Corporate Culture Aspect To Shipyard Labour Productivity

  • Uploaded by: Bag's
  • 0
  • 0
  • July 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Corporate Culture Aspect To Shipyard Labour Productivity as PDF for free.

More details

  • Words: 3,904
  • Pages: 9
ASPEK BUDAYA PERUSAHAAN DALAM PENINGKATAN PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA GALANGAN KAPAL INDONESIA* Bagiyo Suwasono1, Sjarief Widjaja2, Achmad Zubaydi2, Zaed Yuliadi2 1. Graduate Student, Faculty of Ocean Technology, Sepuluh Nopember Institute of Technology (ITS) 2. Lecturer, Faculty of Ocean Technology, Sepuluh Nopember Institute of Technology (ITS)

ABSTRACT Economic globalization and free trade system could be analogy to disappear between the state boundaries. This condition that way needs strength of international competitiveness, where each a shipyard will reduce cost of material and labour. Therefore, the acceleration shipyard will conduct a measurement for the rationalization increase of productivity. This study proposes the specification model of path diagram from the screw management model (SMM) is form increase of labour productivity as shipyard competitiveness and influenced by corporate culture aspect, geographical aspect and work type aspect. The result show that the corporate culture represent exogenous construct with four dimensions, include: topology of basic values (TND = λ1BP + ε1), topology of organizational practises (TPO = λ2BP + ε2), interaction of adjustment (IPD = λ3BP + ε3), interaction of getting task (IPT = λ2BP + ε4). The dimension will influence to level of labour productivity at shipyard of Indonesia. Keywords: corporate culture aspect, labor productivity, shipyard of Indonesia * Dipublikasikan pada Seminar Nasional Kelautan II, Peran Perguruan Tinggi dalam Pembangunan Kelautan, UHT Surabaya, 4 Mei 2006.

I. PENDAHULUAN Globalisasi ekonomi dan sistem perdagangan bebas menempatkan Indonesia menjadi bagian dari sistem tersebut, baik dalam kompetisi di tingkat Asean maupun tingkat dunia. Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta orang merupakan pangsa pasar yang potensial, dimana akan bermunculan bisnis baru dengan investasi modal dalam negeri maupun investasi modal asing. Kotter (1992) mengingatkan bahwa globalisasi pasar dan kompetisi menciptakan suatu perubahan yang sangat besar. Strategi yang tepat harus diaplikasikan untuk meraih keberhasilan melalui pemanfaatan peluang-peluang yang ada pada lingkungan bisnis yang bergerak cepat dan semakin kompetitif. Kondisi ekonomi dan perdagangan Amerika yang semakin terancam ketika muncul produk-produk Jepang yang membanjiri dan menguasai pasar domestik Amerika, dimana ekonomi Amerika mengalami defisit perdagangan mencapai lebih dari 16% dan tingkat pengangguran mencapai 9,5%. Kondisi ini memicu para peneliti Amerika untuk mencari tahu mengapa Jepang berhasil mencapai kemajuan ekonomi dan lebih menguasai pasar daripada Amerika. Hasilnya menyatakan bahwa faktor budaya sebagai salah satu faktor penting yang mendorong kemajuan ekonomi Jepang. Dengan demikian, persaingan ekonomi yang terjadi antara negara bukan terletak pada faktor ekonomi tetapi pada faktor budaya (Wutun, 2004). Porter (1998) secara tegas menyatakan produktivitas merupakan akar penentu tingkat daya saing, baik pada level individu, perusahaan, industri maupun pada level negara. Produktivitas sendiri merupakan sumber standar hidup dan sumber pendapatan individual maupun perkapita, sedangkan daya saing sendiri pada dasarnya adalah kemampuan untuk menciptakan suatu tingkat kemakmuran. Pilat (1996) mendefinisikan daya saing sebagai tingkat kemampuan suatu negara menghasilkan barang dan jasa yang sesuai dengan tuntutan pasar internasional dan bersamaan dengan itu kemampuan menciptakan suatu kesejahteraan berkelanjutan bagi warga negara. Jadi terdapat hubungan yang sejalan antara tingkat produktivitas dengan tingkat daya saing. hal: 1

Dalam rangka kekuatan daya saing internasional, setiap galangan kapal akan mengurangi biaya-biaya yang berhubungan dengan pembangunan kapal. Sejak saat itu, setiap galangan kapal secara akselerasi melakukan pengukuran untuk rasionalisasi ke arah peningkatan produktivitas, seperti otomatisasi dan komputerisasi. Galangan kapal Jepang dan Korea Selatan secara signifikan melakukan pemotongan biaya-biaya untuk material pembangunan kapal dan biaya tenaga kerja (Nagasutka, 2000). WEF (2003) melaporkan bahwa daya saing Indonesia pada tahun 1999 berada di peringkat 37, tahun 2000 turun menjadi 44, tahun 2001 turun menjadi 49, tahun 2002 turun menjadi 69 dan tahun 2003 di peringkat terendah, yaitu ke-72. Disini terlihat bahwa daya saing Indonesia terus merosot terutama bila dibandingkan dengan negara-negara Asean. Di tingkat Asean, Singapore tahun 2002 dan 2003 ada di peringkat 6, Malaysia tahun 2002 di peringkat 27 dan tahun 2003 turun menjadi 29, Thailand tahun 2002 di peringkat 30 dan tahun 2003 turun menjadi 32, Vietnam tahun 2002 di peringkat 56 dan tahun 2003 turun menjadi 60, Philipina tahun 2002 di peringkat 62 dan tahun 2003 turun menjadi 66. Oleh karena itu wujud konkrit dari globalisasi dalam dunia Industri dan organisasi adalah munculnya suatu pertemuan antarbudaya dalam konteks kerjasama aktivitas bisnis yang bersifat monokultural, bikultural atau multikultural. Penelitian ini bertujuan menjelaskan fenomena budaya perusahaan sebagai salah satu faktor penting dalam mendorong peningkatan laju produktivitas sebagai daya saing galangan kapal Indonesia. Hasil akhir akan diperoleh suatu model spesifikasi diagram alur dari “screw management model (SMM)” yang menjelaskan adanya hubungan korelasi antar aspek budaya perusahaan dengan aspek geografis serta hubungan kausal aspek budaya perusahaan yang dibentuk dari topologi nilai-nilai dasar, topologi praktek-praktek organisasi, interaksi penyesuaian diri dan interaksi pencapaian tugas terhadap peningkatan produktivitas dan daya saing galangan kapal Indonesia. II. DASAR TEORI A. Budaya Perusahaan Seperti diketahui dengan keragaman etnik dan budaya, Indonesia dapat dikatakan sebagai salah satu bangsa yang paling heterogen di dunia. Keragaman budaya bangsa Indonesia sudah berusia berabad-abad dan berkembang melalui proses interaksi budaya yang natural lewat pertemuan budaya dalam konteks perdagangan atau pertukaran akademik (Yumarma, 1996), sehingga konteks pertemuan budaya Indonesia relatif bersifat mutualisme dan damai. Dibandingkan dengan riwayat pertemuan budaya di negara-negara barat, pertemuan itu terutama dipicu oleh kepentingan ekspansi wilayah. Dengan demikian memiliki sifat agresif dan keras (Bennet, 1993). Meskipun pertemuan antarbudaya sebagai refleksi sejarah yang dimulai berabad-abad lalu, akan tetapi interaksi yang terjadi pada masa globalisasi ini memiliki kompleksitas yang cukup tinggi. Beban untuk menyelesaikan tugas secara optimal ditambah dengan tuntutan penyesuaian diri dalam konteks budaya yang berbeda sering membawa masalah yang pada akhirnya bermuara pada kegagalan pencapaian tugas (Panggabean, 2001). Hofstede (1993) mengungkapkan bahwa teori-teori manajemen mempunyai hambatan pada negara, karena tiap negara mempunyai kebudayaan yang berbeda. Manajemen di Amerika berbeda dengan manajemen di Jerman, berbeda dengan di Jepang, Perancis, Belanda dan dengan negara-negara berkembang seperti Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Taiwan, Hongkong, dan lain-lain. Robbins (1996) menyatakan manajemen Jepang dan Amerika 95% adalah sama, dan hanya berbeda dalam semua hal yang paling penting. Kita mengetahui setiap bangsa memiliki kekhasan, oleh karena itu dalam ekonomi global para manajer perlu memahami perbedaan budaya serta menyesuaikan organisasi dan gaya manajemen dengan perbedaan itu. Sebagai contoh pada kebiasaan “upacara pagi” pada WallMart di Amerika yang sangat sukses, ternyata tidak berlaku di Kanada. Walaupun diketahui mereka sama-sama di Amerika Utara, sebagian besar menggunakan bahasa yang sama dan merupakan mitra dagang terbesar.

hal: 2

Pentingnya penyesuaian diri dalam konteks kerjasama internasional akan menggalakkan berbagai studi dalam bidang hubungan antarbudaya (interculture relations) seperti pada beberapa kajian dari Dinges (1983), Kealay & Ruben (1983), Dinges & Baldwin (1996). Fokus studi ini adalah mengidentifikasi kompetensi yang dibutuhkan individu dalam kerjasama internasional. Salah satu kompetensi yang secara konsisten muncul dalam studi tersebut adalah interculture sensitivity (ICS). Kompetensi ini dipakai sebagai: (1) salah satu indikator bagi keberhasilan mengelola kelompok kerja multikultural (Cui & Van den Berg, 1991), (2) kriteria penting untuk seleksi ekspatriat (Bhawuk & Brislin, 1992), (3) prediktor keberhasilan penyesuaian diri dan kepuasan kerja (Bhawuk & Brislin, 1992). Panggabean (2001) mengungkapkan bahwa salah satu kompetensi yang dianggap signifikan bagi keberhasilan penyesuaian diri dan pencapaian tugas individu dalam kerjasama antarbudaya adalah interculture sensitivity (ICS). Penggalian karakterisrik ICS dengan video kelompok kerja monokultural Indonesia, monokultural Jerman dan campuran Indonesia – Jerman. Hasilnya menunjukkan salah satu karakteristik ICS orang Indonesia yang dinamakan active sensitvity mengacu pada bentuk kepekaan yang luwes, kreatif dan berorientasi pada hasil. Active sensitivity bersifat konstruktif dan produktif bagi pencapaian tugas. Apabila kompetensi dapat dikembangkan secara sistematis, active sensitivity dapat menjadi salah satu modal bangsa Indonesia dalam menghadapi persaingan global dalam dunia kerja. Studi Hofstede (1997) di IBM yang melibatkan 50 negara sampel, termasuk Indonesia dengann mengikutsertakan 95 orang manajer. Kajian yang telah dilakukan berhasil menjelaskan topologi budaya perusahaan di Indonesia. Diskripsi ciri-ciri budaya masyarakat Indonesia sebagai masyarakat plural yang berindeks power distance lebar dan collectivism. Sedangkan ciri-ciri pokok budaya perusahaan tersebut mencakup (1) budaya organisasi merupakan satu kesatuan yang integral dan saling terkait; (2) budaya organisasi merupakan refleksi sejarah dari organisasi yang bersangkutan; (3) budaya organisasi berkaitan dengan hal-hal yang dipelajari oleh para antropolog, seperti: ritual, simbol, cerita dan ketokohan; (4) budaya organisasi dibangun secara sosial, dalam pengertian bahwa budaya organisasi lahir dari konsensus bersama dari sekelompok orang yang mendirikan organisasi tersebut; dan (5) budaya organisasi sulit untuk dirubah. Dari sejumlah ciri pokok di atas, Hofstede mendefinisikan budaya organisasi sebagai the collective programming of the mind yang meliputi: nilai-nilai dasar (basic values) dan praktek-praktek organisasi (organizational practices). Dimensi nilai-nilai dasar mencakup beberapa hal, yaitu: power distance, individualism, uncertainty avoidance, masculinity dan long term orientation. Sedangkan praktek-praktek organisasi (perusahaan) mencakup sejumlah dimensi, yaitu: process oriented versus result oriented, job oriented versus employee oriented, open system versus closes system, profesional versus parochial, tightly versus loosely controlled dan pragmatic versus normative. Bersamaan dengan itu Deal & Keneedy (1999) menelaah aspek-aspek budaya seperti: nilai, ritual, ketokohan dan simbol yang diyakini mempengaruhi kinerja perusahaan. Karya Deal dan Kennedy secara mendalam mengupas mengenai basic value, asumpstions, belief dan prinsip-prinsip manajemen di perusahaan. Karya ini diakui bermakna bagi karyawan karena secara signifikan terbukti meningkatkan kinerja perusahaan di masa lalu bahkan yang akan datang. Berdasarkan temuan Hofstede, Verbeck (2000) merevisi makna semantic pelabelan skala, menvalidasi skala praktek-praktek organisasi dan merekonstruksi skala revision organizational practise (ROP) yang menguji dimensi: process – result dichotomy, employee – job dichotomy, organizational – profesional dichotomy, open – closes dichotomy, loose – tight dichotomy, social responsibility – self interest dichotomy dan market – internal dichotomy sebagai dimensi tambahan yang diperolehnya berdasarkan interview focused. Dari tinjauan pustaka di atas menunjukkan bahwa proses interaksi budaya dalam aktivitas bisnis menunjukkan budaya Indonesia relatif bersifat mutualisme dan damai. Salah satu karakteristik interculture sensitivity (ICS) bagi keberhasilan penyesuaian diri dan hal: 3

pencapaian tugas individu Indonesia dalam kerjasama antarbudaya adalah active sensitvity yang mengacu pada bentuk kepekaan yang luwes, kreatif dan berorientasi pada hasil. Sedangkan active sensitivity yang bersifat konstruktif dan produktif terletak pada pencapaian tugas. Sedangkan topologi budaya perusahaan akan terdiri dari nilai-nilai dasar dan

praktek-praktek organisasi. Nilai-nilai dasar mempunyai lima dimensi, yaitu: power distance, individualism, uncertainty avoidance, masculinity dan long term orientation. Sedangkan praktek-praktek organisasi mempunyai tujuh dimensi, yaitu: process – result oriented, employee – job oriented, organizational – profesional oriented, open – closes system, loose – tight controlled, pragmatic – normative orientation dan market – internal dichotomy. B. Produktivitas Sumanth (1985) menjelaskan istilah “produktivitas” yang seringkali membingungkan dengan istilah “produksi”, dimana produksi terkait dengan aktivitas memproduksi barangbarang dan atau jasa, sedangkan produktivitas terkait dengan efisiensi utilisasi sumberdaya (masukan) dan efektivitas kerja dalam menghasilkan barang dan atau jasa (keluaran). Jika dipandang dari sudut kuantitatif, produksi merupakan suatu kegiatan yang menghasilkan bentuk barang dan atau jasa dengan sejumlah keluaran yang diharapkan. Storch et al (1995) menjelaskan ada dua faktor penting dalam membandingkan industri kapal dengan industri manufaktur pada umumnya, yaitu: (1) nilai produksi akan bervariasi dari waktu ke waktu menurut tahap penyelesaian, (2) estimasi biaya kapal yang tidak selalu tepat dan sebagai suatu proses konstruksi, nilai produksi harus disesuaikan dengan model pembangunan kapal yang mencerminkan pengaruhnya terhadap total biaya nilai produksi yang selalu berubah dari waktu ke waktu. Menurut Sumanth (1985) memberikan tiga definisi dasar ukuran produktivitas untuk penerapan industri manufaktur, yaitu: § Produktivitas Parsial adalah rasio masukan dengan satu jenis masukan. Sebagai contoh produktivitas tenaga kerja (keluaran dibagi masukan tenaga kerja). § Total Faktor Produktivitas adalah rasio keluaran bersih dengan jumlah masukan faktor tenaga kerja dan modal. § Total Produktivitas adalah rasio total keluaran dengan jumlah semua faktor masukan. Ukuran total produktivitas mencerminkan gabungan terhadap semua masukan dalam menghasilkan keluaran. Sedangkan menurut APO (2004) mendefinisikan produktivitas sebagai hubungan antara kuantitatif keluaran dan kuantitatif masukan yang digunakan dalam menghasilkan keluaran untuk penerapan industri manufaktur, yaitu: keluaran (1) Produktivitas = masukan Produktivitas secara kualitatif merupakan suatu "sikap yang menyangkut pikiran", yaitu disekitar orang-orang yang menambahkan nilai bagi suatu proses pekerjaan dari ketrampilan mereka, semangat team, efisiensi, merasa bangga atas pekerjaan dan berorientasi pelanggan serta dibantu dengan sistem dan mesin. Produktivitas bukan hanya tentang efisiensi yang maksimum oleh “kegiatan dari hal-hal yang benar”, tetapi juga menuju keberhasilan efektivitas maksimum oleh “kegiatan yang benar”. Produktivitas perlu barangkali digambarkan sebagai: Produktivitas = efisiensi + efektivitas = kegiatan dari hal-hal yang benar + kegiatan yang benar (2) Di tingkat perusahaan dalam rangka mencapai jumlah maksimum hasil yang diperoleh dalam operasi bisnis, manajemen akan berhadapan dengan semua sumber daya yang secara terusmenerus beroperasi di dalam suatu kondisi seimbang, yaitu: tenaga kerja, material, metode dan mesin seperti pada Gambar 1.

hal: 4

Gambar 1. Mekanika Bisnis Operasi (APO, 2004)

Untuk pengukuran produktivitas pada industi kapal adalah sebagai jam orang per ton untuk kerja baja atau jam orang per kompensasi gross ton (CGT) untuk keseluruhan kapal. Analisa oleh Storch dan Lamb yang disponsori oleh the National Shipbuilding Research Program (Storch et al, 1995) mempertimbangkan dalam 72 elemen dari teknologi pembangunan kapal dan proses yang berhubungan dengan produktivitas. Nagatsuka (2000) dalam studi produktivitas di galangan kapal Jepang dan Korea Selatan menyatakan istilah produktivitas secara umum digunakan sebagai bentuk pengukuran kuantitatif terhadap efisiensi kerja atau operasi pada industri manufaktur. Peningkatan per kapita volume produksi menjadi sesuatu yang penting untuk sebuah galangan kapal dalam mengurangi biaya dengan mengadopsi seperti perlengkapan atau formula produksi sebagai kontribusi pengurangan biaya-biaya personil dan material. Pada kasus di industri kapal, nilai-nilai yang berhubungan dengan produktivitas: (1) keluaran pembangunan kapal dalam GT (gross tons), CGT (compensated gross tons) atau HS (hull steel weight), (2) keseluruhan karyawan pembangunan kapal, (3) jam orang. Oleh karena itu nilai-nilai produktivitas dapat menggunakan: GT CGT (3) § Produktivitas = atau orang orang GT § Produktivitas = (4) jam.orang ton.baja.lambung § Produktivitas = (5) orang Sedangkan Lamb & Hellesoy (2002) menghasilkan persamaan prediksi produktivitas pembangunan kapal yang dikembangkan didasarkan pada karakteristik galangan kapal adalah sebagai berikut: PD = a × TE b × BP c × PR d × ST e × VI f × DP g (6) dimana PD = produktivitas (jam orang/kompensasi gross ton) TE = total jumlah karyawan BP = penilaian praktisi terbaik dalam pengembangan teknologi PR = total jumlah karyawan/jumlah produksi karyawan ST = jumlah kapal yang diserahkan di atas tiga tahun/jumlah jenis kapal yang diserahkan pada periode di atas tiga tahun VI = rasio nilai tambah oleh galangan kapal versus total nilai kapal dan ditentukan pula oleh prosentase biaya tenaga kerja terhadap total biaya DP = maksud ganda, yaitu bernilai 1 apabila digunakan bangunan komersial & kapal, sedangkan bernilai 2 digunakan pembangunan kapal saja a = koefisien dan b,c,d,e,f,g = eksponensial dalam prediksi produktivitas Dari tinjauan pustaka di atas menunjukkan adanya perbedaan mendasar tentang produktivitas yang diterapkan untuk industri manufaktur maupun industri kapal. Pengukuran produktivitas pada industri manufaktur cenderung menggunakan total produktivitas yang merupakan rasio keluaran yang dihasilkan dengan masukan yang digunakan. Sedangkan hal: 5

industri kapal cenderung menggunakan produktivitas parsial yang merupakan rasio masukan jam orang yang digunakan dengan keluaran yang dihasilkan berupa ton material baja (manhours per compensated gross ton atau MH/CGT) atau sebaliknya. Oleh karena itu, hasil justifikasi teoritis terhadap budaya perusahaan dan produktivitas akan diusulkan suatu bentuk model produktivitas tenaga kerja galangan kapal Indonesia dengan teknik estimasi menggunakan aplikasi structural equation modeling (SEM). III. USULAN MODEL SPESIFIKASI PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA Berdasarkan justifikasi kedua teoritis di atas dan usulan mekanika bisnis kapal beserta pengukuran produktivitas tenaga kerja galangan kapal Indonesia (Suwasono et al, 2005) dikembangkan suatu usulan model spesifikasi diagram alur dari screw management model (SMM). Secara filosofi, SMM pada Gambar 2 menunjukkan bahwa peningkatan laju produktivitas sebagai daya saing galangan kapal Indonesia akan dipengaruhi oleh keseimbangan putaran baling-baling, dimana sumberdaya manusia sebagai pusat penggerak dan pendorong bagi sumberdaya yang lain, seperti mesin produksi, material, metode produksi dan penggunaan teknologi. Sedangkan produktivitas tenaga kerja itu sendiri dibentuk dari tingkat pendidikan, usia produktif, lama masa kerja, dampak ergonomi dan tingkat motivasi serta dipengaruhi oleh aspek budaya perusahaan, aspek geografis dan aspek jenis pekerjaan.

Gambar 2. Screw Management Model

Secara teoritis dari aspek budaya perusaahaan ada dugaan sementara bahwa semakin kuat kompetensi budaya perusahaan yang digunakan sebagai modal menghadapi persaingan bisnis, maka semakin besar pula pengaruh peningkatan produktivitas tenaga kerja terhadap laju produktivitas sebagai daya saing galangan kapal Indonesia. Oleh karena itu dikembangkan suatu model spesifikasi diagram alur seperti pada Gambar 3. Harga Kompetitif

Kecepatan Proses Mutu Pembangunan

Kerja Ulang Barang sisa

Topologi Nilai-nilai Dasar Daya saing Galangan Kapal

Topologi Praktek Organisasi

Tingkat Pendidikan Aspek Budaya Perusahaan

Interaksi Penyesuaian Diri

Usia Produktif Produktivitas Tenaga Kerja

Interaksi Pencapaian Tugas

Lama Masa Kerja

Dampak Ergonomi

Aspek Geografis

Tingkat Motivasi Aspek Jenis Pekerjaan

Catatan: Hubungan kausal antar konstruk Hubungan korelasi antar konstruk

Variabel terobservasi Variabel tidak terobservasi

Gambar 3. Model Spesifikasi Diagram Alur

hal: 6

Konstruk-konstruk yang dibangun dalam diagram alur seperti pada Gambar 3 dapat dibedakan menjadi dua konstruk, yaitu: konstruk eksogen dan konstruk endogen. • Konstruk eksogen dikenal juga sebagai source variables atau independent variables yang tidak diprediksi oleh variabel lain dalam model. Konstruk eksogen dapat berhubungan kausal dengan konstruk endogen. Dalam diagram di atas untuk konstruks eksogen adalah budaya perusahaan, jenis pekerjaan dan kondisi geografis. • Konstruk endogen adalah faktor-faktor yang diprediksi oleh satu atau beberapa konstruk. Konstruk endogen dapat memprediksi satu atau beberapa konstruk endogen lainnya. Dalam diagram di atas untuk konstruk endogen adalah produktivitas tenaga kerja dan daya saing galangan kapal. Sedangkan konversi diagram alur untuk menjadi suatu persamaan dapat diuraikan dalam tiga bagian, yaitu: • Persamaan konstruk eksogen (exogenous constucts) o Aspek budaya perusahaan (BP): TND = λ1BP + ε1 (topologi nilai-nilai dasar) TPO = λ2BP + ε2 (topologi praktek-praktek organisasi) IPD = λ3BP + ε3 (interaksi penyesuaian diri) IPT = λ4BP + ε4 (interaksi pencapaian tugas) o Aspek jenis pekerjaan (JK) dan aspek geografis (GS) tidak memerlukan model pengukuran karena konstruk hanya sebuah variabel terobservasi. • Persamaam konstruk endogen (endogenous constructs) o Produktivitas tenaga kerja (PK) TP = λ4PK + ε4 (tingkat pendidikan) UP = λ5PK + ε5 (usia produktif) LMK = λ6PK + ε6 (lama masa kerja) ERG = λ7PK + ε7 (efek ergonomi) MTV = λ8PK + ε8 (tingkat motivasi) o Daya saing galangan kapal (DS) HK = λ9DS + ε9 (harga kompetitif) PM = λ10DS + ε10 (kecepatan proses dan mutu bangunan) RW = λ11DS + ε11 (kerja ulang dan barang sisa) • Persamaan struktural (structural equations) PK = β1BP + β2JP + β3GS + δ1 (produktivitas tenaga kerja) DS = β1BP + β2JP + β3GS + γ1PK + δ2 (daya saing galangan kapal) Catatan: λ = loading factor (faktor pembebanan) ε = error (kesalahan) β = regression weight (bobot regresi) δ = disturbance term (istilah gangguan) Sebagai data input dalam structural equation modeling (SEM) direkomendasikan menggunakan matriks varians/kovarians karena lebih sesuai untuk memvalidasi hubungan kausalitas pada sampel yang berbeda, sedangkan ukuran sampel yang sesuai antara 100 – 200 untuk metode estimasi maximum likelihood atau ML (Hair et al, 1995). Sedangkan teknik estimasi dalam SEM akan menggunakan aplikasi program AMOS Ver. 5 V. KESIMPULAN Proses interaksi budaya dalam aktivitas bisnis menunjukkan budaya Indonesia relatif bersifat mutualisme dan damai. Salah satu karakteristik interculture sensitivity (ICS) bagi keberhasilan penyesuaian diri dan pencapaian tugas individu Indonesia dalam kerjasama antarbudaya adalah active sensitvity yang mengacu pada bentuk kepekaan yang luwes, kreatif dan berorientasi pada hasil. Sedangkan active sensitivity yang bersifat konstruktif dan produktif terletak pada pencapaian tugas.

hal: 7

Topologi budaya perusahaan terdiri dari nilai-nilai dasar dan praktek-praktek organisasi. Nilai-nilai dasar mempunyai lima dimensi, yaitu: power distance, individualism, uncertainty avoidance, masculinity dan long term orientation. Sedangkan praktek-praktek organisasi mempunyai tujuh dimensi, yaitu: process – result oriented, employee – job oriented, organizational – profesional oriented, open – closes system, loose – tight controlled, pragmatic – normative orientation dan market – internal dichotomy. Ada perbedaan mendasar tentang produktivitas yang diterapkan untuk industri manufaktur maupun industri kapal. Pengukuran produktivitas pada industri manufaktur cenderung menggunakan total produktivitas yang merupakan rasio keluaran yang dihasilkan dengan masukan yang digunakan. Sedangkan industri kapal cenderung menggunakan produktivitas parsial yang merupakan rasio masukan jam orang yang digunakan dengan keluaran yang dihasilkan berupa ton material baja (compensated gross ton atau CGT) atau sebaliknya. Model spesifikasi diagram alur dalam screw management model (SMM) untuk aspek budaya perusaahaan merupakan konstruk eksogen dengan empat dimensi yang meliputi: topologi nilai-nilai dasar (TND = λ1BP + ε1), topologi praktek-praktek organisasi (TPO = λ2BP + ε2), interaksi penyesuaian diri (IPD = λ3BP + ε3) dan interaksi pencapaian tugas (IPT = λ2BP + ε4). Dimensi ini akan mempengaruhi tingkat produktivitas tenaga kerja pada galangan kapal Indonesia. Hasil penelitian ini akan dilanjutkan pada data varaians/kovarians dan aplikasi program AMOS Ver. 5 serta pengaruh aspek geografis terhadap produktivitas tenaga kerja, khususnya dampak ergonomi. VI. DAFTAR PUSTAKA APO, 2004, Achieving Higher Productivity Through Green Productivity, Asian Productivity Organization, Training Manual-Participants’Handbook. Bennet, M., 1993, Toward Ethnorelativism: A Development Model of Intercultural Sensitivity. In R.M. Paige, Education for The Intercultural Experience, Maine, Intercultural Press. Inc, pp. 21 – 71. Bhawuk, D.P.S., & Brislin, R., 1992, The Measurement of Intercultural Sensitivity Using The Concepts of Individualism and Collectivism, International Journal of Intercultural Relations, Vol. 16, pp. 413 – 436. Budihardjo, A., 2004, Peran Strategi SDM Menghadapi Persaingan Global, Institut Manajemen Prasetya Mulya, Bagian Psikologi Industri dan Organisasi, Universitas Indonesia. Cui, G, & Van den Berg, S., 1991, Testing the Construct Validity of Intercultural Effectiveness, International Journal of Intercultural Relations, Vol. 15, pp. 227 – 241. Deal, E. T. & Keneedy A.A., 1999, The New Corporate Culture, Perseus Publishing, New York. Dinges, N., 1983, Interculture Competence. In D Landis & R. Brislin, Handbook of Interculture Training, Issue in Theory and Design, Pergamon Press, New York, Vol. 1, pp. 176 – 202. Dinges, N., & Baldwin, 1996, Interculture Competence: A Research Perspective. In D Landis & R. Brislin, Handbook of Interculture Training, Sage Publication, London, pp. 106 – 123. Hair, J.F., Anderson, R.E., Tatham, R.L. & Black, W.C., 1995, Multivariate Data Analysis, Fourth ed., Prentice Hall, New Jersey. Hofstede, G., 1993, Cultural Constrains in Management Theories, Academy of Management Executive, Vol. 7, No. 1, pp. 81 – 94. Hofstede, G., 1997, Culture and Organizational Software of the Mind, McGraw-Hill, New York. Kealey, D., & Ruben, B., 1983, Cross-culture Personel Selection Criteria, Issues and Method. In D Landis & R. Brislin, Handbook of Interculture Training, Issue in Theory and Design, Pergamon Press, New York, Vol. 1, pp. 156 – 175. Kotter, P.J. & Haskett, J.L., 1992, Corporate Culture and Performance, Free Press, Macmillan Press USA.

hal: 8

Lamb, T., & Hellesoy, A., 2002, A Shipbuilding Productivity Predictor, Journal of Ship Production, Vol. 18, No. 2, pp.79 – 85. Nagatsuka, S., 2000, Study of the Productivity of Japan and South Korea’s Shipbuilding Yards Based on Statistical Data, Japan Maritime Research Institute (JAMRI), The Manufacturing Technology (MANTECH) Program and National Shipbuilding Research Program (NSRP). Panggabean, H., 2001, Characteristics of Interculture Sensitivity in Indonesia – German Work Groups, Dissertation, Regensburg University Pilat D., 1996, Labour Productivity Levels in OECD Countries: Estimates for Manufacturing and Selected Service Sector, Organization for Economic Co-Operation and Development, Paris Porter, M., 1998, Competitive Advantage Creating and Sustaining Superior Performance, SimonSays.com. Robbins, S.P., 1996, Perilaku Organisasi: Konsep, Kontroversi, Aplikasi, PT. Prenhalindo, Jakarta. Storch, R,, Clark, J. & Lamb, T., 1995, Requirement and Assessments for Global Shipbuilding Competitiveness, NSRP Sumanth, D. J., 1985, Productivity Engineering and Management, McGraw-Hill, Inc., USA. Suwasono, B., Widjaja, S., Zuabydi, A., & Yuliadi, Z., 2005, Eksplorasi Aspek-Aspek Produktivitas Tenaga Kerja pada Galangan Kapal di Indonesia, Prosiding Seminar Nasional, Fakultas Teknologi Kelautan – ITS dan Komunitas Migas Indonesia (KMI) Jatim. Verbeck, W., 2000, A Revision of Hofstede (1997) Organizational Practise Scale, Journal of Organizational Behavior WEF, 2003, Global Competitiveness Report 2003 – 2004, World Economic Forum Wutun, R.P., 2004, Sistem Nilai dan Praktik-Praktik Organisasi Perusahaan “X”, Pascasarjana Psikologi Industri dan Organisasi, Universitas Indonesia. Yumarma, A., 1996, Unity in Diversity: A Philosophical and Ethical Studi of The Javanese Concept of Keselarasan, Dissertation, Rome Centre “Culture and Religions” – Pontificial Gregorian University.

hal: 9

Related Documents