LAPORAN KASUS Karsinoma Nasofaring
Oleh : A.A.A Lie Lhianna M.P. H1A 013 001
Pembimbing : dr. M. Alfian Sulaksana, Sp. THT-KL
DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN ILMU KESEHATAN TELINGA, HIDUNG, TENGGOROK, DAN BEDAH KEPALA LEHER RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NTB FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS MATARAM 2018
BAB I PENDAHULUAN Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai di antara tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring termasuk dalam lima besar tumor ganas , dengan frekuensi tertinggi (bersama tumor ganas serviks uteri, tumor payudara, tumor getah bening dan tumor kulit), sedangkan didaerah kepala dan leher menduduki tempat pertama ( KNF mendapat persentase hampir 60% dari tumor di daerah kepala dan leher, diikuti tumor ganas hidung dan sinus paranasal 18%, laring 16%, dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah).1,2,3 Santosa (1988) mendapatkan jumlah 716 (8,46%) penderita KNF berdasarkan data patologi yang diperoleh di Laboratorium Patologi anatomi FK Unair Surabaya (1973 – 1976) diantara 8463 kasus keganasan di Seluruh tubuh. Di Bagian THT Semarang mendapatkan 127 kasus KNF dari tahun 2000 – 2002. Survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 1980 secara “pathology based” mendapatkan angka prevalensi karsinoma nasofaring 4,7 per 100.000 penduduk atau diperkirakan 7000 – 8000 kasus per tahun di seluruh Indonesia.1,2 Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih merupakan suatu masalah, hal ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang tidak khas serta letak nasofaring yang tersembunyi,dan tidak mudah diperiksa oleh mereka yg bukan ahli sehingga diagnosis sering terlambat, dengan ditemukannya metastasis pada leher sebagai gejala pertama. Dengan makin terlambatnya diagnosis maka prognosis ( angka bertahan hidup 5 tahun) semakin buruk.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
DEFINISI Karsinoma adalah pertumbuhan baru yang ganas terdiri dari sel-sel epithelial yang
cenderung menginfiltrasi jaringan sekitarnya dan menimbulkan metastasis.2 Nasofaring merupakan suatu rongga dengan dinding kaku di atas, belakang dan lateral yang secara anatomi termasuk bagian faring. Karsinoma Nasofaring merupakan tumor ganas yang timbul pada epithelial pelapis ruangan dibelakang hidung (nasofaring).2 2.2.
EPIDEMIOLOGI Angka kejadian Kanker Nasofaring (KNF) di Indonesia cukup tinggi, yakni 4,7
kasus/tahun/100.000 penduduk
atau diperkirakan 7000 – 8000 kasus per tahun di seluruh
Indonesia (Survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 1980 secara “pathology based”). Santosa (1988) mendapatkan jumlah 716 (8,46%) penderita KNF berdasarkan data patologi yang diperoleh di Laboratorium Patologi anatomi FK Unair Surabaya (1973 – 1976) diantara 8463 kasus keganasan di Seluruh tubuh. Di Bagian THT Semarang mendapatkan 127 kasus KNF dari tahun 2000 – 2002. Di RSCM Jakarta ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS. Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus, Ujung Pandang 25 kasus, Denpasar 15 kasus, dan di Padang dan Bukit tinggi (1977-1979). Dalam pengamatan dari pengunjung poliklinik tumor THT RSCM, pasien karsinoma nasofaring dari ras Cina relative sedikit lebih banyak dari suku bangsa lainya.1,3 Studi epidemiologi KNF dengan berfokus kepada etiologi dan kebiasaan biologi dari penyakit ini telah dikemukakan hasilnya oleh UICC (International Union against Cancer) dalam symposium kanker nasofaring yg diadakan di Singapura tahun 1964, dan dari investigasi dalam empat dekade terakhir telah ditemukan banyak temuan penting
di semua aspek. KNF
mempunyai gambaran epidemiologi yg unik, dalam daerah yg jelas, ras, serta agregasi family.1,4 KNF mempunyai daerah distribusi endemik yang tidak seimbang antara berbagai Negara, maupun yang tersebar dalam 5 benua. Berdasarkan data IARC (International Agency for Research on Cancer) tahun 2002 ditemukan sekitar 80,000 kasus baru KNF diseluruh dunia, dan sekitar 50,000 kasus meninggal dengan jumlah penduduk Cina sekitar 40%. Ditemukan pula
cukup banyak kasus pada penduduk lokal dari Asia Tenggara, Eskimo di Artik dan penduduk di Afrika utara dan timur tengah 1,4,5 Tumor ini lebih sering ditemukan pada pria dibanding wanita dengan rasio 2-3:1 dan apa sebabnya belum dapat diungkapkan dengan pasti, mungkin ada hubungannya dengan faktor genetic, kebiasaan hidup, pekerjaan dan lain-lain. Distribusi umur pasien dengan KNF berbedabeda pada daerah dengan insiden yg bervariasi. Pada daerah dengan insiden rendah insisden KNF meningkat sesuia dengan meningkatnya umur, pada daerah dengan insiden tinggi KNF meningkat setelah umur 30 tahun, puncaknya pada umur 40-59 tahun dan menurun setelahnya 5 2.3.
ANATOMI DAN FISIOLOGI NASOPHARING Nasofaring merupakan rongga dengan dinding kaku di atas, belakang dan lateral. Batas-
batas nasofaring yaitu batas atas (atap) adalah os sphenoid dan sebagian prosessus basilaris, batas anterior adalah koana dan palatum molle, batas posterior adalah vertebra servikal dan batas inferior adalah permukaan atas palatum molle dan berhubungan dengan orofaring.4 Batas nasofaring: Superior : basis kranii, diliputi oleh mukosa dan fascia Inferior : bidang horizontal yang ditarik dari palatum durum ke posterior, bersifat subjektif karena tergantung dari palatum durum. Anterior : choane, oleh os vomer dibagi atas choane kanan dan kiri. Posterior : - vertebra cervicalis I dan II - Fascia space = rongga yang berisi jaringan longgar - Mukosa lanjutan dari mukosa atas Lateral : - mukosa lanjutan dari mukosa atas dan belakang - Muara tuba eustachii - Fossa rosenmulleri10,11 Pada dinding lateral nasofaring lebih kurang 1,5 inci dari bagian belakang konka nasal inferior terdapat muara tuba eustachius. Pada bagian belakang atas muara tuba eustachius terdapat penonjolan tulang yang disebut torus tubarius dan dibelakangnya terdapat suatu lekukan dari fossa Rosenmuller dan tepat diujung atas posteriornya terletak foramen laserum. Pada daerah fossa ini sering terjadi pertumbuhan jaringan limfe yang menyempitkan muara tuba eustachius sehingga mengganggu ventilasi udara telinga tengah.4 Dinding lateral nasofaring merupakan bagian terpenting, dibentuk oleh lamina faringobasilaris dari fasia faringeal dan otot konstriktor faring superior. Fasia ini mengandung jaringan fibrokartilago yang menutupi foramen ovale, foramen jugularis, kanalis karotis dan
kanalis hipoglossus. Struktur ini penting diketahui karena merupakan tempat penyebaran tumor ke intrakranial.
Gambar 1 Anatomi nasofaring
Gambar 2 Fossa of Rosenmuller
Nasofaring berbentuk kerucut dan selalu terbuka pada waktu respirasi karena dindingnya dari tulang, kecuali dasarnya yang dibentuk oleh palatum molle. Nasofaring akan tertutup bila paltum molle melekat ke dinding posterior pada waktu menelan, muntah, mengucapkan katakata tertentu. Struktur penting yang ada di Nasopharing
1. Ostium Faringeum tuba auditiva muara dari tuba auditiva 2. Torus tubarius, penonjolan di atas ostium faringeum tuba auditiva yang disebabkan karena cartilago tuba auditiva 3. Torus levatorius, penonjolan di bawah ostium faringeum tuba auditiva yang disebabkan karena musculus levator veli palatini. 4. Plica salpingopalatina, lipatan di depan torus tubarius 5. Plica salpingopharingea, lipatan di belakang torus tubarius, merupakan penonjolan dari musculus salphingopharingeus yang berfungsi untuk membuka ostium faringeum tuba auditiva terutama ketika menguap atau menelan. 6. Recessus Pharingeus disebut juga fossa rossenmuller. Merupakan tempat predileksi Karsinoma Nasofaring. 7. Tonsila pharingea, terletak di bagian superior nasopharynx. Disebut adenoid jika ada pembesaran. Sedangkan jika ada inflammasi disebut adenoiditis. 8. Tonsila tuba, terdapat pada recessus pharingeus. 9. Isthmus pharingeus merupakan suatu penyempitan di antara nasopharing dan oropharing karena musculus sphincterpalatopharing 10. Musculus constrictor pharingeus dengan origo yang bernama raffae pharingei
Gambar 3 Nasofaring
Fungsi nasofaring : Sebagai jalan udara pada respirasi Jalan udara ke tuba eustachii Resonator Sebagai drainage sinus paranasal kavum timpani dan hidung
2.4
GEJALA DAN TANDA KARSINOMA NASOFARING Karsinoma nasofaring biasanya dijumpai pada dinding lateral dari nasofaring
termasuk fossa rosenmuler. Yang kemudian dapat menyebar ke dalam ataupun keluar nasofaring ke sisi lateral lainnya dan atau posterosuperior dari dasar tulang tengkorak atau palatum, rongga hidung atau orofaring. Metastase khususnya ke kelenjar getah bening servikal. Metastase jauh dapat mengenai tulang, paru-paru, mediastinum dan hati (jarang). Gejala yang akan timbul tergantung pada daerah yang terkena1,2. Sekitar separuh pasien memiliki gejala yang beragam, tetapi sekitar 10% asimtomatik. Pembesaran dari kelenjar getah bening leher atas yang nyeri merupakan gejala yang paling sering dijumpai5,13 Gejala klinik pada stadium dini meliputi gejala hidung dan gejala telinga. Ini terjadi karena tumor masih terbatas pada mukosa nasofaring. Tumor tumbuh mula-mula di fossa Rosenmuller di dinding lateral nasofaring dan dapat meluas ke dinding belakang dan atap nasofaring, menyebabkan permukaan mukosa meninggi. Permukaan tumor biasanya rapuh sehingga pada iritasi ringan dapat tejadi perdarahan. Timbul keluhan pilek berulang dengan mukus yang bercampur darah. Kadang-kadang dapat dijumpai epistaksis. Tumor juga dapat menyumbat muara tuba eustachius, sehingga pasien mengeluhkan rasa penuh di telinga, rasa berdenging kadang-kadang disertai dengan gangguan pendengaran. Gejala ini umumnya unilateral, dan merupakan gejala yang paling dini dari karsinoma nasofaring. Sehingga bila timbul berulang-ulang dengan penyebab yang tidak diketahui perlu diwaspadai sebagai karsinoma nasofaring6,17. Pada karsinoma nasofaring stadium lanjut gejala klinis lebih jelas sehingga pada umumnya telah dirasakan oleh pasien, hal ini disebabkan karena tumor primer telah meluas ke organ sekitar nasofaring atau mengadakan metastasis regional ke kelenjar getah bening servikal. Pada stadium ini gejala yang dapat timbul adalah gangguan pada syaraf otak karena pertumbuhan ke rongga tengkorak dan pembesaran kelenjarleher 5,6,17. Tumor yang meluas ke rongga tengkorak melalui foramen laserasum dan mengenai grup anterior saraf otak yaitu syaraf otak III, IV dan VI. Perluasan yang paling sering mengenai syaraf otak VI ( paresis abdusen) dengan keluhan berupa diplopia, bila penderita melirik ke arah sisi yang sakit. Penekanan pada syaraf otak V memberi keluhan berupa hipestesi ( rasa tebal) pada pipi dan wajah. Gejala klinik lanjut berupa ophtalmoplegi bila ketiga syaraf penggerak mata terkena. Nyeri kepala hebat
timbul karena peningkatan tekanan intrakranial6,17. Metastasis sel-sel tumor melalui kelenjar getah bening mengakibatkan timbulnya pembesaran kelenjar getah bening bagian samping ( limfadenopati servikal). Selanjutnya sel-sel kanker dapat mengadakan infiltrasi menembus kelenjar dan mengenai otot dibawahnya. Kelenjar menjadi lekat pada otot dan sulit digerakkan. Limfadenopati servikal ini merupakan gejala utama yang dikeluhkan oleh pasien6,17. Gejala nasofaring yang pokok adalah : 1. Gejala Telinga Oklusi Tuba Eustachius Pada umumnya bermula pada fossa Rossenmuller. Pertumbuhan tumor dapat menekan tuba eustachius hingga terjadi oklusi pada muara tuba. Hal ini akan mengakibatkan gejala berupa mendengung (Tinnitus) pada pasien. Gejala ini
merupakan tanda awal pada KNF. Oklusi Tuba Eustachius dapat berkembang hingga terjadi Otitis Media. Sering kali pasien datang sudah dalam kondisi pendengaran menurun, dan dengan tes rinne dan webber, biasanya akan ditemukan tuli konduktif
2. Gejala Hidung Epistaksis; dinding tumor biasanya dipenuhi pembuluh darah yang dindingnya rapuh, sehingga iritasi ringan pun dapat menyebabkan dinding pembuluh darah
tersebut pecah. Terjadinya penyumbatan pada hidung akibat pertumbuhan tumor dalam nasofaring dan menutupi koana. Gejala menyerupai rinitis kronis.
Gejala telinga dan hidung di atas bukanlah gejala khas untuk Karsinoma Nasofaring, karena dapat ditemukan pada berbagai kasus pada penyakit lain. Namun jika gejala terus terjadi tanpa adanya respons yang baik pada pengobatan, maka perlu dicurigai akan adanya penyebab lain yang ada pada penderita; salah satu di antaranya adalah KNF. 3. Gejala Mata Pada penderita KNF seringkali ditemukan adanya diplopia (penglihatan ganda) akibat perkembangan tumor melalui foramen laseratum dan menimbulkan gangguan N. IV dan N. VI. Bila terkena chiasma opticus akan menimbulkan kebutaan. 4. Tumor sign :
Pembesaran kelenjar limfa pada leher, merupakan tanda penyebaran atau
metastase dekat secara limfogen dari karsinoma nasofaring. 5. Cranial sign : Gejala cranial terjadi bila tumor sudah meluas ke otak dan mencapai saraf-saraf kranialis. Gejalanya antara lain : Sakit kepala yang terus menerus, rasa sakit ini merupakan metastase secara
hematogen. Sensitibilitas derah pipi dan hidung berkurang. Kesukaran pada waktu menelan Afoni Sindrom Jugular Jackson atau sindroma reptroparotidean mengenai N. IX, N. X,
N. XI, N. XII. Dengan tanda-tanda kelumpuhan pada: o Lidah o Palatum o Faring atau laring o M. sternocleidomastoideus o M. trapezeus 14,15 Pada penderita KNF, sering ditemukan adanya tuli konduktif bersamaan dengan elevasi dan imobilitas dari palatum lunak serta adanya rasa nyeri pada wajah dan bagian lateral dari leher (akibat gangguan pada nervus trigeminal). Ketiga gejala ini jika ditemukan bersamaan, maka disebut Trotter’s Triad. 2.5
PATOFISIOLOGI KARSINOMA NASOFARING Karsinoma Nasofaring merupakan munculnya keganasan berupa tumor yang berasal dari
sel-sel epitel yang menutupi permukaan nasofaring. Tumbuhnya tumor akan dimulai pada salah satu dinding nasofaring yang kemudian akan menginfiltrasi kelenjar dan jaringan sekitarnya. Lokasi yang paling sering menjadi awal terbentuknya KNF adalah pada Fossa Rossenmuller. Penyebaran ke jaringan dan kjelenjar limfa sekitarnya kemudian terjadi perlahan, seperti layaknya metastasis lesi karsinoma lainnya. Penyebaran KNF dapat berupa : 1. Penyebaran ke atas Tumor meluas ke intrakranial menjalar sepanjang fossa medialis, disebut penjalaran Petrosfenoid, biasanya melalui foramen laserum, kemudian ke sinus kavernosus dan Fossa kranii media dan fossa kranii anterior mengenai saraf-saraf kranialis anterior ( n.I – n VI). Kumpulan gejala yang terjadi akibat rusaknya saraf kranialis anterior akibat metastasis tumor
ini disebut Sindrom Petrosfenoid. Yang paling sering terjadi adalah diplopia dan neuralgia trigeminal. 2. Penyebaran ke belakang Tumor meluas ke belakang secara ekstrakranial menembus fascia pharyngobasilaris yaitu sepanjang fossa posterior (termasuk di dalamnya foramen spinosum, foramen ovale dll) di mana di dalamnya terdapat nervus kranialais IX – XII; disebut penjalaran retroparotidian. Yang terkena adalah grup posterior dari saraf otak yaitu n VII - n XII beserta nervus simpatikus servikalis. Kumpulan gejala akibat kerusakan pada n IX – n XII disebut sindroma retroparotidean atau disebut juga sindrom Jugular Jackson. Nervus VII dan VIII jarang mengalami gangguan akibat tumor karena letaknya yang tonggi dalam sistem anatomi tubuh, Gejala yang muncul umumnya antara lain: a. Trismus b. Horner Syndrome ( akibat kelumpuhan nervus simpatikus servikalis) c. Afonia akibat paralisis pita suara d. Gangguan menelan 3. Penyebaran ke kelenjar getah bening Penyebaran ke kelenjar getah bening merupakan salah satu penyebab utama sulitnya menghentikan proses metastasis suatu karsinoma. Pada KNF, penyebaran ke kelenjar getah bening sangat mudah terjadi akibat banyaknya stroma kelanjar getah bening pada lapisan sub mukosa nasofaring. Biasanya penyebaran ke kelenjar getah bening diawali pada nodus limfatik yang terletak di lateral retropharyngeal yaitu Nodus Rouvier. Di dalam kelenjar ini sel tersebut tumbuh dan berkembang biak sehingga kelenjar menjadi besar dan tampak sebagai benjolan pada leher bagian samping. Benjolan ini dirasakan tanpa nyeri karenanya sering diabaikan oleh pasien. Selanjutnya sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan mengenai otot dibawahnya. Kelenjar menjadi lekat pada otot dan sulit digerakkan. Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut lagi. Limfadenopati servikalis merupakan gejala utama yang mendorong pasien datang ke dokter. Gejala akibat metastase jauh:
Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening atau darah, mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering ialah tulang, hati dari paru. Hal ini merupakan stadium akhir dan prognosis sangat buruk. Dalam penelitian lain ditemukan bahwa karsinoma nasofaring dapat mengadakan metastase jauh, yang terbanyak ke paru-paru dan tulang, masing-masing sebanyak 20%, sedangkan ke hati 10%, otak 4%, ginjal 0,4%, tiroid 0,4%. Kira-kira 25% penderita datang berobat ke dokter sudah-mempunyai pertumbuhan ke intrakranial atau pada foto rontgen terlihat destruksi dasar tengkorak dan hampir 70% metastase kelenjar leher. Karsinoma nasofaring umumnya disebabkan oleh multifaktor. Sampai sekarang penyebab pastinya belum jelas. Faktor yang berperan untuk terjadinya karsinoma nasofaring ini adalah faktor makanan seperti mengkonsumsi ikan asin, sedikit memakan sayur dan buah segar. Faktor lain adalah non makanan seperti debu, asap rokok, uap zat kimia, asap kayu bakar dan asap dupa (kemenyan). 2-19 Faktor genetik juga dapat mempengaruhi terjadinya karsinoma nasofaring 1. Selain itu terbukti juga infeksi virus Epstein Barr juga dihubungkan dengan terjadinya karsinoma nasofaring terutama pada tipe karsinoma nasofaring non-keratinisasi. Hal ini dibuktikan dengan adanya kenaikan titer antigen EBV dalam tubuh penderita Ca Nasofaring non keratinisasi dan kenaikan titer ini pun berbanding lurus dengan stadium Ca nasofaring; di mana semakin berat stadium Ca Nasofaring, ditemukan titer antibodi EBV yang semakin tinggi. Hal ini dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya keberadaan protein-protein laten pada penderita karsinoma nasofaring. Pada penderita ini sel yang terinfeksi oleh EBV akan menghasilkan protein tertentu yang berfungsi untuk proses proliferasi dan mempertahankan kelangsungan virus di dalam sel host. Protein laten ini dapat dipakai sebagai petanda (marker) dalam mendiagnosa karsinoma nasofaring, yaitu EBNA-1 dan LMP-1, LMP- 2A dan LMP-2B. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya pada 50% serum penderita karsinoma nasofaring LMP-1 sedangkan EBNA-1 dijumpai di dalam serum semua pasien karsinoma nasofaring2. Selain itu dibuktikan oleh hasil penelitian Khrisna dkk (2004) terhadap suku Indian asli bahwa EBV DNA di dalam serum penderita karsinoma nasofaring dapat dipakai sebagai biomarker pada karsinoma nasofaring primer. 13,14,16 Hubungan antara karsinoma nasofaring dan infeksi virus Epstein-Barr juga dinyatakan oleh berbagai peneliti dari bagian yang berbeda di dunia ini. Pada pasien karsinoma nasofaring
dijumpai peninggian titer antibodi anti EBV (EBNA-1) di dalam serum plasma .1-19 EBNA-1 adalah protein nuklear yang berperan dalam mempertahankan genom virus. Huang dalam penelitiannya, mengemukakan keberadaan EBV DNA dan EBNA di dalam sel penderita karsinoma nasofaring. 13,14,16 Karsinoma nasofaring sangat sulit didiagnosa, hal ini mungkin disebabkan karena letaknya sangat tersembunyi dan juga pada keadaan dini pasien tidak datang untuk berobat. Biasanya pasien baru datang berobat, bila gejala telah mengganggu dan tumor tersebut telah mengadakan infiltrasi serta metastase pada pembuluh limfe sevikal. Hal ini merupakan keadaan lanjut dan biasanya prognosis yang jelek. Pemeriksaan terhadap karsinoma nasofaring dilakukan dengan cara anamnesa penderita dan disertai dengan pemeriksaan nasofaringoskopi, radiologi, histopatologi, immunohistokimia, dan juga pemeriksaan serologi dengan menggunakan tehnik Enzyme Linked Immunosorbent Assay atau disingkat dengan ELISA6. Karena beberapa penelitian telah membuktikan bahwa di dalam serum penderita karsinoma nasofaring dijumpai EBNA-1 maka sebaiknya pasien yang mempunyai gejala yang mengarah ke karsinoma nasofaring dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan serologi yaitu antibodi anti EBV (EBNA1).13,14,15 Tentang pengaruh EBV yang sebagian besar hanya ditemukan pada Ca Nasofaring tipe non-keratinisasi belum dapat dijelaskan hingga saat ini.
Proses perkembangan KNF:
Tumor Confined in Nasopharynx
Distant Metastis
Neurological Symptoms
Regional Lymph Node Metastasis
Other Symptom ss
Spread of tumor to nasopharyngeal surrounding parts
Neurological Symptoms
Hemmorhage in Nasopharynx
Other Symptom ss
Gambar 4 Patogenesis KNF
Infection in Nasopharynx
Other Symptom ss Other Symptom ss
2.5.1
Virus Epstein-Barr Group Family Subfamily Genus Species
: : : : :
Grup I (dsDNA) Herpesviridae Gammaherpesvirinae Lymphocryptovirus Human Herpes Virus 4 (HHV-4)
Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten dalam limfosit B. Infeksi virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama yaitu sel epitel kelenjar saliva dan sel limfosit. EBV memulai infeksi pada limfosit B dengan cara berikatan dengan reseptor virus, yaitu komponen komplemen C3d (CD21 atau CR2). Glikoprotein (gp350/220) pada kapsul EBV berikatan dengan protein CD21 dipermukaan limfosit B3. Aktivitas ini merupakan rangkaian yang berantai
dimulai dari masuknya EBV
ke dalam DNA limfosit B dan selanjutnya
menyebabkan limfosit B menjadi immortal. Sementara itu, sampai saat ini mekanisme masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring belum dapat dijelaskan dengan pasti. Namun demikian, ada dua reseptor yang diduga berperan dalam masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring yaitu CR2 dan PIGR (Polimeric Immunogloblin Receptor). Sel yang terinfeksi oleh virus epstein-barr dapat menimbulkan beberapa kemungkinan yaitu : sel menjadi mati bila terinfeksi dengan virus epstein-barr dan virus mengadakan replikasi, atau virus epstein- barr yang menginfeksi sel dapat mengakibatkan kematian virus sehingga sel kembali menjadi normal atau dapat terjadi transformasi sel yaitu interaksi antara sel dan virus sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan sifat sel sehingga terjadi transformsi sel menjadi ganas sehingga terbentuk sel kanker.17 Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten, yaitu EBERs, EBNA1, LMP1, LMP2A dan LMP2B. Protein EBNA1 berperan dalam mempertahankan virus pada infeksi laten. Protein transmembran LMP2A dan LMP2B menghambat sinyal tyrosine kinase yang dipercaya dapat menghambat siklus litik virus. Diantara gen-gen tersebut, gen yang paling berperan dalam transformasi sel adalah gen LMP1. Struktur protein LMP1 terdiri atas 368 asam amino yang terbagi menjadi 20 asam amino pada ujung N, 6 segmen protein transmembran (166 asam amino) dan 200 asam amino pada ujung karboksi (C). Protein transmembran LMP1 menjadi perantara untuk sinyal TNF (tumor necrosis factor) dan meningkatkan regulasi sitokin IL-10 yang memproliferasi sel B dan menghambat respon imun lokal. 17
Gambar 5 Infeksi EBV
2.5.2
Genetik Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi kerentanan terhadap
karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relative menonjol dan memiliki agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (human leukocyte antigen) dan gen pengode enzim sitokrom p450 2E1 (CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap karsinoma nasofaring. Sitokrom p450 2E1 bertanggung jawab atas aktivasi metabolik yang terkait nitrosamine dan karsinogen. Analisa genetik pada populasi endemik berhubungan dengan HLA-A2, HLAB17 dan HLA-Bw26. Dimana orang dengan yang memiliki gen ini memiliki resiko dua kali lebih besar menderita karsinoma nasofaring. Studi pada orang Cina dengan keluarga menderita karsinoma nasofaring dijumpai adanya kelemahan lokus pada regio HLA. Studi dari kelemahan HLA pada orang-orang Cina menunjukkan bahwa orang-orang dengan HLA A*0207 atau B*4601 tetapi tidak pada A*0201 memiliki resiko yang meningkat untuk terkena karsinoma nasofaring.14,15,16,18
2.5.3
Faktor lingkungan Sejumlah besar studi kasus yang dilakukan pada populasi yang berada di berbagai
daerah di asia dan america utara, telah dikonfirmasikan bahwa ikan asin dan makanan lain yang
awetkan
mengandung
sejumlah
besar
nitrosodimethyamine
(NDMA),
nitrospurrolidene (NPYR) dan nitrospiperidine (NPIP ) yang mungkin merupakan faktor karsinogenik karsinoma nasofaring. Selain itu pengkonsumsi alkohol dan perokok juga merupakan salah satu faktor yan diperkirakan menginisiasi terjadinya karsinoma nasofaring. Di mana alkohol dan asap rokok ditemukan mengadung formaldehyde yang diteliti merupakan faktor risiko karsinoma nasofaring dengan cara mengaktifkan kembali infeksi dari EBV.14,15,16,18 2.6
DIAGNOSIS Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada suatu karsinoma nasofaring, protokol
dibawah ini dapat membantu untuk menegakkan diagnosis pasti serta stadium tumor: 2.6.1 2.6.2
Anamnesis / pemeriksaan fisik Anamnesis berdasarkan keluhan yang dirasakan pasien (tanda dan gejala KNF) Pemeriksaan Nasofaring
Pemeriksaan tumor primer di nasofaring dapat dilakukan dengan cara rinoskopi posterior (tidak langsung) dan nasofaringoskop (langsung) serta fibernasofaringoskopi.Jika ditemukan tumor berupa massa yang menonjol pada mukosa dan memiliki permukaan halus, berrnodul dengan atau tanpa ulserasi pada permukaan atau massa yang menggantung dan infiltratif. Namun terkadang tidak dijumpai lesi pada nasofaring sehingga harus dilakukan biopsi dan pemeriksaan sitologi. Menurut Formula Digby, setiap simptom mempunyai nilai diagnostik dan berdasarkan jumlah nilai dapat ditentukan ada tidaknya karsinoma nasofaring
Tabel 1 Formula Digsby
18
Gejala
Nilai
Massa terlihat pada Nasofaring
25
Gejala khas di hidung
15
Gejala khas pendengaran
15
Sakit kepala unilateral atau bilateral
5
Gangguan neurologik saraf kranial
5
Eksoftalmus
5
Limfadenopati leher
25
Bila jumlah nilai mencapai 50, diagnosa klinik karsinoma nasofaring dapat dipertangungjawabkan. Sekalipun secara klinik jelas karsinoma nasofaring, namun biopsi tumor primer mutlak dilakukan, selain untuk konfirmasi diagnosis histopatologi, juga menentukan subtipe histopatologi yang erat kaitannya dengan pengobatan dan prognosis.18 2.6.3
Biopsi nasofaring Diagnosis pasti dari KNF ditentukan dengan diagnosis klinik ditunjang dengan diagnosis histologik atau sitologik. Diagnosis histologik atau sitologik dapat ditegakan bila dikirim suatu material hasil biopsy cucian, hisapan (aspirasi), atau sikatan (brush), biopsy dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari hidung atau dari mulut. Biopsi tumor nasofaring umunya dilakukan dengan anestesi topical dengan xylocain 10%. Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy). Cunam biopsy dimasukan melalui rongga hidung menyelusuri konka media ke
nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsy. Biopsy melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukan melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik keluar dan diklem bersama-sama ujung kateter yang dihdung. Demikian juga kateter yang dari hidung disebelahnya, sehingga palatum
mole tertarik ke atas. Kemudian
dengan kacalaring dilihat daerah nasofaring. biopsy dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang dimasukan melalui mulut, masaa tumor akan terlihat lebih jelas. Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan mala dilakukan pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narkosis. 2.6.4
Sitologi dan Histopatologi Klasifikasi WHO tahun 1978 untuk karsinoma nasofaring (1) Keratinizing squamous cell carcinoma ditandai dengan adanya keratin atau intercellular bridge atau keduanya. (2) Non keratinizing squamous cell carcinoma yang ditandai dengan batas sel yang jelas (pavement cell pattern). (3) Undifferentiated carcinoma ditandai oleh pola pertumbuhan syncitial, sel-sel poligonal berukuran besar atau sel dengan bentuk spindel,anak inti yang menonjol dan stroma dengan infiltrasi sel-sel radang limfosit.
1,2,3,4
Sedangkan klasifikasi WHO tahun 1991 membagi karsinoma nasofaring menjadi Keratinizing squamous cell carcinoma, Non keratinizing squamous cell carcinoma terdiri atas differentiated dan undifferentiated dan Basaloid Carcinoma. 1, 19 Tipe tanpa diferensiasi dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang sama, yaitu bersifat radiosensitif. Sedangkan jenis dengan keratinisasi tidak begitu radiosensitif.19 2.6.5 Pemeriksaan radiologi Pemeriksaan radiologi pada kecurigaan KNF merupakan pemeriksaan penunjang diagnostic yang penting. Dapat dilakukan foto polos, CT Scan ataupun MRI. Saat ini untuk mendiagnosa secara pasti C.T Scan dan MRI merupakan suatu modalitas utama. Melalui C.T Scan dan MRI dapat dilihat secara jelas ada tidaknya massa dan sejauh apa penyebaran massa tersebut, hingga dapat membantu dalam menentukan stadium dan jenis terapi yang akan dilakukan. Tujuan utama pemeriksaan radiologik tersebut adalah: Memberikan diagnosis yang lebih pasti pada kecurigaan adanya tumor pada
daerah nasofaring Menentukan lokasi yang lebih tepat dari tumor tersebut Mencari dan menetukan luasnya penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya.13,22
a. Computed Tomography Scan (CT Scan)
Fig. 1.-Example of early nasopharyngeal
Fig. 2.-Tumor has spread through pharyngobasilar
carcinoma. There is blunting of left fossa of
fascia to involve parapharyngeal fat space.
Rosenmuller and enlargement of levator palatini
Note that normal fat density of this space is partly
muscle. Although there is asymmetry of superficial
obliterated and that there is obvious asymmetry of the fossa
mucosal contours of nasopharynx, the changes can be quite subtle
of Rosenmuller.
b. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
3
Pemeriksaan neurologis. Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa foramen, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala
4
lanjut KNF ini.15,21 Pemeriksaan serologi. Pemeriksaan serologi IgA anti EA (early antigen) dan igA anti VCA (capsid antigen) untuk infeksi virus E-B telah menunjukan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma
nasofaring. Tjokro Setiyo dari FK UI Jakarta mendapatkan dari 41 pasien karsinoma nasofaring stadium lanjut (stadium III dan IV) senstivitas IgA VCA adalah 97,5% dan spesifitas 91,8% dengan titer berkisar antara 10 sampai 1280 dengan terbanyak titer 160. IgA anti EA sensitivitasnya 100% tetapi spesifitasnya
hanya 30,0%, sehingga
pemeriksaan ini hanya digunakan untuk menetukan prognosis pengobatan, titer yang 2.7
didpat berkisar antara 80 sampai 1280 dan terbanyak 160. 15,21 DIAGNOSIS BANDING 1.
Hiperplasia adenoid Biasanya terdapat pada anak-anak, jarang pada orang dewasa, pada anak-anak
hyperplasia ini terjadi karena infeksi berulang. Pada foto polos akan terlihat suatu massa jaringan lunak pada atap nasofaring umumnya berbatas tegas dan umumnya simetris serta struktur-struktur sekitarnya tak tampak tanda- tanda infiltrasi seperti tampak pada karsinoma. 13,15 2. Angiofibroma juvenilis Biasanya ditemui pada usia relatif muda dengan gejala-gejala menyerupai KNF. Tumor ini kaya akan pembuluh darah dan biasnya tidak infiltrative. Pada foto polos akan didapat suatu massa pada atap nasofaring yang berbatas tegas. Proses dapat meluas seperrti pada penyebaran karsinoma, walaupun jarang menimbulkan destruksi tulang hanya erosi saja karena penekanan tumor. Biasanya ada pelengkungan ke arah depan dari dinding belakang sinus maksilarisyang dikenal sebagai antral sign. Karena tumor ini kaya akan vaskular maka arteriografi karotis eksterna sangat diperlukan sebab gambaranya sangat karakteristik. Kadang-kadang sulit pula membedakan angiofibroma juvenils dengan polip hidung pada foto polos.15,19 3. Tumor sinus sphenooidalis Tumor ganas primer sinus sphenoidalis adalah sangat jarang dan biasanya tumor sudah sampai stadium agak lanjut waktu pasien dating untuk pemeriksaan pertama.14,18,19 4.
Neurofibroma Kelompok tumor ini sering timbul pada ruang faring lateral sehingga menyerupai
keganasan dinding lateral nasofaring. Secara C.T. Scan, pendesakan ruang para faring ke arah medial dapat membantu mebedakan kelompok tumor ini dengan KNF.15,20 5. Tumor kelenjar parotis Tumor kelenjar parotis terutama yang berasal dari lobus yang terletak agak dalam mengenai ruang parafaring dan menonjol ke arah lumen nasofaring. Pada sebagian besar
kasus terlihat pendesakan ruang parafaring ke arah medial yang tampak pada pemeriksaan C.T.Scan.13,15,16,20 6. Chordoma Walaupun tanda utama chordoma adalah destruksi tulang, tetapi mengingat KNF pun sering menimbulkan destruksi tulang, maka sering timbul kesulitan untuk membedakannya. Dengan foto polos, dapat dilihat kalsifikasi atau destruksi terutama di daerah clivus. CT dapat membantu melihat apakah ada pembesaran kelenjar cervikal bagian atas karena chordoma umumnya tidak memperlihatkan kelainan pada kelenjar tersebut sedangkan KNF sering bermetastasis ke kelenjar getah bening.13,15,20 7.
Meningioma basis kranii Walaupun tumor ini agak jarang tetapi gambarannya kadang-kadang meyerupai
KNF dengan tanda-tanda sklerotik pada daerah basis kranii. Ganbaran CT meningioma cukup karakteristik yaitu sedikit hiperdense sebelum penyuntikan zat kontras dan akan menjadi sangat hiperdense setelah pemberian zat kontras intravena. Pemeriksaan 2.8
arteiografi juga sangat membantu diagnosis tumor ini.13,15,20 STADIUM Penentuan stadium yang terbaru berdasarkan atas kesepakatan antara UICC (Union
Internationale Contre Cancer) pada tahun 1992 adalah sebagai berikut : T = Tumor, menggambarkan keadaan tumor primer, besar dan perluasannya. T0 : Tidak tampak tumor T1 : Tumor terbatas pada 1 lokasi di nasofaring T2 : Tumor meluas lebih dari 1 lokasi, tetapi masih di dalam rongga nasofaring T3 : Tumor meluas ke kavum nasi dan / atau orofaring T4 : Tumor meluas ke tengkorak dan / sudah mengenai saraf otak N = Nodul, menggambarkan keadaan kelenjar limfe regional N0 : Tidak ada pembesaran kelenjar N1 : Terdapat pembesaran kelenjar homolateral yang masih dapat digerakkan N2 : Terdapat pembesaran kelenjar kontralateral / bilateral yang masih dapat digerakkan N3 :Terdapat pembesaran kelenjar baik homolateral, kontralateral atau bilateral, yang sudah melekat pada jaringan sekitar.
M = Metastase, menggambarkan metastase jauh M0 : Tidak ada metastase jauh M1 : Terdapat metastase jauh.2,3,9-13 Berdasarkan TNM tersebut di atas, stadium penyakit dapat ditentukan : Stadium I
: T1 N0 M0
Stadium II
: T2 N0 M0
Stadium III
: T3 N0 M0 T1,T2,T3 N1 M0
Stadium IV
: T4 N0,N1 M0 Tiap T, N2,N3 M0 Tiap T, Tiap N, M1
Menurut American Joint Committee Cancer tahun 1988, tumor staging dari nasofaring diklasifikasikan sebagai berikut : Tis
: Carcinoma in situ
T1
: Tumor yang terdapat pada satu sisi dari nasofaring atau tumor yang tak dapat dilihat, tetapi hanya dapat diketahui dari hasil biopsi.
T2
: Tumor yang menyerang dua tempat, yaitu dinding postero-superior dan dindinglateral.
T3
: Perluasan tumor sampai ke dalam rongga hidung atau orofaring.
T4
: Tumor yang menjalar ke tengkorak kepala atau menyerang saraf cranial (atau keduanya).12,13,14,16
2.9 PROGNOSIS Ditemukan bahwa karsinoma nasofaring tipe 1 (karsinoma sel skuamosa) memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan dengan karsinoma nasofaring tipe 2 dan 3. Hal ini terjadi karena pada karsinoma nasofaring tipe 1, mestastasis lebih mudah terjadi. Secara keseluruhan, angka bertahan hidup 5 tahun adalah 45 %. Prognosis diperburuk oleh beberapa faktor, seperti :
Stadium yang lebih lanjut.
Usia lebih dari 40 tahun
Laki-laki dari pada perempuan
Ras Cina dari pada ras kulit putih
Adanya pembesaran kelenjar leher
Adanya kelumpuhan saraf otak adanya kerusakan tulang tengkorak
Adanya metastasis jauh13,17
2.10
KOMPLIKASI Metastasis ke kelenjar limfa dan jaringan sekitar merupakan suatu komplikasi yang selalu
terjadi. Pada KNF, sering kali terjadi komplikasi ke arah nervus kranialis yang bermanifestasi dalam bentuk : 1. Petrosphenoid sindrom Tumor tumbuh ke atas ke dasar tengkorak lewat foramen laserum sampai sinus kavernosus menekan saraf N. III, N. IV, N.VI juga menekan N.II. yang memberikan kelainan :
Neuralgia trigeminus ( N. V ) : Trigeminal neuralgia merupakan suatu nyeri pada wajah sesisi yang ditandai dengan rasa seperti terkena aliran listrik yang terbatas pada daerah distribusi dari nervus trigeminus.
Ptosis palpebra ( N. III )
Ophthalmoplegia ( N. III, N. IV, N. VI )20
2. Retroparidean sindrom Tumor tumbuh ke depan kearah rongga hidung kemudian dapat menginfiltrasi ke sekitarnya. Tumor ke samping dan belakang menuju ke arah daerah parapharing dan retropharing dimana ada kelenjar getah bening. Tumor ini menekan saraf N. IX, N. X, N. XI, N. XII dengan manifestasi gejala :
N. IX : kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor superior serta gangguan pengecapan pada sepertiga belakang lidah
N. X : hiper / hipoanestesi mukosa palatum mole, faring dan laring disertai gangguan respirasi dan saliva
N XI : kelumpuhan / atrofi oto trapezius , otot SCM serta hemiparese palatum mole
N. XII : hemiparalisis dan atrofi sebelah lidah.
Sindrom horner : kelumpuhan N. simpaticus servicalis, berupa penyempitan fisura palpebralis, onoftalmus dan miosis.20
3. Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening atau darah, mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering adalah tulang, hati dan paru. Hal ini merupakan hasil akhir dan prognosis yang buruk. Dalam penelitian lain ditemukan bahwa karsinoma nasofaring dapat mengadakan metastase jauh, ke paru-paru dan tulang, masing-masing 20 %, sedangkan ke hati 10 %, otak 4 %, ginjal 0.4 %, dan tiroid 0.4 %. 11,12,17
2.11
PENATALAKSANAAN
2.11.1
Radioterapi Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam penatalaksanaan
karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama untuk karsinoma nasofaring adalah radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi. Sampai saat ini pengobatan pilihan terhadap tumor ganas nasofaring adalah radiasi, karena kebanyakan tumor ini tipe anaplastik yang bersifat radiosensitif. Radioterapi dilakukan dengan radiasi eksterna, dapat menggunakan pesawat kobal (Co60 ) atau dengan akselerator linier ( linier Accelerator atau linac). Radiasi pada jaringan dapat menimbulkan ionisasi air dan elektrolit dari cairan tubuh baik intra maupun ekstra seluler, sehingga timbul ion H+ dan OHyang sangat reaktif. Ion itu dapat bereaksi dengan molekul DNA dalam kromosom, sehingga dapat terjadi : 1. Rantai ganda DNA pecah 2. Perubahan cross-linkage dalam rantai DNA
3. Perubahan base yang menyebabkan degenerasi atau kematian sel. 2.11.2 Kemoterapi Indikasi Kemoterapi Terapi adjuvan tidak dapat diberikan begitu saja tetapi memiliki indikasi yaitu bila setelah mendapat terapi utamanya yang maksimal ternyata : -
kankernya masih ada, dimana biopsi masih positif
-
kemungkinan besar kankernya masih ada, meskipun tidak ada bukti secara makroskopis.
-
pada tumor dengan derajat keganasan tinggi ( oleh karena tingginya resiko kekambuhan dan metastasis jauh). 16,19,24
Kemoterapi berdasarkan waktu pemberiannya Berdasarkan saat pemberiannya kemoterapi adjuvan pada tumor ganas kepala leher dibagi menjadi 1. neoadjuvant atau induction chemotherapy (yaitu pemberian kemoterapi mendahului pembedahan dan radiasi) 2. concurrent, simultaneous atau concomitant chemoradiotherapy (diberikan bersamaan dengan penyinaran atau operasi) 3. post definitive chemotherapy (sebagai terapi tambahan paska pembedahan dan atau radiasi )15,17,24 2.11.3 Operasi Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher radikal dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa kelenjar pasca radiasi atau adanya kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik dan serologi. Nasofaringektomi merupakan suatu operasi paliatif yang dilakukan pada kasus-kasus yang kambuh atau adanya residu pada nasofaring yang tidak berhasil diterapi dengan cara lain.
2.11.4
Imunoterapi
Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring adalah virus Epstein-Barr, maka pada penderita karsinoma nasofaring dapat diberikan imunoterapi, yaitu dengan mengambil sampel darah tepi dari penderita, yang kemudian melalui suatu proses imunohistokimia, dibuat suatu vaksin yang kemudian diinjeksikan kembali ke tubuh pasien di mana diharapkan melalui injeksi vaksin tersebut, tubuh akan memberikan reaksi imunitas baru terhadap EBV. Namun teknik ini masih dalam penelitian sehingga belum dapat digunakan dalam terapi kanker nasofaring. 2.12
PENCEGAHAN Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak makanan untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya.
Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan sosial ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan faktor penyebab.
Melakukan tes serologik IgA anti VCA dan IgA anti EA secara massal di masa yang akan datang bermanfaat dalam menemukan karsinoma nasofaring secara lebih dini.
BAB III LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN Nama pasien
: An. FA
Tanggal lahir
: 01-02-2006
Umur
: 12 tahun
Jenis kelamin
: Laki-laki
Alamat
: Prenggabaya, Lombok Timur
Tanggal Pemeriksaan
: 10 September 2018
ANAMNESIS
Keluhan utama: Benjolan di leher kiri
Riwayat penyakit sekarang: Pasien datang ke poliklinik THT RSU Provinsi NTB untuk melakukan kemoterapi yang ke 9. Sebelum pasien rutin melakukan kemoterapi, pasien mengeluhkan terdapat benjolan yang keras di leher di bawah telinga kiri, muncul sejak tahun 2016. Benjolan dirasakan terus membesar. Pasien juga mengeluh sulit untuk membuka mulut dan lidah tidak dapat dikeluarkan, lubang hidung kiri tersumbat (+), ada ingus keluar dari lubang hidung kiri, putih bening kental, tidak berbau, nyeri kepala (+) pada kedua sisi kepala hingga saat ini. Semua keluhan tersebut dirasakan sejak ± 1 tahun lalu. Keluhan lainnya yang di keluhkan oleh orang tua pasien adanya mual ,muntah sebanyak >3 kali dalam 1 hari bersifat encer dan semua sisa makanan keluar , di sertai BAB warna kuning kehitaman. Pasien mengeluhkan sering mengalami sakit pada tenggorokan dan riwayat sering demam. Pasien tidak merasakan adanya penurunan pendengaran.
Riwayat penyakit dahulu: Pasien menderita penyakit karsinoma nasofaring sejak pertengahan tahun 2017 dan rutin
melakukan kemoterapi setiap 2 minggu sekali. Riwayat penyakit keluarga/sosial: - Terdapat riwayat penyakit keganasan pada tenggorokan di keluarga pasien. - Riwayat penyakit hipertensi maupun kencing manis tidak diketahui. Riwayat pengobatan:
Pasien melakukan biopsi pada pertengahan bulan tahun 2017 (pasien tidak ingat mengenai bulan tepatnya) di RSUD Provinsi NTB, dimana hasil histopatologi menunjukkan kondisi keganasan dan setelah rutin melakukan kemoterapi setiap 2 minggu sekali di RSUD Provinsi NTB sampai saat ini. Saat ini pasien sudah melakukan kemoterapi sebanyak 8 kali.
Riwayat alergi: Dikatakan pasien tidak memiliki alergi obat maupun makanan.
PEMERIKSAAN FISIK Status Generalis
Keadaan umum Kesadaran Tanda vital Tensi Nadi Respirasi Suhu
: Baik : Compos mentis : : 110/80 mmHg : 82 x/menit : 18 x/menit : 37,2⁰C
Status Lokalis Pemeriksaan telinga No. 1. 2.
Pemeriksaan Telinga Tragus Daun telinga
Telinga kanan
Telinga kiri
Nyeri tekan (-), edema (-) Nyeri tekan (-), edema (-) Bentuk dan ukuran dalam batas Bentuk dan ukuran dalam batas normal, hematoma (-), nyeri normal, hematoma (-), nyeri tarik aurikula (-)
tarik aurikula (-)
3.
Liang telinga
Serumen (-), hiperemis (-), Serumen (-), hiperemis (-), furunkel (-), edema (-), otorhea furunkel (-), edema (-), otorhea (-)
4.
Membran timpani
(-)
Retraksi
(-),
bulging
(-), Retraksi
hiperemi
(-),
edema
(-), hiperemi
perforasi (-), cone of light (+)
Pemeriksaan hidung
(-), (-),
bulging
(-),
edema
(-),
perforasi (-), cone of light (+)
Pemeriksaan Hidung Hidung kiri Hidung luar Bentuk (normal), hiperemi (-),
Hidung kanan Bentuk (normal), hiperemi (-),
nyeri tekan (-), deformitas (-)
nyeri tekan (-), deformitas (-)
Rinoskopi anterior Vestibulum nasi Cavum nasi
Normal, ulkus (-) Bentuk (normal), mukosa pucat
Normal, ulkus (-) Bentuk (normal), mukosa pucat
Meatus nasi media
(-), hiperemia (-) Mukosa hiperemis, sekret (-),
(-), hiperemia (-) Mukosa hiperemis, sekret (-),
bening ketal), massa berwarna
massa berwara putih mengkilat
Konka nasi inferior Septum nasi
putih mengkilat (-). (-). Edema (-), mukosa hiperemi (+) Edema (-), mukosa hiperemi (-) Deviasi (-), perdarahan (-), ulkus Deviasi (-), perdarahan (-), ulkus (-)
(-)
Pemeriksaan Tenggorokan Bibir
Mukosa bibir basah, berwarna merah muda (N)
Mulut
Mukosa mulut basah berwarna merah muda
Geligi
Gigi geligi lengkap, karies (-), berlubang (-)
Uvula
Uvula berada di tengah, parese n.hipoglosus (-)
Palatum mole
Hiperemis (-)
Faring
Hiperemis (+)
Tonsila palatine
Pembesaran tonsil (-), kripta tidak melebar
Fossa Tonsillaris dan Hiperemis (-) Arkus Faringeus
Pemeriksaan mata: Gerak bola mata baik ke segala arah ODS Konfergensi ODS baik Tidak terdapat diplopia binokuler pada gerak bola mata ke seluruh arah atau saat konfergensi
Pemeriksaan leher Massa (-) Keterbatasan gerak leher: -
DIAGNOSIS Karsinoma Nasofaring Rekuren Progresif Respon DIAGNOSIS BANDING Limfoma PEMERIKSAAN PENUNJANG -
CT-Scan
-
Biopsi nasofaring
-
Metastasis jauh:
Tes fungsi hepar dan ginjal
Foto thoraks
USG hepar
Hasil CT Scan kepala pada tanggal 20 September 2018
Interpretasi hasil CT-Scan:
Tampak massa nasofaring dextra dan sinistra uran ukuran ±7x3,5 cm
Tampak pembesaran KGB leher kanan atas ukuran 1,5 x 1 cm, kiri atas 2 x 1,5 cm
Intracranial tak tampak kelainan
Kesan: Ca Nasofaring T3 N2 Mx Hasil Histopatologi tanggal 15 Agustus 2017 Kesan : Undifferntiatred Carcinoma
RENCANA TERAPI (sementara/simtomatik) Medikamentosa Kemoterapi
Protokol Paclitaxel -
Hidrasi NaCl 0,9%, 1500 cc selama 3 jam
-
Hidrasi NaCl 0,9% 500 cc selama 30 menit
-
Premedikasi: Inj. Dexamethasone 5mg IV 1 ampul Inj. Ranitidin 50mg IV 1 ampul Inj. Ondansentron 8 mg IV 1 ampul Inj. Furosemide 20 mg IV 1 ampul
-
Infus paclitaxel 166 mg dalam NaCl 0,9% 500 ml
Protokol Cisplatin -
Infus Cisplatin 76 mg dalam NaCl 0,9% 500 cc + MgSO4 20%
-
Rehidrasi NaCl 0,9% 500 cc selama 30 menit
-
Maintanance D5% 500 cc selama 30 menit Inj Ranitidin 50mg IV 2 ampul Inj Ondansentron 8 mg IV 2 ampul Inj Furosemid 20 mg 2 ampul
BAB IV
PEMBAHASAN Pasien dalam kasus ini merupakan seorang anak laki-laki berusia 12 tahun, kejadian KNF pada anak memang lebih jarang didapatkan, namun mayoritas pasien KNF adalah anak laki-laki dengan perbandingan laki-laki dan perempuan 10:3, dengan median usia pada anak-anak adalah 13 tahun. Angka kejadian karsinoma nasofaring pada anak bervariasi dan dipengaruhi oleh faktor geografis dan latar belakang etnis. Studi epidemiologi menduga KNF terkait dengan faktor lingkungan dan kerentanan genetik. Selain itu, faktor lingkungan yang dikaitkan dengan konsumsi ikan asin (mengandung nitrosamin) sejak usia dini juga meningkatkan risiko terjadinya KNF. Virus Epstein-Barr (EBV) telah lama diketahui sebagai penyebab pada beberapa kegansan termasuk KNF. Titer antibodi immunoglobulin G dan A (IgG dan IgA) tinggi terhadap antigen kapsid viral banyak ditemukan pada pasien KNF. Ketiga faktor tersebut yaitu genetik, lingkungan dan infeksi berperan penting dalam perkembangan KNF, namun terkait ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Terdapat beberapa perbedaan KNF pada anak dengan orang dewasa, walaupun tata laksana tidak berbeda. Pada orang dewasa, gambaran histopatologi lebih sering adalah tipe I, dan dikaitkan dengan pajanan terhadap tembakau/rokok dan faktor lingkungan yang lain. Pada anak lebih sering ditemukan gambaran histopatologi tipe III, berhubungan dengan infeksi EpsteinBarr virus, dan predisposisi genetic. Pada kasus ini, kemungkinan pasien mengalami KNF yang kemungkinan diakibatkan oleh infeksi EBV, dimana pasien dikeluhkan memiliki riwayat sakit tenggorokan, demam, dan ada pembesaran kelenjar getah bening. Disamping itu peranan dari factor genetic, karena terdapat keluarga pasien yang memiliki riwayat penyakit keganasan pada tenggorokan. Dari segi manifestasi klinis, anak dengan KNF sebagian besar datang dengan keluhan masa di leher yang tidak nyeri. Gejala klinis pada orang dewasa berbeda dengan anak, kira-kira sepertiga pasien datang dengan massa di leher yang tidak nyeri, sepertiga lainnya dengan gangguan pendengaran dan 20% dengan kelumpuhan saraf kranial (nervus V dan VII). Pasien KNF anak umumnya datang dalam keadaan lanjut (stadium III atau IV), namun jarang ditemukan metastasis jauh. Pemberian kemoterapi dengan radioterapi pada pasien KNF anak memiliki keistimewaan tersendiri karena angka kejadian gambaran histopatologi WHO tipe III (karsinoma tidak
berdiferensiasi) lebih responsif terhadap radiasi dan kemoterapi. Pada pasien ini telah dilakukan kemoterapi sebanyak 8 kali yang kemungkinan diakibatkan oleh karena tetap bertumbuhnya massa meskipun telah dilakukan kemoterapi (rekuren).
DAFTAR PUSTAKA
1. Novie A.C., Cempako G., Windiastuti E. 2011. Karsinoma Nasofaring pada Anak : Karakteristik, Tatalaksana, dan Prognosis. Vol. 13, No. 1. Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia RS Cipto Mangunkusumo: Jakarta 2. Faiza S., Rahman S., Asri. Karakteristik Klinis dan Patologis Karsinoma Nasofaring di Bagian THT-KL RSUP Dr.M.Djamil Padang. Vol. 5, No. 1. Jurnal Keseharan Andalas. 3. Averdi Roezin, Aninda Syafril. Karsinoma Nasofaring. Dalam: Efiaty A. Soepardi (ed). Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi kelima. Jakarta : FK UI, 2001. h. 146-50. 4. Harry a. Asroel. Penatalaksanaan radioterapi pada karsinoma nasofaring. Referat. Medan: FK USU,2002.h. 1-11. 5. Hasibuan R, A. H. pharingologi. Jakarta: Samatra Media Utama, 2004.h. 70-81. 6. Kartikawati,
Henny.
Penatalaksanaan
karsinoma
nasofaring
menuju
terapi
kombinasi/kemoradioterapi. 7. Lu Jiade J, Cooper Jay S, M Lee Anne WM. The epidemiologi of Nasopharigeal Carcinoma In : Nasopharyngeal Cancer. Berlin : Springer,2010. p. 1-9. 8. Susworo, Makes D. Karsinoma nasofaring aspek radiodiagnostik dan radioterapi. Jakarta: FK UI, 1987.h. 69-82. 9. Susworo, R.
Kanker nasofaring : epidemiologi dan pengobatan mutakhir. Tinjauan
pustaka artikel. Dalam: Cermin Dunia Kedokteran. No. 144, 2004.h. 16-18. 10. Ahmad, A.. 2002. Diagnosis dan Tindakan Operatif pada Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring dan Pengobatan Suportif. Jakarta: FKUI. Hal. 1-13. 11. Arif Mansjoer, et al.. 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Ed.III. Jilid 1. Jakarta: Media Aesculapius FKUI. Hal. 371-396 12. Averdi Roezin, Aninda Syafril. 2001. Karsinoma Nasofaring. Dalam: Efiaty A. Soepardi (Ed.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok. Edisi kelima. Jakarta: FKUI. Hal.146-50. 13. Ballenger J. Jacob.. 1994. Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. ed.13. Jilid 1. Jakarta: Binarupa Aksara. Hal. 371-396 14. Cottrill, C.P., Nutting, C.M.. 2003. Tumours of The Nasopharynx. Dalam: Evans P.H.R., Montgomery P.Q., Gullane P.J. (Ed.). Principles and Practice of Head and Neck Oncology. United Kingdom: Martin-Dunitz. Hal. 473-81. 15. Kurniawan A. N.. 1994. Nasopharynx dan Pharynx. Kumpulan kuliah Patologi. Jakarta: FKUI. Hal.151-152
16. McDermott, A.L., Dutt, S.N., Watkinson, J.C.. 2001. The Aetiology of Nasopharyngeal Carcinoma. Clinical Otolaryngology. 26th Edition. Hal. 89-92. 17. Mansjoer Arif, Dkk, KAPITA SELEKTA KEDOKTERAN, 110-111, Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001, Jakarta 18. http://en.wikipedia.org/wiki/Epstein-Barr_virus" 19. http://www.pdgionline.com/web/index.php? option=content&task=view&id=600&Itemid=0&limit=1&limitstart=1 20. 11. T.Yohanita, Ramsi Lutan. Pengobatan karsinoma nasofaring dengan radioterapi. Laporan kasus. Dalam : Majalah Kedokteran Nusantara. Vol.XXVI No.1. Medan: FK USU, 1996. h. 15-20. 21. Abdul Rasyid. Karsinoma nasofaring : penatalaksanaan radioterapi. Tinjauan pustaka. Dalam : Majalah Kedokteran Nusantara. Vol. XXXIII No.1. Medan : FK USU, 2000. h. 52-8. 22. Muhammad Yunus, Ramsi Lutan. Efek samping radioterapi pada pengobatan karsinoma nasofaring. Referat. Medan : FK USU, 2000.h. 1-16. 23. I Dewa Gede Sukardja. Onkologi klinik. Surabaya : FK Unair, 1996.h. 179-87. 24. Adlin Adnan. Beberapa aspek karsinoma nasofaring di bagian THT FK USU/RSUP. H.Adam Malik. Skripsi.Medan : FK USU, 1996.h. 52. 25. Ho JHC. Staging and radiotherapy of nasopharyngeal carcinoma. In : Cancer in Asia Pacific. Vol.1. Hong Kong, 1998.p. 487-93