke spesialis THT jika terdapat gangguan tuli konduktif persisten

pada

anak-anak,

terutama

mereka

dengan

tanda-tanda

keterlambatan perkembangan bahasa. Selain itu, harus dirujuk jika penyakit ini berulang, jika terapi medis tersedia yang sesuai yang diberikan dokter umum tidak membaik. Pengobatan OME diarahkan untuk memperbaiki ventilasi normal telinga tengah. Untuk kebanyakan penderita, kondisi ini diperoleh secara alamiah, terutama jika berasosiasi dengan ISPA yang berhasil disembuhkan. Artinya banyak OME yang tidak membutuhkan pengobatan medis. Akan lebih baik menangani faktor predisposisi-nya, misalnya: jika dikarenakan barotrauma, maka aktivitas yang berpotensi untuk memperoleh barotrauma berikutnya, seperti: penerbangan atau menyelam, sebaiknya dihindarkan. Strategi lainnya adalah menghilangkan atau menjauhkan dari pengaruh asap

18

rokok, menghindarkan anak dari fasilitas penitipan anak, menghindarkan berbagai alergen makanan atau lingkungan jika anak diduga kuat alergi atau sensitif terhadap bahan-bahan tersebut.(7) Pengobatan pada barotrauma biasanya cukup dengan cara konservatif saja, yaitu dengan memberikan dekongestan lokal atau dengan melakukan perasat Valsava selama tidak terdapat infeksidi jalan napas atas. Apabila cairan atau cairan yang bercampur darah menetap di telinga tengah sampai beberapa minggu, maka dianjurkanuntuk tindakan miringotomi dan bila perlu memasang pipa ventilasi (Grommet). Usaha pereventif terhadap barotrauma dapat dilakukan dengan selalu mengunyah permen karet atau melakukan perasat Valsalva, terutama sewaktu pesawat terbang mulai turun untuk mendarat. (7) Jika OME ternyata menetap dan mulai bergejala, maka pengobatan medis mulai diindikasikan, seperti: 1. Antihistamin atau dekongestan. Antihistamin dan dekongestan terbukti membantu membersihkan dan menghilangkan sekresi dan sumbatan di sinonasal, maka keduanya dapat memberikan efek yang sama untuk OME. Jika ternyata alergi adalah faktor etiologi OME, maka kedua obat ini seharusnya memberikan efek yang menguntungkan terhadap OME.(8) 2. Mukolitik. Dimaksudkan untuk merubah viskoelastisitas mukus telinga tengah untuk memperbaiki transport mukus dari telinga tengah ke nasofaring. Namun demikian mukolitik ini tidak memegang peranan penting dalam pengobatan OME.(8) 3. Antibiotik. Pemberian obat ini harus dipertimbangkan secara hati-hati. Karena OME bukanlah infeksi sebenarnya. Meskipun demikian OME seringkali diikuti oleh OMA, di samping itu isolat bakteri juga banyak ditemukan pada sampel cairan OME. Organisme tersering ditemukan adalah S. pneumoniae, H. influenzae non typable, M. catarrhalis, dan grup A streptococci, serta Staphyllococcus aureus. Antibiotika

19

golongan amoksisilin, amoksisilin-klavulanat, sefaklor, eritromisin, trimetropim-sulfametoksazol, atau eritromisin-sulfisoksazole, dapat memperbaiki klirens efusi. Pemberian antibiotika juga meliputi dosis profilaksis yaitu ½ dosis yang digunakan pada infeksi akut. Namun demikian perlu dipertimbangkan pula hubungan antara antibiotika profilaksis dengan tingginya prevalensi dan meningkatnya spesies bakteri yang resisten.(8) 4. Kortikosteroid Beberapa klinisi mengusulkan pemberian kortikosteroid untuk mengurangi respon inflamasi di kompleks nasofaring-tuba Eustachius dan menstimulasi agent-aktif di permukaan tuba Eustachius dalam memfasilitasi pergerakan udara dan cairan melalui tuba Eustachius. Pemberian dapat berupa kortikosteroid oral atau topikal (nasal), ataupun kombinasi. Namun demikian karena hanya memberikan hasil jangka pendek dengan kejadian OME rekuren yang tinggi, serta resiko sekuele maka kortikosteroid tidak lagi direkomendasikan.(9) 5. Myringotomy Anak-anak yang tidak dapat di terapi dengan antibiotik profilaksis atau dalam masa infeksi/peradangan dapat disarankan untuk dilakukan operasi myringotomy. Myringotomy juga hanya dilakukan pada kasuskasus khusus di mana terjadi gejala yang sangat berat atau ada komplikasi. Cairan yang keluar harus dikultur.(8) 6. Pemasangan Tube Ventilasi (Grommet's Tube) Terkadang tube ventilasi (umumnya dikenal sebagai Grommet’s tube) diletakan di dalam bukaan tadi jika masalah tetap ada setelah jangka waktu yang lama. Tube ventilasi ini dipasang sifatnya sementara, berlangsung 6 hingga 12 bulan di dalam telinga hingga infeksi telinga bagian tengah membaik dan sampai tuba Eustachi kembali normal. Selama masa penyembuhan ini, harus dijaga agar air tidak masuk kedalam telinga karena akan menyebabkan infeksi lagi. Selain daripada itu, tube tidak akan menyebabkan masalah lagi, dan akan terlihat

20

perkembangan yang sangat baik pada pendengaran dan penurunan pada frekuensi infeksi telinga.(8) 7. Terapi pembedahan (operatif) untuk faktor predisposisi, mungkin dibutuhkan adenoidektomi, tonsilektomi dan mencuci (membersihkan) sinus maksillaris. Hal ini biasanya dilakukan pada waktu dilakukannya myringoktomi. (8) 8. Alat bantu dengar Jika ingin menggunakan alat Bantu dengar ini maka terlebih dahulu harus memeriksakan ambang

pendengaran dengan alat yang

dinamakan audiogram. Setelah itu barulah dapat ditentukan jenis dan model apa yang cocok digunakan untuk kasus kerusakan pendengaran yang dialami. ABD terdiri dari 3 komponen utama: mikrophon, amplifier dan speaker. ABD menerima suara melalui mikrophone yang mengubah

sinyal

suara

menjadi

sinyal

listrik

kemudian

mengirimkannya ke amplifier. Amplifier meningkatkan kekuatan sinyal listrik dan mengirimkannya ketelinga pemakai ABD melalui speaker.(8)

2.3.8

Komplikasi 1. Infeksi akut telinga 2. Kista di telinga tengah 3. Kerusakan tetap pada telinga dengan kehilangan pendengaran parsial atau lengkap 4. Jaringan parut dari gendang telinga (timpanosklerosis) 5. Bicara terlambat (jarang)

2.3.9

Prognosis Otitis media dengan efusi adalah penyebab utama gangguan pendengaran pada anak-anak. Kondisi ini terkait dengan perkembangan bahasa pada anak-anak muda tertunda dari 10 tahun, dan kehilangan pendengaran konduktif. OME biasanya tidak mengancam nyawa. Kebanyakan anak tidak mengalami kerusakan

pada

pendengaran 21

jangka

panjang mereka

atau kemampuan berbicara, bahkan ketika cairan tetap selama berbulanbulan. Otitis media efusi biasanya akan sembuh dengan sendirinya dalam waktu minggu atau bulan. Penatalaksanaan yang tepat dapat mempercepat proses penyembuhan. Selama cairan masih terakumulasi di tengah telinga, maka akan mengurangi fungsi pendengaran. Hal ini dapat mempengaruhi perkembangan bahasa pada anak-anak.(10)

22

BAB III LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien



Inisial

: NKM



Jenis Kelamin

: Perempuan



Umur

: 15 tahun



Alamat

: Tengah Bedulu



Pekerjaan

: Pelajar



Suku Bangsa

: Indonesia



Agama

: Hindu



No. RM

: 639942

3.2 Anamnesis 3.2.1

Riwayat Penyakit Sekarang Keluhan utama: Nyeri telinga kanan. Pasien datang ke poliklinik THT RSUD Sanjiwani Gianyar diantar oleh orangtuanya, dengan keluhan nyeri pada telinga kanan sejak 4 bulan yang lalu dan memberat 1 minggu SMRS. Nyeri dirasakan seperti tertekan dan hilang timbul. Awalnya pasien mengaku mengalami penurunan kemampuan mendengar secara perlahan pada telinga kanannya, bahkan awalnya pasien tidak menyadari hal tersebut hingga akhirnya muncul keluhan nyeri telinga kanan dan penurunan kemampuan mendengar sudah berat dirasakannya. Pasien tidak menggubris keluhan tersebut hingga akhirnya satu minggu belakangan ini pasien sudah tidak tahan. Tidak ada hal yang memperberat ataupun memperingan keluhan yang dialami pasien. Pasien tidak pernah mengorek telinganya. Keluhan lain yang dialami pasien seperti telinga terasa penuh (+), demam (-), pilek (-), batuk (-), keluar carian dari

23

telinga (-), telinga mendengung/mendenging (-/-), gatal pada telinga kanan (-) dan penurunan pendengaran (+) pada telinga kanan.

3.2.2

Riwayat Penyakit Dahulu Pasien memang sering mengalami keluhan serupa selama 4 tahun terakhir ini, namun keluhan dirasakan secara hilang timbul. Riwayat penyakit kronis dan riwayat alergi obat maupun makanan disangkal oleh orang tua pasien.

3.2.3

Riwayat Penyakit Keluarga Orang tua pasien mengatakan tidak ada anggota keluarganya yang mengalami keluhan yang sama dengan keluhan yang dirasakan pasien. Riwayat penyakit diabetes mellitus (+) sementara penyakit kronis lainnya tidak ada.

3.2.4

Riwayat Pribadi, Lingkungan, Sosial Pasien merupakan seorang siswa pelajar Sekolah Menengah Pertama di Gianyar. Kegiatan sehari-hari pasien dilakukan di sekolah, dirumah, di tempat bimbel dan kadang bermain ditetangga. Pasien mengaku tidak memiliki hobi berenang. Orang tua pasien biasanya rajin membersihkan telinga

pasien

mengguna

cotton

bud.

Pasien

tidak

pernah

membersihkan telinganya sendiri dan mengorek-ngorek telinga menggunakan jari atau benda lain.

3.3 Pemeriksaan Fisik 3.3.1

Status Present (29 Desember 2018) 

Keadaan Umum

: Sakit Sedang



Kesadaran

: Compos Mentis



Tekanan Darah

: 110/80 mmHg



Denyut Nadi

: 88 x/menit



Frekuensi Nafas

: 20 x/menit



Suhu Aksila

: 36,8 oc

24



3.3.2

Berat Badan

: 40 Kg

Status Generalis  Mata

: Anemis -/- Ikterus -/- Reflek Pupil +/+ Isokor

 THT

: Sesuai status THT

 Thoraks

: Cor : S1S2 Tunggal Reguler Murmur (-) Pulmo : Ves +/+ Rh-/- Wh-/-

 Abdomen

: Distensi (-) BU (+) Normal

 Ekstremitas

: Hangat pada keempat ektremitas tanpa edema

Gambar 1. Hasil Pemeriksaan Otoscopy

3.3.3

Status THT-KL

Telinga

Kanan

Kiri

Aurikula

Normal

Normal

Nyeri tekan tragus

-

-

Nyeri tarik aurikula

-

-

Meatus Akustikus Eksterna

Lapang

Lapang

Membran timpani

air fluid level

Intak

Sekret

-

-

Benda asing

-

-

Serumen

-

-

Mastoid

Normal

Normal

Tumor

-

-

25

Tes Pendengaran Tes Rinne Tes Weber

+

Tes Scwabach

-

-

Tes Bing

Lateralisasi ke telinga kanan

Sesuai pemeriksa

Memanjang Tidak bertambah keras/ tidak lateralisasi

Lateralisasi ke telinga kiri

Hidung

Kanan

Kiri

Hidung luar

Normal

Normal

Kavum nasi

Lapang

Lapang

Septum nasi

Deviasi (-)

Deviasi (-)

Mukosa

Merah Muda

Polyp

-

-

Korpus Alienum

-

-

Sekret

-

-

Konka

Dekongesti

Dekongesti

Tenggorok Dispneu

-

Sianosis

-

Mukosa faring

Merah muda

Dinding belakang

Normal

Stridor

-

Suara

Normal

Tonsil

T1/T1 Tenang

Post nasal drip

-

26

Merah Muda

3.4 Pemeriksaan Penunjang 3.4.1

Foto Water’s dan Skull AP/Lateral

Gambar 2. Foto Water,s dan Skull AP/Lateral

Pemeriksaan foto Water’s yang dilakukan pada tanggal 29 Desember 2018 mendapatkan hasil dengan kesan: tidak tampak sinusitis dan tampak adenoid hipertrofi.

3.4.2

Endoscopy Faring

Gambar 3. Foto Endoscopy Faring Pemeriksaan Endoscopy Faring didapatkan Adenoid Hipertrofi.

3.5 Assesment Otitis Media Efusi Dekstra ec Adenoid Hipertrofi 3.6 Penatalaksanaan 

Methyl Prednisolon Tab 2x40 mg (PO)



Pseudoefedrin Tab 3x40 mg (PO)



Planning Pemasangan Grommet + Adenoidektomi

27

BAB IV PEMBAHASAN

Berdasarkan kasus, didapatkan pasien perempuan berusia 15 tahun datang dengan keluhan nyeri pada telinga kanan. Keluhan tersebut dirasakan sudah sejak 4 bulan yang lalu dan memberat 1 minggu yang lalu. Nyeri dirasakan seperti tertekan dan hilang timbul. Keluhan lain yang dirasakan pasien yaitu telinga terasa penuh dan penurunan pendengaran pada telinga kanan. Hal tersebut sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa epidemiologi

infeksi telinga tengah, yaitu salah satunya otitis media efusi adalah sering pada bayi, anak-anak umur pra sekolah, dan paling sering pada anak-anak yang lebih muda dari usia 15 tahun. Diagnosis OME seringkali sulit ditegakkan karana prosesnya sendiri yang kerap tidak bergejala (asimptomatik), atau dikenal dengan silent otitis media, namun bila sudah bergejala akan memberikan manifestasi klinis berupa telinga terasa penuh,

terasa ada cairan (grebeg-grebeg), terdengar suara dalam telinga sewaktu menelan atau menguap dan pendengaran menurun. Otitis media efusi (OME) adalah keradangan non bakterial mukosa kavum timpani yang ditandai dengan terkumpulnya cairan yang tidak purulen (serous atau mucus), sedangkan membran timpani utuh. Pemeriksaan tanda vital (denyut nadi dan frekuensi napas) dan status general masih dalam batas normal. Pada pemeriksaan hidung dan tenggorok dalam batas normal. Pada pemeriksaan lokalis telinga ditemukan aurikula: normal/normal, normal/normal, nyeri tekan tragus: (-/-), nyeri Tarik aurikula (-/-), meatus akustikus eksterna: lapang/lapang, sekret -/-, dan ditemukan membran timpani: air fluid level/intak. Hasil pemeriksaan lokalis telinga pasien sesuai dengan teori yaitu pada keadaan OME dapat ditemukan membran timpani mengalami retraksi, air fluid level, dan berwarna kecoklatan. Tes garpu tala pasien juga didapatkan tuli konduktif, dimana hal tersebut sesuai dengan hasil tes garpu tala pada pasien OME. Pada kasus dilakukan pemeriksaan penunjang endoscopy faring dimana didapatkan adenoid hipertrofi. Hal ini semakin menegakan diagnosis OME dimana adenoid hipertrofi merupakan salah satu etiologi dari OME. Pada pasien tidak dilakukan audiogram maupun timpanogram dikarenakan anamnesis dan gambaran membran timpani pasien

28

sudah khas menunjukan OME. Pada pasien dilakukan pemeriksaan penunjang Foto Water’s dan Skull AP/Lateral untuk mencari etiologi lain selain adenoid hipertrofi. Penatalaksanaan pada kasus ini adalah memberikan pasien dekongestan yaitu Pseudoefedrin 3x40 mg (PO), anti inflamasi yaitu Methyl Prednisolon 2x4 mg (PO), dan planning untuk segera dilakukan pemasangan Groomet serta Adenoidectomy. Hal ini juga sesuai dengan teori. Berdasarkan teori penanganan dapat dilakukan dengan pemberian medikamentosa antara lain: antihistamin dan dekongestan terbukti membantu membersihkan dan menghilangkan sekresi dan sumbatan di sinonasal, maka keduanya dapat memberikan efek yang sama untuk OME. Kortikosteroid diusulkan oleh beberapa klinisi untuk mengurangi respon inflamasi di kompleks nasofaring-tuba Eustachius dan menstimulasi agent-aktif di permukaan tuba Eustachius dalam memfasilitasi pergerakan udara dan cairan melalui tuba Eustachius. Tindakan yang diperlukan adalah antara lain myringotomy yang hanya dilakukan pada kasus-kasus dimana terjadi gejala yang sangat berat atau ada komplikasi, dan pada anak-anak yang tidak dapat di terapi dengan antibiotik profilaksis atau dalam masa infeksi/peradangan. Pemasangan Tube Ventilasi (Grommet's Tube) diletakan di dalam bukaan tadi jika masalah tetap ada setelah jangka waktu yang lama, akan terlihat perkembangan yang sangat baik pada pendengaran dan penurunan pada frekuensi infeksi telinga. Terapi pembedahan (operatif) untuk faktor predisposisi, mungkin dibutuhkan adenoidektomi, tonsilektomi dan mencuci (membersihkan) sinus maksillaris. Hal ini biasanya dilakukan pada waktu dilakukannya myringoktomi. Alat bantu dengar (ADB) dapat pula digunakan. Jika ingin menggunakan Alat Bantu Dengar ini maka terlebih dahulu harus memeriksakan ambang pendengaran dengan alat yang dinamakan audiogram. Pada pasien dibutuhkan segera tindakan pemasangan grommet dan adenoidektomi karena onset yang sudah sangat lama.

29

DAFTAR PUSTAKA

1.

Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. VII. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2012.

2.

Shah IA, Somsin A, Poetz MH, Rangdaeng S, Truong LD. Clinical Practice Guideline: Otitis Media with Effusion (Update). Am J Clin Pathol. 1992;97(3):436–7.

3.

Els T, Olwoch IP. The prevalence and impact of otitis media with effusion in children admitted for adeno-tonsillectomy at Dr George Mukhari Academic Hospital, Pretoria, South Africa. Int J Pediatr Otorhinolaryngol [Internet]. Elsevier; 2018;110(May 2018):76–80. Available from: https://doi.org/10.1016/j.ijporl.2018.04.030

4.

Cheng X, Sheng H, Ma R, Gao Z, Han Z, Chi F, et al. Allergic rhinitis and allergy are risk factors for otitis media with effusion: A meta-analysis. Allergol Immunopathol (Madr). 2017;45(1):25–32.

5.

Skoloudik L, Kalfert D, Valenta T, Chrobok V. Relation between adenoid size and otitis media with effusion. Eur Ann Otorhinolaryngol Head Neck Dis [Internet]. Elsevier Masson SAS; 2018;135(6):399–402. Available from: https://doi.org/10.1016/j.anorl.2017.11.011

6.

Pau BC, Ng DK. Prevalence of otitis media with effusion in children with allergic rhinitis, a cross sectional study. Int J Pediatr Otorhinolaryngol [Internet]. Elsevier Ireland Ltd; 2016;84(2016):156–60. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.ijporl.2016.03.008

7.

Zulkiflee S, Asma A, Philip R, Sabzah MHS, Sobani D, Khairulddin NYN, et al. A systematic review of management of otitis media with effusion in children. Br J Med Med Res. 2014;4(February 2012):2119–28.

8.

Blanc F, Ayache D, Calmels MN, Deguine O, François M, Leboulanger N, et al. Management of otitis media with effusion in children. Société française d’ORL et de chirurgie cervico-faciale clinical practice guidelines. Eur Ann Otorhinolaryngol Head Neck Dis. 2018;135(4):269–73.

9.

Francis NA, Cannings-John R, Waldron CA, Thomas-Jones E, Winfield T, Shepherd V, et al. Oral steroids for resolution of otitis media with effusion in children (OSTRICH): a double-blinded, placebo-controlled randomised trial. Lancet [Internet]. The Author(s). Published by Elsevier Ltd. This is an Open Access article under the CC BY-NC-ND 4.0 license; 2018;392(10147):557–68. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/S01406736(18)31490-9

10.

Simon F, Haggard M, Rosenfeld RM, Jia H, Peer S, Calmels MN, et al. International consensus (ICON) on management of otitis media with effusion in children. Eur Ann Otorhinolaryngol Head Neck Dis [Internet]. Elsevier 30

Masson SAS; 2018;135(1):S55–7. http://dx.doi.org/10.1016/j.anorl.2017.11.009

31

Available

from:

32

More Documents from "NovaAdi"

Tinjauan Pustaka Sle.docx
December 2019 7
Bab Ii.docx
December 2019 8
Cover.docx
December 2019 6
Ktg Nova.docx
December 2019 10