Cover Jurnal Gastro.docx

  • Uploaded by: loraine
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Cover Jurnal Gastro.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,060
  • Pages: 26
Tugas Yunior Stase Gastroenterohepatologi

Journal Reading “Low Childhood Cholesterol Absorption Predisposes to Gallstone Disease: The Cardiovascular Risk in Young Finns Study” Markku J. Nissinen, Piia Simonen, Helena Gylling, Jorma Viikari, et al Journal of Pediatric Gastroenterology and Nutrition, 2017

Oleh : Loraine Harinda

Pembimbing : dr. Budi Santosa, Sp.A(K) dr. Ninung Rose DK, M.Si.Med, Sp.A(K) dr. Juwita Pratiwi, Sp.A

PPDS I DEPARTEMAN ILMU KESEHATAN ANAK FK UNDIP SMF KESEHATAN ANAK SEMARANG 2019

1

PENDAHULUAN Vertigo adalah keluhan yang tidak biasa pada anak-anak dan remaja. Survei pada populasi dewasa menyebutkan prevalensi satu tahun 23% untuk pusing yang tidak spesifik dan 5% untuk vertigo vestibular. Sebagai perbandingan, temuan dari semua koding ICD-9 terkait dengan gangguan vestibular dan keseimbangan pada lebih dari 560.000 temuan pasien anak yang berbeda selama periode 4 tahun mengungkapkan prevalensi hanya 0,4% untuk pusing yang tidak spesifik, 0,03% untuk perifer, dan 0,02% untuk vestibulopati sentral.1 Vertigo adalah suatu istilah yang berasal dari bahasa Latin “vetere” yang berarti memutar. Secara umum, vertigo dikenal sebagai ilusi bergerak atau halusinasi gerakan. Derajat ringan sampai yang paling ringan dari vertigo disebut dizziness dan giddiness. Vertigo ditemukan dalam bentuk keluhan berupa rasa berputar-putar, atau rasa bergerak dari lingkungan sekitar (vertigo sirkuler) atau rasa didorong atau diarik menjauhi bidang vertikal (vertigo linier). Vertigo merupakan suatu kumpulan gejala yang terjadi akibat gangguan keseimbangan pada sistem vestibular ataupun gangguan pada alat keseimbangan tubuh yang terdiri dari reseptor pada visual (retina), vestibulum (kanalis semisirkularis) dan proprioseptik (tendon, sendi, sensibilitas dalam).2 Petunjuk paling penting untuk menegakkan diagnosis vertigo diperoleh melalui riwayat klinis yang cermat dan berkaitan. Namun pada pasien anak kerap mengalami kesulitan mengutarakan keluhan karena terhambat masalah kurangnya kemampuan komunikasi, kosa kata yang menyempit, dan distraksi. Kesulitan-kesulitan ini kadang-kadang menyebabkan kesan yang keliru bahwa gejala yang muncul adalah sekunder dari kurangnya koordinasi atau masalah perilaku. Karena keterbatasan ini, pemeriksaan fisik yang teliti dan pemeriksaan laboratorium menjadi batu loncatan penting menyimpulkan diagnosis yang benar. Disamping itu, kepatuhan pasien anak-anak juga mungkin terbatas dalam pemeriksaan otoneurologis lengkap. Sebagian besar anak memiliki kemampuan dibandingkan orang dewasa untuk mengimbangi defisit vestibular statis. Gangguan vestibular yang sering mengakibatkan disekuilibrium dan pembatasan aktivitas harian yang cukup pada orang dewasa sering tidak menunjukkan bukti untuk gejala tersebut pada pasien anak.2,3

2

VERTIGO PADA ANAK

I.

ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI

II. ANATOMI DAN FISIOLOGI Organ yang berperan dalam pendengaran dan keseimbangan adalah telinga. Telinga terdiri dari telinga luar, telinga tengah, dan telinga dalam.Telinga dalam dibatasi oleh tulang temporal (pars petrosa). Telinga dalam terdiri dari koklea dan aparatus vestibularis yang memiliki dua fungsi sensorik yang berbeda. Koklea berfungsi sebagai sistem pendengaran karena mengandung reseptor untuk mengubah suara yang masuk menjadi impuls saraf sehingga dapat didengar. Aparatus vestibularis berfungsi sebagai sistem keseimbangan yang terdiri dari tiga buah canalis semisirkularis, dan organ otolit yaitu sacculus dan utriculus.4

Gambar 1. Telinga Dalam 3

Fungsi keseimbangan diatur oleh beberapa organ penting di tubuh yang input sensoriknya akan diolah di susunan saraf pusat (SSP). Fungsi ini diperantarai beberapa reseptor, yaitu: - Reseptor vestibular - Reseptor visual - Reseptor somatik Reseptor vestibular Reseptor vestibular sebagai pengatur keseimbangan diatur oleh organ aparatus vestibularis (labirin) yang berada di telinga dalam. Labirin ini terlindung oleh tulang yang paling keras. Labirin terbagi menjadi 2 bagian, yaitu labirin tulang dan labirin membran. Di antara labirin tulang dan labirin membran ini terdapat suatu cairan yang disebut perilimfa sedangkan di dalam labirin membran terdapat cairan yang disebut endolimfa.

Gambar 2. Potongan melintang koklea Labirin Labirin berfungsi untuk menjaga keseimbangan, mendeteksi perubahan posisi, dan gerakan kepala. Di dalam aparatus vestibularis selain mengandung endolimfa dan perilimfa juga mengandung sel rambut yang dapat mengalami depolarisasi dan hiperpolarisasi tergantung arah gerakan cairan. Labirin terdiri dari : 

Labirin kinetik : Tiga kanalis semisirkularis



Labirin statis :Organ otolit (sakulus dan utrikulus) yang terdapat sel-sel reseptor keseimbangan pada tiap pelebarannya.

4

Gambar 3. Labirin tulang dan membran Kanalis semisirkularis Kanalis semisirkularis berorientasi pada tiga bidang dalam ruang. Pada tiap ujungnya melebar dan berhubungan dengan urtikulus, yang disebut ampula. Di dalam ampula terdapat reseptor krista ampularis yang terdiri dari sel-sel rambut sebagai reseptor keseimbangan dan sel sustentakularis yang dilapisi oleh suatu substansi gelatin yang disebut kupula sebagai penutup ampula. Sel-sel rambut terbenam dalam kupula dan dasarnya membentuk sinap dengan ujung terminal saraf afferen yang aksonnya membentuk nervus vestibularis. Nervus vestibularis bersatu dengan nervus auditorius membentuk nervus vestibulocochlear.5 Kanalis semisirkularis berfungsi untuk mendeteksi akselerasi atau deselarasi rotasi kepala seperti ketika memulai atau berhenti berputar, berjungkir, balik atau memutar kepala. Akselerasi dan deselarasi menyebabkan sel rambut yang terbenam di dalam cairan endolimfa bergerak. Pada awal pergerakan, endolimfa tertinggal dan kupula miring ke arah berlawanan dengan gerakan kepala sehingga sel-sel rambut menekuk. Ketika stereosilia (rambut dari sel-sel rambut) menekuk ke arah kinosilium (rambut dari sel-sel rambut), maka terjadi depolarisasi yang memicu pelepasan neurotransmitter dari sel-sel rambut menuju ke saraf afferent. Dan sebaliknya jika menekuk ke arah berlawanan akan terjadi hiperpolarisasi. Ketika pergerakan perlahan berhenti, sel-sel rambut akan kembali lurus dan kanalis semisirkularis mendeteksi perubahan gerakan kepala. 5

Organ otolit Organ otolit (makula atau otokonia) terdapat dalam labirin membran di lantai utrikulus dan semivertikal di dinding sakulus. Makula juga mengandung sel sustentakularis dan sel rambut. Bagian atasnya ditutupi oleh membran otolit dan di dalamnya terbenam kristal-kristal kalsium karbonat (otolit-batu telinga). Lapisan ini lebih berat dan insersi lebih besar dari cairan di sekitarnya. Serat-serat saraf dari sel rambut bergabung dengan serat-serat dari krista di bagian vestibuler dari nervus vestibulokoklearis. Fungsi organ otolit adalah memberikan informasi mengenai posisi kepala relatif terhadap gravitasi dan juga mendeteksi perubahan dalam kecepatan gerakan linier (bergerak garis lurus tanpa memandang arah). Utrikulus berfungsi pada pergerakan vertikal dan horizontal. Ketika kepala miring ke arah selain vertikal, rambut akan menekuk sesuai kemiringan karena gaya gravitasi dan akan mengalami depolarisasi atau hiperpolarisasi sesuai kemiringannya. Contoh pergerakan horizontal adalah saat berjalan. Pada posisi ini insersinya menjadi lebih besar dan menyebabkan membran otolit tertinggal di belakang endolimfa dan sel rambut, sehingga menyebabkan rambut tertekuk ke belakang. Jika pergerakan ini dilakukan secara konstan maka lapisan gelatinosa akan kembali ke posisi semula. Sakulus fungsinya hampir sama dengan utrikulus namun berespon secara selektif terhadap kemiringan kepala menjauhi posisi horizontal, misalnya: bangun dari tempat tidur, lompat atau naik eskalator. Krista dan makula dipersarafi oleh nervus vestibularis yang badan selnya terletak di ganglion vestibularis. Serat saraf kanalis semisirkularis berada pada bagian superior dan medial nukleus vestibularis dan sebagian mengatur pergerakan bola mata. Serat dari utrikulus dan sakulus berakhir di nukleus descendens menuju ke serebelum dan formasio retikularis. Nervus vestibularis juga menuju ke talamus dan korteks somatosensorik.4,5 III. NEUROFISIOLOGI ALAT KESEIMBANGAN TUBUH Perjalanan impuls yang berkaitan dengan fungsi alat keseimbangan tubuh melewai tahapan-tahapan sebagai berikut 5: 1. Tahap Transduksi Rangsangan gerakan diubah oleh reseptor vestibuler, reseptor visus, dan respetor proprioseptik menjadi impuls saraf. Mekanisme transduksi ini berlangsung ketika rangsangan gerakan membangkitkan gelombang pada endolimfe yang mengandung ion 6

kalium (K). Gelombang endolimfe akan menekuk sel rambut (stereosilia) yang kemudian membuka/menutup kanal ion K. Bila tekukan stereosilia mengarah ke kinocilia (rambut sel terbesar) maka akan timbul influks ion K dari endolimfe ke dalam hairy cell. Influks ion kalsium (Ca) bersama potensial aksi merangsang pelepasan neurotransmitter ke celah sinaps untuk menghantarkan impuls ke neuron berikutnya yaitu saraf aferen vestibularis selanjutnya menuju ke pusat alat keseimbangan tubuh 2. Tahap Transmisi Impuls yang dikirim dari hairy cell akan dihantarkan oleh saraf aferen vestibularis menuju ke otak dengan neurotransmitter glutamat. 3. Tahap Modulasi Modulasi dilakukan oleh beberapa struktur di otak yang merupakan pusat alat kesehatan tubuh, antara lain 

Inti vestibularis



Vestibulo-serebelum



Inti okulomotorius



Hipotalamus



Formatio retikularis



Korteks prefrontal dan limbik

4. Tahap Persepsi

IV. PATOFISIOLOGI Vertigo disebabkan oleh gangguan sistem vestibularis yang mengakibatkan ketidakcocokan antara posisi tubuh yang sebenarnya dengan apa yang dipersepsikan oleh susunan saraf pusat. Jika ada kelainan pada lintasan informasi dari indera keseimbangan yang dikirim ke sistem saraf pusat atau kelainan pada pusat keseimbangan, maka proses adaptasi yang normal tidak akan terjadi tapi akan menimbulkan reaksi alarm. Keadaan ini berhubungan dengan serat-serat di formasio retikularis batang otak yang berhubungan dengan aktivitas sitem kolinergik dan adrenergik. Peningkatan reaksi alarm ini sesuai dengan peningkatan aktivitas kolinergik dan penurunan reaksi alarm sesuai dengan sistem adrenergik.3,5

7

Terdapat beberapa teori yang menjelaskan tentang terjadinya vertigo, yaitu 5,6: 1. Teori Overstimulation Teori ini didasarkan pada asumsi bahwa rangsangan yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya hiperemi kanalis semisirkularis sehingga terjadi gangguan fungsi, akibatnya akan timbul vertigo. 2. Teori Konflik Sensoris Dalam keadaan normal, informasi untuk alat keseimbangan tubuh ditangkap oleh tiga jenis reseptor, yaitu : reseptor vestibuler, visual, dan propriosepik. Rangsangan mekanis dan cahaya yang diterima reseptor ini diubah menjadi impuls saraf dan dihantarkan melalui saraf aferen yang sesuai menuju ke pusat-pusat alat keseimbagan tubuh yang ada di otak. Impuls ini akan dibandingkan antara impuls kanan dan kiri, yaitu impuls yang berasal dari reseptor visual dengan proprioseptik dan reseptor vestibuler secara timbal balik. Pengelolaan impuls terjadi secara reflektoris melalui proses normal yang menghasilkan penyesuaian antara otot-otot penyangga tubuh dengan otot-otot penggerak bola mata sehingga tubuh dan kepala tetap tegak dan dapat berjalan lurus. Selain itu, objek visual dapat dilihat dengan jelas walaupun sedang berjalan lurus. Selain itu, objek visual dapat dilihat dengan jelas walaupun sedang berjalan cepat atau berlari. Vertigo terjadi akibat ketidakcocokan impuls sensorik yang berasal dari reseptor-reseptor keseimbangan. Ketidakcocokan tersebut menimbulkan kebingungan pada pusat saraf, sehingga timbul respons seperti nistagmus, ataksia, rasa melayang, atau berputar. 3. Teori Neural Mismatch Otak mempunyai memori tentang suatu pola gerakan tertentu, sehingga jika pada suatu saat terjadi gerakan yang tidak sesuai dengan pola gerakan tersebut, maka akan timbul reaksi dari susunan saraf otonom. 4. Teori Neurohormonal Neurotransmitter memiliki peranan penting dalam mempengaruhi sistem saraf otonom yang menimbulkan terjadinya vertigo. 5. Teori Otonomik Jika terjadi perubahan gerakan atau posisi tubuh, maka akan menimbulkan perubahan reaksi sistem saraf otonom. Jika sistem simpatis terlalu dominan, maka akan timbul gejala klinik, namun gejala tersebut hilang jika sistem parasimpatis mulai berperan. 8

6. Teori Sinaps Rangsangan gerakan akan menimbulkan stress, yang memicu sekresi CRF (Corticotropin Releasing Factor). Peningkatan kadar CRF akan mengaktifkan sistem saraf simpatis yang selanjutnya menimbulkan mekanisme adaptasi melalui penginkatan aktivitas sistem saraf parasimpatis. Keadaan tersebut akan menimbulkan gejala penyerta berpa pucat dan berkeringat akibat aktivitas saraf simpatis, yang selanjutnya menjadi gejala mualm muntah, hipersalivasi.

V. GEJALA KLINIS Gejala-gejala vertigo meliputi : pusing, kepala terasa ringan, rasa terapung, terayun, mual, keringat dingin, pucat, muntah, sempoyongan waktu berdiri atau berjalan, nistagmus; serta gejalagejala di atas dapat diperhebat dengan berubahnya posisi kepala.2

Tabel 1. Perbedaan Vertigo Vestibuler Perifer dan Sentral

VI. BENIGN PAROXYSMAL POSITIONAL VERTIGO Benign Paroxysmal Positional Vertigo disebabkan oleh kalsium karbonat yang berasal dari makula pada utrikulus lepas dan bergerak dalam lumen dari salah satu kanal semisirkular. Kalsium karbonat sendiri dua kali lipat lebih padat dibandingkan endolimfe, sehingga bergerak sebagai respon terhadap gravitasi dan pergerakan akseleratif lain. Ketika kalsium karbonat tersebut bergerak dalam kanal semisirkular, akan terjadi pergerakan endolimfe yang menstimulasi ampula pada kanal yang terkena, sehingga menyebabkan vertigo.3,6

9

Patofisiologi BPPV dapat dibagi menjadi dua, yaitu: 1. Kupulolitiasis

Pada tahun 1962, Horald Schuknecht mengemukakan teori ini dimana ditemukan partikel-partikel basofilik yang berisi kalsium karbonat dari fragmen otokonia (otolith) yang terlepas dari makula utrikulus yang berdegenerasi dan menempel pada permukaan kupula. Dia menerangkan bahwa kanalis semiriskularis posterior menjadi sensitif akan gravitasi akibat partikel yang melekat pada kupula. Sama halnya seperti benda berat diletakkan pada puncak tiang, bobot ekstra itu akan menyebabkan tiang sulit untuk tetap stabil, malah cenderung miring. Begitu halnya digambarkan oleh nistagmus dan rasa pusing ketika kepala penderita dijatuhkan ke belakang posisi tergantung (seperti pada tes Dix-Hallpike). Kanalis semi sirkularis posterior berubah posisi dari inferior ke superior, kupula bergerak secara utrikulofugal, dengan demikian timbul nistagmus dan keluhan pusing (vertigo). Perpindahan partikel tersebut membutuhkan waktu, hal ini menyebabkan adanya masa laten sebelum timbulnya pusing dan nistagmus. 2.

Kanalitiasis Pada 1980, Epley mengemukakan teori kanalitiasis, partikel otolit bergerak bebas didalam kanalis semi sirkularis. Ketika kepala dalam posisi tegak, endapan partikel tersebut berada pada posisi yang sesuai dengan gaya gravitasi yang paling bawah. Ketika kepala direbahkan ke belakang, partikel ini berotasi ke atas di sepanjang lengkung kanalis semi sirkularis. Hal ini menyebabkan cairan endolimfe mengalir menjauhi ampula dan menyebabkan kupula membelok (deflected), sehingga terjadilah nistagmus dan pusing. Saat terjadi pembalikan rotasi saat kepala ditegakkan kembali, terjadi pula pembelokan kupula, muncul pusing dan nistagmus yang bergerak ke arah berlawanan. Digambarkan layaknya kerikil yang berada dalam ban, ketika ban bergulir, kerikil akan terangkat seberntar kemudian terjatuh kembali karena gaya gravitasi. Jatuhnya kerikil tersebut seolah-olah yang memicu organ saraf menimbulkan rasa pusing. Dibanding dengan teori kupulolitiasis, teori ini dapat menerangkan keterlambatan sementara nistagmus, karena partikel butuh waktu untuk mulai bergerak. Ketika mengulangi maneuver kepala, otolith menjadi tersebar dan semakin kurang efektif dalam menimbulkan vertigo serta nistagmus. Hal ini menerangkan konsep kelelahan dari gejala pusing. 10

A. DIAGNOSIS 1) Anamnesis Pasien biasanya mengeluh vertigo dengan onset akut kurang dari 10-20 detik akibat perubahan posisi kepala. Posisi yang memicu adalah berbalik di tempat tidur pada posisi lateral, bangun dari tempat tidur, melihat ke atas dan belakang, dan membungkuk. Vertigo bisa diikuti dengan mual. Disamping itu, perlu ditanyakan apakah ada gangguan (hilangnya) pendengaran, perasaan penuh, perasaan tertekan, ataupun berdenging di dalam telinga. Jika terdapat keluhan tinitus, apakah hal tersebut terjadi terus-menerus, intermiten, atau pulsatif. Apakah ada gejala-gejala gangguan batang otak atau kortikal (misalnya, nyeri kepala, gangguan visual, kejang, hilang kesadaran). 2) Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik yang menyeluruh sebaiknya difokuskan pada evaluasi neurologis terhadap saraf-saraf kranial dan fungsi serebelum, misalnya dengan melihat modalitas motorik dan sensorik. Penilaian terhadap fungsi serebelum dilakukan dengan menilai fiksasi gerakan bola mata; adanya nistagmus (horizontal) menunjukkan adanya gangguan vestibuler sentral. Pemeriksaan kanalis auditorius dan membran timpani juga harus dilakukan untuk menilai ada tidaknya infeksi telinga tengah, malformasi, kolesteatoma, atau fistula perilimfatik. Dapat juga dilakukan pemeriksaan tajam pendengaran. Pada pasien BPPV akan memiliki pendengaran yang normal, tidak ada nistagmus spontan, dan pada evaluasi neurologis normal. Pemeriksaan fisik standar untuk BPPV adalah8,9,10 : a. Tes Romberg Pada tes ini, penderita berdiri dengan kaki yang satu di depan kaki yang lain, tumit yang satu berada di depan jari-jari kaki yang lain (tandem). Orang yang normal mampu berdiri dalam sikap Romberg ini selama 30 detik atau lebih. Berdiri dengan satu kaki dengan mata terbuka dankemudian dengan mata tertutup merupakan skrining yang sensitif untuk kelainan keseimbangan. Bila pasien mampu berdiri dengan satu kaki dalam keadaan mata tertutup, dianggap normal. b. Stepping Test Tes melangkah di tempat (stepping test) Penderita harus berjalan di tempat dengan mata tertutup sebanyak 50 langkah dengan kecepatan seperti berjalan biasa dan tidak diperbolehkan beranjak dari tempat semula. Tes ini dapat mendeteksi ada 11

tidaknya gangguan sistem vestibuler. Bila penderita beranjak lebih dari 1 meter dari tempat semula atau badannya berputar lebih dari 30 derajat dari keadaan semula, dapat diperkirakan penderita mengalami gangguan sistem vestibuler. c. Past Pointing Test Penderita diperintahkan untuk merentangkan lengannya dan telunjuk penderita diperintahkan menyentuh telunjuk pemeriksa. Selanjutnya, penderita diminta untuk menutup mata, mengangkat lengannya tinggi-tinggi (vertikal) dan kemudian kembali pada posisi semula. Pada gangguan vestibuler, akan didapatkan salah tunjuk. d. Tes Dix-Hallpike/Nylen-Barany Pemeriksaan ini tidak boleh dilakukan pada pasien yang memiliki masalah dengan leher dan punggung. Tujuannya adalah untuk memprovokasi serangan vertigo dan untuk melihat adanya nistagmus. Cara melakukannya sebagai berikut : 1. Pertama-tama jelaskan pada penderita mengenai prosedur pemeriksaan, dan vertigo mungkin akan timbul namun menghilang setelah beberapa detik. 2. Penderita didudukkan dekat bagian ujung tempat periksa, sehingga ketika posisi terlentang kepala ekstensi ke belakang. 3. Penderita diminta tetap membuka mata untuk melihat nistagmus yang muncul. 4. Kepala diputar menengok ke kanan (kalau kanalis semisirkularis posterior yang terlibat). Ini akan menghasilkan kemungkinan bagi otolith untuk bergerak, kalau ia memang sedang berada di kanalis semisirkularis posterior. 5. Dengan tangan pemeriksa pada kedua sisi kepala penderita, penderita direbahkan sampai kepala tergantung pada ujung tempat periksa. 6. Perhatikan munculnya nistagmus dan keluhan vertigo, posisi tersebut dipertahankan selama 10-15 detik. 7. Komponen cepat nistagmus harusnya up-bet (ke arah dahi) dan ipsilateral. 8. Kembalikan ke posisi duduk, nistagmus bisa terlihat dalam arahyang berlawanan dan penderita mengeluhkan kamar berputar kearah berlawanan. 9. Berikutnya manuver tersebut diulang dengan kepala menoleh ke sisi kiri dan seterusnya. 12

Pada orang normal nistagmus dapat timbul pada saat gerakan provokasi ke belakang, namun saat gerakan selesai dilakukan tidak tampak lagi nistagmus. Pada pasien BPPV setelah provokasi ditemukan nistagmus yang timbulnya lambat, 40 detik, kemudian nistagmus menghilang kurang dari satu menit bila sebabnya kanalitiasis, pada kupulolitiasis nistagmus dapat terjadi lebih dari satu menit, biasanya serangan vertigo berat dan timbul bersamaan dengan nistagmus.

Gambar 4. Manuver Dix-Hallpike/Nylen-Barany

e. Tes Kalori Tes kalori ini dianjurkan oleh Dix dan Hallpike. Pada cara ini dipakai 2 macam air, dingin dan panas. Suhu air dingin adalah 30oC , sedangkan suhu air panas adalah 44oc . Volume air yang dialirkan ke dalam liang telinga masingmasing 250 ml, dalam waktu 40 detik. Setelah air dialirkan, dicatat lama nistagmus yang timbul. Setelah telinga kiri diperiksa dengan air dingin, diperiksa telinga kanan dengan air dingin juga. Kemudian telinga kiri dialirkan air panas, lalu telinga dalam. Pada tiap-tiap selesai pemeriksaan (telinga kiri atau kanan atau air dingin atau air panas) pasien diistirahatkan selama 5 menit (untuk menghilangkan pusingnya). f. Tes Supine Roll Jika pasien memiliki riwayat yang sesuai dengan BPPV dan hasil tes DixHallpike negatif, dokter harus melakukan supine roll test untuk memeriksa ada tidaknya BPPV kanal lateral. BPPV kanal lateral atau disebut juga BPPV kanal

13

horisontal adalah BPPV terbanyak kedua. Pasien yang memiliki riwayat yang sesuai dengan BPPV, yakni adanya vertigo yang diakibatkan perubahan posisi kepala, tetapi tidak memenuhi kriteria diagnosis BPPV kanal posterior harus diperiksa ada tidaknya BPPV kanal lateral. Dokter harus menginformasikan pada pasien bahwa manuver ini bersifat provokatif dan dapat menyebabkan pasien mengalami pusing yang berat selama beberapa saat. Tes ini dilakukan dengan memposisikan pasien dalam posisi supinasi atau berbaring terlentang dengan kepala pada posisi netral diikuti dengan rotasi kepala 90 derajat dengan cepat ke satu sisi dan dokter mengamati mata pasien untuk memeriksa ada tidaknya nistagmus. Setelah nistagmus mereda (atau jika tidak ada nistagmus), kepala kembali menghadap ke atas dalam posisi supinasi. Setelah nistagmus lain mereda, kepala kemudian diputar/ dimiringkan 90 derajat ke sisi yang berlawanan, dan mata pasien diamati lagi untuk memeriksa ada tidaknya nistagmus.

Gambar 5. Tes Supine Roll 3) Diagnosis Banding 1. Vestibular Neuritis Vestibular neuritis penyebabnya tidak diketahui, pada hakikatnya merupakan suatu kelainan klinis di mana pasien mengeluhkan pusing berat dengan mual, muntah yang hebat, serta tidak mampu berdiri atau berjalan. Gejala-gejala ini menghilang dalam tiga hingga empat hari. Sebagian pasien perlu dirawat di Rumah Sakit untuk mengatasi gejala dan dehidrasi. Serangan menyebabkan pasien mengalami ketidakstabilan dan ketidakseimbangan selama beberapa bulan,

14

serangan episodik dapat berulang. Pada fenomena ini biasanya tidak ada perubahan pendengaran.12 2. Labirintitis Labirintitis adalah suatu proses peradangan yang melibatkan mekanisme telinga dalam. Terdapat beberapa klasifikasi klinis dan patologik yang berbeda. Proses dapat akut atau kronik, serta toksik atau supuratif. Labirintitis toksik akut disebabkan suatu infeksi pada struktur didekatnya, dapat pada telinga tengah atau meningen tidak banyak bedanya. Labirintitis toksik biasanya sembuh dengan gangguan pendengaran dan fungsi vestibular. Hal ini diduga disebabkan oleh produk-produk toksik dari suatu infeksi dan bukan disebabkan oleh organisme hidup. Labirintitis supuratif akut terjadi pada infeksi bakteri akut yang meluas ke dalam struktur-struktur telinga dalam. Kemungkinan gangguan pendengaran dan fungsi vestibular cukup tinggi. Yang terakhir, labirintitis kronik dapat timbul dari berbagai sumber dan dapat menimbulkan suatu hidrops endolimfatik atau perubahanperubahan patologik yang akhirnya menyebabkan sklerosi labirin. 3. Penyakit Meniere Penyakit Meniere adalah suatu kelainan labirin yang etiologinya belum diketahui, dan mempunyai trias gejala yang khas, yaitu : gangguan pendengaran, tinitus,

dan serangan

vertigo. Terutama

terjadi

pada

wanita

dewasa.

Patofisiologinya pembengkakan endolimfe akibat penyerapan endolimfe dalam skala media oleh stria vaskularis terhambat. Manifestasi klinis yang dialami penderita Meniere adalah vertigo disertai muntah yang berlangsung antara 15 menit sampai beberapa jam dan berangsur membaik. Disertai pengurnngan pendengaran, tinitus yang kadang menetap, dan rasa penuh di dalam telinga. Serangan pertama hebat sekali, dapat disertai gejala vegetatif Serangan lanjutan lebih ringan meskipun frekuansinya bertambah.13 4) PEMERIKSAAN PENUNJANG a. Tes Audiometri Abnormalitas memberikan kesan vertigo otologik. Sering cukup untuk penegakkan diagnosis. Upaya untuk memisahkan otologik dari sumber vertigo lain. Berfungsi untuk menilai pendengaran. 15

b. Tes Vestibular i. Brainstem Auditory Evoked Potensial (BAEP). Test nurofisiologi ini dipergunakan bila diduga adanya carebello pontine tumor, terutama neuroma akus tikus atau multiple sklerosis. Kombinasi pemeriksaan BERA dan CT Scan dapat menunjukkan konfirmasi diagnostik tumor ii. Electrocochleografi (ECOG) ECOG merupakan sebuah potensi bangkitan yang menggunakan electrode perekam yang diposisikan dalam gendang telinga. ECOG membutuhkan frekuensi pendengaran yang tinggi. ECOG yang abnormal memberi kesan penyakit Meniere. ECOG itu sulit dan interpretasi dari hasil harus memnuhi penilaian bentuk gelombang. iii. Tes Elektronystagmography (ENG). ENG merupakan prosedur beruntun yang dapat mengidentifikasi vestibular asimetris (seperti yang disebabkan oleh neuritis vestibular) dan membuktikan nistagmus spontan dan posisi (seperti yang disebabkan oleh BPPV). ENG adalah tes yang panjang dan sulit. Jika ada hasil yang abnormal dan tidak sesuai dengan gejala klinis sebaiknya dikonfirmasi denga tes kursi putar dan dikombinasi dengan tes VEMP. Kelebihan ENG antara lain: 1. ENG merekam gerakan bola mata berdasarkan perbedaan potensial listrik antara retina dan kornea 2. Menilai perubahan gerakan mata dalam keadaan mata terbuka atau tertutup, pada ruangan terang maupun gelap 3. Menentukan nistagmus fisiologis atau patologis 4. Menentukan lokasi lesi Nistagmus dengan arah ke atas (up-beat nystagmus), sumber lesi terdapat di batang otak bagian atas (sekitar pons varolii). Pada down-beat nystagmus, sumber lesi terdapat di medulla oblongata. Nistagmus dengan arah yang berubah (rebound nystagmus) setiap

16

detik dan dipengaruhi lirikan mata, sering disebabkan lesi kronis di cerebellum atau olivopontocerelum dan sekitarnya. c. Radiologis i. CT-Scan CT-Scan tulang temporal memberikan resolusi tinggi dari struktur telinga daripada MRI dan juga lebih baik untuk evaluasi lesi yang melibatkan tulang. CT tulang temporal mutlak dibutuhkan untuk diagnosis dehiscence canal superior. CT scan dengan potongan hingga ke fossa posterior dapat digunakan jika tidak tersedia MRI. CT Scan terbatas karena resolusi yang lebih buruk dan adanya artifak tulang ii. MRI MRI kepala, mengevaluasi kesatuan struktural batang otak, serebelum, periventrikuler substansia alba, dan kompleks nervus VIII. MRI adalah pencitraan terpilih, terutama untuk mendiagnosisinfark, perdarahan, tumor, dan lesi substansi alba seperti sklerosismutiple. MRI tidak secara rutin dibutuhkan untuk evaluasi vertigo tanpa penemuan neurologis yang lain berkaitan. iii. Angiografi intraarterial Modalitas ini dahulu digunakan untuk mendiagnosis oklusi di sistem vertebrobasilar. Namun, sekarang telah berkembang CT angiografi, MRA, dan DopplerUSG menggantikan angiografi intrarterial.

5) PENATALAKSANAAN 1. Terdapat beberapa manuver untuk reposisi BPPV, yaitu: a. Manuver Epley Manuver ini merupakan yang paling sering digunakan pada kanal vertikal. Penderita berada dalam posisi tegak kemudian kepala menoleh ke sisi yang sakit. Kemudian penderita ditidurkan dengan posisi kepala digantungkan, dan dipertahankan selama 1 sampai 2 menit. Berikutnya, kepala ditolehkan 90 derajat ke sisi sebaliknya, dan posisi supinasi berubah menjadi lateral dekubitus dan

17

dipertahan 30-60 detik. Kemudian beritahu pasien untuk mengistirahatkan dagu pada pundaknya dan duduk kembali secara perlahan.14

Gambar 6. Manuver Epley

b. Manuver Semont Manuver ini diindikasikan untuk terapi dari kupulolotoasis kanalis posterior. Jika kanal posterior yang terkena, maka penderita didudukkan dalam posisi tegak, kemudian kepala penderita dimiringkan 45 derajat berlawanan arah dengan bagian yang sakit dan secara cepat bergerak ke posisi berbaring. Nistagmus dan vertigo dapat diperhatikan. Dan posisi ini dipertahankan selama 1 sampai 3 menit. Setelah itu pasien pindah ke posisi berbaring di sisi yang berlawanan tanpa berhenti saat posisi duduk.

18

Gambar 7. Manuver Semont

c. Manuver Lempert Manuver ini biasa digunakan sebagai terapi dari BPPV kanalis horizontal. Pada manuver ini penderita berguling 360 derajat, dimulai dari posisi supinasi lalu menghadap 90 derajat berlawanan dari sisi yang sakit, posisi kepala dipertahankan, kemudian membalikkan tubuh ke posisi lateral dekubitus. Berikutnya, kepala penderita telah menghadap ke bawah dan badan dibalikkan lagi ke arah ventral dekubitus. Kemudian kepala penderita diputar 90 derajat, dan tubuh berada pada posisi lateral dekubitus. Secara bertahap, tubuh penderita kembali lagi dalam posisi supinasi. Setiap langkah dilakukan selama 15 detik untuk migrasi lambat dari partikelpartikel sebagai respon terhadap gravitasi. 15

Gambar 8. Manuver Lampert 19

d. Forced Prolonged Position Manuver ini digunakan untuk terapi BPPV kanalis horizontal. Perlakuannya adalah mepertahankan tekanan dari posisi lateral dekubitus pada telinga yang sakit selama 12 jam. e. Brandt-Daroff Exercises Latihan ini dikembangkan untuk latihan dirumah, sebagai terapi tambahan untuk pasien yang tetap simptomatik, bahkan setelah melakukan manuver Epley ataupun Semont. Latihan-latihan ini diindikasian satu minggu sebelum melakukan terapi manuver, agar meningkatkan kemampuan toleransi diri pasien terhadap manuver. Latihan ini juga membantu pasien menerapkan berbagai posisi sehingga dapat lebih terbiasa.15

Gambar 9. Manuver Brandt-Daroff 2. Penatalaksanaan Medikamentosa Secara umum, penatalaksanaan dengan obat-obatan mempunyai tujuan: 1) mengeliminasi keluhan vertigo, 2) memperbaiki proses-proses kompensasi vestibuler, dan 3) mengurangi gejala-gejala neurovegetatif ataupun psikoafektif. Beberapa golongan obat yang dapat digunakan untuk penanganan vertigo di antaranya adalah16,17: a. Antikolinergik Antikolinergik merupakan obat pertama yang digunakan untuk penanganan vertigo, yang paling banyak dipakai adalah skopolamin dan homatropin. Kedua preparat tersebut dapat juga dikombinasikan dalam satu sediaan antivertigo. Antikolinergik berperan sebagai supresan vestibuler melalui reseptormuskarinik. Pemberian antikolinergik per oral memberikan efek rata-rata 4 jam, sedangkan gejala efek samping yang timbul terutama berupa gejala-gejala penghambatan reseptor 20

muskarinik sentral, seperti gangguan memori dan kebingungan (terutama pada populasi lanjut usia), ataupun gejala-gejala penghambatan muskarinik perifer, seperti gangguan visual, mulut kering, konstipasi, dan gangguan berkemih. b. Antihistamin Penghambat reseptor histamin-1 (H-1 blocker) saat ini merupakan antivertigo yang paling banyak diresepkan untuk kasus vertigo,dan termasuk di antaranya adalah difenhidramin, siklizin, dimenhidrinat, meklozin, dan prometazin. Mekanisme antihistamin sebagai supresan vestibuler tidak banyak diketahui, tetapi diperkirakan juga mempunyai efek terhadap reseptor histamin sentral. Antihistamin mungkin juga mempunyai potensi dalam mencegah dan memperbaiki “motion sickness”. Efek sedasi merupakan efek samping utama dari pemberian penghambat histamin-1. Obat ini biasanya diberikan per oral, dengan lama kerja bervariasi mulai dari 4 jam (misalnya, siklizin) sampai 12 jam (misalnya, meklozin). c. Histaminergik Obat kelas ini diwakili oleh betahistin yang digunakan sebagai antivertigo di beberapa negara Eropa, tetapi tidak di Amerika. Betahistin sendiri merupakan prekrusor histamin. Efek antivertigo betahistin diperkirakan berasal dari efek vasodilatasi, perbaikan aliran darah pada mikrosirkulasi di daerah telinga tengah dan sistem vestibuler. Pada pemberian per oral, betahistin diserap dengan baik, dengan kadar puncak tercapai dalam waktu sekitar 4 jam. efek samping relatif jarang, termasuk di antaranya keluhan nyeri kepala dan mual. d. Antidopaminergik Antidopaminergik biasanya digunakan untuk mengontrol keluhan mual pada pasien dengan gejala mirip-vertigo. Sebagian besar antidopaminergik merupakan neuroleptik. Efek antidopaminergik pada vestibuler tidak diketahui dengan pasti, tetapi diperkirakan bahwa antikolinergik dan antihistaminik (H1) berpengaruh pada sistem vestibuler perifer. Lama kerja neuroleptik ini bervariasi mulai dari 4 sampai 12 jam. Beberapa antagonis dopamin digunakan sebagai antiemetik, seperti domperidon dan metoklopramid. Efek samping dari antagonis dopamin ini terutama adalah hipotensi ortostatik, somnolen, serta beberapa keluhan yang berhubungan dengan gejala ekstrapiramidal, seperti diskinesia tardif, parkinsonisme, distonia akut, dan sebagainya. 21

e. Benzodiazepin Benzodiazepin merupakan modulator GABA, yang akan berikatan di tempat khusus pada reseptor GABA. Efek sebagai supresan vestibuler diperkirakan terjadi melalui mekanisme sentral. Namun, seperti halnya obat-obat sedatif, akan memengaruhi kompensasi vestibuler. Efek farmakologis utama dari benzodiazepin adalah sedasi, hipnosis, penurunan kecemasan, relaksasi otot, amnesia anterograd, serta antikonvulsan. Beberapa obat golongan ini yang sering digunakan adalah lorazepam, diazepam, dan klonazepam. f. Antagonis Kalsium Obat-obat golongan ini bekerja dengan menghambat kanal kalsium di dalam sistem vestibuler, sehingga akan mengurangi jumlah ion kalsium intrasel. Penghambat kanal kalsium ini berfungsi sebagai supresan vestibuler. Flunarizin dan sinarizin merupakan penghambat kanal kalsium yang diindikasikan untuk penatalaksanaan vertigo; kedua obat ini juga digunakan sebagai obat migren. Selain sebagai penghambat kanal kalsium, ternyata flunarizin dan sinarizin mempunyai efek sedatif, antidopaminergik, serta antihistamin-1. Flunarizin dan sinarizin dikonsumsi per oral. Flunarizin mempunyai waktu paruh yang panjang, dengan kadar mantap tercapai setelah 2 bulan, tetapi kadar obat dalam darah masih dapat terdeteksi dalam waktu 2-4 bulan setelah pengobatan dihentikan. Efek samping jangka pendek dari penggunaan obat ini terutama adalah efek sedasi dan peningkatan berat badan. Efek jangka panjang yang pernah dilaporkan ialah depresi dan gejala parkinsonisme, tetapi efek samping ini lebih banyak terjadi pada populasi lanjut usia. g. Simpatomimetik Simpatomimetik, termasuk efedrin dan amfetamin, harus digunakan secara hati-hati karena adanya efek adiksi. h. Asetilleusin Obat ini banyak digunakan di Prancis. Mekanisme kerja obat ini sebagai antivertigo tidak diketahui dengan pasti, tetapi diperkirakan bekerja sebagai prekrusor neuromediator yang memengaruhi aktivasi vestibuler aferen, serta diperkirakan mempunyai efek sebagai “antikalsium” pada neurotransmisi. Beberapa efek samping

22

penggunaan asetilleusin ini di antaranya adalah gastritis (terutama pada dosis tinggi) dan nyeri di tempat injeksi. i. Lain-lain Beberapa preparat ataupun bahan yang diperkirakan mempunyai efek antivertigo di antaranya adalah ginkgo biloba, piribedil (agonis dopaminergik), dan ondansetron.

23

DAFTAR PUSTAKA 1. Chiarella G, Viola P . The Challenge of Pediatric Vertigo. J Ear Nose Throat Disord. 2017; 2(3): 1027 2. Gioacchini FM, Alicandri-Ciufelli M, Kaleci S, Magliulo G, Re M. Prevalence and diagnosis of vestibular disorders in children: a review. Int J Pediatr Otorhinolaryngol. 2014; 78: 718-724. 3. Wiener-Vacher SR. Vestibular disorders in children. Int J Audiol. 2008; 47: 578-583 4. Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. 2012. Edisi ke-6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 5. Ganong, W. F. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 2009. Edisi 22. Jakarta: EGC. 6. Jahn K, Langhagen T, Heinen F. Vertigo and dizziness in children. Curr Opin Neurol. 2015; 28: 78-82. 7. Fife TD, Tusa RJ, Furman JM, Zee DS, Frohman E, Baloh RW, et al. Assessment: Vestibular testing techniques in adults and children: Report of the Therapeutics and Technology Assessment Subcommittee of the American Academy of Neurology. Neurology. 2000; 55: 1431- 1441. 8. Jahn K, Langhagen T, Schroeder AS, Heinen F. Vertigo and dizziness in childhood – update on diagnosis and treatment. Neuropediatrics. 2011; 42: 129-134. 9. Casani AP, Dallan I, Navari E, Sellari Franceschini S, Cerchiai N. Vertigo in childhood: proposal for a diagnostic algorithm based upon clinical experience. Acta Otorhinolaryngol Ital. 2015; 35: 180-185. 10. Thompson TL, Amedee R. Vertigo: a review of common peripheral and central vestibular disorders. Ochsner J. 2009;9(1):20-6. 11. Gruber M, Cohen-Kerem R, Kaminer M, et al. Vertigo in children and adolescents: characteristics and outcome. Sci World J. 2012; p109624 12. Brodsky JR, Cusick BA, Zhou G. Vestibular neuritis in children and adolescents: Clinical features and recovery. 2016; 83:104-8. 13. Wang C, Wu CH, Cheng PW, Young YH. Pediatric Meniere's disease. Int J Pediatr Otorhinolaryngol. 2018; 105:16-19.

24

14. Gaur S, Awasthi SK, Bhadouriya SK, Saxena R, Pathak VK, Bisht M. Efficacy of Epley's Maneuver in Treating BPPV Patients: A Prospective Observational Study. Int J Otolaryngol. 2015; 48:1760. 15. Pérez-Vázquez P, Franco-Gutiérrez V. Treatment of benign paroxysmal positional vertigo. A clinical review. J Otol. 2017;12(4):165-173. 16. Jahn, Klaus & Langhagen, Thyra & Schroeder, Andreas & Heinen, Florian. Vertigo and Dizziness in Childhood - Update on Diagnosis and Treatment. Neuropediatrics. 2011; 42:129-34. 17. Rascol O., Hain TC., Brefel C., et al. Antivertigo Medications and Drugs-Induced Vertigo. A Pharmacological Review Drugs. 1995;50(5):777-91.

25

Related Documents

Cover Jurnal Gastro.docx
October 2019 40
Cover Jurnal Tik.docx
May 2020 10
Cover Fix Jurnal Spm.docx
November 2019 28
Cover Jurnal - Copy.docx
November 2019 26
Cover Jurnal Kulit.docx
April 2020 14

More Documents from "Yesya Dona Christin Victe"